You are on page 1of 10

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF AGAMA DI INDONESIA

Dalam hal apapun agama mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, penekanan harmonitas kehidupan menjadi bersifat lintas agama. Akan tetapi, dalam hal kerukunan di kehidupan sosial sering kali didasarkan pada ikatan-ikatan primordial dengan saling terlikung dan mengejek. Seperti penguatan identitas politik, etnis, suku dan agama sekalipun (Qodir, 2011: 194). Banyak pengamat yang melihat bahwa Indonesia masih menjadi semacam laboratorium bagi kerukunan umat beragama. Setidaknya penilaian ini diberikan oleh Menteri Luar Negeri Italia, Franco Frattini. Penilaian dari Franco Frattini ini disampaikan oleh Mochsen, saat berlangsung dialog Pengembangan Wawasan Multikultural bagi para tokoh agama, pemuda dan mahasiswa lintas agama di Palu. Diantara usaha untuk mewujudkan kerukunan umat beragama tersebut, tentunya ada upaya untuk saling berdialog antar umat beragama sebagai refleksi perwujudan rasionalitas komunikatif merupakan tindakan komunikasi (action of communication) diantara manusia yang hidup bersama dalam menciptakan masyarakat yang komunikatif dan berkualitas. Meskipun dialog antar umat beragama tidak jarang menemui hambatan dan kesulitan, seperti saling curiga, sifat inklusif, tidak jujur dan tulus. Bahkan, dialog itu mungkin hanya sekedar alat untuk kepentingan lain, contohnya adanya kepentingan politik, dan paling utama biasanya faktor ekonomi. Jurgen Habermas menegaskan bahwa dengan memahami komunikasi sebagai dimensi praksis manusia, teori tindakan komunikasi dapat memberikan landasan bagi terselenggaranya dialog yang mengkhususkan antar umat beragama yang ideal, yang didasarkan pada rasionalitas komunikatif (Habermas, 1979: 207). Studi Perbandingan Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghuchu Rukun berarti cocok, selaras, tidak berselisih dan sehati (Poerwadarminta, 2003: 73). Dalam bahasa Inggris disepadankan dengan harmonious atau concord (M. E. & Shadily, 1994: 468). Sering kali dalam literatur ilmu sosial, kerukunan diartikan dengan istilah integrasi. Lantaran, integrasi bisa diartikan sebagai the creation and maintenance of diversified patterns of interactions among autonomous unit (kerukunan merupakan upaya menciptakan dan memelihara pola-pola interaksi yang beragam diantara unit-unit atau unsur
1

yang otonom) (Yusul, 2003: 73). Kerukunan bisa berfungsi sebagai safety value bagi disintegrasi sosial juga bisa mereduksi konflik. 1. Islam Sejarah umat Islam telah menunjukkan adanya golongan sosial yang disebut dengan dimmi, yakni komunitas penganut agama selain Islam yang dilindungi karena tidak melakukan permusuhan. Eksistensinya tentang keyakinan, peribadatan, pendidikan dan kebudayaan juga harus dihormati (Mufid, 2003: 29). Oleh karena itu, umat Islam tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil kepada siapapun dari kalangan bukan Muslim yang tidak menunjukkan permusuhan, baik atas nama agama atau lainnya, seperti penjajahan, pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk penindasan yang lain. Sebagaimana nilai yang terkandung di atas sebagai perwujudan kerukunan umat beragama, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X di Banyumili Country Club, Kawarasan, Gamping, Sleman, pada hari Sabtu tanggal 17 Maret 2012, melakukan upacara tanam pohon Laku Budaya Taruparwa bersama dengan enam pemuka agama. Penanaman pohon ini menjadi simbol tumbuhnya nilai budaya, kerukunan antar umat, serta gerakan penghijauan di Yogyakarta. Pohon menjadi simbol kerukunan karena mengandung filosofi sebagai sumber kehidupan dan kedamaian. Jika semangat ini bisa disebarkan ke seluruh Indonesia, maka kerukunan akan tercipta (http://nationalgeographic.co.id). Ada tujuh pohon yang akan ditanam yang melambangkan enam agama di Indonesia yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu serta satu pohon untuk aliran kepercayaan (http://nationalgeographic.co.id). Dalam pandangan Nurcholish Madjid Piagam Madinah merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama dan berusaha (Madjid, 1992: 195). Contoh lain dari wujud toleransi Islam terhadap agama lain diperlihatkan oleh Umar ibn al-Khattab. Umar membuat sebuah perjanjian dengan penduduk Yerussalem, setelah kota suci itu ditaklukkan oleh kaum Muslimin. Isi perjanjian itu antara lain berbunyi Umar menjamin keamanan untuk jiwa dan hartanya, dan untuk gereja-gereja dan salib-salibnya, serta yang dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk agamanya secara keseluruhan. Gereja-gerejanya tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya (Madjid, 1992: 193). Nabi Muhammad pernah diminta kaum musyrik Makkah untuk mengadakan kompromi agama. Di Indonesia, dialog antar pemeluk
2

berbagai agama pernah dilaksanakan pada tahun 1969. Dialog itu diprakarsai oleh pemerintah dan dihadiri oleh pemimpin agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Akan tetapi, usaha dialog ini tidak berhasil sebab ada satu hal yang tidak disetujui oleh Protestan dan Katolik, yaitu tentang saran bahwa hendaknya penyiaran agama tidak ditujukan kepada orang-orang yang sudah beragama, sehingga pertemuan atau dialog itu tidak menghasilkan perumusan sebagaimana diharapkan (Ali, 1999: 83). Masa pasca-Soekarno, hubungan antaragama, khususnya IslamKristen dapat dikatakan sebagai salah satu dari masa puncak ketegangan. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya berbagai peristiwa konflik dan ketegangan di beberapa wilayah di Indonesia. Misalnya, peristiwa Meulaboh Aceh Barat, ketika umat Islam melakukan protes atas dibangunnya sebuah gereja di tengah-tengah perkampungan kaum muslimin yang tidak ada pemeluk Kristennya, tetapi golongan Kristen tidak mengacuhkannya, dan terjadilah peristiwa Meulaboh itu (Hasyim, 1979: 291). Juga peristiwa Makassar yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1967, ketika sebuah gereja dilempari batu-batu. Suatu peristiwa yang diawali penghinaan oleh seorang pendeta Kristen Protestan kepada Nabi Muhammad, yang berkata kepada murid-murid yang beragama Islam pada suatu sekolah bahwa Muhammad adalah seorang pezina, seorang yang bodoh dan tolol, dan tidak pandai menulis dan membaca (Hasyim, 1979: 314). Orang Islam sungguh tidak dapat mempercayai (mengimani) ketuhanan Jesus Kristus tetapi mempercayai kenabiannya sebagaimana Nabi Muhammad. Kemudian, orang Islam juga tidak hanya memandang al-Quran tetapi juga Taurat dan Injil sebagai kitab suci (Kitabullah). Yang menjadi persoalan, apakah Bibel yang ada sekarang ini otentik atau tidak, dan apakah seluruhnya merupakan wahyu Tuhan. Hal ini bukan berarti bahwa orang Islam selalu menolak wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, Isa atau rasul-rasul lain, meskipun orang Islam tidak bisa mengakui bahwa Bibel sebagaimana sebelumnya hari ini terdiri dari Kalam Tuhan seluruhnya. Namun demikian, orang Islam percaya bahwa Bibel

memuat/mengandung Kalam Tuhan (Ali, 1970: 55). Djohan membuat garis pembatas yang tegas antara agama dan keberagaman. Kedua hal ini tidak dapat dicampuraduk. Djohan tidak setuju terhadap pandangan keagamaan seseorang, sebagai suatu keberagaman, yang dianggap bersifat absolut. Absolutisme keberagaman adalah tidak benar. Berbagai persoalan yang menimpa umat beragama sering kali disebabkan adanya pandangan bahwa keberagaman seseorang sebagai satu-satunya yang paling

benar,

sementara

keberagaman

orang

lain

salah.

Inilah

yang

kemudian

menumbuhsuburkan adanya misi, dakwah dan semacamnya. Menurut Djohan, Islam secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagaman. Merujuk ayat al-Quran yang menyatakan bahwa tak ada paksaan dalam agama. Juga merujuk ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan mempersilahkan siapa saja yang mau beriman atau kufur tehadap-Nya. Djohan merujuk ayat al-Quran yang menyatakan keharusan membela kebebasan beragama yang disimbolkan dengan sikap mempertahankan rumah-rumah ibadah seperti biara, gereja dan masjid. Menjelaskan tentang titik temu agama-agama, ada empat prinsip yang dikemukakan oleh Nurcholish. Pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua, Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara genealogis paling dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Keempat, umat islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab) (Madjid, 1990: 108-109). Oleh karena itu, umat Islam tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil kepada siapapun dari kalangan bukan Muslim yang tidak menunjukkan permusuhan, baik atas nama agama atau lainnya, seperti penjajahan, pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk penindasan yang lain (Madjid, 1990: 111). 2. Kristen Dalam konteks keimanan agama Kristen, dikenal dua poin penting yang menjadi dasar, yaitu bahwa Tuhan itu baik terhadap semua orang (Mazmur, 145: 9) dan barang siapa tidak mencintai, ia tidak menyembah Allah (1 Yoh 4: 8). Jadi, tindakan dasar bagi setiap teori atau praktek yang mengadakan perbedaan mengenai manusia serta hak-hak yang bersumber pada antar manusia dan manusia. Dalam hal penerapan sehari-hari, gereja mengecam setiap diskriminasi yang ada. Selain itu pula, Gereja juga mengecam adanya penganiayaan yang berlandaskan warna kulit, status sosial dan juga ajaran yang berbeda. Terkait dengan kerukunan dan toleransi antar umat beragama, agama Kristen memiliki beberapa hal penting untuk diwujudkan, yaitu diantara praktek hidup beragama secara benar dan efektif, tercapainya tujuan dari agama, yaitu terwujudnya keselamatan, kebahagiaan di dunia
4

akhirat yang dapat dicapai melalui cinta kasih dan terwujudnya kebutuhan yang hakiki dan cita-cita dari setiap manusia yaitu damai sejahtera lahir dan batin dalam dunia yang harmonis rukun dan damai. Dasar kerukunan dan toleransi antar umat beragama dapat dilihat dari kesamaan kodrat dan martabat kebebasan hak dan kewajiban dari umat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang segambar denganNya. Persaudaraan universal segenap bangsa merupakan satu masyarakat atau keluarga umat manusia. Keselamatan yang universal dari Allah yang terwujud dalam diri Yesus, keselamatan ditujukan bagi semua bangsa dan semua umat dari berbagai agama yang ada. Inti dari kesemalatan yang diberikan Allah adalah ketenteraman lahir dan batin. Cara membangun kerukunan menurut iman Kristen adalah dengan membangkitkan kesadaran dan pengakuan akan masalah dan kebutuhan bersama melalui dialog kemanusiaan dan persaudaraan. Selanjutnya menumbuhkembangkan sikap dasar untuk aliran terbuka, memahami dan mengakui, menghargai dan berdialog satu sama lain. Kemudian berusaha untuk meningkatkan pemahaman akan pihak lain melalui studi bersama saling tukar informasi dan berusaha untuk senantiasa menghindari cara-cara yang dapat merusak kerukunan serta toleransi antar agama. 3. Budha Agama Buddha dalam sejarah perkembangannya telah menunjukkan bahwa agama Buddha pada masa kejayaan Sriwijaya, Majapahit maupun pada masa kerajaan Mataram Kuno telah mampu mempersatukan dan membina kerukunan hidup antar umat beragama, sehingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini menujukkan bahwa dimana telah terbina kerukanan hidup antar umat beragama, maka di sana akan terwujud persatuan dan kesatuan dan selanjutnya apabila persatuan dan kesatuan telah terwujud maka di situ akan dapat dibangun sebuah kerajaan yang jaya (Sarijo, 2012). Pada beberapa tahun yang lalu, sebagai hasil dari dialog intern umat beragama, dialog antar umat beragama dan dialog antar umat beragama dengan pemerintah, akhirnya lahirlah Tri Kerukunan Hidup Beragama, yaitu (1) Kerukunan Intern Umat Beragama; (2) Kerukunan Antar Umat Beragama; dan (3) Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah. Upaya yang dapat ditempuh umat Buddha dalam rangka menuju terciptanya dan melestarikan Tri Kerukunan tersebut adalah dengan meningkatkan Moral, Etika, dan Akhlak bangsa yang disebut SILA. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Moral dalam manifestasinya dapat berupa
5

aturan, prinsip-prinsip, benar dan baik, terpuji dan mulia (Sarijo, 2012). Konsep kerukunan yang diajarkan Sang Buddha bukanlah konsep teoritis namun harus dibarengi dengan praktik nyata. Memahami kerukunan dapat dilihat segi pasif dan aktif. Banyak manfaat baik sebagai hasil dari kerukunan merupakan tujuan dari kerukunan itu sendiri. Dalam hal ini jelaslah tidak ada ada kata tidak untuk hidup rukun bagi umat Buddha. Pada prinsipnya ajaran agama Buddha mengajarkan kepada umat Buddha untuk membebaskan diri dari penderitaan, secara universal agama Buddha mengajarkan agar semua makhluk hidup berbahagia. Konsepsi ini memberikan peluang untuk memungkinkan terciptanya kerukunan intern dan antar umat beragama. Dengan dasar ajaran cinta kasih (metta) dan kasih sayang (karuna) terhadap semua makhluk, agama Buddha memberikan peluang dan wawasan kepada umatnya untuk memiliki wawasan keagamaan yang insklusif mau menerima dan menghargai kehadiran golongan agama lain di luar dirinya (Sarijo, 2012). 4. Hindu Agama Hindu termasuk salah satu agama yang tidak memiliki awal yang dapat ditelusuri dengan mudah. Dalam sejarahnya, agama Hindu berkembang di tanah subur yang akhirnya juga menumbuhkan Jainisme dan Agama Budha. Ketiga agama ini sama-sama memiliki pra anggapan bahwa karma (jejak atau benih mental yang ditinggalkan oleh setiap gagasan atau tindakan), samsara (dunia fenomena, yang terus menerus bergerak atau mengalir dan kelahiran kembali merupakan salah satu seginya), dan jiwa (diri empiris, jiwa, individu) adalah anadi (tanpa awal) sehingga dengan mengikuti jalan rohani tertentu (marga), pembebasan dapat tercapai. Setiap agama merupakan pemahaman yang berbeda mengenai yang ilahi atau yang mutlak, yang akan dialami pada ujung jalan rohani (Coward, 1989: 117). Agama Hindu memaknai pluralitas intra agama ini sebagai keberagaman keyakinan Hindu pada satu realitas ilahi yang dapat menggejala dalam banyak bentuk yang berbeda. Adanya aliran-aliran dalam Agama Hindu dan agama-agama lain merupakan pengejawantahan yang berbeda dari suatu realitas ilahi yang ekstern. Karena semua pengejawantahan kembali mengarah ke sumber yang sama, maka pertentangan diantara tradisi-tradisi tidak seharusnya ada. Agama Hindu juga dituntut untuk bersikap toleran dalam menyikapi dan merangkul semua aliran yang ada didalam Hindu dikarenakan setiap konsepsi adalah benar dalam perspektifnya sendiri, artinya setiap pandangan merupakan satu kesimpulan logis yang didasarkan
6

pada pra anggapan dari perspektifnya sendiri. Pilihan untuk memeluk agama merupakan hak asasi setiap manusia (Coward, 1989: 117-9). Interaksi agama Hindu dengan agama islam telah dimulai dari abad kedelapan Masehi yang ditandai dengan berkunjungnya orang-orang Arab ke India hingga melahirkan komunitas-komunitas Muslim. Penolakan terhadap kasta, penggunaan bahasa sehari-hari, pengampunan dan penolakan terhadap penyembahan berhala merupakan landasan bagi upaya untuk mendekatkan agama Hindu dan agama Islam. Salah satu tokoh yang berperan dalam upaya ini adalah seorang penyair Islam, Kabir (1500) yang banyak mendapatkan pengaruh dari ajaran dan kalangan Hindu. Akan tetapi, Kabir menjauhkan diri dari lambang-lambang kehidupan agama, termasuk kasta, berhala dan praktik ziarah. Menurut Kabir, Allah yang sama dicari dalam semua agama, yang berbeda-beda hanya cara menamakan Dia. Hal ini menyebabkan semua pertengkaran keagamaan, terutama yang terjadi antara kaum Muslim dan Hindu, serta pertengkaran diantara agama lainnya adalah sia-sia (Coward, 1989: 127). 5. Konghuchu Konghucu merupakan agama yang monoteis atau percaya hanya pada satu Tuhan, yaitu Tian dan Tuhan Yang Maha Esa atau Sangdi (Tuhan Yang Maha Kuasa). Dalam konsep Konghucu, Tuhan tidak dapat diperkirakan dan ditetapkan, namun tiada satu wujudpun yang tanpa dia. Atau dengan kata lain bahwa dilihat tiada nampak, didengar tidak terdengar, namun dapat dirasakan oleh mereka yang beriman. Seperti halnya dengan ajaran pokok agama lain, Konghucu juga mengenal hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia lain. Dalam kosa kata agama Konghucu disebut sebagai Zhong Shu, Satya kepada (Firman) Tuhan, dan Tepasalira (tenggang rasa) kepada sesama manusia. Prinsip Tepasalira ini kemudian ditegaskan dalam beberapa sabdanya yang terkenal, Apa yang diri sendiri tiada inginkan, jangan diberikan kepada orang lain dan Bila diri sendiri ingin tegak (maju), berusahalah agar orang lain tegak (maju). Kedua sabda ini dikenal sebagai Golden Rule (Hukum Emas) yang bersifat Yin dan Yang. Dalam ajarannya kemudian, terdapat tiga unsur penting yang dimiliki oleh manusia atau dikenal dengan Tiga Pusaka Kehidupan, Tiga Mutiara Kebajikan atau Tiga Kebajikan Utama, yaitu: Zhi, Ren dan Yong. Ditegaskan bahwa, Yang Zhi tidak dilamun bimbang, yang Ren tidak merasakan susah payah, dan yang Yong tidak dirundung ketakutan. Zhi berarti wisdom dan sekaligus enlightenment
7

(Bijaksana dan Tercerahkan/Pencerahan). Bijaksana dapat diartikan pandai, selalu menggunakan akal budinya, arif, tajam pikiran, mampu mengatasi persoalan dan mampu mengenal orang lain. Pencerahan atau yang Tercerahkan, berarti mampu mengenal dan memahami diri sendiri, termasuk didalamnya mampu mengenal yang hakiki. Ren berarti Cinta Kasih universal, tidak terbatas pada orang tua dan keluarga sedarah belaka, namun juga kepada sahabat, lingkungan terdekat, masyarakat, bangsa, negara, agama dan umat manusia. Ren tidak mengenal segala bentuk diskriminasi atau pertimbangan atas dasar kelompok. Meski berasal dari satu kelompok, bila seseorang bersalah atau melanggar kebajikan, maka bisa saja berpihak kepada orang yang berasal dari kelompok berbeda namun benar-benar berada dalam kebajikan. Ren dalam pengertian agama Konghucu selalu didasari pada sikap ketulusan, berbakti, memberi, bukan meminta atau menuntut balasan dalam bentuk apapun. Namun perlu diingat bahwa Ren tidak berarti mencinta tanpa dasar pertimbangan baik dan buruk. Dalam salah satu sabdanya Kongzi mengatakan bahwa Orang yang berperi-Cintakasih bisa mencintai dan membenci. Mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Balaslah Kebaikan dengan Kebaikan, Balaslah Kejahatan dengan Kelurusan. Di sini berarti siapa pun yang bersalah, harus diluruskan, dihukum secara adil dan diberi pendidikan secara optimal agar dapat kembali ke jalan yang benar. Setelah berada di jalan yang benar, tidak boleh terkena stigma, menilai atas dasar masa lalu seseorang. Yong sering diartikan Berani atau Keberanian. Namun yang dimaksud dengan Yong, bukanlah keberanian dalam k kecil. Yang dimaksud dengan Keberanian di sini adalah berani karena benar, berani atas dasar aturan atau kesusilaan, berani atas dasar rasa tahu malu. Yong juga diartikan sebagai Keberanian untuk melakukan koreksi dan instrospeksi diri. Bila bersalah, harus berani mengakui kesalahan tersebut dan sekaligus berani untuk mengkoreksinya.

KESIMPULAN Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya tidak dipungkiri adanya perbedaan terutama perbedaan keyakinan dalam multi religius ini, bisa saja menjadi penyebab perpecahan, kekacauan, bahkan konflik. Akan tetapi lain halnya jika perbedaan menjadi nafas baru dalam kerukunan umat beragama ketika perbedaan menjadi penyebab dan penumbuh untuk rasa membuka diri dan belajar dari perbedaan. Singkatnya, junjung tinggi agama sendiri tetapi hormatilah agama orang lain. Hal ini pasti makan membantu terpeliharanya suasana damai dan rukun dalam masyarakat yang multi religius ini, sehingga mendukung hubungan yang lancar dan ramah dalam suatu masyarakat yang menganut berbagai agama, masyarakat multi religius. Dalam mencapai kehidupan beragama yang dinamis itu, tidak bisa tidak lain, para penganut agama harus menapaki jalan menuju kesatuan dengan menghormati perbedaan-perbedaan agama, keterbukaan terhadap agama yang lain untuk bisa saling mengenal dan saling memahami timbal balik, seperti melalui proses dialog untuk menuju kerukunan antar agama. Dialog yang bertujuan untuk kerukunan antar umat beragama merupakan titik pertemuan para penganut berbagai agama. Karena itu, tidak terelakkan jika fakta pluralitas agama akan berujung pada dialog antar agama. Dialog antar agama sebagai bentuk komunikasi bukan hanya terbatas kepada diskusi rasional tentang agama termasuk diskusi tentang etika atau teologi agama-agama, namun dialog antara agama merupakan suatu bentuk komunikasi manusia. Dialog antar agama yang berfungsi menciptakan kerukunan hidup beragama, bukan malah menciptakan kerukunan yang semu, kerukunan yang hanya terbatas pada dialog yang seremonial formalistik. Sebagai akibatnya komunikasi diantara kehidupan manusia yang berbeda agama tersebur tetap tidak tercipta. Masing-masing komunitas agama tetap tinggal pada prasangka dan klaim komunitasnya masing-masing (eksklusif), yang besar kemungkinan menimbulkan problem besar dalam kehidupan sosial, mengandung potensi konflik. Pola tindakan komunikasi Habermas, dengan rasionalitas komunikatifnya bisa mencairkan kebekuan yang terjadi didalam dialog antar agama yang demikian itu. Berbagai aspek dan gagasan yang terkandung dalam teori tindakan komunikatif Habermas, diharapkan dapat menjadi kerangka atau titik pihak bagi terselenggaranya dialog antar agama yang komunikatif.

DAFTAR PUSTAKA Ali, Mursyid (ed.), 1999. Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, Jakarta: Balitbang Depag RI. Coward, Harold. 1989. Pluralisme, Tantangan bagi Agama-agama. Kanisius. Habermas, Jrgen. 1979. Communication and the Evolution of Society, trans. Thomas McCarty. London: Heinemann. Hasyim, Umar. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, Bina Ilmu, Surabaya. Madjid, Nurcholish. 1993. Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang, dalam Jurnal Ulumul Quran, No.1 Vol. IV. Mufid, Ahmad Syafii. 2003. Kerukunan Hidup Antarumat Bergama Persperktif Sufisme, dalam Jurnal Multikultural dan Multireligius. Volume II. Nomor 5. Muhlisin. 2012. Selintas Mengenal Agama Konghucu. [online] dalam http://icrponline.org/022012/post-1535.html, diakses pada tanggal 28 April 2012. Poerwadarminta, W.J.S & Wolters, J.B., 2003. Logat Kecil Bahasa Indonesia, dalam Jurnal Multikultural dan Multireligius. Volume II. Nomor 6. Pramesti, Olivia Lewi. Pohon Kerukunan Antar Umat Ditanam di Yogyakarta. [online] dalam http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/2932/pohon-kerukunan-antar-umatditanam-di-yogyakarta, diakses pada tanggal 02 Mei 2012. Qodir, Zuly. 2011. Sosiologi Agama: Esai-Esai Agama di Ruang Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sarijo. 2012. Kerukunan Umat Beragama dalam Agama Buddha, dalam Acara Sosialisasi PBM Forum Kerukunan Umat Beragama di Lampung Timur. Shadily, John M. Echols & Hasan. 1994. Kamus Indonesia Inggris, Gramedia, Jakarta. Tilaar, Johni. n.d. Memahami Kerukunan Umat Beragama dari Konteks Iman Kristen. [online] dalam http://sulut.kemenag.go.id/file/dokumen/PakJohn.pdf, diakses pada tanggal 28 April 2012. Yusul, Choirul Fuad. 2003. Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal di Balikpapan, dalam Jurnal Multikultural dan Multireligius. Volume II. Nomor 6.

10

You might also like