You are on page 1of 13

PERANAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DALAM KESEHATAN REPRODUKSI, KHUSUSNYA KESEHATAN IBU DAN ANAK

Pendahuluan

Sesuai dengan kebijakan pemerintah, masalah kesehatan reproduksi dibagi dalam 5 program, berdasarkan Life Cycle Approach, yaitu : Kesehatan Ibu dan Anak Keluarga Berencana Kesehatan Reproduksi Remaja Penyakit Menular Seksual/HIV/AIDS Kesehatan Reproduksi Usia Lanjut, yang terdiri dari Menopause dan Onkologi Ginekologi.

Keempat program pertama disebut sebagai Program Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE), sedangkan bila ditambah dengan program yang kelima, disebut Program Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK)

Walaupun kelima program tersebut di atas sama pentingnya, dan perlu ditanggulangi, tetapi dalam penyelesaiannya, harus ada perbedaan dalam skala prioritasnya. Yang pertama harus mendapat prioritas adalah masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Mengapa demikian? Karena masalah ini, yang dalam kesehari-hariannya dikenal dengan proses Kehamilan, Persalinan dan Nifas, atau proses reproduksi, akan melahirkan manusia baru yang akan menjadi generasi penerus. Jadi kita harus mengamankan proses ini sedemikian rupa, sehingga pada akhir proses, si anak lahir cukup bulan, sehat, tanpa cacat, dan si ibu tetap sehat, untuk kemudian bersama sama dengan disiplin yang lain, mempersiapkan tumbuh kembang anak tersebut menjadi Sumber Daya Manusia yang tangguh.

Dalam kenyataannya, kondisi KIA kita saat ini masih memprihatinkan, terutama kalau dilihat dari proses dan hasil akhirnya. Keadaan tersebut, antara lain, disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama, karakteristik ibu hamil (bumil) yang tidak mendukung, seperti anemi, gizi buruk, pendidikan rendah dan ekonomis tidak mampu. Hal ini akan berpengaruh terhadap kesehatan dan daya tahan ibu, serta mengganggu perkembangan janin dalam rahim. Di samping itu, masih banyak bumil yang termasuk Golongan Resiko Tinggi (GRT), seperti Kehamilan Remaja yang sering disertai penyulit PreEklamsi/Eklamsi atau Grandemulti yang dapat menyebabkan Kelainan Letak, Plasenta Previa maupun Perdarahan Pasca Salin. Semuanya dapat menimbulkan kerugian bagi ibu/anak, baik dalam bentuk morbiditas, mortalitas, perawatan yang lebih lama dengan biaya yang lebih tinggi.

Kedua, masih banyak proses kehamilan, persalinan dan nifas yang berlangsung secara tidak aman, karena masih banyak bumil yang tidak mempunyai kesempatan dan akses untuk mendapat pelayanan kesehatan reproduksi yang baik pada saat mereka membutuhkannya. Ketidaktahuan dan ketidakmampuan menyebabkan mereka memilih tenaga tidak terampil, dengan segala akibatnya. Andaikata suatu saat mereka dirujuk, seringkali sudah terlambat, bahkan tidak jarang dalam keadaan darurat, sehingga tujuan rujukan untuk menyelematkan ibu dan anak, sering tidak tercapai.

Ketiga, sarana pelayanan kesehatan reproduksi masih kurang, baik dilihat dari segi jumlah, mutu dan penyebarannya. Hal ini diperburuk dengan cara pendekatan yang terlalu bersifat klinik, serta dedikasi dan kinerja petugas yang kurang.

Keempat, masalah demografi. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang besar, lebih kurang 250 juta. Bila perbandingan laki dan perempuan sama banyak, berarti ada 125 juta perempuan, dan andaikata setengahnya merupakan Pasangan Usia Subur (PUS), berarti ada 62.5 juta perempuan yang potensial hamil, dengan segala macam akibatnya.

Keluarga Berencana, termasuk salah satu program kesehatan reproduksi, dan sangat erat kaitannya dengan program KIA.

Tetapi, akhir akhir ini kita dikejutkan dengan berita bahwa program KB kita menurun. Jika isu benar, maka kita akan mempunyai masalah demografi, dalam bentuk laju pertambahan penduduk yang tidak terkendali, Total Fertilty Rate (TFR) meningkat, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan reproduksi. Program KB yang tidak terkendali, akan menyebabkan kita terjebak dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan, yaitu EMPAT TERLALU, yang terdiri dari Terlalu Muda, Terlalu Tua, Terlalu Sering dan Terlalu Banyak. Situasi inilah yang menimbulkan banyak GRT dan Kehamilan yang tidak dinginkan, dengan segala akibat buruknya.

Dikaitkan dengan empat masalah besar di atas, upaya revitalisasi program KB akan berdampak lebih nyata dibandingkan dengan upaya perbaikan sarana dan prasarana pelayanan KIA lainnya. Bila kita dapat memperbaiki program KB, kita akan dapat mengurangi jumlah bumil, serta memperbaiki karakteristiknya dengan menghilangkan atau mengurangi GRT, seperti Kehamilan Remaja, Kehamilan Usia Lanjut, Grandemulti dan Kehamilan yang Terlalu Sering. Di samping kita juga dapat menghindarkan kehamilan yang tidak diinginkan. Dengan demikian, mereka yang hamil, akan memasuki proses reproduksi dalam keadaan fisik dan mental yang optimal, yang berarti pula bahwa kehamilannya itu direncanakan dan dikehendaki, serta didukung oleh keadaan gizi yang cukup. Menghadapi kelompok bumil semacam ini, proses pengamanannya tidak terlalu sulit. Bila pemerintah, melalui Dinas Kesehatan, dapat membantu mereka untuk mendapat akses kepada pelayanan kesehatan reproduksi yang baik secara tepat waktu, hasilnya akan sangat memuaskan, dalam arti angka kematian ibu dan akan turun.

Program Keluarga Berencana Kita sering salah kaprah dalam mengartikan dan menggunakan istilah KB. Sampai sekarang, masih banyak dokter atau bidan yang bertanya kepada pasiennya sebagai berikut : Ibu KBnya apa ?. Jadi istilah KB di sini identik dengan jenis alat kontrasepsi.

Kalau kita bicara tentang program KB, perkembangannya dapat kita bagi dalam tiga periode, yaitu : Periode BKKBN yang kemudian berkembang menjadi Kementerian Negara Kependudukan dan BKKBN, dimulai pada tahun 1967, dengan tujuan mengatur masalah kependudukan (demografi), melalui falsafah Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Indonesia, sebagai negara yang masih berkembang, di samping masalah politik, masih harus menghadapi kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, padahal jumlah penduduk sangat besar dan terus bertambah. Jadi wajar sekali, kalau pada saat itu pemerintah mengambil kebijakan untuk mengurangi/mengatur laju pertumbuhan penduduk, yang sering disebut sebagai Population Control, agar dapat memperbaiki kesejahteraan warganya. Target yang ingin dicapai adalah Zero Growth Population atau Laju Penduduk yang Seimbang. Program ini dianggap berhasil, sehingga bayak dicontoh oleh negara-negara lain. Program ini mulai terganggu, pada tahun 1997. Krisis Ekonomi pada saat itu, diangggap sebagai penyebab utama menurunnya daya beli Pasangan Usia Subur, maupun penyediaan alat dan pelayanan kontrasepsi.

Keadaan ini bertambah buruk setelah berlakukanya Otonomi Daerah. Desentralisasi kekuasaan ini, di beberapa daerah menyebabkan berubahnya struktur organisasi BKKBN. Ada yang dibubarkan atau digabung dengan Dianas Kesehatan. Perbedaan kebijakan Pemerintah Daerah dalam masalah kesehatan, termasuk KB, juga memperburuk keadaan. Isuisu tentang kegagalan KB ini, sudah banyak dibahas. Berbagai pendekatan sudah dilakukan oleh pihak-pihak terkait seperti BKKBN, DepKes, POGI, IDI, IBI dan Mass Media, dalam upaya untuk mengatasi masalah ini. Antara lain, Himpunan Obstetri Ginekologi Sosial Indonesia (HOGSI), akan menyelenggarakan PIT pertamanya pada bulan Februari di Malang dengan Tema :

Revitalisasi Program Keluarga Berencana dalam rangka Akselerasi Penurunan Kematian Ibu dan Anak.

Pasca International Conference on Population Develepment (ICPD), Cairo, 1994.

Salah satu keputusan penting dari ICPD adalah :

Perubahan paradigma dalam masalah kependudukan dan pembangunan, dari pengedalian populasi dan penurunan angka fertilitas/keluarga berencana, menjadi pendekatan yang terfokus kepada kesehatan reproduksi serta hak reproduksi.

Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak sematamata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yng berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.

Dalam definisi tersebut sudah termasuk :

Hak untuk mendapat pelayanan kesehatan reproduksi seperti pelayanan antenatal, persalinan, nifas dan kesehatan remaja.

Hak asasi reproduksi, yaitu semua orang, baik laki-laki maupun perempuan (tanpa memandang kelas sosial, suku, umur, agama), mepunyai hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, jarak antar anak, serta menentukan kelahiran anak dan di mana akan melahirkan.

Periode Kebijakan Pemerintah mengenai kesehatan reproduksi (2000)

Hal-hal yang perlu kita perhatian, antara lain, bahawa :

Kebijakan kita mengacu pada kesepakatan ICPD KB dimasukan dalam pelayanan kesehatan reproduksi karena KB bertujuan untuk menunda, menjarangkan atau membatasi kehamilan, bila jumlah anak dianggap cukup. Kehamilan yang diinginkan pada keadaan dan saat yang tepat, akan lebih menjamin kesehatan dan keselematan ibu dan bayi yang dikandungnya. Perubahan paradigma dari NKKBS menjadi Keluarga Berkualitas tahun 2015. Permasalahan KB adalah : 1/ Tidak ada alat kontrasepsi yang 100% efektif. 2/ Peserta KB hanya 57.4%, kelompok unmet need 9.2% (SDKI 1997) 3/ Keikutsertaan pria dalam KB masih minim. 4/ Masih banyak PUS yang memerlukan informasi tentang KB.

Peranan KB dalam Kesehatan Reproduksi

Dilihat dari segi kesehatan reproduksi, program itu adalah bagian dari pelayanan Obstetri dalam bentuk Pengaturan Kesuburan. Kepada mereka yang terlalu subur, diberi pelayanan kontrasepsi, sedangkan mereka yang tidak atau kurang subur diberi pelayanan kemandulan. Tetapi, pelayanan kemandulan tidak pernah menjadi program nasional. Perhatian dan prioritas diberikan kepada pelayanan kontrasepsi, karena ini sejalan dengan program pengaturan kependudukan..

Dahulu, orang tidak memasukkan KB dalam pelayanan Obstetri, karena Obstetri hanya memberikan pelayanan kepada bumil, dalam bentuk Maternity Care, yang terdiri dari PNC, IPC dan PPC. Tetapi setelah adanya perkembangan Obstetri Sosial, sasarannya tidak hanya sekedar bumil, tetapi semua perempuan yang potensial hamil, yaitu PUS. Mereka yang hamil

diberikan PNC, IPC dan PPC, sedangkan mereka yang tidak hamil diberikan Inteval Care (IC). Tujuan dari Maternity Care yang tiga jenis itu, adalah untuk mengawasi dan mengamankan ibu dan anak, melalui masa kehamilan, persalinan dan nifas, dengan cacat yang seminimal mungkin. Demikian juga dengan IC, pelayanan ini ditujukan kepada ibu dan anak, walaupun anaknya sudah di luar rahim. Pengertian dan Tujuannya adalah sebagai berikut :

IC adalah pelayanan yang diberikan kepada PUS, di antara dua kehamilan, dengan tujuan untuk melestarikan hasil kehamilan yang lalu (anak), dan mempersiapkan kehamilan yang akan datang (ibu).

Ini berarti, setiap anak yang lahir harus bisa survive, untuk kemudian ditumbuh kembangkan menjadi generasi penerus yang tangguh. Sedangkan ibunya, seandainya masih ingin mempunyai anak lagi, harus dipersiapkan agar pada kehamilan berikutnya, tidak dibebani dengan faktor risiko, seperti spacing yang terlalu dekat, anak yang terlalu banyak atau hamil terlalu tua, di samping tentunya keadaan fisik yang optimal. Waktu antara dua kehamilan yang tepat, akan memberikan kesempatan kepada si ibu untuk memulihkan dirinya, serta waktu yang cukup untuk mengasuh anak.

Karena itu, pelayanan yang diberikan pada saat IC harus mendukung kedua tujuan tadi, yaitu GOBIC-FF : G = growth development - anak O = oral rehydration - anak B = breast feeding - anak I = immunization - anak C = contraception - ibu FF= Food Fortification - ibu dan anak.

Pemberian kontrasepsi pada IC bertujuan agar pada kehamilan berikutnya, tidak termasuk GRT, dengan menghilangkan faktor Empat Terlalu tadi. Dalam pengertian ini, maka PUS yang tidak hamil, dibagi dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang belum/tidak boleh hamil dahulu (spacing), dan kedua, mereka yang tidak boleh hamil lagi (limitation). Untuk kepentingan ini, segala jenis kontrasepsi harus tersedia (available) dengan biaya yang terjangkau (affordable), termasuk MKET, MKJP dan Kontap. Pada dasarnya kita tidak boleh terjebak dalam situasi UNMET NEED

Tetapi kita juga harus memberi kemudahan dan kesempatan kepada mereka tidak mempunyai faktor risiko, untuk tetap menggunakan kontrasepsi, selama mereka belum mau hamil. Misalnya P1, umur 24 tahun, anak hidup sudah 5 tahun. Perempuan ini tidak mempunyai faktor risiko, baik dilihat dari umur, paritas maupun spacing. Dalam hal ini, yang dihindarkan bukan GRT tetapi kehamilan yang tidak dikehendaki, suatu keadaan yang sama bahayanya dengan GRT, karena sebagian akan diikuti dengan upaya pengguguran, termasuk unsafe abortion.

Penggunaan kontrasepsi dalam upaya untuk menangguhkan kehamilan, dapat dilakukan di luar IC, yaitu pada perempuan yang dikawinkan pada umur muda, seperti yang masih sering terjadi di negara kita, dengan tujuan menangguhkan kehamilan, dalam upaya menghindarkan Kehamilan Remaja. Sosialisasi upaya ini harus terus menerus dilakukan, mengingat masih banyak daerah yang mengawinkan anak perempuannya tidak lama setelah mendapat haid pertama, sedangkan mereka kurang menyadari bahaya dari Kehamilan Remaja. Budaya ini berkaitan erat dengan masih adanya ketidaksetaraan jender.

Kalau kita kaji ulang uraian di atas, ternyata kebijakan pemerintah tentang kesehatan reproduksi, termasuk KB, sudah sejalan dan mengacu pada ICPD dan sesuai dengan pola pikir ObSos. Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana implementasi hak asasi reproduksi dalam pelayanan obstetri kita.

Adalah wajar kalau tiap perempuan berhak untuk menentukan kapan dia ingin hamil, berapa anak dan kontrasepsi apa yang diinginkannya. Tetapi dalam implementasinya, mungkin ada perbedaan bila hal ini diterapkan di negara Barat yang sekuler, dengan di Indonesia yang masih berlatar belakang budaya agamis. Di negara Barat, hak itu bisa berarti tidak perlu minta pendapat lain, sedangkan di Indonesia, masih dianggap tidak wajar kalau suami tidak tahu bahwa istrinya memakai kontrasepsi, termasuk jenis yang dipakainya.

Pengertian bahwa perempuan itu berhak untuk menentukan kapan dia ingin hamil, untuk Indonesia, bisa diterima, selama perempuan itu belum hamil. Tetapi bila mereka datang dalam keadaan sudah hamil, kemudian menuntut haknya untuk tidak hamil dulu, maka masalahnya jadi lain. Untuk negara Barat tidak jadi masalah karena mereka membebaskan tindakan abortus atas permintaan, sedangkan di kita tidak. Sikap negara seperti Indonesia tidak bisa disalahkan, karena salah satu kesepakatan ICPD (paragraf 8.25) mengatakan bahwa Tidak ada yang mempromosikan aborsi sebagai suatu metoda KB.

Bagaimana cara melalukan revitalisasi program KB ?

Berhasil atau tidaknya suatu program, pada umumnya tergantung kepada empat unsur, yaitu : Pengambil Kebijakan Normatif, seperti Pemerintah Pusat/Daerah dan DPR(D) Pelaksana Kebijakan Operasional, yaitu Departemen Kesehatan dengan jajaran Dinas Kesehatannya, baik Provinsi maupun Kotamadia/Kabupaten, bekerja sama dengan BKKBN Pusat dan Daerah, dengan titik berat pada fungsi manajerial. Pelaksana Operasional Program, yaitu para SpOG, Dokter Umum dan Bidan, dibantu oleh PLKB dan Kader Kesehatan, sebagai tenaga lapangan. Target Program, yaitu PUS dan masyarakat umum.

Bahwa AKI dan AKA masih tinggi di negara kita, adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah. Analisis yang mengatakan bahwa tinggi rendahnya AKI/AKA sangat dipengaruhi oleh keberhasilan program KB, sangat masuk akal, karena itu sukar dibantah. Tetapi isu-isu mengenai kegagalan program KB, walaupun belum didukung oleh data aktual, harus kita tanggapai secara serius, karena akibatnya buruk, berkepanjangan dan proses pemulihannya akan mengambil waktu yang lama.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah penelitian epidemiologi klinik atau operasional yang dilakukan bersama oleh pakar pusat pendidikan kesehatan sebagai ilmuwan, dengan pakar lapangan (Dinas Kesehatan) yang mengetahui dan mempunyai kewenangan lapangan, untuk mencari kebenaran data dan faktor faktor penyebabnya. Apakah buruknya situasi itu disebabkan oleh faktor teknis dilapangan, seperti konseling dan penyuluhan yang tidak adekuat, atau rendahnya kemampuan klinik dan etik, seperti indikasi kontrasepsi yang tidak tepat, tidak adanya pengayoman pasca pelayanan, sehingga mereka yang mengalami efek samping merasa tidak nyaman, dan akhirnya jadi drop out. Kalau bicara soal etika, maksudnya adalah apakah para calon akseptor dan akseptor itu ditangani secara manusiawi atau tidak.

Di samping data teknik klinik kita juga harus mendapat data manajerial untuk melihat efektifitas dan efesiensi kerja petugas, baik di tingkat Desa, Puskesmas maupun RS Daerah.

Kemudian, kita juga harus berani meneliti kemampuan manajerial di tingkat yang lebih tinggi, yaitu Dinas Kesehatan, baik di dalam jajarannya sendiri, maupun dalam hubungan kerja dengan RS Daerah, Puskesmas dll. Dari penelitian semacam ini kita mengharapkan data tentang cukup atau kurangnya sarana dan prasarana KB, serta akses masyarakat terhadap sarana tersebut. Dengan demikian kita bisa mengukur besaran dari UNMET NEED.

Penelitian semacam ini sebaiknya dilakukan secara multisenter, dengan menggunakan Kotamadia atau Kabupaten sebagai lokasi penelitian, karena tiap daerah mempunyai

spesifikasi masing-masing. Waktu penelitian jangan terlalu lama, maksimal tiga bulan. Hasil

peneltian inilah yang dipresentasikan di depan pengambil kebijakan, seperti Bupati, Walikota, Bapeda dan DPRD, sehingga mereka benar-benar dapat menghayati permasalahan kesehatan daerahnya. Dari merekalah diharapkan adanya political will dan commitment yang berkesinambungan dalam bentuk PerDa kesehatan serta alokasi dana yang tercantum dalam APBD.

Dalam pelaksanaan sehari harinya, revitalisasi program KB itu tidak perlu membuat sistem pelayanan baru, tetapi cukup dengan mengaktifkan kembali, model-2 lama yang sudah kita kenal, seperti : Strategi Pendekatan Resiko (SPR)

Dalam hal ini, SPR tidak digunakan untuk mencari bumil yang beresiko, tetapi justru PUS yang tidak hamil yang mempunyai faktor resiko. Mereka itu tidak lain adalah kelompok yang berpotensi untuk masuk EMPAT TERLALU. PUS itu terdiri dari 3 kelompok : 1/ Tidak boleh hamil lagi, 2/ Belum boleh hamil dulu, 3/ Boleh hamil. Upaya KB kita harus ditujukan kepada dua kelompok pertama. Pencarian kelompok ini harus dilakukan di tingkat desa oleh para kader, kemudian dirujuk ke tempat pelayanan KB terdekat, terjangkau dan bermutu. Sistem Rujukan

Agar proses rujukan dapat berjalan lancar, maka jalur rujukan harus diamankan, yang berarti, selalu ada kontak antara perujuk dengan pusat rujukan. Safemotherhood Initiative (SMI)

Model ini disusun berdasarkan pola pikir ObSos, di mana berbagai kegiatan klinik, seperti pelayanan KB dan Maternity Care, diselenggarakan di tempat yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu Puskesmas, yang harus bisa dan mudah diakses pada saat mereka

memerlukannya. Model pelayanan semacam ini akan memberikan hasil yang efektif dan

efisien. Keempat kegiatan pelayanan klinik tersebut disebut sebagai The Four Pillars of Safemotherhood.

Seperti kita ketahui, tidak ada metoda kontrasepsi yang sempurna. Oleh karena itu, kita selalu akan menemukan sekelompok ibu-2 yang gagal dalam upaya program KB-nya. Kegagalan ini bisa karena methode failure atau patient failure. Kehamilan yang terjadi ini merupakan kehamilan yang tidak direncanakan (unplanned pregnancy). Kehamilan semacam ini tidak selalu berarti kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy), karena ada ibu-2 yang dapat menerima kenyataan ini, serta meneruskan kehamilannya tanpa permasalahan. Yang perlu diwaspadai adalah bahwa sebagian dari bumil ini mungkin termasuk GRT.

Tetapi yang paling sering terjadi, kehamilan semacam ini tidak dikehendaki, dan diakhiri dengan pengguguran yang mungkin tidak aman. Karena itu, penting sekali adannya Asuhan Pasca Keguguran.

Ada yang menyarankan agar pilar yang empat itu ditambah dengan dua lagi, yaitu Asuhan Pasca Keguguran dan Asuhan Pasca Persalinan.

Kesimpulan Para petugas kesehatan reproduksi harus benar2 menghayati program KB, bukan hanya dari segi teknik klinik saja, tetapi juga dari segi wawasan, kebijakan dan program. KB adalah bagian dari kesehatan reproduksi, khususnya KIA, dan diberikan dalam bentuk Interval Care (IC). Isu tentang adanya kegagalan dalam program KB, walaupun belum didukung dengan data yang autentik, sebaiknya ditanggapi secara serius, karena dampaknya terhadap kondisi keseharan reroduksi sangat besar, termasuk AKI/AKA.. Upaya revitalisasi program KB harus segera dilakukan.

Rujukan Lokakarya Peranan OBGINSOS dalam MPS : PIT Mataram (DepKes) Simposium Keluarga Berencana : PIT Mataram (BKKBN) ICPD, 1994, Cairo Pertemuan antara BKKBN Pusat dengan Pimpinan Pikiran Rakyat (Juni 2007), Bandung. Sumber : http://www.obginsosrshs.com/2012/03/peranan-program-keluarga-berencana-

dalam-kesehatan-reproduksi-khususnya-kesehatan-ibu-dan-anak/ . 03 Mei 2012, 15:45 WIB.

You might also like