You are on page 1of 10

Perpustakaan dan Upaya Penguatan Modal Sosial Masyarakat Oleh: Ari Zuntriana Perpustakaan Pusat UIN Maulana Malik

Ibrahim Malang E-mail: arina232@yahoo.com

Abstrak Perpustakaan sesungguhnya memiliki peran penting dalam membangun modal sosial masyarakat. Format perpustakaan yang kini telah berevolusi menjadi beragam bentuk dan mengambil tempat mulai dari pusat perbelanjaan hingga ke pelosok desa, memberi kesempatan yang lebih luas bagi perpustakaan untuk mengembangkan potensi modal sosial masyarakat. Konsep perpustakaan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat (community meeting place) dan pemberi solusi atas persoalan masyarakat (communitys problem solver) merupakan pra syarat yang harus ada untuk mencapai wujud ideal perpustakaan sebagai alat penguat modal sosial masyarakat. Kata kunci: modal sosial, masyarakat, perpustakaan

Pendahuluan Banyak pihak menengarai bahwa modal sosial yang dimiliki masyarakat Indonesia sekarang ini sedang berada dalam titik nadir. Salah satu gejala yang paling nyata adalah meluasnya ketidakpercayaan (distrust) terhadap pemerintah dan sistem birokrasi yang ada. Jika keadaan ini tidak segera diatasi, maka dikhawatirkan masyarakat kita akan jatuh menjadi low trust society, masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan rendah, baik dengan sesamanya (horizontal) maupun dengan pemerintah (vertikal). Sementara modal sosial sendiri sangat diperlukan sebagai energi kolektif masyarakat (atau bangsa) guna mengatasi problem bersama dan merupakan sumber motivasi guna mencapai kemajuan ekonomi dan perciptaan tatanan ekonomi yang unggul (Supriono, Flassy, dan Rais, 2010).

Jurnal FKP2TN, Vol. 1, No. 1, Desember 2011

Modal sosial sendiri dimaknai sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja sama demi mencapai tujuan bersama dalam suatu kelompok dan organisasi (Coleman, 2009). Hubungan kerjasama tersebut dilandasi oleh kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama secara efisien dan efektif (Cohen dan Prusak L.: 2001). Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai nilai-nilai kolektif yang dimiliki semua jaringan sosial dan kecenderungan dari dalam jaringan yang mendorong para anggotanya untuk saling melakukan sesuatu untuk satu sama lain (Putnam, 2000). Masyarakat dengan kapasitas modal sosial yang baik bisa dilihat dari produk modal sosial yang mereka miliki, antara lain keberadaan trust, jejaring, dan masyarakat madani (Fukuyama, 2001). Salah satu indikator paling mudah untuk melihat kuat lemahnya modal sosial masyarakat adalah dengan mengamati tingkat kapabilitas trust dan kelebaran spektrumnya. Masyarakat yang hanya bisa mempercayai orang-orang dalam lingkup kerabatnya dapat disebut sebagai masyarakat yang miskin modal sosial. Sebaliknya, masyarakat yang kaya akan jaringan asosiasi sukarela dan solidaritas komunal yang kuat adalah pemilik modal sosial yang solid. Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang dikategorikan memiliki high trust (Fukuyama, 1995). Ada dua pandangan berbeda mengenai proses pembentukan modal sosial. Kalangan Tocquevillean/Putnamian mengatakan bahwa modal sosial lahir dari hubungan kerjasama yang bersifat informal dalam masyarakat (sering disebut sebagai hipotesis kontak). Sedangkan kalangan institusionalis meyakini bahwa institusi-institusi dan kebijakan publik dapat menciptakan modal sosial (Vrheim, Steinmo, dan Ide: 2008). Ide dasar dari hipotesis kontak adalah bahwa interaksi antar manusia akan menghasilkan generalized trust, sebuah kepercayaan yang bersifat universal dan melampaui batasan kekeluargaan dan pertemanan serta batasan persamaan (Rothstein, B.dan Stolle, D., 2002). Generalized trust adalah kondisi dimana seseorang dapat mempercayai sebagian besar orang, meskipun berbeda latar belakang, baik usia, ras, kelas, gender, maupun etnisitas.

Jurnal FKP2TN, Vol. 1, No. 1, Desember 2011

Sebaliknya, ada particularized trust yaitu kondisi dimana trust hanya berlaku bagi orang-orang yang berasal dari latar belakang sama (homogen). Ketika orang-orang yang berbeda mulai saling mengenal, maka diasumsikan hubungan timbal balik akan berkembang dan mereka mulai saling percaya. Sedangkan kaum institusionalis beranggapan bahwa aspek universalitas dari sebuah arena atau institusi-lah yang menciptakan trust, dan bukan pada aspek kontak. Dari sudut pandang keduanya, perpustakaan adalah layanan publik yang bersifat universal sekaligus mampu memfasilitasi interaksi masyarakat (Vrheim, Steinmo, dan Ide: 2008). Berdasarkan fakta tersebut, maka bisa dikatakan bahwa dua pandangan tersebut samasama mengakui bahwa perpustakaan dapat berperan dalam membangun trust dan modal sosial. Ini diperkuat dengan beberapa studi yang menunjukkan bahwa perpustakaan mampu berkontribusi dalam membentuk dan menguatkan modal sosial masyarakat (Au, 2005; Vrheim, 2006).

Tantangan upaya penguatan modal sosial di Indonesia Indonesia adalah negara yang plural dilihat dari kondisi geografis, demografis, kultur, dan keyakinan. Pada masyarakat urban di perkotaan, segregasi berdasarkan kelompok etnis ini semakin terlihat. Beberapa studi menunjukkan bahwa keragaman dalam ras dan etnisitas menjadi sebab lemahnya kadar trust dalam suatu masyarakat (Alesina and La Ferrara, 2000, 2002; Costa and Kahn, 2003; Delhey and Newton, 2005; Coffe and Geys, 2006). Selain keragaman identitas, ketidaksetaraan ekonomi, korupsi, dan tidak meratanya layanan kesejahteraan juga merupakan variabel yang memperkuat distrust dan melemahkan modal sosial masyarakat (Uslaner, 2002; Rothstein dan Uslaner, 2005; Uslaner, 2006; Putnam, 2007). Kondisi masyarakat yang heterogen, ditambah dengan tingginya angka korupsi dan masih lebarnya kesenjangan sosial membuat Indonesia menjadi semakin rawan dengan resiko pelemahan modal sosial. Menurut Vrheim (2006), kesenjangan ini menjadi variabel yang paling memberi pengaruh negatif terhadap besar kecilnya generalized trust.

Jurnal FKP2TN, Vol. 1, No. 1, Desember 2011

Kesenjangan dan ketidakmerataan pendapatan memicu terjadinya segregasi, baik dalam hal tempat maupun pola pikir. Masyarakat yang berasal dari kelas berbeda akan jarang sekali berada dalam satu tempat yang sama. Mereka berada pada arena mereka masing-masing dan tidak saling bertemu. Orang tua berpendapatan tinggi cenderung akan mengirim anak-anak mereka ke sekolah dan perguruan tinggi yang bonafid, yang seringkali tak terjangkau oleh kalangan berpendapatan rendah. Demikian pula yang terjadi pada anak-anak dari kalangan menengah ke bawah. Mereka akan tumbuh dan besar dalam lingkungan yang anggotanya terbatas dari kaum mereka saja. Dengan demikian sulit sekali terjadi sebuah transfer dan barter pengetahuan yang merupakan modal awal penguatan modal sosial masyarakat secara keseluruhan. Gejala pelemahan sosial yang mulai tampak sekarang ini adalah meluas dan meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap pejabat negara dan politisi di Tanah Air. Public distrust ini seharusnya menjadi alarm bersama bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan evaluasi dan koreksi bersama terhadap kondisi modal sosial masyarakat Indonesia. Namun, di sinilah masalahnya mulai tampak, belum banyak institusi yang secara sadar mau memikul tanggung jawab dan mengambil bagian dalam proses penguatan trust dan modal sosial masyarakat. Demikian pula yang sering terjadi pada perpustakaan, institusi tempat kita mengabdi.

Potensi perpustakaan sebagai penguat modal sosial Studi yang dilakukan oleh Au (2005) menunjukkan bahwa perpustakaan The John Cotton Dana Library di Rutgers University mampu berperan dalam memperluas misi layanan kampus dan turut menguatkan jaringan bisnis masyarakat lokal di kota New Jersey. Hal yang sama juga terjadi di Jepang. Beberapa perpustakaan umum di Jepang mulai menyediakan layanan yang memfasilitasi pencarian dan penggunaan informasi dengan merancang layanan perpustakaan sebagai pendukung kemajuan bisnis. Mereka bekerjasama dengan kamar dagang pemerintah dan lembaga industri pemerintah lokal untuk menyediakan layanan tersebut (Ikeya, et al, 2011).

Jurnal FKP2TN, Vol. 1, No. 1, Desember 2011

Menurut Bourke (2005), ada beberapa langkah praktis yang patut dilakukan oleh para pustakawan dan pengelola informasi dalam upaya penguatan modal sosial melalui perpustakaan, yaitu: 1) menghadiri banyak pertemuan publik; 2) menyelenggarakan program-program perpustakaan yang mendukung penguatan modal sosial; 3) menciptakan ruang-ruang di gedung perpustakaan yang mampu memfasilitasi pertemuan masyarakat, dan 4) membangun kemitraan dengan pihak-pihak yang terkait. Berikut uraian dari keempat poin yang diajukan oleh Bourke:

a. Menghadiri Pertemuan publik Sebagaimana kita pahami, jejaring (networking) memegang peranan sentral dalam modal sosial. Perpustakaan sebagai area publik memiliki potensi untuk mampu mempertemukan orang-orang yang berbeda latar belakang, tingkat pendidikan, dan status sosial dalam satu tempat. Pertemuan-pertemuan tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya jejaring di antara mereka. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bourke (2005), pustakawan perlu diberi dan memberi ruang pada dirinya sendiri untuk bertemu dengan sesamanya dalam komunitas serta pihak-pihak lain yang berkepentingan. Dari pertemuan tersebut mungkin saja akan muncul penyerbukan ide yang kemudian bermanfaat bagi perkembangan perpustakaan dan jejaringnya. Beberapa contoh hasil dari pertemuan tersebut antara lain adalah terbentuknya jejaring berupa forum-forum yang telah ada dan berkembang hingga sekarang ini, seperti FKP2TN, FPPTI, ATPUSI, ISIIPI, FPUI, FPK, dan sebagainya. Kemunculan jejaring sosial juga terbukti dapat mempermudah upaya pertemuan di antara pustakawan melalui dunia maya. Salah satunya adalah Paguyuban Perpustakaan PTAI Jawa Timur. Group dalam jejaring sosial Facebook ini digagas oleh beberapa pustakawan yang berasal dari lingkup PTAIN (perguruan tinggi agama Islam negeri) di Jawa Timur. Meskipun bersifat informal, group ini telah menjadi salah satu media komunikasi yang cukup efektif bagi para pustakawan di kalangan PTAIN dan beberapa PTAIS di Jawa Timur. Selain dengan sesamanya, pustakawan tentu juga perlu memperluas jejaringnya dengan banyak pihak internal. Salah satunya adalah pemerintah. Kehadiran pustakawan dalam kegiatan

Jurnal FKP2TN, Vol. 1, No. 1, Desember 2011

dan pertemuan yang digagas oleh pemerintah sangatlah perlu, terutama pertemuan yang bertemakan perpustakaan dan dunia literasi. Pertemuan ini bisa menjadi alat untuk mengkomunikasikan kebutuhan mendesak perpustakaan dan juga, tentu saja, meningkatkan nilai tawar pustakawan dan pengelola perpustakaan di mata pemegang kebijakan dan masyarakat umum.

b. Program-program perpustakaan yang memperkuat modal sosial Perpustakaan, terutama perpustakaan umum, berpotensi besar dalam menyatukan masyarakat yang beragam latar belakangnya, karena layanannya yang bersifat terbuka (Audunson, 2005). Namun demikian, tak menutup kemungkinan bagi perpustakaan-perpustakaan lainnya untuk menyuburkan modal sosial masyarakat meski dengan karakteristik pemustaka mereka yang terbatas. Menyelenggarakan program-program perpustakaan yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat adalah salah satu cara yang bisa dilakukan. Perpustakaan dapat menghadirkan program-program populer yang mampu menyatukan pemustaka berdasarkan minat dan hobi. Misalnya dengan membuka kelas wirausaha, fotografi, jurnalistik, menulis, dan sebagainya, dengan mengundang pemateri dari kalangan profesional. Selanjutnya, selain sebagai media transfer ilmu, kelas-kelas tersebut diharapkan dapat menguatkan jejaring di antara pemustaka. Di sini perpustakaan berperan sebagai fasilitator bagi masyarakat. Disadari atau tidak, perpustakaan saat ini semakin dituntut untuk tampil menjadi pemberi solusi (problem solver) atas masalah yang dihadapi masyarakat. Semua tanggung jawab itu tentu ada pada pundak pustakawan. Dari pustakawan masyarakat diharapkan bisa belajar bagaimana menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang penting untuk pengambilan keputusan yang mempengaruhi sebagian besar aspek kehidupan mereka (Kranich, 2011). Mungkin hal ini memang terdengar cukup utopis jika dilakukan di Indonesia, bahkan mungkin bagi kalangan pustakawan sekalipun. Namun jika tidak mengarah pada tujuan-tujuan ideal tersebut, lalu untuk apa profesi pustakawan?

Jurnal FKP2TN, Vol. 1, No. 1, Desember 2011

c. Menciptakan ruang-ruang Studi oleh Putnam, Feldstein and Cohen menunjukkan bahwa di antara sekian faktor, lokasi sebuah perpustakaan yang strategis dapat membawa rasa gengsi tersendiri dan menanamkan kepercayaan dalam diri masyarakat yang tersegregasi secara sosial, serta mendorong kontak positif antar masyarakat yang berasal dari lingkungan berbeda (Varheim, 2008). Ini menunjukkan bahwa penting sekali upaya menciptakan perpustakaan yang ideal dari segi lokasi, maupun tata letak dan pembagian ruang-ruang di dalamnya. Idealnya, semua perpustakaan memiliki sebuah ruang publik yang mampu menyatukan pemustaka dalam satu ruang. Gagasan menghadirkan sebuah kafe di perpustakaan yang dilengkapi dengan fasilitas internet nirkabel (wifi) adalah salah satunya. Beberapa perpustakaan di dunia, seperti Perpustakaan Ferguson di Stamford, Connecticut, telah mengadopsi ide kreatif yang semula berkembang di toko-toko buku ini. Ide mempertemukan pemustaka dalam sebuah kafe di dalam perpustakaan merupakan gagasan yang menarik dan patut dicoba. Membaca, berdiskusi, dan berselancar di dunia maya di sebuah kafe yang nyaman merupakan bentuk-bentuk kegiatan untuk meninggalkan rasa kesepian (loneliness). Modal sosial rendah yang diterima dipercaya turut dipengaruhi oleh tingkat kesepian individu. Menurut sebuah riset kesehatan psikologis, tingkat kesepian ini menurunkan satu tingkat kualitas hidup seseorang ke level di bawahnya (Joseph, 2006). Dapat dibayangkan jika kesepian ini melanda masyarakat secara massal sebagaimana yang banyak dilaporkan terjadi di kota-kota besar, maka rendah pula kemungkinan dirasakannya efek dari modal sosial pada kehidupan keseharian.

d. Membangun kemitraan Untuk mewujudkan program layanan dan juga ruang-ruang yang bukan hanya sesuai dengan kebutuhan pengguna, namun juga memberi nilai tambah, pustakawan perlu bekerja sama dengan banyak pihak. Kita bisa meniru langkah perpustakaan umum di Jepang yang memiliki fungsi tambahan sebagai business support library.

Jurnal FKP2TN, Vol. 1, No. 1, Desember 2011

Perpustakaan pendukung bisnis adalah sebuah perpustakaan dengan fungsi tambahan yang dirancang untuk mendukung bisnis, meliputi upaya memulai bisnis (starting up businesses), baik dengan menggunakan informasi yang ada di perpustakaan maupun informasi digital yang tersedia di pangkalan data dan internet, serta dengan melatih (staf) perpustakaan untuk mengelola informasi (Ikeya, 2011). Dalam prakteknya, perpustakaan bekerja sama dengan unit pengelola bisnis pemerintah daerah dan kamar dagang. Semua jenis perpustakaan dapat melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam upaya penguatan modal sosial. Perpustakaan perguruan tinggi, misalnya, dapat bekerjasama dengan Lembaga Pengabdian Masyarakat dengan memberikan pelatihan pada mahasiswa yang akan terjun ke masyarakat mengenai bagaimana cara mendirikan komunitas baca masyarakat. Perpustakaan umum dapat bekerjasama dengan komunitas wirusaha, misalnya, untuk melatih kemampuan entrepreneurship pemustaka mereka. Kerjasama yang berlangsung dalam jangka waktu lama akan memperkuat ikatan di antara masyarakat (strong ties). Ikatan yang kuat ini adalah modal untuk membentuk dan meneguhkan modal sosial yang dimiliki.

Penutup Pada prinsipnya, semua jenis perpustakaan dapat dan harus berkontribusi dalam menguatkan modal sosial masyarakat. Untuk bisa menjalankan semuanya, pustakawan perlu membangun jejaring dengan sesamanya dan juga pihak-pihak yang dirasa perlu dilibatkan. Sekecil apapun rintisan usaha yang dilakukan akan sangat bermanfaat bagi upaya pembangunan kembali modal sosial yang mulai luntur saat ini. Hanya dengan kesadaran bahwa membangun modal sosial adalah tanggung jawab bersama semua komponen bangsa, modal sosial masyarakat Indonesia akan tumbuh dan menguat. Semoga!

Jurnal FKP2TN, Vol. 1, No. 1, Desember 2011

DAFTAR PUSTAKA

Alesina, A., & La Ferrara, E. (2000). Participation in heterogeneous communities. Quarterly Journal of Economics, 115(3), 847-904. Alesina, A., & La Ferrara, E. (2002). Who trusts others? Journal of Public Economics, 85(2), 207-234. Au, K. (2005). Building social capital: a case study of an academic library supporting entrepreneurs. Diunduh dari: http://www.lib.usm.my/elmuequip/conference/Documents/ICOL%202005%20Paper%2013%20KaNeng%20Au.pdf, 23/07/2011. Audunson, R. (2005). The public library as a meeting place in a multicultural and digital context: The necessity of low intensive meeting places. Journal of Documentation, 61(3), 429-441. Bourke, C. (2005). "Public libraries: building social capital through networking." APLIS 18.2:71-5. Cohen, D, & Prusak, L (2001). In Good Company: How Social Capital Makes Organizations Work. Harvard Business Press. Coffe, H., & Geys, B. (forthcoming). Community Heterogeneity: A Burden for the Creation of Social Capital? Social Science Quarterly, 87. Coleman, J. (2009). Dasar-dasar teori sosial. Bandung: Nusa Media. Costa, D. L., & Kahn, M. E. (2003). Understanding the American decline in social capital, 1952-1998. Kyklos, 56(1), 17-46. Delhey, J., & Newton, K. (2005). Predicting cross-national levels of social trust: Global pattern or nordic exceptionalism? European Sociological Review, 21(4), 311-327. Fukuyama, F. (2001). Social capital, civil society, and development. Third World Quarterly, Vol. 22, No. 1, pp. 7 20. Fukuyama, F. (1995). Trust: Social Virtues and the Creation of Prosperity. NY: Free Press. Ikeya, N., Tamura, S., Miwa, M., Koshizuka, M., Saito, S. & Kasai, Y. (2011). "In search of facilitating citizens' problem solving: public libraries' collaborative development of services with related organizations" Information Research, 16(1) paper 468. Diunduh dari http://InformationR.net/ir/16-1/paper468.html, 23/07/2011 Joseph, B.P. (2006). Social capital, community, and public libraries: An examination into how coffee and wireless internet access can increase our quality of life. A Masters Paper for the M.S. in L.S degree. Diunduh dari: http://etd.ils.unc.edu/dspace/bitstream/1901/297/1/benn_joseph_masterspaper.pdf, 23/07/2011.

Jurnal FKP2TN, Vol. 1, No. 1, Desember 2011

Kranich, N. 2011. Libraries create social capital. Diunduh dari http://www.libraryjournal.com/article/CA180511.html, 29/11/2011. Putnam, R. D. (2000). Bowling Alone: the Collapse and Revival of American Community. New York: Simon and Schuster. Putnam, R. D. (2007). E Pluribus Unum: Diversity and community in the twenty-first century. The 2006 Johan Skytte Prize Lecture. Scandinavian Political Studies, 30(2), 137-174. Rothstein, B., & Uslaner, E. (forthcoming). All for All: Equality, Corruption and Social Trust. World Politics. Supriono, A., Flassy, D.J., dan Rais, S. (2009). Modal sosial: masyarakat high trust and low trust serta trust dan motivasi ekonomi. Diunduh dari: http://p2dtk.bappenas.go.id, 23/07/2011. Uslaner, E. M. (2006). Does Diversity Drive Down Trust? FEEM Working Paper No. 69. Diunduh dari: http://ssrn.com/abstract=903051, 23/07/2011. Vrheim, A. (2006). Social capital and multicultural challenge: the role of public library. Diunduh dari: http://thedocumentacademy.org/resources/2006/papers/avarheimdocam2006.pdf, 23/07/2011. Vrheim, A., Steinmo, S., & Ide, E. (2008). Do libraries matter? On the creation of social capital. Diunduh dari: http://spot.colorado.edu/~steinmo/LibMatter.pdf, 23/07/2011.

Jurnal FKP2TN, Vol. 1, No. 1, Desember 2011

You might also like