You are on page 1of 16

INTEGRALISTIK No.1/Th.

XXII/2011, Januari-Juni 2011

ORIENTASI POLITIK YANG MEMPENGARUHI PEMILIH PEMULA DALAM MENGGUNAKAN HAK PILIHNYA PADA PEMILIHAN WALIKOTA SEMARANG TAHUN 2010 (Studi Kasus Pemilih Pemula Di Kota Semarang) Setiajid1
Abstrak: Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya. Orientasi politik pemilih pemula ini selalu dinamis dan akan berubah-ubah mengikuti kondisi yang ada dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Termasuk juga yang terjadi dengan orientasi politik pemilih pemula dalam pemilihan Walikota Semarang tahun 2010. Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan orientasi politik pemilih pemula dalam pemilihan walikota semarang tahun 2010, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta faktor dominan yang mempengaruhi pemilih pemula menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan walikota semarang tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung dengan data kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemilih pemula dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Walikota Semarang 2010 adalah faktor pengaruh orang tua, faktor pilihan sendiri, faktor media massa, partai politik dan iklan politik, dan faktor teman sepergaulan. Faktor yang dominan yang mempengaruhi pemilih pemula dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilihan walikota Semarang 2010 adalah faktor pengaruh dari pilihan sendiri (40%) dan orang tua (32%). Orientasi politik pemilih pemula dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Walikota Semarang 2010 baik itu meliputi orientasi kognitif, afektif maupun evaluatif sudah mengarah pada tataran orientasi positif dimana yaitu orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan frekuensi kesadaran yang tinggi, perasaan dan evaluasi positif terhadap obyek politik. Kata Kunci : Orientasi Politik, Partisipasi Politik dan Budaya Politik.

PENDAHULUAN Pemilu adalah bagian penting dalam demokrasi. Pemilu jika diartikan secara sederhana adalah cara individu warga negara melakukan aktivitas politik ataupun kontrak politik dengan orang lain atau partai politik yang diberikan mandat atau wewenang untuk melaksanakan sebagian kekuasaan rakyat/pemilih. Pemilu bukanlah pemberian mandat kekuasaan secara total. Klaim partai politik yang
1

menyatakan bahwa partainya telah memiliki pemilih dengan jumlah total tertentu dalam pemilu adalah tidak tepat. Untuk menjalankan mandat tersebut partai politik atau eksekutif partai politik harus melakukan komunikasi politik dalam menentukan kebijakan-kebijakan untuk kepentingan rakyat dengan persetujuan warga. Pemilihan Walikota Semarang yang rencananya akan dilaksanakan tanggal 18 April 2010 adalah manifestasi dari

Dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewaganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang

18

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

kekuasaan rakyat. Pada pemilihan ini rakyatlah yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan siapa yang akan menjadi walikota. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik jumlah penduduk Jawa Tengah tahun 2000 adalah 31,228,940 jiwa, sedangkan jumlah penduduk Kota Semarang berdasarkan registrasi penduduk tahun 2002, tercatat sebesar 1.350.005 jiwa. Dari jumlah tersebut yang mempunyai hak untuk memeilih adalah sejumlah 1.100.078 pemilih dengan rinciannya 536.086 pemilih laki-laki dan 563.992 pemilih perempuan dengan 20%nya adalah pemilih yang termasuk dalam kategori pemilih pemula. (Suara Merdeka, 9 Pebruari 2010). Sedang berdasarkan studi lima tahunan yang dilaksanakan Tim Litbang Bali (Bali Post, 4 april 2004) didapatkan temuan bahwa sebagian besar (64%) pemilih pemula akan menggunakan haknya dalam pemilihan umum, sebagian lagi 26,4% masih ragu-ragu dan tidak tahu apakah akan menggunakan haknya atau tidak, dan 7,6% secara tegas menyatakan tidak akan menggunakan hak pilihnya. Studi tersebut jika kita kaitkan dengan kondisi Pemilihan Walikota Semarang ini masih sangat relevan. Kecenderungan orientasi politik seperti itu merupakan peringatan bagi partai politik untuk melaksanakan berbagai macam fungsinya yang selama ini diabaikan dan baru dilaksanakan menjelang pemilihan. Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak

pilihnya. Dalam menggunakan hak pilih politiknya itu, mengikuti tipologi model Almond dan Verba (1990: 16 ) maka orientasi politik pemula ini dikategorikan menjadi, (1) orientasi kognitif, yaitu pengetahuan tentang dan kepercayaan pada kandidat, (2) orientasi politik afektif, yaitu perasaan terhadap pemilu, pengaruh teman terhadap penentuan pilihan, dan (3) orientasi politik evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat pemilih pemula terhadap parpol/kandidat pilihannya. Orientasi politik pemilih pemula ini selalu dinamis dan akan berubah-ubah mengikuti kondisi yang ada dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari suatu golongan masyarakat dalam suatu struktur masyarakat. Timbulnya orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilainilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat yang kemudian membentuk sikap dan menjadi pola mereka untuk memandang suatu obyek politik. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku politik yang dilakukan seseorang. Orientasi politik tersebut dapat dipengaruhi oleh orientasi individu dalam memandang obyek-obyek politik. Objek orientasi politik meliputi keterlibatan seseorang terhadap: (1) sistem yaitu sebagai suatu keseluruhan dan termasuk berbagai perasaan tertentu seperti patriotisme dan alienansi, kognisi dan evaluasi suatu bangsa, dan (2) pribadi sebagai aktor

19

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

politik, isi dan kualitas, norma-norma kewajiban politik seseorang. Orientasi politik yang dimiliki seseorang akan mendorong terjadinya partisipasi politik. Termasuk juga yang terjadi dengan orientasi politik pemilih pemula dalam pemilihan Walikota Semarang tahun 2010. Dalam penulisan artikel ini, penulis bermaksud menguraikan faktorfaktor apakah yang mempegaruhi pemilih pemula menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Walikota Semarang tahun 2010?, faktor apakah yang paling dominan dalam mempegaruhi pemilih pemula menggunakan hak pilihnya Pemilihan Walikota Semarang tahun 2010?, dan apakah orientasi politik pemilih pemula dalam menggunakan hak pilihnya Pemilihan Pemilihan Walikota Semarang tahun 2010?. Pemilih Pemula dan Perilaku Politik UU No. 10 tahun 2008 dalam Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta pasal 20 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemilih pemula adalah warga Indonesia yang pada hari pemilihan atau pemungutan suara adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berusia 17 tahun dan atau lebih atau sudah/pernah kawin yang mempunyai hak pilih, dan sebelumnya belum termasuk pemilih karena ketentuan Undang-Undang Pemilu. Berdasarkan pengertian tersebut, maka karakteristik yang dimiliki oleh pemilih pemula dilihat dari karakter yang berbeda dengan pemilih yang sudah terlibat pemilu periode sebelumya, yaitu: (1) belum

pernah memilih atau melakukan penentuan suara di dalam TPS, (2) belum memiliki pengalaman memilih, (3) memiliki antusias yang tinggi, (4) kurang rasional, (5) pemilih muda yang masih penuh gejolak dan semangat, yang apabila tidak dikendalikan akan memiliki efek terhadap konflik-konflik sosial di dalam pemilu, (6) menjadi sasaran peserta pemilu karena jumlahnya yang cukup besar, (7) memiliki rasa ingin tahu, mencoba, dan berpartisispasi dalam pemilu, meskipun kadang dengan bebagai latar belakang yang berbeda. Empat alasan mendasar yang menyebabkan pemilih pemula mempunyai kedudukan dan makna strategis dalam Pemilihan Umum adalah, (1) alasan kuantitatif yaitu bahwa pemilih pemula ini merupakan kelompok pemilih yang mempunyai jumlah secara kuantitatif relatif banyak dari setiap pemilihan umum, (2) pemilih pemula adalah merupakan satu segmen pemilih yang mempunyai pola perilaku sendiri dan sulit untuk diatur atau diprediksi, (3) kekhawatiran bahwa pemilih pemula akan lebih condong menjadi golput dikarenakan kebingungan karena banyaknya pilihan partai politik yang muncul yang akhirnya menjadikan mereka tidak memilih sama sekali, dan (4) masingmasing organisasi sosial politik mengklaim sebagai organisasi yang sangat cocok menjadi penyalur aspirasi bagi pemilih pemula yang akhirnya muncul strategi dari setiap partai politik untuk mempengaruhi pemilih pemula.

20

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

Secara kuantitatif pemilih pemula merupakan peluang politik yang dapat diraih oleh partai politik untuk mendapatkan dukungan. Perkembangan yang meningkat secara jumlah yang terus berubah dari tiap pemilihan umum menunjukkan bahwa pemilih pemula sebagai aset politik yang berharga, sentral dan strategis. Sebagai gambaran Pemilu 1999 prosentase pemilih pemula adalah 14,56 % atau sekeitar 17.500.000 orang, sedangkan pada Pemilu 2009 menjadi 14,59 % atau sebesar 20.674.000. Jumlah tersebut sangatlah berarti bagi partai politik. Marketing politik dan strategi politik mulai gencar dilakukan untuk menanamkan image kepada pemilih pemula yang pada akhirnya akan berpengaruh pada perilaku politik pemilih pemula untuk mendukung partai politik. Pemahaman perilaku politik (political behavior) yaitu perilaku politik dapat dinyatakan sebagai keseluruan tingkah laku aktor poltik dan warga negara yang telah saling memiliki hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antara lembagalembaga pemerintah, dan antara kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik. Sedangkan menurut Almond dan Verba yang dimaksud budaya politik (political culture) merupakan suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sitem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Warga negara senantiasa mengidentifikasi diri mereka dengan

simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki (dalam Budiyanto, 2004: 103). Perilaku politik pada umumnya ditentukan oleh faktor internal dari individu sendiri seperti idealisme, tingkat kecerdasan, kehendak hati dan oleh faktor eksternal (kondisi lingkungan) seperti kehidupan beragama, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang mengelilinginya. Melihat perilaku politik sebagai fungsi dari kondisi sosial dan ekonomi serta kepentingan, maka perilaku politik sebagian diantaranya adalah produk dari perilaku sosial ekonomi dan kepentingan suatu masyarakat atau golongan dalam masyarakat tersebut. Perilaku politik adalah: Pikiran dan tindakan manusia yang berkaitan dengan proses memerintah. Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan-tanggapan internal (pikiran, persepsi, sikap dan keyakinan) dan juga tindakan-tindakan yang nampak (pemungutan suara, gerak protes, lobying, kaukus, kampanye dan demonstrasi). Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik (Surbakti. 1992: 131). Interaksi antar pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi

21

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

terkait dengan hal-hal yang lainnya. Perilaku politik ini yang ditunjukkan oleh individu merupakan hasil pengaruh dari beberapa faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal, yang menyangkut lingkungan alam maupun sosial budaya. Menurut Sastroatmodjo (1995:14-15) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik seseoarang pemilih adalah sebagai berikut. a. Faktor lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media masa. b. Faktor lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor politik seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergailan. Lingkungan sosial politik langsung ini memberikan bentuk-bentuk sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma masyarakat pada aktor politik serta memberikan pengalamanpengalaman hidup. c. Faktor struktur kepribadian yang tercermin dalam sukap individu. Pada faktor ini ada tiga basis fungsional sikap untum memahamninya. Basis pertama adalah yang didasarkan pada kepentingan yaitu penilaian seseorang terhadapsuatu objek didasarkan pada minat dan kebutuhan seseorang terhadap objek tersebut. Basis yang kedua atas dasar penyesuaian diri yaitu penilaian yang dipengaruhi oleh keinginan untuk menjaga

keharmonisan dengan subyek itu. Basis yang ketiga adalah sikap didasarkan pada fungsi ekternalisasi diri dan pertahanan. d. Faktor sosial politik langsung yang berupa situasi yaitu, keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika akan melakukan sesuatu kegiatan. Keempat faktor tersebut saling mempengaruhi perilaku politik aktor politik baik secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku politik seseorang tidak hanya didasarkan pada pertimbangan politik saja tetapi juga dipengaruhi oleh pertimbangan non politik. Hal ini dipertegas lagi oleh Alfian. Menurut Alfian (1990:285) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik seseorang adalah, (1) latar belakang historis , (2) kondisi geografis (geo politik), (3) budaya politik, (4) agama dan keyakinan, dan (5) sistim kultural yang melekat dan berlaku dalam masyarakat. Selain lingkungan sosial politik tersebut, beberapa lingkungan sosial politik yang mempengaruhi perilaku politik adalah keluarga, lingkungan sekolah, agama dan kelompok permainan. Lingkungan sosial politik tersebut saling mempengaruhi dan berhubungan antara satu dengan lainnya dan bukannya sebagai faktor yang berdiri sendiri. Melalui proses, pengalaman, sosialisasi, dan sebagainya terbentuklah sikap dan perilaku politik seseorang. Terkait dengan hal tersebut, Nursal (2006:72) menyimpulkan

22

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih. a. Social Imagery atau Citra Sosial (Pengelompokan Sosial) Social imagery adalah citra kandidat atau partai dalam pikiran pemilih mengenai berada di dalam kelompok sosial mana atau tergolong sebagai apa sebuah partai atau kandidat politik. b. Identifikasi Partai Identifikasi partai yakni proses panjang sosialisasi kemudian membentuk ikatan yang kuat dengan partai politik atau organisasi kemasyarakatan yang lainnya. Dengan identifikasi partai, seolaholah semua pemilih relatif mempunyai pilihan yang tetap. Dari Pemilu ke Pemilu, seseorang selalu memilih partai atau kandidat yang sama. c. Emotional Feeling (Perasaan Emosional) Emotional feeling adalah dimensi emosional yang terpancar dari sebuah kontestan atau kandidat yang ditunjukkan oleh policy politik yang ditawarkan. d. Candidate Personality (Citra Kandidat) Candidat personality mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting yang dianggap sebagai karakter kandidat. Beberapa sifat yang merupakan candidate personality adalah artikulatif, welas asih, stabil, energik, jujur, tegar, dan sebagainya.

e. Issues and Policies (Isu dan Kebijakan Politik) Komponen issues and policies mempresentasikan kebijakan atau program yang di janjikan oleh partai atau kandidat politik jika menang Pemilu. Platform dasar yang sering ditawarkan oleh kontestan Pemilu kepada para pemilih adalah kebijakan ekonomi, kebijakan luar negeri, kebijakan dalam negeri, kebijakan sosial, kebijakan politik dan keamanan, kebijakan hukum, dan karakteristik kepemimpinan. f. Current Events (Peristiwa Mutakhir) Current events mengacu pada himpunan peristiwa, isu, dan kebijakan yang berkembang menjelang dan selama kampanye. Current events meliputi masalah domestik dan masalah luar negeri. Masalah domestik misalnya tingkat inflasi, prediksi ekonomi, gerakan separatis, ancaman keamanan, merajalelanya korupsi, dan sebagainya. Masalah luar negeri misalnya perang antar negaranegara tetangga, invasi ke sebuah negara, dan sebagainya yang mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada para pemilih. g. Personal Events (Peristiwa Personal) Personal events mengacu pada kehidupan pribadi dan peristiwa yang pernah dialami secara pribadi oleh seorang kandidat, misalnya skandal seksual, skandal bisnis, menjadi korban rezim tertentu,

23

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

menjadi tokoh pada perjuangan tertentu, ikut berperang mempertahankan tanah air, dan sebagainya. h. Epistemic Issues (Faktor-faktor Epistemik) Epistemic issues adalah isu-isu pemilihan yang spesifik yang dapat memicu keinginan para pemilih mengenai hal-hal baru. Epistemic issues sangat mungkin muncul di tengah-tengah ketidakpercayaan publik kepada institusi-institusi politik yang menjadi bagian dari sistem yang berjalan. Orientasi Politik, Partisipasi Politik, dan Budaya Politik Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari suatu golongan masyarakat dalam suatu struktur masyarakat. Timbulnya orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilainilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat yang kemudian membentuk sikap dan menjadi pola mereka untuk memandang suatu obyek politik. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku politik yang dilakukan seseorang. Menurut Surbakti (1992: 140) yang dimaksud partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Sesuai dengan istilah partisipasi, maka partisipasi (politik) berarti keikutsertaan warga negara biasa

(yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Rush dan Althoff (2000: 124) menguraikan bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai berikut. (1) menduduki jabatan politik atau administratif, (2) mencari jabatan politik atau administratif, (3) keanggotaan aktif dalam suatu organisasi politik, (4) keanggotaan pasif dalam suatu organisasi politik, (5) keanggotaan aktif dalam suatu organisasi semu politik, (6) keanggotaan pasif dalam suatu organisasi semu politik, (7) partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya, (8) partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam politik, dan (9) pemberian suara. Seluruh tingkatan partisipasi politik ini, secara praktis mungkin sekali memiliki perbedaan dalam setiap sistem politik, terutama bila terdapat perbedaan ideologi dominan dalam sistem politik, antara demokratis dengan non demokratis, karena akan memiliki implikasi yang besar pada pembatasanpembatasan partisipasi politik rakyat atau perluasan-perluasan partisipasi politik. Gabriel A. Almond (1990:14) mengaitkan budaya politik dengan orientasi dan sikap politik seseorang terhadap sistem politik dan bagianbagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita sendiri dalam sistem politik. Budaya politik adalah berisikan sikap, keyakinan, nilai dan ketrampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan polapola khusus yang terdapat pada bagian-

24

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

bagian tertentu pada populasi. Dari pengertian tersebut, substansi dari budaya politik meliputi, pertama, konsep budaya politik lebih mengedepankan berbagai perilaku non aktual daripada perilaku aktual. Kedua, hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik yang artinya bahwa membicarakan budaya politik tidak akan lepas dari membicarakan sistem politik. Ketiga budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang mendeskripsikan masyarakat di suatu negara (Gatara, 2007:237). Pye (dalam Ruslan, 2000:79) berpandangan bahwa budaya politik merupakan sejumlah orientasi, keyakinan, dan perasaan, yang memberikan sistem dan makna bagi proses kegiatan politik, juga memberikan kaidah-kaidah baku yang mengatur tindakan-tindakan individu di dalam sistem politik. Orientasi terhadap tema-tema politik menurutnya menyangkut tiga aspek yakni: (1) aspek kognitif, sekitar akurat atau tidaknya pengetahuan individu tentang sistem politik. Ia mencakup beberapa unsur, seperti kesadaran politik; (2) aspek afektif, yaitu orientasi-orientasi perasaan terhadap politik, atau dengan kata lain, perasaan menerima atau menolak hal-hal yang yang bersifat politik; dan (3) aspek evaluatif, yaitu meliputi apresiasi dan pandangan seputar persoalan-persoalan politik, dan penilaian terhadap sistem politik (trias politika, pressure group, partai-partai politik)

Almond dan Verba (dalam Sastroatmodjo, 1995: 48-50) mengklasifikasikan budaya politik tebagi menjadi tiga bagian yaitu: a. Budaya Politik Parokial. Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil sehingga pelaku-pelaku politik belum memiliki pengkhususan tugas tetapi peran yang satu dilakukan dengan peran yang lain baik di bidang sosial, ekonomi maupun keagamaan. b. Budaya Politik Subjek. Dalam budaya politik subjek masyarakat menyadari adanya otoritas pemerintah, keputusan pejabat bersifat mutlak, tidak dapat diubah, dikoreksi, apalagi ditentang. Bagi mereka yang prinsip adalah mematuhi, menerima, setia, dan loyal kepada pemimpin. c. Budaya Politik Partisipan. Masyarakat dalam budaya politik partisipan memiliki oorientasi politik yang secara eksplisit ditujuka untuk sistem secara keselutuhan, bahkan terhadap struktur, proses politik, dan administratif. Dengan demikian bahwa budaya politik dapatlah dipandang sebagai kondisi yang mewarnai corak kehidupan masyarakat. Budaya politik adalah pola tingkah laku individu yang berkaitan dengan kehidupan yang dihayati oleh para anggota sistem politik.

25

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

HUBUNGAN ORIENTASI POLITIK DALAM MEMPENGARUHI PERILAKU POLITIK DAN PARTISIPASI POLITIK Dalam pendekatan perilaku, terdapat interaksi antara manusia satu dengan lainnya dan akan selalu terkait dengan pengetahuan, sikap dan nilai seseorang yang kemudian memunculkan orientasi sehingga timbul perilaku itu. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku politik yang dilakukan seseorang. Orientasi politik tersebut dapat dipengaruhi oleh orientasi individu dalam memandang obyekobyek politik. Almond dan Verba (1990: 231) mengajukan klasifikasi tipe- tipe orientasi politik, yaitu: 1. Orientasi Kognitif, yakni pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya. 2. Orientasi Afektif, yakni perasaan terhadap sistem politik, peranan, keberadaan aktor dan penampilannya. 3. Orientasi Evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Sementara dalam menjelaskan orientasi seseorang terhadap obyekobyek politik, pada bagian lain Almond mengklasifikasikan sebagai berikut: 1. Orientasi Positif, yaitu orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat

pengetahuan dan frekuensi kesadaran yang tinggi, perasaan dan evaluasi positif terhadap obyek politik. 2. Orientasi Negatif, yaitu orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan frekuensi kesadaran yang rendah, evaluasi dan perasaan negatif yang tinggi terhadap obyek politik. 3. Orientasi Netral, yaitu orientasi yang ditunjukkan oleh frekuensi ketidakpedulian yang tinggi atau memiliki tingkat orientasi yang sangat terbatas bahkan tidak memiliki orientasi sama sekali terhadap obyek-obyek politik. Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari suatu golongan masyarakat dalam suatu struktur masyarakat. Timbulnya orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilainilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat yang kemudian membentuk sikap dan menjadi pola mereka untuk memandang suatu obyek politik. Dalam model pendekatan perilaku tersebut dijelaskan bahwa awal munculnya orientasi politik yang kemudian memunculkan tmbulnya perilaku politik adalah keinginan masyarakat/kelompok dalam mewujudkan kepentingannya dengan menggunakan organisasi-organisasi politik yang oleh penguasa dijadikan sarana untuk memenangkan dukungan sehingga kemudian penguasa dapat mewujudkan tujuan untuk memberikan kemanfaatan bagi kelompok pemilihnya. Kembali ke awal, tujuan

26

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

kemanfaatan bagi kelompok inilah yang menjadi keinginan dan kepentingan rakyat ketika ia mengharapkan organisasi politik yang dipilih mampu mewujudkannya. Dalam konteks hubungan antara pemilih pemula dengan penguasa terdapat suatu hubungan saling mempengaruhi dan saling menguntungkan yang muncul dari keduanya. Orientasi politik secara jelas berpengaruh terhadap munculnya perilaku politik, baik itu oleh penguasa/elit politik maupun masyarakat/non elit/pemilih. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ORIENTASI POLITIK PEMILIH PEMULA Tinggi rendahnya partisipasi warga dalam proses politik suatu negara setidaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah kesadaran politik dan kepercayaan terhadap pemerintah (sistem politik). Kesadaran politik ialah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, dan menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat dia hidup. Menurut Ruslan ( 2000:101-102) partisipasi politik warga negara sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (1) Keyakinan agama yang diimani oleh individu, (2) Jenis kultur politik, atau bentuk nilai dan keyakinan tentang kegiatan politik yang mempengaruhinya, dan (3) Karakter lingkungan politik. Ada juga yang

menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik pemilih pemula antara lain: (1) faktor sosial ekonomi, meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan jumlah pemilih pemula, (2) Faktor politik meliputi, komunikasi politik, kesadaran politik, pengetahuan pemilih tentang proses politik, (3) faktor fisik individual dan lingkungan, dan (4) faktor nilai budaya. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung dengan data kuantitatif. Penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku dari orang-orang yang dapat diamati (Moleong, 1990: 3). Lokasi penelitian ini adalah Kota Semarang. Peneliti memilih Kota Semarang sebagai lokasi penelitian dengan alasan karena di Kota Semarang ini tempat dilaksanakannya Pemilihan Walikota Semarang tahun 2010 dengan jumlah pemilih pemula yang cukup besar dengan kemajemukan/ heterogenitas yang tinggi dan orientasi yang kompleks. Fokus penelitian ini adalah meneliti variabel tentang (1) faktorfaktor yang mempegaruhi pemilih pemula menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Walikota Semarang tahun 2010, (2) faktor-faktor yang dominan dalam mempegaruhi pemilih pemula menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Walikota Semarang tahun 2010, dan (3) Orientasi politik pemilih pemula dalam menggunakan

27

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

hak pilihnya dalam Pemilihan Walikota Semarang tahun 2010. HASIL PENELITIAN Faktor yang mempengaruhi pemilih pemula menggunakan hak pilihnya Berdasarkan pengumpulan data di lapangan hasil wawancara dengan 50 Tabel: No 1 2 3 4

responden yang terdiri dari siswa kelas III dan mahasiswa yang merupakan pemilih pemula, maka peneliti menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilih pemula dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Walikota Semarang 2010 adalah sebagai berikut.

Faktor yang mempengaruhi pemilih pemula dalam menggunakan hak pilihnya Faktor yaang mempengaruhi Banyaknya Prosentase Orang Tua 16 32 Pilihan Sendiri 20 40 Partai Politik, Media Massa dan 9 18 Iklan Politik Teman sepergaulan 5 10 JUMLAH 50 100 hak pilihnya pada pemilihan Walikota Semarang 2010 adalah sebagai berikut. 1. Orientasi Kognitif, yakni pengetahuan tentang dan kepercayaan calon walikota. Pada tataran orientasi kognitif ini diketemukan bahwa. a. Sebelas (11) orang (22%) menyatakan bahwa mereka tidak mengenal pasangan calon walikota dan wakilnya dalam Pemilihan Walikota Semarang 2010 dan visi misinya. Mereka mengetahui nama-nama pasangan calon walikota dan wakilnya adalah saat berada di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada hari H ataupun ketika akan mencontreng pada kartu suara. b. Duapuluh (20) orang (40%) menyatakan bahwa mereka

Dari tabel di atas, maka faktorfaktor dominan yang mempegaruhi pemilih pemula menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Walikota Semarang tahun 2010 adalah faktor pilihan sendiri 40 %, kemudian faktor orang tua 32%. Orientasi Politik Pemilih Pemula Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari suatu golongan masyarakat dalam suatu struktur masyarakat. Timbulnya orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilainilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat yang kemudian membentuk sikap dan menjadi pola mereka untuk memandang suatu obyek politik. Berdasarkan pengumpulan data dilapangan, maka dalam penelitian ini ditemukan bahwa orientasi politik pemilih pemula dalam menggunakan

28

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

mengenal pasangan calon walikota dan wakilnya dalam Pemilihan Walikota Semarang 2010 tetapi tidak mengetahui visi dan misinya. Mereka mengetahui nama-nama pasangan calon walikota dan wakilnya melalui spanduk dan baliho, iklan politik di TV, dan perbincangan dengan teman atau orang tua. c. Sembilabbelas (19) orang (38%) menyatakan bahwa mereka mengenal calon walikota dan wakilnya dalam Pemilihan Walikota Semarang 2010 dan visi-misinya. Mereka mengetahui nama-nama pasangan calon walikota dan wakilnya dan visi misinya dari melalui media massa, kampanye kandidat, iklan politik di partai, dan leaflet Berdasarkan gambaran di atas, orientasi ini sudah mengarah pada orientasi positif dimana tingkat pengetahuan pemilih pemula sudah cukup tinggi terhadap nama dan visi misi kandidat dalam pemilihan Walikota Semarang 2010. 2. Orientasi Afektif, yakni perasaan terhadap pelaksanaan Pemilihan Walikota Semarang 2010. Pada tataran orientasi ini, berdasarkan hasil wawancara diketemukan fakta bahwa dalam pemilih pemula menentukan pilihannya terhadap kandidat dalam pemilihan Walikota Semarang 2010, dipengaruhi oleh faktor-

3.

faktor antara lain, faktor orang tua 32%, faktor pilihan sendiri 40%, Partai Politik, Media Massa dan Iklan Politik 18%, teman sepergaulan 10%. Keadaan ini menunjukkan orientasi positif, yaitu orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat penentuan keputusan memilih yang cukup tinggi 40% berdasarkan pada pilihan dari dalam diri pemilih pemula dalam pemilihan Walikota Semarang 2010. Orientasi Evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat pemilih pemula terhadap calon pasangan Walikota dan Wakil Walikota Semarang 2010. Pada tataran ini berdasatkan pada hasil wawancara diketemukan bahwa pilihan pemilih pemula terhadap calon pasangan Walikota dan Wakil Walikota Semarang 2010 adalah sebagai berikut. a. Delapanbelas (18) orang atau sekitar 36% dari 50 responden menyatakan memilih pasangan H. Mahfudz Ali, SH, Msi.dan Anis Nugroho Widharto, SE. b. Tiga (3) orang atau sekitar 6% dari 50 responden menyatakan memilih pasangan Dra. Hj. Harini Krisniati, MM dan Ari Purbono. c. Dua (2) orang atau sekitar 4% dari 50 responden menyatakan memilih pasangan Bambang Raya Saputra danKristanto. d. Lima (5) orang atau sekitar 10% dari 50 responden menyatakan memilih pasangan Muhammad

29

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

Farchan, ST, MT dan Hj. Dasih Ardiyantari, SE. e. Duapuluh satu (21) orang atau sekitar 42% dari 50 responden menyatakan memilih pasangan Drs. H. Sumarmo HS, M.Si. dan Hendar Prihadi SE, MM. PEMBAHASAN Perilaku politik pada umumnya ditentukan oleh faktor internal dari individu sendiri seperti idealisme, tingkat kecerdasan, kehendak hati dan oleh faktor eksternal (kondisi lingkungan) seperti kehidupan beragama, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang mengelilinginya. perilaku politik merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politotoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat ke arah pencapaian tersebut. Perilaku politik merupakan tindakan yang dilakukan oleh suatu subyek yang dapat berupa pemerintah juga masyarakat. Dalam konteks perilaku politik, hal yang dipikirkan dan diinginkan tersebut berkaitan erat dengan orientasi politik yakni kekuasaan dimana kekuasaan itu diperolehnya dengan suatu proses pemilihan. Walaupun secara teoritis, penjelasan tentang perilaku yang muncul dari perbedaan sikap sudah terlihat jelas, mamun sikap bukan sesuatu yang bisa begitu saja terjadi. Sikap terbentuk dari proses sosialisasi yang panjang, mulai manusia baru lahir sampai dewasa. Melalui proses sosialisasi inilah kemudian berkembang ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan

organisasi kemasyarakatan atau partai politik yang berupa simpati. Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari suatu golongan masyarakat dalam suatu struktur masyarakat. Timbulnya orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilainilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat yang kemudi an membentuk sikap dan menjadi pola mereka untuk memandang suatu obyek politik. Hasil penelitian tentang faktorfaktor yang menentukan atau mempengaruhi partisipasi politik dalam menggunakan hak pilihnya antara lain. Perama, faktor orang tua. Faktor ini mempunyai pengaruh yang cukup besar mempengaruhi pemilih pemula dalam menggunakan hak pilihnya. Berdasarkan wawancara ini diketahui bahwa 16 responden dari 50 responden (32%) menyatakan mereka menggunakan hak pilihnya mengikuti orang tua. Kedua, faktor pilihan sendiri . Faktor ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemilih pemula dalam menggunakan hak pilihnya. Berdasarkan hasil pengumpulan data dilapangan 20 responden dari 50 (40%) responden menyatakan bahwa mereka memilih karena pilihannya sendiri tanpa terpengaruh oleh orang lain. Ketiga, faktor partai politik, iklan politik dan media massa. Faktor ini mempunyai pengaruh yang tidak terlalu besar dalam mempengaruhi pemilih menggunakan haknya, dan Keempat, faktor teman sepergaulan. Faktor ini mempunyai tingkat mempengaruhi pemilih pemula

30

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

dalam menggunakan hak pilihnya paling rendah. Hasil ini kalau kita kaitkan dengan teori- teori yang mempengaruhi partisipasi politik siswa sebagai pemilih pemula adalah tidak bertolak belakang. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik siswa sebagai pemilih pemula adalah sebagai berikut antara lain adalah (1) faktor sosial ekonomi, meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah siswa. Hal ini menjadi salah satu faktor dalam mempengaruhi siswa sebagai pemilih pemula untuk berpartisipasi aktif dalam politik; (2) faktor politik, meliputi: (a) komunikasi politik yaitu suatu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik baik secara aktual maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu kon flik, (b) kesadaran politik, yaitu menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik pengetahuan siswa sebagai pemilih pemula terhadap proses pengambilan keputusan, dan (c) pengetahuan siswa sebagai pemilih pemula terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil; (3) faktor fisik individu dan lingkungan, sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum; dan (4) faktor nilai budaya yang merupakan basis yang membentuk demokrasi, menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.

Dalam pendekatan perilaku, terdapat interaksi antara manusia satu dengan lainnya dan akan selalu terkait dengan pengetahuan, sikap dan nilai seseorang yang kemudian memunculkan orientasi sehingga timbul perilaku itu. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku politik yang dilakukan seseorang. Klasifikasi tipe- tipe orientasi politik, adalah (1) orientasi kognitif, yakni pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya, (2) orientasi afektif, yakni perasaan terhadap sistem politik, peranan, keberadaan aktor dan penampilannya, (3) orientasi evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Orientasi seseorang terhadap obyek-obyek politik, dapat diklasifikasikan sebagai berikut. (1) Orientasi Positif, yaitu orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan frekuensi kesadaran yang tinggi, perasaan dan evaluasi positif terhadap obyek politik, (2) Orientasi Negatif, yaitu orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan frekuensi kesadaran yang rendah, evaluasi dan perasaan negatif yang tinggi terhadap obyek politik, dan (3) Orientasi Netral, yaitu orientasi yang ditunjukkan oleh frekuensi ketidakpedulian yang tinggi

31

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

atau memiliki tingkat orientasi yang sangat terbatas bahkan tidak memiliki orientasi sama sekali terhadap obyekobyek politik. Orientasi politik pemilih pemula berdasarkan penelitian ini menunjukkan ke arah orientasi positif baik dalam orientasi kognitif, afektif maupun evaluatif. Hal ini menujukkan orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan frekuensi kesadaran yang tinggi, perasaan dan evaluasi positif terhadap obyek politik. SIMPULAN Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan dan hasil penelitian pada bab terdahulu, maka peneliti menyimpulkan: (1) faktor-faktor yang mempengaruhi pemilih pemula dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Walikota Semarang 2010 adalah faktor pengaruh orang tua, faktor pilihan sendiri, faktor media massa, partai politik dan iklan politik, dan faktor teman sepergaulan, (2) faktor yang dominan yang mempengaruhi pemilih pemula dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Walikota Semarang 2010 adalah faktor pengaruh dari pilihan sendiri (40%) dan orang tua (32%), dan (3) orientasi politik pemilih pemula dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Walikota Semarang 2010 baik itu meliputi orientasi kognitif, afektif maupun evaluatif sudah mengarah pada tataran orientasi positif dimana orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan frekuensi kesadaran yang tinggi, perasaan dan evaluasi positif terhadap obyek politik.

Berdasarkan hasil simpulan tersebut maka peneliti menyarankan, (1) Untuk meningkatkan orientasi politik pemilih pemula perlu dilakukan pendidikan politik bagi pemilih pemula melalui kegiatan formal, informal maupun non formal, (2) Komisi Pemilihan Umum Kota Semarang dalam melaksanakan sosialisasi pemilihan kepala daerah lebih intensif dalam melakukan sosialisasi dengan mengadakan penyuluhan, simulasi mencontreng, pengenalan profil kandidat terutama pada pemilih pemula. DAFTAR RUJUKAN Almond. A Gabrriel dan Verba. 1990. Budaya Politik Tingkah laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Budiyanto. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara. Jakarta: Erlangga. Budiarjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gatara, Said. 2007. Sosiologi Politik, Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian. Bandung: CV Pustaka Setia. Moleong, Lexy j. 1997. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Roesdakarya. Ruslan, Ustman Abdul Muiz. 2000. Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Intermedia.

32

INTEGRALISTIK No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011

Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-langkah Penelitian. Semarang: IKIPSemarang Press. Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo.

Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press. Suara Merdeka, 9 Pebruari 2010 UU No. 10 tahun 2008 Tentang Pemiliha Umum.

33

You might also like