You are on page 1of 16

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pada awal perkembangan audit, sudah biasa bagi auditor untuk memeriksa seluruh catatan perusahaan yang diaudit. Tetapi seiring dengan

berkembangnya perusahaan, baik dalam ukuran maupun kompleksitas, sangat tidak ekonomis untuk memeriksa seluruh catatan akuntansi dan dokumen pendukungnya. Penting bagi auditor untuk dapat menarik kesimpulan mengenai kewajaran mengenai laporan keuangan perusahaan berdasarkan pemeriksaan atas bagian dari catatan-catatan dan transaksi-transaksi. Akibatnya, auditor memberikan keyakinan yang memadai, bukan absolut. Seperti disebutkan dalam Standar Pekerjaan Lapngan Ketiga, dalam auditnya, auditor tidak mengumpulkan semua bukti untuk merumuskan pendapatnya, melainkan melakukan pengujian terhadap karakteristik sebagian bukti untuk membuat kesimpulan mengenai karakteristik seluruh bukti. Dalam

melakukan pengujian terhadap karakteristik sebagian bukti tersebut auditor dapat menempuh empat cara yaitu : (1).mengambil sampel 100% (2).Melaksanakan judgement sampling (3). Melakukan representative sampling dan (4).melakukan statistical sampling.

1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakangdiatas, maka kami dapat mengambil rumusan masalah : 1. Apa definisi dari audit sampling? 2. Bagaimanakah hubungan antar sampel dengan tujuan audit ?

1.3 Tujuan Penulisan 1. Mengetahui definisi dari audit sampling 2. Mengetahui hubungan antar sampel dengan tujuan audit

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Konsep Utama Audit Sampling Sampling audit adalah penerapan prosedur audit terhadap kurang dari seratus persen unsure dalam suatu saldo akun atau kelompok transaksi dengan tujuan untuk menilai karakteristik saldo akun atau kelompok transaksi

tersebut.(McGraw-Hill:2006). Audit Samplig digunakan oleh auditor terutama menguji evektifitas pengendalian intern (dalam pengujian pengendalian). Sampling yang digunakan terdapat unsur ketidakpastian yang disebut dengan risiko sampling (Sampling Risk). Karena risiko sampling, auditor menghadapi kemungkinan bahwa sampling dapat mengakibatkan salah satu kekeliruan keputusan berikut : 1. Memutuskan bahwa populasi yang diuji tidak dapat diterima, padahal sebenarnya dapat 2. Memutuskan bahwa populasi yang diuji dapat diterima, padahal sebenarnya tidak dapat. Ada beberapajenis risiko sampling yaitu : 1. Risiko keliru menolak yaitu risiko mengambil kesimpulan,berdasarkan hasil sampel, bahwa saldo akun berisi salah saji secara material, padahal kenyataannya saldo akun tidak berisi salah saji secara material. 2. Risiko keliru menerima yaitu risiko mengambil kesimpulan, berdasarkan basil sampel, bahwa saldo akun tidak berisi salah saji secara material, padahal kenyataannya saldo akun telah salah saji secara material. 3. Risiko penentuan tingkat risiko pengendalian yang terlalu rendah (risk of assessing control risk too low), yaitu risiko menentukan tingkat risiko pengendalian, berdasarkan hasil sampel, terlalu rendah dibandingkan dengan efektivitas operasi pengendalian yang sesungguhnya. 4. Risiko penentuan tingkat risiko pengendalian yang terlalu tinggi (risk of assessing control risk too high), yaitu risiko menentukan tingkat risiko

pengendalian, berdasarkan hasil sampel, yang terlalu tinggi dibandingkan dengan efektivitas operasi pengendalian yang sesungguhnya. 2.2 Jenis-Jenis Audit Sampling Dalam melakuan pengujian terhadap karakterisik sebagian bukti tersebut, Auditor dapat menempuh empat cara : A. Mengambil Sampel 100% Auditor dapatmenggunakan 100% sampel dalam auditnya, yaitu dengan memeriksa misalnya semua faktur yang menyangkut jumlah penjualan diatas Rp.100.000,-. Jika auditor memilih anggota sampel berdasarkan unsur penting (jumlah rupiah penjualan diatas Rp.100.000,dianggap penting untuk diperiksa oleh auditor). Hasil pemeriksaan terhadap faktur yang berisi jumlah penjualan diatas Rp.100.000,- tersebut bersifat konklusif, namun hanya untuk faktur penjualan yang diperiksa saja. Untuk faktur penjualan berisi penjualan Rp.100.000,- atau kurang, auditor tidak dapat mengambil kesimpulan mengenai mutunya. B. Melaksanakan judgement sample Dalam judgement sampling auditor memilih anggota sampel berdasarkan pertimbangannya sebagai contoh, auditor memilih bulan Juni sampai dengan September sebagai periode pengujian dengan pertimbangan dalam bulan-bulan tersebut transaksi bersangkutan sengan penjualan kredit sangat tinggi frekuensinya. Auditor memeriksa semua faktur penjualan yang dibuat dalam periode pengujian tersebut untuk mengetahui evektifitas pengendalian intern terhadap transaksi penjualan. C. Melakukan representative sample Representative sample dilakukan dengan memilih anggota sampel secara acak dari seluruh anggota populasi. Dengan cara ini setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Namun karena evaluasi hasil pemeriksaan terhadap sampel tidak dilakukan secara matematis, maka representative sample tidak dapat disebut dengan statistical sampel

D. Melakukan statistical sample Dalam statistical sampel, auditor memilih anggota sampel secara acak dari seluruh anggota populasi, dan menganalisis hasil pemeriksaan terhadap anggota sampel secara matematis. Dengan cara ini, jika dua orang atau lebih auditor menggunakan parameter yang sama dalam pengambilan sampel dengan statistical sampel ini maka semua auditor tersebut akan menghasilkan konklusi yang tidak berbeda secara statistic. Dengan kata lain statistical sample akan menjamin objektivitas hasil evaluasi terhadap objek yang diperiksa. Statistical sampel dibagi menjadi: (1) Attribute sampling Atribute sampling atau disebut juga dengan proportional sampling digunakan terutama untuk menguji efektifitas pengendalian intern (dalam pengujian pengendalian). Ada 3 model Attribute sampling a. Fixed-sample-size attribute sampling Model pengambilan sampel ini adalah model yang paling banyak digunakan dalam audit. Pengambilan sampel dengan model ini ditujukan untuk memperkirakan persentase terjadinya mutu tertentu dalam suatu

populasi.Prosedur pengambilan sampel adalah sebagai berikut : 1. Penentuan attribute yang diperiksa untuk menguji efektivitas pengendalian intern 2. Penentuan populasi yang akan diambil sampelnya 3. Penentuan besarnya sampel 4. Pemilihan anggota sampel dari seluruh populasi 5. Pemeriksaan terhadap attribute yang menunjukkan evektifitas unsur pengendalian intern. 6. Evaluasi hasil pemeriksaan terhadap attribute anggota sampel

b. Stop-or-go sampling Model pengambilan sampel ini sering juga disebut dengan decision attribute sampling. Model ini mencegah auditor dari pengambilan sampel yang terlalu banyak, yaitu dengan cara menghentikan pengujian sedini mungkin. Model ini digunakan jika auditor yakin bahwa kesalahan yang diperkirakan dalam populasi sangat kecil. Prosedur yang ditempuh oleh auditor dalam menggunakan model ini : 1. Tentukan desired upper precision limit dan tingkat keandalan 2. Gunakan table besarnya sampel minimum untuk pengujian pengendalian guna menentukan sampel pertama yang harus diambil 3. Buatlah table stop-or go sampling 4. Evaluasi hasil pemeriksaan sampel c. Discovery sampling Model pengambilan sampel ini cocok digunakan jika tingkat kesalahan yang diperkirakan dalam popolasi sangat rendah (mendekati nol). Dalam model ini auditor mengiginkan kemungkinan tertentu untuk menemukan paling tidak satu kesalahan, jika kenyataanya tingkat kesalahan sesungguhnya lebih besar dari yang diharpkan. Discovery sampling digunakan auditor untuk menemukan kecurangan, pelanggaran yang serius dari unsur

pengendalian intern dan ketidakberesan lain. Prosedur pengambilan sampel pada model ini adalah : 1. Tentukan attribute yang akan diperiksa 2. Tentukan populasi dan besar populasi yang akan diambil sampelnya 3. Tentukan tingkat keandalan

4. Tentukan desired upper precision limit 5. Tentukan besarnya sampel 6. Periksa attribute sample 7. Evaluasi hasil pemeriksaan terhadap karakteristik sampel. (2) Variabel sampling Variabel sampling digunakan terutama untuk menguji nilai rupiah yang tercantum dalam akun (dalam pengujian substantif). 2.3 Unsur Unsur Yang Mempengaruhi Hasil Sampling Ada 3 hal yang mempengaruhi unit sampel, yaitu: a) Unit populasi Unit populasi adalah banyaknya satuan anggota populasi.Misalnya kitamelakukan audit atas mutasi pengeluara kas tahun 2001 yang terdiri atas 3.500 kuitansi dengan nilai Rp 800 juta. b) Standar deviasi Standar deviasi adalah angka yang menunjukkan jarak antara nilai ratarata populasi dengan para anggota secara umum sekaligus menunjukkan tingkat heterogenitas/homogenitas data dalam populasi. c) Tingkat keyakinan atau keandalan Tingkat keyakinan adalah derajat keandalan sampel terhadap populasi yang di wakilinya, di tunjukkan oleh perkiraan persentase banyaknya populasi yang terwakili oleh sampel.

2.4 Tahapan Audit Sampling Tahapan audit ada 6 tahapan yaitu: 1. Menyusun rencana audit 2. Menetapkan jumlah/unit sampel 3. Memilih sampel

4. Menguji sampel 5. Mengestimasi keadaan populasi 6. Membuat simpulan hasil audit 2.5 Sampling Pada Pengujian Pengendalian 1. Metode Sampling Statistik Metode sampling statistik yang lazim di gunakan pada pengujian pengendalian adalah sampling atribut, yaitu metode sampling yang meneliti sifat nol angka dari data, karena pada pungujian pengendalian fokus perhatian auditor adalah pada jejak-jejak pengendalian yang terdapat pada data/dokumen yang di uji seperti paraf, tanda tangan, nomor urut pracetak dll. 2. Metode Sampling Non Statistik Pada sampling non statistik, unit sampel dan avaluasi hasil samplingnya di lakukan berdasarkan judgement, tanpa menggunakan formula/rumus yang baku. 2.6 Sampling Pada Pengujian Substantif 1. Metode Sampling Statistik (sampling variable) Tujuan pengujian substantif adalah menilai dapat di percaya/tidaknya informasi kuantitatif yang di sajikan manajemen.Yang di maksud kuantitatif adalah inforamasi yang disajikan dalam angka-angka. a). Perencanaan audit, pada tahap perencanaan di tetapkan antara lain: Tujuan audit dan populasi yang akan di uji adalah menguji kelayakan informasi kuantitatif, misalnya meneliti kelayakan informasi pengeluaran kas tahun anggaran 2002. Tingkat keandalan dan resiko sampling adalah perkiraan derajat/persentase populasi yang terwakili oleh sampel.Resiko sampling pada pengujian substantif ada dua yaitu, resiko menolak dan resiko menerima.

Menentukan batas tolerasi nilai salah uji (TS) adalah batas nilai kesalahan dalam populasi yang dapat di tolerir oleh auditor.Nilai yang dianggap meterial adalah sesuatu yang di anggap berarti/penting, yang jika tidak/salah di sajikan dalam suatu informasi, akan berpengaruh pada/dapat merubah keputusan orang yang meletakkan kepercayaan pada informasi.

b). Menetapkan jumlah (unit) sample Ada berapa unsur yang mempengaruhi unit sample : Unit populasi adalah banyaknya anggota populasi yang di

teliti.Misalnya dalam hal ini, populasi yang di audit adalah bukti pengeluaran kas tahun anggaran 2001, unit populasi adalah banyaknya kuitansi selama tahun anggaran 2001. Faktor keandalan pada resiko keliru menolak (Z), tingkat keandalan pada resiko keliru menolak =(1- ).Angka 1 berasal dari 100%, sedangkan menunjukkan tingkat resiko keliru menolak. Standar deviasi adalah jarak umum antara nilai rata-rata populasi dengan masing-masing anggotanya, yang sekaligus juga menunjukan tingkat heterogenitas data. Kesalahan sampling (sampling error) adalah selisi antara hasil sampling dengan keadaan yang sebenarnya dari populasi. c). Memilih sample d).Menguji sample e). Mengestimasi keadaan populasi f). Membuat simpulan hasil audit

2. Metode Sampling Non Statistik Sampling non statistik tidak terikat dengan formula khusus dan baku.Semua tahap di lakukan berdasarkan judgement.Sehingga sangat tidak konsisten untuk menghindari inkonsistensi tersebut, para praktisi mengembangkan sampling non statistik dengan menambahkan unsur matematis dalam analisinya.

Salah satu model sampling non statistik formal adalah: Unit samplenya di tetapkan dengan rumus :n=(NB * FK)/TS Hasil sampling berupa proyeksi salah saji : PS=(NB/NS)*SS Simpulan auditnya di dasarkan pada perbandingan TS dan PS

Di mana : NB = nilai buku populasi SS =salah saji yang di temukan dalam sample FK=faktor keandalan, di tetapkan dengan memperhatikan resiko salah saji

(resiko melekat dan resiko pengendalian) dan keyakinan terhadap keandalan prosedur audit lainnya.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Sampling audit adalah penerapan prosedur audit terhadap kurang dari seratus persen unsure dalam suatu saldo akun atau kelompok transaksi dengan tujuan untuk menilai karakteristik saldo akun atau kelompok transaksi tersebut.(McGraw-Hill:2006). terutama menguji Audit Samplig digunakan oleh auditor

evektifitas pengendalian intern (dalam pengujian

pengendalian). Sampling yang digunakan terdapat unsur ketidakpastian yang disebut dengan risiko sampling (Sampling Risk). Seperti disebutkan dalam Standar Pekerjaan Lapngan Ketiga, dalam auditnya, auditor tidak mengumpulkan semua bukti untuk merumuskan pendapatnya, melainkan melakukan pengujian terhadap karakteristik sebagian bukti untuk membuat kesimpulan mengenai karakteristik seluruh bukti. Dalam melakukan

pengujian terhadap karakteristik sebagian bukti tersebut auditor dapat menempuh empat cara yaitu : (1).mengambil sampel 100% (2).Melaksanakan judgement sampling (3). Melakukan representative sampling dan

(4).melakukan statistical sampling.

10

KASUS

SALAH SAJI LAPORAN KEUANGAN PADA KASUS KIMIA FARMA Pada tahun 2002 ditemukan penggelembungan laba bersih pada laporan keuangan PT. Kimia Farma tahun buku 2001, hal tersebut berawal dari temuan akuntan publik Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM) soal ketidakwajaran dalam laporan keuangan kurun semester I tahun 2001. Mark up itu senilai Rp 32,7 Milyar, karena dalam laporan keuangan yang seharusnya laba Rp 99,6 Milyar ditulisnya Rp 132,3 milyar, dengan nilai penjualan bersih Rp 1,42 trilyun. Untuk diketahui bahwa yang mengaudit tahun buku 2001 adalah kantor akuntan HTM itu sendiri, hanya berbeda partner. Pada tahun buku 2001 yang menjadi partner dari KAP HTM adalah Syamsul Arif, sedangkan yang menjadi partner KAP HTM dalam pengauditan semester I tahun buku 2002 adalah Ludovicus Sensi W. Menurut pihak PT. Kimia Farma menduga bahwa ketidakwajaran tersebut mungkin berbeda di pos inventory stock. Pihak Bapepam selaku pengawas pasar modal mengungkapkan tentang kasus PT. Kimia Farma sebagai berikut: Dalam rangka restrukturisasi PT.Kimia Farma Tbk, Ludovicus Sensi W selaku partner dari KAP HTM yang diberikan tugas untuk mengaudit laporan keuangan PT. Kimia Farma untuk masa lima bulan yang berakhir 31 Mei 2002, menemukan dan melaporkan adanya kesalahan dalam penilaian persediaan barang dan jasa dan kesalahan pencatatan penjualan untuk tahun yang berakhir per-31 Desember 2001. Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan dalam harian Kontan yang menyatakan bahwa kementrian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham milik pemerintah di PT. Kimia Farma setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002.Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam diperoleh bukti sebagai berikut: Terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT. Kimia Farma, adapun dampak kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk

11

tahun yang berakhir

31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 milyar, yang

merupakan 2,3% dari penjualan, dan 24,7% dari laba bersih PT. Kimia Farma Tbk. Selain itu kesalahan juga terdapat pada Unit industri bahan baku, kesalahan berupa overstated pada: Unit industri bahan baku, kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 2,7 miliar. Unit logistik sentral, kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar. Unit pedagang besar farmasi (PBF), kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 8,1 miliar. Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.

Kesalahan-kesalahan penyajian tersebut dilakukan oleh direksi periode 1998 juni 2002 dengan cara: Membuat dua daftar harga persediaan yang berbeda masing-masing diterbitkan pada tanggal 1 Februari 2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan master price yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT Kimia Farma. Master price per-3 Februari 2002 merupakan master price yang telah disesuaikan nilainya (mark up) dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai persediaan pada unit distribusi PT Kimia Farma per 31 Desember 2001. Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit PBF dan unit bahan baku. Pencatatan ganda dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan. Berdasarkan uraian tersebut tindakan yang dilakukan oleh PT Kimia Farma terbukti melanggar peraturan Bapepam no. VIII.G.7 tentang pedoman penyajian laporan keuangan. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, terbukti bahwa akuntan yang melakukan audit laporan keuangan per 31 Desember 2001 PT Kimia Farma telah melakukan prosedur audit termasuk prosedur audit sampling yang telah diatur dalam SPAP dan tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan membantu manajemen PT. Kimia Farma dalam penggelembungan keuntungan tersebut. Namun demikian proses audit tersebut tidak berhasil
12

mendeteksi adanya mark up laba yang dilakukan PT. Kimia Farma. Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan pasal 102 UU nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pasal 61 PP no.45 tahun 1995 tentang penyelenggaraan kegiatan bidang pasar modal maka PT. Kimia Farma Tbk, dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar Rp 500 juta. Sesuai pasal 5 huruf N UU no.8 tahun 1995 tentang pasar modal maka: Direksi lama PT. Kimia Farma periode 1998 juni 2002 diwajibkan membayar sejumlah Rp 1 milyar untuk disetor ke kas Negara, karena melakukan kegiatan praktek penggelembungan atas laporan keuangan per-31 Desember 2001. Ludovicus Sensi W rekan KAP HTM selaku auditor PT. Kimia Farma diwajibkan membayar sejumlah Rp 100 juta untuk disetor ke kas Negara, karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT. Kimia Farma tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai SPAP dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan.

Pembahasan Terjadinya penyalahsajian laporan keuangan yang merupakan indikasi dari tindakan tidak sehat yang dilakukan oleh manajemen PT. Kimia Farma, yang ternyata tidak dapat terdeteksi oleh akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan pada periode tersebut. Apakah hal ini merupakan kesalahan dari akuntan publik tersebut ? Padahal akuntan publik tersebut setelah diperiksa ternyata telah

melaksanakan prosedur audit yang sesuai dengan SPAP. Jika melihat dari SA Seksi 230 paragraf 12 yang menyebutkan: (12) Oleh karena pendapat auditor atas laporan keuangan didasarkan pada konsep pemerolehan keyakinan memadai, auditor bukanlah penjamin dan laporannya tidak merupakan suatu jaminan. Oleh karena itu, penemuan kemudian salah saji material, yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang ada dalam laporan keuangan, tidak berarti bahwa dengan sendirinya merupakan bukti (a) kegagalan untuk memperoleh keyakinan memadai, (b) tidak memadainya perencanaan, pelaksanaan, atau

13

pertimbangan, (c) tidak menggunakan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama, atau (d) kegagalan untuk mematuhi standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia. Seorang akuntan publik dalam melaksanakan auditnya pada umumnya berdasarkan kepada sampling, makanya ketika ditemukan di kemudian hari terdapat kesalahan yang tidak terdeteksi merupakan hal yang wajar, karena menurut SA Seksi 110 paragraf 1 menyebutkan: (1) Tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Dengan melakukan sampling, otomatis terdapat suatu risiko untuk tidak terdeteksinya suatu kesalahan dalam laporan keuangan yang diaudit. Kalau begitu mengapa akuntan publik tersebut dikenakan sanksi untuk membayar sebesar 100 juta karena atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT. Kimia Farma tersebut ? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Menurut UU Pasar Modal tahun 1995, begitu menemukan adanya kesalahan, selambat-lambatnya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam. Maka jika akuntan publik yang tidak dapat mendeteksi adanya kesalahan penyajian tersebut ternyata baru menyadari adanya kesalahan yang tak terdeteksi tersebut setelah mengeluarkan opininya tetapi tidak segera melaporkannya dalam periode tiga hari, maka pantaslah akuntan publik tersebut dikenakan sanksi. Berkaitan dengan sikap Skeptisme Profesional seorang auditor, sehingga jika akuntan publik tersebut tidak menerapkan sikap skeptisme profesional dengan seharusnya hingga berakibat memungkinkannya tidak terdeteksinya salah saji dalam laporan keuangan yang material yang pada akhirnya merugikan para investor.

14

Menurut pemaparan kasus diatas, akuntan publik tersebut setelah melalui proses penyelidikan ternyata tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan untuk membantu manajemen PT. Kimia Farma dalam penggelembungan keuntungan tersebut. Maka hal ini berarti tidak adanya masalah yang berkaitan dengan independensi seorang auditor, atau berarti auditor tersebut telah independen dalam melakukan jasa profesionalnya.

15

DAFTAR PUSTAKA

Halim, Abdul MBA. Akuntansi, Edisi 2. Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2001. McGraw-Hill Irwin. Auditing & Assurance Servis, Edisi 4 . Jakarta : Penerbit Salemba Empat,2006 Mulyadi. Auditing. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 2008 Puradireja, Kanaka dan Mulyadi. Auditing, Edisi 5, Cetakan ke 1. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 1997. Http://fakhrurrazypi.wordpress.com/2010/07/16/audit-sampling/

16

You might also like