You are on page 1of 7

BAB I

PENDAHULUAN
enaga kerja merupakan aset perusahaan yang harus diberi perlindungan terhadap aspek K3 mengingat ancaman bahaya potensi yang berhubungan dengan kerja. Oleh karena itu pemerintah telah menetapkan kebijakan perlindungan tenaga kerja terhadap aspek K3 melalui peraturan perundangan K3. Peraturan perundangan K3 merupakan salah satu upaya dalam pencegahan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran, dan pencemaran lingkungan kerja yang penerapannya menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan serta kondisi lingkungan kerja. Peraturan perundangan K3 penting untuk disosialisasikan bagi tenaga kerja dan pengusaha/pengurus dengan berbagai cara, antara lain melalui kegiatan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan, publikasi media cetak, dan sebagainya agar melek terhadap peraturan perundangan K3 terutama mengetahui apa yang menjadi haknya agar dipenuhi dan atau apa yang menjadi kewajibannya untuk dilaksanakan. Pelaksanaan peraturan perundangan K3 harus menjadi komitmen pengusaha/pengurus dan didukung oleh seluruh tenaga kerja yang diwujudnyatakan dalam setiap kegiatan di tempat kerja. Pengusaha/ pengurus bertanggungjawab atas pelaksanaan peraturan perundangan K3 dengan melibatkan seluruh tenaga kerja agar tercipta kondisi tempat kerja yang nyaman, sehat, dan aman yang bermuara pada efisiensi usaha dan peningkatan produktivitas.

Landasan Hukum Peraturan Perundangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Tidak satupun produk peraturan perundangan yang ada di Indonesia tidak bersumber dari hukum dasar tertinggi yaitu Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sebagai sumber hukum dari segala hukum. Sumber hukum peraturan perundangan K3 berlandaskan pada pasal 27 ayat 2 UUD Tahun 1945 yang dinyatakan bahwa Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupannya yang layak bagi kemanusiaan. Pasal ini memberi makna yang luas bahwa di samping warga negara berhak mendapatkan pekerjaan yang manusiawi juga mendapatkan perlindungan terhadap aspek K3 agar dalam melaksanakan pekerjaan tercipta kondisi kerja yang nyaman, sehat, dan aman serta dapat mengembangkan

kemampuan dan keterampilannya agar dapat hidup layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan pasal 27 ayat 2 UUD 1945, maka ditetapkanlah UU RI No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan. Pada undang-undang ini ditetapkan tentang perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yaitu dalam: 1. Pasal 9: Setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan sesuai dengan harkat dan martabat dan moral agama. 2. Pasal 10: Pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup: a. Norma keselamatan kerja. b. Norma kesehatan kerja dan higiene perusahaan. c. Norma kerja. d. Pemberian ganti kerugian, perawatan, dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja.

UU RI No. 1 Tahun 1970 Secara khusus peraturan perundangan keselamatan kerja sudah ada pada masa kolonial Belanda yang dikenal dengan Veiligheids Reglement (VR) Tahun 1910 (Lembaran Negara No. 406 Tahun 1910). Undangundang ini kemudian diganti dengan UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Safety Act) mengingat bahwa VR tidak mampu menghadapi perkembangan industrialisasi yang tidak terlepas dengan penggunaan mesin, peralatan, pesawat, instalasi, dan bahan baku dalam rangka mekanisasi, elektrifikasi, dan modernisasi yang tujuannya meningkatkan intensitas kerja dan produktivitas kerja. Di samping itu pengawasan VR bersifat represif yang kurang sesuai dan tidak mendukung perkembangan ekonomi, penggunaan sumber-sumber produksi, dan penanggulangan kecelakaan kerja serta alam negara Indonesia yang merdeka. Penetapan UU RI No. 1 Tahun 1970 berlandaskan pada pasal 9 dan 10 UU RI No. 14 Tahun 1969, pengawasannya bersifat preventif, dan cakupan materinya termasuk aspek kesehatan kerja. Dengan demikian UU RI No. 1 Tahun 1970 merupakan induk daripada peraturan perundangan K3. Undang-undang RI No. 14 Tahun 1969 tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman, sehingga diganti dengan UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang ini mempertegas perlindungan tenaga kerja terhadap aspek K3 sebagaimana yang dinyatakan dalam:

1. Pasal 86: a. Ayat 1: Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. b. Ayat 2: Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. 2. Pasal 87 ayat 1: Setiap perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.

Tujuan dan Ruang Lingkup UU RI No. 1 Tahun 1970 Tujuan UU RI No. 1 Tahun 1970 adalah memberikan perlindungan atas keselamatan tenaga kerja, orang lain yang memasuki tempat kerja, dan sumber-sumber produksi dapat dipakai secara aman dan efisien. Sedangkan ruang lingkup UU RI No. 1 Tahun 1970 mencakup tempat kerja di darat, dalam tanah, permukaan air, dalam air, dan di udara dengan terdapat unsur dilakukan usaha, tenaga kerja yang bekerja, dan sumber bahaya.

Materi UU RI No. 1 Tahun 1970 Materi UU RI No. 1 Tahun 1970 lebih dominan berisi mengenai hak dan atau kewajiban tenaga kerja dan pengusaha/pengurus dalam pelaksanaan K3 yaitu: I. Hak tenaga kerja: 1. Pasal 12: Huruf d: Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan. Huruf e: Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dipertanggungjawabkan.

II. Kewajiban tenaga kerja ditetapkan dalam:

1. Pasal 12: Huruf a: memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli keselamatan kerja. Huruf b: Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan. Huruf c: Memenuhi dan mentaati syarat-syarat keselamatan kerja dan kesehatan kerja yang diwajibkan. III. Kewajiban pengusaha/pengurus: 1. Pasal 3 ayat 1: Melaksanakan syarat-syarat keselamatan kerja untuk: a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan. b. Mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran. c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan. d. Memberikan kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya. e. Memberikan pertolongan pada kecelakaan. f. Memberikan alat-alat perlindungan diri pada para pekerja. g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, gas, dan hembusan. h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis, peracunan, infeksi, dan penularan. i. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai. j. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang cukup. k. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup. l. Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban. m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, lingkungan, cara, dan proses kerjanya. n. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan, dan penyimpanan barang. o. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan. p. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya. q. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaan menjadi bertambah tinggi. 2. Pasal 8: Ayat 1: Pengurus diwajibkan memeriksa kesehatan badan, kondisi mental, dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan kepadanya. Ayat 2: Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, secara berkala pada dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan oleh direktur.

3. Pasal 9: Ayat 1: Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang: a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul dalam tempat kerja. b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerja. c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan. d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya. Ayat 2: Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut di atas. Ayat 3: Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan. Ayat 4: Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang dijalankan. 4. Pasal 10 ayat 1: Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) guna memperkembangkan kerjasama, saling pengertian, dan partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas kewajiban bersama di bidang K3, dalam rangka melancarkan usaha berproduksi. 5. Pasal 11 ayat 1: Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. 6. Pasal 14: Pengurus diwajibkan: a. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat-syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai undang-undang ini dan semua peraturan pelaksananya yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.

b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja. c. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjukpetunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja.

Peraturan Pelaksana UU RI No. 1 Tahun 1970 Peraturan pelaksana UU No. 1 Tahun 1970 terdiri atas: 1. Peraturan pelaksana yang bersifat khusus (lex spesialist), meliputi: a. UU Uap (Stoom Ordonnantie) Tahun 1930 (Stbl. No. 225 Tahun 1930). b. Peraturan Uap (Stoom Verordening) Tahun 1930 (Stbl. No. 339 Tahun 1930). c. UU Timah Putih Kering (Loodwit Ordonnantie) Tahun 1931 (Stbl. No. 509 Tahun 1931) tentang larangan membuat, memasukkan, menyimpan atau menjual timah putih kering kecuali untuk keperluan ilmiah dan pengobatan atau dengan izin dari pemerintah. d. UU Petasan Tahun 1932 (Stbl. No. 143 tahun 1932 jo Stbl. No. 10 Tahun 1933) tentang petasan buatan yang diperuntukkan untuk kegembiraan/keramaian kecuali untuk keperluan pemerintah. e. UU Rel Industri (Industrie Baan Ordonnantie) Tahun 1938 (Stbl. No. 595 Tahun 1938) tentang pemasangan, penggunaan jalan-jalan rel guna keperluan perusahaan, pertanian, kehutanan, pertambangan, kerajinan, dan perdagangan. Peraturan perundangan K3 tersebut di atas merupakan produk hukum pada masa kolonial Belanda yang hingga saat ini tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1970 pada pasal 17 yang dinyatakan bahwa: Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan kerja yang ada pada waktu undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

2. Peraturan pelaksana dari ketentuan pasal-pasal UU RI No. 1 Tahun 1970 (pasal 15 ayat 1 UU RI No. 1 Tahun 1970). UU RI No. 1 Tahun 1970 masih bersifat umum (lex generalist), oleh karena itu peraturan pelaksananya dijabarkan secara teknis dan rinci dalam bentuk PP, Keppres, Permenaker, Kepmenaker, SE Menaker, dan Kepdirjen Binwasnaker Depnakertrans RI. Pelanggaran terhadap peraturan pelaksana UU No. 1 Tahun 1970 (peraturan perundangan K3) dapat memberikan ancaman pidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggitingginya Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) sebagaimana ditetapkan pada pasal 15 ayat 2 UU RI No. 1 Tahun 1970. Ancaman pidana ini tidak akan membuat efek jera bagi pengusaha yang melanggar UU No. 1 Tahun 1970 (termasuk peraturan pelaksananya) dilihat dari masa hukuman kurungan begitu singkat dan denda uang yang dikenakan terlalu sedikit mengingat dimungkinkan banyak tenaga kerja pada satu tempat kerja (perusahaan) yang mengalami cidera berat bahkan kematian serta menderita penyakit akibat kerja. Setiap kasus pelanggaran terhadap UU No. 1 Tahun 1970 yang diajukan ke pengadilan, ancaman pidana khususnya denda yang dikenakan seharusnya tidak lagi sebesar-besarnya Rp 100.000,00 (seratus ribu) melainkan lebih dari 100.000,00 (seratus ribu), karena nilai uang ketika UU No. 1 Tahun 1970 diberlakukan tidak sama dengan nilai uang saat ini. Pertimbangan ini di satu sisi memberikan rasa keadilan namun di sisi lain mungkin dominan tidak efektif dan dapat menimbulkan polemik di kalangan pihak-pihak yang terkait. Oleh karena itu UU RI No. 1 Tahun 1970 sudah saatnya untuk direvisi mengingat substansi dan sanksi hukumnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan industri dan pertumbuhan ekonomi. Satu hal yang penting bahwa bila UU No. 1 Tahun 1970 telah direvisi (diganti) hendaklah dalam pelaksanaannya harus disertai dengan penegakan hukum oleh instansi yang berwenang.

You might also like