You are on page 1of 3

NAMA : NI MADE ASTIKA YUNI NIM HUKUM AGRARIA : 1003005203

Bagaimana politik hukum agraria kolonial dengan politik hukum agraria nasional (UUPA) ?
Politik hukum menurut Prof. Dr. Mahfud M.D dalam bukunya yang berjudul Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi adalah Legal Policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru atau penggantian hukum. Jadi politik hukum agraria adalah arah kebijaksanaan hukum dalam bidang agraria dapat dituangkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang memuat asas, dan norma di bidang agraria dalam garis besar. Sebelum diundangkannya UUPA hukum agraria lebih dikenal dengan hukum tanah, dimana bersifat dualistik, dualistik disini dimaksudkan bahwa hak-hak penguasaan tanahnya bersumber pada hukum adat dan hukum tanah barat. Hukum barat menyebutnya sebagai tanah barat dalam bahasa belanda disebutkan sebagai Domein Verklaring, sedangkan hukum adat menyebutnya sebagai tanah Indonesia atau tanah dengan hak ulayat. Hukum tanah adat biasanya tidak tertulis bersifat komunal (milik rakyat umum) dan pendaftaran tanah dengan cara fiscalkadaster (untuk kepentingan pajak). Hukum tanah barat biasanya tertulis dan milik individual dan pendaftaran tanah dengan cara rechtkadaster (untuk kepastian hukum). Setelah diundangkannya UUPA pada 24 September 1960 agraria tidak hanya berarti tanah (arti sempit), agraria disini termasuk juga bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (arti luas). Perombakan hukum agraria kolonial dimaksudkan untuk merubah hukum kolonial kepada hukum nasional sesuai dengan cita-cita nasional. Selain itu untuk menghilangkan dualisme hukum yang berlaku serta memberikan kepastian hukum atas hakhak seseorang atas tanah. Dasar politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil bumi/ bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga setinggi-tingginya. Tujuannya ialah tidak lain mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bagi diri pribadi pengusaha kolonial yang merangkap sebagai penguasa. Hukum agraria kolonial memiliki 3 ciri, yaitu : 1) Tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan penjajah. 2) Hukum agraria mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat, disamping hukum agraria yang berdasarkan atas hukum barat. 3) Hukum agraria penjajah tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli (pribumi).

Perkembangan politik hukum agraria di Indonesia terdiri dari beberapa fase, yaitu : a) Masa orde lama (1945-1959) demokrasi liberal. Setelah Indonesia merdeka, muncul tuntututan agar diadakannya pembaruan terhadap hukum agraria, karena rakyat Indonesia merasa dirugikan dengan sistem dualisme hukum agraria kolonial. Pada masa ini konfigurasi politiknya demokratis, dapat dilihat dari adanya partisipasi masyarakat dalam pembaruan hukum agraria sehingga munculnya berbagai peraturan yang menghapuskan hukum agraria kolonial seperti penghapusan hak konversi dengan UU No. 13 Tahun 1948, penghapusan tanah partikelir dengan UU No. 1 Tahun 1958, peraturan perjanjian bagi hasil dengan UU No. 2 Tahun 1960. Oleh karena konfigurasi politik demokrasi, maka produk hukum yang dihasilkan responsif dalam arti produk hukumnya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat serta memberikan peranan yang besar terhadap partisipasi masyarakat dalam mewujudkan produk hukumnya. b) Masa orde lama (1959-1966) demokrasi terpimpin. Menteri agraria terus mengupayakan agar terciptanya hukum agraria nasional yang baru, hingga RUU yang telah disetujui disahkan pada tanggal 24 September 1960 tentang UUPA. Disamping pencabutan secara tegas (eksplisit) terdapat juga pencabutan yang sifatnya tidak langsung (implisit) terhadap semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan jiwa UUPA. UUPA memperlihatkan karakter responsifnya dengan merombak seluruh sistem yang dianut oleh Agrarische Wet 1870, menghapus domeinverklaring, menghilangkan feodalisme dan segala hak konversinya, menghilangkan dualisme hukum sehingga terciptanya unifikasi hukum, serta penegasan tentang melekatnya fungsi sosial atas hak atas tanah. Konfigurasi politik pada masa ini adalah otoriter karena adanya hak menguasai oleh negara, namun justru memberi jalan bagi tindakan responsif (produk hukumnya) lainnya karena dari hak tersebut pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan yang berpihak bagi kepentingan masyarakat. c) Pada masa orde baru (1966-1998). Berkenaan dengan pelaksanaan UUPA pada periode Orde baru ini ada tiga masalah pokok yang dihadapi oleh pemerintah, yaitu pembuatan peraturan pelaksana, penyesuaian kembali isi peraturanperaturan tertentu di bidang agraria, dan pelaksanaan proses pembebasan tanah untuk pembangunan. Pada masa orde baru ini tidak ada lagi produk baru hukum agraria nasional karena produk periode lama memiliki karakter responsif masih terus diberlakukan. Ada kecendrungan untuk keperluan pragmatis pada masa orde baru ini dibuat beberapa peraturan perundangan agraria secara parsial dengan watak konservatif. Misalnya dengan adanya PMDN No. 15 Tahun 1957 dan Inpres No. 9 Tahun 1973. Kedua peraturan perundang-undangan ini tidak partisipatif karena secara formal hanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, dan dengan sendirinya tidak aspiratif karena tidak membuka masuknya aspirasi masyarakat.

Tabel : KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK HUKUM DALAM BIDANG AGRARIA No PERIODE KONFIGURASI POLITIK 1. 2. 3. 1945-1959 1959-1999 1966-1968 DEMOKRATIS OTORITER OTORITER PRODUK HUKUM RESPONSIF RESPONSIF KONSERVATIF

DEMOKRATIS OTORITER RESPONSIF

: membuka kesempatan bagi partisipasi masyarakat. : negara berperan sangat aktif dalam setiap pengambilan keputusan. : mencerminkan rasa keadilan, memenuhi harapan masyarakat serta proses

pembuatannya memberikan peran besar terhadap partisipasi masyarakat. KONSERVATIF keinginan pemerintah. : mencerminkan visualisasi sosial elit politik dan lebih mencerminkan

You might also like