You are on page 1of 25

KEPERAWATAN SISTEM PENCERNAAN KASUS 2 APENDISITIS

Disusun oleh: Kelompok II

S1 ILMU KEPERAWATAN PROGRAM B SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA 2012

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS A. Konsep Medis 1. Pengertian a. Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. b. Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. c. Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir. 2. Klasifikasi a. Apendisitis akut Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat berupa : 1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.

2) Fekalit 3) Benda asing 4) Tumor Adanya obstruksi mengakibatkan mucin/ cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus/ nanah pada dinding apendiks.Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks. b. Appendicitis Purulenta (Supurative Appendicitis) Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum. c. Apendisitis kronik Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.

Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen. d. Apendisitis rekurens Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut. e. Mukokel Apendiks Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi. f. Tumor Apendiks 1) Adenokarsinoma apendiks Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke

limfonodi regional, dianjurkan apendektomi. 2) Karsinoid Apendiks

hemikolektomi kanan yang akan

memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya

Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas. Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan. 3. Anatomi dan Fisiologi

Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis. Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat. Posisi apendiks berada pada Laterosekal yaitu di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke arah di dinding abdomen. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbed bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas

tetap terletak di peritoneum. Ukuran panjang apendiks rata-rata 6 9 cm. Lebar 0,3 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung amilase dan musin. Pada kasus apendisitis, apendiks dapat terletak intraperitoneal atau retroperitoneal. Apendiks disarafi oleh saraf parasimpatis (berasal dari cabang nervus vagus) dan simpatis (berasal dari nervus thorakalis X). Hal ini mengakibatkan nyeri pada apendisitis berawal dari sekitar umbilicus. Saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) dimana memiliki/berisi kelenjar limfoid. Apendiks menghasilkan suatu imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue), yaitu Ig A. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi, tetapi jumlah Ig A yang dihasilkan oleh apendiks sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah Ig A yang dihasilkan oleh organ saluran cerna yang lain. Jadi pengangkatan apendiks tidak akan mempengaruhi sistem imun tubuh, khususnya saluran cerna

4.

Epidemiologi a. Richardson (2004) : penelitian di Afrika Selatan menunjukkan angka kejadian apendicitis : 1) 5/1000 penduduk di pedesaan 2) 9/1000 penduduk di peri urban 3) 18/100 penduduk di perkotaan b. Addins (1996) : penelitian di USA menunjukkan kejadian apendicitis tertinggi pada usia 10-19 tahun. c. Omran (2003) penelitian di Kanada menunjukkan perbandingan apendicitis pria : wanita adalah 8,8 : 6,2 per 1000 penduduk.

d. Dombal (1994) : penelitian di USA, terjadi penurunan kasus apendicitisdari 100 menjadi 52 per 100.000 penduduk pada tahun 1987-1994. 5. a. Etiologi Menurut Syamsu Hidayat (2004) 1) Fekalit 2) Tumor appendiks 3) Cacing askaris 4) Erosi mukosa appendiks 5) Hiperplasi jaringan limfe b. 1) 2) 3) 4) 5) c. Menurut Mansjoer (2000) Hiperplasi folikel limfoid Fekalit Benda asing Striktur karena fibrosis Neoplasma Menurut Markum (1996) 1) Fekalit 2) Parasit 3) Hiperplasia limfoid 4) Stenosis fibrosis 5) Tumor karsinoid 6. Patofisiologi
Inflamasi sekunder di tempat lain, stenosis, tumor, fekalit, diet rendah serat Obstruksi intraluminal

Terhambatnya aliran mukus

Kompresi dari pembuluh darah, iskemia

- Absorbsi tidak sempurna feses tidak terbentuk seperti biasanya diare Motilitas usus menurun karena obstruksi konstipasi Letak apendiks yg menempel pada saluran kemih disuria

Ulserasi dari epitel apendiks

Invasi bakteri menyebabkan inflamasi

Nekrosis

- Mual, muntah - Peningkatan suhu - Nyeri tekan di titik Mc Burney - Leukositosis - Diare

Pembedahan

Perforasi apendiks, abses apendiks, ruptur apendiks

Resolusi Pembedahan untuk mengeringkan rongga peritoneum menghilangkan tekanan abdomen Peritonitis, obstruksi usus, syok hipovolemik, ileus, sepsis

(Karla, L. Luxner, 2005)

7.

Tanda dan Gejala Gejala utama pada appendisitis adalah nyeri perut. Rasa sakit ini disebabkan oleh penyumbatan appendiks, karena itu sifatnya sama seperti pada obstruksi usus. Pada mulanya nyeri perut ini hilang timbul seperti kolik (mulas mendadak dan hebat) dan terasa di epigastrium atau regio umbilikus. Bila penderita flatus atau buang air besar, rasa sakitnya berkurang. Biasanya disertai mual, anoreksia dan muntah merupakan hal yang khas. Muntah terjadi segera setelah rasa sakit dan pada mulanya timbul secara refektoris. Biasanya terjadi konstipasi, tetapi pada anak-anak dan pada penderita yang

appendiksnya dekat dengan rektum sering terjadi diare karena omentum masih pendek dan tipis, appendiks yang relatif panjang, dinding appendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang. Bila proses radang telah menjalar ke peritonium parietal setempat, maka akan timbul nyeri lokal pada perut kanan bawah di daerah Mc Burney seperti nyeri tekan, nyeri lepas, defens muskuler dan timbul nyeri rangsangan peritonium tidak langsung, yaitu nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (rovsing). Nyeri perut kanan bawah bila ditekan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg) dan setiap gerakan yang menyebabkan daerah itu ikut bergerak atau teregang akan menimbulkan nyeri seperti saat berjalan, batuk, mengejan, bahkan nafas dalam. Nyeri bersifat tajam dan terus-menerus. 8. Pemeriksaan diagnostik a. Pemeriksaan fisik 1) Inspeksi : adanya distensi pada abdomen 2) Auskultasi : jika terjadi peritonitis maka akan terjadi penurunan peristaltik 3) Perkusi : akan terasa nyeri jika sudah terjadi peritonitis 4) Palpasi : Nyeri tekan pada perut kanan bagian bawah 5) Obturator: Fleksi panggul dan rotasi interna panggul 6) Uji psoas: hiperekstensi sendi panggul b. Laboratorium 1) Darah lekosit akan terjadi peningkatan lekosit lebih dari 10.000. 2) Urin ditemukan jumlah lekosit dan bakteri yang diterlihat. c. Radiologi 1) Foto polos abdomen setelah enema barium akan nampak jika appendik tidak terisi oleh kontras dicurigai adanya sumbatan. 2) Ultrasonografi akan terlihat adanya sumbatan atau infeksi.

9.

Penataksanaan medik Pembedahan diindikasikan bila diagnosa appendisitis telah ditegakkan. Pada abses appendiks dilakukan drainase. Antibiotik dan cairan intra vena diberikan diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Appendiktomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Appendiktomi dapat dilakukan di bawah anestesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Jika keadaan memungkinkan appendiks dibuang sekaligus, tapi jika keadaan tidak memungkinkan harus ditunggu 2-3 bulan baru appendiksnya diangkat melalui operasi kedua. Perawatan pasca operasi yaitu puasa sampai terdengar bising usus dan flatus baru boleh diberi bubur saring.

10.

Komplikasi a. Peritonitis b. Ruptur Appendik c. Syok Hipovolemik d. Illeus e. Sepsis

11.

Prognosis Dilakukan tindakan appendiktomy akan lebih baik sebelum terjadi perforasi.Setelah infeksi masih dapat terjadi infeksi lagi 30% dari kasus appendik perforasi dan appendik ganggrenosa. Prognosa mortalitas 0,1% jika appendik tidak pecah,dan 15% jika appendik pecah.kematian biasanya oleh karena sepsis atau emboli paru.

B. 1.

Konsep dasar Keperawatan Pengkajian Keperawatan a. Dapatkan riwayat penyakit dengan cermat. b. Observasi adanya manifestasi klinis appendicitis. 1) Nyeri abdomen kuadran kanan bawah. 2) Demam,abdomen kaku 3) Bising usus menurun atau tidak ada 4) Muntah (umumnya mengikuti awitan nyeri ) 5) Konstipasi atau diare dapat terjadi. 6) Anorexia. 7) Takikardi atau diare dapat terjadi. 8) Pucat,letargi. 9) Peka rangsang 10) Postur bungkuk. c. Observasi adanya tanda-tanda peritonitis 1) Demam 2) Hilangnya nyeri secara tiba-tiba setelah perforasi 3) Peningkatan nyeri,yang biasanya menyebar dan disertai kaku abdomen. 4) Distensi abdomen progresif

5) Takikardi 6) Pernafasan cepat dan dangkal 7) Pucat 8) Mengigil 9) Peka rangsang d. Bantu dengan prosedur diagnostik seperti hitung darah putih dan radiografi abdomen. 2. Diagnosa Keperawatan Pre op a. Nyeri Akut berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi atau adanya insisi bedah. b. Hipertermi c. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan d. Intoleransi aktivitas e. Ansietas f. Defisiensi pengetahuan g. Risiko cedera h. Konstipasi i. Diare j. Resiko syok k. Resiko kekurangan volum cairan l. Mual, muntah m. Disfungsi motilitas gastrointestinal Post op

a. Resiko Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama; perforasi/ rupture pada appendiks; peritonitis; pembentukan abses, Prosedur infasif, insist bedah. b. Kekurangan tidur c. Kurang prngetahuan tentang kondisi dan pengobatan berhubungan dengan terbatasnya informasi yang didapat. 3. Prioritas Diagnosa Keperawatan a. Resiko kekurangan volum cairan b. Mual c. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan d. Hipertermi e. Nyeri akut f. Ansietas g. Defisit pengetahuan h. Intoleransi aktivitas i. Resiko cedera j. Disfungsi motilitas gastrointestinal 4. Rencana keperawatan
DIAGNOSA KEPERAWATAN Pre-operatif 1 Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan secara aktif, kegagalan mekanisme pengaturan NO TUJUAN & KRITERIA HASIL INTERVENSI

NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan Menejemen cairan selama 3 x 24 jam, diharapkan keseimbangan cairan pada pasien adekuat dengan status cairan skala 4. Kriteria hasil: a. Keseimbangan intake & output dalam batas normal b. Elektrolit serum dalam batas

NIC: Manajemen Cairan a. Pertahankan intake & output yang adekuat b. Monitor status hidrasi (membran mukosa yang adekuat) c. Monitor status hemodinamik d. Monitor intake output yang akurat e. Monitor berat badan

normal c. Tidak ada mata cekung d. Tidak ada hipertensi ortostatik e. Tekanan darah dalam batas normal Skala : a. Tidak pernah menunjukkan Jarang menunjukkan Kadang menunjukkan Sering menunjukkan Selalu menunjukkan NOC : a. Comfort level b. Hidrasil c. Nutritional Status Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .x 24 jam, mual pasien teratasi dengan kriteria hasil: a. Melaporkan bebasdari mual b. Mengidentifikasihal-hal yangmengurangi mual c. Nutrisi adekuat d. Status hidrasi:hidrasi kulitmembran mukosabaik, tidak ada rasahaus yangabnormal, panas,urin output normal, TD, HCT normal NOC : a. Nutritional status : adequacy of nutrient b. Nutritional status : foood and fluid intake c. Weight control Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x24 jam nutrisi kurang teratasi dengan indikator : a. Albumin serum b. Pre albumin serum c. Hematokrit d. Hemoglobin e. Total iron binding capacity f. Jumlah limfosit

b. c. d. e.

Mual berhubungan dengan nyeri

NIC : Fluid Managemet a. Monitor status nutrisi b. Catat intake dan output secar akurat c. Anjurkan untuk makan pelan-pelan d. Jelaskan untuk menggunakan napas dalam untuk menekan reflek mual e. Batasi minum 1 jam sebelum, 1 jam sessudah dan selama makan f. Instruksikan untuk menghindari bau makanan yang menyengat g. Kolaborasi pemberian antiemetik NIC : a. Monitor intake dan output b. adanya penurunan BB dan gula darah. c. Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht d. Kaji adanya alergi makanan e. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang manfaat nutrisi f. Anjurkan banyak minum g. Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan h. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor biologis, psikologis atau ekonomi

Hipertermi berhubungan dengan penyakit

NOC : Thermoregulasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam pasien menunjukkan suhu tubuh dalam batas normal dnegan kriteria hasil : Suhu 36-37o C b. Nadi dan RR adlam rentang normal c. Tidak ada perubahan warna kulit dan merasa nyaman NOC : a. Pain level b. Pain control c. Comfort level Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x24 jam pasien tidak mengalami nyeri dengan kriteria : a. Mampu mengontrol nyeri b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri c. Mampu mengenali nyeri d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang e. Tanda vital dalam rentang normal f. Tidak mengalami gangguan tidur NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .x24jam masalah teratasi dengan criteria: a. Pasien memahami tentang pencegahan dan pengendalian infeksi. b. Terbebas dari tanda atau gejala infeksi.

dibutuhkan pasien NIC : a. Monitor tanda vital (TD, nadi, suhu, RR) b. Monitor intake dan output c. Monitor WB, Hb, Hct d. Kompres pasien pada lipat paha dan aksila e. Berikan cairan intravena f. Selimuti pasien g. Berikan antipiretik

Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, fisik, spikologis), kerusakan jaringan

NIC : Manajemen Nyeri a. Kaji nyeris ecara komprehensif (lokasi, durasi, frekuensi, intensitas) b. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan c. Berikan pereda nyeri dengan manipulasi lingkungan (misal, ruangan tenang dan batasi pengunjung) d. Berikan analgesik sesuai ketentuan e. Kontrol faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

Post-operatif 6 Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.

NIC : a. Observasi vital sign, penampilan luka dan daerah sekitar luka. b. Observasi kecukupan nutrisi pasien & hasil laboratprium. c. Rawat luka dengan memperhatikan tehnik steril (septic & antiseptic), cuci tangan sesuai procedure sebelum dan sesudah melakukan interaksi terhadap pasien. d. Bersihkan lingkungan dengan benar selama dan

setelah digunakan oleh pasien, terapkan universal precaution. e. Ajarka pasien tehnik mencuci tangan yang benar, ajarkan keluarga dan pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan keluar kamar pasien . f. Kolaborasi pemberian antibiotic. 7 Deprivasi tidur berhubungan ketidaknyamanan fisik. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .x24jam masalah teratasi dengan criteria: a. Pasien mengatakan segar setelah bangun tidur. b. Tidak ada gangguan pada pola, kualitas dan rutinitas tidur. c. Tidak ada gangguan pada jumlah jam tidur. d. Bangun pada waktu yang sesuai. a. Observasi adanya konfusi akut, agitasi, ansietas, gangguan persepsi, respon lambat dan iritabilitas. b. Ciptakan lingkungan tenang, damai dan minimalkan gangguan. c. Bantu pasien mengidentifikasi faktor faktor yang mungkin menyebabkan gangguan tidur. d. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.

C. Aspek etik legal dan advokasi Dalam melakukan asuhan keperawatan, prinsip-prinsio etik legal yang dapat diterapkan pada kasus apendicitis adalah : 1. Veracity : perawat dengan jujur menjelaskan kondisi pasien 2. Beneficence : melakukan yang terbaik bagi pasien dengan menyarakankan dan memberikan perwatan yang terbaik bagi pasien 3. Otonomy : memberikan kebebasan bagi klien untuk memilih, menerima dan menolak tindakan yang akan diberikan Perawat juga harus memberikan advokasi pada klien dengan melindungi pasien dengan memberikan penjelasan sampai pasien dapat memahami dan mampu memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya.

Satuan Acara Penyuluhan Pokok bahasan : Apendikitis Sasaran Sub tema Waktu : pasien dan keluaraga. : tehnik relaksasi napas dalam. : 30 menit

Tujuan instruksional umum. Setelah diberikan penyuluhan peserta dapat memahami tentang pengertian, tujuan, prosedur dan faktor-faktor yang mempengaruhi napas dalam. II. Tujuan instruksional khusus. Setelah diberikan penyuluhan diharapkan peserta mampu : 1. Menjelaskan pengertian tehnik napas dalam. 2. Menjelaskan tujuan tehnik napas dalam. 3. Menjelaskan prosedur relaksasi napas dalam. 4. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tehnik napas dalam. III. Media IV. Metode
No 1 2

: leaflet : ceramah dan tanya jawab V. Kegiatan Penyuluhan


Kegiatan Pembukaan a. penyampaian salam. b. menjelaskan tujuan Penyampaian materi a. menjelaskan pengertian tehnik napas dalam. b. menjelasan tujuan tehnik napas dalam. c. menjelaskan prosedur tehnik napas dalam. d. menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tehnik napas dalam. Penutup Respon a. menjawab salam. b. memperhatikan. mendengarkan. memperhatikan. Waktu 5 menit 20 menit

5 menit

a. tanya jawab. b. menyimpulkan materi. c. mengakhiri kegiatan 4 Evaluasi Peserta mampu menjelaskan kembali tentang : a. pengertian tehnik napas dalam. b. tujuan tehnik napas dalam. c. prosedur tehnik napas dalam. d. faktor-faktor yang mempengaruhi tehnik napas dalam.

a. mendengarkan. b. menjawab pertanyaan c. Menjawab salam

V. Setting VI. Evaluasi

: duduk berhadapan

Peserta mampu : 1. 2. 3. 4. menjelaskan pengertian tehnik napas dalam. menjelaskan tujuan tehnik napas dalam. menjelaskan prosedur tehnik napas dalam. menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tehnik napas dalam

Lampiran Materi Tehnik napas dalam A. Pengertian Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002). B. Tujuan Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan. C. Prosedur tehnik relaksasi napas dalam (2003) Bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diagfragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi. Adapun langkah-langkah teknik relaksasi napas dalam adalah sebagai berikut: 1) Ciptakan lingkungan yang tenang 1) Usahakan tetap rileks dan tenang 2) Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui hitungan 1,2,3 3) Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks 4) Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali

5) Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut secara perlahan-lahan 6) Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks 7) Usahakan agar tetap konsentrasi / mata sambil terpejam 8) Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri 9) Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang 10) Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali. 11) Bila nyeri menjadi hebat, seseorang dapat bernafas secara dangkal dan cepat. D. Faktor-faktor yang mempengaruhi teknik relaksasi napas dalam terhadap penurunan nyeri Teknik relaksasi napas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu : 1) Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemic. 2) Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin (Smeltzer & Bare, 2002). 3) Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat Relaksasi melibatkan sistem otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu. Prinsip yang mendasari penurunan nyeri oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi sistem syaraf otonom yang merupakan bagian dari sistem syaraf perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu. Pada saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan substansi, akan merangsang syaraf simpatis sehingga menyebabkan

vasokostriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinalis ke otak dan dipersepsikan sebagai nyeri. Sumber : Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan medikal bedah. Edisi 8 Vol.1. Alih Bahasa : Agung waluyo. Jakarta. EGC. Priharjo, R. (2003). Perawatan nyeri. Jakarta. EGC.

Jurnal Safety and efficacy of antibiotics compared with appendicectomy for treatment of uncomplicated acute appendicitis: meta-analysis of randomised controlled trials OBJECTIVE: To compare the safety and efficacy of antibiotic treatment versus appendicectomy for the primary treatment of uncomplicated acute appendicitis. DESIGN: Meta-analysis of randomised controlled trials. POPULATION: Randomised controlled trials of adult patients presenting with uncomplicated acute appendicitis, diagnosed by haematological and radiological investigations. INTERVENTIONS: Antibiotic treatment versus appendicectomy. OUTCOME MEASURES: The primary outcome measure was complications. The secondary outcome measures were efficacy of treatment, length of stay, and incidence of complicated appendicitis and readmissions. RESULTS: Four randomised controlled trials with a total of 900 patients (470 antibiotic treatment, 430 appendicectomy) met the inclusion criteria. Antibiotic treatment was associated with a 63% (277/438) success rate at one year. Meta-analysis of complications showed a relative risk reduction of 31% for antibiotic treatment compared with appendicectomy (risk ratio (Mantel-Haenszel, fixed) 0.69 (95% confidence interval 0.54 to 0.89); I(2)=0%; P=0.004). A secondary analysis, excluding the study with crossover of patients between the two interventions after randomisation, showed a significant relative risk reduction of 39% for antibiotic therapy (risk ratio 0.61 (0.40 to 0.92); I(2)=0%; P=0.02). Of the 65 (20%) patients who had appendicectomy after readmission, nine had perforated appendicitis and four had gangrenous appendicitis. No

significant differences were seen for treatment efficacy, length of stay, or risk of developing complicated appendicitis. CONCLUSION: Antibiotics are both effective and safe as primary treatment for patients with uncomplicated acute appendicitis. Initial antibiotic treatment merits consideration as a primary treatment option for early uncomplicated appendicitis Sumber : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22491789

DAFTAR PUSTAKA Doengoes, E.Marilyn. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi 3). Jakarta : EGC. Smeltzer&Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Edisi 8). Jakarta: EGC. Robbins dan kumar. Buku Ajar Patologi (Edisi 4), Jakarta : EGC Evelyn C. (1992). Pearce. Anatomi dan Fisiolagi untuk Paramedis. Jakarta :, Gramedia. Depkes RI. (1995). Penerapan Proses Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta.

You might also like