Professional Documents
Culture Documents
F -X C h a n ge
PD
F -X C h a n ge
O W !
bu
to
lic
.d o
c u -tr a c k
.c
lic
to
bu
N
w
O W !
.d o
c u -tr a c k
.c
PEMBERIAN TERAPI SULIH HORMON SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KESEHATAN WANITA MENOPAUSE
Raditya Wratsangka *)
* Bagian Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRACT
The population of climacteric women in Indonesia is has been increasing in correspond to life expectancy for women which has risen. Menopause as result of ovarial dysfunction or failure to produce estrogens because of aging process- is one of the main health problem of the climacteric women. Menopause -that can be defined as the point in time of the last vaginal bleeding resulting from the influence of hormones produced by the ovary on the endometrium-, usually accompanied or followed by many complaints or symptoms of short- and long-term duration, as the effects of estrogens deficiency. In many cases, menopause symptoms also decrease the quality of life and productivity of climacteric women. Hormone replacement therapy is given to menopause women as a specific treatment for the short-time symptoms (vasomotor, psychological, urogenital, skin and eye disorders) and as a preventative treatment for the long-term disorders or complications (osteoporosis, coronary heart disease, Alzheimers disease). Natural estrogens administration usually starts at a low dosage and given orally, combined with natural progesterone to prevent endometrial hyperplasia, decrease the risk of endometrial cancer and the breast cancer. The side-effects of hormone replacement therapy usually caused by inappropriate dosage of estrogens and/or progesterone, therefore it dosage must be adjusted individually with a regular follow-up. (J Kedokter Trisakti 1999;18(3):155-162). Key words : menopause, hormone replacement therapy, estrogens, progesterone
PENDAHULUAN
Meningkatnya usia harapan hidup wanita Indonesia yang diperkirakan akan mencapai 70 tahun pada tahun 2000 mendatang, berdampak pada meningkatnya pula jumlah wanita lanjut usia (lansia) di Indonesia. Diharapkan bahwa para wanita lanjut usia tetap dapat menjalani sisa kehidupannya dengan sehat dan bahagia, bahkan tetap memiliki produktivitas yang tinggi, karena apalah artinya berumur panjang bagi seorang wanita kalau harus hidup dengan berbagai macam keluhan dan menjadi beban bagi keluarganya. Salah satu masalah pokok di bidang kesehatan yang dihadapi para wanita lanjut usia adalah menopause. Menopause adalah perdarahan uterus terakhir yang masih diatur oleh fungsi hormonal ovarium(1) . Istilah menopause juga dipakai untuk menyatakan suatu perubahan hidup di mana pada saat itu seorang wanita mengalami periode terakhir masa haid. Berhentinya haid ini disebabkan karena ovarium sudah tidak berfungsi lagi memproduksi estrogen. Pada wanita terdapat variasi umur memasuki masa menopause, yaitu dapat terjadi pada usia 40 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada usia
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 155
w
w
w
w
PD
F -X C h a n ge
PD
F -X C h a n ge
O W !
bu
to
lic
.d o
c u -tr a c k
.c
lic
to
bu
N
w
O W !
.d o
c u -tr a c k
.c
56 tahun. Dalam proses penuaan pada ovarium selain terjadi menopause, timbul pula beberapa masalah ikutan yang dapat berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, yaitu sejak usia 40 tahun sampai usia 65 tahun, yang dikenal dengan masa klimakterium; bahkan dampak kekurangan estrogen ini masih dapat berlanjut sampai mereka memasuki usia 70 tahun atau lebih. Data yang pasti tentang usia rata-rata wanita Indonesia memasuki menopause belum ada, namun dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan di beberapa kota besar di Indonesia didapatkan bahwa usia rata-rata menopause wanita Indonesia adalah 48 - 49 tahun(2) .
jantung berdebar-debar, sakit kepala), gejala psikologis (sering timbul rasa takut, gelisah, lekas marah, mudah tersinggung, pelupa, tidak dapat berkonsentrasi, libido menurun, hilang kepercayaan diri, perasaan tertekan, kurang kemauan), gejala urogenital (sering buang air kecil pada malam hari dan nyeri pada waktu buang air kecil, nyeri sanggama, keputihan) sering haus, gangguan pada kulit : kulit kering, rambut rontok, kuku rapuh, gatal-gatal di daerah kemaluan), gangguan pada mata (keratokonjungtivitis sika) dan kadar kolesterol meningkat. Dalam jangka panjang, masalah yang sering dihadapi dan mendapat perhatian dari para ahli maupun pemerintah di negara-negara maju pada wanita pasca-menopause adalah osteoporosis, penyakit jantung koroner (PJK) serta penyakit Alzheimer.
w
w
w
w
PD
F -X C h a n ge
PD
F -X C h a n ge
O W !
bu
to
lic
.d o
c u -tr a c k
.c
lic
to
bu
N
w
O W !
.d o
c u -tr a c k
.c
Didrogesteron dengan dosis 5 mg/hari. Estrogen sintetik dapat meningkatkan tekanan darah melalui peningkatan sistem renin-aldosteron-angiotensinogen, sedangkan progesteron sintetik (turunan noretisteron) dapat mempengaruhi High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL) serum serta menghambat khasiat positif dari estrogen terhadap pembentukan HDL. Seperti telah diketahui, bahwa penurunan kadar HDL serum akan meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (PJK)(6) . Cara pemberian yang sangat efektif adalah secara oral. Keuntungan pemberian cara oral adalah dapat menstimulasi metabolisme kolesterol HDL di hati dan faktor-faktor tertentu di hati yang dapat membentuk metabolisme kalsium, sehingga sangat baik digunakan untuk mencegah kekeroposan tulang dan perkapuran dinding pembuluh darah (aterosklerosis). Bila tidak dapat diberikan terapi sulih hormon (TSH) secara oral, misalnya timbul mual, muntah atau lainnya, maka dapat dipikirkan pemberian cara lain, yaitu estrogen transdermal berupa plester dengan dosis 25 - 50 ug/hari. Selain itu dapat juga diberikan estrogen dalam bentuk krem, yang sangat baik untuk mengatasi keluhan berupa atrofi epitel vagina (dispareunia). Kedua cara pemberian tersebut (transdermal dan krem) perlu juga disertai dengan pemberian progesteron(7) . Beberapa kontraindikasi yang harus diketahui sebelum pemberian TSH dimulai antara lain adalah: hipertensi kronik (telah dimulai sebelum menopause), obesitas, varises yang berat, menderita penyakit kelenjar tiroid atau sedang dalam perawatan, menderita atau dengan riwayat penyakit hati yang berat, hasil pap smear abnormal, kanker payudara dan gangguan fungsi ginjal(8) . Kontraindikasi yang begitu banyak sebenarnya berlaku untuk pemberian pil kontrasepsi, karena pil kontrasepsi mengandung hormon estrogen dan progesteron sintetik, sedangkan terapi sulih hormon menggunakan hormon alamiah. Beberapa kontraindikasi seperti
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 157
w
w
w
w
PD
F -X C h a n ge
PD
F -X C h a n ge
O W !
bu
to
lic
.d o
c u -tr a c k
.c
lic
to
bu
N
w
O W !
.d o
c u -tr a c k
.c
diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koronoer, stroke merupakan kontraindikasi untuk pil kontrasepsi, namun bukan merupakan kontraindikasi untuk pemberian terapi sulih hormon. Organisasi Kesehatan se Dunia (World Health Organization/WHO) pada tahun 1997 telah membuat kesepakatan bahwa untuk pencegahan keluhan jangka panjang perlu diberikan TSH sedini mungkin, yaitu 1-2 tahun setelah masa menopause, meskipun wanita tersebut belum mengalami keluhan apapun(9) . Keluhan-keluhan yang timbul akibat kekurangan estrogen pada umumnya baru akan menghilang setelah pengobatan berlangsung selama 18 - 24 bulan. Mengenai berapa lama TSH dapat diberikan, masih terjadi silang pendapat, namun kebanyakan ahli menganjurkan penggunaannya selama 10 - 20 tahun, atau selama wanita tersebut masih merasa nyaman dan ingin terus menggunakannya. Selama pemberiannya dikombinasikan dengan progesteron, maka tidak perlu takut dengan keganasan. Jarang dijumpai penyembuhan dalam waktu singkat. Bila setelah beberapa bulan pengobatan keluhan tidak juga hilang meskipun dosis telah dinaikkan, maka perlu dicari faktorfaktor lain yang mungkin terjadi bersamaan dengan keluhan klimakterik.
wanita yang telah terbukti penyumbatan arteria koronaria ternyata dengan pemberian estrogen ditemukan penurunan kelainan pada arteri koronaria sampai 87%(10) . Estrogen dapat memiliki khasiat protektif tehadap jantung karena(12) : Estrogen memicu produksi zat anti agregasi, prostasiklin dan endothelin dari sel-sel endothelial pembuluh darah. Prostasiklin sebagai vasodilator sedangkan endothelin sebagai zat relaksasi otot pembuluh darah. Pada wanita pascamenopause dijumpai penurunan produksi prostasiklin oleh arteri uterina sebanyak 75%. Pada pemberian 17-beta estradiol dapat dijumpai peningkatan prostasiklin. Estrogen dapat meningkatkan aliran darah ke jantung (khasiat inotropik) Estrogen mempunyai pengaruh yang menguntungkan pada sirkulasi lemak dan fraksi lipoprotein, terutama penurunan dari kolesterol total dan LDL (Low Density Lipoprotein) dapat meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein) serum Estrogen memiliki khasiat sebagai antagonis kalsium seperti halnya nifedipine dan nicardipine. Estrogen memperbaiki metabolisme glukosa perifer dengan adanya penurunan kadar sirkulasi insulin dan memiliki aktivitas antioksidan.
w
w
w
w
PD
F -X C h a n ge
PD
F -X C h a n ge
O W !
bu
to
lic
.d o
c u -tr a c k
.c
lic
to
bu
N
w
O W !
.d o
c u -tr a c k
.c
20-30% saja. Maka tampaklah bahwa wanita lebih berisiko terhadap terjadinya osteoporosis dan patah tulang(13) .Patah tulang pada wanita lanjut terbanyak disebabkan oleh osteoporosis; dan dalam usia menjelang 70 tahun, hampir 40% wanita mengalami patah tulang. Selain itu, osteoporosis juga menimbulkan nyeri pada tulang. Dengan menurunnya kadar estrogen, maka proses pematangan sel tulang (osteoblas) akan terhambat, dan dua faktor yang berperan dalam proses ini, yaitu vitamin D dan PTH (parathyroid hormone) juga menurun, sehingga dimulailah proses berkurangnya kadar mineral tulang. Pemberian TSH akan meningkatkan aktivitas osteoblas dan mencegah osteoporosis lebih lanjut. Wanita yang menggunakan TSH selama 5 tahun dan segera setelah menopause dapat mengurangi risiko patah tulang belakang dan tulang pinggul hingga 50%. Dianjurkan untuk memberikan TSH dikombinasikan dengan kalsium 1 - 2 mg/hari dan olahraga yang baik dan teratur untuk meningkatkan kadar mineral tulang sebagai bahan mentah untuk pembentukan tulang(14) .
rendah, sehingga dosis pemberian estrogen perlu dinaikkan; atau dapat juga disebabkan oleh dosis progesteron yang tinggi, maka dosis pemberian progesteron perlu diturunkan. Perdarahan banyak (atipik). Hal ini disebabkan oleh dosis estrogen yang tinggi, sehingga dosis estrogen perlu diturunkan sedangkan dosis progesteron dinaikkan. Bila dengan cara ini tetap saja terjadi perdarahan banyak, dianjurkan untuk dilakukan dilatasi & kuretase. Bila hasis pemeriksaan patologi anatomik (PA) menunjukkan hiperplasia adenomatosa, dianjurkan untuk histerektomi, atau bila pasien menolak histerektomi, maka terapi diteruskan dengan pemberian progesteron saja (tanpa estrogen), dan dilakukan mikrokuret tiap 3 bulan. Bila hasil PA menunjukkan hiperplasia kistik, terapi sulih hormon dapat diteruskan ddengan dosis progesteron yang lebih tinggi (misalnya estrogen 0,625 mg dan progesteron 10 mg/hari dan pasien dianjurkan untuk mikrokuret tiap 3 bulan. Sakit kepala (migren) dan leukorea (keputihan). Hal ini disebabkan oleh estrogen yang terlalu tinggi, sehingga dosis pemberiannya perlu dikurangi. Pruritus berat. Hal ini disebabkan karena efek estrogen, sehingga pemberian estrogen sebaiknya dihentikan dan hanya diberikan progesteron saja.
w
w
w
w
PD
F -X C h a n ge
PD
F -X C h a n ge
O W !
bu
to
lic
.d o
c u -tr a c k
.c
lic
to
bu
N
w
O W !
.d o
c u -tr a c k
.c
pengobatan maupun pencegahan pada wanita menopause karena pil KB mengandung estrogen dan progesteron sintetik yang dapat menimbulkan berbagai efek samping, sedangkan yang digunakan sebagai TSH adalah estrogen dan progesteron alamiah(5) . Untuk mencegah terjadinya keganasan, pemakaian estrogen harus selalu dikombinasikan dengan progesteron. Lama pemberian progesteron paling sedikit 10 14 hari. Beberapa penelitian pada hewan maupun manusia telah membuktikan bahwa progesteron memiliki khasiat antimitotik. Namun demikian penambahan progesteron untuk mencegah terjadinya kanker payudara hingga kini masih diperdebatkan dan menimbulkan silangpendapat di antara para ahli. Di Amerika Serikat misalnya, pada wanita yang telah diangkat rahimnya hanya diberikan estrogen tanpa dikombinasi dengan progesteron. Para ahli di Amerika Serikat tidak begitu percaya bahwa progesteron dapat mencegah terjadinya kanker payudara(16). Sebaliknya di Australia maupun beberapa negara di Eropa dan Asia pemberian progesteron selalu digunakan bersama dengan estrogen untuk menekan angka kejadian kanker payudara. Dari beberapa penelitian retrospektif maupun prospektif yang pernah dilakukan ternyata masih menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Ada yang menemukan peningkatan terjadinya kanker payudara, namun ada juga yang tidak menemukannya. Progesteron telah
dibuktikan sangat efektif menghambat kanker payudara yang sudah menyebar jauh (metastasis) daripada pengobatan dengan tamoksifen. Telah terbukti pula bahwa estrogen yang dikombinasikan dengan progesteron ternyata sangat efektif untuk kanker payudara stadium IV. Tujuh hari pertama diberikan estrogen untuk memicu pembentukan reseptor progesteron pada sel-sel kanker, baru kemudian diikuti dengan pemberian progesteron selama 21 hari. Dengan cara ini didapat remisi sebanyak 56,7%(16,17,18) . Telah dilakukan pula penelitian pada wanita pascamenopause yang diberikan estrogen dan progesteron (dalam bentuk estrogen konjugasi dan medroksi progesteron asetat/MPA) selama 22 tahun. Penelitian dilakukan secara prospektif dan tersamar ganda, di mana 84 wanita diberikan TSH dan 84 wanita lainnya diberikan plasebo. Setelah 22 tahun ditemukan 4,8% kanker payudara pada wanita yang diberikan plasebo, sedangkan pada wanita yang mendapat TSH selama 22 tahun tidak menyebabkan kanker payudara. Penelitian lain yang dilakukan pada 23 wanita yang diberikan TSH selama 12 tahun juga tidak ditemukan kanker payudara (18,19). Pada tabel 1 berikut ini dapat dilihat angka kejadian kanker payudara pada wanita klimakterium yang tanpa pengobatan sulih hormon dibandingkan dengan mereka yang mendapat terapi TSH (estrogen saja per oral, estrogen krem, estrogen + progesteron maupun progesteron saja).
Tabel 1. Pengaruh TSH terhadap kejadian kanker payudara pada wanita klimakterium(3) JUMLAH WANITA TERAPI JUMLAH YANG TERKENA WANITA KANKER PAYUDARA SELURUHNYA Tanpa pengobatan 6404 22 Estrogen saja 19676 28 Estrogen krem 4298 5 Estrogen + Progesteron 16159 3 Progesteron 1825 3
w
w
w
w
PD
F -X C h a n ge
PD
F -X C h a n ge
O W !
bu
to
lic
.d o
c u -tr a c k
.c
lic
to
bu
N
w
O W !
.d o
c u -tr a c k
.c
KESIMPULAN
Wanita menopause yang jumlahnya makin bertambah banyak seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia, selayaknya mendapat penanganan yang adekuat atas gangguangangguan atau keluhan-keluhan sehubungan dengan kurang atau
DAFTAR PUSTAKA
1. Kenemans P. Hormone Replacement Theraapy (HRT) : Basic Concepts and Practical Rules. Gynec Forum 1996;3:3-9 2. Baziad A. Kesehatan Fisik Wanita Usia Lanjut. Makalah disajikan pada Seminar tentang Garis Besar Kebijaksanaan Pengelolaan Lansia, Pertemuan Ilmiah Tahunan XI, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Semarang, 1999. 3. Baziad A. Terapi Hormonal : Alternatif Baru Penanggulangan Masalah Menopause dan Komplikasinya. Dalam : Pakasi LS.
Menopause : Masalah dan Penanganannya. Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996:34-49. 4. Utian WH. Menopause: a modern perspective from a controversial history. In: Wren BG (ed.) Progress in the management of the menopause. New York, The Parthenon Publishing Group, 1997:1-10. 5. Burger CW, Kenemans P. Postmenopausal hormone replacement therapy and cancer of the female genital tract and breast. Current Opinion in Obstet and Gynecol, 1998;10(1):41-5 6. Baziad A, Dharmasetiawan S. Penanganan Wanita Usia Menopause. Kelompok Studi Endokrin Reproduksi Indonesia (KSERI),
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 161
w
w
w
w
PD
F -X C h a n ge
PD
F -X C h a n ge
O W !
bu
to
lic
.d o
c u -tr a c k
.c
lic
to
bu
N
w
O W !
.d o
c u -tr a c k
.c
1995. 7. Hirvonen E, Lamberg-Allardt C, Lankinen KS, Geurts P, Wilen-Rosenqvist G. Transdermal oestradiol gel in the treatment of the climacterium: a comparison with oral therapy. Br J Obstet Gynecol, 1997;16 (Suppl):19-25. 8. Baziad A, Lazuardi S, Dharmasetiawan S. Seputar Masalah Menopause. Kelompok Studi Endokrin Reproduksi Indonesia (KSERI), 1994. 9. Baziad A, Pache T. Cardiovascular disease and hormone replacement therapy. In: Ratnam SS, Campana (Eds.) A First Consensus Meeting on Menopause in the East Asian Region(Proceeding), Medical Forum Internasional:105-10. 10. Ginnsburg J. The Menopause, HRT and Cardiovascular System. In: Burger H, Boulet M (eds). A Portrait of the Menopause Expert Reports on Medical and Therapeutic Strategies for the 1990s. The Parthenon Publishing Group, 1991:45-63. 11. Limacher MC. The role of hormone replacement therapy in preventing coronary artery disease in women. Current Opinion in Cardiology, 1998;13(2):139-44. 12. Chae CU, Rideker PM, Manson JE. Postmenopausal hormone replacement therapy and cardiovascular disease. Thrombosis and Haemostasis, 1997;78(1):770-80. 13. Rosen CJ, Kessenich CR. The pathophysiology and treatment of postmenopausal osteoporosis. An evidence-
14.
15.
16.
17.
18.
19. 20.
based approach to estrogen replacemen therapy. Endocrinology and Metabolism Clinics of North America, 1997;26(2):295311. Lees B, Pugh M, Siddle N, Stevenson JC. Changes in bone density in women starting hormone replacement therapy compared with those in women already established on hormone replacement therapy. Osteoporosis International, 1995;5:344-8. Baziad A. Sejauh Mana Terapi Sulih Hormon Aman? Makalah disajikan pada Lunch Symposia Menopause, Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XI, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Semarang, Juli 1999. Gambrell RD, et al. Role of hormones in the etiology and prevention of endometrial and breast cancer. Acta Obstet Gynec Scand, 1982;106:37-46. Person J. The Importance of HRT for breast cancer : an introduction. In : The Modern Management of the Menopause. Stockholm, Parthenon Publishing Group, 1993:401-2. Brinton LA. Hormone replacement therapy and risk for breast cancer. Endocrinolgy and Metabolism Clinics of North America, 1997;26(2):361-78. Faiz O, Fentiman IS. Hormone replacement therapy and breast cancer. Int J Clin Pract, 1998;52(2):98-101. Kenemans P, Barentsen R, Van de Weijer P. Practical Hormone Replacement Therapy (HRT). Medical Forum International, 1995:193-7.
w
w
w
w