You are on page 1of 23

1.

Latar Belakang

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini mencapai 1,49 persen. Dengan pertumbuhan tetap saja, hal itu akan membawa konsekuensi kebutuhan beras Indonesia pada 2035 mencapai 47,84 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan beras itu, diperlukan penambahan 5,3 juta hektar sawah baru dari 13 juta hektar sawah yang ada sekarang.

Tingginya jumlah dan kepadatan penduduk membuat lingkungan Pulau Jawa mengalami tekanan hebat. Lahan yang ada tidak mampu menyediakan segala kebutuhan penduduk di atasnya. Selain akan mengurangi kualitas hidup warganya, bencana lingkungan akibat ulah manusia, seperti banjir dan tanah longsor, juga akan semakin sering terjadi. Dalam waktu 80 tahun, penduduk di Jawa naik lebih dari tiga kali lipat. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah penduduk di Jawa, yang hanya 41,9 juta jiwa pada 1930, melonjak jadi 136,6 juta jiwa pada 2010. Padahal, luas Jawa yang hanya 6,79 persen dari luas daratan Indonesia tidak pernah bertambah1. Hal ini berarti pertumbuhan penduduk bersifat linier positif sedangkan luas lahan pertanian mempunyai koefisien regresi mendekati angka nol.

Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan

pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan 2.

Pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan. Secara empiris lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh : 3

1. kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi; 2. daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; 3. akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering; dan 4. pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.

Maraknya fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah seyogyanya jadi perhatian semua pihak. Sebagai ilustrasi, data terakhir dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian (Dirjen PLA, 2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Lebih mengkhawatirkan lagi, data dari Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional menggambarkan bahwa jika arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi (7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain.
4

Sebetulnya berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih fungsi lahan sawah sudah banyak dibuat. Paling tidak ada 10 peraturan/perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian alih fungsi lahan sawah ini (Budi Harsono, 2008). Akan tetapi, hingga kini implementasinya belum berhasil diwujudkan secara optimal. Hal ini antara lain karena kurangnya dukungan data dan minimnya sikap proaktif yang memadai ke arah pengendalian alih fungsi lahan sawah tersebut.

Terkait dengan itu, Nasoetion (2003) mengemukakan bahwa setidaknya terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan mengapa peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu :

1. Kendala Koordinasi Kebijakan. Di satu sisi pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih

fungsi lahan tersebut melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian. 2. Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturan-peraturan pengendaliah alih fungsi lahan baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaanperusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian ke nonpertanian. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan sawah ke nonpertanian yang dilakukan secara individual/perorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut, dimana perubahan lahan yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat luas. 3. Kendala Konsistensi Perencanaan. RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengalih fungsikan lahan sawah beririgasi teknis menjadi nonpertanian.

Sehubungan dengan tiga kendala di atas, tidak efektifnya peraturan yang telah ada, juga dipengaruhi oleh :

1. lemahnya sistem administrasi tanah; 2. kurang kuatnya koordinasi antar lembaga terkait; dan 3. belum memasyarakatnya mekanisme implementasi tata ruang wilayah.

Di samping itu, persepsi pemerintah tentang kerugian akibat alih fungsi lahan sawah cenderung bias ke bawah (under estimate), sehingga dampak negatif alih fungsi lahan sawah tersebut kurang dianggap sebagai persoalan yang perlu ditangani secara serius dan konsisten.

Persoalannya, pemerintah tidak mempunyai pilihan lain selain alih fungsi lahan mengingat pertumbuhan penduduk tidak sejalan (lebih cepat) dibandingkan dengan ketersediaan lahan. Padahal pemerintah harus memenuhi kebutuhan papan dan pangan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kehidupan sosial.

Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia selain kebutuhan pangan. Sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang dasar (UUD) 1945 dan Pasal 28 UUD 1945, bahwa rumah adalah salah satu hak dasar rakyat dan oleh karena itu setiap Warga Negara berhak untuk bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu rumah juga merupakan kebutuhan dasar manusia dalam meningkatkan harkat, martabat, mutu kehidupan dan penghidupan, serta sebagai pencerminan diri pribadi dalam upaya peningkatan taraf hidup, serta pembentukan watak, karakter dan kepribadian bangsa.

Pengertian perumahan dan permukiman sendiri menurut ketentuan UndangUndang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman adalah sebagai berikut : Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Dengan semakin berkembangnya pembangunan perumahan di wilayah Kabupaten Banyumas, maka akan semakin luas kebutuhan akan lahan sebagai sarana bagi pembangunan perumahan yang bersangkutan. Sementara lahan yang berstatus lahan Negara di Kabupaten Banyumas sudah langka, yang ada adalah lahan-lahan yang sudah dikuasai oleh rakyat dengan suatu hak dan lahan-lahan pertanian. Akibatnya sebagian pengembang melakukan pembebasan lahan-lahan pertanian tersebut untuk lahan pembangunan perumahan dengan melalui proses alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian.

Pihak swasta dapat memanfaatkan lembaga pembebasan lahan menurut tata cara yang diatur oleh Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 berdasarkan Permendagri Nomor 2 Tahun 1976, maka untuk kepentingan bisnis berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Lahan Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pengambilalihan lahan

harus dilakukan secara langsung antara pihak swasta dengan para pemegang hak atas lahan dan bangunan serta tanaman dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain atas dasar musyawarah. Salah satu pihak swasta yang dimaksud disini adalah perusahaan pengembang perumahan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik mengambil judul Implementasi Alih Fungsi Lahan Pertanian Untuk Pembangunan Perumahan di Purwokerto

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan permasalahan hukum sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan perumahan di Purwokerto ? 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan perumahan di Purwokerto ? 3. Bagaimana strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan perumahan di Purwokerto ?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini oleh penulis bertujuan untuk menjawab permasalahan di atas yaitu :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan perumahan di Purwokerto. 2. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan perumahan di Purwokerto. 3. Untuk mengetahui strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan perumahan di Purwokerto.

4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara :

1. Akademis

1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kegiatan penelitian 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum, yaitu hukum agraria, khususnya di mengenai masalah lahan mengenai pelaksanaan alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan perumahan di Purwokerto.

1. Praktis

1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan perumahan sehingga kebijakan pelaksanaan alih fungsi lahan pertanian untuk

pembangunan perumahan di Purwokerto tetap berpedoman pada keseimbangan pemenuhan kebutuhan pangan dan papan. 2. Dapat digunakan sebagai masukan bagi pihak yang berkepentingan dalam bidang perlahanan, dalam hal ini Badan Perlahanan Nasional, khususnya mengenai pelaksanaan alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan perumahan di Purwokerto.

5. Kerangka Pemikiran 1. Pengertian Lahan (Tanah) Pertanian 1. Menurut Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, batasan resmi mengenai tanah adalah sebagai berikut : Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) di atas, maka yang dimaksud dengan tanah adalah permukaan bumi. Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Istilah menguasai bukan berarti memiliki, namun mempunyai arti sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia, dimana Negara diberikan wewenang untuk mengatur segala

sesuatu yang berkenaan dengan tanah. Pemerintah sebagai wakil negara dapat mengatur

2. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), tanah adalah sebagai berikut : 1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang ada di atas; 2. Keadaan bumi di suatu tempat; 3. Permukaan bumi yang diberi batas; 4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal dan sebagainya). 3. Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5 Januari 1961 No. Sekra 9/ 1/ 12 tentang Pengertian Tanah Pertanian , diberikan penjelasan sebagai berikut Yang dimaksud dengan tanah pertanian ialah juga semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah tempat penggembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang, selain tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah berdiri rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan, berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa yang merupakan tanah pertanian.

Beberapa pengertian tanah pertanian di atas, dapat dijadikan sebagai tolok ukur suatu tanah yang bersangkutan dapat dikategorikan sebagai tanah pertanian atau tanah non pertanian yang masing-masing kategori tanah tersebut

memiliki peruntukan berlainan. Tanah pertanian biasanya digunakan untuk usaha bidang pertanian mencakup persawahan, hutan, perikanan, perkebunan, tegalan, padang, pengembalaan dan semua jenis penggunaan lain yang lazim dikatakan sebagai usaha pertanian.

2. Pengertian Alih Fungsi Lahan

Menurut Adi Sasono (1995: 13) alih fungsi tanah merupakan kegiatan perubahan peggunaan tanah dari suatu kegiatan yang menjadi kegiatan lainnya. Alih fungsi tanah muncul sebagai akibat pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan telah merubah strukur pemilikan dan penggunaan tanah secara terus menerus. Perkembangan struktur industri yang cukup pesat berakibat terkonversinya tanah pertanian secara besar-besaran. Selain untuk memenuhi kebutuhan industri, alih fungsi tanah pertanian juga terjadi secara cepat untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang jumlahnya jauh lebih besar.

3. Pengertian Pembangunan Perumahan

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan Pasal 1 Ayat (1), pengertian mengenai perusahaan pembangunan perumahan adalah :

Badan usaha yang berbentuk badan hukum, yang berusaha dalam bidang perumahan di atas areal tanah yang merupakan suatu lingkungan permukiman yang dilengkapi dengan prasarana sosial, utilitas umum dan fasilitas sosial, yang diperlukan oleh masyarakat penghuni lingkungan pemukiman.

4. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian

Alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. Di sisi lain, efektifitas implementasi instrumen pengendalian alih fungsi selama ini belum berjalan optimal sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu diwujudkan suatu strategi pengendalian alternatif yang bertumpu pada partisipasi masyarakat. Strategi peraturan kebijakan mencakup komponen instrumen hukum dan ekonomi, zonasi, dan inisiatif masyarakat.

Strategi partisipasi masyarakat ditempuh melalui pemahaman terhadap eksistensi pemangku kepentingan (stakeholder analysis). Dengan kata lain, strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada partisipasi masyarakat adalah dengan melibatkan peran serta aktif segenap pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai entry point perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian (fokus analisis) perundang-undangan dan peraturan yang ada melalui pendekatan sosialisasi dan advokasi.

Dua kata kunci dalam strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian adalah holistik dan komprehensif. Dengan kata lain, alih fungsi lahan pertanian harus jadi perhatian semua pihak, baik yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat di dalamnya. Pihak-pihak yang dimaksud merupakan tumpuan dengan dimensi cukup luas, yakni segenap lapisan masyarakat atau pemangku kepentingan (stakeholders) yang berhubungan secara nyata dan tidak nyata dengan alih fungsi lahan pertanian. Sehubungan dengan itu, dasar pemikiran mengenai strategi pengendalian alih fungsi lahan yang bertumpu pada masyarakat ini disajikan pada gambar berikut.

Berdasarkan gambar di atas dapat diperhatikan bahwa terdapat tiga langkah dalam mewujudkan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada masyarakat.

Pertama, titik tumpu (entry point) strategi pengendalian adalah melalui partisipasi segenap pemangku kepentingan. Hal ini cukup mendasar, mengingat para pemangku kepentingan adalah pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan proses alih fungsi lahan pertanian.

Kedua, fokus analisis strategi pengendalian adalah sikap pandang pemangku kepentingan terhadap eksistensi peraturan kebijakan seperti instrumen hukum (peraturan perundang-undangan), instrumen ekonomi (insentif, disinsentif, kompensasi) dan zonasi (batasan-batasan alih fungsi lahan pertanian). Esensinya, sikap pandang pemangku kepentingan seyogyanya berlandaskan inisiatif masyarakat dalam bentuk partisipasi aksi kolektif yang sinergis dengan peraturan kebijakan, sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.

Ketiga, sasaran (goal) strategi pengendalian adalah terwujudnya pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang selaras dan berkelanjutan.

Selanjutnya, fokus perhatian terhadap eksistensi dan partisipasi pemangku kepentingan dapat dicermati dengan metode analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis). Analisis ini berhubungan dengan penilaian kelembagaan dan analisis sosial dalam kerangka sosial kelembagaan. Implementasinya, analisis

JakartaDewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mensahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (RUU-PLP2B) menjadi Undang-undang.

Dalam Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Rabu secara aklamasi seluruh fraksi yang hadir yakni Partai Golkar, PDI Perjuangan, PDS, PBR, PPP, Partai Demokrat, PAN dan PKS menyetujui diundangkannya perlindungan lahan pertanian pangan. Menteri Pertanian Anton Apriyantono dalam sambutannya mengatakan, RUU PLP2B merupakan pengaturan lebih lanjut dari UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sesuai yang diamanatkan dalam ketentuan pasal 48 ayat 2. Pengaturan tersebut merupakan antisipasi atas terjadinya perkembangan zaman dan kebutuhan dalam pemanfaatan lahan oleh berbagai sektor yang akhir-akhir ini semakin berkembang pesat. Bahkan kadang-kadang berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan ruang antar sektor maupun subsektor, katanya. Menurut dia, sudah sepantasnya upaya perlindungan lahan pertanian pangan tidak saja dilakukan terhadap lahan pertanian pangan yang sudah ada agar fungsinya berkelanjutan. Terhadap lahanlahan potensial yang berfungsi sebagai lahan cadangan perlu pula mendapat perlindungan berdasarkan undang-undang ini. Dengan demikian, lanjutnya, di masa depan ada jaminan dan kepastian hukum untuk melakukan perluasan lahan dalam upaya mengantisipasi peningkatan jumlah penduduk dan berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan pangan melalui peningkatan produksi. Selain itu, menurut Mentan, upaya melakukan perlindungan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan tidak hanya terbatas pada perlindungan secara fisik dari ancaman dan gangguan alih fungsi lahan. Namun juga diarahkan untuk mengembangkan lahan tersebut agar fungsinya dapat lebih optimal dan lebih produktif untuk menunjang peningkatan produksi dan kesejahteraan petani. Lebih dari itu terhadap petani sebagai subyek yang mengelola lahan petanian pangan berkelanjutan juga diberikan perlindungan serta pemberdayaan khusus bahkan berbagai insentif baik fiskal maupun on fiskal, katanya. Anton menyatakan, bagi sektor pertanian, lahan merupakan faktor utama dan tak bisa digantikan fungsinya dalam usaha pertanian. Oleh karena itu ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan syarat keharusan guna mewujudkan peran sektor pertanian berkelanjutan terutama dalam mencapai ketahanan pangan, kemandirian pangan dan kedaulatan pangan secara nasional. Sayangnnya, tambahnya, saat ini sumber daya lahan dan air mengalami tekanan yang tinggi akibat peningkatan jumlah penduduk yang masih sekitar 1,34 persen per tahun sedangkan luas lahan relatif tetap terutama di Jawa. Mentan mencontohkan, luas rata-rata kepemilikan lahan di Jawa dan Bali hanya 0,34 hektar per rumah tangga petani. Selain makin sempitnya rata-rata penguasaan lahan oleh petani, terjadi juga persaingan tak seimbang dalam penggunaan lahan terutama antara sektor pertanian dengan non pertanian, katanya.

Dalam pemanfaatan lahan, lanjutnya, pertanian selalu dikalahkan oleh peruntukan lain seperti industri dan perumahan, yang mana laju alih fungsi lahan pertanian tersebut dari tahun ke tahun diperkirakan mencapai 110 ribu ha/tahun. Menteri mengungkapkan, alih fungsi lahan pertanian mengakibatkan dampak langsung dan tidak langsung yang sangat besar. Lahan sawah yang sudah berubah fungsi tidak akan dapat menjadi sawah kembali sehingga berdampak negatif pada produksi pangan, fisik lingkungan dan budaya masyarakat yang hidup di atas maupun sekitar lahan yang mengalami alih fungsi. Alih fungsi lahan pertanian subur yang umumnya terjadi di Jawa dan sekitar daerah perkotaan khususnya belum mampu diimbangi oleh upaya sistimatis untuk dapat memanfaatkan lahanlahan yang relatif kurang subur dan marginal. Pengendalian alih fungsi lahan sawah, dan upaya perlindungan lahan pertanian produktif serta perlindungan terhadap petani merupakan salah satu bentuk kebijakan yang strategis guna mewujudkan sistem pertanian yang berkelanjutan serta ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan, katanya. Anton menyatakan, setelah disahkan menjadi UU, maka sudah seharusnya substaNsi UU PLP2B menjadi muatan dalam RJPM, RPJP dan Rencana Tahunan baik di pusat, provinsi dan Kabupaten/kota melalui RKP hingga Perda terkait Rencana Tata Ruang Wilayah baik provinsi maupun kabupaten/kota.

ALIH FUNGSI LAHAN

Area Persawahan Berubah menjadi Permukiman Mewah

ALIH FUNGSI LAHAN DALAM UU No 26 2007


Pasal 33 (1) Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan

udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain. (3) Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah. (4) Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung, diberikan prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan haknya. Pasal 77 (1) Pada saat rencana tata ruang ditetapkan, semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang. (2) Pemanfataan ruang yang sah menurut rencana tata ruang sebelumnya diberi masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian. Penjelasan Bagian Umum point 3 3. Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, Undang-Undang ini mengamanatkan perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang wilayah.

ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN


Disadur dari Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian, Direktorat Direktorat Pangan Dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas, 2006. 1. Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju.

2. Fungsi utama lahan sawah Fungsi utama lahan sawah adalah untuk mendukung pengembangan produksi pangan khususnya padi. Namun justifikasi tentang perlunya pengendalian alih fungsi lahan sawah harus berbasis pada pemahaman bahwa lahan sawah mempunyai manfaat ganda (multi fungsi). Secara holistik, manfaat tersebut terdiri dari dua kategori: (1) nilai penggunaan (use values), dan (2) manfaat bawaan (non use values). Nilai penggunaan mencakup: (i) manfaat langsung, baik yang nilainya dapat diukur dengan harga (misalnya keluaran usahatani) maupun yang tidak dapat diukur dengan harga (misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, penciptaan lapangan kerja), dan (ii) manfaat tidak langsung yang terkait dengan kontribusinya dalam pengendalian banjir, menurunkan laju erosi, dan sebagainya. Manfaat bawaan mencakup kontribusinya dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, sebagai wahana pendidikan, dan sebagainya. Pemahaman yang komprehensif terhadap multi fungsi lahan sawah sangat diperlukan agar kecenderungan under valued terhadap sumberdaya tersebut dapat dihindarkan. 3. Pola alih fungsi lahan sawah Pola alih fungsi lahan sawah dapat dipilah menjadi dua: (1) sistematis, (2) sporadis. Alih fungsi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri, perkotaan, kawasan pemukiman (real estate), jalan raya, komplek perkantoran, dan sebagainya mengakibatkan terbentuknya pola alih fungsi yang sistematis. Lahan sawah yang beralihfungsi pada umumnya mencakup suatu hamparan yang cukup luas dan terkonsolidasi. Di sisi lain, alih fungsi lahan sawah yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis. Luas lahan sawah yang terkonversi kecilkecil dan terpencar. Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya diawali dengan transaksi jual beli lahan sawah. Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) jauh lebih tinggi (misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan, dan sebagainya) atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar (prasarana umum yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan yang bersangkutan). Proses alih fungsi lahan sawah cenderung berlangsung lambat jika motivasi untuk mengubah fungsi terkait dengan degradasi fungsi lahan sawah, misalnya akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga lahan tersebut tidak dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah. 4. pengendalian alih fungsi lahan sawah Secara empiris, instrumen kebijakan yang selama ini menjadi andalan dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah adalah aturan pelaksanaan Peraturan Daerah yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian (konversi)


(Sumber : Iwan Isa, BPN 2004) Faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain:

1. Faktor Kependudukan. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan akibat peningkatan intensitas kegiatan masyarakat, seperti lapangan golf, pusat perbelanjaan, jalan tol, tempat rekreasi, dan sarana lainnya. 2. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian antar alain pembangunan real estate, kawasn industri, kawasan perdagangan, dan jasa-jasa lainnya yang memerlukan lahan yang luas, sebagian diantaranya berasal dari lahan pertanian termasuk sawah. Hal ini dapat dimengerti, meningat lokasinya dipilih sedemikian rupa sehingga dekat dengan pengguna jas ayang terkonsentrasi di perkotaan dan wilayah di sekitarnya (sub urban area). Lokasi sekitar kota, yang sebelumnya didominasi oleh penggunaan lahan pertanian, menjadi sasaran pengembangan kegiatan non pertanian mengingat harganya yang relatif murah serta telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang seperti jalan raya, listrik, telepon, air bersih, dna fasilitas lainnya. Selain itu, terdapat keberadaan sawah kejepit yakni sawah-sawah yang tidak terlalu luas karena daerah sekitarnya sudah beralih menjadi perumahan atau kawasan industri, sehingga petani pada lahan tersebut mengalami kesulitan untuk mendapatkan air, tenaga kerja, dan sarana produksi lainnya, yang memaksa mereka untuk mengalihkan atau menjual tanahnya. 3. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk berusaha tani disebabkan oleh tingginya biata produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu, karena faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya (pendidikan, mencari pekerjaan non pertanian, atau lainnya), seringkali membuat petani tidak mempunyai pilihan selain menjual sebagian lahan pertaniannya. 4. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 5. Degradasi lingkungan, antara lain kemarau panjang yang menimbulkan kekurangan air untuk pertanian terutama sawah; penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan yang berdampak pada peningkatan serangan hama tertentu akibat musnahnya predator alami dari hama yang bersangkutan, serta pencemaran air irigasi; rusaknya lingkungan sawah sekitar pantai mengakibatkan terjadinya instrusi (penyusupan) air laut ke daratan yang berpotensi meracuni tanaman padi. 6. Otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang kurang memperhatikan kepentingan jangka panjang dan kepentingan nasional yang sebenarnya penting bagi masyarakat secara keseluruhan. 7. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (Law Enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada.

Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian


(Sumber : Iwan Isa, BPN 2004) Dalam rangka perlindungan dan pengendalian lahan pertanian secara menyeluruh dapat ditempuh melalui 3 (tiga) strategi, yaitu :

1. Memperkecil peluang terjadinya konversi Dalam rangka memperkecil peluang terjadinya konversi lahan sawah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran dapat berupa insentif kepada pemilik sawah yang berpotensi untuk dirubah. Dari sisi permintaan pengendalian sawah dapat ditempuh melalui: a. mengembangkan pajak tanah yang progresif; b.meningkatkan efisiensi kebutuhan lahan untuk non pertanian sehingga tidak ada tanah yang terlantar. c.mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri, perumahan dan perdagangan misalnya pembangunan rumah susun. 2. Mengendalikan Kegiatan Konservasi Lahan a.membatasi konversi lahan sawah yang memiliki produktivitas tinggi, menyerap tenaga kerja pertanian tinggi, dan mempunyai fungsi lingkungan tinggi. b.mengarahkan kegiatan konversi lahan pertanian untuk pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan perumahan pada kawasan yang kurang produktif. c.membatasu luas lahan yang dikonversi di setiap kabupaten/kota yang mengacu pada kemampuan pengadaan pangan mandiri. d.menetapkan Kawasan Pangan Abadi yang tidak boleh dikonversi, dengan pemberian insentif bagi pemilik lahan dan pemerintah daerah setempat. 3. Instrumen Pengendalian Konservasi Lahan Instrumen yang dapat digunakan untuk perlindungan dan pengendalian lahan sawah adalah melalui instrumen yuridis dan non yuridis, yaitu: a.instrumen yuridis berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat (apabila memungkinkan setingkat undang-undang) dengan ketentuan sanksi yang memadai. b.instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik lahan sawah dan pemerintah daerah setempat. c. pengalokasian dana dekonsentrasi untuk mendorong pemerintah daerah dalam mengendalikan konversi lahan pertanian terutama sawah. d. Instrumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan perizinan lokasi.

ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN


Definisi
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah perubahan fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi bukan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara.

Ketentuan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan


Berdasarkan PP No. 1 Tahun 2011 Pasal 35 dinyatakan bahwa lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka : a. pengadaan tanah untuk kepentingan umum; b. terjadi bencana. Dalam PP No. 1 Tahun 2011 Pasal 36 dinyatakan bahwa Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dilakukan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum terbatas pada kepentingan umum, yang meliputi: a. jalan umum; b. waduk; c. bendungan; d. irigasi; e. saluran air minum atau air bersih; f. drainase dan sanitasi; g.bangunan pengairan; h. pelabuhan; i. bandar udara; j. stasiun dan jalan kereta api; k. terminal; l. fasilitas keselamatan umum; m. cagar alam; dan/atau n.pembangkit dan jaringan listrik. Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan dengan persayaratan (Pasal 30) : a. memiliki kajian kelayakan strategis; b. mempunyai rencana alih fungsi lahan; c. pembebasan kepemilikan hak atas tanah; dan d. ketersediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan. Berdasarkan Pasal 45 PP No. 1 Tahun 2011, alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dilakukan karena sering terjadi bencana hanya dapat ditetapkan setelah tersedia lahan pengganti. Dalam hal bencana mengakibatkan hilang atau rusaknya infrastruktur secara permanen dan pembangunan infrastruktur pengganti tidak dapat ditunda, maka alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat dilakukan dengan ketentuan : a. membebaskan kepemilikan hak atas tanah; dan b. menyediakan lahan penggantu terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi dilakukan.

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan


Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan : a. melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; b. menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; c. mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; d.melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; e. meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat; f. meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani; g. meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak; h. mempertahankan keseimbangan ekologis; dan i. mewujudkan revitalisasi pertanian. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 2009 Pasal 6, dinyatakan bahwa Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan terhadap Lahan Pertanian Pangan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan penetapan (Pasal 18): a. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan c. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan di dalam dan di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pengalihfungsian lahan non pertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terutama dilakukan terhadap Tanah Terlantar dan tanah bekas kawasan hutan yang belum diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanah Telantar dapat dialihfungsikan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan apabila: a. tanah tersebut telah diberikan hak atas tanahnya, tetapi sebagian atau seluruhnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak; atau b. tanah tersebut selama 3 (tiga) tahun atau lebih tidak dimanfaatkan sejak tanggal pemberian hak diterbitkan. Tanah bekas kawasan hutan dapat dialihfungsikan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan apabila: a. tanah tersebut telah diberikan dasar penguasaan atas tanah, tetapi sebagian atau seluruhnya tidak dimanfaatkan sesuai dengan izin/keputusan/surat dari yang berwenang dan tidak ditindaklanjuti dengan permohonan hak atas tanah; atau b. tanah tersebut selama 1 (satu) tahun atau lebih tidak dimanfaatkan sesuai dengan izin/keputusan/surat dari yang berwenang.

Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penataan ruang wilayah. Untuk itu, perlindungan lahan pertanian pangan perlu dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Kawasan pertanian pangan merupakan bagian dari penataan kawasan perdesaan pada wilayah kabupaten. Dalam kenyataannya lahan-lahan pertanian pangan berlokasi di wilayah kota juga perlu mendapat perlindungan. Perlindungan kawasan pertanian pangan dan lahan pertanian pangan meliputi perencanaan dan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan dan pembinaan, pengendalian, pengawasan, pengembangan sistem informasi, perlindungan dan pemberdayaan petani, peran serta masyarakat, dan pembiayaan. Perlindungan kawasan dan lahan pertanian pangan dilakukan dengan menghargai kearifan budaya lokal serta hak-hak komunal adat.

UU Perlindungan Lahan Belum Berjalan, Alih Fungsi Lahan Terus Mengancam


2011 01.25

Direktur Pengelolaan Lahan Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air Kementerian Pertanian (Kementan) Amier Hartono menjelaskan 4 PP tersebut diperlukan agar UU No. 41/2009 yang disahkan setahun lalu dapat berfungsi efektif. Namun pelaksanaannya belum bisa diterapkan. Ini dikarenakan sejumlah peraturan pemerintah (PP)-nya belum dapat diselesaikan. Jika masalah ini molor, diperkirakan kondisi pangan nasional akan semakin terancam, katanya. Keempat RPP yang dibuat yakni rancangan PP (RPP) Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; RPP tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, RPP tentang Insentif dan Disinsentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan RPP tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pada Oktober lalu, kata Amier, pihaknya sudah menyerahkan empat RPP tersebut ke Sekretariat Negara. Penyerahan melalui Surat Menteri Pertanian No 495/HK.020/M/10/2010 tanggal 10 Oktober ditujukan kepada Menteri Sekretariat Negara dan Menteri Hukum dan HAM. Perihal surat tersebut antara lain menyampaikan agar dapat dilakukan tindak lanjut pembahasan harmonisasi, katanya.

You might also like