You are on page 1of 5

Karakter Bangsa Indonesia

Oleh : Muhammad Fajar Siddiq (1106016001) Beberapa hari yang lalu, terjadi sebuah tragedi yang memilukan, di mana para mahasiswa bentrok dengan aparat keamanan di saat rapat penentuan kenaikan harga BBM. Kejadian tersebut seakan mengingatkan kita betapa mudahnya pergesekan memicu api emosi, yang berujung pada tindakan anarkisme. Saat ini, anarkisme dianggap lazim, ketika aspirasi yang ingin disampaikan tidak digubris sama sekali. Anarkisme dianggap lazim, ketika apa yang diinginkan tidak tercapai. Padahal, anarkisme bukan budaya kita, bangsa Indonesia. Bangsa ini bukan bangsa yang suka kekerasan, karena justru sedari dulu bangsa ini terkenal karena sifatnya yang ramah tamah. Namun, apa gerangan yang terjadi sekarang? Soedarsono (2008) mengatakan bahwa karakter bangsa Indonesia yang selama ini kita kenal ramah tamah, gotong royong, sopan santun, sekarang berubah dengan penampilan yang nyaris disamakan dengan penampilan yang arogan, cenderung menampilkan kekerasan yang berujung anarkis.1 Perkataaan Soedarsono patut dicermati. Secara eksplisit beliau mengatakan bahwa telah terjadi perubahan karakter bangsa Indonesia sehingga kecenderungan untuk berbuat anarkis muncul. Sebenarnya, apa itu karakter? Secara umum, kita sering mengasosiasikan istilah karakter dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Kita juga bisa memahami karakter dari sudut pandang behavorial yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir. Di sini, istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianngap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seeorang sejak kecil.2 Jika kita mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; watak. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karakter adalah keunikan; pembeda antara satu dengan yang lain. Karakter dapat dilihat dari tindakan. Karakter ini juga yang menjadi pembeda bangsa Indonesia di tengah-tengah pergaulan global. Dan Indonesia dikenal sebagai bangsa yang berkarakter kuat, menjunjung tinggi sopan santun, dan gotong royong. Dengan karakternya yang kuat, bangsa ini mampu melepaskan diri dari penjajahan walaupun bersenjatakan bambu runcing. Gotong royong dahulu telah mendarah daging, sehingga tercetus dalam Pancasila sila ke-3 (Persatuan Indonesia). Dan sopan santun, rasanya orang asing juga sudah lama memberi tag ini kepada bangsa kita. Lantas, apakah ketiga karakter utama bangsa ini masih ada? Banyak yang meragukannya.
1 2

Soedarsono, Soemarno. 2008. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Jakarta : Elex Media Komputindo (halaman 7) Sjarkawi.2006. Pembentukan Kepribadian Anak. Peran Moral, Intelektual, Emosional dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Jakarta, PT Bumi Aksara (halaman 11)

2:
Sebenarnya, dalam pendidikan karakter, ada 18 karakter bangsa Indonesia yang menjadi target, yaitu : 1. Religius : sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur : Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3. Toleransi : Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin : Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan 5. Kerja Keras : Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya 6. Kreatif : Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7. Mandiri : Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas 8. Demokratis : Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain 9. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya 11. Cinta Tanah Air : Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat/Komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 14. Cinta Damai : Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi 17. Peduli Sosial : Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung-jawab : Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

3:
Karakter-karakter di atas disinyalir juga telah hilang. Untuk contoh sederhana, berapa banyak orang yang membuang sampah sembarangan? Apakah kita menundukkan badan dan berkata Permisi saat melintas di depan orang yang lebih tua? Apakah kita peduli jika ada tindak kejahatan di sekitar kita? Atau, apakah kita gemar bekerja keras atau mencari enaknya saja? Kita tentu masih ingat bagaimana para pejuang dan pahlawan kita begitu gagah memerdekakan Indonesia. Masih dalam ingatan juga betapa dunia dahulunya menghormati bangsa Indonesia yang sempat menjadi pelopor Konferensi Asia Afrika, memberi inspirasi bagi negaranegara lain untuk merdeka. Namun, yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Bangsa ini dijuluki bangsa kuli, bangsa paling korup di dunia, tidak disiplin, munafik, ceroboh dan suka melemparkan tanggung jawab. Negeri kita juga mendapat julukan tak layak, yaitu surga koruptor dan sarangnya teroris. Sungguh berbalik 180 derajat, bukan? Bahkan, bangsa ini juga layak diberi sebutan mudah diadu domba dan mudah emosi. Hal ini terlihat dari berbagai anarkisme yang terjadi di Indonesia. Anarkisme yang sangat jauh dari karakter sopan santun yang dulunya kita anut. Lantas, mengapa itu terjadi? Adalah faktor pijakan berpikir kita yang terganggu. Seperti kata proklamator dan presiden pertama kita, JASMERAH, yang artinya Jangan sekalipun meninggalkan sejarah. Hilangnya karakter luhur bangsa ini bermula ketika kita tidak lagi peduli dengan sejarah dan asal muasal bangsa ini. Kristalisasi nilai luhur nenek moyang bangsa ini dilupakan begitu saja. Padahal, masa lalu adalah pijakan terbaik bangsa kita. Sebagai contoh, kemelaratan yang terjadi sekarang tidak jauh berbeda dengan saat penjajahan. Saat dahulu, para penjajah masuk ke Indonesia dengan damai, lalu perlahan dengan segala tipu daya, adu domba, dan penipuan, menguasai Indonesia. Hal itu yang sedang terjadi sekarang. Banyaknya pihak asing yang mengambil alih sektor-sektor ekonomi yang penting menjadi awal penjajahan versi kedua. Dan karena kita tidak paham sejarah, kita tidak sadar dengan intrik yang dilakukan pihak asing. Istilah pembantu di rumah sendiri pun kian melekat. Sampai ketika hutang negara telah menggunung, kita baru sadar. Dengan melupakan sejarah, kita tidak akan tahu nilai budi luhur pendahulu kita, generasi bangsa Indonesia sebelum kita. Kita malah lebih nyaman mencontoh nilai-nilai negara Barat, dan parahnya menolak sejarah sendiri karena dianggap usang dan tidak relevan di masa kini. Bukannya nilai-nilai yang berlaku di Barat tidak baik, namun lebih ke tidak cocok jika diterapkan di Indonesia. Namun, tetap kita paksakan juga, hingga akhirnya kita serasa bukan bangsa Indonesia. Analoginya seperti menyuruh hakim untuk membedah pasien. Mengapa tidak relevan? Gampang : individualisme Barat melawan gotong royong, kekeluargaan Indonesia. Bukankah keduanya sangat jauh berbeda? Tidak ada yang buruk di antara keduanya, yang buruk adalah jika kita memaksakan memakai paham yang berbeda dengan paham yang sudah dianut. Individualisme mengutamakan diri sendiri : di sini kata aku begitu populer dan kuat. Berbeda dengan gotong royong atau kekeluargaan Indonesia, di mana kata kami begitu menonjol setiap saat. Begitu kita abaikan kata kami, dan mengganti menjadi aku, maka di saat itulah musibah bagi bangsa ini menunggu. Korupsi adalah contoh nyata. Semua orang berlomba-lomba mengejar kursi di Senayan bukan demi memberi pelayanan terbaik untuk rakyat, namun untuk meraih rupiah

4:
yang lebih banyak. Penguasa juga tidak lagi peduli dengan rakyat; berbagai kebijakan yang tidak prorakyat, semisal melakukan privatisasi di sana sini (yang menjadi pintu gerbang pihak asing), menjadi hal yang biasa. Dana untuk membantu rakyat disikat, bahkan demi menyelamatkan diri dari hukuman yang menanti, hukum dapat dibeli dengan mudah. Jika sudah begini, maka layaklah sebutan dan cemoohan tadi untuk bangsa kita. Bahkan, bahayanya dapat mengancam keutuhan NKRI dengan berbagai tindak anarkisme. Analoginya seperti ini. Ada 2 kelompok mahasiswa yang memutuskan untuk merantau dan memilih rumah kontrakan sebagai tempat tinggal. Masing-masing kelompok tinggal di rumah yang berbeda. Kelompok pertama hidup dengan damai. Jika ada temannya yang kesulitan, mereka langsung tanggap membantu. Jika ada yang sakit, tanpa diminta mereka akan melayaninya. Toleransi juga dijaga. Jika sudah larut malam, tidak ada satu pun yang menyalakan suara musik dengan kencang. Dalam tugas membersihkan rumah juga mereka telah memiliki jadwal dan menaatinya. Masalah harta juga mereka benar-benar menghormati. Walaupun dompet temannya tergeletak di dapur, mereka tidak ada niatan mengambil isinya, malah mengembalikan ke pemiliknya. Pada akhirnya, mereka merasa sudah seperti keluarga sendiri. Kelompok kedua lain cerita. Dipenuhi rasa apatis, ketika ada temannya yang meminta tolong, mereka enggan menolong. Misalnya, ketika si A meminjam laptop si B untuk membuat makalah, si B berdalih sedang mengerjakan tugas, padahal sedang bermain game. Jika ada yang sakit, mereka seakan tutup mata, dan berkata , Kenapa lo? Sakit ya? Makanya jangan kebanyakan aktivitas, lalu berlalu bagai angin. Tidak ada toleransi, selama dirinya merasa senang, maka dia akan mempertahankan kondisi tersebut tak peduli walau mengganggu hak orang lain. Dan tidak ada satu pun yang peduli dengan kebersihan rumah. Cukup kamarnya saja yang bersih, yang lainnya tidak dipikirkan. Dan begitu ada dompet yang tercecer, dapat dipastikan isinya akan berkurang, dan (mungkin) dompetnya dibuang ke tong sampah. Pada akhirnya, mereka hidup dengan penuh kecurigaan, kebencian, dan memutuskan untuk berpisah dan mencari tempat tinggal sendiri-sendiri. Dari ilustrasi dua kelompok di atas, mana yang kita mau? Jika kita menelaah sejarah, dan menerapkan karakter bangsa ini, NKRI akan seperti kelompok pertama. Dan jika hal sebaliknya terjadi, tetap bersikeras dengan ke-AKU-an, maka NKRI akan seperti kelompok kedua. Kembali ke pertanyaan di awal mengenai anarkisme. Saya beropini, anarkisme terjadi karena ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah dan wakil rakyat yang cenderung menjunjung tinggi ke-AKU-an. Massa berdemonstrasi. Ada yang niatnya baik (tidak berencana anarkis) dan ada yang disusupi kepentingan tersendiri (sengaja akan anarkis untuk menarik perhatian, biasa untuk pengalihan isu). Bagian pertama datang, menyampaikan suaranya, dan ingin audiensi langsung. Jika pemerintahan yang dituju mau mendengar dan berjanji akan memelajari masukan massa, aksi akan selesai dengan damai. Jika tidak, massa dapat dipisah menjadi dua bagian lagi. Bagian pertama memilih untuk pulang, dan akan datang lagi secepatnya. Bagian kedua, mereka yang merasa dilecehkan karena tidak digubris, akan berubah menjadi pelaku anarkisme. Melakukan pengrusakan. Awalnya membela rakyat, malah berakhir merusak fasilitas rakyat. Nah, kelompok yang memang berniat rusuh akan anarkis apa pun tanggapan pemerintah yang mereka tuju. Biasanya mereka melihat suatu masalah harus diselesaikan dengan kekerasan,

5:
bukannya secara kekeluargaan seperti yang kita junjung. Akibatnya, kalah jadi abu, menang jadi debu. Jadi, diperlukan adanya keinginan untuk kembali ke karakter asli kita, karakter bangsa Indonesia. Mengganti rasa aku menjadi kami, sehingga tidak terjadi perselisihan dan rasa peduli sesama akan muncul, merangkul teman sebangsa bukan bangsa asing, dan memusuhi bangsa asing yang telah merusak negeri ini, bukan justru melemahkan teman yang berusaha menegakkan keadilan di negeri ini. Jika hal tersebut dapat dicapai, bangsa ini akan menjadi tuan rumah di rumah sendiri. Tidak akan ada korupsi karena enggan mengambil hak orang banyak, enggan anarkis karena kekeluargaan adalah cara terbaik. Lagi pula, kita keluarga, bukan? Keluarga NKRI.

DAFTAR REFERENSI
Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta : Grasindo Djatmiko, Harmanto Edy. 2006. Revolusi karakter bangsa menurut pemikiran M. Soeparno. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Soedarsono, Soemarno. 2008. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Komputindo Munim. (tanpa tahun). Hilangnya Karakter Bangsa. Nadhlatul Ulama Jakarta : Elex Media

INTERNET
Larasati, Wahyuti. Pendidikan Karakter Bangsa. Diakses di : http://wahyuti4tklarasati.blogspot.com/2011/02/pendidikan-karakter-bangsa.html (24 April 2012, 10.15 WIB) Herlambang, Harwanto. Anarkisme Gerakan Moral : Menguak Fakta Tanpa Klaim Kebenaran. Diakses di : http://politik.kompasiana.com/2012/04/23/anarkisme-gerakan-moral-menguak-fakta-tanpa-klaimkebenaran/ (24 April 2012, 08.03 WIB) Siringo, Suryono Briando. Ke Mana Perginya Karakter Bangsa Indonesia yang Dulunya Kuat Itu? Diakses di : http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/04/ke-mana-perginya-karakter-bangsa-indonesia-yangdulunya-kuat-itu/ (24 April 2012, 10.30 WIB)

You might also like