You are on page 1of 263

Tim LKAAM Kabupaten Solok

Tim Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta

Manajemen Suku

DITERBITKAN BERSAMA
Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta & sekitarnya
Pemerintah Kabupaten Solok
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)
Kabupaten Solok

Dicetak Oleh:
Penerbit dan Percetakan Lubuk Agung, Bandung

i
Tim penulis
Bustanul Arifin Dt Bandaro Kayo. Syahrial Chan BA Dt
Bandaro Hitam, Nasfi, SH Dt Mudo Nan Hitam, Drs. Elfi
Yandri, Bagindo Suarman, SH., MM, Maifil Eka Putra
S.Ag., Khatib Batuah, Marwan S.Ag Kari Mangkuto, Drs
Hamdullah Salim dan Muchlis Hamid, SE., MBA.

Tim pendukung
Irjen Pol (P) Drs Marwan Paris, MBA Dt Maruhun
Saripado (sebelumnya bergelar Dt Tan Langik), Firdaus
Oemar Dt Marajo, Drs Hasan Basri Dt. Maharajo Indo,
Upi Tuti Sundari, Dr. Mafri Amir, MA, Zulfison, SAg,
Malin Bandaro Kayo, Prof Dr Buchari Alma Dt Rajolelo
dan Chaidir Nin Latif, SH Dt Bandaro, M.Si.

ii
Untuk Anak Kemenakan

iii
SAMBUTAN
GUBERNUR SUMATERA BARAT

Dalam berjalannya waktu banyak yang terjadi dalam adat


Minangkabau, walaupun sudah digambarkan bahwa adat
ini tak lekang karena panas dan tak lapuk karena
hujan. Banyak yang mempertahankan keelokan adat kita
ini karena tahu dan banyak pula yang tak acuh lagi karena
tidak tahu. Generasi sekarang saja pengetahuan adatnya
perlu dipertanyakan, apalagi generasi muda yang akan
menentukan masa depan ranah ini.
Inti dari adat Minangkabau adalah mufakat. Prof DR
Keebet von Benda menemukan bahwa tangga menuju
mufakat sudah runtuh. Banyak masalah yang tidak dapat
diselesaikan sepanjang adat, menjadi silang sengketa
berkepanjangan, lalu timbul cakak bahkan bentrok antar
nagari. Atau dibawa berperkara ke pengadilan negara.
Yang menang menjadi arang dan yang kalah menjadi abu.
Kedua belah pihak menderita kerugian. Pada hal adat
Minangkabau sudah menyediakan solusi setiap masalah
yang timbul dalam masyarakat.
Solok Saiyo Sakato (S3) suatu ikatan masyarakat Solok di
Jakarta menyadari kesulitan-kesulitan yang terjadi di
kampung halaman. Bagaimana tidak, ninik mamak tak
tahu lagi jumlah anak-kemenakan baik yang tinggal di
iv
kampung, apatah lagi yang tinggal di rantau. Pengelolaan
anak-kemenakan harus dimulai dari keluarga dan
kemudian suku. Ketika pengurus Solok Saiyo Sakato
datang menemui saya semasa saya masih menjadi Bupati
Solok di Arosuka pada 2004, saya menyambut ide
Musyawarah Besar (Mubes) Masyarakat Solok yang akan
menghasilkan pikiran-pikiran untuk membenahi kembali
adat kita ini.
Mubes ini berlangsung selama dua hari, 18 dan 19 Januari
2005 di Koto Baru Solok, dihadiri oleh Ninik Mamak dan
wakil-wakil masyarakat dari Kota Solok, Kabupaten Solok
termasuk Solok Selatan yang waktu itu belum berpisah
menjadi Kabupaten Solok Selatan. Pendekatannya patut
saya acungi jempol. Tidak berdasarkan administrasi
pemerintahan, tetapi memakai pendekatan adat dan
budaya. Dampaknya tidak saja melingkupi budaya Solok
tetapi juga budaya alam Minangkabau yang batas-
batasnya melewati perbatasan Sumatera Barat. Pada akhir
Mubes dikeluarkan pernyataan kebulatan tekad yang
disebut Deklarasi Koto Baru 2005. Menilik akan
isinya deklarasi ini dapat disebut sebagai Sumpah
Marapalam II.
Saya menyambut baik terbitnya buku yang berjudul
Manajemen Suku ini. Implementasi perlu dilakukan
sebaik mungkin. Konon LKAAM Kabupaten Solok sudah
mulai menyosialisasikan isi buku ini, sebagai upaya
merevitalisasi Adat Minangkabau ibarat pepatah adat
dipakai baru, baju dipakai menjadi usang.

Padang, 1 Desember 2008


Gubernur Sumatera Barat,

Gamawan Fauzi Dt Rajo Nan Sati

v
SEKAPUR SIRIH

Jauh sebelum masa penjajahan, di Minangkabau telah ada


suatu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat.
Sistem ini berjalan baik yang dapat menjamin keserasian
dan keamanan masyarakat. Sistem yang disebut adat ini
dipertahankan sampai kini. Orang Minang dikenal sangat
teguh dengan adatnya, bahkan orang Minang telah
menegaskan bahwa adat itu indak lapuak dek hujan,
indak lakang dek paneh, adat dipakai baru, kain dipakai
usang.
Adat dan budaya Minangkabau telah mengatur dasar-
dasar kehidupan masyarakat. Lahirnya adagium adat
basandi syarak, syarak basandikan Kitabullah, telah
memperkokoh keterkaitan antara adat dan agama, adat
tidak lagi sekedar untuk dunia, tetapi sekaligus untuk
kemaslahatan di akhirat kelak, sebab sejak itu telah
disatukan pendapat kaum adat dengan kaum agama
(Islam), bahwa kebiasakan (lazim) dalam adat yang secara
vi
turun-temurun dan diterima oleh masyarakat akan
dikuatkan dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh
agama, lazim kato adat, qawi kato agamo.
Adat Minangkabau telah benar-benar mengatur tata
kehidunpan masyarakat Minangkabau, tidak saja sekedar
untuk kepentingan duniawi semata, tetapi sekaligus untuk
kepentingan umat di akhir masa kelak.
Adat adalah sesuatu yang dinamis, sesuai dengan
dinamika hidup itu sendiri. Namun tak dapat dipungkiri,
ada semacam kegamangan diantara pencinta adat
Minangkabau menghadapi milenium ketiga ini.
Pertanyaan yang timbul mengingat perubahan yang
terjadi secara global apakah adat Minangkabau itu akan
mampu bertahan? Jika mampu, apakah adat itu akan
tetap asli adanya atau adat itu menempatkan perubahan
itu sebuah dinamisator dalam tata kehidupan, sedangkan
perubahan itu adalah sesuatu yang alami. Yang abadi
adalah perubahan itu sendiri. Jika benar adanya, di
manakah kita tempatkan adat dan perubahan itu?
Kemampuan adat untuk beradaptasi dengan perubahan
itulah tujuan dalam penulisan buku ini.
Dalam masyarakat Minangkabau, Penghulu adalah
pemangku adat yang amat penting kedudukannya. Bahkan
sampai saat ini, hampir tak mungkin bagi pemerintah
melakukan sesuatu tanpa mengikutsertakan Penghulu dan
Niniak Namak lainnya.
Penghulu dalam suku tidak lagi sendiri dalam menata
anak kemenakan, tetapi telah didampingi oleh yang lain di
sekelilingnya, yaitu Urang nan Ampek Jinih atau Urang
Ampek Jinih.
Apabila kita ingin menelusuri, terlihat adanya pergeseran
nilai dalam Masyarakat Adat Minangkabau sekarang ini,
sebagaian kalangan memandang adat sebagai konsumsi
vii
“basi” dan “kolot”, dia telah jauh ditinggal oleh kemajauan
yang datang deras tanpa dapat dihambat dengan gaya
tradisional, untuk itu pertemuan demi pertemuan
berulang kali dilakukan, dalam rangka mencari format
agar kepemimpinan Penghulu dapat berjalan efektif
menata anak kemenakan, dalam sebuah manajemen suku.
Permasalahan manajemen suku berawal dari tidak adanya
data anak kemenakan, apalagi mereka telah bertebaran di
perantauan, berapa populasi anak kemenakan sekarang,
apa dan dimana aset suku, serta berapa jumlah dan
nilainya, tidak ada yang tahu, bagaimana manajemen
dapat berjalan? Demikian kegelisahan salah seorang
pemuka adat, Firdaus Oemar Dt. Marajo dalam mengelola
suku. Kegelisahan-kegelisahan tidak saja dalam pribadi-
pribadi, tetapi juga secara organisasi Gerakan Ekonomi
dan Budaya Minang (Gebu Minang), pada tahun 2000
telah mengkaji hal ini secara umum dengan tema
“Mambangkik Batang Tarandam, Manaruko Maso nan
Katibo”, begitu juga dengan tema “Minangkabau di Tepi
Jurang” yang diusung oleh yang lain. Kajian yang cukup
mendalam dilaksanakan di Bandung dengan mengundang
lebih dari 100 tokoh dengan tema Minangkabau yang
Gelisah.
Memahami kondisi yang demikian, maka Solok Saiyo
Sakato (S3) Jakarta, berinisiatif menjembatani dinamika
masyarakat adat tersebut, dengan duduk bersama
mengeluarkan pendapat. Diskusi-diskusi kecil sering
dilakukan di Jakarta, makin lama makin besar yang
melibatkan bukan urang Solok saja tetapi urang Minang
dari golongan Ninik Mamak, Cerdik Pandai, Bundo
Kanduang dan Alim Ulama. Dilanjutkan dengan diskusi
Kayu Aro yang dihadiri 50 orang yang terkait, diundang
oleh Bupati Solok sekaligus menjadi tuan rumah dan
Walikota Solok. Pertemuan ini masih dilanjutkan di
viii
Jakarta dan mencapai kilmaknya dengan Dialog Interaktif
di Lepau Kopi Saribundo Menteng pada 19 Juni 2004.
Perjalanan dialog manajemen suku menempuh jalan yang
panjang mendaki mendaki, akhirnya sampai juga di
puncak pendakian yaitu Musyawarah Besar Masyarakat
Adat Solok dengan seluruh Pemangku Adat dari 74 nagari,
Ninik Mamak, Bundo Kandung, Cadiak Pandai, Alim
Ulama dan Generasi Muda. Pertemuan ini terjadi pada 18
dan 19 Januari 2005. Di sini lahir kesepakatan yang
disebut dengan Deklarasi Koto Baru, Solok 2005 yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari
Manajemen Suku. Deklarasi ini merupakan bentuk
sumpah sati ketiga setelah Sumpah Sati Bukit Marapalam
dan Kesepakatan Tandikek.
Dalam rangka mewujudkan panduan dalam pengelolaan
suku, maka kami (tim penulis) meramunya dengan
berbagai referensi dari beberapa buku tentang adat
Minangkabau, melalui sekapur sirih ini kami
menyampaikan ucapan terima kasih, dan sekaligus
memohon izin untuk menyatukannya karya-karya
terdahulu dalam buku Manajemen Suku.
Tim penulis terdiri dari Bustanul Arifin Dt Bandaro Kayo.
Syahrial Chan BA Dt Bandaro Hitam, Nasfi, SH Dt Mudo
Nan Hitam, Drs. Elfi Yandri, Bagindo Suarman, SH., MM,
Maifil Eka Putra, S.Ag Khatib Batuah, Marwan, S.Ag Kari
Mangkuto, Drs Hamdullah Salim dan Muchlis Hamid, SE.,
MBA.
Tim pendukung terdiri dari Irjen Pol (P) Drs Marwan
Paris, MBA Dt Maruhun Saripado (sebelumnya bergelar
Dt Tan Langik, Firdaus Oemar Dt Marajo, Drs Hasan Basri
Dt Maharajo Indo, Upi Tuti Sundari, Dr Mafri Amir, MA,
Zulfison Malin Bandaro Kayo, SAg, Prof Dr Buchari Alma
Dt Rajolelo dan Chaidir Nin Latif, SH Dt Bandaro, M.Si.
ix
Amir MS Dt Mangguang Sati, penulis buku-buku adat
Minangkabau telah bersedia membaca dan memperbaiki
naskah serta memperkaya isi.
Kepada pihak-pihak yang membantu terselenggaranya
Musyawarah Adat dan terbitnya buku ini, kami sampaikan
terima kasih dan sudah sepantasnya memperoleh
penghargaan yang setinggi-tingginya atas jerih payah serta
niat yang tulus, demi masa depan anak nagari. Semoga
jerih payah tersebut menjadi amal saleh dan memperoleh
pahala dari Allah Swt. Amin.
Drs Asril Das, pemilik PT Lubuk Agung Bandung yang
mencetak buku ini untuk pertama kalinya (edisi pertama),
dengan memberikan fasilitas yang seluas-luasnya, kami
sampaikan terima kasih yang tidak terhingga.
Kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
sempurna. Diperlukan penelitian yang mendalam atas
kasus-kasus adat, yang berhasil diselesaikan dan yang
tidak berhasil diselesaikan. Tegur dan sapa dari sidang
pembaca sangat kami harapkan, demi perbaikan di masa
mendatang.

Tim Penulis

x
xi
DAFTAR ISI

Sambutan Gubernur Sumatera Barat ........................... iv


Sekapur Sirih ................................................................. vi
Daftar Isi ...................................................................... xii
BAB 1 Pendahuluan .................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................. 1
B. Penjelasan Judul.......................................................... 5
C. Metodologi dan Sistematika Pembahasan .................... 6
BAB 2 Minangkabau dalam Lintasan Sejarah ......... 9
A. Nama Minangkabau ..................................................... 9
B. Lahirnya Alam Minangkabau ...................................... 12
C. Luhak Nan Tigo.......................................................... 18
D. Lareh Nan Duo........................................................... 24
BAB 3 Nagari Pemerintahan Terdepan di
Sumatera Barat ............................................ 29
A. Pengertian Nagari ...................................................... 29
B. Sejarah dan Perkembangan Nagari............................ 31
1. Periode Pra-Kolonial .......................................... 35
2. Periode Kolonial................................................. 36
3. Periode Kemerdekaan ....................................... 38
4. Periode Otonomi Daerah ................................... 40
C. Struktur dan Unsur-Unsur Kelembagaan Nagari ......... 45
D. Pemerintahan Nagari dalam Perspektif Otonomi
Daerah ....................................................................... 52
BAB 4 Suku, Sejarah dan Perkembangannya ....... 67
A. Pengertian Suku ........................................................ 67
B. Komponen-komponen Suku ....................................... 70
xii
C. Perkembangan dan Pemekaran Suku ........................ 72
D. Skala Urutan Kepemimpinan Suku ............................. 77
E. Pola Kepemimpinan Masa Lalu .................................. 80
1. Hierarki Kepemimpinan ...................................... 80
2. Pencatatan ........................................................ 81
3. Pengawasan ...................................................... 84
4. Pendanaan ........................................................ 85
BAB 5 Kepemimpinan Suku dalam Perspektif
Manajemen ................................................... 89
A. Kelembagaan Suku Menurut Koto Piliang................... 90
1. Urang Ampek Jinih ............................................ 91
2. Unsur Penasehat Suku (Urang Bajinih) ............. 94
B. Kelembagaan Suku menurut Kelarasan Bodi
Caniago ..................................................................... 96
C. Kepemimpinan Penghulu ........................................... 99
1. Proses dan Pengangkatan Lembaga Ampek Jinih102
2. Prosesi Pengangkatan Penghulu ..................... 104
3. Pakaian Pcnghulu ............................................ 107
4. Tugas Pokok Penghulu .................................... 113
5. Fungsi Penghulu .............................................. 115
6. Martabat Penghulu........................................... 117
7. Syarat-Syarat Jadi Penghulu............................ 119
8. Syarat Mengangkat Pengganti Penghulu.......... 122
9. Macam-Macam Penghulu ................................ 123
10. Tingkat Penghulu ............................................. 127
11. Gelar Penghulu ............................................... 127
12. Cara Pemakaian / Penamaan Gelar ................. 128
BAB 6 Analisis Kepemimpinan Suku dalam
Perspektif Manajemen ............................... 129
A. Aspek Sistem dan Kelembagaan .............................. 130
B. Aspek Struktur dan Kepemimpinan .......................... 136
C. Aspek Fungsi dan Peranan Kelembagaan ................ 138
D. Aspek Kemampuan Kepemimpinan.......................... 140
1. Fisik/Performance ............................................ 141
2. Mental Spritual................................................. 141
3. Integritas Intelektual ......................................... 142
xiii
4. Sosial Ekonomi ................................................ 143
E. Aspek Proses, Mekanisme dan Tatacara
Pengelolaan Suku .................................................... 144
1. Perencanaan ................................................... 144
2. Pelaksanaan .................................................... 149
3. Evaluasi ........................................................... 171
BAB 7 Revitalisasi Adat Minangkabau dalam
Perspektif Kepemimpinan Suku ............... 175
A. Aspek Sistem dan Kelembagaan .............................. 177
B. Aspek Struktur dan Kepemimpinan .......................... 181
C. Aspek Fungsi dan Peranan Kelembagaan ................ 185
D. Aspek Kemampuan Kepemimpinan.......................... 189
1. Fisik/Performance ............................................ 190
2. Mental Spiritual ................................................ 191
3. Integritas Intelektual ......................................... 195
4. Sosial Ekonomi ................................................ 197
E. Aspek Proses, Mekanisme dan Tatacara
Pengelolaan Suku .................................................... 200
1. Perencanaan ................................................... 200
2. Pelaksanaan .................................................... 201
3. Evaluasi ........................................................... 202
4. Pengawasan ................................................... 203
F. Solusi dan Pemecahan Masalah .............................. 205
BAB 8 Deklarasi Koto Baru, Solok .......................213
A. Pertemuan Kayu Aro ................................................ 213
B. Musyawarah Rantau dan Kampung.......................... 214
C. Koto Baru Tempat Lahirnya Deklarasi Abad 21 ........ 221
1. Musyawarah terdiri dari tujuh bagian penting.... 222
2. Tata-tertib Sidang ............................................ 225

xiv
xv
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Buku yang ada di hadapan pembaca sekarang ini,
bertujuan agar adat dan budaya yang mempunyai nila-
nilai sosial yang tinggi itu, dapat disampaikan kepada
angkatan sekarang dan dapat diwariskan kepada generasi
yang akan datang. Selain itu untuk mengisi era Otonomi
Daerah, dengan sistem Pemerintahan Nagari yang
menjadi pemerintahan terdepan di Sumatera Barat.
Peluang untuk dapat mempertahankan dan mengem-
bangkan adat itu terbuka lebar, dengan keluarnya
Undang-undang Nomor 22 Th. 1999 tentang Pemerin-
tahan Daerah dan diperkuat dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Th. 2000,
tentang Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, dalam
Konsiderannya huruf (b) “bahwa dalam penyelengaraan
Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih
Bab 1: Pendahuluan 1
menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi
dan keanekaragaman daerah” 1 Otonomi daerah yang
dimaksud, seperti dalam pasal I huruf (h) adalah:
“kewenangan Daerah Otonomi untuk mengatur dan
mengurus kepentingan menurut prakarsa sendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”. 2 Sedangkan
Daerah Otonomi sebagaimana dalam pasal I huruf (i)
“Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Repulik Indonesia. 3
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah telah berlaku selama + 5 tahun,
sejak diundangkan tanggal 4 Mei 1999. Dan dinyatakan
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelengaraan otonomi
daerah sehingga perlu diganti.
Untuk itu telah ditetapkan Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di Jakarta pada
tanggal 15 Oktober 2004, sebagai pengganti UU No: 22
tahun 1999. Perbedaan yang mendasar antara kedua UU
itu adalah; Undang-undang Nomor 22/1999 tentang
pemerintahan daerah, yang dimaksud dengan pemerin-
tahan daerah adalah kepala daerah atau Gubernur sebagai
Executive dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Daerah
adalah sebagai Legislatif. Sedangkan Undang-undang No
32/2004 tentang pemerintahan Daerah yang dimasud
1
Undang-undang No. 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah,
(Jakarta, Restu Agung, 2000) , hal 11
2
Ibid, hal 13
3
Ibid
2 Manajemen Suku
dengan Pemerintahan daerah adalah kepala Daerah
Gubernur dan DPRD.
Kedua Undang-Undang tersebut di atas tetap berada
dalam kebijakan Otonomi Daerah. Dengan terang dan
tegas bahwa Desa atau nama lain dalam negara kesatuan
Republik Indonesia, merupakan kekayaan dan keragaman
nilai-nilai adat dan budaya yang berlaku dan yang diakui
oleh Undang-undang. Dalam penjelasan tentang pasal 202
UU No 32/2004 ayat (1); Desa yang dimaksud dalam
ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera
Barat, Gopang di Nangro Aceh Darussalam (NAD),
Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan
Selatan dan Papua, Negeri di Maluku 4
Dalam era Otonomi Daerah, pemerintah Sumatera Barat
mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2000
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari intinya adalah
sistim pemerintahan terdepan dalam pemerintahan
Sumatera Barat adalah Nagari, tidak desa lagi seperti
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979, yang
berlaku efektif di Sumatera Barat berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera
Barat Nomor 162/GSB/1983. Kedudukan Nagari hanyalah
sebagai kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi
daerah Tingkat I Sumatera Barat, dalam rangka
memelihara dan melestarikan hukum adat serta tradisi
yang hidup dan berakar di tengah masyarakat
Minangkabau, hal ini diatur dengan Peraturan Daerah No
13 tahun 1983.
Penyesuaian/pergantian kembali Desa kepada Nagari,
pada masa otonomi sekarang ini, tidak hanya diartikan

4
Ibid… hal 197
Bab 1: Pendahuluan 3
sekedar pergantian istilah semata, melainkan didalamnya
terdapat perubahan filosofi dari pemerintahan Nagari.
Pemerintahan Nagari adalah kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan, yang dilaksanakan oleh
organisasi pemerintahan yang terdepan, tetapi tidak lagi
berada di bawah camat, karena Nagari merupakan
kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai
susunan asli, berdasarkan hak asal-usul yang bersifat
istimewa. Oleh sebab itu, Pemerintahan Nagari berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangga Nagari
berdasarkan otonomi asli yang dimilikinya5. Untuk itu,
sedang ditumbuhkan kembali Pemerintahan Nagarii
dengan segala esensinya, mengingat semakin renggangnya
hubungan kekerabatan, toleransi, dan kepedulian dalam
kehidupan masyarakat.6
Usaha untuk kembali kepada sistem pemerintahan Nagari
bukan juga hanya sekedar wilayah administrasi, tetapi
sekaligus sebagai satu kesatuan hukum adat, diharapkan
tumbuhnya kembali nilai-nilai yang positif. Dan sekarang
adalah momentum yang tepat kearah yang demikian 7.
Nagari di Sumatera Barat mencapai 543 dan di Kabupaten
Solok berjumlah 74 Nagari. Setiap anak nagari,
mempunyai kewajiban untuk mengetahui, mengenal akan
adat dan budaya yang berlaku di nagarinya sendiri, karena
adat itu dilengkapi dengan tata aturan adat. Adat itu
adalah tingkah laku yang oleh dan dalam masyarakat
sudah, sedang dan akan diadatkan. Adat itu ada yang tebal

5
Penjelasan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2000, dikutip dari Efi
Yandri, hal 190 Nagari dalam Perspektif sejarah, (Lantera 21, 2003)
6
Fakhri Ahmad, Paradigma Baru Hubungan Kampung dengan Rantau,
Makalah, hal 3
7
Gamawan Fauzi, Nagari di Persimpangan Jalan, dalam Efi Yandri
(Nagari …) hal 96-97
4 Manajemen Suku
dan ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis”8.
Pengertian yang disampaikan oleh Anas, tersebut lebih
mengadakan pendekatan kepada pengertian Adat nan
Diadatkan, yaitu kebisaan setempat yang telah diambil
dalam kesepakatan terlebih dahulu, boleh dikurangi, boleh
ditambah dan boleh dihilangkan. Dari kesepakatan
tersebut, perlu ditetapkan aturan pelaksanaannya. Hal
inilah yang disebut dengan Adat istiadat yaitu kelaziman
disatu-satu nagari, pada satu keadaan yang diperturun–
naikkan dalam pergaulan sesama.

B. Penjelasan Judul
Menajemen suku dimaksud disini adalah sangat erat
hubungannya dengan peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan Adat nan Taradat dan Adat Istiadat, yaitu
peraturan yang telah disepakati, disebut buek. Buek itu
menjadi aturan yang mengikat bagi anak nagari, sesuai
dengan kesepakatan dalam Nagari itu sendiri.
Permasalahan paling utama dalam Manajemen suku
adalah, sejauh mana pemangku adat dapat
menjalankan tugas-tugas kepemimpinan terhadap
anak kemenakannya dalam suku?, Permasalahan
akan bertambah sulit dan kompleks, karena perubahan
yang telah merambah tatanan masyarakat. Apakah benar
pemangku adat tidak dihormati lagi oleh Anak
Kemenakan dalam kepemimpinannya?, “kato mamak”,
badanga, harus diikuti, dipatuhi. Ataukah Pemangku adat
itu yang harus menyesuaikan dengan perkembangan dan
kemajuan yang ada, sehingga mereka tidak lagi menjadi –

8
Anas, Masalah Hukum Waris Menurut Adat Miangkabau, dalam Mukhtar
Naim (Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau), hal
101
Bab 1: Pendahuluan 5
dikatakan- “Mamak Kolot”?. Permasalah lain yang
mungkin sangat mentukan kepemimpinan dalam suku
adalah penampilan seorang panghulu, baik dari segi
ekonomi, sosial dan integritasnya mulai diperdebatkan?.
Untuk semua itu buku ini memberikan solusi terhadap
permasalahan tersebut.
Buku ini adalah hasil diskusi intensif yang digagas oleh
Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta dengan pemangku-
pemangku Adat baik yang berada dikampung halaman,
maupun yang di perantauan. Sebagai puncak dari diskusi
tersebut adalah musyawarah masyarakat adat Solok pada
tanggal 18-19 Januari 2004 di Koto Baru Solok.

C. Metodologi dan Sistematika


Pembahasan
Penulisan ini mengunakan metode deskriptif yaitu
mengelompokkan pokok-pokok kajian dalam beberapa
bagian, yang di bahas secara rinci melalui Sub Bab,
kemudian diarahkan kepada kajian yang lebih dalam.
Dalam membahas tentang Manajemen Suku, tidak
terlepas dari melihat Minangkabau secara umum. Alam
Minangkabau secara geografis terdiri dari Luhak dan
Rantau, yang tersebar sampai di luar daerah administratif
Sumatera Barat sekarang. Dan secara Sosial-Politik
Minangkabau itu terdiri Lareh nan Duo dikenal dengan
sistem Bodi Chaniago dan Koto Piliang. Kedua tinjauan
tersebut akan dibahas secara umum, sebagai pengantar
untuk bisa sampai pada pembahasan bagaimana
manajemen suku yang dipaparkan dalam buku ini.
Nagari dan Suku akan menjadi fokus dalam
pembahasan ini, karena nagari merupakan tempat
bergabungnya beberapa suku, sedangkan suku tempat
6 Manajemen Suku
bernaungnya anak kamanakan, sehingga pembahasan itu
meliputi: Pengertian Nagari, Struktur Kepemim-
pinan dan Kelembagaan Nagari. Pembahasan Suku
mencakup pengertian, komponen-komponen, perkem-
bangan dan pemekaran serta skala prioritas dalam
kepemimpinan suku. Hal yang sangat mendasar dibahas
adalah Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen,
dilengkapi dengan analisa Kepemimpinan Suku, serta
Revitalisasi adat Minangkabau dalam Perspektif
Manajemen.
Semoga gambaran ini dapat menjadi panduan bagi
pembaca dalam memahami isi buku ini secara
keseluruhan, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Bab 1: Pendahuluan 7
8 Manajemen Suku
BAB 2
MINANGKABAU DALAM LINTASAN
SEJARAH

A. Nama Minangkabau
Asal mula dari nama daerah ini, yaitu Minangkabau
berada dalam kegelapan 9 . Terdapat beberapa asal kata
dari Minangkabau yang dikemukakan para ahli, baik yang
berbentuk klasik, dalam bentuk tambo dan cerita rakyat,
maupun kalangan intelektual, dalam bentuk telaah ilmiah
secara akademisi.
Minangkabau berasal dari “Binanga Kanvar”, artinya
Muara Kampar. Chan Ju Kua yang dalam abad ke-13
pernah berkunjung ke Muara Kampar, menemui di sana

9
M. Nasrun, Dasar-dasar Falsafah Adat Minangkabau, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1971) hal 19
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 9
(Muara Kampar) bandar yang satu-satunya paling ramai
di pusat Sumatera10.
Keterangan lain adalah bahwa Minangkabau itu berasal
dari Minanga Kabwa (Minanga Tamwan) artinya “perte-
muan dua muara sungai” dalam keterangannya ditemui
bahwa Minangkabau terletak mula-mula pada pertemuan
dua sungai besar. 11
Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai bagian akhir, tersebut
Raja Majapahit menyuruh Patih Gajah Mada pergi
menaklukkan Raja Perca dengan membawa seekor kerbau,
hikmat yang akan diadu dengan kerbau Patih Sewatang,
Perdana Menteri kerajaan Minangkabau. Armada Gajah
mada masuk dari Jambi dan sampai keperbatasan
Minangkabau. Patih Sewatang mendapat akal, yang
dikemukannya bukan kerbau yang sebanding dengan
kerbau Gajah Mada, melainkan seekor anak kerbau yang
telah beberapa hari tiada dibiarkan menyusu pada
induknya. Ketika anak kerbau itu dilepas akan segera
mengejar kerbau Gajah Mada yang besar itu, yang telah di
lepas terlebih dahulu dan segera menyeruduk kebawah ke-
rampang kerbau itu dan tak dilepaskannya lagi. Karena
kesakitan kerbau Majapahit lari kian kemari, dan akhirnya
rebah dan lalu mati 12.
Keterangan tentang asal kata Minangkabau dari Manang
Kabau seperti di atas, hanyalah cerita orang banyak saja 13
dan berbau dongeng. Dongeng tersebut dibuat
sedemikian rupa, tulisan inilah yang dipopulerkan

10
Sutan Muhammad Zain, dalam Rasjid Manggis Minangkabau dan Sejarah
Ringkasnya, (Padang, Sri Darma, 1971), hal 40
11
Ibid
12
Ibid
13
Op cit, hal 19
10 Manajemen Suku
sewaktu penjajahan Belanda. Sehingga menghilangkan
data-data sejarah, tentang adanya hubungan antara
keluarga Majapahit dengan Minangkabau 14.
Kesuksesan “Manang Kabau” dalam adu kerbau orang
Minang dapat mengalahkan legiun asing. Kemenangan
tidak terlepas dari mendahulukan penggunaan raso jo
pereso dalam menghadapi masalah yang tidak mudah
untuk dipecahkan. Dalam bentuk inilah “Manang-kabau”
itu dapat diterjemahkan, terbukti dengan “kepiawaian”
mengunakan raso jo pareso itulah tokoh-tokoh Minang
telah berada dalam catatan-catatan sejarah nasional
maupun dalam catatan global. 15
Dari keterangan di atas, yang paling banyak kemungkinan
mengandung kebenaran, tentang asal nama Minang-
kabau adalah Pinang Khabu artinya “tanah asal” 16 dan
keterangan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. Muhammad Hussein Naimar, Guru besar pada
Universitas Madras. Asal kata Minangkabau itu “menon
khabu” yang bermakna “tanah pangkal, tanah mulia”.
Walaupun asal nama Minangkabau masih dalam
perdebatan, para pemuka adat dan kaum intelektual, di
abad ke 20 dan 21 sekarang, telah banyak memahami
Minangkabau, menurut disiplin ilmu masing-masing.
Sepertinya, telah menanggalkan pembenaran akan
legenda “Adu Kabau”. Pada hakekatnya Minangkabau itu
sebagai salah satu etnik masyarakat yang berada dalam

14
MID Jamal, Menyigi Tambo Alam Minangkabau, (Bukittinggi,
Tropic, 1985), hal 16, menggenai hubungan keluarga Majapahit
dengan Minangkabau dapat di baca dalam MD. Mansur , Sejarah
Minangkabau, hal, 56-57
15
Safri Sairin, Minangkabau yang Gelisah, (Bandung, Lubuk Agung,
2004), hal 51-52
16
M. Narsun, Daras-dasar… hal 19
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 11
“alam” budaya. Kecendrungan untuk melihat
Minangkabau, sebagai suatu budaya cukup beralasan.
Karena pengertian dari Minangkabau, juga mengandung
arti kebudayaan disamping makna geografis. Kebiasaan
turun-temurun sekelompok masyarakat, berdasarkan
nilai-nilai budaya masyarakat bersangkutan, dalam bentuk
tradisional lebih identik dengan adat, yang merupakan
perwujudan ideal dari kebudayaan yang disebut sebagai
tatakelakuan (tingkah laku) 17 . Untuk itu, ada suku
Minangkabau, ada kebudayaan Minangkabau, ada adat
Minangkabau, tetapi tidak ada Suku Sumatera Barat.
Walaupun Minangkabau sebagiannya, secara gegorafis
berada dalam lingkungan administratif Sumatera Barat.
Tapi Sumatera Barat adalah Minangkabau diluar
kepulauan Mentawai.

B. Lahirnya Alam Minangkabau


Alam Minangkabau seperti dipahami banyak orang adalah
daerah yang mencakup keseluruhan luhak dan rantau 18.
Penambahan Alam pada kata Minangkabau adalah sebagai
konsep penyatuan antara Luhak dan rantau, antara satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, artinya
antara luhak dan rantau atau sebutan lainnya adalah satu
kesatuan.

17
Md. Mansur, Sejarah…, (Jakarta, Brata, 1970), hal 2. baca juga
Mursal Esten, Mingkabau Tradisi dan Perubahan (Padang, Angkasa
Raya: 1993), hal 11. Keteragan lain baca Azmi, Pelastarian Adat dan
Budaya Minangkabau (Bandung, Lubuk Agung, 2004), hal 81
18
MD. Mansur, sejarah… hal 2, baca juga Mursal Esten, Minnagkabau
Tradisi dan Perubahan (Padang; Angkasa Raya; 1993), hal 11,
Keterangan lain baca Azmi, Pelastarian Adaat daan Budaaya
Minangkabau, (Bandung; Lubuk Agung; 2004), hal 81
12 Manajemen Suku
Untuk mengetahui Alam Minangkabau secara keseluruhan
dari sudut sejarah, terdapat kesulitan, karena tidak adanya
bukti-bukti sejarah. Hanya ada sedikit harapan bahwa
Minangkabau meninggalkan Tambo 19 . Tambo yang
disusun melalui pantun, pepatah-petitih, gurindam, yang
setiap kata dan kalimatnya mengandung nilai-nilai
filosofis.
Edwar Jamaris, telah melakukan penelitian terhadap
empat puluh tujuh buah tambo, baik yang berada di
Museum Nasional Jakarta, Leiden Belanda, dan London.
Dalam tambo Minangkabau terdapat tokoh-tokoh sentral
seperti Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk
Katumangungan, serta tokoh penunjang seperti Srii
Maharajo Dirajo, Cati Bilang Pandai, Indo Jati dan Datuk
Suri Dirajo.
Tokoh-tokoh mitologi (tokoh penunjang) seperti Sri
Maharajo Dirajo ayah dari Datuk Katumanggungan, Cati
Bilang Pandai ayah dari Datuk Parpatih Nan Sabatang,
Indo Jati yang Ibu dari kedua tokoh sentral, dan Datuk
Suri Dirajo mamak kedua Datuk. Semua tokoh penunjang
yang terdapat dalam tambo adalah mengandung makna
simbolik dan angan-angan penulis tambo terhadap
keluarga ideal Minangkabau, selanjutnya dapat
diperhatikan kutipan berikut:
Nama-nama keempat tokoh penunjang mengandung
makna simbolik, melambangkan perwatakan tokoh itu.
Bapak Dt Katumanggungan adalah raja, Sultan Sri
Maharajo Dirajo, keturunan Raja Iskandar Zulkarnain,
sekaligus berfungsi legitimasi adanya kerajaan
Minangkabau; Bapak Datuk Parpatih Nan Sabatang ialah
Cati Bilang Pandai, cendikiawan dan terampil; Ibu kedua
datuk ini Indo Jati, putri sejati, lambang atas hak tanah

19
Terhadap isi tambo, kaba dan cerita hanya 2% fakta sejarah dan 98 %
mytology, MD. Mansur , Sejarah…., hal 37
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 13
asal “earth goddess”; dan mamak mereka adalah Datuk
Suri Dirajo, orang Bijaksana. Bapak, ibu dan mamak
kedua tokoh sentral yaitu bangsawan, cendikiawan dan
arif bijaksana. Hal ini sejalan dengan pandangan
masyarakat Minangkabau sekarang yang tergambar
dalam sebuah ungkapan “Bapak kayo, mande
barameh, mamak disambah urang pulo” 20

Peranan dua tokoh sentral, Datuk Parpatih Nan Sabatang


dan Datuk Katumanggungan dalam cerita tambo adalah
sebagai pencetus sistem pemerintahan yang disebut
dengan kalarasan yaitu kalarasan Bodi Chaniago dan
kalarasan Koto Piliang. Berikut ini adalah kutipan Tambo
disaat kedua Datuk memberikan nasehat kepada segenap
pembesar-pembesar Kalarasaan masing-masing, isi
nasehat Datuk Katumanggungan:
Maka tatkala Datuk Katumanggungan kepada laras
Koto Piliang “pegangkanlah kata Hamba sembilan
patah, kepada raja dan Penghulu; pertama, dirikan
kerajaan di Bukit Batu Patah; kedua , didirikan
kerajaan di Saruaso; ketiga dirikan kerajaan di Padang
Gantiang,; keempat , dirikan kerajaan di Sumaniak;
kelima dirikan kerajaan di Bandar Padang supaya jinak
Wulanda akan maisi ameh manah kepada kita; kaenam’
dirikan kerajaan ditanah Jambi akan maisi emas
manah kepada kita; ketujuh’ dirikan kerajaan di tanah
Palembang supaya lalu perahu ke Jambi, dari pada
tanah Jambi lalu kepada kita.
Dan lainya dirikan kerajaan pada negeri Siak supaya
lalu perahu kepada negari kita. Dan lagi dirikan
kerajaan pada negeri Rembah Tembesi dan Rokan
Pandalaian supaya jinak segala hamba rakyat Daulat
yang dipertuan barang kemana berjalan. Maka
dirikanlah kearajaan di tanah Aceh seorang supaya

20
Edwar Jamaris, Tambo Minangkabau, (Jakarta, Balai Pustaka, 1991) ,hal
77
14 Manajemen Suku
(pergi) nak haji ke Mekkah dan Medinah segala hamba
Allah rakyat Daulat yang dipertuan. Itulah amanat aku

Selanjutnya dapat dilihat nasehat Datuk Perpatih Nan


Sabatang kepada kalarasan Bodi Chaniago sebagai berikut:
Maka tatkala (Datuk) Parpatih Nan Sabtang hampir
mati, dipanggillah tiap-tiap negeri seorang sakoto nan
se-laras Bodi Chaniago. Maka berkatalah beliau
kepada segala Penghulu nan tiap-tiap se-nagari. “Hai
segala panghulu, pegangkan petaruh hamba, hai segala
yang berbicara akan salapan patah (kata);
pertama, kasih engkau kepada negari; kedua, kasih
engkau pada isi negari; ketiga, kasih engkau pada
orang kaya; keempat;, kasih engkau kepada orang
tuha; kelima kasih engkau pada orang berilmu;
keenam, kasih engkau pada orang gadang,; ketujuh
kasih engkau pada segala yang benar; dan kasalapan,
kasih engkau pada orang mempuyai bicara. Itulah nan
tinggi dialam dan nan tinggi di dalam nagari. Maka
janganlah engkau ubahi sepeninggal aku supaya
selamat pekarjaan engkau selama-lamanya.

Memahami nilai-nilai falsafah dalam tambo, kaba dan


cerita ini menjadi penting, karena tambo berisikan waktu
yang sekarang dan menghadapi masa mendatang. Akan
sangat jauh berbeda dengan memahami sejarah yang
hanya menangani masa telah berlalu dan tidak akan
berulang 21. Ide yang terkandung dalam falsafah itu tetap
akan hidup terus, walaupun realisasinya akan tumbuh dan
berkembang dan akan disesuaikan dengan keadaan dan
perkembangan zaman. Falsafah adat Minagkabau yang
tersusun dalam pepatah-petitih, pantun, fatwa dan dalam
tambo Alam Minangkabau diataranya berisikan wilayah
Pulau Paco itu meliputi:

21
M. Nasrun, Dasar-dasar…, hal 21-22
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 15
Dari Sirangkak nan badangkang, siluluak punai mati,
hinggo buayo putiah daguak, sampai ka pintu rajo ilia,
taruih kadurian ditakuak rajo. Hinggo aia babaliak
mudiak, sampai ka ombak nan badabua, sailiran
Batang Sikilang, hinggo lauik nan sadidiah. Sampai ka
timua ranah alam Aie Bangih, taruih ka Rao jo Guguak
Malintang, Pasisie Banda Sapuluah, hinggo taratak Aia
Hitam, sampai ka Tanjuang Simalidu, pucuak Jambi
Sambilan Lurah.

Tidak ada informasi dan pembuktian secara empiris


mengenai batas Alam Minangkabau yang sesungguhnya.
Hanya ada beberapa nama nagari yang telah lazim disebut
seperti Sikilang Aie Bangih, Rao, Banda X, Tanjuang
Simalidu dan Jambi. Perkiraan lain seperti Riak nan
Badabua itu adalah Lautan Indonesia, Sikilang Aie Bangih,
wilayah utara seperti tiku, Pariaman dan taratak Aia
Hitam berada di daerah Kampar 22
Betapapun adanya, perkiraan dan analisa yang ada
tentang tambo Alam Minangabau seperti yang
dikemukakan olah para ahli, cukup menjadi panduan
untuk mengenal Minangkabau, karena memang sangat
menyedihkan hati kalau Minangkabau itu dilihat dari segi
bukti-bukti sejarahnya.
Terdapat beberapa sebutan oleh para penulis terdahulu
dalam menentukan dan membagi Alam Minangkabau,
misalnya sebutan Darek untuk luhak nan tigo yaitu daerah
yang terletak disekitar Gunung Merapi, Gunuang
Singgalang, Gunuang Sago dan Gunuang Tandikek.
Sedangkan daerah “kolonisasi” dari daerah Darek disebut
dengan “rantau”. Penduduknya terutama berasal dari

22
Gusti Asnan, Kamus Sejarah…., hak 19, juga baca Mochtar Naim,
Merantau…, hal 60
16 Manajemen Suku
daerah Darek 23 . Wilayah Rantau tersebut meliput: Air
Bangis di utara sampai ke Sasak. Tiku, Pariaman, Painan
Balai Salasa, Air Haji dan Indrapura. Daerah rantau
sistemnya lebih dekat kepada kalarasaan Koto Piliang,
karena daerah hukum dari rantau adalah Rantau Barajo
dengan menjunjung tinggi “Daulat Tuanku” 24.
Dataran rendah disebelah Barat Bukit Barisan dan
berbatasan dengan Samudra Indonesia, biasa disebut
dengan “Pesisir”. Daerah Pesisir ini terbagi pula atas
kesatuan-kesatuan Politik-Ekonomi, daerah seperti Tiku-
Pariaman, disebelah Utara, Banda-X dan Indrapura
disebelah Selatan 25. Kubuang XIII meliputi Solok, Salayo,
Saok Laweh, Guguak. Gantuang Ciri, Panjakalan, Sirukam
dan Supayang, terus sampai ke Sariak Alahan III.
Sariak Alahan III kemudian menjadi Ranah Alahan
Panjang yang terdiri dari Talaok, Koto Tuo, Sariak Alahan
III, Taratak Talang, Sianggai-anggai (Sungai Anggai),
Talang Babunggo, Salimpek, Aia Dingin dan Sungai Abu.
Dari Kinari terus ke Muaro Paneh, Koto Anau, Batu
Banyak dan Pancuang Taba.
Banda X yang terdiri dari Batang Kapeh, Taluak,
Surantiah, Ampiang Perak, Kambang, Lakitan, Pangai,
Sungai Tunu, Punggasan dan Aia Haji yang Kemudian
bergabung dengan Sungai Pagu, menjadi kerajaan dengan
sebutan “Sungai Pagu Surambi Alam Minangkabau”.
Dari perspektif manajemen, sistem pemerintahan yang
berlaku di Alam Minangkabau itu terbagi kepada beberapa
bentuk diantaranya , Lareh nan Duo sebagai bentuk
pemerintahan. Dan Luhak Nan Tigo, Rantau dan Pasisie
23
MD Mansur, Sejarah….., hal 3
24
Darwis Thaib Dt. Sidi Bandaro, Seluk Beluk Adat Minangkabau, hal 87
25
MD. Mansur, Sejarah …hal 2
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 17
adalah bentuk dasar dari wilayah (teritorial). Pelaksanaan
dari manajemen akan kelihatan secara keseluruhan di
nagari-nagari, yaitu Nagari Baampek Suku, dan suku
adalah ujung tombak dari pengelolaan anak
kamanakan di Minangkabau.

C. Luhak Nan Tigo


Minangkabau dilihat dari segi geografis, digolongkan
kepada Luhak dan Rantau. Kata “luhak” sebenarnya
berasal dari kata ”luak”, menurut dialek Minangkabau
berarti “sumur” yang bersaral dari bahasa Sansekerta atau
melayu kuno “luak” artinya “sungai” dalam bahasa jawa
kuno bebunyi “aloh” disingkat menjadi “leh”; aleh janawi
dalam penyebutanya berbunyi “loh jinawi” artinya sungai
yang mengalir. Setelah digabungkan dengan kata Jahnawi
maksudnya Gangga (aloh jahnawi = sungai Gangga).
Akhirnya loh jinawi itu maksudnya “kesuburan tanah di
sekitar sungai atau lembah itu disebabkan mendapat air
yang meresap dari sungai”. Kenyataanya bahwa Luhak
Nan Tigo merupakan daerah subur. Pendapat lain
mengatakan Luhak ialah tanah yang berlobang lantaran
bekas runtuh 26 . Menurut Hamka, Luhak berarti sumur
tempat mandi, sebab asal sumur itu ialah tepi tebing yang
luhak karena tergenang air.
Daerah yang terletak di daerah pedalaman Minangkabau
digolongkan kepada Luhak, yang terdiri dari Luhak Tanah
Datar, Luhak Agam dan Luhak Limo Puluah, ketiga luhak
ini dipercayai sebagai daerah inti dari alam Minangkabau,
daerah ini juga dikenal dengan sebutan daerah darek.

26
Mid Jamal, Menyigi Tambo Alam Minangkabau, Bukittinggi, Tropic,
1985. hal 67. Baca juga Hamka, Islam dan Adat Minangkabau,
(Jakarta, Panji Mas, 1984), hal 93.
18 Manajemen Suku
Pada zaman Belanda, istilah luhak mereka samakan
dengan Regentschap, pada saat pemerintah Indonesia,
luhak ini diidentikan dengan Kabupaten 27
Kapan lahirnya alam Minangkabau, dalam sejarah
terdapat suatu masa yang sesungguhnya tidak dapat
ditentukan dengan pasti, tidak ada informasi dan
pembuktian secara empiris mengenai alam Minangkabau
yang sesungguhnya. Dari segi topografi, Negeri
Minangkabau dilintasi oleh Bukit Barisan yang merupakan
tulang punggung bagi pulau ini memanjang dari ujuang
Utara sampai ke ujung Selatan 28.
Dapat diduga, bahwa alam Minangkabau pada abad ke 14
dan 15, dalam masa telah bernama kerajaan Minangkabau,
meliputi seluruh wilayah-wilayah Sumatera Tengah, yaitu
wilayah yang terletak antara kerajaan Palembang dan
Sungai Siak sebelah timur dan antara kerajaan Manjuto
dengan Sungai Singkel pada sebelah Barat. Teras dari
kerajaan yang besar itu menjadi kerajaan Minangkabau
yang asli (Alam Minangkabau), kira-kira meliputi daerah
Padang Darat sekarang, dan raja-raja dari kerajaan inilah
yang memperbesar pengaruhnya dari pantai Barat sampai
ke pantai Timur, yaitu kerajaan Indrapura, Indragiri dan
Jambi. Tetapi menurut dugaan pengaruh Minangkabau di
daerah perbatasan tidaklah begitu besar, dan kesatuan
kerajaan itu tidaklah lama bertahan 29.
Dugaan yang dikemukakan di atas cukup beralasan,
karena tidak didapatkan data yang pasti kapan wilayah ini
terjadi. Walaupun dalam perkembangannya bahwa ranah

27
Gusti Asnan, Kamus Sejarah Minangkabau, (PPIM, 2003), hal 162
28
Mochtar Naim, Merantau Pola migrasi Suku Minangkabau (UGM
Press,1979), hal 14
29
M. Nasrun, Dasar-dasar, hal 17
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 19
alam Minangkabau itu terdiri dari luhak dan rantau 30 ,
rantaupun terbagi kepada beberapa bentuk yaitu rantau
Pesisir dan rantau Hilir demikian istilah yang pergunakan
oleh Gusti Asnan.
Masing-masing luhak menyebar ke wilayah rantau 31 .
Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limo Puluah,
masing-masing Luhak mempunyai koloni (rantau). Untuk
lebih jelas akan dikemukakan secara ringkas.
Luhak Tanah Datar yang berpusat di Batusangar.
Batusangkar menjadi pusat kerajaan Minangakabau
sewaktu Raja Adityawarman berkuasa sebagai rajo alam.
Kemudian setelah Belanda memasuki Batusangkar, maka
mulailah dibangun pada tahun 1822. Setelah adanya
perjanjian pada tanggal 10 Januari 1821, antara beberapa
kerajaan di sekitar Batusangakar dan Saruaso dengan
Belanda, karena mereka terdesak oleh kaum Paderi.
Pembangunan Batusangkar juga dilanjutkan dengan
pembangunan benteng Fort Van Der Capellen yang
pembangunan dimulai pada tahun 1823, Batusangkar
pernah menjadi tempat kedudukan Hoofdreggent van

30
MD. Mansur Dkk Sejarah…. hal 2 . Menggunakan istilah Pesisir,
Darek dan Rantau,
31
Mochtar Naim, Ibid, hal 2, mengutip pengertian rantau dari tiga
kamus yang berbeda 1. Kamus Bahasa Melayu (Singapura), 2. Kamus
Bahasa Dewan (Kuala Lumpur), dan 3 Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Bhg II hal 125 yaitu Rantau ialah kata benda yang berarti
dataran rendah atau daerah aliran sungai, jadi biasanya terletak dekat
ke- atau bagian dari daerah pesisir.
Sedangkan rantau dalam arti yang dikehendaki disini adalah daerah
otonom penuh, mempunyai peraturan-peraturn pemerintahan sendiri,
yang secara emosional terikat dengan “tanah pangkal”. Jadi perbedaan
antara Luhak dengan rantau dari segi teritoriumnya, sedangkan untuk
mengelola diserahkan kepada anak nagari masing-masing, yaitu
Luhak bapanghulu, rantau barajo
20 Manajemen Suku
Minangkabau, Asisiten Residen Padang Darat
(Padangsche Bovenlanden), Sekarang Batusangkar
menjadi pusat ibukota kabupaten Tanah Datar.
Wilayah rantau dari luhak Tanah Datar meliputi;
Langgam nan Tujuah, terdiri dari; Singkarak-Saniang
Baka, Camin Taruih Koto Piliang. Sulik Aia-Tanjuang
Balik CuManti Koto Piliang. Saruaso-Limo Kaum CuManti
Koto Piliang. Simawang-Bukik Kanduang Padamaian Koto
Piliang. Batipuah, Harimau Campo Pasak Kungkuang
Koto Piliang. Silungkang-Padang Sibusuak Gajah Tongga
Koto Piliang 32 . Kubuang XIII meliputi; Solok, Salayo,
Saok Laweh, Guguak, Gantuang Ciri, Cupak, Koto Anau,
Kinari, Muaro Paneh, Gauang, Panjakalan, Sirukam dan
Supayang. 33 Arah Selatan ke Sungai Pagu, bahkan
menjadi kerajaan dengan sebutan “ Sungai Pagu Surambi
Alam Minangkabau” dengan raja pertama adalah
Syamsuddin Siduano gelar Yang di Pertuan Bagindo Sutan
Basa 34. Pengaruh kerajaan Sungai Pagu sampai ke Banda
X, yang dipimpin oleh Inyiak Alang Palabah.
Luhak Agam, salah satu luhak di Minangkabau. Terletak di
kaki gunung Merapi dan Singgalang dan dipercaya yang
didominasi oleh ajaran Dt Parapatiah Nan Sabatang
dengan sosial politiknya Bodi Chaniago.
Luhak Agam yang sebagiannya disebut dengan Cancang
Anam Baleh yaitu Sianok-Koto Gadang, Guguak-Tabek
Sarojo, Sariak-Sungai Pua. Batagak-Batu Palano, Lambah-
Panampuang, Biaro-Balai Gurah, Kamang-Salo, Magek-

32
Rasjid Manggis Tidak memasukkan Silingkang-Padang Sibusuak
kedalam langgam nan 7 dan merupakan kebesaran dari lareh Koto
Piliang,, Minangkabau… hal 114-115.
33
Darwis Thaib Dt. Sidi Bandaro, hal 116
34
Ibid
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 21
Tilatang, 35 perjalanan terus bergerak ke arah Utara
melalui Tabek Patah, Tanjuang Alam, Ampek Angkek, ke
arah Barat, Padang Gaduik, Koto Rantang, kemudian
terus ke rantau Pasaman, Kumpulan, Bonjol, Malampah
sampai Sikilang Aia Bangih.
Lama sebelum kedatangan Belanda, daerah Agam telah
berhubungan dengan pantai barat, terutama daerah
sekitar Pariaman untuk mengambil garam dan
mendapatkan ikan kering. Semenjak Belanda
memperkenalkan sistem pemerintahannya, luhak Agam
senantiasa memperoleh kedudukan sebagai daerah
administrasi setingkat Residentie, Afdeeling, Bun atau
Kebupaten dengan ibu Kotanya Bukittinggi. Namun
semenjak tahun 1985 ibukota Agam dipindahkan ke
Lubuak Basuang.
Luhak Agam juga pernah menjadi pusat pendidikan Islam,
terutama pada saat Islam mulai masuk ke daerah
pedalaman, yakni Koto Tuo, begitu juga saat terjadinya
Gerakan dan Perang Paderi banyak Ulama yang terlibat.

35
Dt. Toeah, ed, Damanhoeri, Tambo Alam Minangkabau, hal 56. Dt.
Toeah menuliskan sampai no 15 yang no 16 adalah terdapat beberapa
pendapat diantaranya, Idrus Hakimi Dt. Rajo Panghulu,dalam
bukunya Pokok-pokok Pangangan Panghulu dan Bundokanduang,
memasukan Kamang Mudiak, Kamang Hilia secara terpisah ke dalam
Cancang Anam Baleh, menurut penulis itu sangat tidak masuk akal,
karena nama Kamang Mudiak-Kamang Hilia nama itu baru tahun
1949 yang sebelumnya bernama Surau Koto Samiak untuk Kamang
Mudiak dan Aua Parumahan untuk Kamang Hilia, Dizaman Paderi
masih bernama Kamang (saja), Pedapat lain mengemukakan bahwa
Koto Rantang adalah salah satu dari Cancang Anam Baleh tersebut
alasannya adalah karena Koto Rantang itu pintu gerbang ke arah
Bonjol dan Malamah sampai ke Air Bagih daan Rao Mapattunggul ,
(wawancara bulan Pebruari tahun 1995, dengan Dt. Tumbijo Dirajo
asal Koto Rantang), Namun penulis cendrung bahwa Tilatang adalah
salah saatu dari Cancang Anam Baleh tersebut
22 Manajemen Suku
Daerah ini juga pernah memegang peranan penting dalam
dunia pendidikan barat, dan itu ditandai dengan hadirnya
Sekolah Raja di Bukit Tinggi dan banyaklah warga Koto
Gadang yang berpendidikan barat serta menduduki
jabatan penting pada birokrasi kolonial dan nasional.
Luhak Limo Puluah yang mulanya terdiri dari 50 orang
Niniak dari kaki Gunuang Sago, mereka memulai
penyebaran daerah melalui Koto Tinggi, Baboi, Situjuah
Batua, Ladang Laweh, Banda Dalam, Situjuah Gadang
terus ke Mungka dan berdirilah nagari-nagari Koto Nan
Gadang, Koto Nan Ampek, Tiakar, Mungka, Simalanggang
sampai ke Pangkalan terus ke rantau Kampar Kiri-
Kampar Kanan, Siak Indragiri.
Luhak Limo Puluah yang berpusat di Payokumbuah,
sekarang menjadi Kotamadya, cikal bakal kota ini mulai
dibangun dengan sungguh-sungguh sejak tahun 1832.
Tahun itu sebuah pos militer dibangun dan sejumlah
serdadu ditempatkan di sana. Status kota yang semula
sebagai pusat perekonomian ditandai dengan
dibangunnya keagenan Nederlandsch Handel
Maatschappij (NHM) 1836. Keberadaan pos militer dan
NHM inilah yang menjadikan Payokumbuah menjadi
sangat penting, dan dengan latar belakang itulah
Payokumbuah sebagai pusat pemerintahan di masa
Belanda terutama setelah dibentuknya Afdeeling
Limopuluah Kota. Kota Payokumbuah juga menjadi kota
pendidikan, kota ini tercatat sebagai kota di mana
Universitas Andalas pertama kali membuka kelas 36
Secara etnis, daerah-daerah yang berada di rantau itu
tetap menganggap dirinya sebagai orang Minangkabau 37,

36
Gusti Asnan, Kamus… hal 227
37
Mochtar Naim, Merantau ….., hal 14. Gusti Asnan, Kamus… hal 20.
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 23
karena alam Minangkabau itu jauh lebih luas dari daerah
administratif Sumatera Barat dewasa ini, dan sebagian
besar penduduk yang mendiami daerah Muko-Muko
(Bengkulu), Kuantan dan Kampar serta Rokan
mengatakan berasal dari Minangkabau. Akhirnya luhak
dan rantau berada dalam beberapa Kabupaten dan
Kotamadya, bahkan tersebar di beberapa kabupaten di
luar propinsi Sumatera Barat. Penyebaran etnis
Minangkabau, dengan “meninggalkan kampung halaman
untuk pergi merantau” 38 telah memberi ruang dan gerak
mereka berkembang tidak hanya sebatas Luhak Nan Tigo
dan Pulau Sumatera saja, bahkan sampai ke Negeri
Sembilan. Di negeri Sembilan berkembang dan menyebar
sehingga dikenal dengan Adat Parpatih yang telah menjadi
“identitas’ bagi masyarakat Minang disana.

D. Lareh Nan Duo


Minangkabau dilihat dari segi Sosial-Politik disebut
dengan Lareh. Perkataan kalarasan berasal dari laras
dalam dialek Minangkabau disebut dengan Lareh artinya
jatuh. Sebagai kiasaan menyatakan pola pikir dari Dt
Parapatiah Nan Sabatang dan Dt Katumanggungan. Akan
tetapi setelah dijadikan kata “laras” maka pengertiannya
adalah loop senapan atau tempat keluar peluru. Agar tidak
terjadi kerancuan dalam pemahaman disini akan memakai
kata Lareh.
Lareh bermakna hukum yaitu tata cara adat yang dipakai
secara turun temurun (dipaturun-panaikkan), dalam
38
Mochtar Naim, merinci unsur pokok merantau:-Meningglakn
kampung halaman –dengan kemauan sendiri, -untuk jangka waktu
lama atau tidaak, -dengan tujuan mencari penghidupan, menunutut
ilmu atau mencari penglaman, -biasanya dngan maksud kembali
pulang daan merantau ialah lembaga yang membudaya. Ibid hal 3
24 Manajemen Suku
menjalankan fungsi panghulu, untuk menata anak
kemanakan. Lareh juga diartikan seukuran atau seimbang,
dalam pelaksanaan sering di jumpai undang yang
berbunyi kok mangati samo merah, kok manambang
samo barek. Jadi kata lareh dalam konteks ini, berarti
seukuran atau seimbang yaitu diselaraskan 39.
Untuk lebih menyempurnakan pemerintah di
Minangkabau, kedua nenek moyang itu yaitu Dt.
Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang
bersepakat membentuk sistem kelarasan. Sistem itu
dinyatakan laras, sama dengan lareh. Dapat dikatakan Dt.
Katumanggungan peletak dasar kelarasan Koto Piliang
dan Dt. Perpatih Nan Sabatang sebagai peletak dasar Bodi
Caniago.
Dalam mengemukakan pengertian Koto Piliang dan Bodi
Caniago, ada sebagian pendapat. Menurut Tambo Koto
Piliang itu berasal dari kata, “kato nan pilihan” artinya
tunduk kepada undang–undang yang telah dituang dalam
kata-kata 40. Dan Bodi Caniago artinya budi nan bahargo.
Di samping makna yang tersebut di atas, ditinjau dari
sudut Tipologi bahasa berasal dari bahasa Melayu Kuno
atau sanskerta adalah:
Koto Piliang berasal dari kata Kerta Philhyang yang
artinya: Kerta = kemakmuran, phile bahasa Yunani
artinya mencintai/dicintai Hyang (bahasa Sanskrit)
artinya Dewa/raja. Kerta philhyang = kemakmuran yang
dicintai raja. Kata-kata tersebut telah berasimilasi tatal

39
Hamka, Islam… hal 93 dan dalam MD. Mansur , Sejarah… hal 3
40
Kato (kata-kata) seperti yang terkandung dan terungkap dalam
prinsip-prinsip dasar atau rumusan-rumusan kebenran, pepatah-petitih,
patuah, mamangan…dalam memahami nilai-nilaiyang dominan dianut
oleh mereka. Azmi, Pelestarian ….dalam Minangkabau yang Gelisah,
hal 84.
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 25
dalam bahasa Melayu Minangkabau; karta menjadi koto,
sebagai akibat adaptasi berdasarkan stuktur morfologis,
yakni kerta menjadi kerto sampai menjadi “koto”.
Filhyang, terus huruf F disebut P. Menjadi Piliang.
Akhirnya sampai kepada Koto Piliang.
Bodi Caniago berasal dari kata Bhudi Catriarga, Buddhi
Catniarga artinya: Bhudi = pikiran (asal nama sejenis
pohon yang rindang daunnya, di sini asal turunannya
ilham sebagai hasil tapa, Shidarta Gautama, dalam bahasa
melayu disebut pohon Bodi, yang maksudnya sama
dengan musyawarah. Perkataan Catriarga ditinjau dari
sudut morfologi mengalami adaptasi stuktur bentuk kata
ke dalam bahasa Melayu Minangkabau Caniago. Dalam
perkembangannya Caniago= Catni dan Arga; Catni
mengalami matatesis menjadi canti. Canti mengalami
sinkop yakni hilangnya satu fonem di tengah kata,
sehingga menjadi “cani”. Begitu juga Arga atau aga berarti
puncak (gunung) seperti tri arga =tiga gunung). Perkataan
Buddhi Catniarga (dialek Minangkabau: Bodi Caniago),
dimaksudkan “pikiran puncak yang baik” atau dengan
kata lain: pikiran atau budi yang menjadi kebaikan. 41
Terlepas dari perbedaan nama dan pengertian tentang
Koto Piliang dan Budi Chaniago, kita lihat kembali dari
sistem pemerintahan, sistim pemerintahan yang disusun
oleh Dt. Katumanggungan dengan semboyan “Titiak dari
ateh”, sedangkan sistem yang disusun oleh Dt. Parpatiah
Nan Sabatang bersemboyan “mambusek dari bumi”,
berdasarkan kedaulatan rakyat.
Kedua sistem tersebut sampai sekarang berkembang
sepanjang gunung Marapi, sajajaran gunung Singalang,

41
Mid Jamal, Menyigi… hal 7i. Baca juga H. Bagindo Suarman Dkk,
Adat Minangkabau: Nan Salingka Hhiduik, hal hal 35.
26 Manajemen Suku
saedaran gunung Pasaman, salilik gunung Sago, yang
berawal di “sawah satampang baniah, makanan urang
Tigo Luhak” di Pariangan Padang Panjang. Dibawah ini
dapat dilihat perbedaan yang mendasar antara sistem
Koto Piliang dan Budi Chaniago.

PERBEDAAN ANTARA KEDUA SISTEM


KALARASAN KOTO PILIANG KALARASAN BUDI
CHANIAGO
- Nagari berdaulat pada - Nagari berdaulat pada
yang dipertuan (Rajo tigo rakyat Membusek dari
selo) “titiek dari ateh” bumi
- Susunan panghulu - Panghulu dudak samo
bertingkat ada panghulu randah tagak samo tinggi
pucuak - Balai-balai gajah maharam
- Balai-balai alang katabang - Keputusan tetinggi adalah
- Dalam putusan ada kata “kato mufakat”
utus dari raja (pucuak)

Pada sisi lain Dr. Alis Marajo Dt. Sori Marajo 42


mengemukakan terdapat empat sistem pemerintahan
yang berlaku di nagari-nagari, berdasarkan hasil
pendataan yang dilakukan oleh Pusat Kajian Adat
Minangkabau Universitas Andalas;
1. Mengunakan Lareh nan Gadang (Koto Piliang)
dengan kepemimpinan Pucuak Kaampek suku”
2. Sistem Lareh nan Bunta (Budi Chaniago)
kepemimpinannya disebut dengan “Urang Tuo”.

42
Dr. Alis Marajo Dt. Sori Dirajo, Pemakalah pada Seminar tentang
Budaya Minangkabau di Era Globalisasi dengan judul Peranan Niniak
Mamak dan Pemerintahan Daerah dalam Upaya Kembali ke Nagari,
disajikan pada tanggal 22 Oktober 2000 seperti yang penulis kutip
pada halaman 3 dan 6 makalah tersebut.
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 27
3. Sistem Lareh nan Panjang (Pariangan) dengan
kepemimpinan bernama “Lantak Nagari”
4. Sistem Kerajaan Pagaruyang” dengan kepemimpinan
Basa Ampek Balai

Pendataan itu dengan mengelompokkan nagari-nagari di


Minangkabau kepada empat sistem yang berlaku yaitu:
1. Koto Piliang sebanyak 302 Nagari
2. Budi Caniago sebanyak 120 Nagari
3. Pariangan sebanyak 68 nagari
4. Pagaruyuang sebanyak 30 nagari

Dalam tulisan ini, tidak akan membahas secara lebih jauh,


karena tidak mencakup bahasan pokok dalam buku ini.
Paling tidak apa yang dikemukan, menjadi wacana dan
pengembangan pemikiran wawasan bagi kita semua,
ternyata adat itu dinamis, untuk itu diperlukan penelitian
yang lebih luas tentang hal tersebut.

28 Manajemen Suku
BAB 3
NAGARI PEMERINTAHAN TERDEPAN DI
SUMATERA BARAT

A. Pengertian Nagari
Nagari dalam tradisi masyarakat Minangkabau adalah
identitas (icon) kultural dari sebuah tatanan masyarakat
yang demokratis. Di dalam Nagari, terkandung sistem
yang memenuhi persyaratan embrional dari sebuah sistem
negara. Nagari yang terdiri dari suku-suku dalam artian
miniatur, dan merupakan republik kecil yang sifatnya self
contined, otonom dan mampu membenahi diri sendiri.
Sebagai suatu lembaga, nagari bukan saja dipahami
sebagai kualitas teritorial, akan tetapi juga merupakan
kualitas genelogis. Nagari merupakan lembaga
pemerintahan dan sekaligus merupakan lembaga kesatuan
sosial utama yang dominan. Sebagai kesatuan masyarakat
otonom, nagari merupakan republik mini dengan teritorial
yang jelas. Ia mempunyai pemerintahan sendiri, punya

Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 29


adat sendiri yang mengatur tata kehidupan masyarakatnya.
Nagari merupakan daerah dalam lingkungan konfederasi
kultural Minangkabau dan berhak mengurus diri sendiri.
Dari sisi ini, dapat dilihat bahwa Lembaga Nagari juga
berfungsi sebagai lembaga adat dan pemerintah, keduanya
kait-berkait, jalin-menjalin dan merupakan kesatuan yang
integral.
Nagari dalam sistem pemerintahannya mempunyai
unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif, namun ia juga
merupakan kesatuan ``holistik`` bagi perangkat tatanan
sosial budaya lainnya. Ikatan bernagari bukan saja
Primodial Konsanguinal sifatnya, tapi juga Struktural
Fungsional, dalam artian teritorial pemerintahan yang
efektif. Secara Horizontal antara sesama Nagari terdapat
ikatan emosional dan bukan struktural fungsional.
Nagari merupakan kumpulan sekurang-kurangnya empat
koto atau disebut empat suku (kapalo koto, ikua koto,
korong tangah atau galanggang tangah dan lain
sebagianya)
Ditinjau dari proses kelahiran nagari Minangkabau,
jelasnya:
1. Nagari itu himpunan beberapa buah koto dimana
setiap koto himpunan dari orang sesuku dengan satu
pucuk pimpinan yang disebut Penghulu
2. Koto itu sendiri merupakan himpunaan dari
beberapa buah dusun. Dusun kumpulan dari
beberapa jurai kaum yang merupakan beberapa buah
taratak dan taratak merupakan himpunan orang
yang saparuik (seibu=saudara), secara integral dapat
disebut pimpinannya:
- Sa-rumah pimpinannya mamak rumah
- Sa-paruik sajurai pimpinannya tungganai
- Sa-koto pimpinannya Penghulu
30 Manajemen Suku
Dari prespektif lembaga adat, nagari adalah sebagai
kesatuan masyarakat dan hukum adat yang lebih dikenal
dalam filosofi `Nagari bapaga undang, adat salingka
nagari`. Lembaga adat disusun berdasarkan prinsip-
prinsip sistem kekerabatan matrilineal dan teritorial yang
sudah dilaksanakan jauh sebelum kemerdekaan.
Walaupun nagari pernah “dilanda krisis” di zaman Rezim
Orde Baru, yang berakibat porak-porandanya tatanan
masyarakat, hilangnya rasa kebersamaan dan gotong
royong, juga terjadinya degradasi, banyaknya generasi
yang lahir waktu itu, tidak tahu dan tidak memahami
adat-istidat yang berlaku disekitar mereka, namun
keberadaan nagari tetap eksis sampai sekarang.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Solok No.4 Tahun
2001:
Nagari adalah kesatuan Hukum Adat yang terdiri dari
himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah
tentu batas-batasnya, mempunyai harta kekayaan
sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.

B. Sejarah dan Perkembangan Nagari


Sebuah pandangan yang dikemukakan oleh Gusti Asnan
dalam melihat nagari. Perlakuan orang Minang terhadap
nagari kadang-kadang memang berlebihan. Nagari sering
dianggap sebagi suatu “perfek” dan “asli” milik orang
Minang. Maksudnya adalah bahwa nagari merupakan
mahakarya orang Minang semata atau keberadaannya
hanyalah karena orang Minang. Nagari adalah salah satu
“trade mark”. Namun telah menjadi simbol dan

Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 31


perwujudan sebagai tatanan sistem sosial, politik dan
budaya orang Minang 43
Pandangan yang rada “pesimis” itu ada benarnya, apabila
dilihat dari catatan sejarah tentang lahirnya dan
berkembangnya nagari di Minangkabau. Secara historis
Nagari merupakan unit teritorial tertua yang bersifat
otonom yang dikenal dalam masyarakat Minangkabau,
istilah yang paling umum untuk menggambarkan nagari
itu adalah sebuah republik mini otonom 44
Nagari dengan sistem pemerintahan masing-masing, dan
mempunyai wilayah serta adat sendiri dalam mengatur
tata kehidupan anggota-anggotanya. Nagari sebagai
institusi (pemerintahan) tidak menghiraukan pergantian
kepemimpinan, karena anggota-anggota dari “republik”
itu adalah saudara/dunsanak atas dasar kebersamaan
secara geografis, sosial maupun kultural.
Rasa kebersamaan, dalam hubungan sesama anggota
masyarakat sangat menonjol dalam kehidupan sosial,
manusia menurut sifatnya tidaklah dapat hidup sendiri,
dia membutuhkan pertolongan. Sejak dari kecil si anak
perlu orang tuanya, setelah uzurpun tidak dapat berbuat
banyak tanpa bantuan orang lain. Adanya hubungan
tolong menolong dalam kehidupan, dan inilah yang
menjadi dasar pergaulan hidup sesama makhluk Tuhan.
Dalam kehidupan bermasyarakat timbulnya istilah barek
sapikua, ringan sajinjiang, merupakan cerminan dari
pola kehidupan masyarakat, dalam pergaulan tidaklah
mungkin terlepas dari rasa kebersamaan. Dengan
demikian, rasa kebersamaan itu merupakan kepentingan

43
Gusti Asnan, Nagari pada masa Kolonial. Lentera 21 hal 33
44
Imran Manan, Nagari Pra Kolonial … lentera hati hal 22
32 Manajemen Suku
bersama dalam kehidupan yang dapat dilalui secara
bersama-sama pula.
Atas dasar kebersamaan, yang dimulai dari beberapa
keluarga, antara keluarga dengan keluarga yang lain
akhirnya bersatu, kemudian berkembangan dalam
komunitas dalam kelompok tertentu. Komunitas itu
akhirnya berinteraksi dan bekerja sama dalam komunitas
lain, yang akhirnya terbentuklah taratak yang berawal
dari :
Singok nan bagisia
halaman nan salalu
batunggua bapanabangan
bapandam bapakuburan

Perluasan teratak, akan menimbulkan kampung demi


kampung yang terdiri dari beberapa suku, yang
dikembangkan dalam sistem dan telah menempati wilayah
yang sama, maka terbentuklah koto yaitu:
Balabuah batapian
Batungua bapanabangan
Badusun bagalangang
Bakorong bakampuang

Pada tahapan koto, adanya labuah yang menghubungkan


satu kampung dengan kampung yang lain, tapian sbagai
sumber air untuk kebutuhan irigasi dan tempat mandi,
cuci dan kakus yang dilengkapi dengan galanggang
tempat bermain.
Taratak telah menjadi kampung dan sebuah kampung
telah menjadi koto setelah melalui kesepakatan untuk
menunjuk tuo koto yang menurut aturan harus dilantik
oleh perpanjangantangan keselarasan Koto Piliang atau

Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 33


Bodi Caniago dengan menyumpah (minum air keris
siganjo aie untuk setiap koto). Ciri-ciri Koto adalah:
1. Pada mulanya merupakan anggota kaum saparuik
(satu induk)
2. Koto dinyatakan sebagai satu suku, nama sukunya
diprogramkan dari pucuk pimpinan keselarasan
sesuai dengan nama pecahan dari suku-suku induk
3. Ada koto, ada suku, ada Penghulu dan ada
pelantikan menurut kebesaran adat
4. Pada anak kemenakanan yang sekoto, berarti
saparuik, sasuku, sapanghulu dinyatakan
dunsanak, artinya tidak boleh ambiak-mambiak
(menjalin hubungan pernikahan)
5. Mereka terdiri dari beberapa kaum, masing-masing
kaum senenek membangun rumah gadangnya
sendiri beserta dengan rangkiang yang terletak
didepannya

Koto merupakan cikal bakal berdirinya nagari. Tidak ada


laporan resmi mengenai jumlah nagari asli (nagari adat)
sebelum pemerintahan Belanda. Ketiadaan laporan itu
berlanjut sampai tanaman paksa dipraktekkan, sehingga
terjadi penambahan nagari-nagari. LC. Westenenk dalam
bukunya ”De Minangkabausche Nagari” mengemukakan
syarat-syarat sebuah nagari sebagai berikut:
Basawah baladang
Bataratak bapanyabungan
Badusun bagalangang
Baitiak ba ayam
Baanak bakamanakan
Bakabau bakambiang
Batabek batanam
Bakorong bakampuang
Bacupak bagantang
Baradaaik balimbago
34 Manajemen Suku
Bataratak bakalo koto

Apabila dikatagorikan kepada periodisasi sejarah, paling


tidak ada empat periode yang sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan serta pasang
surut nagari di Minangkabau yaitu: Periode Pra-kolonial,
Periode Kolonial, Periode Kemerdekaan dan Periode
Otonomi Daerah.

1. Periode Pra-Kolonial
Dimasa pra-kolonial, kehidupan nagari dikendalikan oleh
adat 45. Teritorial nagari yang biasanya terdiri dari hutan
tinggi dan hutan rendah. Hutan tinggi adalah wilayah
nagari yang terdiri dari hutan rimba yang belum terbuka,
termasuk rawa-rawa. Sedangkan hutan rendah adalah
sawah, ladang, kebun dan tanah perumahan serta
pekarangan, semua tanah yang telah diolah 46 dan
berfungsi sebagai dana cadangan, baik bagi nagari
ataupun bagi anak kamanakan dalam suku.
Stuktur masyarakat nagari di Minangkabau disusun
berdasarkan prinsip-prinsip matrilinial, dari tinjauan
antropologi, maka kelompok kekerabatan yang mendiami
nagari-nagari di Minangkabau itu akan terdiri dari suku
(scan), kaum (lineage), paruik (sub-lineage) 47

45
Keebet Von Benda-Beckman, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat
(Jakarta, Grasindo, 2000), hal 67
46
Bandingkan dengan pendapat Soewardi Idris Dt. Bandaro Panjang,
2004) Hal 62
47
Imaran Manan, nagari pro kolonial…, hal 7 dan bandingkan dengan
Mochtar Naim Merantau…18-19 juga baca A. Rivai Yogi, Sastra
Minang (Jakarta Mutiara Sumber Widya), hal 23-24
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 35
Setiap orang dalam sebuah nagari adalah anggota dari
salah satu kelompok matrilinial dalam nagari tersebut,
artinya harus menjadi kemenakan dari seorang panghulu
yang bersangkutan. Kondisi seperti ini memudahkan
dalam memenej anak kemenakan, karena telah berada
pada sebuah komunitas kecil dalam wilayah ketetanggaan.
Wilayah ketetanggaan ini mempunyai aturan sendiri yaitu
sebuah kesepakatan, yang dalam sistem musyawarah adat
disebut dengan buek. Tentang perkembangan nagari akan
dibahas lebih jauh pada Sub C dalam bab ini.

2. Periode Kolonial
Sebelum pecahnya Perang Paderi 1821, Sumatera Barat
berada dalam kesatuan Luhak dan Rantau, yang terdiri
dari nagari-nagari. Dan nagari diberi kebebasan secara
adat, namun setelah pemerintahan kolonial Belanda,
secara berangsur-angsur dan sistimatik mengadakan
pendekatan, dengan berpedoman kepada Regering
Reglement (RR) tahun 1854 (Stbl nomor 129 tahun 1854),
semacam undang-undang dasar untuk negeri jajahan
Hindia Belanda yang pelaksanaannya diatur dalam
ordonansi.
Pada Plakat Panjang tahun 1833, Belanda mengakui
keberadaan nagari dengan sikap tidak akan mencampuri
urusan nagari (otonomi), secara politik kekuasaan
pemerintahan Belanda membiarkan pemerintahan nagari
diatur menurut adat yang berlaku, dan dipertegas lagi
dalam ordonansi 27 September 1918
Pada tahun 1848, Belanda mengatur pemerintahan nagari
yang disesuaikan dengan kepentingan pemerintahan
penjajahan 48. Insitusi baru didirikan yaitu Tuanku Laras

48
Soewardi Idris, hal 86, 2004
36 Manajemen Suku
merupakan koordinator beberapa nagari menyangkut
pengumpulan pajak, pelaksanaan tanaman paksa
terutama kopi untuk diekspor ke Belanda. Pejabat pribumi
yang melaksanakan kebijakan Belanda di Minangkabau ini
cukup ditakuti, gajinya besar dan tumbuh menjadi feodalis
baru.
Pemerintahan keselarasan ini berakhir tahun 1917 diganti
dengan peraturan pemerintah Belanda tanggal 27
Septembar 1918 yang dimuat dalam Lembaran Negara No.
667, yang isinya tentang pemerintahan baru paska
pemerintahan Tuanku Laras, setelah dilakukan perubahan
dan penambahan dikeluarkan Inlandsche Gemeente
Ordonantie Buitengewesten (IGOB) tahun 1938
(Lembaran Negara 490).
Menurut IGOB, nagari berkedudukan sebagai Badan
Hukum Bumi Putra yang diberi hak mengatur urusan
rumah tangga sendiri yang sama maksudnya dengan
otonomi. Sebelum IGOB diberlakukan, Belanda
mengangkat Penghulu-Penghulu baru diluar adat seperti
Penghulu pasar, Penghulu nikah dan di Nagari diangkat
Penghulu Kepala (Angku Kapalo=Kapalo Nagari) 49. Jadi
otonomi yang diberikan pada hakekatnya membiarkan
rakyat sendiri menolong nasibnya, tanpa bantuan
anggaran belanja dari pemerintah jajahan.
Sebagai tindak lanjut dari RR 1854 Nomor 129, maka pada
tahun 1903 pemeintahan Hindia Belanda mengeluarkan
Inlandsche Gemente Ordonantie Stbl Nomor 321, dan
tahun 1918 mengeluarkan Stbl Nomor 667. dengan kedua
ordonansi ini, maka tertatalah kembali susunan tingkat
pemerintahan sebagai berikut:

49
Ibid, hal 87
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 37
1. Provinsi, misalnya provinsi Sumatera dipimpin oleh
Gubernur. Beberapa gewest (misalnya gewest
Sumatera Barat Tapanuli) dihapus dan digabungkan
menjadi provinsi
2. Residentie atau keresidenan, misalnya Keresidenan
Sumatera Barat dipimpin oleh Residen. Keresidenan
Padang Darat (Padangsche Bovenlanden) dan
Padang Benedenlanden (Padang Laut), yang ada
selama ini dihapus dan digabungkan menjadi satu
keresidenan, yakni Keresidenan Sumatera Barat
3. Afdeling, dipimpin oleh Asisten Residen alias tuan
Luhak ala Minang.
4. Onder Afdeling, dipimpin oleh kontolir alias Tuan
Kumandua ala Minang
5. District, dipimpin oleh Demang alias Wedana yang
mempin wilayah kewedanaan.
6. Onder District, dipimpinan oleh Asisiten Demang
alias Asisten Wedana atau Camat yang dipimpin
wilayah kecamatan
7. Nagari, dipimpin oleh Kepala Nagari atau Angku
Palo.

Keadaan seperti ini masih berlangsung sampai pada


zaman penjajahan Jepang, dan awal-awal kemerdekaan
dan berlanjut sampai agresi Belanda ke II tahun
1948/1949

3. Periode Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan oleh Dwi
Tunggal (Soekarno –Hatta), jelas membawa makna
penting dalam nilai-nilai dasar budaya, politik bangsa
Indonesia Pada awal kemerdekaan, namun tidak serta
38 Manajemen Suku
merta merubah susunan pemerintahan nagari di
Minangkabau.
Perubahan sedikit terjadi, setelah dikeluarkannya
Maklumat Residen Sumatera Barat Nomor 20 dan 21
tanggal 21 Mei 1946 yang menetapkan Perubahan
dalam Susunan Kelambagaan Nagari, perobahan itu
setelah mendengarkan Rapat Pleno Komite Nasional
Keresidenan Sumatera barat pada tanggal 18 Maret 1946,
dengan pertimbangan untuk menegakkan demokrasi serta
memperlancar pemerintahan dan pembangunan nagari-
nagari. Unsur-unsur dari pemerintahan nagari adalah
Wali Nagari, Dewan Perwakilan Nagari (DPN) dan Dewan
Harian Nagari (DHN), dengan demikian posisi wali nagari
menjadi sangat kuat, karena sekaligus merupakan ketua
DPN dan DHN 50 yang berlaku umum di Sumatera Barat
Tanggal 15 Januari 1954, Presiden Soekarno menerbitkan
keputusan No. 1 yang isinya antara lain menghapuskan
daerah otonomi, menghidupkan kembali wilayah
pemerintahan sesuai dengan ordinasi tahun 1938 (IGOB).
Dengan penjelasan sistem demokrasi yang berlaku di
nagari adalah demokrasi modern tidak dengan demokrasi
adat.
Penjabaran keputusan No. 1 ini ditindaklanjuti oleh
pemerintah Propinsi Sumatera Tengah dengan
mengeluarkan ketetapan No. 2/6/55 yang memberi
petunjuk tentang cara pembentukan DPR Nagari.
Secara administrasi yang berlaku umum di Sumatera
Barat, pemerintahan berada dibawah jorong, berpedoman
kepada surat Keputusan Mendagri No 17/1977 tanggal 25
Januari, pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I
Sumatera Barat mengeluarkan Surat Keputusan No

50
Efi Yandri, Nagari dalam Perspektif Sejarah, (Lentara 21,2003), Hal, 61
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 39
259/GSB/1977 tentang Penetapan Jorong disamakan
denan Desa. Keadaan ini terus berlangsung sampai
berakhirnya jorong ditetapkan menjadi desa pada 1
Agustus 1983.
Dengan berlakunya UU No 5 tahun 1979, nagari dipecah
menjadi 3500 desa, jo Perda No 8 tahun 1981, dan berlaku
efektif di Sumatera Barat berdasarkan Keputusan
Gubernur kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor
162/GSB/1983, nagari lenyap dalam bentuk pemerintahan
jorong yang ada dikembangkan menjadi desa yang berhak
mengatur urusannya sendiri.

4. Periode Otonomi Daerah


Dalam membahas nagari di era Otonomi Daerah, terlebih
dahulu akan dikemukakan keadaan nagari di era
Peraturan Daerah (Perda) 13 tahun 1983. Tinjauan ini,
berguna agar dapat dibandingklan dengan nagari diera
Otonomi Daerah sekarang.
Nagari dalam Perda No 13/1983, pasal 1 huruf (e) Nagari
adaalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam propinsi
Daerah Tingkat I Sumatera Barat yang terdiri dari
himpunan dari beberapa suku yag mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri. Tidak mempunyai
hak dan wewenang dalam sistem pemerintahan. Nagari
semata-mata hanyalah mengatur kehidupan masyarakat
nagari sepanjang adat yang dalam pelaksanaanya
dilakukan oleh lembaga Karapatan Adat Nagari.
Nagari tidak lagi merupakan suatu organisasi
pemerintahan terendah langsung dibawah Camat. Nagari
diganti dengan desa berdasarkan Undaang-undang No 5
/1979 tentang pemerintahan desa.

40 Manajemen Suku
Walaupun nagari melalui Perda no 13/1983 secara akal-
akalan sempat dialihkan dengan menjadikan unit
kesatuan adat dan ekonomi, pada saat itu kepala desa:-
wajib mempedomani keputusan KAN (Karapatan Adat
Nagari), tetapi itu hanya macan kertas yang tidak punya
gigi. Dalam kenyataanya, desa-lah yang lebih kuat, karena
menjadi ujung tombak pemerintahan pusat. Dengan
demikian reduplah demokrassi asli yang selama ini hidup
dan berkembang di nagari 51
Reformasi telah bergulir pada tahun 1988, angin segarpun
telah berhembus, walaupun tidak secara spontan respon
timbul dari masyarakat untuk kembali kepada sistem
pemerintahan nagari . Hal ini dapat dipahami, secara
psikologis masyarakat masih “gamang” terhadap
perubahan yang ada, dan belum terhapusnya jejak-jejak
masa lalu (Orde Baru). Selama ini suara dari bawah
kurang didengar, dan tidak dibiarkan adanya perbedaan
pendapat, apalagi yang bertentangan dengan kehendak
pemerintahan. Sehingga berakibat pada kecendrungan
cuek, takut, masa bodoh terhadap datangnya perubahan
Dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, telah membuka peluang bagi
Pemerintahan Daerah Sumatera Barat untuk
membangkitkan kembali Pemerintahan Nagari, dalam
rangka menyesuaikan sebutan lain dari desa yaitu Nagari
seperti yang dikehendaki oleh undang-undang nomor 22
tahun 1999 pasal 1 huruf (o).
Undang-undang nomor 22/1999 oleh pemerintahan
Sumatera Barat, telah dijabarkan dalam bentuk Peraturan
Daerah nomor 9 tahun 2000, tentang Pokok
Pemerintahan Nagari

51
Mochtar Naim, Perspektif Nagari ke Depan, hal xi
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 41
Nagari adalah satu kesatuan hukum adat dalam daerah
Propinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari himpunan
beberapa suku yang mempunyai wilayah yang tertentu
batas-batasnya, mempunyai harta kekayaan sendiri,
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya dan
memilih pimpinan pemerintahannya.
Dari penjelasan tentang maksud dari pemerintahan nagari
seperti dalam konsideran dari Perda No. 9 tahun 2000,
adalah: Pemerintahan Nagari yaitu kegiatan dalam rangka
penyelengaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
organisasi pemerintahan terdepan tetapi tidak lagi berada
di bawah Camat, karena Nagari merupakan kesatuan
berasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Dan
kedudukan Nagari merupakan sub sistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan Negara, sehingga nagari
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat. Wali Nagari bertangung jawab
kepada Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) dan
menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada
Bupati 52
Nagari menjadi pemerintahan terdepan, dalam era
Otonomi Daerah sekarang, yang dapat mengatur dan
mengurus serta menjalankan pemerintahan sendiri.
Berbeda dengan Nagari dalam masa Perda nomor 13/1983,
Nagari hanyalah mengatur dan mengurus hal-hal yang
berkaitan dengan adat istiadat saja, sedangkan urusan
administrasi pemerintahan dilaksanakan oleh Desa yang
berada langsung dibawah Camat.
Pemerintahan Kabupaten Solok telah mencanangkan
berlakunya Otonomi Daerah sejak 1 Januari 2001, yaitu
dengan lahirnya Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2001.

52
Peraturan daerah Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000, pasal 1 huruf (g)
42 Manajemen Suku
Desa dihapus, pemerintahan terdepan adalah nagari,
sedangkan Camat berfungsi sebagai fasilitator mewakili
Bupati dalam pembinaan nagari.
Pertama-tama yang dibentuk adalah wakil rakyat yang
disebut Badan Musyawarah Nagari (BMN) terdiri dari
unsur Ninik Mamak. Cerdik Pandai, Alim Ulama, Bundo
Kanduang dan Pemuda serta perwakilan masyarakat di
perantauan. Penunjukkan anggota BMN secara
musyawarah dan perwakilan golongan. BMN dilantik oleh
Bupati
Tujuan membuat peraturan dan tata tertib membentuk
panitia pemilihan Wali Nagari dan melaksanakan
pemilihan Wali Nagari dan dilantik oleh Bupati. Sampai
naskah ini ditulis terdapat 74 nagari yang telah selesai
melaksanakan pemilihan dan pelantikan wali nagari.
Dengan kerja sama yang baik antara wali nagari dan
perangkatnya berjuang dengan keras untuk merebut 105
wewenang nagari, melaksanakan pemerintahan nagari
dengan dana DAUN dan Pendapatan Asli Nagari untuk
melaksanakan pembangunan demi kesejahteraan rakyat
nagari
Tujuan membuat peraturan daerah dan tata tertib BPAN
(BMN) membentuk panitia pemilihan Wali Nagari dan
melaksanakan pemilihan Wali Nagari dan dilantik oleh
Bupati. Sampai naskah ini ditulis terdapat 74 nagari yang
telah selesai melaksanakan pemilihan dan pelantikan wali
nagari. Dengan kerjasama yang baik antara wali nagari
dan perangkatnya berjuang dengan keras untuk merebut
105 wewenang tersebut dalam melaksanakan
pemerintahan nagari dan dana DAUN daan Pendapatan
Asli Nagari untuk melaksanakan pembangunan demi
kesejahteraan rakyat nagari.

Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 43


Perubahan-perubahan yang mendasar telah terjadi dalam
sistem pemerintahan terdepan yaitu Nagari di Sumatera
Barat. Pertanyaanya adalah mengapa kita kembali kepada
Pemerintahan Nagari?. Peraturan Daerah nomor 13/1983
ternyata tidak mampu mengatasi berbagai persoalan yang
terjadi dalam masyarakat, karena terdapat kerancuan
dalam struktural maupun institusional, jorong menjadi
desa, dan nagari di atasnya. Pemberlakuan UU nomor 5
1979 yang mengutamakan prinsip uniformalitas dan
sentralistik kekuasaan. Pertemuan-pertemuan Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) hanya formalitas
saja, Lembaga Musyawarah Desa (LMD) tidak dapat
mengambil keputusan sendiri, karena telah ada keputusan
di atasnya yang harus dipatuhi. Desa diutamakan
mencapai target pajak 100% dengan harapan dapat
Bantuan Desa (Bandes) dari pusat.
Dengan telah kembalinya “Si anak Hilang” yaitu
Pemerintahan Nagari, ini juga berarti kesempatan untuk
berbenah diri bagi masyarakat terbuka lebar. Dan ternyata
setelah babaliak banagari keinginan untuk membangun
Nagari dengan partisipasi masyarakat telah kembali
timbul, misalnya organisasi-organisasi perantauan yang
telah banyak memperhatikan dan berbuat untuk kampung
halaman, begitu juga dengan partisipasi masyarakat di
kampung halaman telah memulai membangun nagarinya
masing-masing secara bergotong royong.
Walaupun hal tersebut di atas belum bisa digeneralisasi,
untuk menyatakan tingginya pertisipasi secara
keseluruhan. Paling tidak, hal itu menjadi indikasi awal,
bahwa telah tumbuhnya partisipasi masyarakat. Bantuan
Desa (Bandes) yang selama periode “Desa”, menjadi
“andalan” pembangunan, ternyata di sisi Bandes lain telah
menghilangkan partisipasi masyarakat.

44 Manajemen Suku
Dampak dari demokratisasi yang sedang berkembang,
seolah-olah Nagari telah menjadi “Negara” dalam Negara
kesatuan Republik ini, hal tersebut merupakan evoria dari
perobahan tatanan sosial, politik yang digulirkan dalam
gelombang reformasi, karena selama dalam era Perda
13/1983, nagari terkungkung dalam “Belenggu Desa”.

C. Struktur dan Unsur-Unsur


Kelembagaan Nagari
Terbentuknya nagari di Minangkabau melalui suatu
proses yang panjang, sesuai dengan pola yang mereka
terima yaitu, langgam nan ampek yang bermula dari
taratak menjadi dusun, dusun menjadi koto (kampuang)
dan himpunan beberapa kampuang akhirnya menjadi
Nagari. Hal ini dikemukakan dalam mamang sebagai
berikut:
Rang gadih mangarek kuku
Dikarek jo pisau sirauik
Pangarek batuang tuonyo
Nagari ba ampek suku
Dalam suku babuah paruik
Kampuang ba nan tuo
Rumah ba tungganai

Artinya lahirnya sebuah nagari sekurang-kurangnya


dibangun oleh empat suku. Setiap suku mengelompok
dalam beberapa buah koto dan setiap koto didiami oleh
keluarga-keluarga dalam suku yang sama. Pada tingkat
pertama hanya hanya empat suku yaitu dua dari
keselarasan Koto Piliang (Koto -1- dan Piliang -2-) dan
keselarasan Bodi Caniago (Bodi -3- dan Caniago -4-)
Nagari yang terdiri dari kesatuan teritorial, pemerintahan
dan keturunan. Setiap nagari mempunyai pemerintah
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 45
sendiri dan menurut penulis-penulis barat, pemerintah
nagari dulunya barjalan baik, demokratis dan
tidak disalahgunakan. Kesempatan penyelewengan
sangat sedikit karena kontrol langsung dari rakyat melalui
penghulu-penghulunya. Setiap nagari mempunyai balai,
rumah adat, mesjid dan menguasai kekayaan sendiri
nagarinya:
Bacupak bagantang
Baradat balimbago
Bataratak bakapalo koto
Babalai bamusajik
Balabuah bagalanggang
Batapian batampek mandi

Nagari tak ubahnya seperti republik mini; dengan


perangkat pemerintahan, mempunyai teritorial dan
berpemerintahan otonom yang berhak mengatur dirinya
sendiri. Setiap nagari akan berbeda aturan yang berlaku
dan aturan itu hanya menyangkut adat nan diadatkan
dan adat istiadat dan tidak menganggu aturan umum
yang berlaku di Minangkabau
Setiap anak nagari berkewajiban mengetahui, mengenal
adat dan budaya yang berlaku di nagarinya, sesuai dengan
petuah adat: adat salingka nagari, dan keragaman akan
adat itu sendiri; lain padang lain bilalang, lain lubuak
lain ikannya, tetapi tetap berada dalam lingkungan adat
nan ampek:
1. Adat nan sabana adat
2. Adat nan teradat
3. Adat nan diadatkan
4. Adat istiadat

46 Manajemen Suku
Adat nan sabana adat adalah tetap, kekal, tidak
terpengaruh oleh tempat, waktu dan keadaan, indak
lapuek dek ujan, indak lakang dek paneh, dianjak indak
layua, di bubuik indak mati.
Adat nan diadatkan adalah hukum-hukum adat yang
diterima dari niniek mamak urang Minang Datuak
Katumanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang,
yang pada pokoknya cupak nan duo, kato nan ampek,
undang-undang nan ampek dan nagari yang ampek
Adat nan teradat merupakan kebiasaan masyarakat
setempat yang telah diambil melalui kesepakatan terlebih
dahulu, boleh dikurangi, ditambahi atau dihilangkan.
Adat istiadat yaitu kelaziman disatu-satu nagari pada
suatu keadaan yang dipaturunkan-dipanaikan dalam
pergaulan sesama
Manusia menurut sifatnya tidaklah dapat hidup sendiri,
dia membutuhkan pertolongan dan bantuan, sejak kecil si
anak membutuhkan bantuan dari orang tuanya setelah
uzur pun juga membutuhkan bantuan baik dari anak
sendiri maupun dari orang lain. Adanya hubungan tolong
menolong antara sesama merupakan dasar pergaulan
hidup sesama makhluk Tuhan
Dalam kehidupan bermasyarakat, timbulnya istilah barek
samo dipikua, ringan samo dijinjiang merupakan
cerminan dari pola kehidupan bermasyarakat, Dalam
pergaulan tidak mungkin terlepas dari rasa kebersamaan,
dengan demikian rasa kebersamaan itu merupakan
kepentingan bersama dalam kehdupan yang dapat dilalui
bersama
Atas dasar kebersamaan itulah orang-orang Minang
menyusun Taratak yang dimulai dari beberapa keluarga,
keluarga lain dengan keluarga lainnya dan akhirnya
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 47
bersatu dan berkembang dalam komunitas lainnya dan
berada dalam kelompok baru yaitu dusun. Dusun
merupakan tempat menyusun kekuatan bersama untuk
mancancang latieh jo manaruko. Mengerjakan tanah
tempat mereka dalam kampuang sesuai dengan pepatah
adat yang mengajarkan:
Singok nan bagisia
Halaman nan salalu
Batunggua bapanabangan
Bapandam-bakuburan

Kampuang demi kampuang telah disusun dan


dikembangkan dengan sistim yang sama dan telah
ditempati oleh masyarakat dari dusun ke dusun dan
berkembang menjadi koto
Balabuah batapian
Batunggua bapanabangan
Badusun bagalanggang
Bakorong bakampuang

Pada tahapan koto adanya labuah yang menghubungkan


satu dusun ke dusun yang lain. Adanya tapian sebagai
sumber air untuk kebutuhan irigasi dan tampek
pamandian. Koto merupakan gabungan dari beberapa
dusun (kampuang) juga membutuhkan galanggang untuk
bermain. Syarat-syarat untuk mendirikan nagari termasuk
babalai, bamusajik, dengan demikian muncullah nagari-
nagari di Minangkabau.
Balai adalah tempat untuk bermusyawarah anak nagari.
Salasai adat di balai artinya apapun permasalahan adat
harus dimusyawarahkan oleh pemangku adat di balai
pertemuan. Sedangkan Salasai agamo di musajik artinya
bahwa Musajik (mesjid) merupakan tempat penyebaran
agama Islam.
48 Manajemen Suku
Secara fisikal dan teritorial nagari itu harus mempunyai
beberapa hal, diantaranya adalah:
- Balabuah: Harus ada jalan yang menghubungakan
antara satu kampuang dengan kampuang yang lain
- Batapian: Harus ada sungai ataupun sumber mata
air untuk sumber kehidupan bagi masyarakat yang
mendiami wilayah tersebut
- Bagalanggang: Merupakan tempat pertemuan yang
umum bisa berbentuk pasar atau tanah lapang
tempat bermain, bersilat atau berolah raga dsb
- Babalai: Dalam satu nagari diperlukan tempat
pertemuan untuk musyawarah dan bisa
dimanfaatkan oleh anak nagari untuk kepentingan
nagari
- Bamusajik: Setelah agama Islam memasuki
wilayah Minangkabau maka menjadi persyaratan
bahwa adanya musajik untuk tempat beribadah dan
pusat kajian Islam bagi masyarakat

Nagari sebagai bentuk organisasi (institusi) yang pertama


di Minangkabau yang dapat mewakili suara anak nagari,
maka nagari dapat menjadi suatu bentuk wilayah dan
pemerintahan yang dapat berdiri sendiri. Nagari di
Minangkabau telah berperan dengan baik dan kuat dalam
mengatur dan mengendalikan anggota masyarakatnya
sendiri, oleh karenanya nagari sering mengalami
intervensi. Di zaman perang Paderi, Belanda mencoba
memisahkan antara Penghulu dengan Ulama. Para
Penghulu diangkat menjadi pegawai, yang duduk dalam
pemerintahan, Penghulu digunakan sebagai alat
pemerintahan, seperti dalam mamang berikut:
Dulu rabab nan batangkai
Kini langgundi nan baguno
Dulu adat nan bapakai
Kini rodi nan baguno
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 49
Intervensi terhadap pemerintah nagari pada dekade 1980-
an oleh pemerintahan Orde Baru, hanya menyisakan
sedikit ruang kepada nagari dalam mengatur dirinya
sendiri, lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang
berfungsi sebagai pelaksana dan pengontrol pelaksanaan
adat dan budaya saja, Karapatan Adat Nagari tidak ikut
campur dalam pelaksanaan pemerintahan.
Dengan munculnya derap reformasi secara nasional
berlangsung di tahun 1998, maka di keluarkan UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan disambut
Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Nagari oleh Pemerintah Sumatera Barat.
Perda ini mencoba lebih membuka pintu kepada nagari
untuk dapat mengembangkan dirinya dengan
menyerahkan lebih dari 105 wewenang pemerintahan
pada nagari.
Visi Pemerintah Sumatera Barat dengan `Otonomi
Berbasis Nagari`, adalah usaha pemerintah
menempatkan nagari pada posisi semula. Permasalahan
yang mendasar dalam hal ini adalah bagaimana
menyamakan misi dalam menjalankan roda pemerintahan
nagari.
Dalam pelaksanaan otonomi berbasis nagari tersebut
tidak selalu misi yang spesifik harus berada dalam satu
koridor, karena ada suatu yang unik dalam masing-masing
nagari adalah:
Lain lubuak lain ikan
Lain padang lain belalang
Lain nagari lain sistim (adat)nya

Nagari diberikan kebebasan dalam bentuk perbedaan


tradisi. Nagari dapat mengatur aktivitas masing-masing
menurut tatanan dan aturan yang disetujui oleh

50 Manajemen Suku
masyarakat tersebut. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa
karakteristik budaya lokal yang spesifik dari setiap nagari,
pengolahan dan pengorganisasian diserahkan sepenuhnya
kepada masing-masing nagari, dalam bidang adat berada
dibawah Karapatan Adat Nagari (KAN)
Keputusan yang diambil KAN yang terdiri dari Penghulu
suku, Penghulu kaum, Penghulu tungganai berdasarkan
kebersamaan melalui musyawarah dan mufakat. Sistem
pengambilan keputusan dalam lembaga ini tidak dikenal
adanya suara voting atau perhitungan suara setuju dan
tidak sutuju. Semua keputusan mengedepankan azas
musyawarah untuk mufakat. Apabila suatu keputusan
belum mencapai kata sepakat, maka pengambilan
keputusan ditunda dulu atau dengan istilah
diperambunkan menjelang didapatnya kata sepakat
Hal ini dimaksudkan, agar peserta rapat dalam pengambil
keputusan dapat menimbang kembali atau menungkuik
manilantangkan terhadap dampak dari keputusan yang
akan ditetapkan itu nantinya. Jadi di sini berlaku sistem
demokrasi, duduak samo randah tagak samo tinggi,
semua peserta rapat mempunyai hak suara yang sama,
dan keputusan diambil secara aklamasi
Adat, Agama dan Cendikiawan dalam suku atau kaum
yang dikenal dengan tali tigo sapilin dan tungku tigo
sajarangan. Ketiga unsur tersebut bersinergi dalam
menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan,
menjadi sesuatu kekuatan dalam memberdayakan
masyarakat. Kehidupan bernagari di Ranah Minang
terdapat prinsip-prinsip yang bernilai substantif seperti
otonomi, demokrasi, egaliter, parsitipatif, dan
kebersamaan
Dengan memanfaatkan setiap potensi nagari, jengkal
tanah dengan pengelolaan lumbung nagari, yang
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 51
bersumber dari rangkiang di setiap kaum dan suku.
Sejengkal tanah tersebut akan menjadi kekuatan
fundamental ekonomi berbasis rakyat yang siap untuk
berkompetitif.
Adanya pemerintahan yang kokoh dibawah
kepemimpinan wali nagari, dan lembaga Karapatan Adat
Nagari (KAN), diperkuat lagi dengan Alim Ulama dan
Cadiak Pandai serta Bundokanduang. Adanya kekuatan
ekonomi yang berbasis dana kaum dalam bentuk fisikal,
berupa pusako tinggi sebagai milik kaum dan suku. Luas
wilayah yang mencukupi berdirinya nagari. Hal tersebut
adalah strutur dan unsur-unsur yang menjadi kekuatan
dalam pemerintahan nagari di Sumatera Barat.

D. Pemerintahan Nagari dalam


Perspektif Otonomi Daerah
Perspektif Nagari sebagai basis otonomi dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah di Sumatera Barat
menunjukkan, keberpihakan pemerintahan Propinsi
Sumatera Barat, dalam keinginannya agar segera
terwujudnya program kembali ke nagari yaitu Otonomi
Berbasis Nagari
Perubahan paradigma, sebagai wujud reformasi
pemerintahan secara Nasional dilaksanakan secara
legalitas formal melalui UU No.22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah, hal yang mendasar dalam
penyelenggaraan Pemerintahan adalah dikuranginya
sistem pengaturan penyelenggaraan pemerintah secara
terpusat (sentralistik), dengan kebijakan yang didominasi
oleh pemerintah pusat (top down) meskipun secara
bottom up untuk mengkoordinir aspirasi masyarakat.

52 Manajemen Suku
Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999, maka
pelaksanaan otonomi daerah yang dicirikan dengan asas
desentralisasi, memposisikan Pemerintah Daerah menjadi
penanggung jawab utama atas kebijakan penyelenggaraan
pemerintah sesuai dengan kewenangan yang diberikan,
dan tetap berada dalam koridor Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pemberian kewenangan yang besar kepada daerah
dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintahan
berjalan lebih efektif dan efisien, sesuai dengan kondisi riil
yang dibutuhkan oleh masyarakat daerah yang
bersangkutan, sehingga pelayanan kepada masyarakat
terselenggara lebih baik dan dengan memenuhi harapan
masyarakat.
Perubahan paradigma pemerintahan dari asas sentralistik
ke asas desentralisasi, menuntut kemampuan Pemerintah
Daerah untuk dapat merumuskan kebijakan sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan potensi daerah serta dapat
dimanfaatkan secara optimal
Pemerintah Propinsi Sumatera Barat telah menyikapinya
secara arif UU No 22 tahun 1999 tersebut dengan
mengeluarkan Perda No. 9 Tahun 2000, tentang
Ketentuan Pokok Pemerintah Nagari. Dalam perda
tersebut dinyatakan bahwa nagari adalah kesatuan
masyarakat hukum adat yang terdiri dari beberapa suku,
yang mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu serta
mempunyai harta kekayaan sendiri dan berwenang
mengurus rumah tangganya sendiri serta memilih
pimpinan pemerintahannya
Berdasarkan otonomi yang dimiliki nagari, maka
pemerintahan nagari dapat mengembangkan peran serta
seluruh masyarakat yang terorganisir secara baik di dalam
suku-suku secara demokratis dengan memanfaatkan nilai-
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 53
nilai budaya Minangkabau serta peranan Kerapatan Adat
Nagari atau lembaga lainnya di nagari sebagai mitra kerja
dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan
inilah Pemerintah Propinsi Sumatera Barat menetapkan
nagari sebagai basis dalam penyelenggaraan otonomi
daerah, artinya otonomi daerah dibangun berdasarkan
kemandirian pada level penyelengagaraan Pemerintahan
Nagari
Otonomi yang dijembatani oleh nagari di Sumatera Barat
tidak bernasib mujur, seperti pengalaman Kanada dalam
menjalankan Otonomi. Nasib sebagai pemerintahan
terdepan mengalami pasang surut seiring dengan sistem
pemerintahan Republik Indonesia.
Pada saat pemerintahan orde lama, nagari mendapat
tempat dalam sistem pemerintahan yang ada, tetapi pada
saat pemerintahan orde baru yang bersifat monolistik
sentralistik, terjadi pendesa-isasian seluruh sistem
terendah yang ada di republik ini, sehingga UU No.5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah menaklukan
kekuatan tradisi masyarakat Minangkabau dibawah
kekuasaan negara. Kondisi tersebut telah membelenggu
semangat kegotongroyongan dan partsipasi masyarakat
dalam membangun nagarinya
Antara pemerintahan nagari dan pemerintahan daerah
merupakan bentuk sistem pemerintahan otonomi, karena
nagari adalah kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam
wilayah Propinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari
himpunan suku-suku yang mempunyai wilayah tertentu,
harta kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri dan memilih pimpinan
pemerintahannya sendiri
Sedangkan daerah otonom yang disebut daerah, adalah
suatu kesatuan hukum yang mempunyai batas daerah
54 Manajemen Suku
tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
bedasarkan aspirasimasyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia
Dengan demikian, nagari mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Sehingga nagari merupakan suatu bentuk
pemerintahan terdepan, yang otonom di Sumatera Barat,
bahkan Otonomi Nagari bukan saja pada aspek
pengeluaran tetapi juga pada aspek penerimaan, jadi
keleluasaan Nagari dalam mengatur rumah tangganya
sendiri jauh lebih luas dari pada Pemerintahan Daerah.
Pemerintahan Nagari yang memiliki tanggung jawab
dalam hal pemerintahan dan pembangunan yang mengacu
kepada kepentingan Nagari, Daerah dan Nasional, sesuai
dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Disamping itu nagari sebagai institusi lokal merupakan
instrumen dalam membangun demokrasi yang
sesungguhnya.
Otonomi Daerah di Sumatera Barat sepenuhnya tidak
hanya bertumpu pada sistem Pemerintahan Nagari yang
ada, lebih jauh Otonomi Daerah juga mengandalkan
adanya faktor relasi nagari sebagai institusi lokal, dengan
kekuatan yang berada diluar dirinya sendiri. Betapapun
dan apapun usaha mewujudkan Otonomi Daerah,
bilamana institusi lokal masih menjadi subordinasi dari
kekuatan diatasnya, maka perubahan kearah kehidupan
yang elegan dan demokratis tidak akan pernah dapat
direalisasikan
Sebaliknya institusi lokal sebagai basis masyarakat
mayoritas, jika tidak bisa ditransformasikan menjadi
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 55
kekuatan yang demokratis, maka sangat sulit untuk
membangun otonomi daerah yang sesungguhnya. Dari
sini terlihat kaitan yang erat antara otonomi daerah dalam
nagari di Sumatera Barat dalam proses demokratisasi.
Dalam melaksanakan pemerintahan nagari juga
mengalami perubahan-perubahan penggunaan sebutan
istilah untuk pemimpin nagari, yaitu:
1. Penghulu Kepala di Zaman Perang Paderi sampai
berakhirnya Plakat Panjang tahun 1833 dan 1908-
1914
2. Kepala Nagari (Nagari Hoofd) than 1914-1942
sampai masuknya Jepang
3. Di zaman Jepang disebut dengan kocu
4. Di zaman Kemerdekaan sampai sekarang disebut
Wali Nagari

Dalam tata aturan pemilihan dari dulu sampai sekarang


telah banyak peraturan yang mengatur tentang pemilihan
dan pengukuhan kepala nagari, diantaranya:
1. Kesepakatan Nagari pada awal abad ke-19
2. Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten
(IGOB) Stbl No. 490 dan Stbl 1938 antara lain
mengatur nagari sebagai kesatuan
masayarakathukum adat
3. Maklumat Residen Sumatera Barat No. 20 yakni
mengatur Pemerintahan Nagari
4. Surat Keputusan Gubernur Kepala Derah Sumatera
Barat:
- Surat Keputusan No. 02/ Desa/GSB/prt-1963
tentang Peraturan Nagari dalam daerah
Sumatera barat
- Surat Keputusan No. 015/GSB/1968 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan nagari
56 Manajemen Suku
- Surat Keputusan No. 155/ GSB/1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Nagari di
Sumatera barat

Semenjak diberlakukannya Perda No. 9/2000 tentang


ketentuan pokok Pemerintahahn Nagari di Sumatera
Barat, terasa ada geliat dan gairah anak nagari
memikirkan kemajuan nagarinya yang diperhitungkan
akan memicu partisipasi lebih nyata dan kongrit. Apalagi
secara komunal anak nagari dimanapun berada memiliki
hak yang sama untuk ikut mengambil keputusan, ikut
membangun, ikut bertanggungjawab tentang keputusan
yang diambil. Sinergi kampung halaman dan rantau
adalah modal utama menggerakkan pembangunan nagari
menuju kesejahteraan bersama
Dari sisi ini, pemerintah telah memfasilitasi berbagai
kelembagaan nagari untuk memiliki institusi dalam
pelayanan publik sebagai unit pemerintahan terendah,
diiringi fasilitas lebih lanjut dengan menetapkan Dana
Alokasi Umum Nagari (DAUN) dan berbagai pelatihan
bagi aparat pemerintahan nagari agar efektif melakukan
aktifitas pelayanan
Namun setelah lima tahun pelayanan publik berbasis
nagari, belum memberikan gambaran yang memuaskan
sebagaimana kita harapkan. Kedaulatan sudah ditangan
pemerinatahan nagari, dan sebagian Pemerintahan
Kabupaten telah menyerahkan beberapa kewenangan
untuk selanjutnya menjadi tugas dan kewenangan
pemerintahan nagari bersangkutan.
Di tengah-tengah kegalauan dan kegamanggan akan
paradigma baru otonomi daerah berbasis nagari.
Kegamangan berangkat dari kelemahan dan partisipasi,
untuk itu perlu suatu skenario pemberdayaan nagari yang
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 57
mensinergikan seluruh potensi yang ada, melibatkan para
stakeholder yang terkait untuk mengisi otonomi daerah
secara strategis dan berkelanjutan.
Upaya pemberdayaan Nagari dilakukan secara sistimatik,
dalam suatu skenario besar (grand scenario) dengan
melibatkan semua stakeholder yang ada dalam nagari.
Hal ini tidak dapat dilakukan oleh pemerintah saja,
apalagi kalau masih menggunakan pendekatan sentralistik
dan top down. Skenario dimaksudkan untuk memetakan
seluruh potensi kompetitif yang dapat dikembangkan,
berikut pilihan pengembangan, permasalahan yang perlu
diatasi, tahapan fasilitas startegis yang harus dilakukan,
gambaran faktor eksternal seperti globalisasi pasar dan
liberalisasi ekonomi, serta langkah-langkah aksi yang
harus dilaksanakan secara konsisten. Penuh komitmen,
strategis dan bertahap oleh masing-masing pihak
Dalam penyusunan skenario besar memanfaatkan nagari-
nagari sebagai pemegang ulayat adat, seluruh sumberdaya
yang ada di tingkat nagari (yang tersebar dalam persukuan)
menjadi stakeholder utama. Kepemilikan sumberdaya
yang dimiliki suku atau kaum menyebabkan basis nagari
menjadi titik perhatian utama pengembangan, maka
pemberdayaan nagari inheren sifatnya dalam skenario
keseluruhan.
Mengingat banyaknya persoalan sosial, jawabannya
diperoleh dengan gagasan ekonomi. Soal ekonomi justru
dapat diantisipasi lebih efektif oleh aspek hukum, konflik
hukum ditengahi oleh pendekatan ekonomi dan aspek
pemerintahan dikelola dengan basis ekonomi. Artinya,
pemberdayaan masyarakat harus didekati dengan
pendekatan multisiplin, multi pandangan dan multi pihak.
Bila infrastruktur pemerintah sudah selesai di institusikan,

58 Manajemen Suku
soal lanjut adalah bagaimana institusi sosial itu bisa lebih
efektif mengelola pembangunan nagari
Agenda besar selanjutnya, bagai mana membiayai sarana
dan prasarana publik dan infrastruktur nagari, dan
bagaimana nagari bisa memiliki sumber pembiayaan
sendiri dan mandiri mengingat DAUN jelas tidak akan
pernah cukup. Kemandirian nagari secara sosial dan
ekonomi adalah wujud ‘otonomi berbasis nagari”
Untuk mewujudkan visi Pemerintah Daerah Propinsi
Sumatera Barat menjadikan nagari sebagai basis otonomi
daerah, dibutuhkan beberapa prasyarat yang harus
dipenuhi dalam tataran implementasinya, antara lain:
Pertama: Tersedianya kualitas sumberdaya manusia
(Human Resauces) dalam sektor politik di nagari, yaitu
para profesianalia yang memiliki kemampuan teknis dan
non teknis. Harapan ini dapat dicapai dengan
keikutsertaan perangkat pemerintah nagari dalam
mengikuti pelatihan, tingkat gaji yang memadai, kondisi
kerja yang nyaman dan proses perekrutan yang baik. Hal
ini dimaksudkan dalam kerangka penyelenggaraan
pemerintah formal dan informal di nagari dapat tertata
dengan baik karena konsep dalam nagari terhimpun
semua kekuatan otoritas, tidak hanya kesatuan teritorial
saja tapi juga kesatuan adat (ninik mamak pemangku adat
sangat berperan sekali).
Kedua: Dilakukan reformasi pada tingkat organisasi
masyarakat adat. Ini menekankan pada struktur mikro
yang memfokuskan diri pada sistem manajemen modern
untuk memperbaiki kinerja dan pelaksanaan fungsi-fungsi
dan tugas yang spesifik dalam menunjang
penyelenggaraan Pemerintahan Nagari selaku
Pemerintahan Formal yang sekaligus bercirikan dukungan
lokal (anak nagari yang berada dalam kesatuan suku) atau
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 59
setidak-tidaknya dalam penerapan kebijakan manajemen
modern ditingkat nagari, tidak mengabaikan kearifan,
keunikan dan tradisi lokal yang spesifik.
Dalam konteks ini, dipandang perlu penyamaan visi dan
persepsi anak nagari baik yang ada di kampuang maupun
di perantauan, bahwa dalam kerangka penerapan
kebijakan manajemen modern, tidak dengan
menghancurkan semua yang berbau lokal. Oleh sebab itu,
harus dikembangkan perspektif baru dalam tatanan
penyelenggaraan Pemerintahan Nagari, yakni
menyandingkan majemen modern dengan nilai-
nilai atau tradisi lokal yang dapat diterima oleh
semua pihak.
Dalam pengembangan Pemerintahan Nagari perlu di up to
date persoalan berikut:
- Reformasi Institusional: penerapan rule of the
game yang jelas bagi anak nagari, artinya perubahan
kebijakan dan hukum yang dimainkan Kerapatan
Adat Nagari (KAN) dan suku-suku dalam
menyelesaikan sengketa sako dan pusako bercirikan
dan berlandaskan ketentuan hukum sepanjang adat
yang berlaku di nagari masing-masing.
- Adanya ruang publik (publik space) bagi
masyarakat atau anak nagari (dikampung dan
perantauan) untuk mengetahui persoalan dan
pelayanan publik (publik services) yang diberikan
oleh Pemerintahan Nagari.
- Kelompok-kelompok civil society yang aktif
dan independen dalam memperjuangkan
kepentingan publik, melakukan kontrol atas
penyelenggaraan pemerintahan dan memperjuang-
kan domokrasi.

60 Manajemen Suku
Selanjutnya berbagai agenda aksi sebagai implikasi
dari skenario percepatan pemberdayaan nagari ke
depan dapat dirancang dan diselenggarakan, antara
lain:
- Memetakan potensi dan kondisi masyarakat
di nagari-nagari berkepentingan dalam suatu forum
untuk merancang agenda aksi strategis nagari paska
reformasi dengan menghadirkan seluruh stakeholder
yang dibutuhkan
- Pemberdayaan disektor pelayanan publik,
apabila dinilai sudah memadai, maka bisa
diharapkan pelayanan publik oleh Pemerintahan
Nagari bisa menjawab tantangan pembangunan
nagari. Pelayanan publik harus didukung oleh
perangkat nagari yang berorientasi kedepan sehingga
handal mengelola berbagai kebutuhan.
Pendelegasian pelayanan publik ke nagari-nagari
oleh Pemerintahan Kabupaten berimplikasi pada
pembagian retribusi antara Pemerintahan Nagari
dan Pemerintahan Kabupaten
- Pemberdayaan di sektor hukum, sangat
diperlukan untuk mendukung nagari agar mampu
mandiri mengembangkan produk hukum sesuai
dengan kebutuhannya. Misalnya untuk menyusun
peraturan nagari diperlukan pengetahuan dan
kemampuan menyusun legal draft dan naskah
akademis

Jika kelima prasyarat diatas telah dimiliki oleh


Pemerintahan Nagari, maka diprediksikan otoda berbasis
nagari akan dapat diwujudkan.
Indikator Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari yang
Otonom dapat dikatakan baik, apabila:

Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 61


- Pelayanan publik (barang dan jasa) ditujukan untuk
mewujudkan cita-cita kolektif (anak nagari)
- Proses pengambilan keputusan di nagari berjalan
baik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
- Pemerintahan Nagari menjalankan fungsi-fungsi dan
kekuasaannya dengan tepat
- Organisasi Pemerintahan Nagari dapat berjalan
dengan baik apabila diisi oleh personil-personil yang
mempunyai kemampuan, kemauan dan komitmen
yang kuat terhadap pemberdayaan Pemerintahan
Nagari

Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari yang buruk,


ditandai dengan peyalahgunaan kekuasaan dan
kewenangan oleh sekelompok anak nagari, sehingga
menghancurkan tatanan yang sudah disusun dengan baik.
Ketika penyelenggaran Pemerintahan Nagari berjalan
dengan baik, maka upaya pengentasan kemiskinan,
keterbelakangan dan tradisi yang menghambat
perkembangan demokrasi dapat dilaksanakan dengan
tepat. Dan akan terwujud pelaksanaan Otonomi Daerah
Berbasis Nagari. Pentingnya komitmen dan concern dari
anak nagari, untuk melaksanakan Otonomi Daerah
Berbasis Nagari dalam mencapai cita-cita masyarakat
yang aman dan makmur.
Dukungan publik, di nagari dan lembaga-lembaga
swadaya masyarakat (LSM) memiliki arti penting, dengan
cara memberi masukan, saran dan kritik yang konstruktif
demi kemajuan nagari serta turut berperan dalam
pelaksanaan program kerja nagari.
Semua hal tersebut tentu saja harus diangkat dalam
langkah-langkah operasional. Agenda kebijakan apapun
yang dioperasionalkan dalam rangka pelaksanaan

62 Manajemen Suku
Otonomi Daerah Berbasis Nagari, maka tataran
implementasikanya akan sangat tergantung pada visi kita
mengenai pentingnya kembali pemerintah nagari dalam
konteks kekinian dan pengembangan nagari itu sendiri
Kabupaten Solok tercatat sebagai daerah yang paling siap
melaksanakan program kembali ke sistem Otonomi
Daerah Berbasis Nagari, karena merupakan daerah yang
pertama melahirkan perda tentang Pemerintahan Nagari
yaitu Perda nomor 4 tahun 2001.
Satu hal yang penting dalam sistem Pemerintahan Nagari,
adalah bagaimana menumbuhkan kembali rasa sahino
samalu, saciok bak ayam, sadanciang bak basi di tengah-
tengah masyarakat. Ketika kemiskinan dan
keterbelakangan terjadi pada anak kemenakan, maka hal
tersebut akan menjadi tanggung jawab dan perhatian
bersama dari keluarga tersebut, dan Pemerintahan Nagari
yang bersentuhan dengan masyarakat dan dapat
melakukan kontrol sosial.
Satu pertanyaan yang perlu dijawab saat sekarang adalah
bagaimana perspektif nagari ke depan? Nagari yang
bagaimana yang ingin diwujudkan? Perpektif nagari ke
depan ini sangat ditentukan oleh kondisi objektif yang ada
sekarang, dengan segala kelebihan dan kekuranganya,
dengan segala kelemahan dan kekuatannya serta visi dan
misi yang diemban oleh anak nagari yang dikampung dan
di rantau.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan
penilaian yang objektif, dan transaparan dengan
menggunakan berbagai indikator terhadap perkembangan
dari pemerintahan desa ke Pemerintahan Nagari saat ini,
dan dengan meminimalisir masalah-masalah dalam
penyelenggaraan pemerintahan nagari.

Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 63


Pemerintahan Kabupaten Solok, telah menyerahkan 105
urusan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintahan
Nagari, dan juga mengatur perimbangan keuangan antara
Pemerintahan Kabupaten dengan Pemerintahan Nagari.
Dengan pola parsitipatif, diharapkan dana tersebut dapat
digandakan untuk kepentingan nagari. Selain itu DAUN
yang dianggarkan setiap tahun, secara utuh diserahkan
pengelolaanya kepada Pemerintahan Nagari.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana implementasi dari
penyerahan kewenangan penanganan keuangan dari
pemerintah kabupaten ke Pemerintahan Nagari? Apakah
sudah terlaksana dengan tepat? Bagaimana kendala yang
terjadi dilapangan? Pengelolaan DAUN sudah tepat
sasaran bagi anak nagari?
Dalam lima tahun penyelenggaraan Pemerintahan Nagari
di Kabupaten Solok, banyak hal yang membanggakan yang
telah dicapai, disamping terdapat benturan antara
kelembagaan di beberapa nagari. Kasus seperti antara
KAN dengan Pemerintahan Nagari dan antara BMN
dengan Pemerintahan Nagari. Kemudian tuntutan
pemekaran nagari yang dipaksakan, sampai dengan
ditolaknya Laporan Pertanggung Jawaban tujuh orang
wali nagari oleh BMN. Pada beberapa nagari juga terdapat
keengganan untuk membentuk Lembaga Majelis Tungku
Tigo Sajarangan (MTTS) dan disisi lain, fungsi Niniek
Mamak juga dirasakan masih belum optimal dalam
memacu kemajuan nagari
Untuk menyikapi berbagai persoalan yang muncul, maka
diusulkan rancangan revisi Perda Kabupaten Solok No. 4
Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari ke DPRD.
Dengan revisi ini persoalan dan hambatan dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Nagari dapat
diminimalkan. Bahkan lebih jauh seluruh persoalan nagari
64 Manajemen Suku
dapat diselesaikan oleh nagari itu sendiri tanpa
melibatkan pemerintahan Kabupaten.
Beberapa hal yang menyangkut peningkatan eksistensi
Ninik Mamak, telah tercantum secara signifikan dalam
rancangan revisi Perda No. 4 tahun 2001 tersebut. Pasal-
pasal yang menyangkut Kerapatan Adat Nagari berubah
menjadi 15 pasal dari 2 pasal. Pada keanggotaan Badan
Permusyawaratan Nagari (dulu Badan PerwakilanNagari)
berasal dari Ninik Mamak yang mencerminkan
keterwakilan suku dan Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo
Kanduang, utusan jorong dan utusan pemuda yang ada
dalam nagari. Di samping itu upaya menghimpun potensi
sebagai wujud partisipasi anak nagari di perantauan dapat
dibentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan atau lembaga
lain sesuai dengan kebutuhan nagari. Lembaga ini akan
membantu pemerintahan nagari dalam bidang sosial,
ekonomi dan kemasyarakatan yang diwujudkan dalam
peran serta dalm menghubungkan anak nagari yang
dikampung dan di rantau serta aktif mendorong
transformasi potensi intelektual dan finansial perantau
untuk percepatan pembangunan nagari.
Perlu dikaji kemungkinan hadirnya Dewan Pertimbangan
Majelis Nagari (suatu lembaga yang didirikan oleh
masyarakat adat yang berada dikampung halaman dan di
rantau), gunanya untuk membangun kebersamaan,
memberikan nasehat, saran, kritik dalam upaya
menghadirkan sinergi antara ranah dan rantau untuk
mempercepat pembangunan nagari.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah status pimpinan
pemerintahan nagari dan stafnya, karena camat dan
bupati sebagai pimpinan pemerintahan daerah berstatus
pegawai negeri, sedangkan wali nagari dipilih oleh
masyarakat berdasarkan ketokohan. Kondisi ini akan
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 65
berubah bila ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) selaku
Pucuk Adat di nagari dan dikukuhkan sebagai Wali Nagari
yang sekaligus mewakili Kepala Pemerintahan NKRI di
nagari. Dengan demikian Kepala Pemerintahan
Masyarakat Adat secara otomatis menyatu dengan Kepala
Pemerintahan NKRI di daerah otonomi terdepan di
Sumatera Barat sesuatu yang sangat ideal.

66 Manajemen Suku
BAB 4
SUKU, SEJARAH DAN
PERKEMBANGANNYA

A. Pengertian Suku
Kata suku artinya golongan orang-orang (keluarga) yang
seketurunan atau lebih tepatnya golongan orang-orang
sekaum yang seketurunan (matrilineal=menurut garis ibu).
Pada awalnya setiap orang Minang hidup berdasarkan
kelompok sukunya, yang merupakan seperempat bagian
dari suku induk: Koto, Piliang, Bodi dan Caniago.
Pada awalnya suku-suku ini terbentuk menurut
keselarasan yang diletakkan oleh Datuak
Katumanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang,
seperti yang tertuang dalam mamang berikut:
Umpuak partamo koto piliang
sikumbang, jambak, tanjung malayu
Payobada, salo galumpang, banuhampu
Ditambah paga cancang, damo jo tobo
mandahiliang, bendang, kampai, patapang

Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 67


Bijo, panai, sariti, sakijo
Tamasuak juo suku-suku
Umpuak kaduo bodi caniago
Sinapa sarato singkuang
Lubuak batang, panyalai, mandaliko
Simagek sarato jo supanjang
Dek lamo maso manjalang
Umpuak nan duo tapacah pulo
Jambak, malayu, caniago, piliang
Sungguah babagi basatu juo 53

Pembagian suku itu berpengaruh terhadap susunan


masyarakat Minangkabau. Orang sesuku mempunyai rasa
persatuan dan kesetiakawanan yang kuat. Setiap anggota
suku akan merasa ikut bertanggungjawab atas apa yang
dilakukan oleh seorang anggota sukunya, disinilah
letaknya ungkapan sahino samalu, sasakik sasanang,
barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang
Menurut Fagan dan Manan (1995) organisasi sosial
masyarakat telah berkembang melalui tahap demi tahap:
1. Masyarakat suku (band): Terdiri dari persekutuan
keluarga inti yang berasal dari nenek yang sama dan
tidak memiliki struktur otoritas yang terpusat
2. Masyarakat rumpun (tribal): Usaha pertanian dan
peternakan mulai berkembang. Pola hidup menetap
pada suatu tempat menjadi salah satu bentuk
kehidupan bersama. Suku-suku membentuk federasi
yang didasari semangat egaliter. Pemerintah
berbentuk dewan suku (tribal-council) yang bersifat
demokratis dimana anggota-angotanya terdiri wakil-
wakil suku. Kepemimpinan dalam suku berdasarkan
garis keturunan dan metode pengambilan keputusan

53
I. D. Dt. Tumangung, 1998
68 Manajemen Suku
didasarkan pada musyarawah dan mufakat dalam
dewan suku
3. Masyarakat dengan pimpinan tunggal (chiefdoms):
Bentuk ini muncul ketika masyarakat tribal yang
bersifat egaliterien itu salah satu suku yang
membentuk komunitas memperoleh kedudukan
lebih tinggi diantara suku-suku yang ada, yang
disebabkan oleh keistimewaan yang dimiliki, antara
lain kesaktian atau kemampuan istimewa dalam
bidang keagamaan. Dengan demikian suku atau
kepala suku tersebut menjadi kepala dari semua suku
yang membentuk komunitas nagari yang otonom
5. Masyarakat yang diorganisasi sebagai negara setiap
nagari merupakan federasi suku. Karena itu,
menurut ketentuan adat Minangkabau, setiap nagari
mesti memiliki minimal empat suku, sesuai dengan
ungkapan ‘nagari baampek suku’. Pemuka setiap
suku di Minangkabau disebut Penghulu, ia diberi
gelar datuak dan pengangkatannya berdasarkan atas
mufakat kerabatnya.
Penghulu ini bertugas menyelesaikan persoalan yang
tumbuh dalam sukunya dan memperjuangkan
kepentingan kerabatnya ditingkat nagari. Kekuasaan
politik secara praktis di setiap nagari dijalankan
secara kolegial oleh para pemuka suku yang
tergabung dalam Kerapatan adat Nagari (KAN).
Kalaupun KAN ada salah satu Penghulu yang
dituakan, namun posisinya tidak bersifat ‘kepala’.
Kehadirannya hanya untuk keperluan praktis
semata-mata, sehingga mekanisme pemerintahan
dapat berjalan efektif

Semua suku selain mempunyai Penghulu, juga memiliki


pejabat-pejabat adat lainnya, yaitu Malin (alim ulama),
Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 69
Manti (cadiak pandai) dan Dubalang. Posisi mereka
tidaklah sebagai bawahan dari Penghulu dalam
menjalankan fungsinya, melainkan bersifat horizontal

B. Komponen-komponen Suku
Masyarakat hukum adat secara perorangan merupakan
anggota komponen suku dalam tatanan pergaulan
bermasyarakat, dalam kelembagaan dan hierarki
komponen-komponen suku itu adalah:
1. Pariuak/tungku merupakan keluarga batih
(keluarga inti) dalam rumah tangga, yang bertindak
sebagai kepala keluarga adalah bapak, sedangkan
anggota dari pariuak itu adalah ibu dan anak-
anaknya, sebutan ini tidak populer di ditengah-
tengah masyarakat karena bercorak parental,
sedangkan unsur ini teramat penting dalam lahirnya
sebuah suku.
Dalam keluarga batih bapak berkuasa penuh, seperti
mamang adat berikut; ketek babaduang jo kain,
gadang babaduang jo adat artinya bahwa bapak
sepenuhnya bertanggungjawab terhadap
kelangsungan hidup anggota keluarganya, sejak
lahirnya (dalam bedung) hingga dewasa
(gadang=mau dan akan berkeluarga=kawin)
menurut adat, dan mamak tidak dapat terlalu jauh
ikut campur urusan rumah tangga batih tersebut.
Hal ini dipertegas lagi dengan empiris (fakta
dilapangan), apabila mamak melibatkan diri terlalu
jauh, maka bapak akan mengatakan pariuak bareh
den jan digaduah artinya mamak hanyalah
mancaliak-calaik dari jauh dan manjagokan jikok
talalok, selama si bapak paja masih tetap
menjalankan kewajibannya sebagai kepala keluarga.
70 Manajemen Suku
Si mamak akan turun tangan membantu anggota
sukunya (yang ada dalam pariuak tersebut) sesuai
dengan kapasitasnya sebagai mamak kepala waris,
jika kondisi telah menghendaki.
2. Paruik merupakan susunan yang diambil dari satu
nenek, Paruik-Paruik itulah yang membentuk
masyarakat matrilineal. Anggota dari kesatuan
paruik itu terdiri dari keluarga yang ditarik dari
keturunan ibu, terdiri dari mamak (kaum laki-laki)
sebagai kepala keluarga, sedangkan anggotanya
adalah kesatuan dari paruik tersebut (anak
perempauan dan anak laki-laki saudara perempuan,
saudara perempuan dan saudara laki-laki sampai
seterusnya ke bawah dari nenek dan seterusnya
keatas)
3. Jurai merupakan kumpulan dari beberapa paruik
yang berasal dari satu nenek, kemudian nenek
mempunyai keturunan yang diambil dari garis
keturunan perempuan, ringkasnya jurai adalah
kumpulan dari satu niniak (nenek) sehingga disebut
orang yang satu jurai adalah dunsanak niniak
4. Kaum merupakan kumpulan dari jurai-jurai,
diambil menurut garis keturunan ibu. Kaum
dipimpin oleh mamak kapalo kaum atau mamak
kapalo waris dengan gelar datuak. Datuak atau
mamak kapalo waris disebut juga dengan Penghulu
Andiko. Dalam keselarasan Bodi Caniago, Penghulu
Andiko merupakan pimpinan tertinggi dalam kaum
5. Suku merupakan susunan masyarakat Minangkabau
yang terpenting, seperti yang tertuang dalam
ungkapan adat berikut nagari baampek suku artinya
bahwa suku merupakan komponen penting dalam
nagari yang tidak dapat dipisahkan dalam susunan
masyarakat.
Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 71
Masyarakat yang bercorak Koto Piliang dikenal adanya
Penghulu Suku. Penghulu Suku ini menaungi anak
kamanakan yang terdiri dari beberapa kaum, dan dalam
kaum tersebut ada Penghulu Andiko yang berkuasa
didalamnya. Suku adalah naungan dari seluruh anggota
kaum, bagi nagari yang menganut kalarasan Koto Piliang,
dikenal ada Panghulu pucuak di setiap suku, dan
Penghulu pucuak merupakan pimpinan tertinggi dalam
sukunya.

C. Perkembangan dan Pemekaran


Suku
1. Suku mengalami perkembangan karena:
a) Pemecahan sendiri (pemekaran suku): suku
asal dipecah menjadi beberapa suku
b) Warga suku itu telah punah, berarti suku
tersebut sudah hilang
c) Perpindahan sehingga muncul suku baru di
tempat baru
d) Tuntutan kesulitan sosial masalah perkawinan
atau tidak boleh kawin sesuku sehingga suku
tersebut membelah diri menjadi suku baru
Dalam sistem kekerabatan materilineal, orang
sesuku disebut badunsanak atau sakaum dan
sasuku. Orang sesuku tidak boleh ambiak-ma-
ambiak atau saling kawin-mengawini, yang dalam
adat disebut dengan kawin pantang, karena akan
merusak atau mengacaukan sistem adat matrilineal.
Orang sesuku adalah kerabat, bila dilanggar akan
mengakibatkan:

72 Manajemen Suku
- Mengaburkan pertalian darah yang pada
akhirnya akan menimbulkan pertentangan
dalam suatu nagari
- Suatu suku akan menjadi kuat dan tidak
membutuhkan kehadiran suku lain
- Terjadi fanatisme antara suku
Kata suku merupakan golongan keluarga yang
seketurunan atau lebih tepatnya golongan orang
yang sekaum yang seketurunan (matrilineal) yaitu
orang sasuku.
Suku yang berada dalam kalarasan Koto Piliang dan
Kalarasan Bodi Chaniago yang masing-masing
dipimpin oleh Datuk Katumanggungan dan Datuk
Parpatih Nan Sababatang, dan kemudian terjadi
gesekan antara kedua Datuk tersebut yang terkenal
dengan Peristiwa Batu Batikam. Kemudian atas
inisiatif Dt Sri Maharajo Nan Banego-nego yang
berkedudukan di Pariangan Padang Panjang, beliau
menentukan sikap sendiri dalam arti tidak mau
memilih salah satu, tapi memadu sendiri sistem
pemerintahan itu dengan nama Lareh Nan
Panjang. Sikapnya seperti itu dinyatakan dalam
mamang sebagai berikut:
Pisang sikalek-kalek hutan
Pisang timatu nan bagatah
Bodi Caniago inyo bukan
Koto Piliang inyo antah

Maksudnya adalah menggabungkan kedua sistem


tersebut sesuai dengan situasi dan kondisinya. Sikap
ini diikuti juga oleh Kubuang XIII dan daerah rantau
lainnya. Pada tingkat ini Dt Sri Maharajo Nan
Banego-nego membangun suku-suku baru sebagai
berikut, Kutianyie (5), Petapang (6), Banuhampu (7),
Salo (8) dan Jambak (9).
Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 73
Keloyalan dari Minangkabau juga diperlihatkan oleh
Datuak Nan Batigo dengan memberi suku kepada
pendatang luar darek, yaitu Melayu (10) untuk
pendatang dari Aceh, Jawa, Eropa, dan Arab;
Singkuang (11) bagi pendatang dari Cina dan
Mandahiling (12) bagi pendatang dari tanah Batak
Pada awal abad XIII, sudah ada 12 suku di
Minangkabau yang menetap di nagari dalam wilayah
pemerintahan Koto Piliang, Bodi Caniago dan Lareh
Nan Panjang, dari tahun ke tahun 12 suku tersebut
berkembang sesuai dengan perkembangan
penduduknya. Darek yang terdiri dari luhak Tanah
Datar, Agam, dan Limo Puluah Koto serta Lareh
Nan Panjang di Pariangan dan Padang Panjang
bertambah padat penduduknya sehingga terjadi
pemekaran suku dari 12 menjadi 96 suku
berdasarkan dengan nama tumbuhan, nama benda,
nama desa, nama orang 54
2) Pemekaran suku tersebut terjadi karena:
a) Dalam nagari ada suku yang telah padat
penduduknya, maka suku tersebut membelah
diri. Contoh: Melayu membelah diri menjadi
Kampai, Tapi Aie, Subarang Tabek dan
Tambang Panjang; Caniago menjadi Caniago
Simagek, II Korong, IV Korong, Tigo Niniek,
Limo Kaum dan Tigo Korong
b) Perpindahan Penduduk (migrasi) ke
pemukiman baru juga melalui ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
1) Suku pendatang membaur dengan suku
setempat
i. Badunsanak tibonyo urang sasuku

54
A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru (jakarta, garfiti pers, 1982) h. 130
74 Manajemen Suku
ii. Tiok suku ado panghulu
iii. Marantau dakek mancari induak
iv. Marantau jauh mancari suku
2) Faktor-faktor lainnya adalah:
v. Berdasarkan Niniak yang sama.
Contoh Caniago Tigo Niniak dan
Piliang Ampek Niniak
vi. Berdasarkan Korong yang sama.
Contoh Tigo Korong, Ampek Korong
dan Sambilan Korong
vii. Membentuk suku baru. Seperti
Padang Laweh, Padang Data,
Gudam, Pinawan dan Sebagianya

Otonomi di Nagari Minangkabau demikian luasnya,


sehingga aliran keselarasan tidak menjadi anutan suku
lagi ‘Adat Salingka Nagari, Pusako Salingka Suku’.
Kubuang Tigo Baleh misalnya, mulanya terdiri dari 13
Ninik kemudian membangun 13 Nagari dan
perkembangan yang cukup lama menjadi Kecamatan
dengan 54 Nagari dari 86 Nagari yang ada di Kabupaten
Solok (sebelum Kabupaten Solok Selatan terbentuk).
Disini aturannya adalah suku Caniago yang mendiami
nagari yang menganut Koto Piliang akan mengikuti azas
Koto Piliang dan begitu juga sebaliknya.
Pada aliran Koto Piliang, kedudukan Penghulunya
bertingkat, tetapi di Kubuang Tigo Baleh Penghulunya
sama derajatnya Duduak sahamparan, Tagak
Sapamatangan.
Suku adalah suatu organisasi di dalam masyarakat
Minangkabau yang disusun berdasarkan adat pada
masing-masing nagari. Sesuai dengan bunyi mamang
sebagai berikut:
Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 75
Rang gadih bakarek kuku
Dikarek jo pisau sirauik
Kaparuik batang tuonyo
Tuonyo elok kalantai
Nagari baampek suku
Suku ba buah paruik
Kampuang ba-nan tuo
Rumah ba-tungganai

Jumlah suku dalam setiap nagari tidak kurang dari empat


suku, adat basuku-suku amat besar faedahnya bagi
masyarakat dalam pergaulan hidup berkeluarga,
bakorong-bakampaung, banagari-baluhak. Dengan
adanya suku dapat diketahui dima latak sandi picah
rumah gadangnyo.
Adat basuku bakampaung inilah kumpulan orang yang
kuat, kok barek samo dipikua, kok ringan samo dijinjiang,
sahino samalu. Apabila malu menimpa seseorang dalam
suku, sama-sama dirasakan oleh anggota yang lain dalam
suku yang bersangkutan, tanah sabingkah alah bapunyo,
rumpuik sahalai alah babagi, malu indak dapek di aliah,
suku indak dapek diasak
Penghulu yang mengayomi anak kamanakan di bawah
payuang, terdapat perbedaan istilah antara kelarasan Koto
Piliang dan Bodi Caniago. Bagi Bodi Caniago, Penghulu
yang mengayomi anak kamanakan di bawah payuang
disebut Mamak Kapalo Kaum, karena yang ada dalam
payuang tersebut adalah orang satu kaum. Misalnya
Datuak Bandaro dalam suku Caniago yang mengayomi
anak kemenakan nan sapayuang. Bagi Koto Piliang
Penghulu mengayomi suku, Penghulu pimpinan suku.
Walaupun banyak yang bergelar datuak tetapi yang
dipanggil Penghulu hanyalah yang memimpin suku.

76 Manajemen Suku
Mengikuti perkembangan musim baganti, maso barubah
alam bakalebaran, kamanakan bapakambangan, maka
perkembangan suku sampai sekarang telah menjadi 96
suku yang mendiami luhak, rantau dan pasisia 55.
Permasalahan yang sering muncul biasanya berkaitan
dengan perkawinan sesuku dan pengaruh perkembangan
suku terhadap pola kekerabatan Minangkabau (Mochtar
Naim; 13).
Apabila suku dipahami dengan artian harfiah bahwa
antara satu suku dengan yang lainnya adalah bertalian
darah yang ditarik dari satu garis keturunan ibu, sehingga
orang yang satu suku disebut badunsanak. Berkaitan
dengan permasalahan ini, sebagian daerah kawin sesuku
bukan permasalahan dan dibolehkan dalam satu nagari.
Pada nagari lain kawin sasuku ini tidak dibenarkan apalagi
dilakukan dalam satu payuang, karena tempat
perlindungannya suatu kaum di bawah pimpinan satu
orang Penghulu, hal ini jelas diakui mereka adalah
badunsanak meskipun tidak dunsanak sakanduang.

D. Skala Urutan Kepemimpinan Suku


Secara integral kepemimpinan suku dari bawah ke pucuk
pimpinan suku adalah sebagai berikut:
1) Mamak: pemimpin langsung dari kemenakan dan
saudara seibu
2) Tungganai: mamak tertua serumah gadang yang
berfungsi sebagai mamak kepala waris, pemegang
sako dan pusako bagi kaum tersebut
3) Mamak Kepala Kaum: mamak yang memimpin
kaumnya (mamak Kepala waris)

55
Selanjutnya dapat di baca. AA Navis, Alam…. Hal, 129
Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 77
4) Mamak Payuang: kepala kelompok kaum yang
disebut ayam gadang sikue salasuang, balam mau
sikue saguguak.
5) Pembantu Penghulu: Malin, Manti, Dubalang
6) Penghulu Suku: kepala suku bersam-sama
pembantunya yang disebut Urang Ampek Jinih.
7) Urang Tuo Adat dalam suku adalah sebagai
penasehat dalam setiap suku
8) Kerapatan Suku
Setiap nagari merupakan himpunan beberapa buah
suku. Setiap suku terdiri dari beberapa buah paruik.
Setiap kaum saparuik terdiri atas beberapa kaum
sapayuang, saniniek, saibu

Pimpinan tertinggi dalam sebuah suku adalah Urang


Ampek Jinieh ditambah dengan Urang Tuo suku
sebagai penasehatnya. Untuk memecahkan masalah yang
timbul dalam suku diselesaikan dalam Kerapatan Suku.
Karena itu setiap suku mempunyai balai-balai atau surau
untuk musyawarah interen suku yang dipimpin langsung
oleh Penghulu Suku
Perlu diketahui bahwa kristalisasi dari adat Koto Piliang
dan Bodi Caniago (adat nan diadatkan), harus menjadi
pegangan utama dalam adat nan teradat dan adat
istiadat (adat salingka nagari).
Adalah 8 kategori kristalisasi kedua ajaran yang disebut
perjalanan adat, yaitu:
a) Adat bajanjang naik batanggo turun
b) Adat babarih babalabeh
c) Adat bacupak bagantang
d) Adat batiru batuladan

78 Manajemen Suku
e) Adat bajikok bajikalau
f) Adat bapikia
g) Adat banazar
h) Adat nan bakahandak sesuatu atas sifatnyo nan
nyato

Penjelasan tentang perjalanan adat dimaksud adalah


Adat Bajanjang Batanggo Turun. Sistem sosial yang
membangun prilaku sesorang atau kaum dalam suku
sebagai hasil berinteraksi seperti berhubungan, bergaul,
berkaum kerabat, terlihat jelas dalam tata upacara adat
yang masih tetap diperturun-naikkan (adat nan teradat
dan adat istiadat). Perjalanan adat yang mencakup 8
ketegori diatas adalah aturan yang jelas dan terukur yang
harus dipedomani dan menjadi alat kontrol
Dalam mendudukkan setiap masalah anak kemenakan
wadahnya adalah musyawarah dalam suku yang dilakukan
di tempat tertentu yang ditentukan oleh suku tersebut
disebut panggung atau surau. Disinilah Penghulu,
Dubalang dan Malin mendudukkan seluruh masalah
dalam suku, baik tentang adat istiadat maupun tentang
sako-pusako dengan prinsip kusuik bulu paruah
menyalasaikan
Amat disayangkan peranan kerapatan suku hampir tidak
pernah bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi
kemenakan (kalaupun ada hanya sekian persen saja)
sehingga kepercayaan masyarakat kepada kerapatan suku
berkurang atau hilang sama sekali. Untuk menumbuhkan
kembali kepercayaan itu perlu dikaji kembali usaha
penegakan wibawa Penghulu dan Ampek Jinih beserta
perangkat niniak mamak mulai dari atas sampai ke bawah
dengan prinsip bajanjang naik, batanggo turun.

Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 79


E. Pola Kepemimpinan Masa Lalu

1. Hierarki Kepemimpinan
Angiarih mangarek kuku
Dikarek jo batuang tuo
Batuang tuanyo elok ka lantai
Nagari baampek suku
Kampung banantuo
Tiok rumah batungganai
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka panghulu
Panghulu barajo ka bana
Bana badiri sandirinyo

Kepemimpinan tertinggi secara hierarki adalah di nagari,


yang dalam beberapa perkembangan nagari telah juga
mengalami perubahan-perubahan. Sebagai pucuk
pimpinan; ada pimpinan adat dan dalam era otonomi
daerah seperti sekarang ini, nagari dipimpin oleh Wali
Nagari sebagai pemimpin pemerintahan, Wali
Nagari dipilih lansung oleh masyarakat.
Dalam kepemimpinan wali nagari bukanlah berdiri sendiri,
akan tetapi ada Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN)
sebagai lembaga-lembaga legislatif di tingkat nagari.
Sedangkan untuk bidang adat berada dibawah Karapatan
Adat Nagari (KAN).
Pada lapisan terakhir ada kemenakan, bahwa kemenakan
seperintah mamak, artinya mamak adalah pemimpin bagi
anak kemanakan dalam kaum, seperti telah diuraikan
sebelumnya. Mamak bukanlah pemegang hak otonom
dalam menjalankan fungsinya, karena mamak berada di
bawah pengawasan panghulu. Panghulu adalah pimpinan
suku, apabila mengikuti sistem Koto Piliang, sehingga

80 Manajemen Suku
dikenal dengan istilah panghulu pucuak. Bagi sistem Bodi
Caniago kepemimpinan panghulu ada dalam kaum.
Kekuasaan mutlak bukanlah berada ditangan pemegang
kekuasan, tetapi pada lembaga musyawarah, yang disebut
dengan karapatan suku, maka kerapatan suku sebagai
lembaga banding dalam sebuah keputusan harus
dihormati, sebab keputusan karapatan suku tersebut telah
diambil melalui mufakat dalam mencari kebenaran.
Kebenaran (bana) akan berdiri dengan sendirinya yaitu
kebenaran itu yang akan menjadi ukuran untuk
menjalankan keputusan.

2. Pencatatan
Titik paling lemah manajemen suku pada masa lalu adalah
dalam bidang pencatatan, kerena nenek moyang kita pada
masa itu belum bisa menulis dan membaca. Mereka
mengenal tulis baca yang agak luas setelah agama Islam
mesuk ke Minangkabau. Penelitian terhadap 47 buah
tambo oleh Edwar Jamaris, membuktikan bahwa sebagian
besar tambo ditulis dengan huruf Arab-Melayu, dan
sebagian kecil ditulis dengan huruf latin 56 . Pengalaman
terhadap baca tulis itupun pada kalangan terbatas pula.
Pesan-pesan adat disampaikan dari mulut ke mulut.
Dalam masyarakat tradisional, apa-apa hanya diucapkan
dan diingat saja secara turun-temurun. Karenanya untuk
ujud dari cerrita yang sama bisa terjadi distorsi dengan
versi dan interprestasi yang berbeda-beda, tergantung
kepada siapa yang menceritakan dan kapan atau dalam
suasana apa diceritakan peristiwa itu 57.

56
Edwar jamaris, Tambo Minangkabau …hal 1
57
Mochtar Naim, Sambutan; dalam Marwan Kari Mangkuto (Adat
Salingka Nagari Minagkabau) (Jakarta, Hayfa Press, 2005), hal vi
Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 81
Fenomena oral ini berkembang sampai diperkenankannya
sistem pendidikan medern kepada penduduk pribumi,
pada awal abad ke 20, namun sampai berakhirnya
penjajahan Belanda dan masuknya Jepang pada tahun
1942, diawal Perang dunia ke dua, jumlah rakyat
Indonesia yang tahu baca tulis tidak lebih dari 6 %
sementara selebihnya (94%) masih buta huruf 58.
Untuk zaman sekarang komunikasi yang sedang sehebat-
hebatnya dalam hal tulis baca, dengan segala macam
sarana dan perangkatnya. Namun kelebihan itu yang ada
ternyata belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk
keperluan adat, dalam pembenahan perkauman/
persukuan. Maka seharusnya Penghulu harus segera
mengambil langkah-langkah yang besar untuk menutupi
kelamahan-kelemahan masa lalu, misalnya:
Mempersiapkan buku sebagai bahan inventaris dalam
suku/kaum, yang memuat antara lain; nama-nama
seluruh kemenakannya, baik yang berdiam dikampung
halaman, maupun yang berdomisil di perantauan, hingga
diketahui secara tepat dan akurat, berapa sesungguhnya
jumlah anggota persukuannya.
Setiap Penghulu harus mengetahui berapa luas tanah
ulayat, batas-batas supadan tanah, serta aset-aset lain
yang dimiliki oleh suku. Dan peruntukan bagi masing-
mnasing anak kemenakan. Hal ini akan semakin terasa,
mengingat para anak kemenakan sekarang tidak lagi
menempati harta pusaka yang telah diwariskan secara
turun temurun, mungkin banyak yang berada di
perantauan atau telah menjadi Sumando di wilayah yang
tidak mengunakan sistim pusako tinggi, sehingga tidak
diketahui lagi kondisi pusako tinggi tersebut.

58
Ibid, hal, vii
82 Manajemen Suku
Penghulu dan unit-unit kesatuan kemenakannya dapat
mengusahakan ranji, salah satu kebesaran dan
kebanggaan keluarga, kaum dan suku.
Setiap kesepakatan dan keputusan yang diambil dalam
musyawarah kaum/suku, seharusnya menjadi sebuah
catatan yang disepakati bersama dan dikukuhkan. Bagitu
juga halnya yang berbentuk pemasukan/sumbangan yang
diperoleh, baik bantuan yang diberikan untuk kegiatan-
kegiatan kaum/suku ataupun dana-dana yang dikeluarkan
oleh kaum/suku, menyangkut jumlah dan angka-angka,
semuanya harus ditulis serta terarsip atau
terdokumentasi dengan baik dan rapi.
Apabila langkah-langkah tersebut dapat diambil oleh
kesepakatan kaum/suku, berarti dikotomi antara
masyarakat tradisional (oral) dengan masyarakat Moderen
(administrasi), telah semakin dekat dan mungkin telah
satu dalam bentuk manajemen.
Hal yang sangat penting dalam pencatatan adalah,
pemaparan (pelaporan), walaupun pengunaan bahasa
pelaporan adalah sangat riskan dalam lembaga
kepemimpinan kaum/suku. Siapakah yang harus
membuat laporan. Untuk hal ini sangat perlu dipahami
ajaran adat; nan pai tampak muko, kok pulang tampak
punguang adalah kemanakan. Dalam adat disebutkan
bahwa, mamak/panghulu adalah kapai tampek batanyo,
kapulang tampek babarito. Supaya tidak terjadi kesan
merendahkan posisi panghulu yang harus melapor kepada
kemenakan di rantau, maka mekanisme harus tepat dan
terukur menurut alua jo patuik.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa kepemimpinan
dalam kaum/suku bukanlah kepemimpinan tunggal
(panghulu segala-galanya), tetapi ada struktur yang lain.

Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 83


Pemberdayaan struktur kelembagaan tersebut adalah
cerminan kesatuan dan persatuan dalam suku.
Pemaparan atau pelaporaan itu akan terasa sangat
bermanfaat, jika menyangkut perkembangan, baik yang
berbentuk buruak bahambauan, maupun elok
bahimbauan, artinya pemaparan itu tidak hanya
berbentuk pertanggung jawaban keuangan semata.
Apabila pemaparan itu hanya ditunjukan kepada
pertangung jawaban keuangan, maka hal ini akan
mengoyahkan sendi-sendi tatanan sosial, sebab akan
menimbulkan saling mempertahankan diri dan saling
menyalahkan, sebagai contoh kecil dapat dikemukanan
disini. Kemenakan akan mempertanyakan pengunaan
uang yang telah dikirim dari rantau, dan mamak akan
membela dirinya dengan mengemukakan uang
operasional dalam setiap pertemuan di balai adat atau
pergi baralek, begitu juga dengan Bundokanduang, akan
menyoal segelas kopi yang disajikan setiap mamak naik ke
rumah gadang.

3. Pengawasan
Seorang Penghulu menurut adat, jelas mempunyai fungsi
pengawasan dan monitoring, sebagaimana diungkapkan
dalam fatwa adat sebagai berikut:
Hanyuik bapinteh, hilang bacari, tapauang bakaik,
tabanam basilami, tingga dijapuik, jauh diulangi, dakek
dikunjungi.
Kusuik manyalasai, jikok karuah dijaniahkan, kusuik
bulu paruh manyalasaikan, kusuik banang cari ujuang
jo pangkanyo.

Tugas pokok panghulu yang demikian itu sudah menjadi


perpaduan antara pengawasan, pembinaan dan jika perlu

84 Manajemen Suku
pengenaan sanksi atau hukuman terhadap anak
kamanakannya.
Dalam manajemen moderen, yang dikatakan pengawasan
adalah melakukan pemeriksaan, apakah pelaksanaan
kegiatan atau program sudah sesuai denan perencanaan
yang digariskan (termasuk perencanaan dan rincian
anggaran) bila tidak sesuai, baik pengurangan ataupun
penambahan berarti terjadi penyimpangan, untuk itu
perlu di analisa apa penyebabnya, bagaimana solusi dan
tindakan apa yang perlu diambil, untuk penyusun
perencanaan berikutnya.

4. Pendanaan
Ranah Alam Minangkabau terkenal sebagai tanah yang
subur, sebagai sumber pendanaan oleh kaum/suku
sehingga menjadi primadona oleh rakyatnya sendiri,
sebagai contoh dapat dilihat dalam mamang adat berikut:
Sawah ladang banda buatan
sawah bapiring dinan data
ladang babidang dinan lereng
banda baliku turuik bukik.
Rangkiang baririk dihalaman
sebuah banamo sibajau-bayau
panjago cemo jo malu
Birauari rangkiang nan banyak
pambari makan anak kamanakan
sebuah banamo sitinjau lauik
panyapo dagang nan lalu
nan katigo si dagang lapa
makanan anak patang pagi.
Mamang pertama melambangkan indahnya alam
Minangkabau, sebagai tanah pertanian dan lahan yang
cukup terbentang untuk memenuhi kebutuhan. Kabupaten
Solok, sebagai penghasil palawija dan rempah-rempah
lainnya seperti cabe, bawang daan buah-buahan yang
Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 85
terkenal seperti Markisa daan lain sebagiannya, Seluruh
kekayaan dan hasil alam tersebut menjadi sumber
pendanaan oleh masyarakat.
Mamang kedua, dalam kehidupan sosial dan
bermasyarakat sangat berpotensi sekali untuk dapat hidup
layak, dari semua hasil alam dapat disimpan dan
disisihkan oleh masing-masing kaum/suku dalam
rangkiang, akan terasa sangat lucu, karena beberapa tahun
yang lalu kita mendengar terdapat busung lapar di daerah
yang kaya akan hasil pertanian, karena terdapat tiga buah
rangkiang sepert digambarkan dalam mamang di atas
yaitu:

1] Sibayau-bayau
Rangkiang sibayau-bayau adalah tempat
penyimpanan Dana Alokasi Umum (DAU) oleh
kaum/suku. Fungsi dari dana ini adalah pendinding
malu jo cemo, artinya bahwa kaum harus
bermartabat, supaya malu jangan teserak ka nan
banyak, misalnya ada kemanakan perempuan yang
terlambat mendapat jodoh, dan jika ini terjadi,
kaum/suku akan merasa malu walaupun itu bukan
aib keluarga, maka dana yang tersimpan dapat
dipergunakan sebagai; kain pandinding miang,
ameh pandindiang malu.

2] Biruari
Biruari adalah rangkiang nan banyak tempat
menyimpan dan operasional kaum/suku. Seluruh
keperluan makan anak-kamankan, uang sekolah dan
lain sebagianya disimpan dalam rangkiang tersebut.
Dan akan sangat ironis apabila di daerah lambuang
padi seperti Sumatera Barat umumnya, dan

86 Manajemen Suku
kabupaten Solok, terdapat kasus rendahnya mutu
pendidikan, seperti beberapa tahun yang lalu. Pada
hal adat Minangkabau telah memberikan solusi
tentang itu, dengan mendirikan rangkiang Biruari
Rangkiang Biruari adalah rangkiang nan banyak,
artinya bahwa dari hasil sawah-ladang porsi yang
terbanyak dialokasikan untuk kepentingan anak
kamanakan, jika diprosentase labih dari 2/3 hasil
bumi adalah untuk kepentingan operasioanl
kaum/suku, didalamnya adalah keperluan harian
dari seluruh anggota kaum, apabila hal ini dapat
dilaksanakan maka: hilang rono dek panyakik,
hilang bangso karano tak barameh.

3] Sitinjau Lauik
Sitinjau lauik adalah dana sosial yang disebut dengan
panyapo dagang nan lalu. Pada prinsipnya bahwa
manusia adalah makhluk sosial, yang punya rasa
kebersamaan, apabila ada salah seorang warga atau
anggota masyarakat yang mengalami kesusahan,
haruslah dibantu dan ditanggulangi secara bersama-
sama sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 87


88 Manajemen Suku
BAB 5
KEPEMIMPINAN SUKU DALAM
PERSPEKTIF MANAJEMEN

Kepemimpinan Suku di Minangkabau dikenal dengan


lembaga IV jinih yang dalam perspektif manajemen
merupakan pejabat-pejabat yang melaksanakan tugas,
menurut fungsi dan peranan masing-masing dalam
menata anak kamanakan. secara organisasi. Dalam sistem
pemerintahan yang berlaku di ranah Minangkabau baik
yang bercorak Koto Piliang maupun yang bercorak Bodi
Caniago, ditemukan lembaga-lembaga tersebut, namun
terdapat beberapa perbedaan.
Dalam kelarasan (sistem) Koto Piliang, Lembaga Ampek
Jinih merupakan perangkat dalam satu suku, suku
merupakan kumpulan dari beberapa kaum, dan kaum
terdiri dari kesatuan paruik. Sedangkan dalam kalarasaan
Bodi Caniago Urang Ampek Jinih adalah perangkat yang
mangatur anak kamanakan yang berada dalam satu kaum,
kaum adalah kumpulan beberapa paruik.

Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 89


Dalam suku yang menganut kelarasan Koto Piliang, Penghulu
berwenang dalam menyelesaikan permasalahan dalam
kepemimpinannya, untuk itu kato Panghulu adalah kato
manyalasai. Namun dalam menjalankan tugasnya Penghulu
bertugas hanya sebagai koordinator sedangkan
kepemimpinan dipegang oleh pejabat suku sesuai bidang
masing-masing seperti Manti mengurus kesekretariatan
atau administratif suku, Malin mengatur persoalan
keagamaan dalam suku dan Dubalang mengurus persoalan
pertahanan keamanan suku. Penghulu dengan Manti,
Malin dan Dubalang pada hakikatnya setara ; duduak
samo randah dan tagak samo tinggi.. 'Mereka disebut
sebagai orang Ampek Jinih yang mana Penghulu mendapat
kehormatan sebagai koordinator yang didahulukan
salangkah dan ditinggikan sarantiang.

A. Kelembagaan Suku Menurut Koto


Piliang
Dalam setiap nagari, sekurang-kurangnya ada 4 (empat)
buah suku, karena nagari dibangun dari empat buah koto
dan setiap koto, dulunya terdiri dari satu buah suku. Dari
sudut kekerabatan, sebuah suku secara internal terdiri
dari: keluarga seibu, separuik, seniniak, sekaum dan
sesuku. (Bustanul,2002:12)
Setiap tingkat kekerabatan ada pimpinan yang
mempunyai tugas dan tanggung Jawab tertentu seperti:
- Seibu-pemimpinnya Mamak Rumah
- Separuik-mamak Kepala kaum
- Seniniek-mamak Kepala Waris atau Tungganai
- Sekaum-mamak Payuang (Penghulu Payuang, Suku)
- Sesuku- pemimpinnya Penghulu suku

90 Manajemen Suku
Jumlah suku dalam setiap nagari pada dasarnya empat
buah, tapi antara nagari yang satu dengan yang lain
jumlah sukunya tidak sama, ada 9,7,6,5, dan ada yang 4
suku. Menurut aturan, kalau Sukunya 9 buah maka
Penghulunya juga ada 9 orang dan orang Ampek Jinihnya,
menjadi 9X4 orang = 36 orang. Pimpinan Ampek Jinih
dalam nagari tersebut, terdiri dari 9 orang Penghulu, 9
orang Manti, 9 orang Malin, 9 orang Dubalang, kecuali
unsur perhbantu Penghulu ini menumpang pada suku lain.
Namun ada disebagian nagari, baik di Luhak Tanah Datar,
Agam maupun Lima Puluh Kota, pada Penghulu sebuah
suku itu sampai 60 orang banyaknya. Sudan tentu
kedudukannya masing-masing tidak sama sebagian ada
Penghulu Pucuk, Penghulu Andiko, Penghulu Kaum, dsb.
Jumlah Penghulu yang demikian mungkin juga
disebabkan oleh. kebijakan pemerintahan jajahan Belanda
tempo dulu , di mana ada Penghulu Nan Basurek. Lalu
Penghulu yang ditunjuk oleh kaumnya menyebut bahwa
mereka juga Penghulunya sehingga lahirlah Penghulu yang
banyak dalam sebuah suku pada sebuah nagari.

1. Urang Ampek Jinih


Kepemimpinan urang Ampek Jinih adalah
kepemimpinan yang tertinggi dalam sebuah suku di
Minangkabau. Karena itu dilambangkan dengan empat
puncak rumah gadang. Pada rumah gadang balah bubuang
(Kubung XIII). Ditambah dengan satu puncak diserambi
sebagai kepemimpinan urang tuo dalam suku. Adapun
unsur-unsur Ampek Jinih antara lain:

a. Penghulu Adat
Merupakan pimpinan yang tertinggi dalam sebuah
suku. Kepemimpinannya komplek, di samping
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 91
pimpinan anak dan kemenakan juga pemimpin dalam
kaumnya, kepemimpinan sukunya serta pemimpin
dalam nagari yang berarti juga pemimpin masyarakat.
Perhatikan mamang berikut:
Manuruik warih nan bajawek
Sarato pusako nan batolong

Penghulu itu adalah seperti mamangan berikut:


Kayu gadang ditangah rimbo
Nan bapucuak sabana bulek
Nan baurek sabana tunggang
Batang gadang dahannyo kuek
Daunnyo rimbun buahnyo labek
Batang gadang tampek basanda
Ureknyo bakeh base/o
Dahannyo tampek bagantuang
Buahnyo labek buliah dimakan
Daunnyo tampek balinduang kapanasan
Bakeh bataduah kahujanan
lyo dek anak kamanakan
Nan sapayuang sapatagak
Di bawah payuang salingkuang cupak

Maksudnya adalah: Penghulu itu ibarat kayu besar


dalam nagari yang menjadi tumpuan harapan
masyarakat karena fungsinya yang tinggi dan luas itu
sehingga dikatakan daunnya tempat berlindung,
batangnya tempat bersandar, uratnya tempat
bergantung dan lain-lain.

b. Manti Adat
Asal katanya menteri, dalam adat kedudukannya
sebagai pembantu Penghulu dalam bidang
pemerintahan adat. Maksudnya melaksanakan dan
mengawasi orang atau keluarga dalam suku yang
memakai adat, baik adat nan teradat, adat nan
diadatkan maupun adat istiadat. Sesuai dengan
mamang berikut :
92 Manajemen Suku
Adat salingka nagari
Pusako salingka kaum suku

Untuk dapat menjaga dan melaksanakan tugasnya di


bidang adat ini, sebenarnya Manti itu orang yang
bijaksana :
Tahu dirantiang kamancucuak
Tahu dibatu kamanaruang
Sungguhpun kaie nan babantuak
Ikan dilawik nan dihadang

Pendek kata, seorang Manti dapat betindak cepat,


dan tepat serta mampu mengatasi banyak masalah.
Oleh sebab itu, haruslah teliti dan hati-hati dalam
mengambil keputusan.

c. Malin Adat
Adalah pembantu Penghulu dalam bidang agama.
Membimbing masyarakat dan menjadi ikutan
masyarakat dalam beribadat. Tugasnya mulai dari
pengajaran mengaji, menunaikan rukun Islam, juga
menunjuk ajari masyarakat ke jalan yang diridhai
oleh Tuhan. Oleh sebab itu sebagai teladan orang
banyak, seorang Malin itu seperti kata mamangan
berikut:
Suluah bendang dalam nagari
Nan tahu di halal haram
Nan tahu di syah batal
Nan tahu di syareat dan hakekat

d. Dubalang Adat
Kata Dubalang Adat berasal dari kata Hulubalang
Adat. Pembantu Penghulu dalam bidang keamanan,
baik dalam urusan kaum, suku ataupun nagari.
Adapun Dubalang itu menuait mamang berikut .
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 93
Nan Bamato sabana nyalang
Nan batalingo sabana nyariang
Tahu disumbang dengan salah
Parik paga dindiang nan kokoh
Maampang lalu kasubarang
Mandindieng sampai kalangik
Manjago cabue koknyo tumbuah
Sia baka maliang jo cilok
Manjago barih kok talampau

Maksudnya adalah sebagai penegak keamanan


nagari, suku dan anak kemenakan yang dapat
menindak langsung segala yang terjadi di tengah -
tengah masyarakat.
Keempat jabatan tersebut diatas diturunkan secara
turun temurun terdiri dari mamak kepada
kemenakan seperti bunyi mamangan:
Biriek-biriek turun kasamak
Tibo disamak makan padi
Dari niniek turun kamamak
Dari mamak turun kabakeh kami

Adapun Manti, Malin dan Dubalang dalam suku


dinyatakan sebagai berikut:
Penghulu Menghukum Sepanjang Adat
Malin Menghukum Sepanjang Syarak
Manti Menghukum Sepanjang Sengketo
Dubalang Menghukum Setuhuak Padang

Maksudnya masing-masing urang IV jinih


tersebut menunaikan tugasnya sesuai dengan sifat
dan bentuk tugas tersebut.

2. Unsur Penasehat Suku (Urang Bajinih)


Selain kepemimpinan urang IV jinih tersebut di atasnya
ada unsur lain yaitu urang bajinih yang berfungsi menurut
94 Manajemen Suku
adat sebagai penasehat suku. Dalam Perda 13 th. 1983
tempo dulu urang bajinih ini termasuk keanggotaan
Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Setiap nagari mempunyai urang bajinihnya sendiri-sendiri.
Mereka dianggap sebagai orang asa (asli) yang memenuhi 4
kriteria yaitu:
Bahutan tinggi
Basasok bajarami
Basandi rumah gadang
bapandam bapakuburan

Setiap nagari telah ada orang bajinihnya sejak dulu, walau


kini kriteria yang empat di atas itu tidak lagi dipenuhinya
karena harta pusakanya telah tergadai, terjual atau rumah
gadangnya telah runtuh tapi sandinya masih ada.
Dibawah ini diterangkan skala urutan urang bajinih dalam
suku (Soewardi: 1992: 27) yang berfungsi menurut adat:
a. PAMUNCAK, fungsinya sebagai pendamping
Penghulu dan Pamuncak tidak ada dalam setiap suku,
hanya suku-suku tertentu saja yang memiliki
pemuncak. Tugasnya adalah mengatur dan
menjalankan fungsi adat pada adat istiadat nagari.
b. URANG TUO ADAT, merupakan penasehat dalam
sebuah suku. Tugasnya sebagai penasehat dan Urang
Ampek Jinih dalam sukunya. Hanya dilmiliki oleh
beberapa suku.
c. CAMIN ADAT, bertugas menyelesaikan masalah
antara dua kaum atau paruik dalam suku. Camin
adatlah kaca perbandingan bagi mereka yang berselisih.
d. TUNGKU NAN TIGO, istilah ini berasal dan
Tuanku Nan Batigo yaitu orang kepercayaan Raja
Pagaruyung pada satu-satu nagari yang
dikunjunginya. Mereka berasal dari tiga suku yang
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 95
berbeda dan terdiri dari tiga orang, oleh
kebijaksanaan pemerintah tempo dulu, mereka
diamanatkan sebagai penasehat dalam nagari dan
penegak hukum di nagari tersebut. Juga tidak dimiliki
semua nagari.
e. KHATIB NAGARI yaitu mulanya orang yang
menjadi khatib pada waktu sembahyang Juma’t pada
mesjid nagari. Lalu dahulunya dikukuh secara adat
sebagai khatib nagari.
f. IMAM NAGARI juga orang yang pada mulanya
menjadi imam di mesjid nagari kemudian dikukuhkan
secara turun temurun sebagai imam nagari asal yang
bersangkutan memiliki ilmu sebagai imam dimaksud.
g. MAMAK KAPALO WARIS adalah mamak dalam
sebuah rumah gadang yang umum disebut
tungganai. Tapi sebagai mamak kapalo waris yang
bersangkutan berfungsi sebagai pemelihara sako dan
pusako kaumnya (direktur utama pada sebuah kaum
perumah gadang).

B. Kelembagaan Suku menurut


Kelarasan Bodi Caniago
Setiap suku mempunyai pimpinan kaum yang disebut
seorang panghulu, sebagai pemimpin dan anak kemanakan
Dalam stuktur kepemimpinan, tetap berlaku kamanakan
barajo ka mamak. Sebagai jenjang kepemimpinan bahwa
panghulu berada dalam urutan pertama, sedangkan angku
atau pasumayan sebagai penasehat, dan Bundo Kanduang
sebagi mitra kerja panghulu, pada tingkatan ke dua adalah
tungkek (panungkek) dan urutan selanjutnya adalah gelar
tuanku dan sejenisnya

96 Manajemen Suku
Dengan stuktur kepemimpinan dalam suku dan kaum itu
adalah pembagian kerja yang jelas dan punya tugas serta
tanggung jawab masing-masing, untuk itu adalah tugas
seorang panghulu, menempatkan seseorang pembantu adat
dan bertugas secara proporsional dalam bidangnya,
seseorang diberi gelar Tuanku adalah sebagai orang yang
faham tentang hukum-hukum agama, begitu juga gelar
Sutan, sebagai orang yang tahu dima cakak tak salasai,
dimakoh gajah manyubarang, mangko aia karuh sampai di
hilia.
Panghulu sebagai pemimpin gadangnyo digadangan
yaitu tumbuah ditanam, tingginyo ba anjuang,
gadangnya ba amba. Maka panghulu sebagai pemimpin
adalah aia nan janiah sayak nan landai, bak kayu
ditangah padang, ureknyo tampek baselo, batangnya
tarnpak basanda, dahannya tampek bagantuang,
buahnyo ka dimakan, aia ka diminum, daun tampek
balinduang.
Seorang pemimpin dalam adat Minang harus mengikuti
alua jo patuik, nan barajo ka bana yaitu kamanakan
barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu
barajo ka alua, alua barajo ka bana, bana bandiri sandirinyo,
artinya adalah rajo (pemimpin) adil di sambah, rajo zalim
di sangah, panghulu hanyo didahulukan salangkah di
tinggikan sapucuak, bukan dahulu salengkok jalan, tinggi
dibaliak-baliak awan, tapi hanyo jauh sapaimbauan, datang
sakali panggia.
Lebih lanjut M. Nasrun menjelaskan. Malin tagak di pintu
agamo nan mabesohkan halal nan haram, kato malim
bakato hakikat, Panghulu tagak di pintu adat, nan
bakato manyalasai, Dubalang tagak dipintu mati,
tumbuah batuhuak, jo baparang, Dubalang bakato

Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 97


mandareh, Manti taguah di buek sebagai angin yang
menyampaikan sesuatu, kato Manti kato barulang.
Dalam skala prioritas, kepemimpinan dalam adat adalah
Panghulu (datuak) yang sering disebut dengan Bungka,
dan bungka dibantu oleh yang lainya yang disebut
Panungkek (tungkek), sebagai pemimpin agamo adalah
tuanku (sebagian kaum mamakai gala khatib/imam) yang
dilengkapi dengan gelar-gelar lainnya seperti, Malin, Labai,
Kari, dan kebanyakan mereka berfungsi sebagai Manti nan
barulang, dan gelar Sutan lebih banyak berfungsi sebagai
Dubalang atau yang lebih banyak disebut sebagai bujang
salamat, nan tagak dipintu batuhuak jo baparang.
Menurut DJ. Dt. Gampo dalam pelaksanaannya bertemu
ketentuan Primus Interpares (yang utama dalam yang
sama) maksudnya adalah pada dasarnya tugas dan
kewajiban itu sama, pada saat-saat tertentu ada yang lebih
diutamakan dalam bermasyarakat.
Kongkritnya tugas masing-masing dan elemen-elemen dalam
suku adalah Panghulu melaksanakan undang-undang
adat, untuk mencapai kemakmuran dan keadilan.
Keadilan Penghulu sebagai hakim dalam memegang hukum
dengan undang-undang adat disebut "mengati samo
merah manimbang samo barek", kebijakan panghulu akan
menjadi ilmu dalam hukum, sabagai undang dalam nagari
Mancampak tibo dihulu Kanailah anak ikan balang Apo
nan manjadi cupak dek panghulu mamakai undang-undang.
Tungkek (panungkek) yang disebut dalam adat Condong
batupang Lamah babilai, Rabah munggu Tungkek tagak
Untuk kelancaran pemerintahan dalam suku panghulu di
bantu oleh tungkek, apabila panghulu uzur, tungkek dapat
mengantikan posisi panghulu, kerena tungkek itu adalah
mutlak adanya. Tungkek itu diangkat bersama-sama
dengan mengangkat Penghulu dangan cara
98 Manajemen Suku
memberitahukan " baimbaukan ka nan rapek baserakkan
ka nan banyak"
Malin menyelengkarakan segala sesuatu dalam masyarakat
yang berhubungan dengan agama, seperti nikah talak,
rujuak kelahiran, kematian, zakat, dan lain sebagianya.
Kato Malin, kato hakaikat, nan manjadi payuang paji di
akhirat, unduang-unduang ka sarugo.
Manti menyampaikan segala perintah ke bawah dan
mangantarkan segala perasaan ke atas, memeriksa perkara
dan menyiapkan putusan.
Dari kedua sistem pemerintahan suku, baik menurut Koto
Piliang maupun kelembagaan suku menurut sistem Bodi
Caniago ada pemimpim yang menonjol yaitu: mamak
dalam kaum dan Penghulu dalam suku, bagi kalarasan
Koto Piliang. Meski di beberapa tempat di ranah Minang,
ada yang satu suku hanya memiliki satu kaum dan ada pula
yang dalam satu suku memiliki banyak kaum. Dan hal ini
berkembang sesuai dengan perkembangan nagari yang
telah dihuni oleh banyak kelompok migrasi yang
membawa latar belakang system kepemimpinan suku yang
dianutnya. Namun demikian dapat dipahami dan
disesuaikan dengan keputusan rapat suku dan nagari masing-
masing.

C. Kepemimpinan Penghulu
Sebenarnya sejak adat ini dipatok oleh nenek moyang
orang Minangkabau yaitu Dt Katumanggungan dan Dt.
Parpatih Nan Sabatang, pengangkatan pemimpin yang lebih
tinggi dari tungganai itu dilakukan dengan pembentukan
koto dan suku. Pada waktu peresmian pembentukan koto
dan suku juga langsung diangkat Penghulunya. Pelantikan
itu dilakukan oleh Penghulu Utama dengan sumpah jabatan.
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 99
Dalam tahap pembangunan Nagari, sekurang-kurangnya
terdiri dari 3 atau 4 koto. Kalau setiap koto terdiri dari
sebuah suku yang dipimpin oleh seorang Penghulu, tentu
sebuah nagari ada 4 orang Penghulu. Inilah yang disebut
Penghulu suku yaitu himpunan Penghulu suku yang
berempat.
Menurut sistem koto piliang, untuk mengetuai Penghulu
yang berempat itu dilantik dan disumpah Penghulu kepala
yang lebih dikenal dengan sebutan Penghulu pucuk.
Begitu juga untuk mengepalai tungganai yang seperut
ditunjuk pula Penghulu andiko, yang kedudukannya sama
dengan pembantu Penghulu.
Dalam masyarakat, pemimpin memegang peranan yang
sangat menentukan dan pemimpin itu ada pada setiap
daerah, kawasan seperti kata mamang:
Sabuang bajuaro
Halek ba rajo janang
Kapa ba nahkodah
Rumah ba tungganai
Darek ba panghulu
Rantau barajo

Maksudnya di galanggang pamedanan ada Juaro, begitu


juga diperhelatan pemimpinnya Rajo Janang, di kapal
pemimpinnya Nahkoda, di darek pemimpinnya
Penghulu dan di rantau pemimpinnya adalah Raja.
Di Minangkabau pada umumnya, laki-laki disiapkan
untuk menjadi seorang pemimpin seperti yang diutarakan
mamang berikut:
Kaluakpaku kacang balimbiang
Ambiak timpuruang lenggang-lenggangkan
Dibawo nak urang Saruaso
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang di patenggangkan
Ingek nagari jan binaso
100 Manajemen Suku
Keberadaan panghulu sebagai "kayu gadang ditangah
koto, batangnyo tampek basanda, ureknyo tampek
baselo, daunnya tampek bataduah dikalo kahujan,
tampek balinduang dikalo kapanasaan", panghulu tidak
hanya sebatas itu tapi dilanjutkan dengan "kapai tampek
batanyo kapulang tampek babarito, kusuik manyalasaai,
karuah mampajaniah".
Bertitik tolak dari pola ideal diatas yang merupakan
kerangka teoritis, berkaitan dengan perubahan yang
terjadi, apakah keberadaaan dan fungsi panghulu itu telah
mengalami perubahan? Dan sejauh manakah perubahan
itu terjadi? Apakah perubahan itu ":bakisa dari lapiak nan
sahalai" atau perubahan itu seperti yang disinyalir oleh
Buya HAMKA karena perubahan yang secepat kilat ini,
karena revolusi dan lebih lagi karena "anak kamanakan
telah besar-besar dan pintar-pintar, dengan sendirinya
niniak mamak tidak berdaulat lagi" dan bahkan kadang-
kadang dari lapangan pendidikan ilmu pengetahuan
anak kamanakan sering melebihi ilmu panghulu.
Penelitian yang dilakukan oleh Sjofan Thalib berkaitan
peranan ninik mamak Minangkabau dalam perubahan
sosial menyimpulkan diantaranya:
1. Dibandingkan dengan apa yang telah dicapai oleh
anak kamanakan dewasa ini, memang terbukti
bahwa dari segi pendidikan panghulu tertinggal
dibandingkan anak kamankan.
2. Dalam konsep keluarga yang hidup dewasa ini
mendekati konsep keluarga kecil atau keluarga batih
(inti), yang menjadi kepala keluarga adalah ayah
sebagai penanggung jawab terhadap kelangsungan
anak-anaknya.

Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 101


3. Meskipun terdapat kenyataan bahwa kedudukan
ayah dalam keluarga telah menjadi penting, seiring
dengan itu mundurnya pengaruh mamak terhadap
kamanakannya, namun kedudukan mamak dalam
kaum dan suku tetap dipandang penting

1. Proses dan Pengangkatan Lembaga


Ampek Jinih
Proses pangangkatan panghulu adalah usaha yang
dilakukan daalam memilih dan memilah panghulu yang
akan menjadi pemimpin dalam kaum dan suku, dan
tahapan-tahapan yang dilalui dalam proses tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Baiyo Badunsanak (dunsanak nan sa paruik
dalam nan sa kaum}, yaitu kabulatan kaum. Dalam
baiyo badunsanak yang dibicarakan adalah mancari
kata sepakat untuk batagak panghulu dan atau
mancari siapa yang akan manyandang gala
kabasaran tersebut, disini bertemu prinsip badiri
panghulu sapakat kaum, badiri adaat sapakat
nagari. Apa bila dalam satu kaum terdapat beberapa
paruik maka akan bertemu ketentuan gadang
balega, musim baganti. Dalam hal ini tidak
meninggalkan prinsip utama dalam pengangkatan
panghulu: Ramo-ramo sikumbang jati Katik endah
pulang bakudo, Patah tumbuah hilang baganti Sako
pusako baitu juo.
b. Mangarumahan Dunsanak, dunsanak yang
dimaksud adalah dunsanak nan sautang sabaia
yaitu dalam lingkungan nan sapayuang sapatagak.
Pada tahap ini yang dibicarakan adalah
menyampaikan kata sepakat dari nan saparuik
bahwa kaum tersebut telah "saniat" untuk batagak
102 Manajemen Suku
panghulu dalam bahasa adat kita kenal dengan lado
di parak nan alah masak, padi disawah nan kukuah.
c. Mangarumahan Urang Kampuang, urang
kampuang yang dimaksud se kampuang atau jorong,
pada tahap ini yang dibicarakan adalah "manapak-i
janji" acara ini disebut manapak-i janji adalah karena
pada saat "dahulu" ada janji nan babuek, padan nan
baukua yaitu:
- Saat mati batungkek Bodi, artinya saat dipandam
pakuburan "dahulu" ataupun di medan nan
bapaneh telah ditetapkan pengganti dari panghulu
nan maninggal, dan telah di buek janji untuk
segara malewakan gala, apabila telah sampai
pada saatnya acara itu disebut manapek-i janji
yaitu dihari nan dahulu, janji ba buek padan ba
ukua, tantu di hari nan kini janji batapek, ikara
bamuliakan
- Bagi nan hiduik bakarilahan, kok lurah alah
dalam, kok bukik alah tinggi untuk itu perlu
dicarikan pengganti panghulu nan alah "uzur",
pada saat mengarumahan urang kampuang
itulah dicarikan siapa yang akan menggantikan
gala kabasaran datuak tersebut.
d. Kaderisasi, dibeberapa nagari kaderisasi berjalan
mendahului dari proses pengangkatan panghulu yang
disebut dengan kalau kamanjadi mancik alah runciang
ikuanyo, artinya pada tahap itu Penghulu yang tua telah
mempersiapkan bekal pengganti jika satu saat dia
meninggal atau telah uzur. Kaderisasi ini berjalan
secara alamiah dalam kaum, tetapi dalam pelaksanaan
terdapat istilah Makan Banak, makan banak panghulu
yang telah digadangkan itu diberi kesempatan untuk
memimpin sambah dalam acara kaum, ini terjadi sesaat

Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 103


atau beberapa hari setelah terjadi prosesi
pengangkanatan panghulu.

2. Prosesi Pengangkatan Penghulu


Batagak Panghulu lazim disebut dengan malewakan gala,
kata malewakan yaitu ma himbaukan ka nan banyak,
manyerakkan ka nan rapek artinya adalah bahwa sesorang
yang secara resmi menurut adat telah dikukuhkan
kepemimpinannya.
Perkataan malewakan juga diperkenalkan di Negeri
Sembilan sehingga raja keturunan Minangkabau yang
menjadi di Pertuan di Negeri Sembilan bernama Raja
Malewar yang diambil dari akar kata "lewa", malewakan, dalam
bahasa melayu disebut dengan "Malewar". Dalam malewakan
gala kebesaran panghulu dikenal dengan Baralek Datuak,
upacara baralek datuak tersebut dimeriahkan dengan :
1. Mambantai Kabau (kerbau), mambantai kerbau untuk
setiap gelar kebesaran panghulu "ka di lakek-an", lazim
disebut dengan tiok mandi, tiok ba kusuak, . Namun
teknis ini tidak sama disetiap nagari, ditentukan oleh
keputusan nagari masing-masing. bagi panghulu yang
telah mambantai, kedudukannya di duduk samo
randah, tagak samo tinggi, artinya panghulu tersebut
di ikut sertakan dalam membicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan nagari, dan "mandapek
panggia" dalam setiap alek batagak panghulu. Bagi
panghulu yang belum "mambantai", hak dan
kekuasaanya terbatas dalam hal membicarakan
kaumnya saja, dan panghulu tersebut tidak berhak
"mamakai karih".
2. Dagiang kabau tersebut dimasak, dagiang pambari
makan anak nagari dalam papatah adat disebutkan
"dagiang samo dilapah, kuah samo dikacau", selain
104 Manajemen Suku
bertujuan untuk memeriahkan acara "alek gadang", di
sisi lain adalah bahwa apapun yang terbaik dari
seorang panghulu diharapkan dapat bermanfaat
untuk anak nagari dan demi kemaslahatan umum.
3. Managakkan marawa dengan istilah "di ma bandera
takipek, di sinan marawa tagak" dan akan lebih meriah
lagi setelah panji-panji (bandera gadang) di tagakkan
biasanya satu atau dua hari sebelum hari "H".
Kemeriahan itu akan lebih kelihatan lagi dengan
banyaknya bandera yang dipancangkan di pinggir jalan
sebagai bukti adanya alek gadang, dan ini akan lebih
semarak lagi dengan adanya marawa yang berdiri
kokoh dihalaman rumah gadang Panghulu
4. 4. Panitia Alek. Panitia alek sering disebut dengan
pitunggua, yang melibatkan kaum dan urang
kampuang, panitia ini tergantung kebutuhan masing-
masing dalam tiap-tiap nagari, sebagai contoh dapat
dilihat panitia alek berikut:
Dalam acara maipa-an urang, yang dibicarakan
adalah persiapan dalam acara ini kita kenal dengan
istilah juaro nan dua baleh yaitu panitia alek, juaro
nan dua baleh itu adalah:
i. Pitunggua dapua yaitu orang-orang yang akan
duduak di dapua alek dalam konteks ke
Indonsia-an dikenal dengan seksi konsumsi
ii. Pitunggua Kas yaitu tempek mangadu labih jo
kurang, bandahara alek.
iii. Pitunggua Bandera yaitu orang (panghulu)
yang berfungsi sebagai panitia penerima
tamu-tamu tujuah toboh.
iv. Pitunggua Amai-apak, yaitu panitia penerima
tamu, dan lebih kusus panitia ini berfungsi
menerima tamu dari "amai-apak" dari panghulu
nan di alekkan
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 105
v. Pitunggua Padusi, orang yang akan melayani
alek padusi kususnya adalah alek di bidai nan
mambao katidiang atau talam, pitunggua tetap
laki-laki (panghulu)
vi. Pitunggua Dunsanak yaitu semua aluran
dunsanak dari nan baralek, umpanya yang nan
baralek urang pisang, maka seluruh urang
ampek ibu digolongkan kepada dunsanak, dan
rumah untuak dunsanak iu tersendiri.
vii. Pitungua Tuanku, rumah untuk alek tuangku itu
tersendiri kusus bagi nan bagala tuanku, tuanku
merupakan orang-orang yang biasanya adalah
alaim Ulama, sebagai penghargaan terhadap
alim ulam itu maka dalam acara alek rumah
mereka terseniri.
viii. Pitunggua Undangan, yang dimaksud adalah
tetamu dari instansi atau handaitolan dari si
pangka nan baralek, salain orang tujuan toboh.
ix. Pitunggua Anak Mudo, anak muda dalam
pengertian disini adalah orang-orang yang
bertugas :
- Manduduakkan panghulu saat alek
dilaksanakan kususnya dirumah gadang
yang lazim di sebut alek di baliak tabia.
- Juaro alek, nan pandai malatak jo mahatun,
jamba alek, nan hahanta jo mananti panghulu
nan dilewakan, lengkap dengan pidato adat.
x. Pitunggua Perlengkapan, orang yang
mempersiapkan segala sarana dan parasarana,
piriang jo paha, baik sebelum ataupun sasudah
alek salasai.
xi. Pitunggua Mamangia, dalam mamanggia
alek tujuah toboh berbeda pelakanaanya
dari pada alek biasa, perbedaan itu adalah:

106 Manajemen Suku


- Nan mamanggia adalah anak mudo dalam
adat-pakaian nan mamangia itu adalah
pakaian adat tidak boleh pakaian biasa.
- Panghulu nan di pangia harus ketemu
langsung, tidak boleh dengan menitip pesan.
xii. Pitunggua Toboh yaitu pitunggua yang sangat
menentukan kelancaran alek, dalam konteks
zaman sekarang panghulu ini berfungsi sebagai
moderator, untuk itu pitunggua tujuah toboh
orang-orang pilihan dan jumlahnya sekitar tiga
orang Penghulu.

3. Pakaian Penghulu
Seorang Penghulu/ninik mamak dibedakan secara lahir
dari pakaian yang dipakainya dan dihubungkan dengan
perilaku yang menjadi kepribadiannya. Kebanggaan di
Minangkabau ialah pakaian kebesaran Penghulu ini
mempunyai arti dan makna tersendiri yang mengandung
sikap dan tingkah laku yang dituntut adat terhadap seorang
Penghulu, seperti kata mamangan berikut:
Rupo manunjuakkan harago
Kurenah manunjuakan laku
Walau lahie nampak dek mato
Nan bathin tasimpan dalam itu

Pakaian Penghulu yang resmi dipakai tidak sembarangan


pakaian. Disebut pakaian tradisional. Khusus untuk
Penghulu adat. Oleh sebab itu tidak boleh sembarang
orang memakainya. Bentuk dan coraknya mungkin sama
tapi susunannya antara Minangkabau mungkin berbeda.
Pakaian Penghulu terdiri dari destar (saluak), baju gadang,
celana lapang, ikat pinggang, kain sarung, salempang, keris
dan tongkat. Warna pun menetukan jabatan. Baju, celana
dan destar milik Penghulu wamanya serba hitam, Manti
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 107
serba ungu, Dubalang serba merah, dan khusus Malin
pakaiannya putih (ingat tentara padri). Pakaian Penghulu
itu adalah pakaian pemimpin. Sama artinya dengan
pakaian raja-raja. Ada artinya dan makna bagi pakaian itu
masing-masing (bacalah falsafah pakaian Penghulu). Adapun
pakaian Penghulu sebagai berikut

a. Deta atau Saluak


Banyak kerut merutnya, melambangkan bahwa
Penghulu itu tautan akal, berlipat-lipat
melambangkan bahwa akal Penghulu itu tidak
mudah ditafsirkan, dapat menyimpan rahasia,
letaknya di kepala lurus berarti menegakkan keadilan
dan kebenaran, pasangnya longgar melambangkan
pikiran yang lapang, coba renungkan ungkapan
berikut:
- Deta panjang batakuak
- Bayangan isi dalam kulik
- Panjang tak dapek kito ukur
- Uba tak dapek di bidai
- Salilik lingkarang kaniang
- Ikek tatuang dikapalo
- Tiok katuak baundang-undang
- Dalam karuk Bodi marangkak
- Tabuak dipaham tiok lipek
Lebanyo pandindiang kampuang
- Pandukuang anak kamanakan
- Hamparan dirumah gadang
- Paraok gonjang nan ampek
- Dihalaman manjadi payuang panji
- Panuduang korongjo kampuang
- Sarikek warih mandirikan
- Bakeh balinduang hart paneh
- Tampek bataduah hari hujan
- Dek nan sapayuang sapategak
- Sinan salingkuang cupak adat
- Sara to jo nan bawah kaum
- Manjala masuak nagari
108 Manajemen Suku
b. Baju gadang tak basaku
Baju gadang melambangkan kebesaran, warna hitam
berlengan panjang melambangkan sifat suka
membantu orang dalam kesukaran. Tidak bersaku
artinya tidak menyimpan uang atau mengambil
keuntungan dalam urusan anak kemenakan. Lebih
jauh coba anda fahami yang tersirat pada mamang
berikut bahwa baju Penghulu itu melambangkan Bodi
luhur, kearifan dan kebijaksanaan serta sifat sabar yang
dituntut:
- Langan tasinsiang pangipeh angek naknyo
dingin
- Pahampek gabuak nak nyo habih
- Siba mengkilek mangalimantang
- Mambu yang membungkuih tak mambuka
- Mauleh tak mangasan
- Lawik ditampuah tak barangin
- Bodi aluih bak lawik dalam
- Dalamnyo bapantang taajuak
- Langan bamiliek kin kanan
- Bamisie makan keamanan
- Gadang ba pangiriang
- Tagak baapuang jo aturan
- Unjuak baagak ba hinggokan
- Murahjo maha mambatasi
- Lihie lapeh tak bakatuak
- Babalah lihie hinggo dado
- Kiasan kapado alamnyo leba pandangannyo
lapang buminyo laweh
- Gunuang tak runtuah karano kabuik
- Lawik tak karuah karano ikan
- Urang gadang martabatnyo saba
- Kok tagaknyo bajelo-bajelo
- Kandua badantiang-dantiang
- Paik manih pandai malatue
- Cando kaiyo kasamonyo.

Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 109


c. Celana disebut Sirawa Lapang Tapak Itiek,
hikmahnyo :
- Lapang maksudnya menyatakan langkah ringan
tidak menyulitkan
- Kakinyo besar artinya langkahnya menuju yang lurus
dan patut tidak mudah terhalang
Adapun filsafat sarawa adalah sebagai berikut:
- Basarawa hitam gadang kaki
- Kapanuruik alua nan luruih
- Panampuah jalan na pasa
- Kadalam korongjo kampuang
- Masuk kotojo nagari
- Langkah salasai baukuran
- Martabat nan aman mambatasi
- Murah jo maha di tampeknyo
- Tanah kadarnyo nan hitam
- Paham hakikat tanah tapo
- Manahan hakikat tahan tapo
- Manahan sudijo siasat
- Kokoh gangsman nan sabinjek
- Kajadi incekjambu monyet
- Itu bana jadi pantangan

Maksud yang tersirat dari mamangan diatas adalah


bahwa perighulu tidak boleh menyimpang dari
ketentuan yang telah ada dalam menyusun anak dan
kemanakan keaslian pendirian yang kokoh sesuai
dengan pantun:
Rang payo kumubuh batadang kunik
Dibao nak urang ke kuantan
Indak namuah kuning dek karuik
Indak pula lamek dek santan

110 Manajemen Suku


d. Kain saruang
Yaitu kain yang disarung di pinggang hingga batas di
atas lutut, artinya waspada menjaga diri dari
kesalahan dan kekhilafan dan berhati-hati
melangkah kaki.

e. Ikat Pinggang
Disebut cawek atau kabek pinggang, artinya:
melambangkan anak dan kemenakan karib bait yang
perlu mendapatkan perlidungan. Penghulu:
selanjutnya perhatian mamang berikut:
- Cawek bajumbai alui
- Saeto pucuak rabauangyo
- Kapalilik anak kamanakan
- Kapanjarek pusako datuak
- Nan jinak nak ma kin tanang
- Nan lia nakjan tabangjauh
- Kabek sabalik buhue sintak
- Kokoh tak dapek kilo ungkai
- Lungga bak dukuah lapeh
- Kato mufakat paungkai

f. Salempang ka Bahu
Disandang ke bahu kanan artinya mampu memikul
tanggung jawab terhadap anak kemenakannya.

g. Keris
Disisipkan di pinggang, hulunya arah kekiri artinya:
Penghulu itu dipakai senjata yang melembangkan
keuasaan. Hulunya kekiri itu artinya senjata yang
dimiliki tidak digunakan untuk membunuh, tetapi
untuk melindungi anak kemenakan.
Lebih jauh tentang keris adalah sebagai berikut:
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 111
- Ganjo iran ganjo manumpuh
- Sumarak minang pado zatnyo
- Pameran aka jo Bodi dek panghulu
- Lahie jo batin bapaliharo
Adapun falsafah keris di Minangkabau
- Sanjato kerih kabasaran
- Sampiang cawek nan tampeknyo
- Sisiknyo condong ka kida
- Dikesong mako di cabuik
- Gemboknyo tumpue punting
- Tunangan ulla kayu kamat
- Kokoh tak rago baambauan
- Goyah bapantang tangga
- Bengkoknyo tangah duo heto
- Tapo luruih makanan banting
- Bantuak dimakan siku-siku
- Bamato baliak batimba
- Sanyawa pulo jo ganjonyo
- Tajam tak rago dek baasah
- Tapi bapantang malukoi
- Kapanarah nan bungkuak saruweh
- Ipuahnyo turun dari langik
- Biso bapantang batawakan
- Jajak ditikam mati juo
- Kapalawan dayo rang aluih
- Kupanulak musuah di badan
h. Tongkat
Tongkat yang disebut tungkek kayu yag kuat lagi lurus
melambang bahwa Penghulu itu mampu menompang
dirinya disamping kewajibannya menopang adat dan
pusako, anak dan kemenakan.
Falsafah tongkat adalah sebagai berikut:
- Pamenannya tungkat kayu kamat
- Ujuang tanduak kapalo perak
112 Manajemen Suku
- Panungkek adat jo pusako
- Bati batagak nan jan condong
- Sako naknyo tatap di inggiran
- Ingek samantaro belum kanai
- Kulimek samantaro balun abih
- Nak taguah gantang jo anjuanyo
- Adat nak tagak jo limbago
- Sumpik nak tagak jo isinyo.

Kesimpulan yang dapat ditarik dan pakaian Penghulu


adalah:
a. Wujud fisiknya berupa wama, potong seperti yang
terliKaf tetapi wujud nan fisik yang tersirat mempunyai
makna tertentu yang agung nilainya.
b. makna itulah yang diharapkan kepada pemakainya
yaitu Penghulu itu sendiri yang akan memenuhi
sehingga menjadi kepribadiannya dalam
menunaikan tugasnya sebagai pemimpin masyarakat.

4. Tugas Pokok Penghulu


Dalam melaksanakan amanahnya sebagai pemimpin suku,
Penghulu mempunyai tugas:
1. Mamaliharo Harato Pusako untuk diwariskan
secara turun-temurun. Tindakan menjual harta
pusaka tinggi atau mengalihkan hak atas nama orang
lain selain kaum adalah menyalahi prinsip:
Dijua indak dimakan bali
Digadai indak dimakan sando
Kabau tagak kubangan tingga
Luluak dibao sao nan lakek di badan
Aienyo bulieh diminum
Buahnyo bulieh dimakan
Nan batang ta tap tingga di nan punyo

Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 113


2. Manjago Anak Kamanakan. Maksudnya
memelihara anak dengan harta pencaharian, menjaga
kemenakan dengan harta pusaka tinggi, artinya tidak
membawa harta pusaka tinggi ke rumah isteri dan
sebaliknya tidak membawa harta pencaharian ke
kaum kemenakan. Jadi pegangan yang tepat adalah:
Memelihara anak dengan akal Bodi
Memelihara kemenakan dengan rasojo pareso

3. Singkek Ka Mauleh. Lamah Ka Manuwie.


Kurang Manukuak. Senteang Mambilai.
Maksudnya mengulas pikiran kemenakan bila singkat
dalam memecahkan kesulitan, mampu memperkuat
kemenakan bila lemah, mampu menambah dan
menukuk bila kemenakan kekurangan. Jangan biarkan
kemenakan rninta tolong kepada orang lain atau orang
lain agama sehingga kemenakan dikrestinisasikan
orang lain.
4. Hilang Mencari. Hanyuik Maminteh. Luluih
Manyalami. Maksudnya sebagai mamak harus
mampu mencari kembali harta pusaka yang hilang,
mampu memintas atau menyelami harta pusaka
yang hanyut untuk mensejahterakan mereka.
5. Rantau Jauah Diulangi. Dakek Dikanali. Demi
kepentingan anak dan kemenakan serta tugasnya
mengulanginya kemenakannya yang jauh di rantau
dan mengkana—bagi anak kemenakannya yang ada
di kampung dalam arti namuah baabih hari
babadan litak untuk mengawasi langsung
kemenakannya (dilapeh pagi, dikuruang patang)
karena cintanya kepada adat nagarinya.
6. Sewajamya kemenakan itu berkebenaran kepada
mamaknya, mamak itu sendiri berkebenaran kepada
mufakat, sebab mufakat itu berkebenaran kepada
114 Manajemen Suku
kebenaran dan keadilan itu sendiri. Haruslah Penghulu
itu menegakkan mamang adat:
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka pangulu
Pangulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka nan bana
Nan bana berdiri sendirinyo

5. Fungsi Penghulu
Sesuai dengan jabatannya, seorang Penghulu itu
mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Manuruik jalan nan luruih
2. Yaitu jalan siratalmustaqim, jalan menuju
kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat, jalan
menurut alur dan patut. Fenomena di lapangan ada
ninik mamak main domino di warung waktu shalat,
berjudi, mabuk-mabukan. Semua itu adalah jalan
yang sesat, sudah keluar dan ketentuan adat dan
agama dan sudah melanggar moral
3. Manuruik kato nan bana. Dalam menyelesaikan
masalah sako jo pusako, Penghulu/ niniak mamak
yang berwenang harus bermusyawarah dalam
mengambil keputusan. Menegakkan kebenaran agar
pihak yang tepat menerima keadilan adat.
Tahan lukah didalam banda
Ditahan jan diinjak
Dianjak ka tanah bato
Kalau bana jan dituka
Dituka jan dirombak
Kok diubah jadi sangsaro

4. Manimbang sama barek, manukuek sama


paniang, mahukum sama adie. Dalam
menimbang suatu perkara harus sama berat dan
mengukur sengketa harus sama panjang,
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 115
menghukum kesalahan harus sama adil. Dalam
menegakkan hukuman ini, Penghulu/ niniak mamak
harus konsekwen dan tidak takut akan dikucilkan
oleh kemanakannya yang bersalah. Bila Penghulu/
niniak mamak menghukum atas dasar pijak bambu,
maka pihak yang dirugikan akan pergi kepengadilan
dan polisi untuk mencari keadilan. Dengan
masuknya pihak ketiga, Penghulu/ niniak mamak
akan kecolongan dan otomatis nilainya jatuh dari
pandangan kemenakannya.
Tibo di paruik indak dikampihkan
Tibo dimato indak dipiciangkan
Tibo didado indak dibusuangkan

Maksudnya sesulit apapun keputusan dalam


menegakkan kebenaran tetap ditempuh dan diterima
dengan berlapang dada, seperti apapun mata
menerima percikan angin resiko, mata jangan
dipicingkan demi menyinarkan kebenaran dan
sebesar apapun kemenangan dan keberhasilan
menegakkan kebenaran jangan merasa sombong dan
bangga
5. Kusuik kamanyalasaikan karuah mampa-
janiah. Penghulu/niniak mamak harus mampu
menyelesaikan bila kemenakan kusut dan mamapu
menjernihkan bila kemenakan dalam keadaan keruh
jangan sampai meminta penyelesaian masalah
kepada pihak ketiga seperti LBH/Polisi dan
pengadilan.
6. Gantiang putuih, biang tabuak. Penghulu/
niniak mamak harus mampu memutuskan suatu
perkara dalam arti memutuskan tidak melukai,
menembus tidak menyakiti. Hal ini bisa terjadi
dengan menegakkan kebenaran secara bijaksana.

116 Manajemen Suku


Bak maelo rambuik dalam tapuang, rambuik indak
puttuih (hubungan keluarga), tapuang indak taserak
(hubungan masyarakat).
7. Bakato baiyo, bajalan bamolah, duduak
surang basampik-sampik, duduak basamo
balapang-lapang. Maksudnya dalam memecahkan
suatu masalah/perkara harus mengutamakan
musyawarah, saling mendengarkan dan mencari kata
sepakat. Dan jangan memutuskan suatu perkara mau
menang sendiri dan tidak mau mendengarkan
kebenaran orang lain.
8. Indak lamak karano pantang. indak kuniang
karano kunik. Maksudnya Penghulu dan ninik
mamak tidak boleh berubah pikiran dari yang
benar kepada yang salah karena ada iming-iming
keuntungan. Kalau ini terjadi, berarti memperjual-
belikan akidah dan agama demi kepentingan
kekuasaan, kekayaan dan jabatan.

Kedelapan indikator di atas merupakan sikap dan prinsip


yang harus ditegakkan Penghulu beserta pembantu-
pembantunya dalam menjalankan fungsinya. Adapaun
kesimpulan yang dapat kita petik adalah Tugas pokok dan
fungsi (TUPOKSI) terdiri dari 6 tugas pokok dan 8 fungsi
dari Penghulu / Niniak Mamak.

6. Martabat Penghulu
Penghulu itu adalah seorang tokoh pimpinan tertinggi
dalam suku di nagari-nagari di Minangkabau. Sebagai
seorang pimpinan, Penghulu itu mempunyai martabat,
yang diperolehnya sesuai menurut fatwa:
Tinggi dek dianjuang
Gadang dek diamba
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 117
Tadinyo dek mufakat
Tinggi karena dianjung
Besar karena dibesarkan
Terjadinya karena mufakat.

Maksudnya adalah martabat Penghulu itu datangnya dan


masyarakat karena ternyata bahwa kedudukannya
menjadi paling tinggi karena ditinggikan dan menjadi
besar karena dibesarkan serta kepemimpinannya itu lahir
karena mufakat jua.
Oleh sebab itu seorang Penghulu itu harus tahu akan
kewajibannya dalam memimpin anak dan kemenakan,
serta harus dapat mengabdi sebaik-baiknya kepada
kaumnya, anak kemenakannya, suku serta masyarakat
umum. Harga diri atau harkat yang dituntut martabatnya
itu dapat dicapai pula dengan memelihara kesabaran
Penghulu itu.
Kemudian dari pihak yang dipimpin yaitu mamak dan
kemenakan harus pula menghargai Penghulu itu dengan
jalan pimpinannya dipatuhi dan katanya diturut.
Walaupun misalnya yang jadi Penghulu itu muda usianya
tidak berarti seseorang seenaknya melanggar titahnya dan
tidak mematuhinya sebab;
Penghulu itu didahulukan selangkah
Ditinggikan seranting

Baginya yang melanggar peraturan-peraturan adat harus


menerima segala sanksi yang telah ditetapkan dengan
musyawarah. Bila tidak mau menerima saksi, maka
panghulu tersebut bisa kehilangan wibawa Penghulu itu
sendiridan ini bisa dituntut menurut adat. Begitu juga
menghina Penghulu didenda sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh nagari itu masing-masing (dago).

118 Manajemen Suku


Jadi martabat Penghulu itu datangnya dari bawah dan
dapat menjadi tinggi dengan sifat-sifat sebagai berikut:
sabar, lurus, benar, adil, pengasih, berilmu, sempuma
keputusannya, berhati lapang dan terjauh dari sifat rendah
yang merupakan pantang
Penghulu, memerahkan muka, menghardik, menghantam
tanah, menyinsingkan lengan baju dan lain-lain.

7. Syarat-Syarat Jadi Penghulu


Seperti telah dikemukakan diatas, untuk menjaga martabat
Penghulu agar berwibawa terhadap anak kemenakan kaum
nagarinya, seorang yang akan jadi Penghulu harus memiliki
sifat-sifat berikut:
1) Sabar: menghadapi masalah dengan lapang dada
serta luas pandangannya
2) Adil: dalam mengambil keputusan harus sempurna,
artinya adil dalam menimbang salah dan benar dalam
menjatuhkan hukuman, tidak pilih kasih terhadap
kemenakan- kemenakannya.
3) Arif Bijaksana: dapat membaca situasi, perasaan
halus dan jeli dalam memecahkan masalah.
4) Berilmu: harus banyak belajar, tahu tentang
ketentuan-ketentuan dalam adat, menguasai hal-hal
tentang Fiqih dan aturan-aturan agama Islam serta
memiliki pengetahuan umum yang makin hari makin
bertambah canggih.
5) Kaya: memiliki harta sehingga tidak mengganggu
kesejahteraan kemenakannya dan juga kaya bicara,
banyak memberi nasehat dan petunjuk.
6) Pemurah: suka menolong dan membantu orang
lain dan orang banyak.

Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 119


7) Tulus: tidak mengharapkan imbalan terhadap tugas-
tugas dan jabatannya, malah ia ingin mengabdi untuk
kepentingan orang banyak.
8) Seorang Penghulu itu harus memiliki sifat yang
benar artinya lurus, benar, jujur dan
bertanggungjawab.
Manapuah jalan labuah nan luruih
Mauruik jalan nan golong

Maksudnya tidak plin-plan, teguh memegang


kebenaran dan janji, seperti mamangan berikut:
Lahie jo batin saukuran
Isi kulik tanpamo labieh
Sakato lahie jo bathin
Sasuai muluik jo hati

9) Cerdas, berpendidikan, berilmu, artinya memiliki


ilmu tentang adat, syarak, undang-undang dan lain-
lain. Penghulu itu: Cadiek, tahu jo pandai Nan badeta
panjang bakaruik Panjang tak dapek kito ukua.
Maksudnya, banyak berkerut pada dasarya
melambangkan kecerdasan mendidik dan
pengetahuan yang dimilikinya tidak dapat diselami.
10) Bersifar jujur dan dipercayai, sebab menurut
adat sifat-sifat yang terlarang itu antara lain:
Pangguntiang dalam lipatan
Panuhuak kawan sairiang
Malalah kuciang di dapua
Pilin kacang nak mamanjek
Pilin jariang nak barisi
Mangaik dalam balango
Manahan jarek dipintu
Mancari daun ka bawah rumah
Manjua anak kamanakan
Pangicuah korong jo kampuung
Panipu urang nagari

120 Manajemen Suku


Artinya: Mangguntiang dalam lipatan Penuhuk
kawan seiring (suka merugikan kawan secara
sembunyi) Malalah kucing didapur Pilin kacang nan
mamanjek Pilin jengkol hendak berisi (segala
perbuatanya ingin mendapatkan imbalan dan
keuntungan) Mengail dalam belanga Mamasang jerat di
pintu, Mencari daun ke bawah rumah (merugikan kaum
keluarga sendiri) Menjual anak kemenakan Pengicuah
korong jo kampuang Panipu urang nagari (suka
merugikan dengan menipu anak kemenakan, korong
dan kampuang)
Penghulu yang jujur sesuai dengan mamang berikut:
Elok nagari dek panghulu Sapakat mant jo Dubalang
Kalau tak pandai jadi Penghulu Alamat sapuah kama
ulang. Artinya Elok nagari oleh Penghulu Jalannya
undang-undang oleh hulubalang Kalau tak pandai
memegang hulu Punting tangga mao tabuang
11) Fasih bicara, maksudnya bukan bersilat lidah tapi
seperti kata mamangan:
Murah kato takatokan
Sulik kato jo timbangan
Kato nan leok-leok lambai
Rundingan nan elok lamak manih
Sakali rundiangan tasabuikkan
Takana juo salamonyo
Rundingan nan tinggi tinggi rendah
Nam bak maelo tali jalo
Raso tagang di kanduri
Agak kandua ditagangi
Diam dikato nan sadang elok

Maksudnya mudah dengan kata-kata yang biasa,


Teliti dengan kata-kata yang sulit. Dalam berunding
kata-katanya enak didengar, dalam memecahkan
masalah, kata yang tajam diimbangi dengan kata yang

Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 121


enak. Sedang kata-kata yang lemah lembut
diimbangi dengan kata-kata yang tajam.
Dari semua syarat tersebut diatas kalau terpenuhi
akan berakibat seperti kata mamang:
Sirawik padang barimbang
Tak ujung pangka manganai
Sudu-sudu batimbo jalan
Dikaik kanai gatahnyo
Kalangik tuah takaba
Duduak di kampuang jan jumilan
Pandang buek tujuan tanyo

8. Syarat Mengangkat Pengganti Penghulu


Sebelum seseorang diangkat menjadi Penghulu, Penghulu
yang lama harus berakhir kePenghuluan, karena
meninggal dunia atau telah uzur dan diganti menurut
sepakat kaum.
Penggantinya diambil dari kemenakan yang bertali darah,
karena jabatan Penghulu itu turun-temurun dari mamak
kepada kemenakan (karambie tumbuah di mato). Ada 4
cara menggantikan kedudukan Penghulu :

a. Sewaktu tanah tasirah


Pada waktu Penghulu lama meninggal, ditanah
pusara itu dilekatkan gelar Penghulu kepada
kemenakannya yang dekat, seperti kata mamangan:
Ramo-ramo sikumbang janti
Katik endang pulang bakudo
Patah tumbuah hilang baganti
Namun pusako baitu juo

122 Manajemen Suku


b. Mati Bertongkat Budi
Artinya kalau yang menggantikan Penghulu itu tidak
yang bertali darah lagi, lalu berdasarkan musyawarah
dalam kaum diangkat penggantinya yang bertali Budi
yaitu kemenakan yang dibawa dan dibesarkan dan
telah banyak berbuat baik pada masa hidupnya

c. Hidup Berkerelaan
Bila Penghulu lama itu sudah tua, artinya gunung
sudah tinggi, lurah sudah dalam maka karena uzur
itu menyerahkan gelar dan jabatannya kepada
kemenakannya yang bertali darah dengan sepakat
kaum.

d. Mambangun sako
Artinya membangkit batang tarandam, Penghulu
yang sebenarnya masih kecil sementara
kedudukannya digantikan oleh orang dewasa dalam
sukunya menurut sepakat kaum. Setelah yang
bersangkutan dewasa maka gelar dan jabatan
Penghulu itu diserahkan dengan melalui pelantikan,
yaitu kepada yang berhak memegangnya.

9. Macam-Macam Penghulu
Menurut sifat dan perangainya Penghulu itu banyak pula
jenis dan ragamnya. Berdasarkan istilah: Penghulu,
pangaluah, panyalah, pengelak yang artinya' sebagai
berikut:
i. Penghulu, yang benar-benar seorang Penghulu,
sempurna dalam melaksanakan tugas dan kewajiban.
ii. Pangaluah (pengeluh), yaitu Penghulu yang suka
mengeluh adalah gambaran Penghulu yang tidak bisa
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 123
menyelesaikan masalah dirinya dan anak
kemenakannya. Berartinya tidak mampu menjadi
Penghulu yang baik.
iii. Panyalah (penyalah), Penghulu yang suka
menyalahkan orang lain, berarti dia yang selalu
benar. Ini Penghulu yang parasit yang maunya
menang sendiri.
iv. Pengelah (pengelah), artinya Penghulu yang selalu
menghindar dan mengelak dari kewajibannya dan
tanggungjawabnya.

Sebagai seorang tokoh yang akan digugu dan ditiru oleh


anak kemenakan, sudah tentu seorang Penghulu itu
mempunyai sifat yang baik, tidak memiliki perangai yang
buruk yang merugikan martabatnya sebagai orang yang
ditinggikan disanjung gadangnya diamba oleh anak,
kemenakan dan masyarakat.
Penghulu menurut perangainya dapat dibedakan atas:

a. Penghulu nan tanjuang


Sapantun sipongah dalam Ngalau
Baik dirongkok-rongkok tabiang
Kito babuni inyo babuni
Dihimbau bunyinyo bana
Dilihek indak tampak rupo
Babuni dibuni urang
Itu Penghulu sifat duto
Dareh antah lalu tak ado
Babana dibana urang
Elok dicaliek-caliek sajo
Maksudnya Penghulu yang tidak punya
pendirian, dapat diotak-atik, dipengaruhi orang
dan yang diucapkan itu hanya pendapat orang lain.
Yang belum tentu salah benarnya disebut Penghulu
pendusta.
124 Manajemen Suku
b. Penghulu Ayam Gadang
Bakotek hilie bakotek mudiak
Bakukuak kian bakukuak kanan
Manyatokan tuah awak sajo
Tiok suatu kebaikan
Awak sadonya nan pangkanyo
Walaupun urang nan asanyo
Dihimpok jo kecek lamak
Itulah syarek ayam gadang
Gadang bungkuh tak barasi
Elok paluik pangabek kuruang
Maksudnya Penghulu ayam gadang adalah Penghulu
besar mulut, harga dirinya

c. Penghulu buluh bambu


Batareh tampak dilua
Tapi di dalam kosong sajo
Indak barisi apapun juo
Tampan elok takuh balabieh
Tajak rancak aka tak ado
Ilmu jauh sakali
Apapun indak nan ditaruah.
Maksudnya Penghulu itu bodoh tidak berpendirian
dan kurang berilmu.

d. Penghulu Katuk-Katuk
Iolah tontong rang diladang
Kalau diguguah inyo babuni
Kalau tak urang nan bakambang
Ladanga suaronyo
Kabarunduang awak tak pandai
Mangecek itu nan japek
Menjadi damuik barek biebie
Itu nan disabuik katuak-katuak
Maksudnya, Penghulu yang tidak pandai bicara
karena wawasannya rendah

Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 125


e. Penghulu Tupai Tuo
Elok nan mangalua
Gadang nan mangatangah
Diri di bao manyanik sajo?
Bak karabang talue itiak
Eloknyo dibuang sajo
Tacampak kabaliek rumah
Indak kumbali naik lai
Bak itu sipek tupai tuo
Indak tatampuah nan kalinduangan
Aiek indak nan baturuik
Jalan indak na batampuah
Manaruah saganjo ragu
Walaupun undanga Jah dikaji

Maksudnya, Penghulu yang tidak aktif malah masa


bodoh dengan yang terjadi dan jarang sekali ke tempat
ramai atau mengadakan kunjungan.
Seorang Penghulu mempunyai nilai moral sebagai
pemimpin yang bijaksana, adil, kaya tanpa
kemewahan memberi tanpa kehilangan, menang
tanpa mengalah.
Penghululah yang diibaratkan, kayu gadang di
tangah padang, ureknyo tampak baselo, batangnyo
tampek basanda, daunnyo tampek bataduah.
Sesungguhnya Penghulu itu :
Urang gadang basa batuah
Di anjuang tinggi diamba gadang
Alamat kebesaran dalam keluarga

Jika orang menghina Penghulu itu, harus dihukum


sepanjang adat, menyembelih seekor kerbau memberi
makan orang nagari sampai 1000 liter beras.
Disamping itu harus minta maaf (tempo dulu).
Penghulu itu bukan orang feodal, tapi dia harus bisa
memimpin anak kemenakan dengan sepuluh syarat.
126 Manajemen Suku
Cerdik cendikiawan, arif bijaksana, Budiman,
jujur, adil, benar, pandai, kaya, sabar, dan
berani. Sebagai ahli akal, Penghulu itu:
Tahu di kieh dengan bandiang
Tahu di dahan kamanimpo
Tahu di rantiang ka malantiang
Alun ba kilek alah bakalam
Alun mambayang lah marupo

10. Tingkat Penghulu


a. Penghulu pucuk yaitu pimpinan dari
Penghulu suku (Koto Piliang), sama dengan
Penghulu tuo (Bodi Caniago).
b. Penghulu suku yaitu pemimpin dari suku dan
koordinator dari urang IV Jinih
c. Penghulu Andiko yaitu Penghulu payung,
yang memimpin suku yang telah membelah diri.
Penghulu ini tidak berhak jadi Penghulu pucuk.
d. Penghulu indu, yaitu pemimpin kaum yang
sapayuang, disebut juga.
Ayam gadang sikue salasuang
Balam mau sikue saguguak

e. Panungkek, yaitu pembantu utama seorang


Penghulu, yang punya kans untuk diangkat
sebagai pengganti Penghulu.

11. Gelar Penghulu


Bagi setiap nagari gelar Penghulu itu sudah defenitif.
Panggilannya Datuak. Dengan catatan tidak semua gelar
datuk itu Penghulu. Gelar Datuk itu juga di pakai :
a. Untuk panungkek
b. Kaum yang bersako Penghulu atau yang mempunyai
beberapa gelar pusaka
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 127
c. Orang yang berjabatan tinggi seperti Wali Nagari,
tetapi gelar ini tidak dapat diwariskan

12. Cara Pemakaian / Penamaan Gelar


a. Gelar Penghulu pucuk itu tunggal seperti Dt. Sati. Dt.
Sinaro, Dt. Batuah dan lain-lain
b. Gelar Penghulu payung diberi tambahan dengan kata
seperti Dt. Marajo Basa, Dt. Sinaro Sati.
c. Gelar Penghulu indu diberi juga tambahan belakang Dt.
Marajo basa nan kuning, Dt. Marajo basa nan batuah
d. Gelar panungkek: menggunakan dua kata benda
seperti: Dt. Payuang Ameh, Dt. Mangkuto Ameh.
Penghulu yang sudah menurut adat ditentukan oleh
dua kategori:
- Yang memakai sepanjang adat (patah tubuah)
artinya Penghulu itu meninggal digantikan oleh
kemenakannya yang bertali darah.
- Yang memahami adat istiadat hidup berganti
artinya Penghulu lama itu meninggal dunia tidak
ada penggantinya tidak ada yang kontan lalu
digantikan oleh orang yang berotak adat dengan
Penghulu yang meninggal itu.

128 Manajemen Suku


BAB 6
ANALISIS KEPEMIMPINAN SUKU DALAM
PERSPEKTIF MANAJEMEN

Sebelum membahas manajemen suku sebelumnya perlu


diketahui dan dapat dilihat bahwa secara umum arti
manajemen itu adalah ketatalaksanaan, proses
melakukan kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan
tertentu, bekerja sama dengan orang lain. Proses
kerjasama itu dipimpin oleh seorang manajer, melalui
fungsi-fungsi manajemen.
Mengenai fungsi manajemen itu, banyak pendapat yang
dikemukakan para pakar, baik menyangkut jumlah
maupun pengertiannya. G.R. Terry menyebut ada 4 fungsi
manajemen, terkenal dengan akronim POAC, yakni
planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian),
actuating (pelaksanaan) dan controlling (pengawasan).
Herry Fayol memecah fungsi actuating menjadi
commanding (pengendalian) dan coordinating
(koordinator). William Sriegel menyebut fungsinya hanya

Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 129


3, yakni perencanaan, pengorganisasian dan
pengawasan.
Drs. S.D. Siagian MPA menyebut 4 fungsi manajemen
yakni perencanaan, pengorganisasian, pemberian motivasi
dan pengawasan. Lindal F. Urwick menyebut ada 6 fungsi
manajemen, yakni: perkiraan/visi, perencanaan,
pengorganisasian, pengendalian, koordinasi dan
pengawasan.

A. Aspek Sistem dan Kelembagaan


Seperti yang telah diketahui bersama bahwa sistem
pemerintahan yang sering disebut dengan kelarasan yang
berlaku di Minangkabau merupakan buah pemikiran
Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan
Sabatang. Paham itu membuahkan sistem Koto Piliang
dan Bodi Caniago yang dianut oleh masyarakat suku di
Minangkabau.
Namun karena perubahan zaman dan orde yang
berlangsung secara terus menerus termasuk dengan pola
migrasi yang terjadi di berbagai wilayah di Minangkabau,
seperti perkawinan antara anak kemanakan yang
menganut dua sistem atau pindah domisili,- sistem
kelarasan yang dianutpun bergeser sedikit demi sedikit
dan dapat menyebabkan kehilangan subtansi kelarasan
masing-masing.
Bahkan dari awalpun sejak dilahirkannya, sistem
Kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago terjadi pula
pemahaman kelarasan yang berbeda sama sekali dengan
sistem yang ada. Seperti sistem Pisang Sikalek-kalek
Hutan, yang menurut mamangnya tidak memakai salah
satu namun mengaku sama-sama diafpakai kedua sistem
tersebut.
130 Manajemen Suku
Pisang sikalek-kalek hutan
Pisang Tambatu nan bagatah
Rang baok ka Saruaso
Bodi Caniago Bukan
Koto Piliang nyo antah
Samo dipakai kaduonyo

Akan tetapi, apabila ditilik lebih jauh sistem yang


memakai kedua-duanya ini tidak jelas pula bila mana dan
kapan sistem koto Piliang dipakai dan disaat apa pula
sistem Bodi Caniago digunakan. Begitu juga dengan
sistem pengambilan keputusan dan proses adatnya, juga
tidak ada kejelasan apakah menganut Koto Piliang
maupun Bodi Caniago. Dan tidak jelas pula siapa yang
melahirkan sistem pisang sikalek-kalek hutan ini. Dan
bagaimana aturan yang jelas dalam menata lembaga suku
juga tidak ditemukan, namun sistem ini sudah
ditradisikan di masing-masing tempat dan disesuaikan
dengan adat salingka nagari. Hal inilah yang dianut oleh
kebanyakan wilayah nagari di Kubung XIII misalnya.
Dengan tidak adanya aturan dan sistem yang jelas tentang
pisang sikalek-kalek hutan, menyangkut sistem dan
kelembagaan suku ini yang kini bertumpu pada lembaga
Ampek Jinih yang diakui secara turun temurun sebagai
lembaga tertinggi dalam suku.
Lembaga Ampek Jinih sebagai lernbaga tertinggi dalam
suku, lambat laun juga tidak berperan, karena tidak ada
sistem kaderisasi yang jelas. Dan sistem pewarisan gelar
adat seperti apakah memakai sistem Koto Piliangkah atau
Sistem Bodi Caniago-kah? Atau menganut sistem Pisang
Sikalek-kalek Hutan yang seperti apakah?
Jadi jelaslah bahwa kemunduran dari sistem dan
kelembagaan suku di Minangkabau sehingga pada setiap
keputusan tidak didengar oleh kemanakan, dan juga
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 131
dikarenakan beragamnya tingkat intelektual pejabat adat.
Sehingga perlulah kiranya untuk membuat sebuah sistem
guna menunjang pemimpin adat apabila tingkat
pendidikan pemimpin adat itu lebih rendah dibanding
kemenakannya.
Hal ini dibenarkan Datuk B. Nurdin yang melihat sisi
pergeseran adat Minangkabau dari sisi budaya itu sendiri,
dimana di tengah pergeseran itu, transformasi-perwarisan,
sosialisasi adat Minangkabau kepada masyarakat
Minangkabau mulai dari datuk, ninik mamak yang
menyandang gelar adat serta generasi pelanjut terjadi
stagnasi dan keterputusan. Akibatnya masyarakat
Minangkabau menuai konsekuensi logis pahit, seperti
teralenasinya masyarakat Minangkabau dari budayanya
sendiri dan kalau mereka mau bertanya, tampek batanyo
juga sudah tinggal dihitung dengan jari. Bahkan pada
generasi muda sudah menggejala tidak mau tahu dengan
budayanya sendiri (Dt. B. Nurdin 1995).
Selain itu kita lihat pula sistem pemerintahan adat dalam
suku saat ini tidak berjalan dengan baik juga karena tidak
ada sistem pendataan yang baik pula di dalam sukuv
Sehingga sulit untuk mengukur tingkat kesuksesan suku.
Seperti dalam rapat tidak adanya notulen dan tidak
adanya surat mandat kepada yang di beri tugas. Sehingga
dari aspek legalitasnya menjadi berkurang.
Begitu juga sistem pendataan kemanakan berupa ranji,
untuk yang satu ini belum semua suku dan kaum
memilikinya. Sehingga kebanyakan Penghulu tidak tahu
berupa jumlah kemenakannya yang pasti, apalagi potensi
sumber daya manusia yang dimiliki suku. Tidak adanya
pendataan yang kongkret juga menyebabkan kemanakan
suku tidak tahu bagaimana dan kemana harta pusaka suku,
begitu juga sejarahnya.
132 Manajemen Suku
Hal ini dibenarkanpula oleh Chaidir Nin latief,
menyangkut status warisan dan tanah ulayat yang sering
disebut pusako tinggi mendukung pergeseran sistem
dalam adat Minangkabau. Sertifikasi tanah pusaka tinggi
telah menimbulkan sengketa tanah meningkat dalam
masyarakat.Padahal harta pusaka tinggi adalah milik
komunal yang menjadi social fund, dana abadi kaum yang
menurut adat disebut ganggam bauntuak hiduik ba
padok bak bapanyo miliak bamasiang, tak boleh dijual.
Realitasnya sekarang harta pusaka tinggi telah dipaksakan
menjadi seperti milik individual supaya dapat digunakan
dan dijual. Dan dengan dalih kepentingan umum dan
pembangunan tanah ulayat nagari telah dijadikan tanah
negara. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan masyarakat
sekarang pada prinsip-pinsip tentang harta pusaka, tanah
ulayat dan sako (Ch. N Latief: 2002)
Suku juga tidak membuat aturan tertulis yang bersifat
mengikat atau menjadi konsekuensi bersama di dalam
suku untuk dijalankan. Aturan ini bila dilanggar akan
mendapatkan sanksi sesuai kesepakatan suku, termasuk
Penghulu dan pejabat suku lainnya. Karena Penghulu juga
manusia yang sering gawa dan khilaf.
Hal ini diakui oleh para ninik mamak dalam Musyawarah
Adat di Kayu Aro Solok, 10 Pebruari 2004. (Laporan Ketua
S3 Jakarta, Irjen Pol (P) Marwan Paris, MBA, Dt. Tan
Langik).
Sementara itu, catatan itu juga melaporkan kondisi
kelembagaan suku saat ini yang berada dalam setiap
Nagari sangat memprihatinkan kita semua. Kerapatan
Adat Nagari yang dikukuhkan dengan Perda Provinsi
Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 1983 sebagai satu-
satunya lembaga hukum adat di Nagari hampir tidak bisa
menyelesaikan sangketa tanah adat dan ini terbukti dari
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 133
banyaknya perkara yang meluncur ke pengadilan Negeri,
karena "gantiang putuih", biang tabuak hampir tidak bisa
dicapai oleh seksi perdamaian adat KAN. Atau lembaga-
lembaga adat lainnya di nagari masing-masing.
Selama Pemerintahan Desa dilaksanakan di Sumatera
Barat dari tahun 1983 s/d 1999, telah terjadi perubahan
sosial terhadap masyarakat tradisional, seperti perubahan
pada lembaga-lembaga masyarakat yaitu suku, struktur
kepemimpinan dalam suku yang berdampak langsung
terhadap kesatuan masyarakat Nagari. Adat dan budaya
sudah mulai luntur, ninik mamak/Penghulu dalam
keluarga matrilineal berangsur-angsur hilang perannya.
Sebaliknya peran Bapak atau urang sumando lebih
menonjol.
Dalam bidang ekonomi, akibat pola Desa yang
berdasarkan materi, orang Minang mulai mengukur
sesuatu dengan materi, sehingga rasa kebersamaan dan
gotong-royong mulai berkurang.
Wanita Minang yang ciri khasnya berbaju kurung, diganti
dengan yurk dan you can see, model pakaian ketat dan
bikini, yang menampakkan aurat wanita kepada umum,
yang sangat terlarang oleh agama Islam. Dalam pergaulan
sehari-hari, saling menghormati, saling menegur kalau
ketemu di jalan, sayang menyayangi seperti yang
diutarakan oleh kato nan ampek, jalan mandaki, manurun,
mandata dan malereng kini hanya tinggal slogan semata.
Mumpung semuanya belum berubah dan belum menjadi
bencana, karena masyarakat yang tinggal di pedesaan
masih melaksanakan adat lamo pusako usang, disamping
taat menjalankan ibadah agama Islam. Dalam kondisi
seperti saat sekarang ini, diperlukan usaha untuk
membenahi diri sendiri, menggalang kembali adat lama
pusaka usang dan menerapkan secara konsekuen’adat
134 Manajemen Suku
basandi syarak, syarak basandi kitabullah " (ABS-SBK)
dengan jalan memberikan pengetahuan dan pemahaman
tentang pegangan filosofis orang Minangkabau dan
kemudian dapat dihayati masyarakat untuk dijadikan
sikap dan tingkah laku dalam menghadapi masa depan.
Bila dikaji lebih mendalam, sesungguhnya Adat
Nan Empat sudah merupakan penjabaran dari ABS-
SBK.
Unsur dari Adat nan Empat itu sebagai berikut:
1. Adat Nan Sabana Adat (ANSA) adalah
sunnatullah, diasak indak layue, dibubuik indak
mati. Artinya kekal, abadi seperti yang diciptakan
oleh Allah Subhanahuwata'aala segala dua (nan duo);
siang malam, jantan betina, susah senang, sorga
neraka, hujan panas, dan sebagianya. Semua
terutama dalam kitab suci agama Islam yaitu Al
Qur’an dengan ayat-ayat yang tersebar didalamnya
disebut ayat Quranah
2. Adat Nan Diadatkan (ANDA) Merupakan sistem
pemerintahan kelarasan yang diciptakan oleh Dt.
Katumanggungan dengan Dt. Perpatih nan Sabatang.
Dengan kebijakan nenek moyang yang secara
filosofis diambil dari alam takambang jadi guru dari
pengalaman belajar dari alam terciptalah gagasan-
gagasan baku yang disebut ayat-ayat Qauniah yang
kristalisasinya terdapat dalam ajaran Koto Piliang
dan Bodi Caniago telah menjadi pedoman bagi insan
adat dalam perjalanan Minangkabau yang terdiri
dari 8 kategori sikap yang telah diperturun-naikan.
Keagungan Adat Basandi Syarak (ABS) Syarak
Basandi Kitabullah (SBK) terletak pada adat nan
sabana adat (Qurainah) dan adat nan diadatkan
(Qauniah). Kepada kedua adat itulah (adat nan

Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 135


babuhue mati), adat nan teradat dan adat istiadat
(adat nan babuhue sintak) bersendikan sehingga
tepat disebutkan adat nan empat itu telah memenuhi
Adat Basandi Syarak (ABS) Syarak Basandi
Kitabullah (SBK). Ini juga sudah baku, tak dapat
dirubah. Kedua adat tersebut adalah adat nan
babuhue mati. Kalau ANSA adalah sunnatullah,
maka ANDA sesuai dengan ajaran Islam yang
menegakkan hablum minan nas, hablum minallah.
Sehingga dapat dikatakan ANSA dan ANDA adalah
syarak, yang menjadi landasan bagi setiap nagari
dalam membangun Adat nan Teradat (ANTA) dan
Adat Istiadat (AISTA). ANTA dan AISTA disebut adat
nan babuhue sintak, usang usang dapat
diperbaruhui, dapat berubah sesuai dengan situasi
dan kondisi.

B. Aspek Struktur dan Kepemimpinan


Begitu juga ketika kita melihat pada struktur dan
kepemimpinan suku. Mulai dari proses pengangkatan dan
penempatan pejabat suku. Ada pula yang menyebutkan
Penghulu setara kedudukannya dengan pejabat lainya,
Manti, Malin dan Dubalang. Dan sering disebutkan bahwa
Penghulu hanya ditinggikan seranting dan didahulukan
selangkah.
Persoalannya adalah apakah dalam struktur itu Penghulu
bersifat sebagai komando (leader) atau sebatas moderator
yang bertindak seperti polisi lalu lintas dalam hal
mengatur suku? Lalu siapa yang akan memberikan
keputusan tertinggi, apakah rapat atau ada lagi lembaga
lain yang merupakan pemberi keputusan yang tidak dapat
diganggu gugat.

136 Manajemen Suku


Di dalam hal ini juga masing-masing pihak di lembaga
Ampek Jinih, apakah pejabat tersebut difungsikan sebagai
manejer di bidangnya masing-masing sesuai dengan peran
dan fungsinya atau sebagai pemimpin. Karena antara
pemimpin dan manajer mengadung arti yang sangat
berbeda. Pemimpin tinggi kecenderungannya sebagai
pemberi keputusan akhir dalam setiap program dan
rencana yang ditetapkan bersama. Sedangkan Manager
lebih pada sebagai pengatur dan pengawasan dalam
menjalankan program yang telah ditetapkan tersebut.
Mungkin dalam meletakan struktur orang Ampek Jinih
dan orang bajinih belum diletakkan dan dipimpin
sebagaimana mestinya. Seperti Penghulu dengan struktur
di dalam adat di bawahnya ada ninik mamak, tungganai,
Penghulu payung dan Penghulu kaum (Datuk Andiko).
Begitu juga Malin penanggungjawab keagamaan dalam
suku belum berkoordinasi dengan baik dengan struktur
Jinih Nan Ampek (Khatib, Imam, Bilal dan Khadi) dalam
suku.
Persoalan berikutnya menyangkut kriteria orang-orang
yang akan ditempatkan duduk di lembaga tersebut,
apakah menyangkut sistem Koto Piliangkah, Bodi Caniago
atau Pisang Sikalek-kalek Hutan? Kalau dipakai sistem
Koto Piliang yang dengan aturan pemagang jabatannya
adalah karambia tumbuah di mato. Di mana yang akan
menerima jabatan itu orang yang bertali darah saja.
Selain itu adalah dengan adanya pola migrasi orang
Minang yang suka merantau, seperti yang disebut
Azyumardi Azra bahwa merantau menampakan sebuah
identitas yang melekat bagi orang Minang. Di sinilah
timbul pertanyaan, bagaimana jika pemimpin adat yang
berada dalam struktur kepemimpinan adat itu juga
merantau?
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 137
Persoalannya adalah, setiap Penghulu yang tidak
berdomisili dikampung baik karena alasan perkawinan
maupun dengan alasan pindah domisili karena ikatan
pekerjaan, diangkat seorang panungkek dikampung.
Hanya saja panungkek tersebut selama ini belumlah
diakui untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi
dengan Penghulu lain. (Wawancara, Firdaus Oemar Dt,
Marajo, 1 Januari 2005).

C. Aspek Fungsi dan Peranan


Kelembagaan
Dalam hal fungsi dan peranan kelembangaan dalam suku,
jelas tidak semuanya berjalan dengan baik. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dari sistem dan
tatanan masyarakat adat di Minangkabau. Kemandulan
dari lembaga Ampek Jinih bisa saja menjadi pemicu
terjadinya sengketa adat yang tidak kunjung terselesaikan.
Seperti Fungsi Penghulu sebagai pemimpin suku, tidak
berfungsinya dikarenakan faktor dari kemampuan
Penghulu itu sendiri. Baik dari segi leadershipnya maupun
dari segi ekonominya. Ketidakmampuan Penghulu dalam
memimpin tidak lebih dari ketertinggalan Penghulu dalam
segi ilmu pengetahuan dari anak kemanakannya yang
kebanyak sudah mengenyam pendidikan tinggi bahkan
sampai keluar negeri. Sementara Penghulu sendiri masih
berkutat dengan kemampuan petatah-petitih yang
terkadang anak kemenakan tidak memahaminya.
Persoalan ini, diperparah bila tidak membawa anak
kemanakan yang telah berpengetahuan tinggi tadi dalam
pengambilan keputusan. Begitu juga dengan tidak pula
mengikutkan kaum perempuan dalam suku untuk berurun
rembuk. Halangan seperti ini membuat Penghulu tidak
138 Manajemen Suku
dapat menjalankan fungsinya. Apalagi kalau kemampuan
ekonomi Penghulu berada di bawah kemanakannya. Hal
ini membuat kharismatik Penghulu menjadi berkurang di
tengah keberadaan masyarakat yang sudah cenderung
materialistis dan kapitalistis.
Dan yang paling penting, fungsi Penghulu sebagai ayah
sosial menjadi berkurang, dikarenakan halangan-halangan
dan pergeseran nilai tadi. Sehingga anak kemanakan
hanya bernaung dalam naungan ayah biologisnya. Jadi
peranan.suku dalam menentukan. masa depan anak
kemanakan menjadi berkurang, semua peran suku dan
mamak seakan diambil sepenuhnya oleh Keluarga.
Prof. Dr. H. Agustiar Syah Nur MA, dalam penelitiannya
juga menyimpulkan bahwa "krisis kepemimpinan" yang
terjadi dalam masyarakat Minangkabau dalam sistem
matrilinial, Penghulu merupakan figur sentral dan
merupakan pimpinan formal berbagai kesukuan yang ada,
karena dialah pemegang kato putuih biang tabuak.
Menurutnya 45,7 % Penghulu, ninik mamak tidak tahu
fungsinya dan banyak anak kamanakannya tidak
mengetahui apa suku dan siapa pemimpin adat alias siapa
Penghulunya.
Begitu juga halnya dengan peran dan fungsi dari Manti
sebagai adminjstratif adat, Malin sebagai orang yang
menangani persoalan agama, dan Dubalang yang menjaga
keamanan dan wibawa suku. Tidak jauh berbeda dari
Penghulu kebanyakan tidak berperan dan berfungsi
dikarenakan kemampuan fisik, ekonomi, pengetahuan dan
leadership. Dan diperparah dengan kemampuan
berkomunikasi dengan anak kemanakan. Orang Ampek
Jinih yang dielukan sebagai orang yang ditinggikan
seranting justru jaraknya sudah menjadi beranting-
ranting.
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 139
Bahkan Upi Tuti Sundari juga banyak menulis bahwa
peran dan fungsi Urang Ampek Jinih tidak berjalan
dikarenakan kebanyakan dari pejabat tersebut berada di
rantau, sementara panungkeknya yang berada di
kampung-pun tidak dapat memberikan keputusan. Selain
jarak komunikasi pun tidak berjalan antara Urang Ampek
Jinih dengan panungkeknya termasuk dengan kaumnya.
Hal ini jelas menambah jarak antara mamak dan anak
kemanakan.
Bahkan yang lebih parah seperti yang sering diungkapkan
sesepuh Solok di berbagai kesempatan Drs. H. Hasan
Basri Dt Maharajo Indo bahwa kebanyakan orang Ampek
Jinih merasa menjadi kaum elitis atau juga seperti
bangsawan keturunan darah biru di Jawa, padahal Urang
Ampek Jinih bukan bangsawan akan tetapi fungsionaris
boleh disebutkan 'pelayan' bagi suku sesuai di bidangnya,
yang harus dijalankannya setiap hari dan sampai ia tidak
memangku jabatan tersebut atau sudah dialihkan kepada
kemanakannya yang tepat dan memenuhi kriteria untuk
memangku jabatan tersebut.

D. Aspek Kemampuan Kepemimpinan


Perlu juga dilihat aspek kemampuan dan kepemimpinan
di dalam suku. Karena jalannya manajemen suku di
Minangkabau seperti yang sudah kita singgung
sebelumnya erat kaitannya dan kemampuan leadership
seorang pejabat suku atau Urang Ampek Jinih. Karena
dengan kemampuan baik fisik, mental, integritas
intelektual dan sosial ekonomi menjadikan ia sebagai
seorang pejabat suku yang harus dihormati, disegani dan
didengar oleh anak kemanakannya.

140 Manajemen Suku


1. Fisik/Performance
Penampilan pejabat suku sangat besar mempengaruhi
wibawanya, begitu pun pejabat suku harus menjaga
kesehatannya, dikarenakan pejabat suku yang selalu sakit-
sakitan akan mempengaruhi tugasnya dalam memimpin
anak kemenakannya. Dan dalam hal ini pejabat suku yang
telah uzur, juga sebaiknya mempertimbangkan untuk
mengangkat panungkek atau menurunkan jabatannya
kepada anak kemanakannya yang pantas sesuai dengan
sistem yang dianut dalam suku tersebut. Kenyataan
sekarang, faktor permormance dan penampilan kurang
diperhatikan pejabat suku di beberapa tempat

2. Mental Spritual
Tidak jarang ditemukan pemimpin yang kurang memiliki
kemampuan dalam bilang keagamaan. Bahkan meski
pemimpin lembaga suku tersebut memegang jabatan
Malin yang nota benenya bertanggungjawab tentang
persoalan keagamaan anak kemenakan.
Adakala pemimpin suku lupa dengan nan kuriak adolah
kundi, nan merah adaloh sago, nan baik Bodi dan indah
baso. Dengan artikata ada pula diantaranya pejabat adat
dalam suku yang tidak memberikan teladan yang baik
kepada kemanakannya. Seperti ikut berjudi dan
bermaksiat.
Seorang pemimpin di dalam suku juga kerap mengabaikan
sumpah ketika awal diangkat menjadi pemimpin suku.
Meski ia berjanji kalau mengabaikan amanah akan
dimakan sumpah, indak baurek kabawah, indak bapucuak
kaateh, di tangah digiriak kumbang.

Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 141


3. Integritas Intelektual
Kebanyakan pemimpin suku di Minangkabau
kemampuan intelektual terasah dengan pengalaman
turun-temurun yang diterima dari orang tua. Jarang
kemampuan intelektual yang terasah dari bangku
pendidikan, karena pada masa-masa muda pemimpin
suku yang sekarang menjabat lebih banyak bergelut
dengan perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam hal inilah terkadang pemimpin suku sangat
tertinggal dengan anak kemanakannya yang telah banyak
bersekolah tinggi, namun tidak menetap di kampung
Ironinya meski banyak kemanakannya yang bersekolah
tinggi, tidaklah diajak dalam bermusyawarah dalam
memutuskan persoalan sukunya. Bahkan terkadang, para
pemimpin lembaga suku tersebut menganggap
kemanakan yang memiliki kemampuan lebih itu sebagai
saingan. Hal ini juga menyebabkan keputusan rapat
pemimpin suku ini tidak mengakar dan lebih parah,
keputusan itu tidak dihiraukan oleh anak kemanakannya.
Sekolah tinggi tidak menjamin pengetahuan tentang adat
dan masyarakat
Sementara itu, sudah tidak mendapat kesempatan
mengenyanr sekolah. Pemimpin suku tersebut juga tidak
mau membaca buku dan pengetahuan lainnya untuk
meningkatkan kemampuannya dalam memimpin.
Aspek rendahnya kemampuan intelektual ini tentu
bukan tanggungjawab pemimpin suku itu sendiri. Tentu
juga kewajiban suku secara keseluruhan, pernerintahan
nagari khususnya dan pemerintah kabupaten (daerah
otonomi) secara umum. Hal ini termasuk menyangkut
kepada kelangsungan pembangunan. Kebijakan publik
yang membutuhkan analisa tajam yang disampaikan
pemerintah, tanpa kemampuan intelektual pemimpin
142 Manajemen Suku
suku akan membuahkan hasil yang tidak mengembirakan.
Bahkan menyimpang dari tujuan, bisa jadi merugikan
kepentingan kemanakan secara keseluruhan.

4. Sosial Ekonomi
Pokok utama di tengah-tengah beranjaknya paham dunia
ke arah kapitalistik ini adalah dari segi kemampuan sosial
dan ekonomi. Bila kemampuan ekonomi pemimpin
lembaga suku kurang di bandingkan oleh anak
kemanakannya. Hal ini akan membuat pemimpin suku
tersebut tidak tegak kepalanya di hadapan kemanakannya.
Bahkan akan merepotkan lagi ketika ia harus melakukan
perjalanan dinas mengunjungi anak kemanakannya, tanpa
didukung dana yang memadai acap kali urusan akan
terbengkalai. Apalagi kalau pemimpin suku itu tidak
berada di kampung halamannya, seperti menikah dengan
orang yang berlainan kampung dan jarak yang berjauhan.
Disebabkan rendahnya ekonomi pemimpin suku, bisa
dibeli dengan uang. Sehingga apapun yang diminta oleh
orang yang notabenenya telah memberi uang, maka
pemimpin suku tersebut akan menurut saja. Seperti
contoh dalam hal menjual harta pusaka yang seharusnya
tidak boleh dijual. Akan tetapi karena pemimpin suku
sudah diberi uang komisi yang besar , tanah pusaka suku
terjual kepada orang lain. Begitu juga dalam hal gadai
menggadai, karena pengaruh ekonomi tergadai kepada
orang lain dalam jangka waktu yang lama. Karena
lamanya jangka waktu gadai tersebut, sepeninggal
pemimpin suku itu pusaka itu sudah berpindah tangan
kepada orang lain. Sementara itu, anak kemenakannya
sangat membutuhkan untuk kelangsungan hidup dan
pendidikannya.

Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 143


E. Aspek Proses, Mekanisme dan
Tatacara Pengelolaan Suku
Di samping aspek kepemimpinan, aspek pengelolaan suku
juga belum ada yang baku. Meski di setiap nagari memiliki
tatanan dan cara tersendiri dalam menata adatnya.
Namun sangat diperlukan sebuah sistem yang terencana,
terukur dan terevaluasi.

1. Perencanaan
Di samping perencanaan atau program suku, aspek
pendanaannya juga tidak diperhatikan, menyebabkan
program tidak berjalan dengan baik.
Selain itu dalam proses perencanaan program di suku
selama ini, kebanyakan tidak teradministrasi dengan baik.
Di mana tidak beberapa suku yang memiliki ranji atau
data kemanakan yang lengkap dengan kondisi potensi
yang ada di kemanakan itu. Begitu juga tidak ada data
secara tertulis tentang jumlah pusako, apalagi sejarah
suku. Serta inventarisir permasalahan suku dan notulen
rapat-rapat suku.
Kalau kita lihat pada zaman dahulu, pada waktu ketentuan
adat masih dipatuhi benar oleh masyarakat kita dan pada
waktu nenek moyang masih berdiam di rumah-rumah
gadang, sebeium Belanda menjajah ranah Minang
(sebelum Perang Padri 1821-1837), kekuasaan seorang
Penghulu selaku Penghulu/kepala sukunya sungguh
demikian luas dan luar biasa. Pemerintahan suku tidak
membedakan pembagian kekuasaan "Trias Politica"
sebagaimana diajarkan Montesqieu dan dianut
pemerintahan modern sekarang.

144 Manajemen Suku


Walaupun Penghulu memiliki kekuasaan eksekutif,
legislative dan yudikatif cara sekarang dalam
pemerintahan suku, perlulah kita sadari bahwa wilayah
kekuasaannya hanya sebatas rumah gadang dan tanah
ulayatnya. Itulah sebabnya pemerintahan suku ala
Minangkabau itu disebut "republik-republik kecil", yang
diperkirakan ada sekitar "500 republik kecil" di seluruh
ranah Minangkabau; masing-masing dibawah pimpinan
seorang Penghulu. Karena para Penghulu tersebut
berinteraksi dan bermusyawarah di negeri mereka
masing-masing untuk mencari mufakat di Balairungsari,
maka dapat pula dikatakan bentuk negara Minangkabau
dikala itu bukan negara kesatuan tapi negara federasi
antara republik-republik kecil tersebut.
Kerajaan Pagaruyung hanya berfungsi sebagai simbol
pemersatu, keamanan bersama, urusan keluar negeri dan
tanah rantau. Dasar pemerintahan tiap nagari adalah
demokrasi. Semua keputusan diambil secara bulat setelah
bermusyawarah dan mufakat. Keputusan yang bulat itu
dapat dicapai karena orang-orang Minang memiliki "raso-
pareso" dan toleransi yang tinggi, mau "bertolak angsur",
dan punya prinsip "rancak di awak, katuju di urang".
Maka "bulek aea dek pambuluah, bulek kato dek
mupakek" diantara para Penghulu hampir selalu dapat
dicapai. Itulah prinsip demokrasi di Minang.
Mengingat wilayah kekuasaan Penghulu hanya diseputar
rumah gadang dan tanah ulayat, dengan rakyatnya para
anak kemenakannya sendiri dapat mengambil keputusan
dengan cara mufakat bulat, seperti diuraikan di atas, maka
dapatlah dimaklumi pada waktu itu pemerintahan suku
belumlah memerlukan sistem administrasi dan
manajemen yang ruwet, terrnasuk perencanaan, seperti
cara sekarang ini.

Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 145


Dan yang perlu sekali kita ketahui, zaman itu adalah
zaman buta huruf, para Penghulu kita tidak bisa menulis
dan membaca, kecuali membaca Al-qur'an. Sekolah-
sekolah baru ada sejak orang-orang Belanda datang di
Minangkabau, dimulai pada tahun 1826 di Padang. Di
Solok sendiri, baru dimulai tahun 1882 yang sampai tahun
1866, baru mempunyai 48 murid. Sekolah untuk rakyat
nagari (disebut sekolah gouvernement) baru dibuka pada
masa sesudahnya. Antara tahun 1871-1877 di buka di Sulit
Air, Tanjung Balit, Supayang, Talang, Sungailasi, Matua,
Balaiselasa dan Painan untuk seluruh Sumatera Barat.
Maka dapatlah kita simpulkan, apa yang disebut
administrasi dan manajemen di Minangkabau pada waktu
itu tidaklah menggunakan tulis-menulis atau surat-
menyurat cara sekarang, tetapi secara lisan.
Apa yang menjadi unsur-unsur perencanaan di dalam
manajemen suku, seperti:
1) Visi atau cita-cita yang ingin dicapai atau hendak
diwujudkan suku;
2) Program kerja atau kegiatan-kegiatan yang
direncanakan atau hendak dicapai untuk jangka
panjang dan dalam waktu dekat atau segera;
3) Besarnya dana yang diperlukan, tenaga kerja yang
dibutuhkan, urutan prioritas kegiatan yang hendak
dijalankan, cara dan strategi yang hendak digunakan,
begitu juga bentuk gambar bangunan yang hendak
dikerjakan, dan sebagianya, tidaklah dituangkan
dalam rencana kerja seperti cara sekarang ini.
Semuanya itu hanya ada dalam pikiran dan angan-
angan para Penghulu, paling-paling dibicarakan
dalam kerapatan suku dengan anak kemenakan atau
dalam kerapatan nagari bersama Penghulu lainnya
untuk dimufakati.
146 Manajemen Suku
Sungguhpun manajemen suku pada masa itu didasarkan
semata-mata kepada budaya tutur, belum disertai budaya
tulis-baca, tapi kita berkeyakinan mereka mempunyai
daya ingat yang kuat dalam mentaati rencana yang telah
dibuat, keputusan yang telah diambil, atau mengingat-
ngingat sesuatu hal penting. Sama dengan orang-orang
Arab pada zaman Rasulullah SAW, yang tak boleh
menuliskan ucapan, perbuatan, kediaman kesaksian Nabi,
tapi cukup diingat saja dan disampaikan dari orang ke
orang, dan setelah lebih kurang dua ratus tahun baru
dituliskan, itulah yang disebut hadist, agar tidak rancu
dengan penulisan ayat-ayat Al-Qur'an.
Indikasi ini kita yakini, berdasarkan kemampuan orang-
orang tua kita dalam bertambo, berpepatah-petitih,
berpantun, yang didasarkan atas budaya tutur itu, hingga
dengan bangga mengatakan dalam pepatah adat: sabarih
bapantang hilang, sabarih bapantang lupo.
Selain itu perlu pula kita sadari dan kagumi, perencanaan
dalam budaya tutur yang berfilosofi kepada "alam
takambang jadikan guru" tersebut rupanya cukup
diperhatikan dan memperoleh pijakan yang kuat, dalam
aktivitas dan lalu lintas kehidupan sehari-hari. Cobalah
perhatikan dan renungkan kedalaman makna bunyi
pantun-pantun adat berikut ini :

1. Nan babarih nan bapahek


Nan baukua nan bakabung
Dibarih makanan pahek
Diukua mangko dikabuang
2. Nak urang di Kampuang Pulai
Singgah lalu dikapalo koto
Dimano kusuik namuah salasai
Ujuangjo pangka tak basuo.

Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 147


Pada pantun pertama, "barih" dan "ukua" itu tak lain
adalah kegiatan perencanaan, bahwa segala s.esuatu itu
digariskan dan diukur benar lebih dulu sebelum
dikerjakan, samalah dengan "blue print", "garis-garis
besar", "fasibility study", "program kerja" atau apapun
namanya menurut cara ilmu manajemen sekarang ini.
Sebelum tukang hendak menggergaji kayu, digaris-garis
lebih dulu sesuai dengan bentuk yang diinginkan, baru
digergaji mengikuti'garis itu. Dikabung itu artinya dikerat,
dipotong, dipenggal. Untuk membuat baju perlu diukur
terlebih dulu sesuai dengan ukuran badan dan model baju
yang diinginkan pemakainya.
Bila sesuatu dikerjakan (ujuang) tidak sesuai dengan
perencanaan yang digariskan (pangka), maka yang terjadi
tentu tidak sesuai dengan yang diinginkan, seperti
diingatkan pantun kedua. Bukankah perencanaan yang
berguru kepada alam itu sama saja dengan perencanaan
dalam manajemen modern sekarang?
Pada masa masyarakat kita sudah mengenal tulis baca
huruf latin, katakanlah sejak permulaan abad ke-20
sampai sekarang, apakah perencanaan didalam mengelola
persukuan sudah berjalan dengan baik, memanfaatkan
budaya tulis baca? Untuk memastikan jawabannya,
perlulah kita bertanya, apakah Penghulu atau datuk
andiko didalam persukuannya, selaku manajer bagi suku
atau kaumnya, adakah melakukan kegiatan-kegiatan :
1) Merumuskan visi atau cita-cita yang ingin dicapai
dalam persukuan atau kaumnya?
2) Merumuskan program kerja dan kegiatan melalui
musyawarah kaum, musyawarah suku atau
kerapatan adat nagari untuk kemajuan anak
kemenakan, suku dan nagarinya?;

148 Manajemen Suku


3) Membuat rencana anggaran pemasukan dan
pengeluaran bagi pelaksanaan program kerja dan
kegiatan tersebut?

Secara umum dapat kita jawab, perencanaan yang rinci


dan detil seperti itu hampir tidak dilakukan para Penghulu
kita, setidaknya jarang-jarang terlihat. Namun apa yang
dinamakan musyawarah kaum dan musyawarah suku,
sebagian ada yang melakukan, terutama untuk keperluan
misalnya batagak Penghulu, pembangunan surau, rumah
gadang dan sebagianya. Kerapatan adat di Balairungsari
pada umumnya rutin dilakukan, karena masing-masing
nagari mempunyai Kerapatan Adat Nagari (KAN). Namun
dalam pelaksanaan banyak yang macet; keputusan yang
dibuat banyak, tapi sulit diterjemahkan dalam kenyataan.

2. Pelaksanaan
Setelah perencanaan, yang tak kalah penting adalah
pelaksanaanya. Program yang direncanakan secara
sporadis tentu pelaksanaan juga akan cenderung tidak
terarah. Tentu dalam pelaksanaan program yang telah
ditetapkan suku melalui rapat suku, pelaksanaananya jelas
dilakukan secara bersama-sama dari komponen suku
sampai pada indvidu di dalam suku.
Persoalan sekarang, perencanaan itu tidak semua dapat
dijalankan, disebabkan faktor-faktor yang telah
disebutkan sebelumnya. Seperti kharismatik pemimpin
suku dan tatacara pengambilan keputusan atau menyusun
program dengan tidak melibatkan komponen yang
seharusnya dibawa berurung rembuk di dalam suku itu.
Bahkan adakala dalam melaksanakan prosesi adat
misalnya, perkawinan, dikarenakan tidak adanya aturan
suku yang jelas dan wibawa pemangku adat di dalam suku
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 149
yang kurang bagus sehingga kecenderungan anak
kemanakan melaksanakan sesuai caranya sendiri, tanpa
harus melalui prosesi adat yang dinilai tidak efisien dan
efektif.
Begitu juga dalam pelaksanaan penurunan gelar, acap kali
terjadi pelanggaran terhadap sistem kelarasan yang dianut
yang tidak jelas dan sering juga terjadi sengketa, karena
beberapa anak kemanakan merasa sama-sama berhak
menyandang gelar adat itu. Apalagi ketika penyandang
gelar sebelumnya tidak memberikan wasiat atau tidak
melakukan pengkaderan sebagai penggantinya. Atau lebih
parah tidak pemah disinggung di dalam rapat-rapat suku.
Untuk itu pelaksanaan ini dimulai dari pengorganisasian,
penempatan orang, pengaturan dan kebijakan serta
pendanaannya.

a. Pengorganisasian
Sesuai dengan fatwa adat yang berbunyi :
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka panghulu
Penghulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka nan bana

Maka organisasi suku pada mulanya sangatlah


sederhana. Rentang kendalinya hanyalah
kemenakan-Penghulu-mufakat yakni musyawarah
para Penghulu yang berhimpun di Balairungsari
untuk membahas masalah-masalah yang timbul
antar suku, masalah kenagarian dan hubungan
dengan nagari lain. Tidak ada instansi lain yang lebih
tinggi dari itu, wilayahnya hanya rumah gadang dan
tanah ulayat, rakyatnya adalah para anak
kemenakan, yang jumlahnya paling banyak ratusan
orang, maka disebut republik kecil. Semua anak

150 Manajemen Suku


kemenakan, dikenal dengan baik dan sehari-hari
sang Penghulu berada di tengah-tengah mereka.
Apalagi para Penghulu kita pada waktu itu buta
huruf, orang-orang belum bisa tulis baca, maka
pengorganisasian dalam pengertian manajemen
modern sekarang tidak diperlukan benar.
Sungguhpun demikian, cara berorganisasi yang baik
sudah dilakukan, bahkan merupakan cikal bakal bagi
bentuk organisasi modern sekarang ini. Coba
kembali kita resapkan kedalaman adagium adat ini :
1. Adat dipakai baru
Kain disandang usang
Adat bapacik nan balaku
Limbago tajarang nan batuang

2. Rumah basandi batu


Adat basandi aluajo patuik
Mamakai anggo jo tanggo
Sara to raso jo pareso

Bukankah adat yang mengambil filosofi "alam


takambang jadikan guru" ini cocok dengan ilmu dan
organisasi modern? Berpikir ilmiah pada hakekatnya
adalah berpikir lurus, menurut alur yang benar dan
menggunakan logika (masuk akal) dan patut (layak)
dilaksanakan; bukankah ini sama saja dengan "alua
jo patuik". Organisasi modern digerakkan dengan
berpedoman kepada anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga. Bukankah ini sama saja, malahan
sebutannya pun berasal dari terminotogi adat kita
anggo (anggaran, aturan) dan tanggo (tumpuan naik-
turun, prosedur, rincian), yakni anggo-tanggo. .
Jadi nenek-moyang kita pada masa ratusan tahun
yang lalu sudah menggunakan prinsip-prinsip
organisasi modern cara sekarang, berpedoman

Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 151


kepada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
juga, yakni anggo-tanggo.
Anggo-tanggo ini malah merupakan tigo tungku
sejarangan dalam lembaga adat Minangkabau, yakni
alua patuik-anggo tango-raso pareso. Tungku
adalah landasan tempat memasak sesuatu yang ada
di periuk, sedangkan (limbago) adalah pola atau
cetakan (cetak biru). Ibarat memasak nasi di dapur,
kalau salah satu tungkunya tidak ada, tidak sama
tinggi, atau tidak kukuh, tentu nasinya tidak akan
kunjung masak atau masaknya mentah, tidak enak
dimakan. Begitulah orang tua-tua kita berkias dan
bermisal yang antara lain dapat kita simpulkan, bila
organisasi suku itu tidak dijalankan dengan
berpedoman kepada AD-ART (anggo tanggo), tidak
menurut tatacara tetap (standing operation
prosedur) yang telah digariskan dan dalam
berorganisasi, berdiskusi dan mengambil keputusan
tidak mengindahkan etika (raso-pareso), tentulah
silang sengketa bahkan mungkin kegagalan yang
akan bersua.
Alangkah indah dan bernasnya cara pandang nenek
moyang kita, yang berfikir mendahului zamannya.
Atau bahkan mungkin dapat kita katakan bahwa
manajemen organisasi suku berdasarkan adat
Minangkabau yang berfilosofi "alam takambang
jadikan guru" telah ikut memberikan dasar-
dasar yang kuat bagi pembentukan organisasi-
organisasi modern sekarang ini.
Menyangkut asal-mula berdirinya suku dalam sistem
peradatan Minangkabau, dapat dikemukakan 2 teori,
katakanlah teori geneologis (garis keturunan) dan
teori pertumbuhan penduduk.

152 Manajemen Suku


1. Teori geneologis, orang-orang yang satu
suku itu disebut seibu. Saudara-saudara yang
satu ibu ditambah anak-anaknya disebut
seperut. Saudara-saudara senenek ditambah
para anak dan cucunya disebut senenek. Begitu
seterusnya sampai tingkat cicit (Jawa: buyut)
disebut seninik, sampai tingkat cucong (Jawa:
canggah) disebut sekaum, dan tingkat terakhir
sepiuik, disebut sesuku. Jadi orang-orang
sesuku itu adalah orang-orang yang mempunyai
ninik-moyang yang sama dari garis keturunan
ibu hanya sampai 6 generasi. Lebih dari 6
generasi sebenamya bukan lagi sesuku, dari
generasi ke-7 sampai 6 generasi berikutnya
seharusnya sudah harus membentuk suku baru.
Yang hidup dalam suatu masa umumnya
sekitar 4 generasi saja. (A.A. Navis )
Menurut ilmu keturunan (genetika), pengaruh
aliran darah memang masih terasa sampai 7
keturunan. Bukankah kita sering mendengar
ungkapan, misalnya "kekayaan yang
dimilikinya, sampai 7 keturunan tidak akan
habis" atau "kukutuk ia sampai 7 keturunan".
Nah kira-kira orang sampai 6-7 keturunan
itulah dalam sistem matrilineal yang dapat
disebut sebagai orang-orang yang bersaudara
dalam satu suku, yang antara lain tidak boleh
kawin-mengawini.
2. Teori pertambahan penduduk,
sekelompok orang datang di suatu tempat
tinggal sementara di dangau, disebut teratak.
Penduduk semakin berkembang biak, didirikan
rumah ditambah surau untuk beribadah,
teratak semakin melebar berubah menjadi
dusun. Penduduk bertambah jua terdiri dari
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 153
berbagai pecahan perut, dusun melebar,
didirikan rumah gadang sebagai tempat tinggal
bersama, mesjid untuk shalat Juma’t,
terbentuklah suku, maka dusun berubah
menjadi koto atau jorong.
Penduduk semakin bertambah-tambah jua,
koto semakin meluas, kelompok geneologis
setingkat suku sudah mencapai 4 (empat) suku,
maka koto menjadi nagari yang berdiri sendiri.
Maka dibangunlah perlengkapan dan perangkat
nagari, yang terkenal dengan pepatah adatnya:
Berkorong berkampung, Berumah bertangga,
Bersawah berladang Berbalai bermesjid
Bermedan bergelanggang, Berpandam
pekuburan, Negeri berempat suku Dalam suku
berbuah perut
Jadi 4 suku itu adalah syarat minimal bagi
diakuinya suatu kawasan menjadi nagari. Bila
kita kombinasikan kedua teori tersebut, yang
dapat saling melengkapi, jumlah orang 6
generasi menurut teori geneologis (yang hidup
dalam satu masa hanya 4 generasi saja) sama
dengan orang-orang satu suku didalam satu
koto, kira-kira 150-200 jiwa. Bila kita
analogikan dengan kesatuan militer, satu regu
terdiri dari 12-14 tentara. Diatasnya disebut
kompi = 150 s/d 200 tentara, diatasnya
batalyon = 800-1000 orang. Diatasnya lagi
resimen, terdiri dari beberapa batalyon dan
paling tinggi divisi.
Jadi yang dinamakan satu atau sesuku itu kira-
kira sama dengan satu kompi; dengan
komandan sebagai manager, masih cukup
mampu mengenal dan membimbing 150-200
anak buahnya dengan baik. Bsrdasarkan
154 Manajemen Suku
catatan lama, nagari-nagari di Kabupaten Solok
memang banyak yang mempunyai lebih dari 4
suku, seperti Kinari 8 suku, Salayo 7 suku,
Panyangkalan 6 suku, Koto Hilalang 5 suku,
dan Gantung Ciri 5 suku.
Organisasi suku dipimpin oleh seorang
Penghulu dengan gelar datuk, dibantu oleh
beberapa orang, dengan variasi yang berbeda-
beda diberbagai nagari, yakni:
a) Malin (Malin, imam, jurai) guru atau
orang alim dalam hal agama, yang
mengatur masalah-masalah ibadah dan
agama. Malin berkewajiban melakukan
pembinaan dan pemeriksaan adat yang
bersangkutan dengan mengaji Al-Qur'an,
zakat fitrah, nikah, kawin, talak, rujuk.
Bila ada perselisihan antara suami dengan
isteri, ada tidaknya suami memberikan
nafkah kepada isterinya, ada tidaknya
ketaatan isteri kepada suaminya, Malinlah
yang berkewajiban memeriksa terlebih
dahulu. Bila terjadi perceraian, maka
Malin berkewajiban menyidik sebab-
sebabnya, berusaha mendamaikannya.
Kata Malin bernama kata hakekat, kata
yang hak, tidak mempunyai helah.
b) Manti (disetengah nagari bernama
khatib) adalah pembantu Penghulu dalam
bidang tatalaksana pemerintahan.
Tugasnya adalah menyampaikan segala
perintah Penghulu, dari Penghulu kepada
anak-kemenakan dan menyampaikan
perasaan (uneg-uneg) anak kemenakan
kepada Penghulunya. la yang menerima
dakwa, memeriksa perkara,
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 155
menyidangkannya, menerima kata putus
dari Penghulu. Katanya bernama kata
berhubung.
c) Dubalang (hulubalang), adalah
pembantu Penghulu dalam bidang
keamanan. la yang bertugas menguatkan
dan mengamankan keputusan Penghulu;
menakik mana yang keras, menyudu mana
yang lunak. la yang berusaha menjaga
larangan dan pantangan adat tidak
dilanggar; harus tahu dimana parit
tersumbat yang terganggu jalan airnya,
dimana janda dapat malu, dimana
Penghulu dapat penghinaan. la
melebihkan jaga dari tidur, siang
berselimut awan, malam berselimut
embun, berbaju merah, berambut
panjang, dipunggung tersisip keris
panjang. Katanya bernama kata
menderas.

Penghulu dengan ketiga pembantunya ini (Malin.


Manti dan Dubalang) disebut sebagai urang nan
ampek jinih. Pada masa Penghulu sudah rnulai ada
yang mencari nafkah hidup, pergi merantau,
meninggalkan kampung, diangkat wakilnya disebut
panungkek (wakil datuk, datuak wakia). Panungkek
adalah wakil mutlaknya yang menyangkut
pemerintahan, tetapi tidak yang berkaitan dengan
adat. Berkenaan dengan adat diwakili oleh Penghulu
yang setungku.
Selain itu Penghulu dibantu oleh beberapa pegawai
(istilah sekarang staf yang cepat kaki ringan tangan,
yang tak tahu ditulang litak. Kerjanya menjemput,
156 Manajemen Suku
mengantar dan mengumpulkan orang, misalnya
untuk bergotong-ioyong. Kata pegawai bernama
kata berlipat. Dikatakan demikian, karena untuk
melancarkan tugasnya bila perlu ia berdusta sedikit.
Orang rapat pukul 9, dikatakannya pukul 8; bila
perlu 15 orang dikatakannya 20 orang, agar pada
waktu dan tempatnya, segala perintah berhasil
dilakukan.
Pada masa sekarang ini, diberbagai nagari kita
mengenal 2 versi urang nan ampek jinih. Pertama,
Penghulu-Malin-Manti-Dubalang. semuanya
bergelar datuk (kecuali Malin pada sebagian nagari)
dan jabatan diwariskan turun-temurun. Kedua,
yang disebut urang nan ampek jinih itu adalah ninik
mamak, alim Ulama, cadiak pandai (cendekiawan)
dan bundo kanduang, didalam persukuannya
masing-masing.
Setelah Minangkabau d(ijajah Belanda, jabatan
Manti dan Dubalang dihapus, sesuai dengan
organisasi desa yang diinginkan Belanda pada masa
itu. Sedangkan peranan Malin diganti oleh Ulama.
Komposisi urang nan ampek jinih berubah menjadi
niniak mamak, alim-Ulama, cadiak pandai, dan tuo
mundo (ketua orang muda, seperti guru silat).
Semenjak wanita semakin berperanan dan dengan
dukungan pemerintah Belanda, posisi tuo-mudo
yang pamornya menurun (karena tidak terpelajar)
beralih kepada bundo kanduang (A.A. Navis hal. 143-
144).
Pranata-pranata adat sebagaimana yang disebutkan
diatas pada umumnya sampai sekarang masih
dikenal dan digunakan ditambah dengan nama dan
jabatan baru bentukan pemerintahan Belanda. Kaum
penjajah sebagai pemegang kekuasaan baru di
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 157
Minangkabau (bukan lagi Penghulu dengan republik
kecilnya), sulit berhubungan dengan bentuk
pemerintahan semacam itu, yang terdiri dari
demikian banyak Penghulu.
Pemerintah Belanda ingin berhubungan dengan
orang yang dapat memegang kekuasaan hingga dapat
menjalankan perintah sebagai alat bagi penjajah itu.
Semangat demokrasi yang berakar dengan kuat
dalam masyarakat Minangkabau, ingin dihancurkan
oleh Belanda, digantikan dengan menciptakan
semacam aristokrasi ala Jawa.
Dengan imbalan yang demikian itu, cemoohan
Penghulu dan penduduk yang tadinya demikian
gencar terhadap "panghulu basurek" tersebut, sedikit
demi sedikit semakin reda dan melemah, akhirnya
malahan banyak yang berharap mendapat pangkat
terhormat tersebut. Strategi Belanda yang licik itu
menjadi awal bagi ambruknya pemerintahan suku di
Minangkabau. Pemerintah Belanda telah
mengingkari janjinya dalam "Plakat Panjang" (1833)
sewaktu berkecamuk Perang Paderi, yang salah satu
butirnya adalah tidak akan ikut campur dalam
pemerintahan rakyat tradisional dan tidak
ikut campur mengangkat para pemimpin
mereka.
Akhirnya berlakukah kehendak Belanda dengan
mengangkat Penghulu kepala yang membawahi
setiap nagari. Dua atau lebih nagari disatukan
menjadi lareh dibawah pimpinan kepala lareh
(tuanku lareh atau angku lareh). Diatas Penghulu
suku (datuk suku), ditempatkan pula oleh Belanda
seorang Penghulu suku yang lain, yang dalam sejarah
tenar dengan sebutan Penghulu suku rodi.

158 Manajemen Suku


Pemilihan kepala lareh, Penghulu kepala, dan
Penghulu suku rodi buatan Belanda itu dan
mendapat gaji dari pemerintah Belanda, bukan
melalui pemilihan anak kemenakan atau penduduk,
tapi melalui pencalonan. Siapa saja yang cukup
mempunyai pengaruh dan punya kekuatan di nagari
dapat mengajukan diri sebagai calon, maka hilang
pulalah salah satu pranata demokrasi adat di
Minangkabau:-bulek aie dek pambuluah, bulek kato
dek mufakat.
Organisasi adat yang didasarkan prinsip "kemenakan
beraja ke mamak, mamak beraja ke tungganai dan
tungganai beraja ke Penghulu, Penghulu beraja ke
mufakat, "harus diubah atau disambung menjadi
beraja ke Penghulu kepala, kepada angku lareh,
selanjutnya kepada pemerintah Belanda. Tugas
kepala lareh adalah menjalankan perintah dari atas;
bertanggungjawab atas keamanan, tanaman paksa
kopi, mengerjakan sawah, menjamin keadaan jalan-
jalan maupun jembatan (yang mulai dibangun pada
masa itu) di kelarasannya masing-masing. Karena
lareh adalah jabatan tertinggi bagi pribumi, kecuali
regent yang sedikit jumlahnya. Kepala lareh
memperoleh penghasilan dari komisi kopi, pajak
pasar, pajak pengangkutan kopi dari daerahnya, dan
ada juga dari pajak panjang (semacam pajak rumah).
Penghulu kepala mempunyai tugas sama dengan
kepala lareh, namun terbatas untuk nagarinya
masing-masing, merupakan penghubung antara
kepala lareh ke bawah, tetapi tidak boleh ikut dalam
rapat-rapat adat. Dia beroleh penghasilan dari
komisi kopi. Sedangkan Penghulu suku rodi
mempunyai tugas yang lebih berat dan sering
dicemooh penduduk karena ia berkewajiban menjaga
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 159
kebun-kebun kopi berjalan dengan lancar, dan
memata-matai rakyat.
Ketiga pejabat itu memperoleh komisi kopi (koffie
procenten) setiap pikul kopi kelas satu yang
dihasilkan daerahnya sekitar 80 sen, dengan rincian:
kepala lareh 20 sen, Penghulu kepala dan Penghulu
suku rodi masing-masing sebesar 30 sen. Harga 1
pikul (=62,5 kg) kopi kelas satu yang dibeli Belanda
kepada rakyat 7 gulden (1 gulden = 100 sen);
meningkat menjadi 11 gulden, sedang harga jual
(export) Belanda, dari 40 gulden per-pikul menjadi
60 sampai 70 gulden per-pikul.
Kemudian kepala lareh digaji 80 gulden sebulan dan
Penghulu kepala sebesar 20 gulden. Produksi kopi di
Sumatera Barat tahun 1833 sebesar 81 ribu pikul,
pernah mencapai 175 ribu pikul ditahun 1839,
mencapai titik rendah 24 ribu pikul pada tahun 1894.
Rakyat pada umumnya tetap mengakui kepala-
kepala adat mereka yang asli.
Atas desakan partai liberal di Belanda dan cemoohan
rakyat, tahun 1908 budaya kopi dihapuskan dan
sejak Oktober 1902 jabatan Penghulu kepala
dihapuskan, diganti dengan Penghulu kapalo
(mungkin ini yang populer dengan sebutan datuak
palo, angku palo atau kumpalo) angkatan Belanda,
tetapi dengan menampilkannya sebagai kepala adat
(surat edaran Gubemur Sumbar No. 9293 tanggal 1
Oktober 1912). Jabatan tuanku lareh baru dihapus
pada awal perang dunia I (1918) digantikan dengan
jabatan districtshoofd atau demang.
Kedudukan demang, walau wilayahnya lebih luas,
gaji dan gengsi lebih tinggi, namun setiap saat harus
dipindahkan. Seorang kepala lareh sebelumnya
masih terikat pada kelarasan tempat dia diangkat
160 Manajemen Suku
(mengenai semua ini dapat dibaca dalam buku
"Sumatera Barat hingga Plakat Panjang" oleh Rusli
Amran).
Demikiahlah caranya Belanda menghapuskan
organisasi sistem pemerintahan suku yang asli.
Kaum adat berhasil mereka "pejabat"kan, yang harus
tunduk kepada Pemerintahan Belanda yang lebih
tinggi di daerah mereka masing-masing.
"Kemenakan beraja ke mamak, mamak beraja ke
Penghulu, Penghulu beraja ke mufakat" hanya
tinggal sejarah untuk disebut-sebut sebagai palamak
kato untuk mengenang- 'masa kebesaran Penghulu
yang memimpin suku di masa silam.
Sementara itu awal tahun 1906, Propinsi Sumatera
Barat yang tadinya juga termasuk Tapanuli, kini
dijadikan residensi saja, terlepas dari Tapanuli yang
juga menjadi residensi. Bersamaan dengan
penggantian kepala lareh menjadi demang, residensi
Sumatera Barat dibagi atas 8 kabupaten (afdeeling).
Afdeeling dibagi lagi atas onderafdeeling, dan
onderafdeeling dibagi atas distrik-distrik
(kecamatan) yang dipimpin oleh seorang demang
dan onderdistricht dibagi menjadi nagari-nagari,
dipimpin oleh wali nagari.
Demikianlah gambaran organisasi suku sampai
dengan awal abad ke-20 dan kini kita sudah berada
pada awal ke-21, perubahan besar-besaran yang
dilakukan Belanda atas pemerintahan suku, boleh
dikatakan setelah 100 tahun kemudian hampir tidak
ada yang berubah. Yang berubah barangkali hanya
sebutan saja, residensi berubah menjadi propinsi,
afdeeling menjadi kabupaten, dan distrik menjadi
kecamatan dengan kepalanya disebut camat,
menggantikan demang. Yang dihapus adalah
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 161
onderafdeeling, afdeeling Solok tadinya mempunyai
3 onderafdeeling, yakni: Solok, IX-Koto dan Guguk.
Setelah kita memasuki masa kemerdekaan (1945)
dan dikenalkan dengan macam-macam organisasi
modern, apakah persukuan kita telah menggunakan
cara-cara organisasi modem tersebut? Untuk
menjawab hal tersebut, salah satu indikasinya adalah
meneliti ciri-ciri organisasi modern sebagaimana
banyak kita lihat. Apakah organisasi suku kita
memiliki cap organisasi, stempel dan logo organisasi,
kop surat, daftar seluruh anggota suku, pengurus
organisasi yang dipimpin oleh Penghulu suku yang
bersangkutan, anggaran rumah tangga suku
(anggaran dasar mungkin berada di tingkat nagari),
surat-menyurat, dan sebagianya. Pada umumnya
dapat dikatakan, hal-hal tersebut belum ada atau
belum banyak terlihat.

b. Penempatan Orang
Penempatan orang adalah terjemahan bebas dari
"staffing", "manning", atau penempatan personalia
yang banyak disebut sebagai salah satu fungsi
manajemen. Bila pada organisasi modern
penempatan orang tersebut adalah menyangkut staf
atau anak buah sang manajer, maka pada organisasi
suku namanya anak buah juga, yakni seluruh anak
kemenakannya. Kembali kita melihat manajemen
suku di masa lalu juga mempunyai filosofi yang
cukup bagus, menggunakan prinsip efisien (tepat
guna), efisiensi (berdaya guna) dan efektif
(berhasil guna), baik terhadap sumber daya
manusianya, maupun terhadap sumber daya
alamnya. Tidak percaya, cobalah perhatikan dan
resapkan makna dua gurindam adat berikut ini:
162 Manajemen Suku
Dalam sumber daya manusia, bunyinya begini:
Nan buto pahambuih lasuang
Nan pakak palapeh badia
Nan patah manjago jamua, panyajuik ayam
Nan lumpuah paunyi rumah
Nan binguang kadisuruah-suruah
Nan rancak panarimo tamu
Nan buruak ka pangubak pisang di dapua
Nan cadiak bakeh baiyo, palawan dunie
Nan tuo tampek batanyo
Nan bagak palawan musuah
Nan kayo tampek batenggang

Pokoknya tak ada seorang anak kemenakanpun yang


tak dapat didayagunakan dalam manajemen suku di
Minangkabau.

c. Tukang nan indak mambuang bahan


Nan luruihka tangkai sapu
Satampok ka papan tuai
Nan ketek ka pasak suntiang
Panarahan kakayu api
Abunya kapupuak padi

Berarti tak secuil kayu pun yang tak terpakai; begitu


juga tak ada bagian dari pohon kelapa yang tak dapat
dimanfaatkan (sampai kepada rabuknya sekalipun,
untuk menghidupkan api), tak ada bagian sapi yang
tak dapat dimakan atau dimanfaatkan (telinga
sapipun dapat ditaruh di pohon untuk tempat
berhimpun serangga, kemudian dibakar).
Dalam menempatkan orang pada jabatan Penghulu
sebagai manajer, manajemen suku pada masa
dahulu, ternyata juga tidak main-main. Siapa yang
sanggup dan memenuhi syarat untuk menjadi
Penghulu seperti disebutkan itu? Belum lagi
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 163
pantangan-pantangan yang harus diindahkan
Penghulu: memerahkan muka, menghardik
menghantam, menyingsingkan lengan baju, berlari-
lari, memanjat-manjat dan menjunjung dengan
kepala. Mungkin tidak ada organisasi manapun di
dunia ini yang mencantumkan syarat-syarat dan
pribadi demikian hebat dan berat untuk menduduki
sesuatu jabatan seperti Penghulu. Dan rasanya tak
ada yang punya sifat dan kepribadian seperti
tersebut. Itulah dia manajemen suku di
Minangkabau menyangkut penempatan orang
sebagai Penghulu, manajer didalam sukunya!
Bukan hanya kepada Penghulu, tetapi juga kepada
malim, Manti, Dubalang, mamak, bundo kanduang,
urang sumando, dan sebagianya selalu ditentukan
perlulah memiliki sifat-sifat yang mulia tersebut
(akhlaqul karimah) ditambah dengan kondisi dan
kelebihan yang diperlukan untuk dapat melakukan
fungsi dan kedudukan itu dengan baik dan sukses.
Inilah yang dalam manajemen modern disebut
profesional.
Walaupun sifat dan persyaratan manusia ideal (insan
kamil) yang demikian tidak mungkin dipenuhi orang,
tapi tidak pula ada yang protes agar diubah dengan
yang lebih realistis. Tetap saja dicantumkan dalam
buku-buku adat, dalam tutur kata orang tua-tua kita,
penghias bibir, pelemak kata. Padahal bila dilihat
dalam lalu lintas pergaulan sehari-hari jauh
panggang dari api. Malah yang kita dengar adanya
Penghulu yang tidak sembahyang, berjudi, suka
marah dan berkata kotor, dan sebagianya.

164 Manajemen Suku


d. Pengaturan dan Kebijakan
Filosofi hidup orang Minang dalam mengatur
kehidupan sehari-hari, sebelum datangnya Islam,
adalah alam takambang jadikan guru. Intisari ajaran
tersebut bukan tersusun dengan rapih dalam buku,
tetapi dalam buah tutur dari orang ke orang (budaya
lisan), dengan rangkaian kata-kata yang indah dan
memikat hati, dalam bentuk pepatah, petitih, pituah,
mamangan, pantun, gurindam, dan peribahasa pada
umumnya. Inilah kekayaan besar masyarakat
Minangkabau pada masa dahulu, pintar ber-
peribahasa, pandai bertutur kata !
Menurut suatu penelitian, peribahasa Minang
tersebut diperkirakan mencapai jumlah sampai
ratusan ribu ! Maka pepatah-petitih dalam
peribahasa sering disebut orang sebagai hadits
Melayu, sebagai pedoman orang Minang dalam
mengatur kehidupan sehari-hari, walau mereka buta
huruf. Pada masa sekarang pun ada orang, walau
sekolah rakyat atau sekolah dasar tidak tamat,
namun mampu berpepatah-berpetitih dengan lancar
dan menjelaskan maksudnya, mengalahkan orang-
orang berpendidikan tinggi sekalipun.
Filosofi "alam takambang jadikan guru" itu sesuai
dengan ajaran Al-Qur'an (lihat misalnya surat Ali
Imran ayat 190 dan surat Shad ayat 22) agar kita
memikirkan dan mengambil hikmah dari gejala yang
terlihat pada alam sekitar. Dengan datangnya Islam
di Minangkabau, maka ajaran adat yang mengatur
hubungan dengan sesama manusia (hablum
minannas) kini dengan dilengkapi dengan tauhid,
kepercayaan kepada Allah sebagai satu-satunya
Tuhan, beribadah dan berserah diri sepenuhnya
hanya kepada-Nya (hablum minallah), maka menjadi
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 165
sempurnalah adat itu dengan filosofinya "adat
bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah".
Demikian bangganya orang Minang dengan
bergabungnya adat dan agama, hingga ada yang
mengatakan "Kitab tuo di Minang" (alam takambang
jadikan guru) dan "Kitab baru di Mekkah" (Qur'an
dan Hadits). Namun ada pula orang yang fanatik
adat sampai mengatakan "biarlah saya dikatakan
tidak beragama daripada dikatakan tidak beradat".
Alasannya, bila hanya beragama belum tentu
beradat, tapi bila dikatakan beradat sudah tercakup
keduanya: beradat dan beragama !
Maka pedoman yang mengatur orang Minang dalam
kesehariannya, selain ajaran agama Islam, adalah
pepatah-petitih yang banyak mereka hafal dan yakini
kebenarannya sebagai suluh hidup, yang dikatakan
sebagai "hadits Melayu" dan "kitab tuo". Mereka
larut dalam rangkaian kata indah namun dalam
maknanya itu, yang dapat kita katakan sebagai
sumber dalam semua aspek hidup, termasuk dalam
manajemen. Dalam hal pengaturan sebagai salah
satu fungsi manajemen, coba kita lihat betapa
rapihnya pengaturan perjamuan.
1) Sudah kebiasaan dalam masyarakat
Minangkabau sampai sekarang, orang-orang
yang diundang dalam suatu perjamuan, diatur
tempat duduknya sedemikian rupa, tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan adat. Golongan
pertama (Penghulu) dan pemangku adat
didudukkan pada ujung ruangan. Golongan
kedua (mamak-marnak) pada barisan dinding
pihak muka ruangan rumah. Dan golongan
ketiga (sumando) pada barisan dinding pihak
dalam ruangan rumah dan seterusnya. Bila
166 Manajemen Suku
menyalahi, dalam rentetan pidato pembukaan
biasanya disinggung, untuk membetulkan
kembali. Demikian juga jika ada orang yang
seharusnya diundang tapi tidak kelihatan, akan
ditanya apa sebabnya dan harus dijawab
dengan baik.
2) Untuk mengetahui betapa rapihnya pengaturan
perjamuan itu disertai permintaan maaf kalau
ada kekurangannya, kita dengar sipangka
umpamanya berucap dan berbasa-basi; Nak
dapek rundingan saiyo, kato nan sapakek.
Pandang jauah lah dilayangkan. Pandang
dakek lah ditukiakkan. Kok nan jauah lah
dilapeh saru, nan dakek alah makanan
panggia. Kok disanak sudaro, jauah ala
bajalang, hampia ala baturuik, kok himbau lah
basahuti, panggia ala bahadiri.
3) Sakarang kini nangko. Nan manggamang,
nan mancameh dipihak kami, silang nan
bapangka, karajo nan bapokok. Datang tu kok
kurang tasapo, duduak kok kurang
tapabasokan. Jamu kok kurang atok nan bak
pagaran, kurang tasusun nan bak siriah. iyo
dibari kami suko jo karelaan. Hajan bapuhun,
karajo nan bapokok.... "
4) Apabila makan-minum selesai, si jamu
(tamu) akan pulang ke tempat masing-
masing, tidaklah dapat dilakukan dengan
ucapan selamat tinggal saja, sepatah dua-kata
perlu pula diucapkan oleh si tamu, dan disebut
sebagai pidato mangurak selo. Ini contoh
kutipan ucapannya: "......Kok jauah lah dilapeh
siriah, kok dakek lah dilapeh panggia.
5) Bakumujuran, hujan nan bapuhum, karajo
nan bapokok, kok janah alah kami jalang, kok
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 167
hampia lah kami silau. Panggia ala bahadiri,
himbau ala basahuti, moh alah datang kami
basamo. Dek kamujuran kami nan basamo,
kok datang lah babukakkan pintu, kok duduak
alah bakambangkan lapiak. Kok hawihlah
babari ayia, sabana sajuak, kok litak ala
babari nasir sabana lamak. Maa nyo lai, dek
karano mukasuik alah sampai, nan diamah
a/ah pacah, kahandak bak raso alah ka buliah,
kok pinto raso balaku pulo. Sakarang kini
nangko, tantang kami si jamu angku, kok
duduak iyo nak baurak selo, kok tagak nak
malangkahkan kaki, nak kambali ka tampek
masiang-masiang. Tarimo kasih, ma 'oh
bakarilahan bakeh angku ".
Cara perjamuan dengan pidato-pidato seperti ini
masih terpakai sampai sekarang di kampung-
kampung di ranah Minang. Cobalah kita bandingkan
"perjamuan beradat ala Minang" dengan perjamuan-
perjamuan ala Barat, dengan "fransmanan" atau
"standing party" yang sudah umum diselenggarakan
oleh warga kita di perantauan, mana yang lebih
berkenan menurut hati nurani kita masing-masing.
Perjamuan di kota, orang makan sambil berdiri.
Sedangkan menurut adat Minang, diperjamuan adat
harus duduk bersela, kaki tersusun rapih, tidak boleh
banyak bergerak. Kalau banyak bergerak, diibaratkan
orang-orang beradat sebagai "kabau nan lasak di
kubangan".
Adat Minangkabau adalah suatu susunan peraturan
hidup yang diatur dengan kata-kata, karena nenek
moyang kita belum belajar tulis-baca, kecuali baca
Al-Qur'an setelah Islam masuk di ranah Minang.
Rumusan-rumusan mengenai adat, demikian juga
168 Manajemen Suku
tambo dan cerita-cerita Minang, baru dituliskan
setelah masa itu dengan menggunakan tulisan Arab
Melayu. Susunan peraturan hidup yang diatur
dengan kata-kata tersebut disebut "limbago kato-
kato", yang konon katanya mula pertama dibuat
nenek moyang kita di nagari Parahiyangan Padang
Panjang, diatas balai saruang, yang sekarang disebut
Balairung. Limbago kato-kato kemudian dikenal
sebagai "Limbago Nan Sapuluah", yang dapat
dianggap sebagai kumpulan Undang-Undang Adat
Minangkabau.
Diantara undang-undang itu, terkenal UU Nan 20
karena terdiri atas 20 dalil menyangkut hukum
pidana (tikam-bunuh, upas-racun, samun sakar, siar-
bakar, Maling-curi, dago-dagi, umbuk-umbai dan
sumbang-salah, dan seterusnya) mengatur tentang
kesalahan, kejahatan, tuduhan dan cemo. Buya
Hamka dalam bukunya "Islam dan Adat di
Minangkabau" (hal.139), telah sepakat ahli adat
menyatakan bahwa adat dan syarak ditambah
dengan UU Nan 20 adalah Tali Berpilin Tigo di
Minangkabau.
Berbagai undang-undang itu sebagai pedoman hidup
bagi masyarakat Minangkabau terdapat dalam
pepatah-petitih yang sering disebut, karena isinya
juga disusun dalam bentuk pepatah-petitih.
Peraturan dan kebijakan-kebijakan dibidang adat
pada masa sekarang ini banyak dihasilkan oleh
peraturan-peraturan daerah di Sumatera Barat dan
musyawarah Penghulu di dalam Kerapatan-
kerapatan Adat Nagari (KAN) yang ada disetiap
nagari.

Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 169


e. Pendanaan
Orang Minangkabau lebih mengutamakan Bodi
daripada keutamaan benda. Maka peribahasa dan
pepatah adat yang dijadikan sandaran dalam
pembiayaan atau pendanaan, digariskan dalam
ungkapan-ungkapan yang halus dan indah juga dan
semangat kerja yang besar. Beberapa bait kita
kemukakan :
1. Hilang rona karena penyakit
Hilang bangsa karena tak beremas
2. Kain pendinding miang
Emas pendinding malu
3. Apa guna kerbau bertali
Lepas ke rimba jadi binatang
Apa guna kita mencari
Untuk pemagar sawah dan ladang
4. Kalau tak pandai bakain panjang
Elok pakai kain nan lain
Kalau tak ada uang dipinggang
Dunsanak pun jadi urang lain
5. Melebiahkan duduk dari pada tegak
Lebihkan sabar daripada bebal
Lebihkan rajin daripada malas
Lebihkan duka daripada suka
Lebihkan lapar daripada kenyang
Lebihkan baik daripada buruk

6. Hemat pangkal kaya, sia-sia utang tumbuh


Banyak habis, sedikit sedang
Ketika ada jangan dimakan
telah tidak maka dimakan.

Dengan filosofi hidup yang demikian, orang Minang


merasakan hidupnya selalu kaya (karena tidak
170 Manajemen Suku
banyak yang diangan), hidup tenteram (karena siap
hidup sederhana) namun tetap bekerja keras untuk
memperoleh kehidupan yang lebih enak dan
bermartabat (salah satu fungsi harta adalah untuk
menutup rasa malu).

3. Evaluasi
Program yang dilaksanakan tentu tidak dibiarkan begitu
saja, kekurangan dan kelebihan termasuk hambatan yang
ditemui perlu dikaji secara serius. Disinilah peran evaluasi.
Tentu saja pengeveluasi program ini juga harus melalui
rapat suku. Tentu saja dalam mengevaluasi ini harus
ditetapkan parameter-parameter untuk penilaiannya.
Program yang berjalan dengan baik dan menghasilkan
dampak positif jelas dapat dilakukan untuk masa
berikutnya. Akan tetapi program yang tidak berjalan
mulus, tentu dicari jalan keluar yang tepat.
Pengevaluasian ini harus dilakukan agar program suku
terukur dan terarah dan mempunyai dampak yang baik
terhadap perkembangan suku.
Kelemahan kita selama ini dalam menjalankan program
suku dengan tidak adanya evaluasi, akan menjadi tidak
terarah. Terkadang program itu menghabiskan waktu,
tenaga dan dana, akan tetapi justru tidak memperoleh
hasil maksimal. Termasuk dalam hal ini pengkaderan
tanpa ada evaluasi terhadap kader pemimpin suku, maka
ketika ia harus menjabat suku terjadi kegamangan dan
kebingungan. Dari fungsi manajemen suku yang tengah
kita bicarakan ini, fungsi pencatatan-inilah yang paling
lemah pada masa dahulu, yang akibatnya masih kita
rasakan sampai sekarang. Penyebabnya, karena kita tidak
punya aksara (huruf) seperti orang Jawa dan Batak
misalnya. Huruf Melayu Arab baru kita kenal setelah
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 171
agama Islam masuk dan baca tulis huruf Latin baru kita
pelajari setelah Belanda datang pada dekade terakhir abad
ke-19.
Akibatnya kita tidak memiliki sejarah Minangkabau yang
didasarkan bukti-bukti tertulis. Tambo hanya didasarkan
atas penuturan dari orang ke orang tanpa tanggal dan
angka tahun serta bukti-bukti lainnya yang dapat diyakini
kebenarannya. Kita tidak punya nasab keturunan yang
disebut "ranji", yang memuat garis keturunan sampai ke
nenek moyang, seperti orang Jawa yang memiliki "trah"
garis keturunan mereka sampai ke Kerajaan Mataram,
bahkan sampai ke Kerajaan Majapahit dan Singasari di
abad ke-13. Padahal menurut sejarah, Dara Petak adalah
puteri Minang (disebut demikian karena matanya sipit
atau pitok) yang diboyong ke Singosari waktu expedisi
Pamalayu (1275) dan menjadi salah seorang isteri Raden
Wijaya, yang mendirikan dan raja pertama di Kerajaan
Majapahit (1294-1309) dan melahirkan satu-satunya putera
bernama Jayanegara, raja kedua Kerajaan Majapahit
(1309-1328). Karena ibunya orang Minang, dari segi kita,
yang menarik garis turunan dari ibu (matrilineal), berarti
ia orang awak juga. Namun karena kita tidak punya bukti-
bukti tertulis, kita tidak bisa berbicara lebih jauh mengenai
hal itu.
Walaupun masyarakat Minangkabau kemudian telah
memasuki zaman baca tulis huruf Latin pada akhir abad
ke-19, tapi organisasi suku dibawah kepemimpinan
Penghulu sebagai manajernya tidak pula banyak
memanfaatkan budaya tulis baca itu. Buktinya, bersamaan
dengan lemahnya perencanaan dan pengorganisasian
sebagaimana telah disebutkan, catatan-catatan mengenai
manajemen (pengelolaan) suku itu tidak pula ada. Kita
masih hanyut dalam "budaya tutur" dan dengan bangga
mengatakan "sabarih bapantang ilang, satitiak
172 Manajemen Suku
bapantang lupo". Padahal tutur itu kalau sudah berpindah
dari satu orang ke orang lain, katakanlah sampai ke orang
yang ke sepuluh, sudah berubah bunyi atau isi tutur orang
pertama dengan orang yang ke sepuluh itu.
Misalnya dalam kasus tanah pusako, terdapat ketentuan
"sah harato dilantak nan ampek",zaman sekarang belum
tentu orang lain mengakui bahwa tanah itu betul milik kita.
Kasus-kasus sengketa inilah yang banyak terjadi di ranah
Minang sekarang, sengketa yang tak habis-habisnya, yang
melunturkan rasa persaudaraan kita, senagari, sesuku,
sekaum, bahkan dengan keluarga dekat. Luas dan nilai
tanah yang disengketakan kadang-kadang tidak seberapa,
tapi akibat negatif yang ditimbulkannya demikian luas. Ini
karena manajemen suku kita tidak dilengkapi dengan
catatan-catatan yang jelas.
Untuk itu seorang Penghulu menurut adat, jelas
mempunyai fungsi pengawasan dan monitoring,
sebagaimana diungkapkan oleh fatwa adat berikut ini :
Hanyuik bapinteh
Hilang bacari
Tarapuang bakaik
Tabanam basalami
Tingga dijapuik
Jauah dijalangi
Dakek dikundano
Kalau kusuik disalasaikan
Jiko karuoh dijanihi
Kusuik bulu pauah manyalasaikan
Kusuik banang can' ujuang jo pangka
Disuruah babuek baiak
Dilarang babuek mungka

Tugas pokok Penghulu yang demikian ini sudah


merupakan perpaduan antara pengawasan, pembinaan
dan jika perlu pengenaan sanksi atau hukuman terhadap
anak kemenakannya.
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 173
174 Manajemen Suku
BAB 7
REVITALISASI ADAT MINANGKABAU
DALAM PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN
SUKU

Adat itu telah tua, begitu juga dengan adat Minangkabau,


sebelurn masuknya agama Islam adat itu telah ada di
tengah-tengah masyarakat. Pada umumnya petuaan adat
Minangkabau itu dapat dilihat dari segi budayanya,
mereka telah mengenal bersawah kapan dan di mana
tempat yang cocok untuk bertanam padi, berladang juga
begitu, tahu dimana tempat yang baik untuk dapat
menghasilkan yang baik.
Demikian juga dengan hal lainnya, masyarakat itu telah
pandai membuat alat-alat yang diperlukan, seperti
membuat keris senjata yang istimewa dengan nilai-nilai
kepribadian. Orang Minang mengenal keris sebagai salah
satu simbol yang berlainan dengan bentuk-bentuk di
daerah lain di Indonesia, dengan pendekatan ini, adat itu
lebih identik dengan kebiasaan yang tradisional.

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 175


Kebiasaan-kebiasaaan tradisional yang berlaku ditengah-
tengah masyarakat yang telah berjalan secara terus
menurus serta dapat diterima oleh masyarakat setempat
akhirmya menjadi adat. Kemudian dipaturun panaikkan
dari generasi ke generasi, yang disebut dengan adat lamo
pusako usang. Seiring dengan adat yang telah tua itu maka
perlu "penyegaran" adat kembali, supaya adat tidak habis
dimakan rayap, untuk itu usaha merevitalisasi adat adalah
suatu keharusaan.
Seperti telah dijelaskan bagian pada penjelasan
sebelumnya, kita tidak bermaksud untuk menciptakan
adat baru, ataupun merubah adat yang telah menjadi
pegangan dalam kehidupan bermasyarakat. Ini perlu
ditegaskan kembali untuk meghindari salah pamahaman
terhadap revitalisasi. Dan disini kita berpendapat bahwa
adat itu perlu untuk dipertahankan dan dilestarikan.
Dalam kaidah usul Fiqih disebutkan "al 'Adatul
Muhakkamah' artinya adat itu dapat menjadi hukum
apabila telah berlaku secara terus menerus atau lebih
banyak dipakai oleh masyarakat. Muhammad Daud Ali
menjelaskan adanya beberapa ketentuan adat yang bisa
dipakai sebagai dasar hukum.
Adat itu dapat diterima oleh perasaan umum dan akal
sehat, serta diakui oleh pendapat umum, sudah berulang
kali dan telah berlaku umum dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Revitalisasi yang dimasud adalah cara menghidupkan atau
mengingatkan kembali akan adat Minang yang dalam
mamang disebutkan dengan calak-calak ganti asah,
usang-usang dipabaharui, lapuak-lapuak dikajangi, kain
dipakai usang adat dipakai baru. Tentunya dengan
harapan akan muncul kembali suku bangsa Minangkabau
yang dapat dibedakan dengan kesatuan sosial yang lainnya.
176 Manajemen Suku
Tegasnya revitalisasi itu adalah mengembalikan (restore)
fitaly59
Dengan memahami bentuk dari kata revitalisasi di atas,
kita tidak bermaksud menciptakan, dan tidak
menghilangkan juga atau tidak membuang serta tidak
mengubah, pada tiga ciri utama dalam adat Minangkabau
itu yang sulit untuk dicarikan bentuk dan perumusan baru
yaitu sistem yang ada pada Suku, Sako (gelar Pusako)
dan Pusako.

A. Aspek Sistem dan Kelembagaan


Setelah kita melihat begitu peliknya aspek sistem yang
dianut banyak masyarakat adat sekarang, yang disebut
dengan sistem pisang sikalek-kalek hutan, tetapi tidak
jelas bagaimana ciri khasnya, mulai dari pengangkatan
pemimpin suku, prosesi adat, ciri khas rumah gadang dan
pakaian pemimpin suku serta sistem pengambilan
keputusannya.
Untuk itu perlu dibuat aturan yang jelas menyangkut
istilah pisang si kalek-kalek hutan. Dimana perlu
ditetapkan, bila mana diberlakukan sistem bodi Caniago
dan bilamana dipakai sistem Koto Piliang. Dan juga untuk
disesuaikan dengan kondisi sekarang perlu pula sebuah
poin baru yang tidak ada sama sekali di sistem Koto
Piliang dan Bodi Caniago yang telah dianut selama ini,
serta bentuk penyesuaian terhadap sistem itu. Sistem ini
perlu ditetapkan melalui konsesus adat resmi yang
diharapkan dapat dilaksanakan oleh seluruh masyarakat
adat di Minangkabau.

59
Oxford Advanced Leamer’s Dictionary of Currebt English (Oxford
University, 1984) hal 126
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 177
Perlu juga dipikirkan, untuk mengantisipasi kemunduran
dari sistem dan kelembagaan suku di Minangkabau yang
dianut sekarang. yang setiap keputusan tidak didengar
oleh kemanakan karena beragamnya tingkat intelektual
pejabat adat. Sehingga perlulah kiranya diciptakan sebuah
sistem yang dapat membantu pejabat adat dalam
keputusan.
Di samping sistem yang diberlakukan di lingkungan
masyarakat adat di Minangkabau, yang menyangkut
sistem pemerintahan suku perlu juga didudukkan sistem
yang menyangkut hukum adat dan sanksinya. Baik
hukum adat untuk pemimpin adat maupun hukum untuk
kemanakan atau masyarakat. Dengan demikian tidak
semua persoalan di dalam adat harus diselesaikan melalui
peradilan hukum positif atau hukum pemerintah. Akan
tetapi cukup dengan sistem hukum adat yang jelas, dan
dapat diselesaikan oleh lembaga peradilan adat itu sendiri.
Dari aspek sistem ini juga perlu didudukkan sistem
pendataan di dalam suku. Baik kekayaan materil (harta
pusako atau sumber daya alam) yang merupakan aspek
ekonomi untuk menunjang pemimpin suku dalam
menjalanka'n tugasnya, dalam memimpin suku dan
menyelamatkan kesejahteraan kemanakan dalam
kaumnya seperti pendidikannya maupun kelangsungan
hidup, perlu dipertimbangkan adanya Lumbung Pitih
Suku/singguluang.
Disamping itu, berdasarkan perda sekarang,
dimungkinkan suku memiliki Badan Usaha Milik Suku
(BUMS) dengan memanfaatkan aset atau sumber daya
alam yang dimiliki suku/ulayat suku.
Pendataan inmateril (seperti jumlah kaum, catatan ranji
dan potensi sumber daya manusia yang dimiliki suku),
tidak kalah pentingnya, dikarenakan sumberdaya manusia
178 Manajemen Suku
inilah yang akan membangun suku atau pewaris
kepemimpinan suku yang akhirnya juga menjadi bibit
pemimpin nagari. Dengan pendataan sumber daya
manusia ini, akan terbangun kesinergian antara sumber
daya manusia yang berpotensi dalam dimiliki suku itu,
baik di ranah maupun di rantau. Dengan demikian akan
timbullah perasaan saraso sapareso sahino samalu yang
kental antara kemanakan, yang pada gilirannya akan
menjadi semangat dalam membangun suku, pada akhimya
juga menyukseskan pembangunan di nagari.
Sistem pendataan ini, di dalam manajemen suku kita
namakan 'buku gadang suku', di dalam buku ini
memuat nama suku, sejarah suku, alamat nagari suku itu
berada, jumlah kaum, jumlah datuk, profil masing-masing
datuk termasuk alamat di mana datuk itu berdomisili,
jumlah keluarga berikut potensinya / pendidikan, jumlah
kemanakan berikut potensinya dan alamat lengkap di
mana mereka berada.
Mengingat begitu luasnya ruang lingkup suku, yang mana
terdiri dari beberapa kaum, yang masing-masing kaum
memiliki Penghulunya (ada yang menyebut Penghulu
andiko ada pula yang memanggil datuk andiko dan juga
yang mengambil datuk saja). Pendataan di dalam suku ini
harus dimulai dari kaum yang merupakan kelompok
terkecil dikoordinir di dalam suku, yang langsung
dipimpin oleh Penghulu andiko tersebut. Dengan
pendataan yang dilakukan oleh setiap pemimpin kaum itu,
otomatis sudah menjadi data suku tersebut.
Aspek lain yang harus didudukkan adalah sistem
musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan
dalam suku. Karena komponen suku berasal dari keluarga,
kaum selanjutnya baru suku, tentu sistem musyawarah
dan mufakat berangkat dari keluarga dan kaum. Harus
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 179
jelas pula siapa yang akan yang diutus untuk mengikuti
musyawarah dan mufakat dalam mengambil keputusan di
dalam kerapatan suku. Tentu musyawarah dan mufakat
ini yang bertingkat tersebut, hasilnya harus dibuktikan
dengan notulen rapat dan daftar hadir rapat.
Di dalam hal ini, juga harus ditentukan syarat-syarat syah
keputusan ini. Seperti jumlah kuorum yang dianggap sah
dan musyawarah, apakah 50+1 atau secara aklamasi.
Siapa peserta rapatnya? Apakah hanya kaum laki-laki?
Usia berapa yang boleh mengikuti rapat? Apakah kaum
perempuan boleh diikutsertakan dalam sidang itu atau
diwakili oleh seorang perempuan saja yang dituakan di
dalam suku tersebut.
Berdasarkan pengalaman dalam rapat suku selama ini,
tidak pernah ada notulen, di mana keputusan rapat suku
hanya disampaikan secara lisan, padahal dalam teori
komunikasi bahwa informasi lisan dari orang perorang
dan disampaikan lagi kepada orang lain, akan terjadi
pembiasan atau tidak sama dengan pesan semula. Untuk
itu ke depan sebaiknya, rapat-rapat suku sudah harus ada
notulennya. Dan notulennya ini dianggap sah apabila
ditandatangani oleh pemimpin rapat dan daftar hadir
yang juga memuat di mana rapat itu diadakan.
Kemudian dipertimbangkan juga dalam sistem
pengambilan keputusan ini, membawa kemanakan atau
komponen suku lainnya yang berada di perantauan. Jika
kemanakan atau komponen suku ini dianggap orang yang
harus hadir atau memenuhi kriteria untuk pengambilan
keputusan di dalam rapat suku, tentulah harus ada
informasi halangan dan aspirasinya secara tertulis atau
mandat kepada wakil/panungkek jika seorang itu pejabat
suku. Dengan demikian rapat bisa diteruskan dan hasilnya

180 Manajemen Suku


haruslah diinformasikan kepada kemanakan atau pejabat
suku yang berada di rantau.
Analisa yang dapat dikemukakan di sini bahwa pada
dasarnya adat Minangkabau itu sangat menghargai
institusi-institusi yang terikat dalam kelembagaan adat,
artinya dengan adanya lembaga Urang Ampek Jinih yang
ditopang oleh Jinih Nan Ampek dan diperkuat tokoh-
tokoh profesional di bidangnya dengan tidak
meninggalkan Bundo Kanduang, akan sangat
memperlancar jalannya kepemimpinan dalam suku,
karena adat Minang itu tidak mengkultuskan pribadi.
Lembaga Panghulu (Datuak) tidak mengharuskan pribadi
yang menyandang gelar panghulu harus hadir dalam
setiap musyawarah, adat kita mengajarkan :
Kuie lantanan tangan
Anak lantanan bapak
Duduak surang basaampik-sampik
Duduak basamo balapang-lapang

Dengan adanya yang mewakili, masing-masing lembaga


tersebut dapat menjalankan tugas masing-masing.

B. Aspek Struktur dan Kepemimpinan


Lembaga merupakan insitusi-institusi yang bergerak
dalam melaksanakan kepemimpian, setiap lembaga
mempunyai tugas dan wewenang terhadap permasalahan
dalam memimpin anak kamanakan. Alam nan
bakalebaran, kamanakan nan bapakambangan, daerah
telah semakin luas anak kamanakan telah merantau,
menurut alam dimana mereka berada, untuk itu sudah
saatnya lembaga-lembaga yang menaungi anak
kamanakan itu juga dikembangkan sesuai dengan tugas
daan fungsi masing-masing.
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 181
Lembaga Urang Ampek Jinih yang terdiri dari Panghulu.
Malin, Manti dan Dubalang, sebagai kepemimpinan dalam
suku agar dapat berjalan dengan efektif, maka masing-
masing lembaga itu perlu dilengkapi dengan struktur
masing-masing.
Penghulu dengan sebutan panghulu pucuak yang beperan
dalam suku sebagai tokoh sentral, harus dilengkapi
dengan pembantu-pembantu dalam tugas dan
wewenangnya, dalam stuktur kepemimpinan adalah :
- Mamak, adalah pimpinan langsung dari kemenakan
dan saudara-saudar seibu.
- Tungganai, adalah mamak tertua serumah gadang
yang berfungsi sebagai mamak kepala waris,
pemegang sako dan pusako bagi kaum itu.
- Mamak kepala Kaum adalah mamak yang memimpin
kaumnya (mamak kepala waris).
- Mamak Payung adalah kepala kelompok kaum yang
disebut ayam gadang sikue langsuang, balam mau
sikue saguguak

Malin adalah lembaga yang berwenang di bidang


keagamaan, yang mencakup beberapa bidang dengan
sebutan:
Suluah bendang dalam nagari
Nan tahu di halal jo haram
Nan tahu di syah dan bathal
Nan tahu di syariat jo hakikat

Selain tugas-tugas memakmurkan mesjid, maka dalam hal


ini Malin dibantu oleh Urang Jinih Nan Ampek yaitu
Imam, khatib, Bilal dan Qadhi.
Lembaga-lembaga ini sangat dominan dalam adat
Minangkabau, panghulu sebagai pimpinan adat, yang
disebut dengan salasai adaat di balerong. Sedangkan
182 Manajemen Suku
Malin adalah pemimpin agama yang disebut dengan
sudah agamo dimusajik, maka antara keduanya diikat
oleh adagium adat adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah. Begitu juga dengan lembaga adat
yang lainnya juga sudah saatnya dilengkapi dengan
struktur masing-masing seperti Manti yang bercorak
dalam bidang kesekretariatan, sudah saatnya dilengkapai
oleh struktur tenaga administrasi.
Begitu juga ketika kita melihat pada struktur dan
kepemimpinan suku, perlu dibuat sebuah aturan yang
jelas. Apakah struktur tersebut seperti garisan Koto
Piliang yang memposisikan Penghulu di atas seluruh
pejabat suku. Atau menurut sistem Bodi Chaniago yang
meletakkan Penghulu setara dengan pejabat sukunya. Dan
ia hanya sebagai koordinator dan yang menjadi pemegang
keputusan tertinggi adalah Dewan
Rapat Suku, begitu juga diperlukan kejelasan tentang
posisi panungkeknya, apabila Penghulu itu tidak
berdomisili di kampung halaman atau sudah uzur.
Dalam hal ini, juga perlu diletakkan sebuah Majelis
Pertimbangan Suku (MPS) yang beranggotakan orang
ampek jinih, yang berperan dan berfungsi menyelesaikan
persoalan-persoalan suku. Karena di dalam adat
Minangkabau tidak mengenal aspek Trias Politika seperti
adanya fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jadi tidak
perlu lagi persoalan suku sampai keluar dari suku itu
sendiri, apa lagi harus sampai ke Kerapatan Adat Nagari
(KAN) atau Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau
(LKAAM).
Dan juga diperlukan ketegasan kriteria yang akan duduk
di dalam struktur kepemimpinan suku, (Laki-laki sudah
menikah atau sudah berumur 17 tahun atau minimal
tingkat pendidikannya dan sampai di mana pengetahuan
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 183
agamanya). Tentu juga perlu dipertimbangkan aspek
legalisasinya (mandat kaum) maupun aspek-aspek lainnya,
seperti kemampuan kepemimpinannya.
Di samping itu perlu dipertegas pula di dalam struktur
kepemimpinan suku yang mewakili aspirasi kaum
perempuan seperti bundo kanduang. Di mana di dalam
era ini perempuan sangat diperlukan dalam bagian
kepemimpinan, karena begitu kompleknya persoalan
kemanakan perempuan dalam suku, termasuk sebagai
seorang ibu yang akan melahirkan generasi penerus suku
di dalam adat yang matrilineal ini. Apalagi dalam adat
Minangkabau selama ini tidak mengenal pemimpin
perempuan atau dengan artikata perempuan tidak
dibenarkan menjadi Penghulu. Melalui perwakilan
perempuan dalam struktur kepemimpinan suku itulah
diharapkan dapat dilahirkan solusi-solusi menyangkut
peran perempuan. Dapat dimaklumi tidak semua urusan
dan persoalan perempuan dapat dirasakan atau dijiwai
kaum laki-laki yang notabenenya menjadi pemimpin suku.
Begitu juga dipertegas posisi orang tua yang ada dalam
suku seperti mantan-mantan datuk atau pejabat Ampek
Jinih. Apakah ia harus diposisikan di dalam lembaga
tersendiri (penasehat suku), atau ia setara dengan orang
Ampek Jinih, yang mana kedudukan yang kelima itu
adalah orang tua. Kenapa ia tidak diletakkan saja secara
definitif kepada kelompok 5 jinih, misalnya atau
dimasukan kedalam urang bajinih.
Selain itu dengan adanya pola migrasi orang Minang yang
suka merantau, seperti yang disebut Azyumardi Azra
bahwa merantau merupakan sebuah identitas yang
melekat bagi orang Minang. Penghulu banyak yang tidak
berdomisili dikampung, baik karena alasan perkawinan
maupun dengan alasan pindah domisili disebabkan ikatan
184 Manajemen Suku
pekerjaan, diangkatlah seorang panungkek dikampung.
Untuk itu diperlukan sebuah ketegasan terhadap posisi
panungkek Penghulu, agar ia diakui untuk duduk sama
rendah dan berdiri sama tinggi dengan pejabat adat yang
lain.
Agar organisasi suku berjalan dengan baik, tentu
selayaknya perlu pula dipikirkan untuk memberikan
wewenang kepada pemimpin suku itu untuk mengangkat
orang-orang yang dapat menjalankan amanahnya dalam
memimpin suku. Di mana didalam struktur pembantu
pemimpin suku tadi, ia juga berada di bawah panungkek
atau langsung di bawah pemimpin suku itu jika ia
berdomisili di kampung. Struktur pembantu pemimpin
suku ini misalnya orang khusus yang bertanggungjawab
dalam administratif dan data suku atau disebut sekretaris,
yang bertanggungjawab dalam keagamaan orang siak,
atau yang bertanggungjawab dalam keamanan dan
pengawasan parik-paga misalnya. Di mana setiap
tindakan yang dilakukan oleh pejabat, struktur pembantu
ini semuanya dibawah kepemimpinan, pengetahuan atau
restu pemimpin adat tersebut dan ia bertanggungjawab
langsung kepada pemimpin adat itu. Secara administratif
ia akan memberikan laporan tertulis sesuai dengan
perkembangan yang dilakukan atau dijalankan secara
berkala.

C. Aspek Fungsi dan Peranan


Kelembagaan
Di dalam aspek fungsi dan peranan kelembagaan, tentu
harus terlebih dahulu didudukkan hak dan kewajiban dari
pemimpin suku. Di mana seorang pejabat-suku harus tahu
dan memiliki referensi tertulis menyangkut hak dan
kewajibannya. Hak bagi seorang pejabat pemimpin suku
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 185
merupakan kewajiban dari anak kemanakan.' Begitu juga
sebaliknya, kewajiban pemimpin suku merupakan hak
bagi kemanakan.
Pejabat suku yang merupakan Urang Ampek Jinih yang
selama ini hanya sebagai lambang dan menjadi kaum elitis
di dalam sukunya, harus menyadari bahwa ia merupakan
lembaga bukan orang di dalam sukunya. Di mana sebuah
lembaga tersebut mempunya peran dan fungsi sesuai
bidang yang telah ditetapkan dalam rapat suku ketika
dilantik memimpin suku itu.
Seperti Penghulu yang berperan sebagai pemimpin
tertinggi dalam sukunya harus menjalankan sumpah yang
telah diucapkannya. Di mana ia sebagai pemimpin suku
harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi. la harus
menguasai persoalan sukunya dengan baik. Seperti
memiliki data yang lengkap tentang suku (buku gadang)
baik potensi materil (harta suku) maupun inmateril
(potensi kemanakan yang ada dalam suku). Sebagai
seorang pemimpin suku haruslah menyiapkan kaderisasi
penggantinya.
Penghulu dalam menjalankan peran dan fungsinya
sebagai pemimpin atau menejer suku harus mampu
membagi tugas dan tanggungjawab kepada perangkat
suku yang ada. Jika terjadi masalah di dalam sukunya
Penghulu harus segera mengambil keputusan untuk
pemecahannya seperti memerintahkan kepada
perangkatnya untuk mengadakan musyawarah darurat.
Di dalam menjalankan fungsinya, seorang Penghulu harus
banyak bersilaturahmi dengan kemenakannya yang ada di
kampung dan berkomunikasi dengan kemanakan di
rantau. Atau sebaliknya jika Penghulu itu ada di rantau ia
harus selalu berkomunikasi dengan panungkeknya untuk

186 Manajemen Suku


yang dikampung dan menanyakan kondisi suku serta
kemenakannya.
Dengan wewenang yang dimungkinkan membentuk
lembaga sendiri dalam melaksanakan tugasnya sebagai
seorang Penghulu, seperti ia memiliki pejabat yang
mengurusi aspek-aspek yang dibutuhkan kemenakannya.
Tentunya Penghulu tersebut harus cepat dan tanggap dari
setiap laporan yang disampaikan kepadanya.
Begitu juga dengan Manti Adat, yang merupakan lembaga
pusat data suku. Mantilah yang selalu mengupdate
(memperbarui) seluruh data suku (buku gadang suku) dan
ranji suku sesuai dengan perkembangan yang terjadi
dalam sukunya. Manti juga berperan memfilekan seluruh
keputusan rapat suku dan membuat laporan berkala suku
di samping ia berfungsi sebagai administrator suku.
Di samping itu Manti harus menginventarisir masalah-
masalah yang terjadi di dalam suku untuk dibawa dalam
musyawarah kerapatan suku guna dicarikan jalan
keluarnya. Manti layaknya sebuah pustaka dan lembaga
kesekretariatan suku.
Malin adat dalam peran dan fungsinya merupakan
penanggungjawab dalam urusan keagamaan di dalam
suku. Di samping itu ia harus mengetahui tingkat
pengetahuan kemenakannya dalam bidang agama.
Tantangan menjadi Malin dalam suku sangatlah berat, di
tengah kondisi budaya global yang menyebabkan
pergeseran nilai dan mengubah gaya hidup kemenakan.
Tentunya disamping Malin harus memiliki banyak
referensi keagamaan dalam hal ini al quran, hadist,
hukum Fiqh dengan memfungsikan lembaga Jinih Nan
Ampek; khatib, imam, khadi dan bila.

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 187


Di dalam menyelesaikan persoalan keagamaan, Malin
dituntut harus banyak menyampaikan penyuluhan baik
menyangkut hukum agama, hukum positif maupun
hukum adat kepada kemenakannya. Apalagi kepada
kemenakan yang terpengaruh lingkungan dan
menyebabkan mereka mengalami kemerosotan moral dan
akhlak. Dan jelas seorang Malin disamping melakukan
pendataan keagamaan di dalam sukunya harus pula
menyiapkan kaderisasi penggantinya. Tentunya
diharapkan Malin juga diberi wewenang yang sangat luas
menentukan struktur pembantunya sendiri yang diakui
oleh masyarakat sukunya, kendatipun persoalan
keagamaan suku merupakan tanggungjawab bersama di
dalam suku karena adat dan agama seiring dan sejalan di
Minangkabau.
Dubalang di dalam suku merupakan lembaga security
control, atau yang akan memagar suku dari pengaruh
negatif yang akan merusak tatanan adat dalam suku.
Dubalang tidak saja bertanggungjawab untuk
menyelesaikan perselisihan yang ada dalam suku baik
antara kemenakan sesuku maupun antara kemanakan
dengan orang lain yang berbeda suku.
Sesuai dengan kondisi sekarang, Dubalang diharapkan
juga berfungsi untuk memagar suku bukan saja dari
persoalan yang nyata akan tetapi perkembangan teknologi
media dan komunikasi yang begitu pesat, Dubalang juga
harus mampu membendungi sukunya dari dampak negatif
budaya yang menyerap melalui teknologi tersebut. Seperti
membendungi kemanakan dari kehancuran moral dan
akhlak seperti munculnya tindakan kriminal dan
perbuatan maksiat lainnya.
Artinya jangkauan Dubalang bukan lagi berada di wilayah
sekitar kampung di mana warga sukunya berada, akan
188 Manajemen Suku
tetapi Dubalang juga harus mencapai wilayah domisili di
mana kemenakannya berada seperti di perantauan atau di
kawasan di mana kemanakan sedang menuntut ilmu.
Perhatian khusus ini sangat diperlukan, agar kemanakan
dapat terjaga dan tidak lari dari norma adat dan Islam
yang merupakan identitas asli masyarakat Minangkabau.
Kehancuran moral masyarakat Minangkabau seperti yang
diberitakan media tentang meningkatnya kejahatan
seksual di ranah Minang (Kompas, 19 Juli 2004),
terutama dikarenakan memang fungsi kontrol dari
pemimpin adat khususnya Dubalang yang merupakan
institusi parit paga suku tidak berjalan dengan baik.
Memang banyak faktor yang menyebabkan fungsi itu tidak
berjalan, akan tetapi tentu perlu dilakukan langkah-
langkah kongkret untuk memperbaikinya. Tentu saja
dimulai dari menaikan wibawa pemimpin suku khususnya
Dubalang ini. Wibawa seorang Dubalang yang akan
membuat kemanakannya patuh dan mendengarkan
petuah-petuahnya, harus pula-didukung oleh sebuah
sistem yang jelas. Karena Dubalang tanpa didukung oleh
kemaun bersama dari masyarakat sukunya, juga tidak ada
artinya.

D. Aspek Kemampuan Kepemimpinan


Jalannya manajemen suku di Minangkabau seperti yang
sudah kita singgung sebelumnya, erat kaitannya dan
kemampuan leadership seorang pejabat suku atau Urang
Ampek Jinih. Karena dengan kemampuan baik fisik,
mental, integritas intelektual dan sosial ekonomi
menjadikan ia sebagai seorang pejabat suku yang
dihormati, disegani dan didengar oleh anak
kemanakannya.

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 189


Dr. Tarmizi Taher mengungkapkan, bahwa tidak setiap
orang yang duduk dikursi pimpinan itu adalah pemimpin.
Begitu juga tidak setiap manajer adalah pemimpin.
Pemimpin itu adalah topik abadi yang harus ada, apalagi
untuk organisasi suku yang telah memiliki populasi yang
besar. (Tarmizi Taher: Agenda Kritis Pembangunan
Indonesia, hal 1-21, Gramedia, 2003)
Untuk itu boleh dikatakan seorang pemimpin suku adalah
orang yang mempunyai kemampuan untuk memimpin
sukunya bukan orang yang dipimpin oleh sukunya.

1. Fisik/Performance
Seorang pemimpin, dalam sebuah lembaga itu sehat
jasmani dan rohani. Sehat jasmani berarti fisik kuat,
panghulu nan kamanuruni lurah nan dalam, nan
kamandaki bukik nan tinggi, artinya begitu banyak tugas
yang dipikul oleh seorang pemimpian, apalagi anggota
kaum yang akan dipimpin telah berkembang menjadi
beberapa kaum dan setiap kaum bertambah jumlah paruik,
untuk itu kemampuan fisik harus terpelihara. Apabila
lurah alah dalam, bukik alah tinggi, artinya kemampuan
fisik tidak memungkinkan lagi sudah seharusnya secara
sukarela tugas-tugas kepemimpinan itu dipindahkan
kepada yang lebih muda, supaya tidak membebani kepada
pribadi yang bersangkutan. Perpindahan kepemimpinan
seperti ini dalam adat disebut dengan "hiduik
bakarilahan"
Kesehatan rohani, seorang pemimpin "kasuri tuladan
kain, kacupak tuladan batuang, artinya keteladanan
seorang pemimpin menjadi salah satu indikator penentu
dalam menjalankan roda kepemimpinan. Hal-hal yang
akan menyebabkan kehilangan keteladaan tersebut sangat
dihindarkan. Hal ini menjadi pertimbangan dalam
190 Manajemen Suku
memilih pemimpin dalam suku, dalam hal ini "elok di
indang ditampi tareh dipiliah atah ciek-ciek". Pemimpin
merupakan institusi dalam suku kaum apabila seorang
pemimpin berbuat sumbang salah maka semua anggota
kaum/suku akan terkena imbas dari kesalahan tersebut
"tanah sabingkah alah bapunyo, suku tak dapek di asak,
malu tak dapek dibagi".
Pejabat suku haruslah berpenampilan rapi. Dengan
tampilan belepotan, kumuh dan urakan, ia tidak akan
dianggap remeh oleh kemanakannya. Penampilan pejabat
suku sangat besar mempengaruhi wibawa pejabat suku itu.
Pejabat suku harus menjaga kesehatannya, dikarenakan
pejabat suku yang selalu sakit-sakitan akan
mempengaruhi tugasnya dalam memimpin kemenakan-
nya. Bisa-bisa misalnya, perhelatan kemenakan terganggu
dikarenakan Penghulunya sakit.
Dan dalam hal ini pejabat suku yang telah uzur, juga
sebaiknya mempertimbangkan untuk mengangkat
panungkek atau menurunkan jabatannya kepada
kemanakannya yang pantas sesuai dengan sistem yang
dianut dalam suku tersebut.

2. Mental Spiritual
Seorang pemimpin dalam lembaga suku, juga dituntut
dengan kemampuan mental spritual. Di mana ia harus
memiliki ilmu dan wawasan yang luas. Bukan saja
masalah adat akan tetapi juga masalah keagamaan karena
di Minangkabau adat basandi syarak dan adat basandi
kitabullah. Artinya masalah adat dan agama harus seiring
dan sejalan. Dan sangat wajar kalau seorang pemimpin
suku selain tokoh adat juga tokoh agama'.

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 191


Kemampuan mental spiritual seorang pemimpin suku
jelas sangat berkaitan dengan akhlak dan cara pemimpin
suku itu untuk mengambil keputusan dalam
menyelesaikan persoalan di dalam suku. Seorang
pemimpin suku yang bermoral bejat akan hilang
martabatnya di dalam suku. Pemimpin dalam suku harus
sesuai dengan uraian sebelumnya yaitu orang yang
bermartabat dan berakhlak baik. Seorang pemimpin suku
yang berakhlak dan mengamalkan ajaran agama secara
baik atau taat ditambah dengan kemampuan wawasan dan
ilmu pengetahuan yang luas, besar kemungkinan akan
memiliki jiwa dan emosi yang stabil. Jelas dalam
memimpin dan menyelesaikan sengketa anak
kemenakannya, akan dapat dilakukan dengan tenang.
Kelemahan pemimpin suku yang tidak memiliki jiwa yang
stabil dan emosi yang tenang akan menghasilkan
keputusan yang ceroboh dan cenderung menghasilkan
dampak yang negatif bagi anak kemanakannya.
Albert Enstein sebagai siraja otak berpesan bahwa
manusia jangan mendewa-dewakan otak supaya jangan
menjadikan otak sebagai Tuhan. Untuk itu, pemimpin
suku disamping memiliki kemampuan otak juga harus
memiliki hati nurani yang 'dikontrol oleh kemampuan
emosionalnya (ketenangan bathin yang disebabkan
ketaatan dan kesalehan kepada ajaran Islam). Banyak
pakar mengungkapkan bahwa pengaruh ketajaman
mengontrol emosi lebih baik dari pada hanya
mengandalkan kemampuan intelektual saja.
Dalam bahasa agama Islam kita mengenal zikir dan fikir,
bahwa dengan segala sesuatu yang dikerjakan haruslah
berdasarkan spirit yang dilandaskan kepada tauhid. Jika
seorang pemimpin suku sudah bertindak dengan
menyangkutkannya berdasarkan dengan ketauhidan,
192 Manajemen Suku
maka insya Allah kemanakannya akan di bawa ke arah
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam hal ini seorang pemimpin suku juga harus punya
kemampuan mengelola hatinya, di mana unsur keikhlasan
dan keridhaan sangat dipentingkan dalam mengurus
kemenakan.
Tarmizi Taher juga menyisyaratkan bahwa seorang
pemimpin dalam mengurusi yang dipimpinnya harus
menimbulkan kesenangan, seperti layaknya seorang ayah
yang baik mengurusi anak kandungnya, (Tarmizi Taher:
2003).
Di dalam hal ini juga, seorang pemimpin suku harus
melawan musuh yang ada pada dirinya sendiri. Musuh itu
adalah kelambanan, hambatan, ketidakpedulian, dan
penguasaan ego yang lemah. Jika musuh di dalam diri itu
tidak dapat dikalahkankan maka yang akan muncul
pemimpin suku yang tidak memiliki kekuatan untuk
bertindak (Ariwibowo, 12 langkah Manajemen Diri, 2004).
Selain itu, sebagai pemimpin yang beriman seorang
pemimpin suku harus hati-hati dengan sumpah dan
janjinya. Sebagai seorang pemimpin adat yang
sebelumnya sudah disumpah harus selalu ingat dengan
sumpahnya dan menjalankan amanah sebaik-baiknya.
Sumpah yang telah diucapkan haruslah menjadi spirit
dalam menjalan tugasnya. Seperti hadist nabi berpesan,
setiap diri adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
diminta pertanggung jawabannya.
Oleh sebab itu persoalan kemampuan memegang amanah
merupakan aspek spiritual yang harus dimiliki seorang
pemimpin suku, karena di sini letak profesionalisme
seorang pemimpin suku ini. Dalam sebuah riwayat
diceritakan bahwa seorang sahabat nabi yang taat

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 193


bernama Abu Dzar dilarang memimpin dan mengelola
harta anak yatim oleh Nabi Muhammad SAW dikarenakan
ia hanya seorang shaleh akan tetapi memiliki kelemahan
dalam mengelola urusan publik termasuk, harta orang lain
(H.R Muslim).
Bahkan dalam hadist riwayat Bukhari disebutkan orang
yang menyia-nyiakan amanah, tunggulah kehancuran.
Dalam memahami hadist ini Dr. A. Qodri Azizy, M.A
dalam buku Melawan Globalisasi menguraikan, secara
pengorganisasian seperti memimpin manajemen tidak
cukup bermodal kesalehan saja akan tetapi diperlukan
kemampuan menjaga amanah. Di samping itu diperlukan
untuk menempatkan pemimpin itu sesuai dengan
kemampuannya.
Kemampuan spiritual pemimin suku sama dengan kaya
akal budi, karena pada adat Minangkabau itu berpangkal
pada budi: Nan kurik kundi nan merah sago nan baik
budi nan indah baso
Budi mendapat tempat uatama dalam adat Minangkabau,
sifat-sifat manusia yang lainnya merupakan pecahan dari
kekayaan budi tersebut seperti saraso samalu, tenggang
raso, lamak dek awak katuju dek urang.
Budi itu berdasarkan kesangupan merasakan perasaan
orang lain, artinya berbuat terhadap orang lain, sama
halnya dengan berbuat untuk dirinya sendiri:
Tibo dimato indak dipiciangkan
Tibo diparuik indak dikampihkan

Dengan demikian pertalian pemimpin dengan yang


dipimpin akan terasa akrab. Sebagai pemimpin akan
dimintakan pertangung jawaban atas kepemimpinannya.
Dengan budi akan berlakulah saling berbuat baik, saling
berbalas budi, hutang budi akan dibayar dengan budi.
194 Manajemen Suku
Misalnya: hutang budi pada nagari, nagari yang kita diami
telah ditempati dengan baik maka haruslah dibayar
dengan cara berbuat baik pada nagari yaitu dengan tidak
merusak alam.
Ternyata budilah yang menjadi ikatan yang kuat dalam
pergaulan bermasyarakat, berbuat dan membalas budi
bukanlah hanya terbatas memelihara anak kemanakan,
seorang pemimpin hidup bersama. seseorang dengan
masyarakat, dari yang sekecil-kecilnya sepertia anggota
paruik, jurai kaum dan suku bahkan sampai kepada nagari
dan negara.

3. Integritas Intelektual
Dan yang paling menentukan juga adalah integritas
intelektual pemimpin suku tersebut. Karena dengan
kemampuan ini seorang pemimpin akan peka dan cepat
tanggap dalam menangani persoalan-persoalan yang
dihadapi kemenakanya. Dengan kemampuannya,
pemimpin suku akan dapat memberikan keputusan dan
solusi yang tepat.
Kemampuan intelektual menjadi suatu keharusan, dalam
dunia yang serba mengglobal sekarang ini tidaklah
rnungkin dapat menjawab kemajuan itu dengan papatah
petitih semata. Bagi masyarakat Minangkabau
kemampuan intelektual itu disebut dengan Urang cadiak
pandai. Kaum intelektual adalah "cadiak candokio",
apabila dikaitkan dengan kepemimpinan adalah orang
yang pandai memenej (menempatkan) seseorang sesuai
dengan posisinya.

Alang tukang cilako kayu


AJang cadiak cilako adat
Alang alim hancua agamo
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 195
Kemampuan intelektual ini, bukan menyangkut persoalan
adat saja. Melainkan juga menyangkut berbagai wawasan
lainnya. Kemampuan ini harus selalu diasah baik melalui
membaca, maupun melalui forum ilmiah seperti diskusi,
debat dan musyawarah.
Seperti Allah juga telah mengajarkan berbagai ilmu
pengetahuan teknologi yang berguna di saat itu kepada
Nabi Daud dan Sulaiman (Al Quran, 27:15). Dengan
demikian selayaknya pula seorang pemimpin suku harus
menguasai ilmu dan teknologi itu, agar persoalan apapun
yang muncul di dalam suku dengan referensi ilmu yang
dimiliki seorang pemimpin suku dapat memberikan solusi
yang tepat dan tidak terburu-buru mengklaim secara
negatif.
Kalau kita lihat sejarah Nabi Adam yang diutus menjadi
pemimpin (khalifah) di bumi, terlebih dahulu ia adalah
orang yang lulus dalam kompetisi dengan malaikat. Di
mana Adam temyata makhluk Allah yang memiliki
pengetahuan yang lebih dari pada malaikat, dan layak
untuk menjadi khalifah filard( Al Quran, 2: 31-34).
Untuk itu seorang pemimpin suku apapun jabatannya
(Penghulu, Malin, Manti, Dubalang) pun seharusnya
mampu menguasai berbagai pengetahuan karena
mengingat begitu komplitnya persoalan yang melanda
kemanakan di era ini. Pemimpin suku harus membawa
sukunya ke arah yang lebih unggul dibandingkan dengan
suku lain.
Semangat fastabikhul khairat atau berkompetisi
memajukan suku yang ditularkan pula kepada kemanakan
menuju ke arah yang lebih baik, tentu membawa sukunya
ke arah yang lebih baik pula.

196 Manajemen Suku


Dengan kemampuan ilmu dan wawasan yang menunjang
intelektual seorang pemimpin suku, Insya Allah akan
meninggikan derajatnya. Tentu saja apabila ilmu itu
diiringi pengamalan yang berdasarkan pada keimanan
kepada Allah Swt. (Al Quran, 58:11).
Untuk itu perlu dipikirkan di dalam sebuah suku untuk
membentuk forum atau lembaga pengkaderan dan
pencerahan guna mengasah intelektual calon pemimpin
suku atau pencerahan bagi pemimpin suku yang sedang
menjabat di dalam suku akan tetapi tidak memungkinkan
lagi untuk mengenyam pendidikan di bangku pendidikan.

4. Sosial Ekonomi
Kemampuan ekonomi sangat penting dalam
kepemimpinan. Dengan pondasi ekonomi yang kuat
masyarakat akan makmur, kebudayaan akan berkembang
"manjilih ditapi aie, mardeso diparuik kanyang",
kewajiban dan rasa sosial baru bisa terpenuhi, apabila
kepentingan pribadi telah terpenuhi, supaya hal tersebut
dapat terlaksana, dalam adat dikenal adanya "padi abuan
atau sawah kagadangan "(dana sosial untuk panghulu).
Permasalahannya sekarang adalah padi abuan tersebut
belum ada bagiannya untuk perangkat adat lainnya dan
kalaupun ada peruntukan itupun tidak mencukupi, hal
yang mengembirakan adalah bahwa adat itu memberikan
perhatian kesejahteraan terhadap lembaga-lembaga yang
ada:
Hilang rupo dek panyakik
Hilang rono dek indak barado
Ameh pendindiang malu
Kain pandindiang miang
Berdasarkan pengamalan tentang pentingnya ekonomi,
orang Minang pergi merantau. Pengertian dasar dari
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 197
merantau bahwa merantau bukanlah perpindahan Hal
yang dapat difahami adalah kehidupan seseorang baik
sebagai pemimpin maupun yang dipimpin tidak akan
terlepas dari soal perekonomian, sebagi jaminan
kehidupan sehari-hari.
Pokok utama di permanen dan bukan pula meninggalkan
susunan sosial budaya tertentu biasanaya kenceendrungan
terasa apabila keadaan ekonomi di kampuang tidak lagi
sanggup menahan mereka. Sedangkan diluar, pemusatan
ekonomi diperkotaan memperkuat motivasi untuk
merantau. Motivasi lain dengan tujuan untuk memelihara,
menambah harta pusaka
Apalagi di tengah paham kapitalistik yang mendunia saat
ini. Apabila kemampuan ekonomi pemimpin lembaga
suku lebih kurang di bandingkan oleh anak
kemanakannya. Hal ini akan membuat pemimpin suku
tersebut tidak tegak kepalanya di hadapan kemanakannya.
Bahkan akan merepotkan lagi ketika ia harus melakukan
perjalanan dinas mengurus anak kemanakannya, tanpa
didukung dana yang memadai acap kali urusan akan
terbengkalai. Apalagi kalau pemimpin suku itu tidak
berada di kampung halamannya, seperti menikah dengan
orang yang berlainan kampung dan jarak yang berjauhan.
Disebabkan rendahnya ekonomi pemimpin suku bisa-bisa
kepala suku 'dibeli' dengan uang. Sehingga apapun yang
diminta oleh orang yang notabenenya telah memberi uang
maka pemimpin suku tersebut akan menurut saja. Seperti
contoh dalam hal menjual harta pusaka yang seharusnya
tidak boleh dijual. Akan tetapi karena pemimpin suku
sudah diberi uang komisi yang besar, tanah pusaka suku
terjual atau tergadai kepada orang lain dalam jangka
waktu yang lama. Sementara anak kemenakannya sangat

198 Manajemen Suku


membutuhkan untuk kelangsungan hidup dan
pendidikannya.
Untuk itu dalam memimpin suku ia harus mampu
mengelola dengan baik harta pusaka yang dimiliki suku.
Begitu pemimpin suku dituntut untuk mampu
menciptakan peluang ekonomi baru untuk kesejahteraan
kemanakannya. Potensi suku harus dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya, dengan semangat bergotong royong,
pemimpin suku akan mampu mengumpulkan dana suku
dengan membentuk Lumbung Pitih Suku (LPS) yang
sumber dananya dari kemenakan dan digunakan untuk
kemenakankan juga. Tentu dalam hal ini diperlukan
pengetahuan pengelolaan keuangan yang baik dan lebih
bagus lagi kalau menggunakan prinsip-prinsip
pengelolaan uang secara syariah. Dari sini akan
dimungkinkan sebuah Badan Usaha Milik Suku (BUMS).
Dan tak kalah pentingnya adalah dengan membentuk
lembaga amil zakat dan sedekah (LAZIS) suku. Di mana
pemimpin suku harus berperan untuk mengajak
kemenakan untuk mensyukuri nikmat Allah Swt. Dengan
LAZIS ini dapat mengentaskan persoalan kemenakan yang
lemah ekonominya. Bukankah Islam mengajarkan kepada
kita untuk saling berlomba dalam kebaikan, semangat ini
harus dijabarkan oleh seorang pemimpin suku (Al Quran
5:2).
Jadi diharapkan tidak ada lagi hendaknya kemanakan
suku tersebut menampungkan tangan karena
kemiskinannya. Persoalan ini sudah terselesaikan oleh
suku itu sendiri. Dengan demikian akan terbentuklah
masyarakat suku yang saling mengisi dan membantu
Dalam aspek sosial, pemimpin suku diharuskan pula
untuk mampu berkomunikasi dengan baik dengan
kemenakannya. Baik yang berada di ranah maupun yang
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 199
berada di rantau. Silaturrahmi sangat penting, dan ajaran
Islam menyebutkan silaturrahmi itu dapat
memperpanjang umur dan memurahkan rezeki (Al
Hadist). Dengan kemampuan sosial ini pemimpin suku
akan tetap menjadi perhatian dari kemenakannya, karena
kemenakan pun sudah terperhatikan oleh pemimpin
sukunya. Kecanggihan teknologi di saat ini telah
memudahkan hubungan sosial (silaturrahmi) dimana
dengan telpon, faks, sms, email seorang pemimpin suku
tetap dapat berhubungan dan memperhatikan
kemenakannya.

E. Aspek Proses, Mekanisme dan


Tatacara Pengelolaan Suku
Agar pengelolaan suku berjalan dengan baik, jelaslah
diperlukan sebuah tatanan dan sistem yang baik.

1. Perencanaan
Di dalam suku diperlukan rencana dan program yang
membuat kelarasan suku berjalan dengan baik dan terarah.
Dalam aspek perencanaan tentu perlu disiapkan dalam
bentuk musyawarah dan pengambilan keputusan. Begitu
juga dalam proses kaderisasi pemimpin suku seperti
Urang Ampek Jinih, agar tercipta pemimpin suku yang
berkualitas di masa mendatang. Program atau rencana
suku ini akhimya dijadikan sebagai aturan hukum suku
yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat suku.
Hanya saja perencanaan yang di buat dalam kerapatan
suku, diperlukan sebuah kristalisasi (kebulatan) pendapat
dari tingkat keluarga, kaum dan suku termasuk
mengadopsi seluruh aspirasi kepemudaan dan perempuan.

200 Manajemen Suku


Aspek perencanaan itu sangat penting mengingat dengan
perencanaan yang matang akan menentukan suksesnya
pemimpin suku dalam mengelola suku sesuai bidang yang
di amanahkan kepadanya. Dalam hal ini yang perlu
dipertimbangkan adalah efektif dan efisiennya program
yang dibuat, terutama dalam merencanakan pelaksanaan-
nya.
Di samping perencanaan atau program suku, jelas juga
dipikirkan aspek pendanaannya. Dengan perencanaan
dana yang matang jelas program dapat dilaksanakan.
Persoalan yang sangat penting dalam perencanaan ini
adalah terdatanya secara tertulis persoalan-persoalan suku.
Mulai dari potensi yang dimiliki sampai pada laporan
perkembangan dan evaluasi dari suku itu secara berkala.
Setiap rapat harus ada notulen rapatnya. Begitu juga
dibiasakan pembagian tugas dengan memberikan mandat
secara tertulis.
Program suku harus didatabasekan, sehingga kapan
diperlukan dapat dilihat kembali dan akan memudahkan
mengevaluasinya untuk mengetahui sejauh mana
perkembangan suku. Dan juga akan menggampangkan
mengindentifikasi masalah untuk dicarikan solusinya.
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam
perencanaan manajemen suku adalah pengorganisasian,
pelaksanaan, pengevaluasian, pencatatan, pendanaan dan
pengawasan.

2. Pelaksanaan
Untuk menyelenggarakan perencanaan dibutuhkan
pelaksana-pelaksana yang mampu memegang amanah. Di
dalam manajemen suku mereka disebut Penghulu, Malin,
Manti dan Dubalang. Sejauh ini sudah banyak ditemukan
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 201
mamang dan syarat-syarat yang diharuskan bagi seorang
Penghulu. Sama halnya dengan pemilihan Penghulu, maka
seharusnya Malin, Manti dan Dubalang juga harus
ditetapkan kriteria tertentu sesuai dengan jabatan yang
diamanahkan kepada mereka. Seperti Manti harus mengerti
adat, administrasi dan akuntansi. Malin harus mengerti
agama Islam dan adat. Dubalang harus mengerti hukum
adat, hukum positif dan hukum agama.
Apabila di dalam suku tidak ditemukan sumber daya yang
ideal, sebaiknya diambil dari kemanakan yang terbaik
yang dipunyai. Selanjutnya perlu diupayakan pelatihan
penataran, pendidikan khusus serta pembinaan yang
simultan untuk kader pemimpin suku. Perlu
dipertimbangkan ada sekolah khusus untuk calon pemimpin
suku. Dengan demikian, di dalam kepemimpinan suku akan
terujud the right man in the right place.
Di dalam hal ini perlu diingat untuk tidak melupakan
peran perempuan dan pemuda di dalam suku. Karena
dengan keterlibatan mereka perencanaan suku akan
menjadi perencanaan suku secara keseluruhan.

3. Evaluasi
Program yang dilaksanakan tentu tidak dibiarkan begitu
saja, kekurangan dan kelebihan termasuk hambatan yang
ditemui perlu dikaji secara serius. Di sinilah peran evaluasi.
Tentu saja pengeveluasian program ini juga harus melalui
rapat suku.
Program yang berjalan dengan baik dan menghasilkan
dampak positif jelas dapat dilakukan untuk masa
berikutnya. Akan tetapi program yang tidak berjalan
mulus, tentu harus dicarikan jalan keluar yang tepat.
Pengevaluasian ini harus dilakukan agar program suku

202 Manajemen Suku


terukur dan terarah dan mempunyai dampak yang baik
terhadap perkembangan suku.
Evaluasi dapat dijalankan jika persoalan suku terdata
dengan baik. Karena tanpa data yang lengkap, evaluasi tidak
dapat dijalankan.

4. Pengawasan
Selain evaluasi selama pelaksanaan program suku juga
diperlukan pengawasan melekat agar sasaran dari
program yang dilaksanakan dapat berjalan dengan baik.
Karena kerapkali dalam pelaksanaan program seringkali
terjadi bias, benturan dan hambatan. Ketika itulah diperlukan
keputusan yang cepat.
Pengawasan ini perlu dilakukan terhadap program-
program yang telah ditetapkan, akan tetapi secara alami
pengawasan perlu dilakukan dalam sifat security atau
penjagaan anak kemanakan agar tidak keluar dari norma-
norma adat yang berlaku. Seperti perjudian dan perbuatan
maksiat lainnya.
Jika didapati pelanggaran tentu rapat suku atau pemimpin
suku memberikan reaksi baik untuk melakukan sidang
suku maupun keputusan langsung para petinggi suku.
Di samping itu dalam pengawasan ini tentu pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan suku,
maupun hukum adat dan hukum positif yang berlaku di
negara kita harus cepat ditanggapi dan diberikan sangsi
oleh kerapatan suku. Dengan demikian kemanakan yang
bersalah dapat diberikan sangsi dengan tegas, begitu juga
apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat
suku itu sendiri.

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 203


Pengawasan yang bersifat represif akan terlihat ketika
anak kemenakan telah selesai melaksanakan pekerjaan
yang telah dilaporkan sebelumnya, kalau berhasil
bagaimana hasilnya, kalau terkendala atau gagal
bagaimana langkah-langkah berikutnya?. Fungsi ini
terlaksana pada setiap kegiatan anak kemenakan baik
yang bersifat ke dalam (kaum, suku atau rumah tangga)
maupun keluar yang melibatkan masyarakat Nagari.
Pelaksanaan fungsi pengawasan ini dilakukan oleh masing-
masing mereka yang memiliki kewenangan sesuai dengan
tingkat pengawasan itu (rentang kendali). Untuk
menentukan secara tegas, siapa yang mengawasi siapa,
orang Minangkabau menggariskan ukuran-ukuran tertentu
agar jelas batas kewenangannya :
1) Seorang kemenakan (terutama yang laki-laki) kalau
sudah berumah tangga harus mampu melaksanakan
tugasnya secara adil: Anak dipangku, kemanakan
dibimbing.

2) Seorang Penghulu juga diawasi secara moral,


bagaimana mereka melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya dalam: Mampaelok nagari. Kewajiban
Penghulu membuat Nagari menjadi elok, merupakan
beban berat yang harus dipikul bersama demi
kesejahteraan anak kemanakan. Ketidakmampuan
seorang Penghulu dalam membangun nagari menjadi
elok, akan menjadi titik awal dari ketidak percayaan
anak kemanakan terhadap mereka, karena menurut
sepanjang adat, seorang Penghulu itu berada di pintu
hutang, kemenakan di pintu bayar, artinya mereka
sebagai perencana dan anak kemenakan sebagai
pelaksana.

204 Manajemen Suku


3) Pengawasan dalam menjamin eksistensi keturunan :
a) Sako turun temurun.
Pusako jawek bajawek
b) Senteang bilai mambilai.
c) Lamah sokong manyokong.
d) Putuih uleh-mauleh.

4) Pengawasan kelestarian harta pusaka:


a. Jua indak dimakan bali
b. Gadai indak dimakansando.

5) Pengawasan terhadap kemenakan perempuan agar


tidak terjadi prostitusi.- Laki laki samalu, padusi sa
rasan. Bagi seorang lelaki di Minangkabau menjaga
atau mengawasi saudaranya yang perempuan sama
wajibnya dengan menjaga atau mengawasi saudara
perempuan teman atau sahabatnya, karena ada rasa
sa malu itu adalah ikatan yang membuat mereka
tidak saling merusak hubungan terutama yang
menyangkut masalah wanita.
Seandainya seorang kemenakan perempuan berbuat yang
memalukan kaum, seluruh saudaranya yang laki-laki ikut
memarahi dan ada pula yang memukul atau memotong
rambutnya sampai gundul, selanjutnya dia diantar ke
tempat keluarga yang jauh dari nagari atau kampung
mereka.

F. Solusi dan Pemecahan Masalah


Setelah memahami maksud dan tujuan dalam manajemen
suku, yakninya agar adat itu dapat diwariskan kapada
generasi mendatang malam dijadikan pakalang, siang nan
kamanjadi tungkek oleh kemenakan dalam

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 205


melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Maka
disusunlah beberapa hal yang perlu dilakukan dalam
menghadapi fenomena dan dinamika adat yang telah mulai
kehilangan "rono" di kalangan masyarakat adat itu sendiri.
Dikarenakan terjadi pula beberapa kemandulan dalam
penerapan fungsi dan peran pemimpin adat seperti
lembaga Ampek Jinih dalam suku. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal diantaranya dari faktor pribadi pemangku
adat itu sendiri seperti faktor pendidikan, sosial dan
ekonomi serta lemahnya koordinasi di dalam lingkungan
suku.
Di kalangan kemanakan hal ini menjadi momok dan
menilai pemangku adat tidak dapat diajak berkompromi.
Sementara mereka sendiri sesuai perkembangan zaman
cenderung terbius oleh alur budaya asing yang belum
menjanjikan. Persoalan ini menyebabkan timbulnya mis-
komunikasi oleh dua generasi tersebut. Keadaan ini tidak
hanya terjadi bagi anggota masyarakat di kampung
halaman, bahkan juga dengan kemanakan yang ada di
rantau. Dalam berbagai hal di lingkungan adat mereka
kebanyakan tidak ikut dilibatkan secara langsung oleh
pemangku adat di dalam suku untuk mengambil keputusan.
Khusus bagi masyarakat yang hidup di perantauan karena
di lingkungan mereka berada penuh dengan "kemajuan"
dan arus informasi yang menglobal, mereka terkesan tidak
lagi membutuhkan adat dalam kehidupan sehari-hari.
Berangkat dari himpunan persoalan tersebut, maka
langkah-langkah nyata yang dapat dilakukan untuk
memperbaikinya adalah:
1. Membenahi terlebih dahulu data-data suku.
Setiap suku harus memiliki data lengkap tentang
sukunya (database suku). Pendataan ini dimulai dari
kelompok terkecil dalam suku yakninya kaum yang
206 Manajemen Suku
dipimpin oleh kepala kaum"Datuk Kaum atau Datuk
Andiko).
Database yang harus dimiliki kaum adalah;
a. Data seluruh kemanakan kaum itu (Buku
Gadang Kaum)
b. Data aset Pusako (Sumber Daya Alam yang
dimiliki Kaum)
c. Data Keluarga Besar kaum termasuk data anak
pisang dan bako (Sedangkan dalam pelaksanaan
adat bertemu prinsip "anak dipangku
kamanakan dibimbiang")
Selain itu, sebagai orang Minangkabau yang
menganut matrilineal juga tidak meninggalkan
pencatatan ranji. Hal ini agar dapat diketahui aliran
kepemimpinan dan pusako yang ada dalam kaum
tersebut. Pendataan yang dilakukan oleh seluruh
kaum di dalam suku dengan sendirinya sudah
merupakan database suku. Dengan pendataan ini
juga akan tergambar potensi suku yang dapat
dikembangkan dan dilestarikan untuk kemajuan
suku.

2. Membenahi sosial ekonomi pribadi pejabat


pemimpin suku dan keluarga. Kalau kehidupan
keluarga pejabat suku dalam kesusahan, bagaimana
mungkin program seorang suku akan berjalan efektif
dan efisien. Untuk itu perlu dikembangkan fungsi dari "
singguluang" ataupun sawah kagadangan. Walaupun di
era modern ini bukan lagi dalam bentuk sawah, akan
tetapi bisa saja dalam bentuk saham perusahaan dan
lain-lainnya. Karena setiap suku dalam peraturan
perundang-undangan dibenarkan untuk menghimpun
dana melalui Lumbung Pitih Suku (IPS) dan membuat
usaha seperti Badan Usaha Milik Suku (BUMS).
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 207
3. Membenahi manajemen suku dengan cara
teradministrasi dan meletakkan prinsip-
pinsip manajemen seperti, perencanaan program
suku, dan strategi bagaimana melaksanakan program
suku tersebut dengan menekankan
pengorganisasian, penempatan orang, pengaturan dan
kebijakan.pendanaan. Serta yang takalah pentingnya
terevaluasinya setiap pelaksanaan kegiatan. Kemudian
didukung dengan dengan pelaporan setiap
perkembangan. Setiap program yang telah berjalan
diikuti dengan pertanggungjawaban pemimpin suku atau
orang yang diberikan wewenang atau tugas
menjalankan program itu. Setiap pelaksanaan diiringi
dengan pengawasan secara gotong royong.

4. Menanamkan dan menetapkan landasan


bergerak dan berfikir, dengan tidak meninggalkan
ketentuan adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Landasan ini harus diperkuat dengan modal
sipritual, performance, serta kekayaan intelektual
pejabat suku dengan dukungan hubungan sosial yang
baik dan ekonomi yang mapan.

5. Membangkitkan kembali jiwa "keminangan"


dalam aspek kepemimpinan, agar termotivasi
untuk menjalankan kepemimpinan, maka menjadi
sebuah keharusan untuk menempatkan orang-orang
yang mengerti akan tugas dan fungsi-masing-masing
dari lembaga yang ada; seperti lembaga Urang Ampek
Jinih , Jinih Nan Ampek serta lembaga urang bajinih
dalam tatatan kepemimpinan lainnya yang
diperlukan di dalam suku.

208 Manajemen Suku


6. Lembaga Urang Ampek Jinih merupakan pilar-pilar
utama dalam memenej anak

7. kemanakan, untuk itu semua lembaga dalam Ampek


Jinih tersebut harus diberdayakan sesuai dengan tugas
dan fungsi masing-masing

8. Dan aspek penting yang dapat menyatukan dari


seluruh sistem yang dianut dalam
pemerintahan suku (kelarasan) adalah tatanan
dalam musyawarah mufakat. Di mana perlu
mendudukan syarat dan kriteria yang dibolehkan untuk
rapat di dalam suku seperti pria atau wanita yang
telah kawin atau berumur 17 tahun ke atas. Kemudian
perlu pula ditetapkan bahwa mufakat dapat diambil atau
dinyatakan sah apabila dihadiri oleh lebih 50 persen
anggota suku. Dan keputusan sah apabila 50 + 1 suara
dari peserta rapat sepakat.

9. Kemudian dalam proses kaderisasi pemimpin di


dalam suku perlu disiapkan dari sejak dini. Di
mana kemanakan yang akan memimpin kalau suku yang
menganut Koto Piliang sejak kecilnya sudah dididik
untuk menjadi pemimpin suku, kalau perlu diadakan
sebuah lembaga pendidikan calon pemimpin suku.
Kalau kemanakan yang berasal dari Bodi Chaniago harus
dipilih dari kemanakan yang berpendidikan, berakhlak,
mengerti administrasi dan memiliki jiwa kepemimpinan.

10. Untuk membangun suku, harus mengikutkan


anggota suku yang berada di rantau dalam
setiap pengambilan keputusan. Dan juga
membuat mekanisme atau aturan yang memungkin

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 209


pemimpin suku yang ada di rantau untuk menunjuk
pembantu-pembantunya sendiri dalam menjalankan
tugasnya sebagai pemimpin suku.yang berada
langsung di bawah panungkeknya yang ada di
kampung dengan tidak mengabaikan komunikasi
yang intens antara pembantu tersebut dengan
pemimpin suku yang dibantunya.

11. Dalam setiap kebijakan suku perlu


mengikutsertakan generasi muda dan kaum
perempuan mengingat problema masing-masing
sangat spesifik. Generasi muda sebagai pewaris
kepemimpinan dan kaum perempuan akan melahirkan
generasi suku tersebut.

12. Perlu kembali meletakkan hukum adat yang


disesuaikan dalam kondisi kekinian, sebagai aturan
baku yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota
suku. Sehingga setiap persoalan di dalam suku
diselesaikan terlebih dahulu di dalam suku. Jika ada
yang bersalah diberikan sanksi adat.

13. Pemerintah Kabupaten sebagai pelaksana


pemerintahan otonomi daerah diharapkan lebih
banyak membantu terlaksananya pembangunan
suku melalui pembinaan dan bantuan dana
untuk mensukseskan pelaksanaan program-program
suku sampai suatu saat suku tersebut dapat mandiri
dengan kekuatan yang ada di dalam suku.

14. Begitu juga dengan pemerintahan Nagari,


sesuai sejarahnya, nagari diatur

210 Manajemen Suku


15. Dengan tatanan adat yang ada di salingka nagari
tersebut. Tentunya dalam setiap kebijakan di nagari
harus mengikutsertakan pemimpin adat. Karena
apapun bentuk program dalam nagari bersentuhan
langsung dengan kemenakan, pemimpin adat di dalam
nagari itu.

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 211


212 Manajemen Suku
BAB 8
DEKLARASI KOTO BARU, SOLOK

A. Pertemuan Kayu Aro


Ide awal dari lahirnya gagasan Menagemen Suku pertama
kali dimunculkan dari beberapa diskusi yang diadakan
Solok Saiyo Sakato (S3) di Jakarta. Mulanya di kalangan
urang Solok, krena peminatnya banyak ditingkatkan
menjadi Sumatera Barat. Hadir dalam beberapa diskusi di
Rumah Makan Sederhana Pasar Rumput, Manggarai DR
Saafruddin Bahar, Amir MS Dt Mangguang Sati, Drs
Hasan Basri (mantan Bupati Solok dan mantan Pembantu
Gubernur Sumbar Wilayah I). Disadari bersama bahwa
praktek-praktek pengelolaan suku khususnya di Solok dan
umumnya di Minangkabau telah bergeser dari rel yang
sebenarnya.
Gagasan untuk mengatur anak kamanakan dalam suku
oleh para pemimpin khususnya bagi masyarakat Solok
ditindaklanjuti dari pertemuan Kayu Aro, 10 Februari
2004 yang dihadiri oleh Bupati dan Sekda Kabupaten
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 213
Solok dan Pengurus S3 Jakarta. Pertemuan tersebut
dimotori oleh organisasi sosial yang mempunyai perhatian
terhadap kelangsungan dan adat dan budaya yang berlaku
di tengan-tengah masyarakat yang selma ini telah
dipaturun-panaikan dalam kehidupan sosial.
Organisasi Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta, yang berusaha
membidani lahirnya pertemuan Kayu Aro tersebut dan
sekaligus menjadi salah satu motor pengerak untuk
menjembatani antara perantau dengan masyarakat
diranah kampung halaman. Pertemuan Kayu Aro tersebut
dihadiri oleh Organisasi Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta,
S3 Padang dan pemuka sarta pituo-pituo masyarakat
Solok, salanjutnya dapat dilihat laporan dari ketua Solok
Saiyo Sakato (S3) Jakarta yang ditanda tangani oleh Irjend
(Purn) Pol Marwan Paris Dt Maruhun Saripado.

B. Musyawarah Rantau dan Kampung


Musyawarah Adat Masyarakat Solok dilatar belakangi oleh
aroma Babaliak Banagari yang telah ditetapkan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Sumatra Barat dan telah
berujud suatu Peraturan Daerah, memuat kebijakan dasar
dalam melaksanakan otonomi daerah yang
mengembalikannya pada nilai-nilai Adat dan Budaya
Minangkabau. Karena telah terjadi banyak perubahan
dalam tata kehidupan masyarakat urang awak dan
pelaksanaa adat dan budaya itu sendiri, maka isi dari
Babaliak Banagari perlu dikaji ulang yang sampai
sekarang masih belum sampai pada sebagaimana yang
diharapkan.
Karena babaliak banagari menyangkut adat dan budaya
Minangkabau malahan juga menyangkut masa depan etnis
masyarakat itu sendiri, maka masalah memberi isi
babaliak banagari adalah juga kepentingan dan
214 Manajemen Suku
kepedulian etnis Minangkabau baik yang ada di Ranah
Minang maupun yang ada di perantauan.
Masyarakat Solok yang ada di perantauan manapun yang
ada di Ranah Solok merasa terpanggil memberikan
pemikiran dengan difasilitasi Bupati Solok dan S3, melalui
beberapa kali diskusi menyadari bahwa masalah yang
dihadapi begitu kompleks dan rumit, sehingga
berkesimpulan perlu menemukan ujung benang kusut
dengan memulai dari bawah dengan pembenahan suku.
Dalam diskusi Kayu Aro ini diundang 50 orang pemuka
masyarakat mulai dari Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik
Pandai, Bundo Kanduang dari Kota Solok dan Kabupaten
Solok. Yang mengundang adalah Kepala Daerah masing-
masing yaitu Walikota Solok dan Bupati Solok. Waktu itu
Solok Selatan belum menjadi kabupaten sendiri. Bupati
Solok akan bertindak sebagai tuan rumah.

Diskusi memberikan gambaran sebagai berikut:


1. Terdapat banyak kelemahan pada pemangku adat
baik pengetahuan di satu segi dan ekonomi di lain
segi.
2. Hasil seminar adat di Bandung 2003 belum
menghasilkan petunjuk-petunjuk operasional yang
dapat dijadikan pedoman bagi pemangku adat di
lapangan.
3. Dari beberapa kali diskusi di kalangan pengurus
Solok Saiyo Sakato (S3) di Jakarta perlu diadakan
semacam diskusi (bukan seminar) untuk
menemukan fakta-fakta lapangan dari tangan
pertama. Fakta-fakta tersebut (das sein) akan
dibandingkan dengan norma-norma yang
seharusnya berlaku (das sollen). Gap yang terjadi
antara keduanya merupakan masalah yang

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 215


dihadapi. Berdasarkan itu dicarikan jalan keluarnya.
Keinginan ini kemudian disampaikan kepada Bupati
Solok dan beliau menyambut baik gagasan ini.
Diputuskan diskusi yang lebih luas akan diadakan
di Kayu Aro dengan judul Manajemen Suku.

Peta permasalahan yang terlihat:


Pertama: SDM Ninik Mamak
Umumnya peserta melaporkan bahwa SDM
NM/urang ampek jinih lemah. Ada prinsip dalam
adat kita bahwa batuang tumbuh di ruehnyo,
karambie tumbuh di matonyo. Pemangku adat
turun temurun menurut garisnya. Di luar itu
seseorang tidak dapat memangku jabatan
pemangku adat. Sayangnya SDM tetap lemah,
karena tidak dipersiapkan oleh famili dan kaum.
Yang dikejar gelarnya, bukan hakekat gelarnya
sebagai ninik mamaknya. Apakah ini karena
kekurangan visi, padahal sangsi spiritualnya cukup
berat, ka ateh indak bapucuak, ka bawah indak
baurek. Kalau suatu urusan diserahkan kepada
yang bukan ahlinya, tunggulah kehancuran (hadis
Nabi). Sesuai juga dengan pepatah kita alang
tukang kayu binaso. Terjadilah the wrong man in
the right place, apalagi zaman terus berubah. Untuk
mengantipasinya tak terkejar karena sibuk dengan
masalah rutin yang makin semrawut.

Ekonomi Ninik Mamak (NM).


Faktor ekonomi membuat NM sakamari pentang.
Dukungan ekonomi tidak seperti dulu lagi. Zaman
sudah berubah, populasi kemenakan sudah berlipat
sesuai hukum Maltus. Sumber ekonomi seperti
sawah dan ladang di kampung tidak mengalami
216 Manajemen Suku
perubahan atau bisa jadi sumber-sumber tersebut
tidak dikuasai lagi, karena sesuatu hal sudah
berpindah tangan kepada orang lain. Keadaan ini
membuat sebagian pemangku adat indak tagak di
nan data, tetapi tagak di nan lereng. Kondisi seperti
ini membuat kekacauan pada anak kemenakan.

Perubahan zaman.
Sistem yang kita anut kamanakan barajo ka mamak,
mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka nan
bana, nan bana tagak dengan sendirinyo pernah
menjadi senjata pamungkas untuk tidak dijajah
orang, kini mulai goyah. Seperti pepatah pula daulu
samak nam manyeso, kini tali nan tajelo. Daulu
mamak nan bakuaso, kini papi nan bajaso. Sistem
tergantung orangnya, SDM. Sistem tidak akan
berfungsi bila bila "the man behind the gun" lemah,
betapa pun sistem tersebut sangat ampuh. Fungsi
mamak mulai terancam. Rangkaian sistem kita
tidak tersambung kuat lagi. Penyebabnya lain tidak
adalah kemampuan pribadi mamak sendiri.

Kerancuan fungsi dalam praktek.


Dalam suatu suku terdapat struktur
kekuasaan yang disebut ampek jinih yaitu
pangulu, manti, malin dan dubalang. Bila
keempat pejabat ini berfungsi sesuai jabatan
masing-masing maka suku akan tertib. Bila
suku-suku dalam suatu nagari tertib, maka
nagari juga akan tertib dan damai. Yang
terjadi adalah kerancuan misalnya sering
manti bertindak seperti penghulu, dubalang
berlagak sebagai manti, atau malin berlaku
sebagai penghulu. Jadi tidak tahu lagi akan
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 217
fungsi yang sebenarnya. Di sini lah
dibutuhkan adanya perubahan dari budaya
lisan menjadi budaya tertulis. Mungkin kita
dapat meminjam motto yang berlaku dalam
manajemen mutu ISO 9000 'tulis apa yang
anda kerjakan dan kerjakan apa yang
anda tulis'. Kalau ungkapan ini kita ulang-
ulang dalam pekerjaan, maka proses
pekerjaan kita akan mengalami perbaikan,
sampai tercapai proses yang makin baik.
Bila budaya tertulis, kita mulai sekarang
maka dalam beberapa tahun lagi kita akan
mempunyai buku adat yang bernuansa
manajemen suku. Tiap nagari mempunyai
buku sendiri, karena kaidah adat selingkar
nagari masih berlaku di ranah Minang. Apa
keuntungannya? Pemangku adat beroleh
suatu pedoman yang sudah disepakati
sebelumnya dan generasi muda dapat
membacanya.

Pada akhir diskusi, dibentuk Tim 25 yang diketuai


oleh Marwan Paris yang bergelar Dt Tan Langik. 4
orang di antara tim 25 bertugas merumuskan
temuan-temuan, menganalisa dan mencari solusi,
dan menuliskannya menjadi suatu laporan. Laporan
tentunya akan memuat solusi. Solusi adalah hasil
pemecahan dari masalah- masalah yang ada.
Tidak mudah memang. Perlu kerjasama dari
seluruh lapisan masyarakat. Pendeknya perlu
orang sekampung untuk mewujudkan cita-cita ini.
Seperti kata Hillary Clinton perlu orang
sekampung (it takes a village) dalam mendidik dan
membesarkan seorang anak untuk menjadi anak
218 Manajemen Suku
idaman orang tua. Untuk menyongsong masa
depan dengan sistim masyarakat kita, perlu
keterlibatan masyarakat itu sendiri.
Dukungan Bupati Solok sangat besar, yang
mengakomodasi kerja tim sampai selesai.
Hadir dalam diskusi tokoh-tokoh Solok antara lain
Bapak Drs. H. Sjoerkani dan Drs. H. Hasan Basri,
Dr. Rafki Ismail. Drs. Hasan Basri bertindak
sebagai key note speaker
Rentang waktu petemuan Kayu Aro, 10 Februari 2004
dengan Mubes Solok 18-19 Januari 2005 tetap diisi
dengan diskusi-diskusi. Diskusi yang termasuk besar
melibatkan orang Minang (bukan orang Solok saja)
dilaksanakan di Lepau Kopi Sari Bundo, Menteng, 19 Juni
2004. Diskusi ini berupa dialog interaktif yang dihadiri oleh
Kepala Pemerintahan Provinsi Sumatera Barat,Busra
(mewakili Wakil Gubernur Prof DR Fachri Ahmad), Wakil
Bupati Solok, DR Elfi Sahlan Ben, Buya Mas’oed Abidin,
Soewardi Idris, Zubir Amin, Dr Saafroeddin Bahar, Amir
MS DT Mangguang Sati dan banyak tokoh lainnya. Dialog
interaktif ini terlaksana atas kerjasama Pengurus Solok
Saiyo Sakato (S3) Jakarta dsk, Kantor penghubung
Pemda Sumbar di Jakarta dan Radio Suara Minangkabau.
Menyadari bahwa diskusi-diskusi yang intens itu perlu
ditindak lanjuti, artinya telah didapat kesepakatan bahwa
perlu dibawa pada forum pelaksanaan dilapangan yakni
para wali nagari dengan dengan tokoh-tokoh adat, alim
Ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, pemuda dan
Pemda Kabupaten Solok. Untuk dipilih dan dipilah mana
yang masih perlu didalami lagi namun apa yang waktu
singkat dapat dilaksanakan

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 219


Kuatnya hubungan masyarakat Solok di Rantau dan
Ranah terlihat dalam Susunan Panitia Mubes Adat (lihat
Appendix 1).
Dengan ditetapkannya panitia pelaksana musyawarah
adat masyarakat Solok, baik yang panitia pusat yang
berasal dari perantau Solok yang ada di Jabodetabek
(Jakarta-Bogor-Depok Tangerang-Bekasi) dan Bandung,
maupun yang ada di Ranah yang berpusat di kantor
Bupati Solok (Arosuka). Maka ditetapkanlah pelaksanaan
semula direncaranakan tanggal 25-27 Desember 2004,
dengan membutuhkan dana sebesar Rp 400.000.000,--.
Dengan pertimbangan teknis dan kesiapan panitia, maka
acara tersebut ditunda sampai tanggal 18-19 Januari 2005
Musyawarah yang dilaksanakan dalam dua hari dua
malam tersebut dengan melibatkan seluruh komponen
masyarakat dapat berjalan dengan lancar, sehingga
melahirkan sebuah kesepakatan yang menumental dalam
perjalan sejarah masyawarah bagi masyarakat Solok dan
umumnya bagi masyarakat adat Minangkabau.
Musyawarah itu sangat penting artinya, karena. Pertama;
musyawarah dilaksanakan dalam era globalisasi, yang
sebagai orang telah termarginalkan dalam kehidupan
beradat dan berbudya, mereka dianggap sebagai
masyarakat pinggiran. Sebagian kalangan lagi telah
memutar “kiblat” budayanya ke arah budaya barat, yang di
abat dua puluh disebut dengan westernisasi, walaupun
kebudayaan itu belum teruji dan belum tentu
menjajanjikan keberadaanya ditengah-tengah masyarakat.
Kedua; Deklarasi yang dilahirkan dalam musyawarah
tersebut merupakan “Sumpah Sati abad 21” sekaligus
pencerahan dari pertemuan bersejarah di abad XIX.
Ketiga; Dokumen-dokumen musyawarah masyarakat adat
yang terdata dalam file kepanitiaan secara apik.
220 Manajemen Suku
Terakomodasinya semua aspirasi masyarakat melalui
sidang-sidang komisi, dan rapat pleno dalam sebuah rapat
umum. Berbeda sekali dengan pertemuan bersejarah di
abad ke 19, yang tidak ditemukan databes tentang kapan,
dimana dan berapa orang yang hadir, serta utusan dari
mana saja, tidak ditemukan bukti-bukti outentik, yang
lebih parah lagi petikan putusannyapun tidak didapatkan,
tetapi diputuskan tersebut telah menjalar bagaikan ular
kobra mengejar mangsa sampai kepelosok nagari, dan
penyebarannya dalam bentuk budaya lisan. Keempat;
Masyarakat Adat Solok telah mempelopori budaya lisan
yang menjadi kelemahan masyarkat adat selama ini,
merangkak menuju budaya tulis, terbukti dengan lahirnya
sebuah deklarasi secara tertulis secara modren, disamping
lahirnya buku manajemn suku, berupa panduan bagi
pemangku adat khususnya dan masyarakat umunya dalam
menata anak kemanakan, musyawarah itu juga telah
memicu masyarakat adat untuk menuliskan apa-apanya
tentang kaum, minimal saat mengisi buku gadang kaum.

C. Koto Baru Tempat Lahirnya


Deklarasi Abad 21
Musyawarah masyarakat adat yang melibatakan seluruh
eksponen masyarakat dari 74 nagari serta dari Solok
Selatan dan Kotamadya Solok, membutuhkan sarana dan
prasarana yang lengkap dan jalur trasnportasi yang dapat
dicapai dari segala penjuru.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas,
tambah lagi Koto Baru adalah tempat berpusatnya
administrasi Kabupaten Solok sebelum pindah ke Arosuka,
dilokasi tersebut lengkap dengan Kampus Muhammad
Yamin merupakan kampus kebanggan masyarakat Solok.

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 221


Fasilitas yang lengkap, akomodasi dan tranpostrasi serta
panitia berjalan dengan tugasnya masing-masing,
bagaikan sebuah mesin turbin beban berat akhirnya dapat
terselesaikan dengan baik. Deskripsi di bawah ini dapat
disimak mekanisme musyawarah dan tata-tertib
persidangan selama musyawarah berlangsung.
Deklarasi Koto Baru mempunyai komisi-komisi yang
terdiri dari empat komisi. Komisi I membidangi Adat
yang di ketuai oleh Firdaus Oemar Dt Marajo dengan
sekretaris komisi Maifil Eka Putra Khatib Batuah. Komisi
II Membidangi Ekonomi Suku yang di ketuai Prof Dr
Buchari Alma dan Muchlis Hamid dan Sekretaris komisi
Zulfison Malin Bandaro Kayo. Komisi III membidangi
Syarak yang di ketuai oleh Dr Mafri Amir dan Bagindo
Suarman dan sekretaris Komisi Marwan Kari Mangkuto.
Komisi IV yang membidangi rekomendasi yang diketuai
oleh Chaidir Nin Latief, SH dan sekretaris Nasfi Dt Mudo
Nan Hitam. Selengkapnya dapat disimak prosesi jalannya
Musyawarah Adat segaimana tertera di bawah ini.

1. Musyawarah terdiri dari tujuh bagian


penting
1. Upacara pembukaan (Opening Ceremony,
selasa 18 Januari 2005 jam 09.00-13.00),
terdiri dari sambutan-sambutan dan peresmian
pembukaan musyawarah oleh Bupati Solok,
dipandu oleh protokol/MC Linda (dari S3) dan
Endang (dari Pemda Kab Solok)

2. Sidang Pleno 1 (Selasa 18 Januari 2005, jam


13.00-16.15), terdiri dari penyajian 4 (empat)
makalah kunci dan penyampaian tanggapan
atas makalah-makalah tersebut oleh 4 orang
222 Manajemen Suku
penanggap (penangap tambahan Baharuddin,
SE – Komnas HAM Sumbar). Mekanismen
pelaksanaan sidang pleno I adalah sebagai
berrikut:
- Protokol mengumumkan bahwa sidang
akan dimulai dengan memanggil
pimpinan sidang (Muchlis Hamid)
Notulen Maifil Eka Putra Khatib Batuah
dan Marwan Kari Mangkuto), penyaji
makalah dan perserta sidang.
- Pimpinan sidang membuka sidang pleno I
dan mempersilakan penyaji makalah
untuk menyajikan makalahnya
- Pimpinan Sidang meminta penanggap
untuk menaggapi masing-masing makalah

3. Diskusi umum berdasarkan bahan presentasi


dan tanggapan pada sidang Pleno I Selasa 18
Januari 2005, jam 16.15-22.00 dan Rabu 19
Jan 2005, jam 08.00-12.00). dipandu oleh
moderator (Muchlis Hamid dan LKAAM Solok)
- Moderator mengumpulkan semua
pertanyaan dan tanggapan dari peserta
- Moderator memberikan waktu kepada
pembicara dan penanggap untuk
menjawab dan menjelaskan

4. Sidang Komisi Rabu, 19 Januari 2005 jam


13.30-16.00 dimulai dengan penjelasan oleh
ketua panitia (Marwan Paris) tentang 4 (empat)
komisi yaitu:
- Komisi I : Suku dan Gelar: Narasumber
Marwan Paris dan LKAAM

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 223


- Komisi II : Dukungan Ekonomi bagi
Penjabat Lembaga Suku: Narasumber
Prof. Buchari Alma, Muchlis Hamid dan
LKAAM
- Komisi III: ABS-SBK: Narasumber Prof.
DR. Asmaniar Z. Idris, DR. Mafri Amir,
dan LKAAM
- Komisi IV: Rekomendasi: Narasumber
Firdaus Oemar, Chaidir Nien Latief dan
LKAAM
Ruang sidang komisi-komisi disiapkan oleh
Muchlis Listo. Pengelompokan kelompok-
kelompok dipersipakan oleh panitia (Novia
Sari dan Nursal Nurdin) berdasarkan isian
formulir yang telah disiapkan oleh Muchlis
Hamid dan Maifil Eka Putra Khatib Batuah.
Sidang komisi meliputi:
1. Penjelasan tentang komisi oleh
Narasumber
2. Pemilihan pimpinan sidang dipandu oleh
Narasumber
3. Rangkuman hasil pembahasan setiap
komisi

5. Sidang Pleno 2 Rabu 19/01/05, jam 16.00-17.00


dipimpin oleh ketua panitia Marwan Paris yang
terdiri dari:
- Laporan setiap komisi oleh narasumber
- Tanggapan singkat dari peserta terhadap
hasil-hasil sidang komisi
- Perumusan Hasil Musyawarah Adat (tim
perumus)
Penyerahan/penyiapan Hasil Musywarah Adat
dari Ketua Panitia (Marwan Paris) kepada
Bupati Solok, dilanjutkan dengan Upacara
224 Manajemen Suku
penutupan oleh Bupati Solok (upacara dipandu
oleh Linda/Endang)

6. Press Release (Rabu, 19 Januari 2005, jam


17.00-17.30): Bupati, Katua Panitia,
Narasumber, Pimpinan Sidang
- Tempat akan ditentukan oleh Muchlis
Listo
- Media yang akan diundang akan
ditentukan oleh Muchlis Listo

7. Ceramah ABS-SBK Rabu, 10 Januari 2005, jam


19.30 22.00), akan diurus oleh LKAAM, dan
terdiri dari :
- Pembukaan oleh LKAAM
- Sambutan oleh S3
- Ceramah-ceramah

2. Tata-tertib Sidang
1. Peserta Sidang terdiri dari para utusan nagari-
nagari dilingkungan Kab. Solok. Kab Solok
Selatan dan Kotamadya Solok
2. Disamping peserta di atas, utusan nagari dari
perantauan serta tokoh-tokoh adat yang
berdomisili dan perantauan juga dianggap
sebagai peserta sidang
3. Sebagai tanda dan bukti kehadiran dan
partisipasinya, peserta sidang diharuskan
mengisi daftar hadir
4. Peserta sidang wajib mengikuti setiap acara
persidangan dari awal sampai akhir, dan jika
keluar ruangan sebelum waktunya dianggap
menyetujui keputusan sidang

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 225


5. Upacara pembukaan (Opening Ceremony)
dipandu oleh seorang MC yang ditetapkan dan
dikendalikan oleh panitia musyawarah
6. Sidang-sidang Pleno dan Diskusi Umum
dipimpin oleh seorang moderator dibantu 2
(dua) orang Notulen yang telah ditetapkan oleh
panitia musyawarah
7. Sidang-sidang komisi dipimpin oleh seorang
Moderator dibantu seorang Notulen yang
dipilih oleh anggota yang bersangkutan
8. Sebelum terpilihnya sidang-sidang Komisi,
Panitia menunjuk sejumlah nara sumber yang
akan memandu jalannya sidang, untuk
menjelaskan tentang komisi bersangkutan dan
memilih Moderator /Notulen.
9. Anggota Komisi ditetapkan berdasarkan daftar
hadir dan formulir isian, daan akan
diumumkan sebelum berjalannya sidang-sidang
komisi
10. Setiap Pimpinan Sidang berkewajiban
mengendalikan setiap penyampaian makalah
dan diskusi agar berjalan secara efesian dan
efektif.
11. Pimpinan Sidang Komisi melaporkan hasil
musyawarah komisinya masing-masing ke
sidang Pleno
12. Semua peserta musyawarah berhak
menyampaikan tanggapan dan saran secara
ringkas dan jelas berkenaan dengan materi
yang dibahas pada sidang-sidang Pleno dan
sidang-sidang komisi
13. Ringkasan (resume) dan Kesimpulan dari
Musyawarah Adat Minangkabau ini akan
dirumuskan dan disusun oleh tim perumus
yang ditetapkan oleh panitia
226 Manajemen Suku
14. Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas
Panitia akan menyampaikan beberapa
Rekomendasi kepada Bupati Solok sebagai
masukan untuk menerbitkan atau
menyempurnakan Peraturaan-peraturaan
Daerah Kebupaten Solok, Kabupaten Solok
Selatan dan Kotamadya Solok
15. Panitia bersama Bupati dan LKAAM akan
menyelengarakan Konferensi Pers untuk
mensosialisasikan hasil-hasil Musyawarah Adat
Minangkabau Solok Koto Baru, Solok, 17
Januari 2004

Ketua Panitia
Musyawarah Adat Minangkabau Solok
Irjen Pol (Purn) Drs Marwan Paris Dt Tan Langik

Dengan Mekanisme musyawarah yang jelas, dan sidang


yang terstuktur dengan baik, maka sidang dapat berjalan
dengan baik dan lancar, walapun terdapat beberapa
kendala-kendala teknis, namun hal tersebut dapat diatasi
atas kerjasama yang kompak dari semua elemen panitia.
Sejarah akan mencatat bahwa musyawarah Adat
Minangkabau Solok, telah melahirkan sebuah Deklarasi
dengan Titel “Deklarasi Koto Baru” yang merupakan
Deklarasi Masyarakat Minangkabau di Abad Ke 21,
khususnya bagi masyarakat Solok dan Masyarakat Adat
dan Budaya Minangkabau umumnya. Semoga hasil kerja
keras panitia dan segenap masyarakat Solok yang
didukung oleh Badan pemerinatahan dan lembaga terkait,
dapat disejajarkan dengan Sumpah Sati di Abad ke 19.

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 227


DEKLARASI
KOTO BARU SOLOK 2005
Kami Wali Nagari, Ketua Badan Perwakilan Nagari atau
Anak Nagari ( BMN atau BPAN), Ketua KerapatanAdat
Nagari (KAN), Pemangku Adat, Alim Ulama, Cadiak
Pandai, Bundo Kanduang dan generasi muda se
Kabupaten Solok,Kota Solok dan Perwakilan Kabupaten
Solok Selatan, setelah berkumpul dan bermusyawarah
(baiyo batido) di Gedung Solok Nan Indah Koto Baru
Solok atas kerja sama pengurus Solok Saiyo Sakato (3)
Jakarta dan sekitarnya dengan Lembaga Kerapatan Adat
Alam Minangkabau (LKAAM) Kabupaten Solok dan
Pemerintah Daerah Kabupaten Solok dari tanggal 18
sampai dengan 19 Januari 2005; musyawarah mana kami
fokuskan kepada pembahasan praktik pengelolaan suku
(Manajemen Suku) yang berlaku dewasa ini :
Pertama, bahwa menyadari derasnya arus globalisasi
yang melanda dunia, maka telah membawa dampak positif
dan negatif ke dalam kehidupan adat dan budaya
Minangkabau. Diantara dampak negatif tersebut telah
terjadi pergeseran nilai-nilai berupa lunturnya
kekerabatan, renggangnya hubungan sosial dan
berkurangnya pemahaman dan pengamatan adat dan
agama. Oleh karena itu dikhawatirkan pada suatu masa
nanti, nilai-nilai adat Minangkabau hanya tinggal slogan
dan petatah petitih dan tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya dalam kehidupan masyarakat.
Kedua, pengelolaan suku telah mengalami pergeseran
yang tidak lagi berada pada nilai-nilai dan norma adat dan
agama disebabkan melemahnya iman dantakwa kepada
Allah SWT, merosotnya pengetahuan, pemahaman dan
komitmen atas dasar serta melemahnya kemampuan
ekonomi pemangku adat. Keadaan seperti ini
228 Manajemen Suku
mengakibatkan banyaknya terjadi masalah yang tidak
selalu dapat diselesaikan dengan musyawarah – mufakat
berdasarkan bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek
mufakat, bajanjang naiek, batanggo turun. Hal ini
sekaligus menggambarkan goyahnya jembatan menuju
mufakat yang dapat menimbulkan ketidakpastian di masa
datang.
Ketiga, telah terjadi upaya-upaya pengdangkalan aqidah
dan pemurtadan oleh pihak tertentu yang telah
mengganggu dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
beragama orang Minang. Kaena itu perlu diatur cara-cara
untuk mengatasinya.
Keempat, dengan diundangkannya UU No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah, kemudian di Sumatera
Barat dijabarkan dengan Peraturan Daerah Nomor 9
tahun 2000 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari
serta Peraturan Daerah Kabupaten Solok Nomor 4 Tahun
2001 setelah di rubah dengan Peraturan Daerah Nomor 8
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Nagari, maka Ninik
Mamak, Cadiek Pandai, Alim Ulama, Bundo Kanduang
dan generasi muda memegang peranan penting dalam
mewujudkan kembalinya otonomi nagari di Minangkabau
yang berfalsafah adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah ( Al Qur’an).
Maka berkat rahmat Allah SWT dan berpedoman pada
prinsip “ bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek
mufakat”, kami bersepakat memutuskan apa yang kami
namakan Deklarasi Koto Baru Solok 2005 yang
isinya memuat hal-hal sebagai berikut :

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 229


BAB I
FALSAFAH ADAT
Pasal 1
Istilah “ Kitabullah” dalam falsafah Adat Basandi Syarak,
Syarak basandi Kitabullah dipertegas dengan Al Qur’an,
sehingga berbunyi Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah (Al Qur’an).

BAB II
MESJID DAN SURAU
Pasal 2
Tiap Nagari memakmurkan kembali Mesjid dan Surau.
Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiek Pandai, Bundo
Kanduang dn kaum muda serta Wali Nagari, KAN dan
BMN berupaya bersama-sama mengembalikan dan
meningkatkan fungsi Mesjid dan Surau sebagai tempat
beribadah dan menuntut ilmu serta pengembangan
kesenian dan ekonomi anak nagari.

BAB III
MURTAD DAN NIKAH
Pasal 3
1. Pemangku adat dalam kaum dan atau suku melarang
anak kemenakan untuk murtad (keluar dari Islam).
2. Dilarang anak kemenakan perempuan menikah
dengan laki-laki non muslim.
3. Anak kemenakan yang melakukan kawin lari, kawin
liar dan hamil sebelum nikah, maka wajib diberi
sanksi oleh kaum dan atau suku sesuai dengan adat
salingka Nagari.
4. Siapa –siapa yang melanggar ayat 1, 2 dan 3 pasal
ini, diberikan sanksi oleh pemangku adat dalam

230 Manajemen Suku


kaum atau suku sesuai dengan adat salingka
Nagari.

BAB VI
PEMIMPIN SUKU / KAUM
Pasal 4
1. Untuk menjadi pemangku adat (nan ka manjujuang
saluak dan ka mamagang karih) dalam kaum dan
atau suku disyaratkan mempunyai kemampuan
memimpin, wawasan adat dan syarak serta
mengutamakan kader yang ada di kampung.
2. Bagi pemangku adat yang tinggal di rantau, harus
memfungsikan panungkek atau pembantunya
dengan pelimpahan kuasa yang jelas dan tertulis
sesuai alua jo patuik serta diberitahukan kepada
pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Wali
Nagari.

BAB V
KERAPATAN SUKU
Pasal 5
1. Keputusan tertinggi dalam suku berada dalam
Kerapatan Suku.
2. Anggota kerapatan suku adalah urang IV Jinih
(Penghulu, Manti, Malin, Dubalang) dan urang tuo
dalam suku serta urang bajinih seperti mamak
kapalo kaum, mamak kepala warih dan Urang
Ampek Jinih (Khatib, Bilal, Imam, dan Qadhi),
Bundo Kanduang, serta generasi muda sesuai dengan
adat salingka Nagari.
3. Pelaksanaan kerapatan suku disesuaikan dengan
masalah sesuai prinsip adt: babiliek ketek jo babiliek
gadang, bamunggu –munggu kaciak, dn
bapandang-pandang bilah.
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 231
BAB VI
BUNDO KANDUANG
Pasal 6
Dalam setiap pengambilan keputusan adat, wajib
melibatkan kaum perempuan dan atau Bundo Kanduang.

BAB VII
DATA KAUM DAN SUKU
Pasal 7
1. Kaum atau suku diwajibkan membuat Buku Gadang
yang berisi paling sedikit tentang: jumlah kaum,
sejarah kaum dan atau suku, pemangku adat, data
anggota kaum dan atau suku baik yang berada di
kampung dan rantau, serta data sako dan pusako.
2. Data setiap kaum atau suku harus ada pula dalam
arsip Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan di Kantor
Wali Nagari.

BAB VIII
RANJI KAUM
Pasal 8
1. Setiap kaum dan suku diharuskan membuat ranji
menurut garis keturunan ibu (matrilineal).
2. Ranji kaum disyahkan oleh pemangku adat dalam
kaum dan atau suku, kemudian salinannya dikirim
ke pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai
pangapik pagaran tagak serta Wali Nagari sebagai
pemegang administrasi pemerintah.

232 Manajemen Suku


BAB IX
PEWARIS GALA
Pasal 9
1. Pewaris gelar (sako) pemangku adat dalam kaum dan
atau suku ditetapkan dalam musyawarah kaum dan
atau suku sesuai prinsip adat maangkek panghulu
sakato kaum, maangkek rajo sakato alam dan
badiri mungkin jo patuik.
2. Pemberian gelar dalam kaum dilewakan dalam suku
dan nagari sesuai dengan adat salingka Nagari.
3. Pemberian gelar kepada orang lain yang dibolehkan
hanya gelar sangsako.
4. Dalam pewarisan sako dan pusako tidak ada istilah
punah.

BAB X
SOAL PUSAKO
Pasal 10
1. Harta pusako tinggi tidak boleh diperjual belikan
atau digadaikan kecuali didasarkan kepada mufakat
kaum, terutama untuk keperluan: gadih gadang
indak balaki, rumah gadang katirisan, mayik
tabujua di tangah rumah, adaik tidak badiri.
2. Harta pusaka tinggi dalam kaum perlu
dipertahankan untuk mendukung ekonomi kaum.
3. Kaum yang tidak mempunyai Pusako tinggi lagi,
maka perlu diusahakan kembali dengan cara
menebus atas biaya kaum.
4. Sawah kagadangan/sawah abuan/singguluang
harus difungsikan kembali sesuai dengan aturan
adat.

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 233


BAB XI
PENYELESAIAN PERKARA
Pasal 11
1. Perkara sako dan pusako harus diselesaikan terlebih
dahulu dalam kerapatan kaum. Jika tidak selesai
dalam kerapatan kaum, di bawa ke dalam kerapatan
suku. Jika tidak selesai dalam kerapatan suku, baru
dibawa dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN) sesuai
prinsip adat bajanjang naiek, batanggo turun.
2. Apabila para pihak masih tidak dapat menerima
keputusan kerapatan kaum dan atau suku atau
Kerapatan Adat Nagari (KAN) maka para pihak
dapat meneruskan perkaranya ke Pengadilan Negeri.

BAB XII
KENDURI
Pasal 12
1. Pelaksanaan kenduri adat atau agama wajib
berpedoman kepada ketentuan syarak antara lain
dengan memperhitungkan waktu pelaksanaan
ibadah.
2. Hidangan si pangka dan pambaoan si jamu, wajib
mempertimbangkan kemampuan ekonomi anak
kemenakan.

BAB XIII
PELAMINAN DAN PAKAIAN PENGANTIN
Pasal 13
1. Pelaminan baik berupa bentuk, warna dan aksesoris
harus sesuai dengan sifat dan hakekat serta
ketentuan adat Minangkabau.
2. Pakaian pengantin wajib mempedomani aspek-aspek
adat dan syarak.
234 Manajemen Suku
BAB XIV
ATURAN BAGI PENDATANG
Pasal 14
1. Bagi pendatang yang ingin menetap di suatu nagari,
harus menempuh aturan adat inggok mancakam
tabang basitumpu dan harus mendaftar menjadi
anggota kaum/suku.
2. Jika di suatu nagari tidak ada suku yang sesuai
dengan suku asalnya, maka dia harus masuk ke
dalam suku yang serumpun.
3. Penetapan suku ini sahkan dalam kerapatan suku
dengan mengkaji sejarah suku asalnya dan
memberitahukan kepada Kerapatan Adat Nagari
(KAN).
(Catatan: Penjelasan terhadap pasal-pasal ini terdapat
pada lampiran setelah rekomendasi).

PENJELASAN TENTANG PASAL-PASAL


DALAM DEKLARASI
Pasal 1: Bermakna bahwa dasar pertama dan utama
syarak (Islam) hanya kitab suci Al Qur’an. Dasar ini perlu
ditegaskan, karena dalam Sumpah Sati Marapalam,
istilah kitabullah itu tidak ada arti lain kecuali Al Qur’an.
Pengertian ini sangat penting karena ada pihak-pihak
tertentu yang menerjemahkan istilah “Kitabullah” dengan
selain Al Qur’an.
Pasal 2: Dimaksud untuk memfungsikan kembali mesjid
dan surau agar betul-betul ditingkatkan pemamfaatanna
yang bukan saja untuk kegiatan mengaji atau mempelajari
Al Qur’an tetapi lebih dari itu didayagunakan juga sebagai
tempat menuntut ilmu dn pengembangan kesenian dan
ekonomi anak nagari.

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 235


Pasal 3: Murtad (keluar dari Islam) dan menikah dengan
laki-laki non muslim adalah dua perbuatan yang dilarang
agama Islam secara tegas. Sedangkan kawin lari adalah
melakukan kawin ke tempat lain tanpa persetujuan kedua
orang tua kedua belah pihak. Pengertian kawin liar adalah
melakukan pernikahan di bawah tangan atau tidak
menurut peraturan yang berlaku.
Pasal 4: Mengandung maksud untuk meningkatkan
kualitas dan kredibilitas pemangku adat, yang akhir-akhir
ini sebagiannya tidak mempertimbangkan wawasan dan
pengetahuan adat, agama serta skill learship (kemampuan
memimpin). Bagi pemangku adat yang menunjuk
panungkek jangan asal menunjuk seseorang tanpa
menggariskan kewenangan yang harus dilakukan.
Pasal 5: Cukup jelas.
Pasal 6: Penegasan tentang peningkatan peran serta
kaum perempuan atau Bundo Kanduang yang selama ini
sering terabaikan dalam proses dan mekanisme
pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan adat
dalam kaum dan atau suku.
Pasal 7: Maksudnya untuk mengetahui dengan jelas
hubungan keluarga dan jumlah anggota keluarga dalam
kaum dan atau suku serta untuk menghindari terjadinya
hubungan yang melanggar ketentuan adat. Disamping itu
memudahkan pengelolaan oleh Ninik Mamak Kepala
Kaum terhadap anggota-anggota berdasarkan prinsip-
prinsip rentang kendali (span of control) manajemen
kaum dan atau suku. Selanjutnya memperjelas kedudukan
sako dan pusako dalam kaum dan atau suku agar
terhindar dari tuntutan-tuntutan sepihak dri orang tidak
berhak sepanjang adat.
Pasal 8: Cukup Jelas

236 Manajemen Suku


Pasal 9: Mengandung pengertian bahwa mengangkat
seseorang menjadi pemangku adat harus sepakat kaum
dan suku. Pemberian gelar tersebut harus diberitahukan
kepada orang banyak. Orang selain Minang hanya
dibenarkan menyandang gelar adat sangsoko, yang
hanya boleh di pakai seumur orang bersangkutan atau
tidak boleh dipakai secara turun temurun. Dalam soal
waris tidak dipakai istilah punah agar jangan terjadi
perebutan sako dan pusako oleh orang lain.
Pasal 10: Berarti tidak boleh menjual atau menggadai
tanpa alasan yang empat tersebut. Pusako tinggi yang
cenderung habis perlu dipertahankan dan diupayakan
untuk dihidupkan kembali dengan menebus secara
bersama sesama anggota kaum. Sawah
kagadangan/sawah Abuan/Singguluang perlu
dibudayakan untuk menunjang ekonomi pemangku adat
dalam melaksanakan kegiatan adat dalam nagari.
Pasal 11: Penyelesaian perkara pusako akhir-akhir ini
cenderung langsung ke Pengadilan Negeri. Hal ini sebagai
indikasi lemahnya peran dan kualitas pemangku adat
dalam kaum, suku dan KAN atau ada kesengajaan untuk
meninggalkan peran pemangku adat oleh anggota
kaumnya. Ada tanda-tanda goyahnya jembatan menuju
mufakat. Maka pasal ini sekaligus akan dapat
meningkatkan kualitas dan peran pemangku adat dalam
kaum, suku dan KAN dalam menyelesaikan perkara
pusako.
Pasal 12: Pelaksanaan kenduri adat atau agama sering
tidak memperhatikan waktu ibadah an menyamaratakan
kebiasaan bawaan tamu (sumandan-sumandan) dan
hidangan tuan-tuan rumah. Hal ini berakibat buruk
terhadap anggota kaum yang mempunyai ekonomi lemah.

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 237


Pasal 13 ayat 1: Sebagai penegasan agar corak, warna
dan penempatan aksesoris pelaminan agar benar-benar
mempedomani ketentuan adat asli karena pada
kenyataannya akhir-akhir ini terutama di daerah
perkotaan atau rantau sering dimodifikasi dengan
meninggalkan corak asli adat Minangkabau.
Pasal 14: Dimaksudkan untuk memelihara keutuhan
kaum dan suku di Minangkabau sehingga tak ada
penduduk suatu Nagari yang tidak mempunyai suku.

REKOMENDASI
Berdasarkan pasal-pasal di atas, maka untuk
mengoperasikannya kami peserta musyawarah adat
merekomendasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Diharapkan kepada Ninik Mamak pemangku adat
dalam kaum agar melarang anggota kaumnya
mengembangkan gagasan-gagasan dan gerakan yang
tidak sesuai dengan adat dan agama seperti: berjudi,
minuman keras, pornografi, pornoaksi dan lain-lain.
2. Diminta kepada Ninik Mamak pemangku adat, Alim
Ulama, Cadiek Pandai, Bundo Kanduang dan kaum
muda supaya meningkatkan pengetahuan agama dan
adat anak kemenakan dengan memakmurkan mesjid
dan surau, menginventarisasi jumlah seluruh serta
fungsi dan kegiatannya.
3. Diminta kepada Wali Nagari, Kerapatan Adat Nagari
dan Ninik Mamak agar menghidupkan kembali
pencak silat dan kesenian anak nagari lainnya untuk
memperkuat kembali budaya Minangkabau.

238 Manajemen Suku


4. Diminta kepada Wali Nagari, Kerapatan Adat Nagari
dan Ninik Mamak menginventarisasi tanah ulayat
nagari dan tanah ulayat kaum.
5. Diminta kepada semua pihak (Wali Nagari, KAN,
BMN, Ampek Jinih, Kepala Jorong, Penghulu,
Andiko) untuk melaksanakan pencatatan anak
kemenakan dengan menyelenggarakan Buku Gadang
Kaum dan Suku.
6. Diminta kepada seluruh pihak seperti LKAAM, S3,
Pemerintah Daerah dan lain-lain untuk memberikan
perhatian kepada pelaksanaan dakwah Islam,
mengkader juru dakwah jadi berkualitas, pertukaran
juru dakwah antara kampung dan rantau atau
sebaliknya.
7. Diminta kepada seluruh pihak seperti LKAAM, BMN,
Pemerintah Daerah, S3 dan perhimpunan perantau
lainnya untuk memberikan perhatian kepada upaya
meningkatkan kemampuan ekonomi Khatib, Imam,
Bilal, Qadhi dan juru dakwah sehingga masing-
masing dapat menjalankan tugas dengan baik dan
sungguh-sungguh.
8. Diminta kepada seluruh pihak seperti LKAAM, S3,
Pemerintah Daerah dan lain-lain untuk melakukan
penataran dan pengajaran adat di kampung dan di
rantau.
9. Diharapkan kepada kaum perempuan dan Bundo
Kanduang untuk selalu meningkatkan peran dan
fungsinya sebagai limpapeh rumah nan gadang,
ambun puruak pagangan kunci di tengah
masyarakat dalam bidang adat dan agama serta
kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 239
10. Diharapkan kepada Pemangku Adat dalam suku agar
membuat aturan-aturan dalam suku dan atau nagari
secara tertulis untuk dipedomani oleh anak
kemenakan di kampung dan di rantau.
11. Diminta kepada Pemerintah Daerah agar
meningkatkan perhatian dan bantuan untuk
keperluan pembinaan adat dan agama.
12. Diminta kepada tokoh adat dan agama serta Bundo
Kanduang untuk menjaga martabat dan muruah
menurut adat dan agama.
13. Untuk meningkatkan tarif ekonomi kaum atau suku,
maka perlu di usahakan bentuk-bentuk usaha
ekonomi seperti mendirikan Baitul Ma Wal Tamwil
(BMT), Badan Usaha Milik Nagari (BUMNi) atau
lumbung pitih kaum/suku/Nagari. Dalam hal ini,
Pemerintah dan para pakar diharapkan dapat
membantu untuk membuatkan pedoman )TOR)
sehingga unit usaha dalam kaum/suku/Nagari dapat
berjalan dengan baik. Usaha-usaha dagang termasuk
jasa perlu di galakkan, karena sembilan dari sepuluh
pintu rezeki ada pada usaha dagang ( Al Hadist).
14. Diharapkan kepada anggota kaum, suku, Jorong atau
nagari yang akan meminta sumbangan di kampung
dan atau di rantau, haruslah berdasarkan
musyawarah mufakat dalam kaum, suku, jorong atau
nagari.
15. Dihimbau kepada masyarakat dan Pemerintah
Daerah di seluruh Sumatera Barat serta S3 dan
Perhimpunan Perantau Minang di mana pun berada
untuk meningkatkan pemahaman terhadap adat dan
budaya Minangkabau.
240 Manajemen Suku
Koto Baru, Solok, 19 Januari 2005.

MUSYAWARAH ADAT MINANGKABAU


KOTO BARU, SOLOK

Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)


Kabupaten Solok

Ketua, Sekretaris,

H. Gusmal, SE.,M.M. Dt. Rajo Lelo Naspi, SH., MM. Dt. Mudo Nan Hitam

Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta dsk

Ketua Umum, Sekretaris Umum,

Irjen Pol. Drs. Marwan Paris Dt.Tan Langik Muchlis Hamid, SE., MBA Rajo Dewan

Bupati Solok

H. Gamawan Fauzi, SH., MM., Dt. Rajo Nan Sati

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 241


Appendix 1.

SUSUNAN PANITIA MUSYAWARAH ADAT DI KOTO


BARU, SOLOK, 18 -19 Januari 2005

Penasehat : Bupati Solok, Gamawan Fauzi Dt. Rajo Sati


Wakil Bupati Solok, Dr Syahlan Ben Dt
Rajo Nan Sati
Ketua LKAAM Kab. Solok, Gusmal Dt. Rajo
Lelo
Pembina Solok Saiyo Sakato (S3), Firdaus
Oemar Dt. Marajo
Dr. Oesman Sapta Dt. Bandaro Sutan
Nan Kayo
Prof. Dr. Asmaniar Z. Idris
Tien Nugroho

Panitia Pusat
Ketua Umum : Irjen Pol (Purn) Marwan Paris
Dt. Maruhun Saripado
Ketua : Muchlis Listo
Ketua Rizal Mandah Ali
Sekretaris : Muchlis Hamid
Bendahara : Upi Tuti Sundari
Bid. Transportasi : Rizal MA
Zairul Malin Bandaro
Bidang Acara : DR Ir Chairul Nas, MSc
Bidang Seminar : Drs Mustafa Kadir
Marwan Kari Mangkuto
Maifil E. Putra Khatib Batuah
Zulfison Malin Bandaro Kayo

242 Manajemen Suku


Panitia Setempat
Pelindung : 1. Bupati Solok
2. Wakil Bupati Solok

Penanggung Jawab:
1. Pengurus Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta dsk
2. Ketua LKAAM Kab. Solok
3. Ketua Bundo Kanduang Kab. Solok

Panitia Pelaksana:
Ketua : H. B. Dt. Kayo Bagindo Kayo
Wakil Katua I : Drs. Tamyus Dt. Garang
Wakil Katua II : Naspi, SH Dt. Mudo Nan Itam
Wakil Katua III : Edi Salim Dt. Basa

Sekaretaris : E. S. Marah Baganti


Wakil Sekretaris I : Dayusman H. Basa
Wakil Sekretaris II : Nafri
Bendahara : Drs. Suherman Ch Sutan
Wakil Bendahara : Sudirman
Seksi-seksi:
A. Seksi Acara dan Kesenian :
Ketua : S. Chan Dt. Bandaro Itam
Anggota : M. Natsir
G. Kusuma Wardam
Arizal
Fatneza S. Pd
Endang Wijaya
Nioki Desmi
Camat Kubung
Nazaruddin Dt. Rajo Panjang
B. Seksi Silaturrahmi & Seminar
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 243
Ketua : H. Bagindo Suarman SH, MM
Anggota : H. A.A. T. Gagah
Bustanul Arifin Dt Bandaro Kayo
Z.A. Dt. Tumanggung
Nasmar Dt. Malintang Sati
R. Dt. Bandaro Hitam
N. Dt. Bandaro Nan Kuniang
A. Dt. Rajo Intan
Arizon Dt. Bandaro
Syamsuir Ml. Sutan

C. Seksi Perlengkapan & Transportasi


Ketua : H. Nasrul D
Anggota : Sofyan Hamid
Z. St. Bagindo Sati

D. Seksi Konsumsi & Dekorasi


Ketua : Nurlis BA
Anggota : Peng. Bundokanduang Kab. Solok
Irdawati
Taufia Isnur
RosMalini
Delis Yarni
Eka Kristina S. Pd
Dra. Yuliza
Sutirta Sy
Nurhasti Yeni S. Pd

E. Seksi Humas & Tamu


Ketua : Devi Kurnia SH. M.M
Anggota : Syofyan Kudan
Mukhlis SH
Drs. Jhoni Afrizal Dt. Hitam
244 Manajemen Suku
Rusmel Dt. Sati
Masnur Adam
Nelly Warni
H.Y. Dt. Mudo Nan Kusuik
Safnil Kasti Dt. Gadang

F. Seksi Keamanan
Ketua : Edisar (Ka. Salpol PP)
Anggota : Kapolsek Kubung
Masri Kosasi Dt. Rajo Malano
Sarmaini Dt. Sampono Alam
Masrli Malingka Bulan
Ajis Dt. Rajo Panghulu

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 245


Appendix 2:

BIDANG-BIDANG KOMISI

I. Komisi Suku dan Gelar:


Ketua: Syahrial Chan Dt Bandaro Hitam
Pendamping:
1. Chaidir Nin Latief, SH., M.Si Dt Bandaro
2. Irjen Pol (Purn) Marwan Paris Dt Tan Langik
3. Nazaruddin Samin Dt. Rajo Intan
Notulen:
1. Maifil Eka Putra, S.Ag Katib Batuah
2. Drs Hamdullah Salim

II. Komisi Ekonomi:


Ketua: Naspi: SH DT Mudo Nan Hitam
Pendamping:
1. R. Dt bandaro Hitam
2. Prof Dr Buchari Alma Dt Rajolelo
3. Muchlis Hamid, SE., MBA
Notulen:
1. Drs Mustafa Kadir
2. Zulfison Malin S.Ag Bandaro Kayo,
III. Komisi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Ketua: H. Bagindo Suarman, SH,. MM
Pendamping:
1. Dr Mafri Amir, MA
2. Upi Tuti Sundari Usman
Notulen:
1. Nofri
2. Marwan Kari Mangkuto, S.Ag

IV. Rekomendasi:
Ketua: Chaidir Nin Latieh, SH., Msi Dt Bandaro
Pendamping:
1. H. Firdaus Oemar DT Marajo

246 Manajemen Suku


2. Irjen Pol (Purn) Marwan Paris Dt Tan Langik
3. 2 orang floor (dari Solok)/
Anggota:
1. H. Gusmal, SE., MM Dt Rajo Lelo.
2. H. Bagindo Suarman, SH
3. Muchlis Hamid
4. Dr Mafri Amir, MA
5. H. B. DT Kayo
6. B.S. Marah Baganti
7. Arizon L Dt Bandaro
8. Prof. Dr Buchari Alma Dt Rajolelo
9. Syahrial Chan Dt Bandaro Hitam
10. Nazaruddin Samin Dt Rajo Intan
11. Naspi Dt Mudo Nan Hitam, SH
12. R. Dt Bandaro Hitam
13. Drs H. Fachroeddin Jahja

Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 247

You might also like