You are on page 1of 7

Sistem Pertanian Berkelanjutan

Pendekatan dan praktek pertanian konvensional yang dilaksanakan di sebagian besar negara maju dan negara sedang berkembang termasuk Indonesia merupakan praktek pertanian yang tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pertanian konvensional dilandasi oleh pendekatan industrial dengan orientasi pertanian agribisnis skala besar, padat modal, padat inovasi teknologi, penanaman benih/varietas tanaman unggul secara seragam spasial dan temporal, serta ketergantungan pada masukan produksi dari luar yang boros energi tak terbarukan, termasuk penggunaan berbagai jenis agrokimia (pupuk dan pestisida), dan alat mesin pertanian. Secara teoritis dan perhitungan ekonomi penerapan pertanian konvensional dianggap sebagai alternatif teknologi yang tepat untuk menyelesaikan masalah kekurangan pangan dan gizi serta ketahanan pangan yang dihadapi penduduk dunia. Setelah sekitar setengah abad kita menerapkan dan mengembangkan pertanian konvensional, sederetan daftar panjang dampak negatif telah dilaporkan dan dikemukakan oleh berbagai lembaga, peneliti dan perseorangan pada aras internasional, nasional dan lokal. Berbagai dampak ekologi, ekonomi, sosial, budaya dan kesehatan masyarakat semakin meragukan masyarakat dunia akan keberlanjutan ekosistem pertanian dalam menopang kehidupan manusia pada masa mendatang. Pendekatan pragmatis peningkatan produksi pangan jangka pendek cenderung mendorong dan meningkatkan praktek pengurasan dan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran dan terus menerus sehingga mengakibatkan semakin menurunnya daya dukung lingkungan pertanian dalam menyangga kegiatan-kegiatan pertanian. Dalam usaha mengalihkan konsekuensi-konsekuensi negatif pertanian konvensional, beberapa format sistem pertanian berkelanjutan yang berbeda telah direkomendasikan sebagai alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan sistem produksi pertanian yang dapat menguntungkan secara ekonomi dan aman secara lingkungan. Kepentingan

dalam sistem pertanian alternatif ini sering dimotivasi dengan suatu keinginan untuk menurunkan tingkat kesehatan lingkungan dan kerusakan lingkungan dan sebuah komitmen terhadap manajemen sumberdaya alam yang berkeadilan. Tetapi kriteria yang paling penting untuk kebanyakan petani dalam mempertimbangkan suatu perubahan usaha tani adalah keingingan memperoleh hasil yang layak secara ekonomi. Adopsi terhadap metode pertanian alternatif yang lebih lebar ini membutuhkan bahwa metode tersebut sedikitnya sama kualitasnya dalam memperoleh keuntungan dengan metode konvensional atau memiliki keuntungankeuntungan non-keuangan yang signifikan, seperti sebagai usaha menjaga penurunan kualitas sumberdaya air dan tanah secara cepat. Riset dan pendidikan bergerak terbatas diantara para peneliti atau mahasiswa. Sebagaimana seorang mahasiswa menjadi lebih baik diberikan pendidikan mengenai pengetahuan praktis pertanian berkelanjutan, lebih memiliki minat dan dana akan ditingkatkan untuk mendukung riset selanjutnya. Jaminan peneliti dan ketersediaan dana penelitian ini akan lebih memberikan harapan untuk meningkatkan minat pada pendidikan yang memandu riset selanjutnya secara umum. Pooling pendapat yang dilakukan mahasiswa di sejumlah fakultas seluruh Amerika menunjukkan ketertarikan pada pertanian berkelanjutan. Kebanyakan mereka mempertanyakan masalah-masalah pertanian berkelanjutan sebagai sebuah pemikiran yang tidak dapat diadopsi dalam program agroekologi. Mereka memberikan komentar bahwa penurunan dampak lingkungan akibat usaha pertanian berkelanjutan sebagai sebuah keuntungan yang besar dari meninggalkan usaha pertanian konvensional. Lebih banyak riset yang dilakukan pada pertanian berkelanjutan ini, program-program pendidikan yang lebih baik akan dapat dilaksanakan di wilayah ini. Ketika perubahan dari kegiatan pertanian konvensional ke pertanian berkelanjutan dilaksanakan, perubahan sosial dan struktur ekonomi juga akan terjadi. Pada saat input menurun, terdapat hubungan yang menurun pula pada hubungan kerja terhadap

mereka yang selama ini terlibat dan mendapatkan manfaat dari pertanian konvensional. Hasilnya adalah terdapat banyak kemungkinan yang dapat ditemukan yaitu meningkatnya kualitas hidup, dan peningkatan kegiatan pertanian mereka. Dalam mengadopsi input minimal (low input) sistem-sistem berkelanjutan dapat menunjukkan penurunan potensial fungsi-fungsi eksternal atau konsekuensikonsekuensi negatif dari jebakan sosial pada masyarakat. Petani sering terperangkap dalam perangkap sosial tersebut sebab insentif-insentif yang mereka terima dari kegiatan produksi saat ini.

Pengertian Pertanian Berkelanjutan Banyak definisi mengenai Pertanian Berkelanjutan dikemukakan oleh lembaga, pakar atau persorangan. Menurut FAO yang disebut Pertanian Berkelanjutan adalah setiap prinsip, metode, praktek, dan falsafah yang bertujuan agar pertanian layak ekonomi, secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial dapat diterima, berkeadilan, dan secara sosial budaya sesuai dengan keadaan setempat, serta dilaksanakan dengan pendekatan holistik. Menurut Thrupp (1996) Pertanian Berkelanjutan sebagai praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggung-jawabkan yang secara skematis digambarkan oleh Gambar 1. Pertanian Berkelanjutan merupakan sistem usaha tani yang mampu mempertahankan produktivitas, dan kemanfaatannya bagi masyarakat dalam waktu yang tidak terbatas. Sistem demikian harus dapat mengkonservasikan sumberdaya, secara sosial didukung, secara ekonomi bersaing, dan secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan. Pertanian Berkelanjutan mengutamakan pengelolaan ekosistem pertanian yang mempunyai diversitas atau keanekaragaman hayati tinggi. Menurut FAO Agricultural Biodiversity meliputi variasi dan variabilitas tanaman, binatang dan jasad renik yang diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi kunci ekosistem pertanian, struktur dan prosesnya untuk memperkuat/ dan memberikan sokongan pada produksi pangan dan

keamanan pangan. (Ukabc, 2007) Ekosistem dengan kenekaragaman tinggi lebih stabil dan tahan gocangan, risiko terjadinya kerugian finansial lebih kecil, dapat mengurangi dampak bencana kekeringan dan banjir, melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit dan kendala alam lainnya. Diversifikasi juga dapat mengurangi cekaman ekonomi akibat peningkatan harga pupuk, pestisida dan inputinput produksi lainnya. Ketahanan Pangan merupakan salah satu tujuan utama Pertanian Berkelanjutan. Secara konseptual maupun historikal konsep Ketahanan Pangan merupakan bagian utama konsep Pertanian Berkelanjutan. Agenda 21 menyatakan bahwa Tujuan utama program Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan (SARD) adalah meningkatkan produksi pangan dengan cara yang berkelanjutan serta memperkuat ketahanan pangan. Dalam Pertanian Berkelanjutan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dilaksanakan secara berkelanjutan dengan dampak yang seminimal mungkin bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat serta kualitas hidup penduduk di pedesaan. Program ini meliputi berbagai kegiatan mulai dari prakarsa pendidikan, pemanfaatan insentif ekonomi, pengembangan teknologi yang tepat guna hingga dapat menjamin persediaan pangan yang cukup dan bergizi, akses kelompok-kelompok rawan terhadap persediaan pangan tersebut, produksi untuk dilempar ke pasar, peningkatan pekerjaan dan penciptaan penghasilan untuk mengentaskan kemiskinan, serta pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan. Peningkatan produksi pangan harus dilakukan dengan cara-cara yang berkelanjutan tidak mengurangi dan merusak kesuburan tanah, tidak meningkatkan erosi, dan meminimalkan penggunaan dan ketergantungan pada sumberdaya alam yang tidak terbarukan, mendukung kehidupan masyarakat pedesaan yang berkeadilan,

meningkatkan kesempatan kerja serta menyediakan kehidupan masyarakat yang layak dan sejahtera, mengurangi kemiskinan dan kekurangan gizi, tidak membahayakan kesehatan masyarakat yang bekerja atau hidup di lahan pertanian, dan juga kesehatan

konsumen produk-produk pertanian yang dihasilkan, melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lahan pertanian dan pedesaan serta selalu melestarikan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati, memberdayakan dan memandirikan petani dalam mengambil keputusan pengelolaan lahan dan usaha taninya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sendiri, memanfaatkan dan melestarikan sumber daya lokal dan kearifan masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya alam.

Konsep terapan pertanian terpadu akan menghasilkan F4 yang sebenarnya adalah langkah pengamanan terhadap ketahanan dan ketersediaan pangan dan energy secara regional maupn nasional, terutama pada kawasan-kawasan remote area dari jajaran kepulauan Indonesia. F4 tersebut terdiri dari: 1. F1 FOOD : Pangan manusia (beras, gandum, jagung, kedelai, kacang kacangan , dan lain lain produk peternakan (daging, susu, telor dll) , produk budiaya ikan air tawar (lele, mujair, nila, gurameh dll) dan hasil perkebunan (kopi, teh, gula dll) 2. F2 FEED : Pakan ternak termasuk didalamnya ternak ruminansia (sapi, kambing, kerbau, kelinci ), ternak unggas (ayam, itik, entok, angsa, burung dara dll) juga pakan ikan budidaya air tawar terutama ikan herbivore dan omnivora yang tidak perlu protein konten tinggi ( mujair, tombro, bandeng, nila dan gurameh). 3. F3 FUEL : Akan dihasilkan energi dalam berbagai bentuk mulai energi panas untuk kebutuhan domestik/masak memasak, energi panas untuk industri makanan di kawasan pedesaan juga untuk industry kecil, juga akan dihasilkan power energy misalnya pure plant oil (PPO) atau dicampur menjadi bio diesel, ethanol dan gasohol, synthetic gas yang dihasilkan dari pirolisis gasifikasi maupun enzimasi gasifikasi dan juga pemakaian tenaga langsung lembu untuk

penarik pedati, kerbau untuk mengolah lahan pertanian sebenarnya adalah produk berbentuk FUEL/ENERGY. 4. F4 FERTILIZER : Akan dihasilkan juga bio fertilizer yang semua juga memahami bahwa bio/organic fertilizer bukan hanya sebagai penyubur tetapi juga sebagai perawat tanah (SOIL CONDITIONER), yang dari sisi keekonomisan maupun karakter hasil produknya tidak kalah dengan pupuk buatan (anorganic fertilizer) bahkan pada kondisi tertentu akan dihasilkan bio pestisida (dari asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis gasifikasi) yang dapat dimanfaatkan sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (bio preservative).

Konsep dan Prinsip Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) Pengelolaan Hama terpadu (PHT) adalah suatu cara pendekatan, cara berfikir atau falsafah pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang bertanggung jawab ( Untung, 1993). Konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) merupakan suatu pemikiran atau cara pendekatan pengendalian hama yang secara prinsip berbeda dengan konsep pengendalian hama secara konvensional yang sangat tergantung pada penggunaan pestisida. Konsep PHT timbul dan berkembang di seluruh dunia karena kesadaran manusia terhadap bahaya penggunaan pestisida yang terus meningkat bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Kesadaran global akan pentingnya kualitas lingkungan hidup sebagai bagian pemenuhan kesejahteraan hidup telah mendesak akan perlunya diadakan perubahan mendasar tentang berbagai penggunaan bahan kimia berbahaya seperti pestisida. Apabila penggunaan pestisida harus dikurangi maka masalah yang kemudian muncul dan dihadapi oleh petani adalah bagaimana cara penggunaan pestisida dapat dikurangi tetapi kehilangan atau kerugian hasil akibat serangan hama dapat dihindari. Konsep PHT merupakan alternatif yang tepat untuk menjawab dilema tersebut, karena PHT bertujuan membatasi penggunaan

pestisida sesedikit mungkin tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi pertanian masih dapat dicapai (Luna and Garfield, 1990) . Untung (1995) menyebutkan beberapa prinsip teknologi PHT yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari sistem usahatani yang berkelanjutan yaitu : (1) Pengelolaan ekosistem pertanian dengan perpaduan optimal teknik-teknik pengendalian hama dan meminimalkan penggunaan pestisida sintetis yang berspektrum luas. (2) Promosi dan dukungan pengendalian hayati yang dapat menekan populasi hama sampai pada aras keseimbangan (3) Kegiatan-kegiatan lapangan PHT seperti pemantauuan, analisis ekosistem, pengambilan keputusan dan interval pengendalian hama. (4) Teknologi PHT harus bersifat lokasi spesifik dan sesuai dengan keadaan sosial-ekonomi masyarakat. (5) Teknologi PHT adalah praktis, mudah dipelajari dan diadopsi oleh petani yang kemungkinan kondisi lapangannya berbeda-beda.

You might also like