You are on page 1of 6

Analisis Kondisi Masyarakat Daerah Perbatasan Indonesia dalam Rangka Kerjasama Regional dan Internasional

Oleh : Syaipul Adhar, SE Nim : C2A107007

Batas negara Indonesia dan Malaysia di Desa Aji Kuning, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, hanya berupa patok sederhana dan di atasnya terdapat plang nama jalan. Di sebelah kiri plang nama jalan tersebut merupakan wilayah Indonesia, sedangkan di sebelah kanannya merupakan wilayah Malaysia. Batas negara tersebut persis memotong rumah penduduk.

Tujuan kajian ini adalah menyusun landasan atau kerangka kebijakan nasional yang menyeluruh dan terpadu untuk menangani kawasan perbatasan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Studi ini meliputi seluruh kawasan perbatasan, yakni Kalimantan, Papua, Nusa Tenggara Timur, serta kawasan perbatasan maritim, termasuk 92 pulau-pulau yang berada di wilayah terluar Indonesia. Berikutnya dilakukan analisis dari aspek sektoral dan regional yang berpengaruh terhadap pengembangan kawasan perbatasan. Dari kajian ini dirumuskan visi pengembangan kawasan perbatasan antar negara, yakni menjadikan kawasan perbatasan antar negara sebagai kawasan yang aman, tertib, menjadi pintu gerbang negara dan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan menjamin negara kesatuan Republik Indonesia. Adapun masalah umum yang dihadapi di berbagai kawasan perbatasan, antara lain adalah: (1) Bentangan kawasan perbatasan antara RI dengan 10 negara tetangga sangat luas dan tipologinya bervariasi. Akibatnya, rentang kendali dan penanganan kawasan perbatasan menghadapi tantangan dan kendala yang cukup berat. (2) ada pendapat umum di masa lalu bahwa kawasan perbatasan merupakan sarang pemberontak, harus diamankan, terbelakang dan

kurang menarik bagi investor. Akibatnya, berbagai potensi sumberdaya alam kurang dikelola, terutama oleh investor swasta. Wilayah kontinen Republik Indonesia (RI) berbatasan langsung dengan Negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan kontinen tersebut tersebar di tiga pulau, empat propinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan perbatasan berbeda-beda. Demikian pula Negara tetangga yang berbatasan dengan RI, memiliki karakteristik sosial, ekonomi, politik dan budaya berbeda. Sedangkan wilayah maritim Indonesia berbatasan dengan 10 negara: India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan PNG. Kawasan-kawasan perbatasan maritim umumnya berupa pulau-pulau terluar yang berjumlah 92 pulau, yang beberapa di antaranya adalah pulau-pulau kecil yang hingga kini masih perlu ditata dan dikelola lebih intensif, karena ada kecenderungan mempunyai masalah dengan negara tetangga. Sejak 1999, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengamanatkan bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan tertinggal yang harus mendapat prioritas pembangunan. Amanat GBHN ini telah dijabarkan dalam Undang-undang (UU) No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 yang memuat program-program prioritas selama lima tahun. Kenyataannya, komitmen pemerintah melalui kedua produk hukum ini belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena beberapa faktor yang saling terkait, mulai dari segi politik, hukum, kelembagaan, sumberdaya, koordinasi, dan faktor lainnya. Diantaranya belum adanya Keppres yang mengatur tentang pengelolaan perbatasan. Dalam propenas, disepakati visi pengembangan kawasan perbatasan antar negara adalah Menjadikan kawasan perbatasan antar negara sebagai kawasan yang aman, tertib, menjadi pintu gerbang negara dan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan menjamin negara kesatuan Republik Indonesia. Tapi rencana tinggal rencana saja. STUDI KASUS : PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA DI KALIMANTAN Sebagian besar kawasan perbatasan di Indonesia merupakan kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang sangat terbatas. Dimasa lalu kawasan perbatasan dipandang sebagai wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak. Akibatnya, di sejumlah daerah, kawasan perbatasan tidak tersentuh dinamika pembangunan. Masyarakat di kawasan itu pun umumnya miskin dan lebih berorientasi ke negara tetangga. Di lain pihak, Negara tetangga seperti Malaysia justru telah membangun pusat-pusat pertumbuhan dan koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan. Pembangunan ini telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya. Sebenarnya, peluang ekonomi di beberapa kawasan perbatasan telah

terbuka lebih besar dengan berlakunya sejumlah perjanjian internasional. Perjanjian itu antara lain perdagangan bebas internasional, kerjasama ekonomi regional maupun bilateral, serta kerjasama sub-regional semisal AFTA dan BIMP-EAGA. Memang dalam tataran kerjasama regional antar Negara, kita sudah punya kerjasama ASEAN dan melahirkan kerjasama ekonomi AEC (ASEAN Economic Community) sebagai pasar tunggal dalam kesepakatan Bali Concord II tahun 2003 lalu. Tidak sulit untuk dimulai, sekarang sudah berjalan kerjasama regional antar Negara yang tergabung dalam BIMP-EAGA (Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippina East Asean Growth Area). Namun sayang, kerja sama ini hanya melibatkan saudara kita Kalimantan Barat. Menurut Park dan Goh (1998), interaksi antar Negara dalam suatu proses regionalisasi akan lebih baik, daripada jika mereka secara sendiri-sendiri berhadapan dengan pasar tradisional. Problem perbatasan menyadarkan kita untuk mereposisi pola pembangunan Ekonomi di Kalimantan. Kondisi ini memaksa kita untuk bersatu padu dalam memperkokoh dan menyatukan kekuatan kerjasama regional. Sebagai bagian bangsa ini, Kalimantan memiliki asset yang besar dalam bidang sumber daya alam dan manusia serta letak geografis yang bagus. Sejauh ini, perencanaan pembangunan borneo justru berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada road map yang jelas dan keterpaduan pembangunan borneo. Hingga puluhan tahun Indonesia merdeka, Akses darat lintas borneo saja tidak terwujud. Dalam kasus perbatasan, Kehidupan masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan perlu mendapat perhatian serius sebab didominasi ketertinggalan di segala bidang. Malinau berbatasan dengan Sarawak sedangkan Nunukan dengan Sarawak dan Sabah, Malaysia Timur. Persoalan perbatasan tidak semudah yang terlihat, persoalan perbatasan tidak hanya menyangkut factor hubungan 2 negara saja tetapi menyangkut sektor ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan keamanan. Seperti dalam gambar diatas, terlihat kondisi perbatasan di pulau sebatik dimana plang nama perbatasan kedua Negara berada persis didepan rumah penduduk. Bagi penduduk perbatasan, batas Negara bukanlah sesuatu yang sakral dalam situasi keseharian mereka. Kesamaan bahasa, budaya dan suku lebih dominan daripada garis demarkasi wilayah. Bahkan, banyak WNI yang bekerja di Malaysia tetapi tinggal di indonesia. Bahkan dalam kesehariannya mereka menonton dan mendengar radio dari Negara tetangga. Dalam teori perdagangan internasional, Malaysia tidak hanya memiliki keunggulan komparatif tatapi juga keunggulan absolute pada perkonomian perbatasan. Walaupun kita punya peraturan impor dan tariff, penyelundupan tidak bias di elakkan. Dalam satu kasus di Entikong Kab. Sanggau Kal-Bar yang berbatasan dengan Sarawak, setidaknya ada beberapa jenis kebutuhan yang dipasok dari Sarawak seperti gula, gas, beras dan pupuk. Jika petugas berpegang pada ketentuan impor, maka masyarakat perbatasan kesulitan memenuhi kebutuhan itu. Apalagi, harganya relatif murah. Misalnya, gula dengan kualitas bagus di Pontianak mencapai Rp 6.600 per kilogram, sementara masyarakat di perbatasan dapat memperoleh harga Rp 5.400 per kilogram. Apalagi, masyarakat di perbatasan sesuai kesepakatan dengan Malaysia dapat

berbelanja barang di Sarawak dengan nilai 600 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Guna menghindari capital outflow, pemerintah Indonesia harus memberikan kewenangan penuh kepada KADIN (Kamar Dagang dan Industri) sebagai perwakilan pemerintah dalam kerjasama regional antar Negara. Seperti jerman yang mengharuskan setiap investasi dan eksport import harus melalui Kadin ditiap Negara tujuan yang menjalin kegiatan ekonomi dengan Negara mereka. Sarawak sejak 1998 memutuskan mendirikan Badan Usaha Milik Daerah, Hardwood Sendirian Berhard, yang secara khusus memutihkan kayu setengah olahan ilegal dari Indonesia. Bahkan dalam kasus illegal logging pun kita tak berkutik. Seharusnya kawasan perbatasan dijadikan kawasan pengembangan ekonomi terpadu, semacam kawasan berikat yang melibatkan antar Negara perbatasan. Daripada dibiarkan, justru kerugian dalam praktik illegal mining, perdagangan manusia, investasi dan capital outflow semakin besar. Dalam penyusunan kebijakan Nasional pengelolaan kawasan perbatasan Indonesia, terdapat beberapa masalah yang terjadi di daerah perbatasan : 1. Bentangan kawasan perbatasan antara RI dengan 10 negara tetangga sangat luas dan tipologinya bervariasi, mulai dari tipe pedalaman sampai tipe pulau-pulau terluar. Ini mengakibatkan rentang kendali dan penanganan kawasan perbatasan menghadapi tantangan dan kendala yang cukup berat, baik dalam penyediaan sumberdaya dana maupun manusia. 2. Di masa lalu ada pendapat umum bahwa kawasan perbatasan merupakan sarang pemberontak, harus diamankan, terbelakang dan kurang menarik bagi investor. Hal ini mempengaruhi persepsi penanganan kawasan perbatasan, sehingga cenderung diposisikan sebagai kawasan terbelakang dan difungsikan sebagai sabuk keamanan. Akibatnya berbagai potensi sumberdaya alam kurang dikelola, terutama oleh investor swasta. 3. Belum ada kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan perbatasan yang dapat dijadikan acuan berbagai program dan kegiatan, walaupun sudah diamanatkan dalam GBHN 1999 dan Propenas 20002004. 4. Pendekatan keamanan lebih menonjol dibanding pendekatan kesejahteraan, karena tuntutan pada masa lalu. Saat itu memang banyak terjadi pemberontakan di sekitar kawasan perbatasan. 5. Penanganan perbatasan masih bersifat parsial dan ad hoc sehingga tidak optimal. 6. Belum ada koordinasi antara instansi-instansi terkait di tingkat daerah dan pusat. 7. Masyarakat di perbatasan umumnya miskin akibat dari akumulasi beberapa faktor, yakni rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya produktivitas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam.

8. Terdapat perbedaan tingkat kesejahteraan dengan negara tetangga tertentu seperti Malaysia. 9. Jumlah pintu perbatasan (pos pemeriksa lintas batas dan pos lintas batas) masih sangat terbatas, sehingga mengurangi peluang peningkatan hubungan sosial dan ekonomi antara Indonesia dengan negara tetangganya. 10. Akses darat dan laut menuju ke kawasan perbatasan sangat kurang memadai dan sarana komunikasi sangat terbatas, sehingga orientasi masyarakat cenderung ke Negara tetangga. Kondisi ini dapat menyebabkan degradasi nasionalisme masyarakat perbatasan. 11. Sarana dasar sosial dan ekonomi sangat terbatas. Akibatnya penduduk di kawasan perbatasan berupaya mendapatkan pelayanan sosial dan berusaha memenuhi kebutuhan ekonominya ke kawasan perbatasan tetangga. 12. Belum ada kepastian hukum bagi pelaku pembangunan, sehingga tidak ada basis pijakan bagi pelaku pembangunan di kawasan perbatasan. 13. Kewenangan penanganan wilayah masih banyak dikeluarkan instansi pemerintah dipusat. 14. Lemahnya penegakan hukum terhadap para pencuri kayu (illegal logging), penyelundup barang, penjualan manusia (trafficking person), pembajakan dan perompakan, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia (seperti tenaga kerja, bayi, dan wanita), maupun pencurian ikan. 15. Belum ada lembaga yang mengkoordinasikan pengelolaan perbatasan di tingkat nasional dan daerah. 16. Terjadi eksploitasi sumberdaya alam secara tak terkendali akibat lemahnya penegakan hukum. 17. Pengelolaan sumberdaya alam yang belum optimal dan berorientasi masa depan. 18. Minimnya sarana dan prasarana keamanan dan pertahanan menyebabkan aktivitas aparat keamanan dan pertahanan di perbatasan belum optimal. Pengawasan di sepanjang garis perbatasan kontinen maupun maritim juga lemah, sehingga sering terjadi pelanggaran batas negara oleh masyarakat kedua negara tetangga. 19. Ada tuntutan daerah untuk ikut mengelola kawasan perbatasan seiring dengan berlakunya desentralisasi dan otonomi daerah. Mereka menuntut pendapatan dari Pos Pengawas Lintas Batas dapat menjadi salah satu penghasilan bagi pemerintah daerah. 20. Ada tawaran investasi cukup besar, tetapi terbentur terbatasnya dana pembangunan sarana dan prasarana yang dapat disediakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 21. Masalah dengan negara tetangga, antara lain belum jelas dan tegas garis batas kontinen dan maritim; bagaimana menangani nelayan kedua negara yang melanggar wilayah negara; serta

terdapat pelintas batas tradisional akibat hubungan kekerabatan, kesamaan adat dan budaya kedua negara. 22. Masalah pengembangan kawasan di sepanjang perbatasan, karena kewenangan pengelolaan dipandang harus seijin Pemerintah Pusat dan dana yang sangat terbatas. 01/02/2009 - Posted by syaipul adhar | sosdem

You might also like