Professional Documents
Culture Documents
Artinya:Barangsiapa menjumpai orang yang berbuat homosex seperti praktek kaum luth, maka
bunuhlah sipelaku dan yang diperlakukan (pasangannya)
Menurut Al-Mundziri, khalifah Abu Bakar dan Ali pernah menghukum mati terhadap
pasangan homosex.
Pendapat kedua antara lain Al-Auzai, Abu Yusuf dan lain-lain, hukumnya disamakan dengan
hukuiman zina, yakni hukuman dera dan pengasingan untuk yang belum kawin, dan dirajam
(stoning to death) untuk pelaku yang sudah kawin, berdasarkan Hadits Nabi :
)( .
Artinya : apabila seorang pria melakukan hubungan sex dengan pria lain, maka kedua-duanya
adalah berbuat zina
Pendapat kedua ini sebenarnya memakai qias didalam menetapkan hukumannya.
Pendapat ketiga antara lain Abu Hanifah, pelaku homosex dihukum tazir, sejenis hukuman yang
bertujuan edukatif, dan besar ringanya hukuman tazir diserahkan kepada pengadilan (Hakim).
Hukuman Tazir dijatuhkan terhadap kejahatan atau pelanggaran yang tidak ditentukan macam dan
kadar hukumannya oleh nas Al-Quran dan Hadits.
Menurut Al-Syaukani, pendapat pertama adalah yang kuat, karena berdasarkan nas Shahih
(Hadits) yang jelas maknanya; sedangkan pendapat kedua dianggap lemah, karena memakai dalil
qias, padahal ada nash nya, dan sebab hadits yang dipakainya lemah. Demikianpula pendapat ketiga,
juga dipandang lemah, karena bertentangan dengan nash yang telah menetapkan hukuman mati
(hukuman had), bukan hukuman tazir
Mengenai perbuatan lesbian (female homosexual), atau sahaq (bhs. Arab), para ahli fiqh juga
sepakat mengharamkannya, berdasarkan Hadits Nabi riwayat Ahmad, Abu daud, Muslim, dan Al-
Tirmidzi :
Artinya: janganlah pria melihat aurat pria lain dan janganlah wanita melihat aurat wanita lain dan
janganlah bersentuhan pria dengan pria lain dibawah sehelai selimut/kain, dan janganlah pula
wanita bersentuhan dengan wanita lain dibawah sehelai selimut/kain
Menurut Sayid Sabiq, lesbian ini dihukum tazir, suatu hukuman yang macam dan berat
ringannya diserahkan kepada pengadilan. Jadi, hukumannya lebih ringan daripada homoseksual,
karena bahaya/risikonya lebih ringan dibandingkan dengan bahaya homosexual, karena lesbian itu
bersentuhan langsung tanpa memasukan alat kelaminnya; seperti halnya seorang pria bersentuhan
langsung (pacaran) dengan wanita bukan istrinya tanpa memasukan penisnya kedalam vagina.
Perbuatan semacam ini tetap haram, sekalipun bukan zina, tetapi dapat dikenakan hukuman tazir
seperti lesbian diatas.
2. Onani (istimnabil yadi, bhs. Arab)
Onani (istimnabil yadi, bhs. Arab), yakni masturbasi dengan tangan sendiri. Islam
memandangnya sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Namun, para ahli
Hukum Fiqh berbeda pendapat tentang hukumnya.
Pendapat pertama, Ulama Maliki, Syafii dan Zaidi mengharamkan secara Mutlak, berdasarkan Al-
Quran Surat Al-Muminun ayat 5-7:
4g~-.-4 - )__NOg 4pOOgEO
^) ) -O>4N )__4^e u 4`
;eU4` g+EuC gE+) +OOEN
--g`OU4` ^g ^}E _/E4-- 47.-4O4
ElgO Elj^q N- 4p1E^- ^_
5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki(994); Maka
Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah orang-orang yang
melampaui batas.
[994] Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan
budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu,
wanita-wanita yang ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam
peperangan itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan
ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[995] Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya.
Ayat ini dengan jelas memerintahkan kepada kita agar menjaga kehormatan alat kelamin
(penis), kecuali terhadap istri dan budak kita. Yang dimaksud budak disini, ialah budak yang
didapat dalam peperangan untuk membela agama.
Pendapat kedua, Ulama Hanafi secara prinsip mengharamkan onani, tetapi dalam keadaan gawat,
yakni orang yang memuncak nafsu seksnya dan khawatir berbuat zina, maka ia boleh, bahkan wajib
berbuat onani demi menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina yang jauh lebih besar dosa dan
bahayanya daripada onani. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh
Artinya:Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan diantara dua bahaya
Pendapat ketiga, Ulama Hambali mengharamkan onani, kecuali kalau orang takut berbuat zina
(karena terdorong nafsu seksnya yang kuat), atau khawatir terganggu kesehatannya, sedangkan ia
tidak mempunyai istri atau amat (budak wanita), dan ia tidak mampu kawin, maka ia tidak berdosa
berbuat onani.
Menurut pendapat kedua dan ketiga diatas, onani hanya diperbolehkan dalam keadaan
terpaksa. Sudah barang tentu yang diperbolehkan dalam keadaan terpaksa (darurat) itu dibatasi
seminimal mungkin penggunaannya, dalam hal ini perbuatan onani itu
Hal ini sesuai dengan kaidah Fiqh :
Artinya: sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, hanya boleh sekadarnya saja
Kaidah fiqh ini berdasarkan firman Alloh dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat173 :
Pendapat keempat, Ibnu Hazm memandang makruh onani, tidak berdosa, tetapi tidak etis.
Pendapat kelima, Ibnu Abbas, Al-Hasan, dan lain-lain membolehkan onani. Kata Al-Hasan, Orang
Islam dahulu melakukannya dalam waktu peperangan (jauh dari keluarga/istri). Dan kata Mujahid,
seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas, Orang Islam dahulu (sahabat Nabi) mentoleransi para
remaja/pemudanya melakukan onani/masturbasi. Dan hokum mubah berbuat onaniini berlaku baik
untuk pria maupun wanita.
Menurut hemat penulis, lebih cenderung kepada pendapat yang kedua dan ketiga yaitu
membolehkannya dengan dasar keadaan gawat, artinya ketika hawa nafsu seksual memuncak agama
memberikan jalan alternative dengan menyalurkan kedalam bentuk lain seperti onani, karna belum
menikah ataupun belum mempunyai penyaluran seksual yang sah menurut agama. Apalagi kalau
dalam keadaan di medan perang atau masa remaja. Tetapi tidak boleh dijadikan kebiasaan atau
rutinitas sehari-hari, sebab seperti kaidah usul fiqh tadi hanya sekedarnya saja dalam keadaan
tertentu tidak dijadikan aktivitas rutinitas. Sebab kalaupun dilakukan secara rutinitas akibatnya bias
mengganggu kesehatan jasmani dan kesehatan rohani (mental). Juga bias melemahkan potensi
kelaminnya, serta kemampuan ejakulasinya, sehingga menjadi sebab gagalnya sel sperma pria
menerobos masuk untuk bertemu dengan sel telur wanita (ovum)
REFERENSI
+ Al-Quran Al-Karim
+ AlHadits
+ H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,prof. Drs, edisi II Cetakan ke-7, Malang,1994
+ Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Libanon, Darul fiqr, 1981
+ Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri Al-jinai al-Islami Muqaranan bil Qonun al-Wadhi
+ Moelyanto, KUHP, Jakarta, Bina Aksara, 1985, hlm.127