You are on page 1of 116

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF (COOPERATIVE LEARNING) BAGI PENINGKATAN KECERDASAN SOSIAL WARGA BELAJAR PAKET B (Suatu Penelitian

Di PKBM Kota Gorontalo)


Desertasi Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang Pendidikan Luar Sekolah

Oleh:

Rusdin Djibu NIM: 0809597


PROGRAM STUDI PLS SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2012

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 1

ABSTRAK
Penelitian ini bertolak dari Permasalahan internal pada proses pembelajaran yang ada di PKBM-PKBM Kota Gorontalo yang pada umumnya masih berpusat pada pendidik atau tutor. Dengan kata lain bahwa proses pembelajarannya masih bersifat konvensional. Salah satu upaya ke arah itu maka melalui penelitian ini dikembangkan Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Bagi Peningkatan Kecerdasan Sosial Warga Belajar Program Paket B pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kota Gorontalo Teori yang melandasi penelitian ini adalah:Tteori dan PpendekatanOrang Dewasa, Andragogik, Pembelajaran Kooperatif, Kecerdasan Sosial, Program Paket B dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Research and Development (RD), yang meliputi kegiatan: (1) studi pendahuluan, (2) pengembangan draft awal model konseptual pembelajaran kooperatif, (3) validasi ahli dan revisi, (4) implementasi model, (5) uji keefektifan model, dan (6) model direkomendasikan. Hasil penelitian dan pengembangan menunjukkan: (1) kemampuan tutor dalam pembelajaran kooperatif masih relatif rendah, , (2) Proses pembelajaran pada umumnya masih berposat pada tutor (3) validasi ahli telah menghasilkan model konseptual pengembangan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar, (4) implementasi model menghasilkan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar, (5) Model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan dalam penelitian ternyata efektif dalam meningkatkan kecerdasan sosial warga belajar. Temuan penelitian ini menunjukkan model pembelajaran kooperatifl yang dikembangkan patut direkomendasikan kepada pihak-pihak terkait dalam upaya meningkatkan kecerdasan sosial warga belajar.

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan Pendidikan nonformal yang mencakup pendidikan informal, non formal dan berfungsi menjadi mitra pendidikan formal merupakan perwujudan Pendidikan Sepanjang Hayat. Pendidikan informal yang diselenggarakan pada lingkup keluarga memainkan peran utama dalam memprakasai proses belajar sepanjang hayat yang berlangsung selam rentang waktu kehidupan seseorang. Selain pembelajaran diperoleh pula pembiasaan dan peneladanan, sebagai mitra pendidikan formal maksudnya Pendidikan Luar Sekolah dapat berfungsi sebagai substitusi, komplemen, dan suplemen serta dapat menjembatani ke dunia kerja. Pendidikan non formal yang diselenggarakan di masyarakat pada lembaga yang membantu peserta didik di masyarakat sehingga selalu belajar tentang nilai, sikap, pengetahuan dan ketrampilan fungsional yang diperlukan untuk mengatualisasikan diri dan untuk mengembangkan masyarakat serta bangsa dengan selalu berorientasi pada kemajuan kehidupan masa depan. Melihat cakupan yang sedemikian luas, Pendidikan nonformal tidak ditempatkan pada pilar pendidikan ketat, Pendidikan nonformal ditempatkan pada tatanan Pendidikan Sepanjang Hayat karena Pendidikan Sepanjang Hayat memberi arag agar pendidikan nonformal membantu peserta didik untuk mengembangkan diri melalui proses pendewasaan yang selalu berusaha menemukan kepuasan bagi diri individu di lingkuangan melalui aktualisasi diri, serta dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan untuk kebermaknaan diwaktu yang akan datang. Berkenaan dengan pelaksanaan pendidikan nonformal, termasuk di dalamnya program pendidikan kesetaraan Paket B, masih menghadapi beberapa permasalahan. Pertama, belum mendapat pemahaman dan perhatian yang profesional dari pemerintah maupun masyarakat dalam sistem pembangunan nasional, baik yang berkenaan dengan peraturan perundangan maupun dukungan anggaran sehingga pemerataan pelayanan pendidikan nonformal bagi masyarakat di berbagai lapisan dan di berbagai daerah belum dapat dilaksanakan secara optimal. Kedua, masih terbatasnya jumlah dan mutu tenaga profesional pada institusi pendidikan nonformal di tingkat pusat dan daerah dalam mengelola, mengembangkan, dan melembagakan pendidikan nonformal. Ketiga, masih terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan nonformal baik yang menunjang penyelenggaraan maupun proses pembelajaran pendidikan nonformal dalam rangka memperluas kesempatan, peningkatan mutu dan relevansi hasil program pendidikan nonformal dengan kebutuhan pembangunan. Keempat, terselenggaranya kegiatan pendidikan nonformal di lapangan tergantung pada tenaga sukarela yang tidak ada kaitan struktural dengan pemerintah sehingga tidak ada jaminan kesinambungan pelaksanaan program pendidikan nonformal. Kelima, peran serta masyarakat dalam memprakarsai penyelenggaraan dan pelembagaan pendidikan nonformal masih relatif sangat rendah. Di samping itu dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut dijelaskan pula bahwa pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
Page 3

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

keterampilan fungsional. Sedangkan penyelenggaraan pendidikan nonformal bertujuan untuk meningkatkan kualitas daya pikir, daya kalbu, dan daya fisik peserta didik sehingga yang bersangkutan memiliki lebih banyak pilihan dalam kehidupan, baik pilihan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, pilihan kesempatan untuk bekerja, maupun pilihan untuk mengembangkan dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan nonformal perlu memberikan bekal dasar kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan kepada peserta didik agar mereka siap menghadapi berbagai kehidupan nyata. Upaya-upaya tersebut bukan tidak berhasil sama sekali dalam meningkatkan kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan hidup tamatannya, akan tetapi kehidupan nyata menuntut pendidikan nonformal untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian. Pendidikan nonformal dituntut menghasilkan tamatan yang mampu, sanggup, dan terampil untuk menghadapi tantangan hidup serta berkompetisi dan berkolaborasi sekaligus. Pendidikan nonformal merupakan lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat, memiliki keleluasaan dalam mengembangkan dan membina berbagai macam programnya. Seperti halnya penyelenggaraan pendidikan nonformal lainnya, penyelenggaraan pendidikan kesetaraan Program Paket B menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Namun demikian penyelenggaraan pendidikan nonformal lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali program. Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap pendidikan nonformal sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia. Pendidikan nonformal seyogianya menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan dan anak usia putus sekolah (Slamet, 2002). Pendidikan Kesetaraan, sesuai Undang-undang Sisdiknas pasal 1 ayat 1 tentang jalur pendidikan dan pasal 26 ayat 6, hasilnya dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Makna setara dalam konsep pendidikan kesetaraan adalah sepadan dalam hal eligibilitas, nilai, pengaruh atau pengakuan lulusannya. Proses pembelajarannya harus dapat menjamin agar lulusannya memiliki kemampuan, kecakapan, dan nilai-nilai yang berguna dalam menempuh kehidupannya. Kesetaraan bermakna kesamaan standar kompetensi lulusan yang harus dicapai yang sama dengan lulusan sekolah formal akan tetapi cara mencapainya yang berbeda. Perbedaan ini pula yang menjadi salah satu hal menarik untuk dikaji sebagai bahan kajian ilmiah. Pada pendidikan formal banyak metode dan model pembelajaran yang diterapkan oleh para pendidik guna untuk menggali berbagai macam kreativitas yang dimiliki oleh peserta didik sehingga mereka mampu berkompetensi untuk mengembangkan kreativitas tersebut melalui berbagai macam kompetisi di lingkungan sekolahnya, maupun antar sekolah baik di tingkat daerah kabupaten/kota tingkat provinsi, maupun tingkat nasional bahkan tingkat dunia yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Page 4

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Alur pemikiran di atas menjadi inspirasi lahirnya gerakan untuk mengurangi rasa cemas dan putus asa dari warga belajar. Salah satu program alternatif pemecahannya adalah dengan memperbaiki dan meningkatkan kreativitas dalam pembelajaran pada jalur pendidikan nonformal yang dianggap strategis dan merupakan dasar pengetahuan bagi seseorang (the essential learning needs). Kajian dan Inovasi pembelajaran yang searah dengan tuntutan zaman akan melahirkan starategi baru dalam program pendidikan nonformal khususnya dalam program pendidikan kesetaraan Dalam pertimbangan akademis, teknik dan berbagai macam model pembelajaran yang diterapkan, dianggap efektif untuk menggali potensi dan meningkatkan kecerdasan yang dimilki oleh seseorang khususnya pada program pendidikan kesetaraan Paket B. Menurut UNESCO, pembelajaran yang efektif pada abad ini harus diorientasikan pada empat pilar yaitu, (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Keempatnya dapat diuraikan bahwa dalam proses pendidikan melalui berbagai kegiatan pembelajaran peserta didik diarahkan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu, menerapkan atau mengaplikasikan apa yang diketahuinya tersebut guna menjadikan dirinya sebagai seseorang yang lebih baik dalam kehidupan sosial bersama orang lain. Dalam rangka merealisasikan learning to know, tutor memiliki berbagai fungsi yang di antaranya adalah sebagai fasilitator, yaitu sebagai teman sejawat dalam berdialog dan berdiskusi dengan warga belajar guna mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu. Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi warga belajar untuk mengaplikasikan keterampilan yang dimilikinya sehingga dapat berkembang dan dapat mendukung keberhasilan warga belajar nantinya. Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya, bagi anak yang pasif peran tutor pengarah dan fasilitator sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya dalam kegiatan belajar dan pengembangan diri. Selanjutnya, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu ditumbuhkembangkan termasuk dalam proses belajar mengajar di sekolah. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Dalam pelaksanaannya, tujuan belajar yang utama ialah bahwa apa yang dipelajari itu berguna di kemudian hari, yakni membantu kita untuk dapat belajar terus dengan cara yang lebih mudah, sehingga tercapai proses pembelajaran seumur hidup (long life education). Untuk mewujudkan hal ini, sangat dibutuhkan kerjasama antara berbagai pihak, terutama antara peserta didik atau warga belajar dengan pendidik atau tutor. Peran tutor sebagai pendidik sangat penting; oleh karena itulah, tutor dituntut dapat menerapkan berbagai metode yang efektif dan menarik bagi warga belajar dalam proses penyampaian materi pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang aktif dan interaktif adalah model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) karena melibatkan seluruh peserta didik dalam
Page 5

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

bentuk kelompok-kelompok. Ada sejumlah hal yang harus dipahami oleh pendidik atau tutor sebelum mengaplikasikan metode ini dalam proses pembelajaran di kelas. Menurut Zaini model pembelajaran adalah pedoman berupa program atau petunjuk strategi mengajar yang dirancang untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran. Pedoman itu memuat tanggung jawab tutor dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Salah satu tujuan dari penggunaan model pembelajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan warga belajar selama belajar. Dengan pemilihan metode, strategi, pendekatan, serta teknik pembelajaran, diharapkan adanya perubahan dari mengingat (memorizing) atau menghafal (rote learning) ke arah berpikir (thinking) dan pemahaman (understanding), dari model ceramah ke pendekatan discovery learning atau inquiry learning, dari belajar individual ke kooperatif, serta dari subject centered ke learner centered atau terkonstruksinya pengetahuan warga belajar. Hal inilah yang terlihat pada proses pembelajaran yang ada di PKBM-PKBM Kota Gorontalo yang pada umumnya masih berpusat pada pendidik atau tutor. Dengan kata lain bahwa proses pembelajarannya masih bersifat konvensional. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Setiap warga belajar yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang, rendah). Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran Belajar kooperatif merupakan pendekatan pembelajaran melalui kelompok kecil warga belajar untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang saling asah, silih asih, dan silih asuh. Sementara itu, Bruner dalam Siberman menjelaskan bahwa belajar secara bersama merupakan kebutuhan manusia yang mendasar untuk merespons manusia lain dalam mencapai suatu tujuan. Menurut Nur (2000), semua model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur penghargaan. Struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur penghargaan pada model pembelajaran kooperatif berbeda dengan struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur penghargaan pada model pembelajaran yang lain. Dalam proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif, warga belajar didorong untuk bekerja sama pada suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan tutor. Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik warga belajar meningkat dan warga belajar dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta berkembangnya keterampilan sosial atau kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan kemampuan dan keterampilan dalam berkomunikasi yang dimikiliki oleh warga belajar. Keterampilan sosial merupakan indikator untuk melihat seseorang kecerdasan sosialnya tinggi atau rendah. Seseorang memiliki kecerdasan sosial tinggi, apabila dalam dirinya memiliki keterampilan sosial yang terdiri dari sejumlah sikap. Sikap tersebut adalah pertama, tumbuh social awareness (kesadaran situasional atau sosial).
Page 6

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Maksud dari social awareness adalah kemampuan individu dalam mengobservasi, melihat, dan mengetahui suatu konteks situasi sosial, sehingga mampu mengelola orang-orang atau peristiwa yang ada di lingkungan sekitarnya seperti yang diharapkan dalam pembelajaran kooperatif. Keunggulan dari model pembelajaran kooperatif adalah (1) membantu warga belajar belajar berpikir berdasarkan sudut pandang suatu subjek bahasan dengan memberikan kebebasan warga belajar dalam praktik berpikir, (2) membantu warga belajar mengevaluasi logika dan bukti-bukti bagi posisi dirinya atau posisi yang lain, (3) memberikan kesempatan pada warga belajar untuk memformulasikan penerapan suatu prinsip, (4) membantu warga belajar mengenali adanya suatu masalah dan memformulasikannya dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari bacaan atau ceramah, (5) menggunakan bahan-bahan dari anggota lain dalam kelompoknya, dan (6) mengembangkan motivasi untuk belajar yang lebih baik Dalam upaya mengembangkan model pembelajaran tersebut, program pendidikan nonformal terus berupaya membenahi diri dan mengembangkan berbagai program yang adaptif terhadap perkembangan dan tuntutan masyarakat. Kelembagaan nonformal dikelola oleh, dari, dan untuk masyarakat serta milik masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Pembangunan pendidikan melalui jalur pendidikan nonformal melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), secara bertahap terus dipacu dan diperluas guna memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak mungkin dapat terlayani melalui jalur pendidikan sekolah. Sasaran pelayanan pendidikan pendidikan nonformal diprioritaskan kepada warga masyarakat yang tidak pernah sekolah, putus sekolah penganggur/miskin dan warga masyarakat lainnya yang ingin belajar untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilannya sebagai bekal untuk dapat hidup lebih layak. Berkenaan dengan hal tersebut, upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional pada jalur pendidikan nonformal, khususnya pada PKBM banyak bergantung kepada berbagai faktor, baik secara internal sistem PKBM maupun faktor-faktor eksternal sistem PKBM. Keinginan untuk mewujudkan suatu pendidikan universal melalui sekolah tidak mudah dilakukan. Akan lebih gampang jika pendidikan universal ini dilakukan melalui lembaga alternatif dengan meniru gaya persekolahan. Paling tidak, usaha seperti itulah yang kemudian dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sejak tahun 1998 melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) diharapkan dapat menjadi tempat pembelajaran masyarakat sesuai dengan potensi daerah untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan budaya. Pada awal pendiriannya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) diharapkan dapat berfungsi sebagai tempat pusaran berbagai potensi yang ada dan berkembang di masyarakat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) juga diharapkan dapat berfungsi sebagai sumber informasi yang andal bagi masyarakat yang membutuhkan keterampilan fungsional. Selain itu, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) diharapkan pula berfungsi sebagai tempat tukar-menukar berbagai pengetahuan dan keterampilan fungsional di antara warga masyarakat.
Page 7

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Secara konseptual Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) diprioritaskan untuk melayani masyarakat yang tidak tertampung dalam sistem persekolahan formal dan sekolah terbuka. Saat ini, masih terdapat 5,2 juta orang usia 10-44 tahun yang masih buta huruf. Kalau ditambahkan dengan jumlah anak yang putus sekolah tahun 2010, maka akan mencapai sekitar enam juta. Jadi masih ada enam juta anak Indonesia yang belum terpenuhi hak asasinya untuk mendapatkan pendidikan dasar melalui persekolahan formal dan sekolah terbuka (Kompas, 2010). Saat ini di seluruh Indonesia terdapat sekitar 5 000 PKBM yang diprakarsai dan dikelola oleh berbagai kelompok masyarakat. Ada yang dikelola perorangan, perusahaan, lembaga kursus, pesantren, LSM maupun masyarakat lainnya. Kegiatan yang dilakukan PKBM tidak hanya menampung kegiatan yang dirancang oleh Ditjen PTK-PNF pada saat itu, tetapi juga menampung kegiatan dari sektor lain yang terkait. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa peran serta masyarakat dalam pelaksanaan program pendidikan nonformal sesungguhnya berbasis pada kebutuhan belajar Sesuai keberadaannya, meskipun para pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menyadari adanya keragaman dan kekhasan daerah masingmasing, akan tetapi masih terlihat adanya penekanan pada pembentukan struktur organisasi. Pelaksanaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) belum benarbenar memainkan peranan sebagai fasilitator yang melakukan empowerment terhadap masyarakat di daerah. Bahkan pada awal pembentukannya masih ada semacam rekayasa untuk mendorong masyarakat membuat PKBM. Secara teknis Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) masih ada yang ditangani dan dikelola aparatatau pejabat ataupun lembaga suwadaya masyarakat setempat. Pelaksanaannya masih dinilai berdasarkan jumlah dan prestasi pejabat melahirkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan bukan dari keberhasilan masyarakat dalam berbagai hal. Namun demikian sekecil apa pun usaha untuk pemberdayaan masyarakat, pasti akan membekas Dalam kenyataannya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) masih dihadapkan pada permasalahan internal dan eksternal (Balitbang Depdiknas dan Universitas Pendidikan Indonesia, 2006). Permasalahan internal, antara lain kurangnya motivasi warga belajar, keberadaan tutor belum berperan secara maksimal, kesulitan mencari lokasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang memiliki sarana memadai, pelaksanaan program dan proses pembelajaran belum sesuai dengan tuntutan. Permasalahan eksternal, terlihat belum adanya suatu pola kerjasama yang simultan antara Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dengan dunia usaha (asosiasi), perbankan/BPR dan usaha kecil menengah setempat. Implikasinya adalah belum berjalannya kemitraan, kurikulum atau materi yang disampaikan kepada warga belajar sering berjangka pendek, temporer dan musiman. Kondisi program seperti ini, berdampak pada kesungguhan warga belajar dan para lulusannya dalam mengembangkan keterampilan, maupun meneruskannya dalam bentuk usaha keterampilan bermata pencaharian. Arah baru dan perspektif masyarakat dalam bentuk tingginya partisipasi melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dihadapkan pada persoalan dilematis berkenaan dengan rendahnya kapabilitas dan kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) itu sendiri.
Page 8

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Persoalan ini terungkap, dari hasil kajian beberapa data kasus Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang kecenderungannya belum merujuk pada pemenuhan standar minimal manajemen yang telah diluncurkan Depdiknas. Salah satu contoh, program minimal yang harus dikelola oleh sebuah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) adalah tiga jenis satuan pendidikan nonformal, dari hasil kajian dokumen (daftar PKBM) di beberapa Kabupaten/Kota di di Indonesia termasuk di Kota Gorontalo, masih terdapat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang hanya menyelenggarakan satu atau dua satuan pendidikan nonformal. Sesuai hasil identifikasi yang dilaksanakan oleh peneliti di Provinsi Gorontalo sampai pada tahun 2011 terhadap layanan pendidikan melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), diperoleh informasi bahwa permasalahannya berkisar pada pengelolaan dan pengendalian mutu kelembagaan. Hal tersebut terjadi karena masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan manajerial pengelola, penyelenggara program dan tenaga kependidikan, serta lemahnya partisipasi komponen terkait di luar lembaga, sehingga kurang optimalnya mekanisme sistem penyelenggaraan pendidikan pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Atas dasar inilah yang dijadikan alasan mengapa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dijadikan latar pengembangan model pembelajaran kooperatif pada pendidikan kesetaraan pogram Paket B bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar. . Untuk indek pendidikan antara lain ditentukan oleh keberhasilan Program Paket B dalam membantu menuntaskan wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan membekali lulusannya dengan peningkatan kecerdasan sosial. Salah satu upaya ke arah itu maka melalui penelitian ini dikembangkan Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Bagi Peningkatan Kecerdasan Sosial Warga Belajar Program Paket B pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kota Gorontalo B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Hasil Survei di lapangan menunjukan bahwa pelaksanaan pembelajaran pada pendidikan kesetaraan program Paket B yang dirancang dengan sistem model pembelajaran kooperatif belum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Tenaga tutornya sebagian besar bukan berlatar belakang kependidikan, masih banyak yang belum memahami model pembelajaran modul, minimnya administrasi pelaksanaan, rendahnya kemampuan manajerial pengelola dalam menyelenggarakan program dan persuasif pengelola terhadap tutor kurang nampak. Disamping itu, masih ditemukan permasalahan pada sebagian pelaksana di lapangan dan lemahnya sistem monitoring pemerintah dalam upaya meminimalisir penyimpangan-penyimpangan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program pendidikan kesetaraan ini diminati oleh masyarakat yang ingin memperbaiki status pendidikannya. Birokrasi yang berkepanjangan juga menjadi salah satu kendala suksesnya tujuan dari program kesetaraan ini. Di sisi lain, upaya pemberdayaan dan mencerdaskan masyarakat melalui program kesetaraan ini harus memiliki sistem monitoring yang kuat untuk mengurang
Page 9

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

penyimpangan sekecil mungkin. Terutama sosialisasi dari pihak Dinas Pendidikan setempat dalam hal ini Bidang Pendidikan Nonformal dan informal, harus menyentuh level bawah, Kebijakan pemerintah masih menjadi harapan bagi mereka untuk merubah nasib kaum yang tertinggal, karena tak banyak pilihan. Penyimpangan pelaksanaan ujian dan biaya ujian kesetaraan yang simpang siur jumlahnya di lapangan telah menghambat tujuan dari program ini yaitu upaya untuk mencerdaskan masyarakat. Karena program ini satu-satunya jembatan pendidikan alternatif bagi anak-anak putus sekolah SMP atau sederajat dan anakanak yang lulus sekolah dasar atau Madrasah Ibtidaiyah yang karna alasan tidak bisa melanjutkan ke jenjangan pendidikan berikutya karena miskin untuk bisa menyetarakan statusnya di masyarakat, melalui jalur pendidikan nonformal pada saat ini, setidaknya ketika tak ada pilihan lain bagi orang miskin untuk merubah nasibnya, evaluasi pelaksanaan program kesetaraan yang menyangkut masyarakat miskin, haruslah benar-benar diperhatikan dan dipastikan harus memihak kepada mereka. Berdasakan hal tersebut di atas maka masalah dalam penelitian ini dapatlah diidentifikasi sebagai berikut: 1. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang menyelenggarakan Program Pendidikan Kesetaraan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Gorontalo Nomor 427/Diknas-PNFP/2003 sebanyak 17 PKBM dan yang menyelenggarakan khusus program kesetaraan paket B berjumlah 11 PKBM yang tersebar pada 9 Kecamatan yaitu Kecamatan Kota Selatan, Kecamatan Kota Utara, Kecamatan Kota Barat, Kecamatan Kota Tengah, Kecamatan Kota Timur dan Kecamatan Dungingi yang masing-masing Kecamatan terdapat 3 PKBM Kondisi PKBM tersebut bervariasi, dari yang mulai merintis sampai dengan yang sudah dapat mengembangkan programnya secara proporsional. Sehubungan itu, agar dapat memberikan pembinaan yang tepat maka diperlukan penelitian yang dapat memberikan data objektif tentang pelaksanaan kegiatan di PKBM, termasuk di dalamnya pendidikan kesetaraan Paket B. 2. Di Kota Gorontalo dari 17 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) terdapat dua PKBM dalam pelaksanaan dan pengelolaannya dianggap sangat baik yaitu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Azzikra yang ada di Kelurahan Padebuolo Kecamatan Kota Timur dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Taman Pendidikan yang berlokasi di Kelurahan Tapa Kecamatan Kota Utara. Kedua PKBM tersebut sesuai hasil penilaian dari Dinas Pendidikan Kota Gorontalo telah berhasil dan berupaya menyelenggarakan dan mengembangkan program-programnya sesuai standar PKBM, baik dari sisi jenis program, kualifikasi, pengelola, tutor, dan aspek manajemen lainnya 3. Walaupum PKBM Al-zikra dan PKBM Tamana Pendidikan adalah 2 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang dianggap terbaik di Kota Gorontalo, namun dalam pelaksanaan program pendidikan kesetaraan perlu difungsikan dan dioptimalkan secara efektif, apalagi kedua PKBM tersebut sampai saat ini belum memiliki model pendidikan baik secara kualitas maupun kuantitsnya. 4. Program Pendidikan kesetaraan Paket B adalah salah satu program yang dilaksanakan pada 2 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang ada di
Page 10

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Kota Gorontalo yang memiliki standar kompetensi lulusan yang sama dengan sekolah formal setingkat SMP atau Madrasah Tsanawiyah , namun konten, metode, teknik, dan pendekatan serta model pembelajaran untuk mencapai standat kompetensi lulusan tersebut lebih memberikan konsep-konsep terapan, tematik, induktif, yang terkait dengan permasalahan keberhasilan warga belajar. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa warga belajar belum memperlihatkan kemampuan akademik yang unggul terutama dalam memahami konsep-konsep yang sulit. Di samping itu warga belajar belum menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai macam latar belakang yang berbeda-beda. Kecerdasan sosial warga belajar belum nampak diantaranya: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau mengungkapkan ide, dan bekerja dalam kelompok. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengkaji pembelajaran program Paket B agar lebih kreatif, tidak kaku dan tidak kehilangan pendidikan nonformal. Permasalahan ini secara umum diakibatkan oleh beberapa hal (1) semakin meningkatnya animo masyarakat terhadap program paket B sehingga memerlukan penangan yang yang lebih khusus, (2) tuntutan masyarakat terhadap lulusan Paket yang ingin setara dengan lulusan formal sehingga menuntut waktu pembelajaran dan evaluasi belajar sama seperti sekolah, (3) tuntutan pemerintah terhadap target yang harus dicapai untuk meningkatkan IPM tinggi sehingga terjadi pemasalan pengelolaan dengan strategi pembelajaran yang klasikal, (4) rendahnya kualifikasi tutor sehingga penguasaan metodologi pembelajaran sangat monoton, penggunaan metode ceramah sangat membudaya. Di samping itu peran tutor sangat dominant sebagai pemberi informasi dan warga belajar sebagai penerima. Alternatif yang akan disodorkan adalah melalui metode Kooperatif. Program Paket B merupakan satuan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal untuk pendidikan dasar setara SMP/MTS. Makna setara dalam hal ini adalah ditunjukkan pada pengaruh atau pengakuan civil effect lulusannya. Proses pembelajarannya diarahkan untuk menjamin agar lulusannya memiliki kemampuan, kecakapan dan nilai-nilai yang berguna dalam menempuh kehidupannya. Dengan demikian, belajar makna kesetaraan adalah kesamaan standar kompetensi lulusan yang dicapai dengan sekolah formal, tetapi cara mencapainya berbeda. Perbedaannya ditinjau dari berbagai aspek; (1) strategi yang digunakan melalui kelompok belajar, (2) pendekatan pembelajaran menggunakan metode partisipatif, (3) kedudukan tutor berperan sebagai pendamping dan fasilitator. (4) bahan belajar menggunakan paket modul. (5) pertemuan belajar dilakukan 2-3 kali dalam seminggu. (6) ragi belajar diberikan secara insidental dan rutin, (7) kurikulum pembelajaran menekankan pada aspek kecakapan hidup yang holistic (8) evaluasi melalui sistem belajar tuntas. Sehingga diharapkan lulusan Paket B memiliki kemampuan yang dapat memenuhi tuntutan dunia kerja, berwirausaha dan bermasyarakat. Di samping model dan teknik pembelajaran, perlu diperhatikan karakteristik peserta didik. Kecerdasan sosial merupakan salah satu jenis kecerdasan yang mempengaruhi dalam pembelajaran. Kecerdasan sosial peserta didik harus diperhatikan tutor karena rancangan pembelajaran disusun berdasarkan karakteristik dan potensi yang dimiliki peserta didik. Dimensi kecerdasan sosial peserta didik adalah kecerdasan sosial tinggi dan kccerdasan sosial rendah.
Page 11

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Menurut Buzan (2007), kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. Orang dengan kecerdasan sosial tinggi tidak akan menemui kesulitan saat memulai suatu interaksi dangan seseorang atau sebuah kelompok baik kelompok kecil maupun besar. Ia dapat memanfaatkan dan menggunakan kemampuan otak dan bahasa tubuhnya untuk membaca teman bicaranya. Kecerdasan sosial dibangun antara lain atas kemampuan inti untuk mengenali perbedaan, secara khusus perbedaan besar dalam suasana hati, temperamen, motivasi, dan kehendak. Dalam bentuk yang lebih maju, kecerdasan ini memungkinkan orang dewasa membaca kehendak dan keinginan orang lain, bahkan ketika keinginan itu disembunyikan. Kecerdasan sosial ini juga mencakup kemampuan bernegoisasi, mengatasi segala konflik, segala kesalahan, dan situasi yang timbul dalam proses negoisasi. Semua keterampilan itu membolehkan seseorang dengan kecerdasan sosial tinggi sanggup berperan sebagai teman bicara dan sekaligus pendengar yang baik, serta sanggup berhubungan dengan banyak orang. Selanjutnya orang dengan kecerdasan sosial rendah, cenderung sulit berinteraksi dengan sesamanya atau sebuah kelompok baik kelompok kecil maupun besar termasuk dalam proses pembelajaran. Di samping itu ia tidak memilki kemampuan dalam memahami, mendengarkan dan peka terhadap maksud dan pemikiran orang lain, serta tidak merasakan dan mengamati reaksi-reaksi dan perubahan orang lain, yang ditunjukkan baik secara verbal maupun non verbal dan lamban mencari pemecahan masalah yang efektif dalam suatu interaksi sosial dan kurang memiliki penguasaan ketrampilan komunikasi. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersenut di atas , dapatlah ditetapkan masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimanakah Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Bagi Peningkatan Kecerdasan Sosial Warga Belajar Program Paket B di PKBM Kota Gorontalo? Secara operasional rumusan masalahnya meliputi: 1. Bagagaimana kondisi objektif pembelajaran kooperatif program Paket B. Di PKBM Kota Gorontalo 2. Bagaimana model konseptual pembelajaran kooperatif program Paket B di PKBM Kota Gorontalo. 3. Bagaimana implementasi pengembangan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket B di PKBM Kota Gorontalo. 4. Bagaimana efektivitas pengembangan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket B di PKBM Kota Gorontalo. C. Tujuan Penelitian 1. Secara Umum
Page 12

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket B di PKBM Kota Gorontalo 2. Secara Khusus: Secara khusus penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui kondisi awal pembelajaran kooperatif pada program Paket B. di PKBM Kota Gorontalo 2. Untuk mengembangkan model konseptual pembelajaran kooperatif pada program Paket B di PKBM Kota Gorontalo. 3. Untuk mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif pada program Paket B di PKBM Kota Gorontalo. 4. Untuk mengetahui efektivitas pengembangan model pembelajaran kooperatif pada program Paket B di PKBM Kota Gorontalo. E.Manfaat Penelitian Pemgembangan model pembelajaran kooperatif diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan sosial warga belajar Paket B Di PKBM Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bahan masukan bagi para para praktisi PTKPNF dandapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Pendidikan Luar Sekolah terutama yang berhubungan konsep pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar program Paket B di PKBM. Selanjutnya secara praktis penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk semua pihak: 1. Bagi para tutor Program Paket B di PKBM Kota Gorontalo menjadi bahan masukan yang positif dan pertimbangan dalam melaksanakan pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan kecerdasan sosial warga belajar 2. Bagi penyelenggara dan pihak yang berwewenang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan kebijakan dan pelaksanaan rekrutmen para tutor program Paket B di Kota Gorontalo 3. Sebagai bahan masukan pada para tutor kesetaraan Paket B umtuk mengembangkan model pembelajaran kooperatif dalam rangka meningkatkan kecerdasan sosial warga belajar 4. Input dan bahan kajian bagi peneliti dan yang akan melaksanaan penelitian lebih lanjut dengan fokus masalah yang sama F. Kerangka Pengembangan Variabel Penelitian 1. Model pembelajaran kooperatif bagi warga belajar program Paket B di PKBM menjadi fokus dalam kajian penelitian dan pengembangan dalam menjawab permasalahan yaitu kesenjangan antara kondisi empirik di lapamgan dan kajian teoretis yang ada 2. Pembelajaran kooperatif penting untuk dikemabngkan dengan alasan : Pertama, adanya transformasi sosial. Pengaruh modernisasi, struktur keluarga berubah drastis banyak anak dibesarkan dalam keluarga inti tanpa kehadiran orang tua di rumah karena alasan kerja. Pengaruh televise bagi anak yang menghabiskan waktunya lebih banyak untuk menonton daripada berinteraksi dengan orang tuanya membuat kemampuan anak untuk berkomunikasi lemah. Kegiatan di sekolahpun para pendidik lebih banyak berorientasi pada perkembangan
Page 13

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

kognitif anak, sementara perkembangan moral dan sosial sekedarnya. Kedua,.adanya tranformasi ekonomi. Perlunya perubahan dalam sistem pembelajaran saat ini adalah karena alasan transformasi ekonomi. John Naisbitt, mengemukakan bahwa 90 % pekerjaan dalam era post industri bergerak dalam bidang atau berhubungan dengan informasi, ilmu pengetahuan, atau jasa. Derasnya arus informasi sudah tidak memungkinkan lagi bagi pendidik untuk bersikap mahatahu dan beranggapan bahwa anak didik perlu dimasuki dengan berbagai fakta pengetahuan dan informasi. Selain itu, keterkaitan (interdependency) merupakan ciri lain dari tarsnformasi ekonomi. Pada kebanyakan pekerjaan, kepandaian atau kemampuan individu bukanlah yang terpenting. Kemampuan untuk bekerja sama dalam tim lebih dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan keberhasilan suatu usaha. Sebagai pendidik yang bertanggung jawab, harus merasa terpanggil untuk mempersiapkan anak didik agar bisa berkomunikasi dan bekerjasama dengan orang lain dalam berbagai macam situasi sosial.Ketiga, transformasi demografi. Perubahan nilai-nilai sosial dan proses sosialisasi dari dampak transformasi demografi seperti urbanisasi, kebinekaan suku bangsa dan ras merupakan hal yang serius untuk kita waspadai 3. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan satuan pendidikan nonformal sebagai tempat pembelajaran dan sumber informasi yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat yang berorientasi pada pemberdayaan potensi setempat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. 4. Kegiatan pembelajaran koperatif yang dilaksanakan pada program Paket B di PKBM Kota Gorontalo diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan sosial warga belajar dalam memahami, mendengarkan dan peka terhadap maksud dan pemikiran orang lain, serta merasakan dan mengamati reaksi-reaksi dan perubahan orang lain, yang ditunjukkan baik secara verbal maupun non verbal dan mampu mencari pemecahan masalah yang efektif dalam suatu interaksi sosial dan memiliki penguasaan ketrampilan komunikasi. Dengan kata lain pembelajarn kooperatif yang dilakukan menjadikan warga belajar percaya diri, sikap positif, kesadaran situasional, kemampuan membawa diri, ketrampilan berkomunikasi dan memiliki sikap empati. F. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: "Terdapat perbedaan kecerdasan sosial yang signifikan antara kelompok warga belajar Pendidikan Program Paket B yang menggunakan model pembelajaran kooperatif dengan yang tidak menggunakan model pembelajaran kooperatif ".

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 14

A. Hakikat Andragogi Pada Bab ini akan dikaji teori-teori andragogik menurut para ahli antara lain yang dikemukakan oleh Knowles (1997 : 447) bahwa terdapat dua macam pendekatan dalam melakukan proses belajar mengajar untuk dua jenis peserta yang berbeda. Pendekatan yang pertama disebut dengan andragogi, yaitu suatu seni dan ilmu dalam mengajar orang dewasa. Kedua pendekatan pedagogi, yaitu suatu seni dan ilmu dalam mengajar anak dan remaja. Pendekatan yang dikemukakan oleh Knowles dalam mengkonsepsikan andragogis sebagai ilmu pendidikan untuk orang dewasa, lebih dipengaruhi oleh gagasan pragmatis dan humanis. Karenanya Knowles juga mengemukakan bahwa pendidikan orang dewasa berangkat dari sisi pengalaman sebagai sumber pengetahuan (mashab pragmatis), tetapi sebaliknya pengalaman adalah hasil dari proses belajar yang membantu membuat pengalaman tersebut sejalan dengan arti dari dalam, dan jadi lebih berarti karena apa yang telah diketahui mempunyai makna dalam kehidupannya. Lebih lanjut Knowles, M (1997; 48) mengemukakan beberapa hal penting berkaitan dengan pendidikan orang dewasa. Beliau mengemukakan bahwa (a) orang dewasa berbeda dengan anak-anak dalam hal sikap hidup, pandangan terhadap nilai-nilai hidup, minat, kebutuhan, ide/gagasan, hasrat-hasrat dan dorongan-dorongan untuk melakukan suatu perubahan; (b) orang dewasa sudah banyak memiliki pengalaman hidup (lebih banyak dari anak-anak), maka mereka pada umumnya tidak mudah dirubah sikap hidupnya; (c) orang dewasa mempunyai konsep diri (self concept) yang kuat dan mempunyai kebutuhan untuk mengatur dirinya sendiri, oleh karena itu mereka cenderung menolak apabila dibawa ke dalam situasi yang kurang lebih digurui atau diperlakukan seperti anakanak; (d) pengalaman merupakan sumber yang paling kaya dalam proses belajar orang dewasa, oleh karena itu inti metodologi dari proses belajar orang dewasa adalah menganalisis pengalaman; (e) pada umumnya tidak ada perbedaan pada tingkat kecerdasan dan kemampuan belajar antara orang dewasa dan anak-anak, bila ada perbedaan mungkin hanya terjadi pada individu yang satu dengan yang lainnya; (f) orang dewasa akan lebih cepat dan lebih mudah menerima dan memahami isi peserta didikan atau pendidikan, apabila ia telah dapat menyadari dan menginsafi manfaat dan pentingnya peserta didikan dan pendidikan bagi kehidupannya; (g) orang dewasa akan lebih memahami suatu hal apabila dapat diterapkan melalui berbagai jenis panca indra, lebih-lebih apabila dihayati dengan melakukannya sendiri. Seperti ungkapan cina yang berbunyi I hear and I forget, I see and I remember, I do and I understand Andragogi yang oleh Knowles disebut sebagai seni (art) dalam mengajar orang dewasa (helping adult learn) mempunyai beberapa pemahaman dan pengertian. Dalam khasanah pendidikan orang dewasa ada beberapa istilah yang erat kaitannya dengan proses pembelajaran di masyarakat. Sekalipun sebenarnya tidaklah mungkin untuk dijadikan suatu definisi bagi pembelajaran dalam pendidikan orang dewasa. Bahkan dalam beberapa ruang lingkup definisi pendidikan orang dewasa yang dikemukakan beberapa ahli, mempunyai pandangan yang sangat membingungkan dan menyulitkan. Sekalipun demikian
Page 15

BAB II KAJIAN TEORETIS

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

pada beberapa kenyataan yang ada, beberapa istilah yang muncul menjadikan sebagai suatu pengembangan yang sangat penting bagi hasanah pemahaman tentang pemikiran pendidikan orang dewasa. Lahirnya beberapa istilah dalam pembelajaran orang dewasa juga tidak lepas dari lahirnya beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli, bahkan cenderung berlebihan sehingga pendidikan orang dewasa dipandang sebagai pragmatisme. Lindeman (1998 : 49) yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Dewey melahirkan teori pembelajaran orang dewasa sebagai pembalajaran ekperimental, yang pada akhirnya model pembelajaran ini melahirkan gaya belajar orang dewasa. Dari beberapa pandangan yang pragmatis inilah kemudian muncul beberapa istilah pendidikan orang dewasa, seperti Continuing education, yang dicetuskan oleh Peter Jarvish (1998: 332) dalam bukunya Sosiology of Adult and Continuing Education, diartikan sebagai pendidikan yang berkelanjutan, konsep ini bertitik tolak pada penilaian bahwa pendidikan selalu berkelanjutan, mulai pendidikan anak sampai pada orang dewasa. Asumsi ini juga didasarkan bahwa setiap pendidikan orang dewasa kembali pada pendidikan yang ada, seperti pendidikan yang berorientasi pada pendidikan keahlian dan pendidikan keterampilan yang berada pada level lanjut maupun level yang sudah berpengalaman. Namun demikian pandangan-pandangan pragmatis tentang pendidikan orang dewasa tidak lepas dari sikap kritis dari ahli yang lain. Sikap kritis inilah yang kemudian melahirkan pandangan-pandangan yang lebih humanis seperti yang dikembangkan oleh Carl Rogers (Dankerwald, 1982; 82) dengan pendekatan eksistensionalistnya. Asumsi dasar pandangan Rogers adalah bahwa manusia adalah aktif dan bebas; manusia memiliki dorangan dari dalam; dan kegairahan manusia tergantung dari lingkungan (phenomenal field). Dari gagasan inilah Roger menyimpulkan bahwa manusia akan berkembang manakala manusia berada dalam lingkungan suasana yang menyenangkan. Penggabungan dua pendekatan antara pragmatis dan humanistis dilakukan oleh Malcon Knowles. Ia memandang pendidikan orang dewasa sebagai sebuah proses petumbuhan, di mana sebagai sebuah proses ia tidak hanya akan beraktualisasi diri, tetapi proses juga mengaktualisasi diri dan pada akhirnya mengakumulasi pengalaman menjadi sumber belajar. Knowles memandang melalui proses pertumbuhan seseorang menjadi terbuka terhadap lingkungannya dan akan lebih mampu dalam memecahkan permasalahan serta mampu memimpin masyarakat dalam lingkungannya. Pada akhirnya Knowles (1986 : 234) mengemukakan bahwa pendidikan orang dewasa mempunyai beberapa prinsip; yaitu pertama bahwa orang dewasa harus punya keinginan untuk belajar, orang dewasa tidak akan mempeserta didiki sesuatu hanya karena seseorang mengatakan mereka seharusnya belajar, tetapi mereka harus memiliki keinginan untuk mempeserta didiki keterampilan atau pengetahuan baru; Kedua, orang dewasa mau belajar kalau merasa perlu, mereka ingin tahu sejauh mana pembelajaran atau kegiatan belajar itu mampu membantu mereka sesegera mungkin untuk diterapkan, dan mereka tidak mungkin tertarik pada sesuatu yang bernilai 10 tahun. Orang dewasa tidak akan tertarik pada pelatihan yang mengajarkan banyak teori-teori, mereka akan tertarik pada hal-hal praktis, sederhana dan langsung memenuhi apa yang mereka inginkan dalam belajar; ketiga orang dewasa belajar sambil bekerja
Page 16

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

(adult learn by doing), beberapa penelitian menunjukan bahwa bila orang dewasa segera dapat mempraktekkan hasil belajar dan menggunakan hasil belajarnya akan bertahan lebih lama, tetapi apabila mereka tidak mempunyai kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam belajar dan segera mempraktekkan hasilnya maka mereka akan lupa apa yang telah mereka peserta didiki, seperti ungkapan cina I hear and I forget, I see and I remember, I do and I understand Keempat orang dewasa belajar dengan memecahkan masalah-masalah realistis, jika masalah-masalah yang mereka peserta didiki tidak realistis, tidak ada hubungan dengan kehidupan nyata, mereka tidak akan tertarik; kelima pengalaman mempengaruhi belajar orang dewasa, mereka akan menghubungkan apa yang mereka peserta didiki dengan apa yang mereka sudah ketahui, jika pengetahuan baru tidak cocok dengan pengetahuan mereka sebelumnya mereka akan menolaknya. Dasar dari pengalaman belajar orang dewasa adalah pengalaman mereka, suatu pengalaman atau informasi baru harus dihubungkan dengan apa yang telah mereka ketahui; Keenam orang dewasa belajar dengan suasana yang menyenangkan, atau dalam suasana lingkungan in formal, suasana klasikal umumnya kurang mereka sukai; ketujuh orang dewasa merespon penyampaian materi yang bervariasi, mereka akan belajar lebih baik melalui cara yang bervasiasi, atau dengan kata lain bahwa informasi sampai kepada mereka melalui lebih satu indra; kedelapan orang dewasa menginginkan bimbingan, bukan nilai atau hal yang bersifat kredensial. Orang dewasa mengerjakan apa yang mereka ingin ketahui, orang dewasa akan mengukur kemajuan mereka sendiri dan penghargaan dan bimbingan dari nara sumber akan mendorong semangat dan mencegah dari frustasi karena adanya standart-standart yang tidak mereka inginkan. Pendidikan orang dewasa juga dikatakan sebagai pendidikan recurren education, di mana pendidikan lebih mengacu pada sistem pendidikan tertentu yang dikelola dengan baik. Dalam pendidikan ini lebih menekankan pada pentingnya peningkatan potensi yang ada dalam individu. Istilah lain dari pendidikan orang dewasa adalah life long learning, pendidikan ini menunjuk pada suatu kenyataan bahwa proses pendidikan dan kebutuhan pendidikan akan berlangsung sepanjang hayat manusia. Dalam Konteks ini tidak ada istilah kata terlambat dalam proses memperoleh pendidikan, dan tidak ada batasan waktu tertentu dan juga tidak terbatas pada sistem klasikal yang membatasi usia seseorang untuk memperoleh pendidikan. Atas dasar inilah, beberapa ahli menyetujui beberapa konsep tentang definisi pendidikan orang dewasa. Organitation for Economic Co-operation and Development (OECD) (Rogers. A, 1994; 2) mengemukakan bahwa pendidikan orang dewasa berkaitan dengan aktifitas belajar atau program belajar yang dirancang oleh suatu agen untuk pemenuhan beberapa pelatihan yang memuaskan atau dapat memberikan pengalaman pada tingkatan tertentu pada kehidupan seseorang. Lebih lanjut UNESCO menganggap penting untuk memperluas pandangannya tentang pendidikan orang dewasa. Lembaga yang berada dibawah naungan PBB ini mengemukakan bahwa pendidikan orang dewasa adalah program pendidikan yang memberikan nilai tambah dan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dari setiap orang diluar sekolah regular dan sistem universitas dan pesertanya tidak kurang dari 15 orang pembelajarannya di kelola secara komunikatif yang dikombinasikan
Page 17

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

dengan pengetahuan keterampilan, keahlian dan pemahaman terhadap segala nilai nilai aktifitas kehidupan. Sejalan dengan pendapat tersebut, National Institut Of Adult Education (Rogers, A. 1994; 2) mengemukakan bahwa pendidikan orang dewasa merupakan pendidikan untuk masyarakat yang telah cukup tua untuk bekerja, memilih, berjuang dan mempunyai kompleksitas pendidikan berkelanjutan dalam membantu untuk peserta belajarnya. Mereka membuat batasan untuk peserta didikannya, jalan untuk menguji kemampuan dasar belajar yang berorientasi pada profesi atau sebagai master bagi pekerjaan yang baru. Selanjutnya Suprijanto. (2007 22-27) mangajukan tiga pendekatan dalam memahami teori belajar orang dewasa, (1) pedekatan yang berpusat pada masalah. Pendekatan ini mengarah pada pengalaman belajar yang dihadapi oleh orang dewasa baik dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tujuan dari penunjukan pengalaman ini untuk memperlihatkan kepada peserta didik bahwa pengetahuan yang diperoleh mempunyai kaitan dengan masalah yang dihadapi; (2) pendekatan proyektif, pendekatan ini merupakan metode yang sebenarnya mungkin disukai oleh orang dewasa, karena dalam pendekatan ini dilakukan penguraian terhadap konsep-konsep ekonomi keluarga dan permasalahannya, yang kesemuanya dikembangkan melalui cerita-cerita yang bernuansa lokal dan cerita yang tidak terbatas (open Ended); dan (3) pendekatan Aktualisasi diri, pendekatan ini lebih menekankan pada bentuk partisipasi setiap peserta belajar. Karakteristik dari pendekatan ini meliputi: (a) proses yang berpusat pada peserta didik dan proses yang digerakkan oleh peserta didik. Konsep ini lebih menekankan pada kemampuan individu untuk mengatur kehidupannya sendiri; (b) belajar bersama sejawat. Dalam proses pengaktualisasikan diri dimulai dengan membina hubungan saling percaya antara fasilitator dan anggota kelompok belajar. Saling percaya antara fasilitator dengan peserta belajar, peserta belajar dengan peserta belajar meruipakan prasyarat paling penting untuk memajukan proses pertumbuhan dan pengembangan belajar; (c) memudahkan terciptanya konsep diri yang positif. Dalam hal ini pendekatan aktualisasi diri merupakan faktor kunci yang mempengaruhi pemilihan suatu bagian dari konsep diri, yaitu bagaimana cara indifidu merasa dirinya dipengaruhi. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darkenwald and Marriam (Suprijanto, 2004; 82-83) menyimpulkan bahwa prinsip pembalajaran orang dewasa meliputi; (a) kesiapan belajar orang dewasa tergantung pada kwalitas pembelajaran yang sudah ada sebelumnya; (b) penguatan (Reinforcement) positif lebih efektif; (c) motivasi instrinsik menghasilkan pembelajaran lebih mudah diserap dan permanen; (d) bahan belajar akan lebih mudah dipeserta didiki apabila sesuai dengan kebiasannya; (e) belajar akan lebih baik apabila dilakukan dengan pengulangan (Trial and error); (f) bahan belajar dan tugas yang bermakna bagi kehidupannya akan lebih mudah untuk dipeserta didiki; (g) partisipasi aktif dalam pembelajaran akan memperbaiki ingatan; (h) faktor lingkungan mempengaruhi pembelajaran. Dalam pembelajaran di PKBM banyak metode dan model pembelajaran yang dikembangkan antara lain model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) guna meningkatkan kecerdasn sosial (social intelligence) wpeserta didik.
Page 18

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Teori-teori tentang pembelajaran kooperatif akan diungkapkan oleh para ahli sebagaimana pada pembahasan hakikat pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dan hakikat kecerdasan sosial (social intelligence) pada bagian B dan C. B. Hakikat Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Untuk membahas teori tentang pembelajaran kooperatif dalam penelitian ini, didasarkan atas pendapat para ahli dengan melihat dari sudut pandang masingmasing, seperti yang dikemukakan oleh Davidson dan Warsham (1992 : 34) bahwa, model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan belajar mengajar secara kelompokkelompok kecil. Di sisi lain, Jerome Brunner (1996 : 56) dalam buku klasiknya" To word a Theory of Introduction" , yang memandang dari sisi sosial proses belajar mengajar menjelaskan bahwa kebutuhan mendalam manusia untuk merespon orang lain dan untuk bekerja sama dengan mereka guna mencapai tujuan, yang mana hal ini mereka sebut dengan resiprositas (hubungan timbal balik). Brunner juga berpendapat bahwa resiprositas merupakan sumber motivasi yang bisa dimanfaatkan oleh pendidik untuk menstimulasi kegiatan belajar. Konsep-konsep Brunner dan Moslow (1996 : 57) melandasi perkembangan metode belajar kolaboratif yang sedemikian populer dalam lingkup pendidikan masa kini. Menempatkan peserta didik dalam kelompok dan memberi mereka tugas yang menuntut mereka untuk bergantung satu sama lain dalam mengerjakannya merupakan cara yang bagus untuk memanfaatkan kebutuhan sosial peserta didik. Mereka lebih cenderung lebih terlibat dalam kegiatan belajar karena mereka mengerjakannya bersama teman-teman yang mengarah kepada hubungan-hubungan lebih lanjut. Dalam pembelajaran kooperatif peserta didik belajar secara kerja sama untuk sampai kepada pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok. Karena itu, model pembelajaran kooperatif didasarkan kepada teori-teori perkembangan kognitif, perlakuan, dan persandaran sosial. Brunner dan Moslow (1996 : 57) menjelaskan bahwa terdapat tiga teori yang mendasar dalam model pembelajaran kooperatif Cooperative Learning diantaranya adalah: 1. Teori Ausubel David Ausubel (1996 : 46) adalah seorang ahli psikologi pendidikan. berpendapat bahan peserta didikan yang dipeserta didiki haruslah "bermakna", merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang, yaitu fakta-fakta, konsepkonsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipeserta didiki dan diingat peserta didik. Ausubel (1996 : 68) mengatakan, pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang dalam proses pembelajaran. Pembelajaran bermakna terjadi bila peserta didik mencoba menghububungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan peserta didikan itu harus cocok dengan kemampuan peserta didik dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik. Oleh karena itu, peserta didikan harus dikaitkan dengan
Page 19

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

konsep-konsep yang sudah dimiliki peserta didik, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap dan dipahami oleh peserta didik. Menurut Ausubel (1996 : 67) , pemecahan masalah yang cocok adalah lebih bermanfaat bagi peserta didik dan merupakan strategi yang efisien dalam pembelajaran model. Kekuatan dan kebermaknaan proses pemecahan masalah dalam setiap pembelajaran terletak pada kemampuan peserta didik dalam mengambil peran dalam kelompoknya. Untuk memperlancar proses tersebut diperlukan bimbingan langsung dari pendidik, baik lisan maupun dengan contoh tindakan, sedangkan peserta didik diberi kebebasan untuk membangun pengetahuannya sendiri. 2. Teori Piaget Menurut Piaget (1996 : 88), setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut: (1) sensoni motor (0-2 tahun); (2) pra opersional (2-7 tahun); (3) operasional konkrik (7-11 tahun); dan (4) operasional normal (11- ke atas antara 12-14/15 tahun). Merujuk pada teori Piaget, model cooperative bisa dilaksanakan pada tingkat SMP (usia berkisar antara 12-14/15 tahun), yang termasuk dalam kategori tingkat operasional formal, karena pada periode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi yang lebih kompleks, dalam hal ini model pembelajaran kooperatif bisa dterapkan pada program kesetaraan Paket B 3. Teori Vygotsky Menurut Vygotsky (1997 : 54) mengemukakan pembelajaran merupakan suatu perkembangan pengertian yaitu spontan dan ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapatkan dari pengalaman anak sehari-hari. Sedangkan Pengertian ilmiah adalah pengertian yang didapat dari ruangan kelas, atau yang diperoleh di sekolah. Dalam teori Vygotsky dijelaskan pula terdapat hubungan langsung antara domain kognitif dengan sosial budaya. Kualitas berpikir peserta didik dibangun di dalam ruangan kelas, sedangkan aktivitas sosialnya dikembangkan dalam bentuk kerja sama antara peserta didik yang satu dengan peseta didik lainnya yang lebih mampu di bawah bimbingan orang dewasa dalam hal ini pendidik dalam suasana kebersamaan diantara sesama anggota kelompok. Di samping itu, model pembelajaran kooperatif juga sering diartikan sebagai suatu motif kerja sama, yang setiap individunya dihadapkan pada preposisi dan pilihan yang harus diikuti apakah memilih bekerja bersama-sama, berkompetisi, atau indvidualistis. Penggunaan model pembelajaran kooperatif adalah suatu proses yang membutuhkan partisipasi dan kerja sama dalam kelompok. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan strategi yang menempatkan peserta didik belajar dalam kelompok yang beranggotakan 4-6 peserta didik dengan tingkat kemampuan atau jenis kelamin atau latar belakang yang berbeda. Anita, Lie, (2004 : 77) menjelaskan dalam pembelajaran koopearatif harus menekankan kerja sama dalam kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. Oleh sebab itu, penanaman keterampilan model pembelajaran kooperatif sangat perlu dilakukan, antara lain me nghar gai pe nd apat or an g lain , me ndo ron g ber part isipa si, berani bertanya, mendorong teman untuk bertanya, mengambil giliran dan berbagi tugas.
Page 20

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Slavin (1995 : 44) mengatakan model pembelajaran kooperatif telah dikenal sejak lama, pada saat itu pendidik mendorong para peserta didik untuk kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya (peer teaching). Selain itu, alur proses belajar mengajar tidak harus seperti lazimnya pembelajaran konvensional yang terjadi selama ini, yaitu pembelajaran yang berpusat pada pendidik yang seharusnya, tenyata peserta didik dapat juga saling belajar mengajar sesama peserta didik yang jauh lebih efektif dibanding dengan pembelajaran yang hanya berpusat pada pendidik. Johnson dan Johnson (1994 : 56) mengemukakan model pembelajaran kooperatif adalah mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu tim untuk mencapai tujuan bersama. Model pembelajaran kooperatif berarti juga belajar bersama-sama, saling membantu antara yang satu dengan yang lain dalam belajar dan memastikan setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang ditentukan sebelumnya.Keberhasilan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik secara individual, maupun secara kelompok. Dengan berkelompok peserta didik mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mempraktekkan sikap dan prilaku berpartisipasi pada situasi sosial yang bermakna bagi mereka. Selanjutnya Ibrahim dkk (2000) mengibaratkan model pembelajaran kooperatif bagaikan dua orang yang memikul balok. Balok akan dapat dipikul bersama-sama jika kedua orang tersebut berhasil memikulnya. Dalam pembelajaran ini akan tercipta sebuah interaksi yang lebih luas, yaitu interaksi dan komunikasi yang dilakukan antara pendidik dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik, dan peserta didik dengan pendidik (multi way traffic comunication). Cooperative learning merupakan kegiatan belajar peserta didik yang dilakukan dengan cara berkelompok. Model pembelajaran kelompok adalah rang-kaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didik dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan (Sanjaya 2006:239). Johnson (dalam Hasan, 1996) menjelaskan pula bahwa cooperative learning adalah teknik pengelompokan yang di dalamnya peserta didik bekerja terarah pada tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-5 orang. Belajar cooperative adalah peman-faatan kelompok kecil dalam pembelajaran yang memungkinkan peserta didik bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut Ditegaskan pula bahwa strategi pembelajaran kooperatif merupakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik di dalam kelompok, untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Terdapat empat hal penting dalam strategi pembelajaran kooperatif, yakni: (1) adanya peserta didik dalam kelompok, (2) adanya aturan main (role) dalam kelompok, (3) adanya upaya belajar dalam kelompok, (4) adanya kompetensi yang harus dicapai oleh kelompok. Berkenaan dengan pengelompokan peserta didik dapat ditentukan berdarsarkan atas: (1) minat dan bakat peserta didik, (2) latar belakang kemampuan peserta didik, (3) perpaduan antara minat dan bakat peserta didik dan latar kemampuan peserta didik. Nurulhayati, (2002:25-28), mengemukakan lima unsur dasar model cooperative learning, yaitu: (1) ketergantungan yang positif, (2) pertanggungjawaban individual, (3) kemampuan bersosialisasi, (4) tatap muka, dan (5) evaluasi proses kelompok.
Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 21

Ketergantungan yang positif adalah suatu bentuk kerja sama yang sangat erat kaitan antara anggota kelompok. Kerja sama ini dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Peserta didik benar-benar mengerti bahwa kesuksesan kelompok tergantung pada kesuksesan anggotanya. Maksud dari pertanggungjawaban individual adalah kelompok tergantung pada cara belajar perseorangan seluruh anggota kelompok. Pertanggungjawaban memfokuskan aktivitas kelompok dalam menjelaskan konsep pada satu orang dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok siap menghadapi aktivitas lain di mana peserta didik harus menerima tanpa pertolongan anggota kelompok. Kemampuan bersosialisasi adalah sebuah kemampuan bekerja sama yang biasa digunakan dalam aktivitas kelompok. Kelompok tidak berfungsi secara efektif jika peserta didik tidak memiliki kemampuan bersosialisasi yang dibutuhkan. Setiap kelompok diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberi peserta didik bentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Pendidik menjadwalkan waktu bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama lebih efektif. Senada dengan penjelasan tersebut Siahaan (2005:2) mengutarakan lima unsur esensial yang ditekankan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: (a) saling ketergantungan yang positif, (b) interaksi berhadapan (face-to-face interaction), (c) tanggung jawab individu (individual responsibility), (d) keterampilan sosial (social skills), (e) terjadi proses dalam kelompok (group processing). Pembelajaran cooperative mewadahi bagaimana peserta didik dapat bekerja sama dalam kelompok, tujuan kelompok adalah tujuan bersama. Situasi kooperatif merupakan bagian dari peserta didik untuk mencapai tujuan kelompok, peserta didik harus merasakan bahwa mereka akan mencapai tujuan, maka peserta didik lain dalam kelompoknya memiliki kebersamaan, artinya tiap anggota kelompok bersikap kooperatif dengan sesama anggota kelompoknya. Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang banyak digunakan dan menjadi perhatian serta dianjurkan oleh para ahli pendidikan. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Slavin (1995 : 66) dinyatakan bahwa: (1) penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi, dan menghargai pendapat orang lain, (2) pembelajaran kooperatif dapat memenuhi kebutuhan peserta didik dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman. Dengan alasan tersebut, strategi pembelajaran kooperatif diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. Ada dua komponen pembelajaran kooperatif, yakni: (1) cooperative task atau tugas kerja sama dan (2) cooperative incentive structure, atau struktur insentif kerja sama. Tugas kerja sama berkenaan dengan suatu hal yang menyebabkan anggota kelompok kerja sama dalam menyelesaikan tugas yang telah diberikan. Sedangkan struktur insentif kerja sama merupakan sesuatu hal yang membangkitkan motivasi peserta didik untuk melakukan kerja sama dalam rangka mencapai tujuan kelompok tersebut. Dalam pembelajaran kooperatif adanya upaya peningkatan prestasi belajar peserta didik (student
Page 22

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

achievement) dampak penyerta, yaitu sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain. Pembelajaran kooperatif akan efektif digunakan apabila: (1) pendidik menekankan pentingnya usaha bersama di samping usaha secara individual, (2) pendidik menghendaki pemerataan perolehan hasil dalam belajar, (3) pendidik ingin menanamkan pendidik sebaya atau belajar melalui teman sendiri, (4) pendidik menghendaki adanya pemerataan partisipasi aktif peserta didik, (5) pendidik menghendaki kemampuan peserta didik dalam memecahkan berbagai permasalahan. (Sanjaya, 2006 : 240MwM). Ditegaskan pula bahwa Pembelajaran kooperatif dapat dijelaskan dalam beberapa perspektif, yaitu: 1) Perspektif motivasi artinya penghargaan yang diberikan kepada kelompok yang dalam kegiatannya saling membantu untuk memperjuangkan keberhasilan kelompok. 2) Perspektif sosial artinya melalui kooperatif setiap wpeserta didik akan saling membantu dalam belajar karena mereka menginginkan semua anggota kelompok memperoleh keberhasilan. 3) Perspektif perkembangan kognitif artinya dengan adanya interaksi antara anggota kelompok dapat mengembangkan prestasi wpeserta didik untuk berpikir mengolah berbagai informasi (Sanjaya, 2006:242). Menurut Sanjaya (2006: 242) menjelaskan bahwa karakteristik atau ciri-ciri pembelajaran kooperatif dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Pembelajaran Secara Tim Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dilakukan secara tim. Tim merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat setiap wpeserta didik belajar. Setiap anggota tim harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. 2. Didasarkan pada Manajemen Kooperatif Manajemen seperti yang telah kita peserta didiki pada bab sebelumnya mempunyai tiga fungsi, yaitu: (a) Fungsi manajemen sebagai perencanaan pelaksanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, dan langkah-angkah pembelajaran yang sudah ditentukan. Misalnya tujuan apa yang harus dicapai, bagaimana cara mencapainya, apa yang harus digunakan untuk mencapai tujuan, dan lain sebagainya. (b) Fungsi manajemen sebagai organisasi, menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan yang matang agar proses pembelajaran berjalan dengan efektif. (c) Fungsi manajemen sebagai kontrol, menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan baik melalui bentuk tes maupun nontes. 3. Kemauan untuk Bekerja Sama Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok, oleh karenanya prinsip kebersamaan atau kerja sama perlu ditekankan dalam pembelajaran kooperatif. Tanpa kerja sama yang baik, pembelajaran kooperatif tidak akan mencapai hasil yang optimal. 4. Keterampilan Bekerja Sama Kemampuan bekerja sama itu dipraktikkan melalui aktivitas dalam kegiatan pembelajaran secara berkelompok. Dengan demikian, wpeserta didik perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi
Page 23

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

dengan anggota lain dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan Menirut Muslim Ibrahim (2000:3) bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu aktivitas pembelajaran yang menggunakan pola belajar wpeserta didik berkelompok untuk menjalin kerja sama dan saling ketergantungan dalam struktur tugas, tujuan, dan hadiah. Pembelajaran kooperatif dicirikan oleh struktur tugas, tujuan, dan penghargaan kooperatif. Wpeserta didik yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif didorong dan/atau dikehendaki untuk bekerja sama pada suatu tugas bersama dan mereka harus mengoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya. Dalam penerapan pembelajaran kooperatif, dua atau Iebih individu saling tergantung satu sama lain untuk mencapai satu penghargaan bersama.Mereka akan berbagi penghargaan tersebut seandainya mereka berhasil sebagai kelompok. Ibrahim juga menjelaskan bahwa unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: a. Wpeserta didik dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama. b. Wpeserta didik bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri. c. Wpeserta didik haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama. d. Wpeserta didik haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya. e. Wpeserta didik akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok. f. Wpeserta didik berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya. g. Wpeserta didik diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Ibrahim juga menjelaskan bahwa ciri-ciri yang terjadi pada kebanyakan pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif, adalah sebagai berikut: a. Wpeserta didik bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya. b. Kelompok dibentuk dan wpeserta didik yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. c. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dan ras, budaya, suku, jenis kelamin berbeda-beda. d. Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu. Ada tiga bentuk keterampilan kooperatif sebagaimana diungkapkan oleh Lundgren (1994 : 124), yaitu: a. Keterampilan kooperatif tingkat awal, meliputi: (a) menggunakan kesepakatan; (b) menghargai kontri-busi; (c) mengambil giliran dan berbagi tugas; (d) berada dalam kelompok; (e) berada dalam tugas; (f) mendorong partisipasi; (g) mengundang orang lain untuk berbicara; (h) menyelesaikan tugas pada waktunya; dan (i) menghormati perbedaan individu.
Page 24

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

b. Keterampilan kooperatif tingkat menengah, meliputi: (a) menunjukkan penghargaan dan simpati; (b) meng-ungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang dapat diterima; (c)mendengarkan dengan aktif; (d) bertanya; (e) membuat ringkasan; (f) menafsirkan; (g) mengatur dan mengorganisir; (h) menerima, tanggung jawab; (i) mengurangi ketegangan. c. Keterampilan kooperatif tingkat mahir, meliputi: (a) mengelaborasi; (b) memeriksa dengan cermat; (c) menanyakan kebenaran; (d) menetapkan tujuan; dan (e) berkompromi. Tabel 2.1 Langkah-langkah Model Pembeiajaran Kooperatif Menuru Lundgren TAHAP KEGIATAN TINGKAH LAKU I Menyampaikan Pendidik menyampaikan tujuan Tujuan dan peserta didikan yang akan dicapai Memotivasi Wpeserta pada kegiatan peserta didikan dan menekankan pentingnya topik yang didik akan dipeserta didiki dan memotivasi wpeserta didik belajar II Menyampaikan Pendidik menyajikan informasi atau Informasi materi kepada peserta didik dengan jalan demonstrasi atau melalui bahan bacaan III Mengorganisasikan Pendidik menjelaskan kepada Wpeserta didik ke wpeserta didik bagaimana caranya d alam Kelompok- membentuk kelompok belajar dan kelompok Belajar membimbing setiap kelompok agar melakukan transisi secara efektif dan efisien IV Membimbing Pendidik membimbing kelompokKelompok Bekerja dan kelompok belajar pada saat mereka Belajar mengerjakan tugas mereka V Evaluasi Pendidik mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipeserta didiki atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya VI Memberikan Pendidik mencari cara-cara untuk Penghargaan menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 25

Penerapan model pembelajaran kooperatif biasanya akan melibatkan : 1. Ketrampilan sosial, merupakan ketrampilan untuk menjalin hubungan antarpribadi dalam kelompok untuk mencapai dan menguasai konsep yang diberikan tutor # Interaksi tatap muka Setiap individu akan berinteraksi secara tatap muka langsung dalam kelompok. Interaksi yang serentak berlangsung dalam setiap kelompok melalui pembicaraan setiap indivdu yang turut serta mengambil bagian 2 Wpeserta didik harus saling bergantung positif, artinya setiap wpeserta didik harus melaksanakan tugas masing-masing yang diberikan untuk menyelesaikan tugas dalam kelompok mereka. Setiap wpeserta didik memiliki peluang yang sama untuk mengambil bagian dalam kelompok. Wpeserta didik yang mempunyai kelebihan harus membantu temannya dalam kelompok itu untuk tercapainya tugas yang diberikan kepada kelompok itu. Setiap anggota kelompok harus saling terhubung, saling mengisi dan bantu membantu 3. Pengakuan tim, adalah penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah, dengan harapan dapat memotivasi tim untuk terus berprestasi lebik baik lagi. Berdasarkan kajian teori tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi wpeserta didik dalam satu kelompok kecil untuk saling berinteraksi belajar bekerja sama dengan anggota lainnya yang terdiri dari kegiatan tutor yang meliputi menyampaikan tujuan,, menyajikan Informasi, mengorganisasi wpeserta didikke dalam tim, membantu kerja tim dan belajar, mengevaluasi, memberikan pengakuan dan penghargaan sedangkan kegiatan wpeserta didik meliputi saling ketergantungan positif, interaksi berhadapan, tanggung Jawab Individu dan keterampilan sosial; C. Hakikat Kecerdasan Sosial Berikut ini akan diuraikan teori tentang kecerdasan sosial (Social In telligence) menurut pendapat para ahli diantaranya dikemukakan oeh Sutanto Windura(1990 : 85) dalam bukunya Brain Management, Definite Success With Brain Management, Panduan Manajemen Otak Untuk Meraih Sukses, menjelaskan bahwa Kecerdasan sosial (Social Intelligence) adalah kecerdasan berkomunikasi dengan orang lain , baik secara verbal maupun nonverbal. Orang yang mampu dalam kecerdasan ini juga mampu menerapkan teknik berkomunikasi yang berbeda-beda pada orang yang berbeda karena mereka mempunyai kemampuan empai melihat dari sudut pandang orang lain yang hebat. Sutanto (1990 : 86) juga menjelasakan bahwa kecerdasan sosial berhubungan dengan kemampuan berikut: 1. Berkomunikasi dan memahami arti kounikasi dengan orang lain 2. Memahami perilaku, perasaan, pikiran, ketakutan dan kepercayaan orang lain 3. Mempengaruhi pendapat dan tindakan orang lain 4. Memahami hubungan seseorang dengan lingkungan di sekitarnya 5. Mengekspresikan perasaan atau apa yang sedang dipikirkannya melalui bahasa tubuh yang sesuai 6. Menginterpretasikan mood atau perasaan seseorang melalui bahasa tubuh lawan bicaranya
Page 26

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

7. Membentuk dan mempertahankan hubungan harmonis dngan orang lain 8. Menjadi penengah dalam suatu konplik 9. Menjalin kerjjasama dengan orang lain 10. Mendapatkan sinergi hasil kerja melalui bekerja sama dalam suatu kelompok Selanjutnya Windura (1990 : 90) menjelaskan pula bahwa kecerdasan sosial dapat mencerdaskan kecerdasan lain misalnya : 1. Kecerdasan bahasa; saat berkumpul dengan rekan-rekan atau suatu komunitas, perhatikanlah kosa kata yang paling sering digunakan, bila kata-kata itu belum diketahui, cobalah mencari arti pengunaan kata tersebut dalam kamus. 2. Kecerdasan logika; ajaklah beberapa rekan yang memiliki logika yang kuat untuk melatih mengaplikasikan program komputer, atau bentuklah sebuah klub debat mengenai apa saja, dan setiap pendapat peserta dijelaskan dengan secara logis. 3. Kecerdasan gambar-ruang; buatlah gambar seni perabot kantor atau logo kegiatan yang melibatkan banyak orang. Untuk membuat logo perusahan, pasti setiap orang mempunyai usul dan cara yang berbeda mengenai cara pengerjaan dan hasil yang diinginkanya. Satukanlah ide-ide mereka agar proses kebersamaan tetap terjaga. 4. Kecerdasan musik; suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara saling memin jamkan CD atau kaset dengan teman-teman yang mempunyai jenis seni musik yang sama. 5. Kecerdasan Fisik; kecerdasan dengan menggunakan kemampuan dalam mempengaruhi orang lain untuk memimpin rekan-rekan mereka menerapkan strategi permainan olahraga beregu yang kita inginkan agar dapat memenangkan pertandingan 6. Kecerdasan Pribadi; yaitu kecerdasan menemukan kekurangan yang akan diperbaiki misalnya kepemimpinan. lalu carikan mentor atau pembimbing yang cocok atau carilah kominitas kecil apa saja, baik komunitas hobi maupun kegiatan seni yang memungkinkan untuk berlaltih memperbaiki kualitas kepemimpinan kita. Dengan kata lain bahwa kecerdasan pribadi adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan untuk mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri, merancang tujuan hidup, melakukan perubahan menuj tujuan hidup, memahami kebutuhan diri sendiri, memahami eksistensi hidup di dunia, dan mengkomunikasikan perasaan suka dan tidak suka mengenai suatu hal. 7, Kecerdasan Alam; kecerdasan untuk mempengaruhi teman-teman untuk mengikuti kegiatan petualangan atau kegiatan yang berhubungan dengan alam, seperti memelihara ikan, mendaki gunung, berkebun dan sebagainya. Kita bisa berhasil apabila mengajak teman yang semula tidak berminat ternyata bersedia untuk diajak. Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk bisa menjalin interaksi dengan sesama, bahkan diakui oleh banyak ahli di bidang psikologi sebagai kebutuhan yang semestinya dapat dipenuhi dengan baik. Bila tidak, manusia akan mengalami banyak gangguan dalam kejiwaannya. Hal ini juga diakui oleh Daniel Goleman (2007 :448) dalam sebuah bukunya yang berjudul Social Intelligence, yang menjelaskan bahwa kecerdasan sosial sebagai ilmu baru dengan
Page 27

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

implikasi yang mengejutkan terhadap interpersonal, seperti reaksi antar-individu dan mengatur gerak hati yang membentuk hubungan baik antar-individu. Selain itu, dia juga mengakui bahwa setiap individu mempunyai pembawaan yang integral, seperti kerja sama, empati, dan sifat mementingkan kepentingan orang lain. Di samping itu Ahmad Muhaimin Azzet menjelaskan bahwa dewasa ini publik juga mulai menyadari bahwa kecerdasan sosial itu sangat penting agar seseorang bisa sukses dalam meniti karier, baik itu usaha secara mandiri maupun bekerja di sebuah lembaga atau perusahaan. Kesadaran ini berangkat dari sebuah kenyataan bahwa banyak orang yang sukses dalam kariernya ternyata bila diamati ia memang memiliki kecerdasan sosial yang bagus. Misalnya, mampu menjalin kerja sama, mempunyai rasa empati, atau piawai dalam menjalin komunikasi, diakses dari http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=18888 Selanjutnya Goleman (2007 : 446) menjelaskan bahwa Kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk mengerti orang lain dan bagaimana mereka akan bereaksi terhadap berbagai situasi sosial yang berbeda dengan kata lain pengertian sosial murni. Dalam teori humanisme kecerdasan sosial lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian tentang bagaimana dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya menfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan yang positif. Kemampuan positif tersebut erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi merupakan karateristik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanisme. Dalam teori pembelajaran humanistik, belajar merupakan proses yang dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Dimana memanusiakan manusia di sini berarti mempunyai tujuan untuk mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal. Pendekatan humanisme dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik. Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika belajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Agar belajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Page 28

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Ada salah satu ide penting dalam teori belajar humanisme yaitu peserta didik harus mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga agar8 belajar mengetahui apa yang dipeserta didikinya serta tahu seberapa besar peserta didik tersebut dapat memahaminya. Dan juga peserta didik dapat mengetahui mana, kapan, dan bagaimana mereka akan belajar. Dengan demikian maka peserta didik diharapkan mendapat manfaat dan kegunaan dari hasil belajar bagi dirinya sendiri. Aliran humanisme memandang belajar sebagai sebuah proses yang terjadi dalam individu yang meliputi bagian/domain yang ada yaitu dapat meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan kata lain, pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap orang. Untuk itu, metode pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan peserta didik. Sehingga para pendidik/pendidik diharapkan dalam pembelajaran lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan hasil belajar yang dicapai peserta didik. Ada beberapa pendapat para ahli mengenai teori belajar huamanisme yaitu diantaranya : 1. Arthur Combs (1912-1999) Arthur Combs bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) menyatakan bahwa belajar terjadi apabila mempunyai arti bagi individu tersebut. Artinya bahwa dalam kegiatan pembelajaran pendidik tidak boleh memaksakan materi yang tidak disukai oleh peserta didik, sehingga peserta didik belajar sesuai dengan apa yang diinginkan tanpa adanya paksaan sedikit pun dari pendidik. Sebenarnya hal tersebut terjadi tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan bagi dirinya. Sehingga pendidik harus lebih memahami perilaku peserta didik dengan mencoba memahami dunia persepsi peserta didik tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, pendidik harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan peserta didik yang ada. Combs berpendapat bahwa banyak pendidik membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa peserta didik mau belajar apabila materi pembelajaran disusun dan disajikan sebagaimana mestinya.. 2. Maslow Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu terdapat dua hal : suatu usaha yang positif untuk berkembang; kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri. 3. Carl Roger Seorang psikolog humanisme yang menekankan perlunya sikap saling
Page 29

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalahmasalah kehidupannya. Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya pendidik memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran. Ada beberapa Asumsi dasar teori Rogers adalah: Kecenderungan formatif; Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih kecil; Kecenderungan aktualisasi; Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya. Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran pendidik dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik, sedangkan pendidik memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik. Pendidik memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampinginya untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Pembelajaran berdasarkan teori humanisme ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah peserta didik merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Peserta didik diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku. Stephen Jay Could, On Intelligence, Monash University: 1994, menjelaskan bahwa kecerdasan sosial merupakan suatu kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan manusia Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. (Ubaydillah, diakses dari www.e-psikologi.com). Pengembangan kecerdasan sosial mengandalkan keunggulan pribadi, minimal mencakup empat bidang: (1) membaca mitos dan diversi sosial di masyarakat; (2) memahami pentingnya pembinaan diri seumur hidup; (3) mengenal aksi sosial, tuntutan situasi sosial, dan merancang reformasi sosial; (4) mengembangkan belas kasih dan memerhatikan sesama. (William Chang, 2006) Khilstrom, R, J., dan Cantor, N. (2000 : 24) dalam Bukunya Experimental Social Psychology Volume 21 mengatakan bahwa kecerdasan sosial adalah kemampuan yang mencapai kematangan pada kesadaran berpikir dan bertindak untuk menjalankan peran manusia sebagai makhluk sosial di dalam menjalin hubungan dengan lingkungan atau kelompok masyarakat. Menurut Indra Darmawan (2008 : 35) dalam bukunya Kiat Jitu Taklukan Psikotes bahwa kecerdasan sosial merupakan kemampuan dan keterampilan dalam menciptakan dan mempertahankan relasi sosialnya sehingga kedua belah pihak yang berhubungan berada dalam keadaan win-win . Dijelaskan pula bahwa kecerdasan sosial memiliki 3 dimensi utama yaitu :
Page 30

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

1. Social sencivity merupakan seberapa jauh seseorang mampu merasakan dan mengamati respon orang lain yang ditunjukkannya baik secara verbal maupun non verbal 2. Social insight merupakan kemampuan seseorang dalam mencari pemecahan masalahyang efektif dalam relasi sosialsehingga masalah tersebut tidak menghambat atau malah menghancurkan relasi sosial yang telah ada 3.Social Communication merupakan penguasaanterhadap keterampilan komunikasi sosial. Keterampilan ini dibutuhkan dalam proses menciptakan relasi, membangun relasi, dan mempertahnkan relasi yang telah dibangun.Bentuk keterampilan ini berupa komunikasi verbal. Non verbal dan komunikasi melalui penampilan fisik. (Kiat Jitu Taklukan Psiko Tes , Indra Darmawan, SE,M.Si, Pustaka Widyatama Yogyakarta: 2008 :35) Menurut Buzan (2007: 4) kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. Orang dengan kecerdasan sosial tinggi tidak akan menemui kesulitan saat memulai suatu interaksi dangan seseorang atau sebuah kelompok baik kelompok kecil maupun besar. Ia dapat memanfaatkan dan menggunakan kemampuan otak dan bahasa tubuhnya untuk membaca teman bicaranya. Kecerdasan sosial dibangun antara lain atas kemampuan inti untuk mengenali perbedaan, secara khusus perbedaan besar dalam suasana hati, temperamen, motivasi, dan kehendak. Dalam bentuk yang lebih maju, kecerdasan ini memungkinkan orang dewasa membaca kehendak dan keinginan orang lain, bahkan ketika keinginan itu disembunyikan. Kecerdasan sosial ini juga mencakup kemampuan bernegoisasi, mengatasi segala konflik, segala kesalahan, dan situasi yang timbul dalam proses negoisasi. Semua keterampilan itu membolehkan seseorang dengan kecerdasan sosial tinggi sanggup berperan sebagai teman bicara dan sekaligus pendengar yang baik, serta sanggup berhubungan dengan banyak orang. Agustina, G., A. (2002 : 45) menegaskan bahwa kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. Orang dengan kecerdasan sosial tinggi tidak akan menemui kesulitan saat memulai suatu interaksi dangan seseorang atau sebuah kelompok baik kelompok kecil maupun besar. Ia dapat memanfaatkan dan menggunakan kemampuan otak dan bahasa tubuhnya untuk membaca teman bicaranya. Kecerdasan sosial dibangun antara lain atas kemampuan inti untuk mengenali perbedaan, secara khusus perbedaan besar dalam suasana hati, temperamen, motivasi, dan kehendak. Dalam bentuk yang lebih maju, kecerdasan ini memungkinkan orang dewasa membaca kehendak dan keinginan orang lain, bahkan ketika keinginan itu disembunyikan. Kecerdasan sosial ini juga mencakup kemampuan bernegoisasi, mengatasi segala konflik, segala kesalahan, dan situasi yang timbul dalam proses negoisasi. Semua keterampilan itu membolehkan seseorang dengan kecerdasan sosial tinggi sanggup berperan sebagai teman bicara dan sekaligus pendengar yang baik, serta sanggup berhubungan dengan banyak orang. Agustina, G., A. (2002 : 46) menjelaskan bahwa orang-orang yang terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar,
Page 31

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

peka membaca reaksi dan perasaan mereka, mampu memimpin dan mengorganisir dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia. Mereka adalah pemimpin-pemimpin alamiah, orang yang mampu menyarakan persaan kolektif serta merumuskannya dengan jelas seagai panduan bagi kelompok untuk meraih sasaran, Mereka adalah jenis orang yang disuakai oleh sekitarnya karena secara emosional mereka menyenangkan, mereka membuat orang lain merasa tentram, dan menimbulkan komentar: menyenangkan sekali bergaul dengannya Beny menjelaskan terdapat empat kemampuan dasar terpisah yang digunakan dalam pergaulan antarpribadi dalam kehidupan sehari-hari. Komponenkomponen tersebut adalah: 1.Mengorganisir Kelompok Keterampilan esensial dari seorang pemimpin, ini menyangkut memprakarsai dan mengkoordinasi upaya menggerakkan orang. Keterampilan ini merupakan bakat yang terdapat pada sutradara atau produser sandiwara, perwira militer, dan ketua-ketua yang efektif dalam organisasi dan segala macam unit. Ditempat bermain, bakat ini dimiliki anak yang mengambil keputusan apa yang akan dimainkan oleh setiap anggota atau yang menjadi ketua regu. 2.Merundingkan Pemecahan Bakat seorang mediator yang mencegah konflik atau menyelesaikan konflikkonflik yang meletup. Orang yang mempunyai kemampuan ini, hebat dalam mencapai kesepakatan dalam mengatasi atau menangani perbantahan, mereka cakap dalam bidang diplomasi, arbitrasi atau hukum atau sebagai perantara atau manajer operasi. Mereka ini adalah anak-anak yang mendamainkan perbantahan di tempat bermain. 3.Hubungan Pribadi Empati dan bakat menjalin hubungan. Bakat ini memudahkan untuk masuk kedalam lingkup pergaulan atau untuk mengenali dan merespons dengan tepat akan perasaan dan keprihatinan orang lain, seni menjalin hubungan. Orang semacam ini merupakan pemain tim yang bagus, pasangan hidup yang diandalkan, sahabat atau rekan usaha yang setia, didunia bisnis mereka sukses sebagai tenaga penjual atau para manajer atau dapat menjadi guru yang hebat. Bakat ini pada anakanak yang dapat bergaul praktis dengan siapa saja, mudah memasuki ruang lingkup permainan, dan senang hati melakukannya. Anak-anak ini cenderung paling pintar membaca emosi dari ungkapan wajah dan paling sukai oleh teman-teman sekelasnya. 4.Analisi Sosial Mampu mendeteksi dan mempunyai pemahaman tentang perasaan, motif, dan keprihatinan orang lain. Pemahaman akan bagaimana perasaan orang lain ini dapat membawa ke suatu keintiman yang menyenangkan atau perasaan kebersamaan. Dalam bentuk yang terbaik, kemampuan ini dapat membuat seseorang menjadi ahli terapi atau konselor yang kompeten atau bila digabungkan dengan bakat sastra akan menjadi dramawan atau penulis novel yang berbakat. http://talawang.blogspot.com/2009/06/dasar-dasar-kecerdasan-sosial.html Kecerdasan intelektual memang sangat penting untuk terus dikembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan sosial.
Page 32

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Sungguh, kecerdasan sosial ini sama sekali tidak boleh diabaikan. Sebab, kecenderungan masyarakat modern, yang satu sama lain sering bersitegang dengan waktu karena adanya target atau bahkan ambisi, persaingan yang sangat ketat di segala bidang, kebutuhan terhadap pemenuhan materi sekaligus gengsi yang semakin menguat, akan membuat kehangatan hubungan sosial semakin berkurang. Di sinilah pentingnya kecerdasan sosial pada anak untuk terus dikembangkan agar kelak anak-anak kita mampu hidup secara sosial dengan baik. Betapa penting kecerdasan sosial dikembangkan karena saat ini juga masih banyak orangtua yang sangat bangga bila anaknya berhasil dalam studinya di sekolah yang ditunjukkan dengan nilai rapor yang bagus. Hal ini memang tidak salah, tetapi juga tidak bisa bila dikatakan benar seratus persen. Sebab, beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual ternyata lebih berpengaruh bagi kesuksesan anak dalam kehidupannya di masa mendatang bila dibanding dengan kecerdasan intelektual. Hal ini dapat kita ketahui dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Daniel Goleman (1995 dan 1998). Dalam penelitian tersebut, ternyata kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi dua puluh persen terhadap kesuksesan hidup sesorang. Sedangkan yang delapan puluh persen sangat tergantung pada kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Bahkan, dalam keberhasilan di dunia kerja, kecerdasan intelektual hanya memberikan kontribusi sebanyak empat persen saja. Mengapa bisa demikian? Seseorang yang mempunyai kecerdasan sosial yang baik akan mempunyai banyak teman, pandai berkomunikasi, mudah beradaptasi dalam sebuah lingkungan sosial, dan hidupnya bisa bermanfaat tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Sungguh, kemampuan yang di antaranya seperti itulah yang sangat dibutuhkan oleh anak kita agar kelak lebih mudah dalam menghadapi tantangan kehidupan di zaman yang semakin ketat dengan persaingan. Dengan demikian, semoga anak kita lebih mudah dalam meraih kesuksesan. Menurut Buzan (2007 : 3) kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. Orang dengan kecerdasan sosial tinggi tidak akan menemui kesulitan saat memulai suatu interaksi dangan seseorang atau sebuah kelompok baik kelompok kecil maupun besar. Ia dapat memanfaatkan dan menggunakan kemampuan otak dan bahasa tubuhnya untuk membaca teman bicaranya. Kecerdasan sosial dibangun antara lain atas kemampuan inti untuk mengenali perbedaan, secara khusus perbedaan besar dalam suasana hati, temperamen, motivasi, dan kehendak. Dalam bentuk yang lebih maju, kecerdasan ini memungkinkan orang dewasa membaca kehendak dan keinginan orang lain, bahkan ketika keinginan itu disembunyikan. Kecerdasan sosial ini juga mencakup kemampuan bernegoisasi, mengatasi segala konflik, segala kesalahan, dan situasi yang timbul dalam proses negoisasi. Semua keterampilan itu membolehkan seseorang dengan kecerdasan sosial tinggi sanggup berperan sebagai teman bicara dan sekaligus pendengar yang baik, serta sanggup berhubungan dengan banyak orang. Menurut Goleman terdapat dua pilar utama Social Intelligence adalah kesadaran sosial dan fasilitas sosial (atau manajemen relasi). Kesadaran sosial terkait
Page 33

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

dengan empati dasar, ketepatan empatik, mendengarkan, dan pemahaman sosial. Fasilitas sosial terkait dengan sinkroni, presentasidiri, pengaruh, keprihatinan. Dijelaskan pula bahwa kecerdasan sosial (social intelligence) kini tampaknya kian menduduki peran yang amat penting ketika kita hendak membangun sebuah relasi yang produktif nan harmonis. Relasi kita dengan kerabat, dengan tetangga, dengan rekan kerja atau juga dengan atasan mungkin bisa berjalan dengan lebih asyik kalau saja kita mampu mendemonstrasikan sejumlah elemen penting dalam kecerdasan sosial. Secara garis besar, Albrecht (2004 : 45) menyebut adanya lima elemen kunci yang bisa mengasah kecerdasan sosial kita, yang ia singkat menjadi kata SPACE. Kata S merujuk pada kata situational awareness (kesadaran situasional). Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka akan kebutuhan serta hak orang lain. Orang yang tanpa rasa dosa mengeluarkan gas di lift yang penuh sesak itu pastilah bukan tipe orang yang paham akan makna kesadaran situasional. Demikian juga orang yang merokok di ruang ber AC atau yang merokok di ruang terbuka dan menghembuskan asap secara serampangan pada semua orang disekitarnya. Elemen yang kedua adalah presense (atau kemampuan membawa diri). Bagaimana etika penampilan Anda, tutur kata dan sapa yang Anda bentangkan, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya. Anda mungkin bisa mengingat siapa rekan atau atasan Anda yang memiliki kualitas presense yang baik dan mana yang buruk. Elemen yang ketiga adalah authenticity (autensitas) atau sinyal dari perilaku kita yang akan membuat orang lain menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu menghadirkan sejumput ketulusan. Elemen ini amat penting sebab hanya dengan aspek inilah kita bisa membentangkan berjejak relasi yang mulia nan bermartabat. Elemen yang keempat adalah clarity (kejelasan). Aspek ini menjelaskan sejauh mana kita dibekali kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan ide kita secara renyah nan persuasif sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Acap kita memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara cantik sehingga atasan atau rekan kerja kita ndak berhasil diyakinkan. Kecerdasan sosial yang produktif barangkali memang hanya akan bisa dibangun dengan indah manakala kita mampu mengartikulasikan segenap pemikiran kita dengan penuh kejernihan dan kebeningan. (Saya sendiri sudah pernah mengulas teknis mengartikulasikan gagasan secara efektif . Elemen yang terakhir adalah empathy (atau empati). Aspek ini merujuk pada sejauh mana kita bisa berempati pada pandangan dan gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita memiliki ketrampilan untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain. Kita barangkali akan bisa merajut sebuah jalinan relasi yang guyub dan meaningful kalau saja kita semua selalu dibekali dengan rasa empati yang kuat terhadap sesama rekan kita. Demikianlah lima elemen kunci yang menurut Karl Albrecht merupakan aspek penting yang layak diperhatikan untuk bisa menenun bingkai kecerdasan emosional
Page 34

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

secara optimal. Tentu saja kita harus selalu menyempurnakan diri dalam kelima dimensi penting ini, supaya kita semua juga bisa menjadi pribadi-pribadi yang cerdas secara sosial. Dengan keterampilan sosial yang tertanam dalam diri dapat menjadi pijakan, apabila tujuannya mengalami hambatan atau menghadapi masalah dengan orang lain. Keterampilan tersebut juga bermanfaat, ketika keinginannya ada rintangan atau dirinya sedang punya masalah dengan orang atau kelompok lain. Dia akan mengobservasi, mengamati, dan mencari tahu berkaitan dengan problem yang sedang dihadapinya. Hasil dari pencariannya tersebut, dapat menjadi pondasi untuk menentukan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah. Setelah ditemukan strategi efektif untuk memecahkan masalah, lalu dikomunikasikan kepada orang lain dengan empati. Dari proses ini dapat terjalin hubungan interpersonal mendalam yang bisa membuka sekat-sekat perbedaan, membincangkan berbagai masalah dari hati ke hati, mencari jalan terbaik yang memberi kemaslahatan semua pihak, dan luwes menerapkan pola yang sudah ditemukan untuk menyelesaikan masalah dengan disesuaikan pada situasi. Apabila upaya ini diterapkan, tentu akan menghasilkan kedamaian dan kesantunan dalam menyelesaikan setiap persolaan. Agar kecerdasan sosial menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah, perlu ada gerakan memahamkan, membudayakan, dan mengimplementasikan kecerdasan sosial di tengah-tengah komunitas masyarakat. Untuk mewujudkan gerakan tersebut, diperlukan sumbangsih dari berbagai elemen masyarakat. Langkah kongkret yang dilakukan untuk memahamkan, membudayakan dan mengimplementasikan kecerdasan sosial melalui pemberdayan masyarakat, yang menjadi sasarannya adalah organisasi-organisasi di tingkat lokal, seperti takmir masjid, karang taruna, rukun tetangga, dasa wisma, arisan, paguyuban keluarga dan lain-lain. Model pemberdayaan seperti itu merupakan cara efektif karena tidak terkesan menggurui, sebagai proses pembelajaran yang menggugah kesadaran dan menanamkan nilai-nilai mengenai arti pentingnya kecerdasan sosial. Sinergi dapat dibangun untuk mengembangkan dan memasyarakatkan kecerdasan sosial Di antaranya melalui kerjasama antara dunia industri (usaha) dan perguruan tinggi. Dunia usaha saatnya peduli untuk berperan serta dalam community development. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa kecerdasan sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang dalam memahami, mendengarkan dan peka terhadap maksud dan pemikiran orang lain, serta merasakan dan mengamati reaksi-reaksi dan perubahan orang lain, yang di tunjukkan baik secara verbal maupun non verbal dan mampu mencari pemecahan masalah yang efektif dalam suatu interaksi sosial dan memiliki penguasaan ketrampilan komunikasi. Adapun indikator dari kecerdasan sosial adalah; percaya diri, sikap positif, kesadaran situasional, kemampuan membawa diri, ketrampilan berkomunikasi dan memiliki sikap empati.
D. Hakikat Program Paket B

Program Paket B setara SMP dikembangkan untuk memberi peluang pada


Page 35

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

masyarakat yang telah menyelesaikan program Paket A setara SD dan yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah setingkat SD yang tidak melanjutkan ke SMP bagi mereka yang putus SMP untuk meningkatkan kemampuan diri sehingga memiliki pengetahuan dan kemampuan setara dengan lulusan SMP. Pendidikan Kesetaraan merupakan pendidikan nonformal yang meliputi kelompok belajar (kejar) Program Paket A setara SD/MI, Program Paket B setara SMP/MTs, dan Program Paket C setara SMA/MA yang dapat diselenggarakan melalui Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Pusat kegiatan belajar Masyarakat (PKBM), atau satuan sejenis lainnya. Dalam program ini peserta didik yang telah selesai mengikuti pembelajaran dan mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) akan memperoleh ijasah setara SD. Selain memperoleh bekal pengetahuan umum, dan ketrampilan. Pemendiknas RI No. 3 Tahun 2008 (http://www.mlng.c.id/pendidikan kesetaraan, diakses 22 September 2011). Program Paket B setara SMP merupakan salah satu program unggulan pada jalur Pendidikan luar sekolah. Program Paket B dikembangkan untuk mengatasi permasalahan keterbatasan pelayanan pendidikan yang ada sekarang ini. Salah satu ciri pendidikan luar sekolah adalah fleksibilitas. Program Paket B bersifat fleksibel dalam hal waktu pembelajaran dan usia peserta didik. Dengan demikian sangat memungkinkan masyarakat di atas usia sekolah dan sudah bekerja tetapi belum sempat mengenyam atau menamatkan pendidikan setara SMP, mengikuti program Paket B tanpa harus meninggalkan pekerjaannya. Pendidikan kesetaraan sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan nonformal diharapkan dapat berkontribusi lebih banyak terutama dalam mendukung suksesnya program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 1994, yakni melalui penyelenggaraan program pendidikan kejar Paket A dan Paket B, serta perluasan akses pendidikan menengah melalui penyelenggaraan program Paket C. Penjelasan Pasal 26 Ayat 3 UU Sisdiknas No. 20/2003 (dalam Soelaiman 2008:23) Pendidikan Kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencangkup program Paket A, Paket B, dan Paket C. Lebih lanjut menurut UU No 20/2003 Sisdiknas Pasal 26 Ayat 6 (dalam Soelaiman 2008:23). Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. Soelaiman (2008:24) Program Paket B adalah program pendidikan dasar pada jalur pendidikan nonformal yang dapat diikuti oleh peserta didik yang ingin menyelesaikan pendidikan setara SMP/MTs. Lulusan Program Paket B berhak mendapat ijazah dan diakui setara dengan ijazah SMP/MTs. Tujuan pendidikan kesetaraan program kejar paket B adalah meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik sehingga dapat memiliki pengetahuan , keterampilan. (Sudjana, 2003:37). Pendidikan kesetaraan Paket B adalah suatu program pendidikan setara SMP/MTs dengan Tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik serta penyiapan kompetensi peserta didik agar memiliki
Page 36

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

kesiapan untuk terjun ke masyarakat dan dunia kerja, karena sebagian besar dari mereka tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (Sudjana, 2003:38). Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa program pendidikan paket B adalah program pendidikan dasar pada jalur pendidikan nonformal yang dapat diikuti oleh peserta didik yang ingin menyelesaikan pendidikan setara SMP/MTs. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. 2.Fungsi dan Tujuan Program Pendidikan Paket B Peran pendidikan Kesetaraan yang meliputi program Paket B, sangat strategis dalam rangka pemberian bekal pengetahuan. Penyelenggaraan program ini terutama ditujukan bagi masyarakat putus sekolah karena keterbatasan ekonomi, masyarakat yang bertempat tinggal di daerah-daerah khusus, seperti daerah perbatasan, daerah bencana, dan daerah yang terisolir yang belum memiliki fasilitas pendidikan yang memadai. (Sudjana, 2003:37). Memahami nilai dan manfaat program pendidikan kesetaraan bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat menjadi salah satu faktor utama yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi pada program yang diselenggarakan dengan antusias. Untuk skala nasional, penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan dimaksudkan sebagai upaya untuk mendukung dan mensukseskan program pendidikan wajib belajar 9 tahun yang merupakan penjabaran dari rencana strategis Departemen Pendidikan nasional yang meliputi perluasan akses, pemerataan, dan peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan Kesetaraan pada hakekatnya bertujuan memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk mengikuti pendidikan dasar dan menengah yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan peserta didik yang tidak memiliki kesempatan belajar pada pendidikan formal. Yani (2010:12) fungsi dari program pendidikan paket B adalah mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang setara dengan SMP, kepada peserta didik yang karena berbagai hal tidak dapat bersekolah, sehingga dapat meningkatkan partisipasi SMP bagi kelompok usia 13-15 tahun, dan memberikan akses terhadap pendidikan setara SMP bagi orang dewasa sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Direktorat pendidikan kesetaraan (dalam Yani 2010:14), peningkatan perhatian dan peran serta masyarakat terhadap program Paket B perlu diimbangi dengan upaya penyiapan kompetensi peserta didik agar memiliki kesiapan untuk terjun ke masyarakat dan dunia kerja, karena sebagian besar dari mereka tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Ditjen PNFI) untuk mengembangkan program Kecakapan Hidup (Life Skills) pada pendidikan kesetaraan. Soelaiman (2008:28) mengatakan Tujuan pendidikan kesetaraan program kejar paket B adalah meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik sehingga dapat memiliki pengetahuan , keterampilan. Adapun tujuan dari program pendidikan paket B menurut Yani (2010:15)
Page 37

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

adalah: 1. mengembangkan dasar-dasar pembentukan warga negara yang beriman, dan bertaqwa berkarakter dan bermartabat. 2. meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung, sebagai alat untuk memahami mata peserta didikan lainnya. 3. meningkatkan pengalaman belajar yang mandiri, kreatif, dan produktif. memberikan kecakapan hidup untuk bekerja dan berusaha mandiri. 4. memberikan bekal pengetahuan, kemampuan, dan sikap dasar yang memungkinkan peserta didik mengikuti pendidikan lanjutan di SMA/SMK/MA atau paket C. Pendidikan kesetaraan paket B adalah suatu program pendidikan setara SMP/MTs dengan Tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik serta penyiapan kompetensi peserta didik agar memiliki kesiapan untuk terjun ke masyarakat dan dunia kerja, karena sebagian besar dari mereka tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. 3. Makna Pendidikan Kesetaraan Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 26 ayat (3) dan penjelasannya bahwa pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA yang mencakup program Paket A, Paket B dan Paket C. Pendidikan kesetaraan meliputi Progarm Paket A setara SD, Paket B setara SMP dan Paket C setara SMA ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung, tidak pernah sekolah, putus sekolah dan putus lanjut, serta usia produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidup, dan warga masyarakat lain yang memerlukan layanan khusus dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai dampak dari perubahan peningkatan taraf hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi. Defmisi mengenai setara adalah sepadan dalam civil effect, ukuran, pengaruh, fungsi dan kedudukan. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 26 ayat (6) bahwa "hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan". Pendidikan kesetaraan merupakan jalur pendidikan nonformal dengan standar kompetensi lulusan yang sama dengan sekolah formal, tetapi konten, konteks, metodologi, dan pendekatan untuk mencapai standar kompetensi lulusan tersebut lebih memberikan konsep-konsep terapan, tematik, induktif, yang terkait dengan permasalahan lingkungan dan melatihkan kecakapan hidup berorientasi kerja atau berusaha mandiri. Oleh karena itu kompetensi lulusan Program Paket A diarahkan pada kepemilikan keterampilan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Program Paket B pada pemilikan keterampilan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja, dan Program Paket C pada pemilikan keterampilan berwirausaha. Perbedaan ini disebabkan oleh kekhasan karakteristik peserta didik yang karena berbagai hal tidak mengikuti jalur formal karena memerlukan substansi praktikal yang relevan dengan kehidupan nyata.
Page 38

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Prinsip proses pembelajaran pendidikan kesetaraan dengan cara memperhatikan peserta didik atas perbedaan jenis kelamin, kemampuan awal, tingkat intelektual, minat, bakat, motivasi belajar, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecapatan belajar, latar belakang budaya, nilai, lingkungan peserta didik serta mendorong partisipasi aktif peserta didik. a. Kurikulum Pendidikan Kesetaraan Kurikulum pendidikan kesetaraan diarahkan untuk mewujudkan peserta didik cerdas komprehensif (spiritual, emosional, sosial, intelektual dan kinestetik), serta memiliki daya saing (kompetitif). Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan induktif, konstruktif, efektif dan efisien melalui kegiatan tatap muka, pendidikial, mandiri dan atau kombinasi ketiganya. Berkaitan dengan itu, sistem pembelajaran (delivery system) dirancang sedemikian rupa agar memiliki kekuatan tersendiri untuk mengembangkan kecakapan komprehensif dan kompetitif yang berguna dalam peningkatan kemampuan belajar sepanjang hayat. Kurikulumnya dikembangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan meliputi: 1) Kelompok mata peserta didikan Pendidikan Agama dan Akhlak Mulia 2) Kelompok mata peserta didikan Pendidikan Kewarganegaraan dan kepribadian 3) Kelompok mata peserta didikan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 4) Kelompok mata peserta didikan Estetika 5) Kelompok mata peserta didikan Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan Isi kurikulum tingkat satuan pendidikan program paket B meliputi 10 mata 1) peserta didikan yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik. Kesepuluh mata peserta didikan tersebut meliputi: (1) Pendidikan Agama, (2) Pendidikan Kewarganegaraan, (3) Bahasa, (4) Matematika, (5) Ilmu Pengetahuan Alam, (6) Ilmu Pengetahuan Sosial, (7) Seni dan Budaya, (8) Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, (9) Keterampilan/Kejuruan dan (10) Muatan Lokal Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2003; Kurikulum SMP/MTs/ atau bentuk lain yang sederajat (Program Paket B) dan SMA/SMK/MA atau bentuk lain yang sederajat (Program Paket C) dapat memasukan pendidikan kecakapan hidup; mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan kecakatan vokasional yang merupakan bagian dari setiap kelompok mata peserta didikan. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 3 tahun 2008 tentang Standar Proses Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Program Paket B, dan Program Paket C; beban belajar pendidikan kesetaraan mengembangkan sistem Satuan Kredit Kompetensi (SKK). Setiap program dinyatakan dalam SKK yang menunjukkan bobot kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik dalam mengikuti program pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran sistem SKK, setiap peserta didik wajib mengikuti kegiatan pembelajaran dalam bentuk tatap muka, pendidikial dan mandiri dengan perbandingan tatap muka minimal 20%, pendidikial minimal 30% dan belajar mandiri maksimal 50%, dengan jadwal pendidikial minimal 2 hari per minggu.
Page 39

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Khusus untuk program Peket B Tingkatan 3/Terampil 1 (Setara kelas VII -VIII) mempunyai beban 68 SKK, setara dengan pembelajaran yang dilaksanakan mnimal 17 SKK pesr semester. Sedangkan Tingkatan 4/Terampil 2 (Setara kelas IX) mempunyai beban 34 SKK, setara dengan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan minimal 17 SKK per semester Substansi kerumahtanggaan diintegrasikan ke dalam mata peserta didikan terkait Kegiatan pembelajaran peserta didik pendidikan kesetaraan dilaksanakan melalui rombongan belajar/kelompok belajar dengan jumlah peserta didik per rombongan belajar untuk Program Paket A setara SD/MI : 20 peserta didik, Program Paket B setara SMP/MTs : 25 peserta didik, dan Program Paket C setara SMA/MA: 30 peserta didik, atau disesuaikan dengan kemempuan dan ketersediaan sumber daya yang ada pada setiap satuan pendidikan. c. Pengelolaan Pendidikan Kesetaraan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 49 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Non Formal, menegaskan bahwa sekurang-kurangnya empat hal harus dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan nonformal dalam pengelolaannnya mulai dari perencanaan program, pelaksanaan rencana kerja, pengawana dan evaluasi, serta sistem informasi manajemen. Pengelola pendidikan kesetaraan program paket B terdiri dari penpendidikas/ketua pengelola kelompok belajar, pendidik/turor penanggung jawab mata peserta didikan, nara sumber teknis (untuk peserta didikan berorientasi vokasional) atau pendidik kecakapan hidup, tenaga admnistrasi dan tenaga perpustakaan. d. Tempat Belajar Proses belajar mengajar dapat dilaksanakan di berbagai lokasi dan tempat yang sudah ada baik milik pemerintah, masyarakat maupun pribadi, seperti gedung sekolah, madrasah, sarana-sarana yang dimiliki pondok pesantren, Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), masjid, pusat-pusat majelis taklim, balai desa, kantor organisasi-organisasi kemasyarakatan, rumah penduduk dan tempat-tempat lainnya yang layak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. e. Administrasi Untuk menunjang kelancaran pengelolaan kelompok belajar diperlukan sarana administrasi antara lain: (1) papan nama kelompok belajar, (2) papan struktur organisasi penyelenggara, dan (3) kelengkapan administrasi penyelenggaraan dan pembelajaran meliputi: buku induk peserta didik dan tenaga pendidik, buku daftar hadir peserta didik dan tenaga pendidik, buku keuangan/kas umum, buku daftar inventaris, buku agenda pembelajaran, buku laporan bulanan tenaga pendidik, buku agenda surat masuk dan keluar, buku daftar nilai peserta didik, dan buku tanda terima ijazah Dalam menjamin penyelenggaraan pendidikan kesetaraan berlangsung dengan baik, maka dilakukan pembinaan dan pengawasan dari unsur-unsur : 1) Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan nonformal melaksanakan pembinaan terhadap penyelenggaraan pendidikan kesetaraan program Paket A, Paket B dan Paket C melalui standar, norma, prosedur dan acuan teknis pengelolaan kelompok belajar.
Page 40

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

2) Dinas Pendidikan Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang membidangi Pendidiksan nonformal membina pelaksanaan penyelenggaraan, kegiatan belajar, evaluasi dan kegiatan lain yang berkaitan. 3) Penilik Dikmas/TLD (Tenaga Lapangan Dikmas) di Kecamatan, memantau pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pembelajaran pada kelompok, belajar secara rutin. f. Evaluasi Belajar Sistem penilaian pendidikan kesetaraan dilakukan melalui: (1) penilaian mandiri dengan mengerjakan berbagai latihan yang terintegrasi dalam setiap modul, (2) penilaian formatif oleh pendidik melalui pengamatan, diskusi, penugasan, ulangan, proyek dan portofolio dalam proses pendidikial, (3) penilaian semester, dan (4) ujian nasional oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional. Ujian nasional untuk program Paket A, Paket B dan Paket C dan dimaksudkan untuk menyetarakan lulusan peserta didik dari pendidikan nonformal. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dengan demikian, lulusan ujian nasional program pendidikan kesetaraan memperoleh pengakuan, lulusan Paket A setara dengan lulusan SD/MI, lulusan Paket B setara dengan lulusan SMP/MTs, dan lulusan Paket C setara dengan lulusan SMA/MA. Ujian Nasional diselenggarakan selama 2 kali setiap tahun yaitu periode pertama pada bulan April dan Mei, kemudian periode kedua pada bulan Oktober. Penyesuaian dapat dilakukan bila pada bulan tersebut bertepatan dengan bulan ramadhan atau ada agenda nasional yang melibatkan semua komponen masyarakat. Atau untuk menanggulangi peramasalah yang bersifat nasional seperti halnya penyelenggaraan ujian nasional pendidikan kesetaraan untuk mengantisipasi karena adanya peserta didik dari satuan pendidikan formal tidak lulus dalam menempuh ujian nasional. Peserta ujian nasional pendidikan kesetaraan adalah peserta didik pada program Paket A, Paket B dan Paket C dengan persyaratan administratif sebagai berikut: 1) Terdaftar sebagai peserta didik dan tercatat dalam buku induk pada satuan pendidikan nonformal penyelenggara Program Kesetaraan; 2) Memiliki STTB atau Ijazah atau Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan STTB/Ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah. 3) Duduk di kelas/tingkat terakhir (Kelas VI untuk Paket A, Kelas III untuk Paket B dan Paket C). 4) Telah menyelesaikan seluruh materi pembelajaran dan memiliki laporan hasil penilaian/rapor. 5) Telah berumur sekurang-kurangnya 12 tahun untuk Paket A, 15 tahun untuk Paket B, dan 18 tahun Paket C. Mata peserta didikan yang diujikan sebagai berikut: (1) Paket A, meliputi mata peserta didikan PPKn, Matematika, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IP A, (2) Paket B, meliputi mata peserta didikan PPKn, Matematika, IPS, Bahasa
Page 41

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Indonesia, Bahasa Inggris, dan IP A, (3) Paket C IPS, meliputi mata peserta didikan PPKn, Bahasa Inggris, Sosiologi, Tatanegara, Bahasa dan Sastra Indonesia dan Ekonomi; Paket C IPA, meliputi mata peserta didikan PPKn, Bahasa Inggris, Biologi, Kimia, Bahasa dan Sastra Indonesia, Fisika dan Matematika; Paket C Bahasa, meliputi mata peserta didikan PPKn, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Sejarah Budaya, Sastra Indonesia dan Bahasa Asing. E. Hakikat Pusat Kegiatan Belajar (PKBM) UNESCO & BP-PLSP Jayagiri (2003:1). menjelaskan bahwa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai "lembaga" yang dibentuk oleh dan untuk masyarakat memiliki arti sebagai "suatu wadah yang menyediakan informasi dan kegiatan belajar sepanjang hayat bagi setiap warga masyarakat agar mereka lebih berdaya. Menurut Balitbang Depdiknas, (2000: 19) PKBM adalah suatu tempat kegiatan pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi desa untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan budaya". Selanjutnya Kamil M. (2007 : 82) mengemukakan bahwa : PKBM dalam menjalankan fungsinya, tentu juga sebagai salah satu mitra kerja pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan masayarakat (bangsa) melalui program pendidikanj nonformal, diharapkan mampu menumbuhkan masyarakat belajar (learning society) sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kemandirian, keberdaya didikan, dan inovasi dalam mencari berbagai informasi baru dalam rangka meningkatkan kehidupannya. Sebagai sebuah pusat pembelajaran (learning centre) PKBM dibangun atas dasar kebutuhan masyarakat dengan menitik beratkan swadaya, gotong royong, dan partisipasi masyarakat itu sendiri. Berdasarkan definisi tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat adalah suatu wadah dari berbagai kegiatan pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. PKBM dibentuk oleh masyarakat, merupakan milik masyarakat, dan dikelola oleh masyarakat untuk memperluas pelayanan kebutuhan belajar masyarakat. Pembentukan PKBM dilakukan dengan memperhatikan sumber sumber potensi yang terdapat di daerah yang bersangkutan, terutama jumlah kelompok sasaran dan jenis usaha keterampilan yang secara ekonomi, sosial dan budaya dapat dikembangkan untuk meninggkatkan kesejahteraan wpeserta didik khususnya dan warga masyarakat pada umumnya. Dipahami pula bahwa PKBM diselenggarakan atas dasar dan azas Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat (DOUM). Artinya bahwa prakarsa penyelenggaraan pendidikan khususnya pendidikan nonformal, diharapkan dapat tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat sendiri, sehingga akan lebih terorientasi pada kebutuhan belajar masyarakat setempat, hingga mereka lebih merasa memiliki, dan dapat menjamin kesinambungan kegiatan pembelajarannya (continuing learling). Secara umum PKBM dibentuk dengan tujuan untuk memperluas kesempatan warga masyarakat khususnya yang secara ekonomi tidak mampu mengikuti
Page 42

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

pendidikan pada jalur sekolah formal untuk menimba pengetahuan, keterampilan, sikap dan pengalaman yang dibutuhkan untuk mengembangkan diri dan bekerja memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari hari. Dengan diakuinya secara eksplisit PKBM sebagai salah satu satuan pendidikan non formal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjadi tanggungjawab semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat luas untuk mengembangkan PKBM dalam rangka mensukseskan tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian keberadaan konsep PKBM yang lebih jelas dan lebih memadai bagi pengembangan PKBM lebih lanjut sangat dibutuhkan. Tanpa adanya konsep PKBM yang jelas dan memadai akan sulit dibangun rencana strategis yang baik dalam pengembangan PKBM selanjutnya baik di tingkat institusi, di tingkat lokal, regional, maupun nasional. Hal ini tentunya akan mengakibatkan tidak adanya sinergi, rendahnya efektivitas dan inefisiensi dalam pengembangan PKBM lebih lanjut, Forum Komunikasi PKBM Indonesia menjelaskan bahwa filosofi PKBM secara ringkas adalah dari, oleh dan untuk masyarakat. Ini berarti bahwa PKBM adalah suatu institusi yang berbasis masyarakat (Community based Institution). Hal ini dapat diuraikan secara lebih rinci sebagai berikut : *Dari masayarakat berarti bahwa pendirian PKBM haruslah selalu merupakan inisiatif dari masyarakat itu sendiri yang datang dari suatu kesadaran akan pentingnya peningkatan mutu kehidupannya melalui suatu proses-proses transformasional dan pembelajaran. Inisiatif ini dapat saja dihasilkan oleh suatu proses sosialisasi akan pentingnya PKBM dan hal-hal lainnya tentang PKBM kepada beberapa anggota atau tokoh masyarakat setempat oleh pihak pemerintah ataupun oleh pihak lain di luar komunitas tersebut. Dalam hal pendirian suatu PKBM peran pemerintah ataupun pihak lain di luar komunitas tersebut hanyalah berupa proses sosialisasi, motivasi, stimulasi dan pelatihan untuk memperkenalkan PKBM secara utuh dan membuka perspektif serta wawasan dan langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam membentuk PKBM serta dalam pengembangan selanjutnya. Proses sosialisasi ini hendaknya tidak mengambil alih inisiatif pendirian yang harus murni datang dari kesadaran, kemauan dan komitmen anggota masyarakat itu sendiri. Hal ini sangat penting demi menjaga kelahiran PKBM itu secara sehat yang di kemudian hari akan sangat menentukan kecerdasan sosialdan keberlanjutan PKBM tersebut. *Oleh masyarakat berarti bahwa penyelenggaraan dan pengembangan serta keberlanjutan PKBM sepenuhnya menjadi tanggungjawab masyarakat itu sendiri. Ini juga bermakna adanya semangat kecerdasan sosialdan kegotongroyongan dalam penyelenggaraan PKBM. Dengan kata lain, penyelenggaraan PKBM tidak harus menunggu kelengkapan ataupun kecanggihan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu masyarakat dan tidak harus menunggu ada atau tidaknya ijin legal dari pemerintah setempat. PKBM dapat saja berlangsung dalam kesederhanaan apapun yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Penyelenggaraan PKBM harus didasarkan dan memperhatikan potensi yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Penyelenggaraan oleh masyarakat tentunya tidak berarti menutup
Page 43

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

kemungkinan partisipasi dan kontribusi berbagai pihak lain di luar masyarakat tersebut. Pemerintah, perorangan, lembaga-lembaga usaha, lembaga-lembaga sosial, keagamaan dan sebagainya bahkan perorangan yang berasal dari luar masyarakat itu pun dapat saja turut berpartisipasi dan berkontribusi. Namun semua bentuk dukungan itu hendaknya harus tetap disertai semangat kecerdasan sosialdan komitmen masyarakat itu sendiri untuk membangun dan mengembangkan PKBM tersebut. *Untuk Masyarakat berarti bahwa keberadaan PKBM haruslah sepenuhnya demi kemajuan kehidupan masyarakat dimana PKBM tersebut berada. Itu berarti juga bahwa pemilihan program-program yang diselenggarakan di PKBM harus benarbenar sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini tentunya juga tidak berarti menutup kemungkinan anggota masyarakat di luar masyarakat tersebut untuk dapat turut serta mengikuti berbagai program dan kegiatan yang diselenggarakan oleh PKBM. Kemungkinan tersebut dapat saja diwujudkan sepanjang tidak menghambat pemberian manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Prioritas dan fokus pemberdayaan tentunya haruslah tetap tertuju kepada masyarakat sasaran PKBM itu sendiri. Masyarakat bertindak sekaligus sebagai subyek dan obyek dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh PKBM. Secara Akronim dijelaskan pula bahwa PKBM berarti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat. Pemaknaan nama inipun dapat menjelaskan filosofi PKBM. Hal ini dapat dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut : a. Pusat, berarti bahwa penyelenggaraan PKBM haruslah terkelola dan terlembagakan dengan baik. Hal ini sangat penting untuk efektivitas pencapaian tujuan, mutu penyelenggaraan program-program, efisiensi pemanfaatan sumbersumber, sinergitas antar berbagai program dan keberlanjutan keberadaan PKBM itu sendiri. Hal ini juga berkaitan dengan kemudahan untuk dikenali dan diakses oleh seluruh anggota masyarakat untuk berkomunikasi, berkoordinasi dan bekerjasama dengan berbagai pihak baik yang berada di wilayah keberadaan PKBM tersebut maupun dengan berbagai pihak di luar wilayah tersebut misalnya pemerintah, lembaga-lembaga nasional maupun internasional, dan sebagainya. Adanya pelembagaan berbagai kegiatan pembelajaran ini juga merupakan salah satu kelebihan dari keberadaan PKBM dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Pada umumnya, dalam setiap kelompok masyarakat hampir selalu ada berbagai upaya pembelajaran yang bersifat non formal. Namun seringkali berbagai kegiatan dan program tersebut tidak terkelola dan terlembagakan dengan baik dan tidak terpadu sehingga keberlanjutan dan mutu kegiatannya sulit dipertahankan dan ditingkatkan. b. Kegiatan, berarti bahwa di PKBM diselenggarakan berbagai kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat setempat. Ini juga berarti bahwa PKBM selalu dinamis, kreatif dan produktif melakukan berbagai kegiatankegiatan yang positif bagi masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan inilah yang merupakan inti dari keberadaan PKBM. Kegiatan-kegiatan ini tentunya juga sangat tergantung pada konteks kebutuhan dan situasi kondisi masyarakat setempat. c. Belajar, berarti bahwa berbagai kegiatan yang diselenggarakan di PKBM haruslah merupakan kegiatan yang mampu memberikan terciptanya suatu proses
Page 44

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

transformasi dan peningkatan kapasitas serta perilaku anggota komunitas tersebut ke arah yang lebih positif. Belajar dapat dilakukan oleh setiap orang sepanjang hayatnya di setiap kesempatan. Belajar tidak hanya monopoli kaum muda, tetapi juga mulai dari bayi sampai pada orang-orang tua. Belajar juga dapat dilakukan dalam berbagai dimensi kehidupan. Belajar dapat dilakukan dalam kehidupan berkesenian, beragama, berolahraga, adat istiadat dan budaya, ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Dimensi belajar seluas dimensi kehidupan itu sendiri. Dengan demikian PKBM merupakan suatu institusi terdepan yang langsung berada di tengah-tengah masyarakat yang mengelola dan mengimplementasikan konsep belajar sepanjang hayat atau Life Long Learning dan Life Long Education serta pendidikan untuk semua atau Education For All. Penggunaan kata belajar dalam PKBM dan bukan kata pendidikan juga memiliki makna tersendiri. Belajar lebih menekankan pada inisiatif dan kemauan yang kuat serta kedewasaan seseorang untuk dengan sadar menghendaki untuk mengubah dirinya ke arah yang lebih baik. Belajar lebih menekankan upayaupaya peserta didik itu sendiri sedangkan peran sumber belajar atau pengajar lebih sebagai fasilitator sehingga lebih bersifat bottom up dan lebih berkesan non formal. Sedangkan pendidikan sebaliknya lebih bersifat top-down, dan lebih berkesan formal, inisiatif lebih banyak datang dari sumber belajar atau pengajar. d. Masyarakat, berarti bahwa PKBM adalah upaya bersama suatu masyarakat untuk memajukan dirinya sendiri secara bersama-sama sesuai dengan ukuran-ukuran idealisasi masyarakat itu sendiri akan makna kehidupan. Dengan demikian ciriciri suatu masyarakat akan sangat kental mewarnai suatu PKBM baik mewarnai tujuan-tujuannya, pilihan dan disain program dan kegiatan yang diselenggarakan, serta budaya yang dikembangkan dan dijiwai dalam kepemimpinan dan pengelolaan kelembagaannya. Hal ini juga berarti bahwa dalam suatu masyarakat yang heterogen PKBM akan lebih mencerminkan multikulturalisme sedangkan dalam masyarakat yang relatif lebih homogen maka PKBM juga akan lebih mencerminkan budaya khas masyarakat tersebut. PKBM bukanlah suatu institusi yang dikelola secara personal, individual dan elitis. Dengan pemahaman ini tentunya akan lebih baik apabila PKBM tidak merupakan institusi yang dimiliki oleh perorangan atau kelompok elitis tertentu dalam suatu masyarakat. Tetapi keberadaan penyelenggara maupun pengelola PKBM tentunya mencerminkan peran serta seluruh anggota masyarakat tersebut. Dalam situasi transisi ataupun situasi khusus tertentu peran perorangan atau tokoh-tokoh tertentu atau sekelompok anggota masyarakat tertentu dapat saja sangat dominan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan PKBM demi efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan, prakteknya tidaklah menjadi kaku, dapat saja lebih fleksibel. Kata masyarakat juga untuk membedakan secara dikotomis dengan pemerintah. Artinya seyogyanya PKBM itu milik masyarakat bukan milik pemerintah. Kontribusi pemerintah adalah dalam mendukung dan memfasilitasi keberlangsungan dan pengembangan PKBM dapat saja jauh lebih besar porsinya dibandingkan kontribusi masyarakat dalam nilai kuantitas tetapi semuanya itu haruslah diposisikan dalam kerangka dukungan bukan mengambil-alih tanggungjawab masyarakat. Hal ini bukanlah mengarah pada seberapa besar proporsi kuantitas, tetapi lebih kepada semangat, kualitas dan komitmen. Tentu
Page 45

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

saja hal ini harus didasarkan pada konteks dan potensi masing masing masyarakat. Ini juga tidak berarti bahwa mustahil adanya pegawai negeri sipil bekerja dalam suatu PKBM baik sebagai tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan, ataupun ini tidak berarti mustahil adanya alokasi anggaran pemerintah untuk membangun dan meningkatkan sarana dan prasarana PKBM serta dana operasional PKBM. Bahkan sebaliknya, tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan dan pembinaan PKBM haruslah tercermin dalam alokasialokasi anggaran pemerintah yang signifikan dalam memperkuat penyelenggaraan dan mutu pogram PKBM namun keseluruhannya itu haruslah dikembangkan selaras dengan dukungan bagi penguatan peran dan tanggungjawab masyarakat dalam menyelenggarakan dan mengelola PKBM. Kata masyarakat dalam PKBM lebih dimaksudkan pada pengertian masyarakat dalam arti lebih sempit dan terbatas. Dalam bahasa Inggris, padanan katanya adalah community, atau diterjemahkan menjadi komunitas. Pemahaman ini memberi implikasi bahwa PKBM haruslah merupakan institusi yang dibangun dan dikembangkan dalam suatu masyarakat yang bersifat terbatas dan bersifat setempat, bersifat lokal. Batasan ini dapat dikategorikan dalam batasan geografis maupun batasan karakteristik. Batasan geografis dapat berarti dalam suatu wilayah tertentu seperti suatu Kampung atau Dusun tertentu, suatu Desa atau Kelurahan tertentu ataupun suatu Kecamatan tertentu. Batasan Karakteristik dapat saja mengacu pada suatu kelompok masyarakat yang mengalami suatu persamaan permasalahan tertentu misalnya suatu kelompok masyarakat yang karena permasalahan sosial tertentu sama-sama berada dalam suatu Lembaga Pemasyarakatan tertentu dan sebagainya. Dengan pemahaman ini tentu sulitlah dipahami adanya suatu PKBM yang mengklaim PKBM skala yang terlalu luas wilayah cakupannya misalnya skala propinsi atau skala nasional. PKBM sebagai sebuah lembaga yang dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat memiliki fungsi sebagai berikut: (1) tempat kegiatan belajar bagi warga masyarakat, (2) tempat pusaran berbagai potensi yang ada dan berberkembang masyarakat, (3) sumber informasi yang handal bagi warga masyarakat yang membutuhkan keterampilan fungsional, (4) ajang tukar menukar berbagai pengetahuan dan keterampilan fungsional di antara warga masyarakat, (5) tempat kumpulnya warga masyarakat yang ingin meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Balitbang Depdiknas (2000:20). UNESCO & BP-PLSP Jayagiri (2001:3-4) mengemukakan fungsi dari PKBM dibagi kedalam dua bagian, yang meliputi fungsi utama dan fungsi pendukung. Fungsi utama dari PKBM adalah sebagai wadah berbagai kegiatan ajar masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan masyarakat. Sedangkan fungsi pendukung dari PKBM ini dibagi lagi menjadi empat bagian yang meliputi : (1) sebagai pusat informasi baik bagi masyarakat sekitar maupun bagi lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang berkepentingan pada pembangunan masyarakat; (2) sebagai pusat jaringan informasi dan kerja sama bagi lembaga yang ada di masyarakat maupun yang ada di luar masyarakat; (3) sebagai tempat koordinasi, konsultasi, komunikasi dan bermusyawarah para pembina teknis, tokoh masyarakat dan para pemuka agama untuk merencanakan
Page 46

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa; (4) sebagai tempat kegiatan penyebarluasan program dan teknologi tepat guna. U. Sihombing (1999:110-111) mengungkapkan pula bahwa fungsi PKBM adalah : (1) sebagai wadah pembelajaran, artinya tempat warga masyarakat menimba ilmu pengetahuan dan keterampilan fungsional yang dapat didayagunakan secara cepat dan tepat dalam upaya perbaikan kualitas hidup, (2) sebagai tempat pusaran semua potensi masyarakat, artinya PKBM sebagai tempat pertukaran berbagai potensi yang ada dan berkembang di masyarakat, semua warga masyarakat memiliki kelebihan ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat dijadikan nara sumber bagi anggota masyarakat lainnya, (3) sebagai pusat dan sumber informasi, artinya tempat masyarakat menanyakan berbagai informasi tentang berbagai jenis kegiatan pembelajaran dan keterampilan fungsional yang dibutuhkan masyarakat, baik kegiatan yang diselenggarakan di PKBM ataupun ditempat lain, karena tidak setiap kegiatan pembelajaran harus diselenggarakan di PKBM tapi dapat juga di tempat lain yang lebih representatif dan terjangkau oleh masyrakat, (4) sebagai ajang tukar menukar keterampilan dan pengalaman, artinya tempat pertukaran berbagai jenis keterampilan dan pengalaman yang dimiliki masyarakat dengan prinsip saling membelajarkan, (5) sebagai sentra pertemuan antara pengelola dan sumber belajar, artinya tempat diadakannya berbagai pertemuan baik secara intern PKBM maupun di luar PKBM, tetapi berkenaan dengan berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan pembelajaran di PKBM, (6) sebagai lokal belajar yang tidak pernah kering, artinya tempat yang secara terus menerus digunakan untuk kegiatan belajar bagi masyarakat, PKBM yang berbasis masyarakat dapat disentuh oleh setiap lapisan masyarakat dengan berbagai aktivitasnya. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Pusat Kegiatan Belajar Masyakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai suatu institusi milik masyarakat merupakan media bagi penyaluran informasi baik secara vertikal dari masyarakat ke pemerintah, maupun sebaliknya dari pemerintah kepada masyarakat, juga informasi yang bersifat horizontal antarwarga masyarakat dan mitra sejajar lainnya bersifat terbuka yang mengeloa dan menyelenggarakan program-program pendidikan nonformal termasuk di dalamnya program pendidikan kesetaraan Paet B dalam hal ini Pusat Kegiatan Belajar masyarakat (PKBM) di Kota Gorontalo.

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 47

BAB III METODA PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deksriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode ini dipilih untuk mendeskripsikan atau menggambarkan hasil temuan penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat berupa keterangan atau pernyataan-pernyataan dari responden sesuai dengan kenyataan yang ada. Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Mulyana, 2001: 119). Penelitian ini juga sering disebut non eksperimen, karena pada penelitian ini penelitian tidak melakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian. Dengan metode deskriptif, penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal (Mulyana, 2001: 120). Di samping itu, penelitian deskriptif juga merupakan ipenelitian untuk pengumpulan data guna menguju pertanyaan penelitian atau hipotesis yang berkaitan dengan keadan dan kejadian sekarang. Mereka melaporkan keadaan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya. Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan sobjek yang diteliti secara tepat. Dalam perkembangan akhir-akhir ini, metode penelitian deskriptif juga banyak di lakukan oleh para penelitian karena dua alasan. Pertama, dari pengamatan empiris didapat bahwa sebagian besar laporan 116 penelitian di lakukan dalam bentuk deskriptif. Kedua, metode deskriptif sangat berguna untuk mendapatkan variasi permasalahan yang berkaitan dengan bidang pendidikan maupun tingkah laku manusia. Di samping kedua alasan seperti tersebut di atas, penelitian deskriptif pada umumnya menarik para peneliti muda, karena bentuknya sangat sedarhana dengan mudah di pahami tanpa perlu memerlukan teknik statiska yang kompleks. Walaupun sebenarnya tidak demikian kenyataannya. Karena penelitian ini sebenarnya juga dapat ditampilkan dalam bentuk yang lebih kompleks, misalnya dalam penelitian penggambaran secara faktual perkembangan sekolah, kelompok anak, maupun perkembangan individual. Penelitian deskriptif juga dapat dikembangkan ke arah penenelitian naturalistic yang menggunakan kasus yang spesifik melalui deskriptif mendalam atau dengan penelitian setting alami fenomenologis dan dilaporkan secara thick description (deskripsi mendalam) atau dalam penelitian ex-post facto dengan hubungan antarvariabel yang lebih kompleks. Dalam penelitian deskriptif, peneliti tidak melakukan manipulasi variabel dan tidak menetapkan peristiwa yang akan terjadi, dan biasanya menyangkut peristiwa-peristiwa yang saat sekarang terjadi. Dengan penelitian deskriptif, peneliti memungkinkan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang berkaitan
Page 48

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

dengan hubungan variabel atau asosiasi, dan juga mencari hubungan komparasi antarvariabel. Dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian deskriptif dalam bentuk studi pengembangan dan studi lanjutan. Studi perkembangan atau devlopmental study banyak dilakukan oleh peneliti di bidang pendidikan atau bidang psikologi yang berkaitan dengan tingkah laku, sasaran penelitian perkembangan pada umumnya menyangkut variabel tingkah laku secara individual maupun dalam kelompok. Dalam penelitian perkembangan tersebut peneliti tertarik dengan variabel yang utamakan membedakan antara tingkat umur, pertumbuhan atau kedewasaan subjek yang diteliti. Studi perkembangan dalam penelitian ini dilakukan untuk mengukur Pembelajaran Kooperatif Bagi Peningkatan Kecerdasan Sosial Warga Belajar Paket B di PKBM Kota Gorontalo. Studi kelanjutan dilakukan oleh peneliti untuk menentukan status responden setelah beberapa periode tertentu memperoleh perlakuan. Dalam penelitian ini studi kelanjutan dilaksanakan untuk mengukur perubahan perilaku sikap sosial warga belajar program Paket B setelah mengikuti pembelajaran kooperatif. B. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian dengan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif mempunyai langkah seperti berikut. 1. Mengidentifikasi adanya permasalahan yang signifikan untuk dipecahkan melalui metode deskriptif. 2. Membatasi dan merumuskan permasalahan secara jelas. 3. Menentukan tujuan dan manfaat penelitian. 4. Melakukan studi pustaka yang berkaitan dengan permasalahan. 5. Menentukan kerangka berpikir, dan pertanyaan penelitian dan atau hipotesis penelitian. 6. Mendesain metode penelitian yang hendak digunakan termasuk dalam hal ini menentukan populasi, sampel, teknik sampling, menentukan instrumen, mengumpulkan data, dan menganalisis data. 7. Mengumpulkan, mengorganisasikan, dan menganalisis data dengan menggunakan teknik statistika yang relevan. 8. Membuat laporan penelitian C. Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kota Gorontalo yaitu PKBM PKBM Taman Pendidikan

1. Kedua PKBM ini sudah melaksannakan pembelajaran kooperatif 2. Kedua PKBM ini sudah melaksanakan program pembelajaran secara kontinu dan secara sistemik berjalan dengan baik 3. Adanya kesediaan penyelenggara, tutor dan warga belajar untuk dijadikan lokasi penelitian
Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 49

Kelurahan Tapa Kecamatan Kota Utara dan Al-zikra Kelurahan Padebuolo Kecamatan Kota Timur. Tempat ini dijadikan lokasi penelitian atas dasar pertimbangan:

Dengan mempertimbangkan bahwa fokus penelitian ini adalah pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket B, maka sumber utama sebagai subjek dalam penelitian ini adalah ketua-ketua PKBM, tutor dan warga belajar.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah; 1) profil pembelajaran kooperatif pada warga belajar program Paket B di PKBM Kota Gorontalo; 2) model pembelajaran kooperatif pada program paket B yang secara hipotesis dapat meningkatkan kecerdasan sosial warga belajar di PKBM Kota Goronta; 3) data untuk menguji efektivitas model pembelajaran kooperatif pada program paket B bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar di PKBM Kota Gorontalo Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara, observasi, kuesioner, studi dokumentasi, dan diskusi kelompok fokus. Wawancara dan observasi digunakan untuk mengamati kondisi objektif pembelajaran kooperatif pada program paket B di PKBM di Kota Gorontalo. Studi dokumentasi dan diskusi kelompok fokus digunakan untuk mengungkap data yang diperlukan dalam pengembangan model pembelajaran kooperatif pada program paket B yang secara hipotesis dapat meningkatkan Kecerdasan sosial warga belajar di PKBM di Kota Gorontalo Sedangkan kuesioner digunakan untuk mengukur kecerdasan sosial dalam rangka menguji efektivitas model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket B di PKBM Al-zikra Kelurahan Padebuolo Kecamatan Kota Timur dan PKBM Taman Pendidikan Kelurahan Tapa Kecamatan Kota Utara Kuesioner yang dikembangkan dalam penelitian ini berupa daftar pernyataan yang mengungkap kecocokan responden dengan isi yang terkandung dalam setiap pernyataan.Instrumen

D. Teknik Pengumpulan Data, Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

dalam penelitian ini dikembangkan sesuai dengan tujuannya yaitu untuk menjaring data, baik data tentang kecerdasan sosial warga belajar, maupun data pendukung untuk memvalidasi model yang dikembangkan, dan data pembelajaran kooperatif dalam kaitannya dengan pengembangan model. Pengembangan instrumen penelitian yang digunakan, ditujukan untuk mengefektifkan proses penelitian. Ada empat jenis alat pengumpul data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini, yakni: 1. Tes, dikembangkan dan digunakan untuk menjaring data yang bersifat pengetahuan dalam penguasaan kemampuan seseorang dalam memahami,
mendengarkan dan peka terhadap maksud dan pemikiran orang lain, serta merasakan dan mengamati reaksi-reaksi dan perubahan orang lain, yang di tunjukkan baik secara verbal maupun non verbal dan mampu mencari pemecahan masalah yang efektif dalam suatu interaksi sosial dan memiliki penguasaan ketrampilan komunikasi. Adapun indikator dari kecerdasan sosial adalah; percaya diri, sikap positif, kesadaran situasional, kemampuan membawa diri, ketrampilan berkomunikasi dan memiliki sikap empati. Tes

dilakukan terhadap warga belajar subyek penelitian sebelum treatment implementasi model (pretest), dan sesudah treatment implementasi model (posttest). Jawaban atas butir tes merupakan skor, yang selanjutnya dianalisis dan dideskripsikan secara kuantitatif. 2. Observasi dikembangkan dengan menggunakan skala ordinal, digunakan untuk menjaring data yang dikuantifikasi (berupa skor) penguasaan pengetahuan dan keterampilan berdasarkan pelaksanaan pembelajaran aktual
Page 50

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

implementasi model yang dikembangkan. Obeservasi dilakukan kepada warga belajar dalam pelaksanaan pembelajaran untuk mengetahui perkembangan kemampuan. Data hasil observasi setiap aspek dianalisis dan dideskipsikan secara kuantitaif. 3. Pedoman wawancara, dikembangkan untuk mengumpulkan infonnasi dalam studi pendahuluan terkait dengan penyelenggaraan program paket C, dan program pendidikan keterampilan menjahit dengan sasaran utamanya adalah pihak SKB (kepala SKB dan tutor), dan Subdin Pendidikan Kesetaraan Dinas Pendidikan Kota Gorontalo. Pedoman wawancara untuk menggali informasi tersebut, adalah pedoman wawancara terbuka disusun untuk memberikan keleluasaan kepada sumber informasi (data) dalam memberikan jawaban yang lebih terbuka, sesuai dengan pendapat masing-masing. Jawaban yang diperoleh dari setiap butir pertanyaan dideskripsikan secara kualitatif. Sedangkan wawancara untuk mengumpulkan infomasi pelengkap dan menjadi faktor-faktor pendukung ataupun kendala dalam proses ujicoba dan implementasi model yang dikembangkan, peneliti sendiri bertindak sebagai instrumennya jawaban yang diperoleh dideskipsikan secara kualitatif. 4. Dokumentasi yaitu dokumen-dokumen yang ada di Dinas Pendidikan Kota Gorontalo, dan PKBM Taman Pendidikan dan PKBM Al-Zikra Kota Gorontalo yang berkaitan dengan fokus penelitian sebagai pelengkap keluasan analisis data. Teknik studi dokumentasi digunakan untuk menghimpun data tertulis yang berhubungan dengan masalah-masalah kompetensi tutor, kompetensi warga belajar, sarana dan prasarana pembelajaran, serta setiap tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan keterampilan menjahit yang telah dilaksanakan. Data yang diperoleh dari studi dokumentasi dijadikan alat untuk mengecek kesesuaian data yang diperoleh dari kegiatan observasi dan wawancara E. Langkah-Langkah Penelitian Penelitian ini difokuskan pada pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket B sebagai sub sistem pembelajaranpada satuan Pendidikan Nonformal. Penelitian merupakan kegiatan penelaahan terhadap suatu masalah secara terancang dengan menggunakan metode dan langkah-langkah sistematis, Metode itu sendiri merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah yang sistematis (Sugiyono, 2007: 19). Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu menghasilkan sebuah model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket B yang tervalidasi untuk direkomendasikan, maka kegiatan penelitian diarahkan pada empat tahap kegiatan utama, meliputi: (1) studi pendahuluan, (2) pengembangan model
Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 51

(1) Menyampaikan tujuan dan memotivasi warga belajar,(2) Menyajikan informasi. (3) Mengorganisasikan warga belajar ke dalam kelompok-kelompok belajar (4), Membimbing kelompok bekerja dan belajar, (5) Evaluasi, dan (6) Memberikan penghargaan. Observasi dilaksanakan sebelum dan sesudah treatment

warga

belajar,

yang

meliputi

langkah-langkah

sebagai

berikut:

konsep, (3) melakukan ujicoba terbatas, (4) implementasi model (ujicoba lapangan), (5) penyusunan model yang direkomendasikan. Setiap tahap dari kegiatan penelitian ini selanjutnya diuraikan sebagai berikut. 1. Studi Pendahuluan Kegiatan yang ditempuh pada studi pendahuluan melalui langkah-langkah: a. Melakukan kajian teoritik yang meliputi kegiatan yang dilakukan antara lain: 1) Mengkaji konsep, model, asas dan manfaat pendidikan, teori, konsepkonsep pembelajaran, teori belajar orang dewasa, dan konsep kompetensi ideal warga belajar dalam pembelajaran. 2) Mengkaji hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif 3) Analisis yuridis dan kebijakan implementasi pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket B yang selama ini dilaksanakan di PKBM Kota Gorontalo. 4) Menetapkan konsep dan teori pokok, sebagai landasan pengembangan model, meliputi: pengertian, Pembelajaran Kooperatif, Kecerdasan Sosial, Andragogik, Program Paket B dan Konsep PKBM. b. Melakukan survey terkait penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan program Paket B di PKBM Kota Gorontalo, kegiatan yang dilaksanakan adalah: 1) Melakukan kajian awal tentang profil kedua PKBM yaitu PKBM Taman Pendidikan dan PKBM Al-Zikra 2) Melakukan studi pendahuluan tentang kondisi pelaksanaan pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket di PKBM Kota Gorontalo 3) Melakukan kajian awal program pelaksanaan pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket di PKBM Kota Gorontalo Mendeskripsikan temuan penelitian pendahuluan tentang komponen kegiatan yang dilaksanakan. 2. Pengembangan Model Konseptual Kegiatan yang ditempuh pada tahap pengembangan model konsep ini, meliputi: a. Penyusunan draf model, kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah: 1) Merancang model hipotesis pembelajaran kooperatif berdasarkan hasil kajian teoritik, kondisi objektif lapangan, hasil-hasil kajian penelitian terdahulu yang relevan, serta ketentuan-ketentuan formal tentang pelaksanaan pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket di PKBM Kota Gorontalo. 2) Menganalisis kesenjangan antara profil kecerdasan sosial warga belajar dalam pelaksanaan pembelajaran pada program Paket B dengan kecerdasan sosial yang ideal sesuai ketentuan formal (standar kompetensi warga belajar program Paket B). 3) Mendeskripsikan struktur program model pelaksanaan pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket di
Page 52

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

PKBM Kota Gorontalo, dan kerangka model pembelajaran kooperatif dilakukan atas dasar masukan dari praktisi dan pakar, dalam upaya menguji kelayakan model hipotesis yang dikembangkan. b. Verifikasi model hipotesis, kegiatan yang dilakukan adalah: 1) Dilakukan validasi teoretik konseptual model hipotesis kepada para ahli. 2) Dilakukan validasi kelayakan model hipotesis kepada para praktisi di lapangan. 3) Revisi model hipotesis, dan siap untuk dilakukan ujicoba model secara terbatas (uji terbatas) 3. Melakukan Ujicoba Terbatas Melakukan ujicoba model terbatas, kegiatan yang ditempuh pada tahap ini adalah: 1) Melaksanakan ujicoba model secara terbatas sebagai ujicoba oleh peneliti terhadap warga belajar Paket B di PKBM 2) Melakukan diskusi tentang hasil ujicoba untuk mengetahui kelemahankelemahan dalam komponen model yang telah didesain dan divalidasi melalui uji kelayakan pakar dan praktisi. 3) Merumuskan upaya-upaya mengatasi kelemahan-kelemahan dalam rangka penyempurnaan model, didasarkan pada temuan, saran, pendapat peserta selama uji terbatas. 4) Mendeskripsikan hasil pelaksanaan ujicoba model, dan sekaligus, melakukan revisi/penyempurnaan model. 5) Hasil revisi/penyempurnaan model, dianggap sudah siap untuk di implementasikan dalam uji lapangan uji empirik. 4. Implementasi Model (Ujicoba Lapangan) Pada implementasi model tahap kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Pelaksanaan implementasi model pelaksanaan pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket di PKBM Kota Gorontalo dilakukan pada kelompok treatment, melalui eksperimen quasi, dengan langkah kegiatan yang dilakukan sebagai berikut: 1) Sebelum pelaksanaan pendidikan (implementasi model), melakukan pengamatan awal tentang kecerdasan sosial warga belajar melalui observasi terhadap kegiatan pembelajaran, dan pretest dikenakan pada kelompok treatment dan kelompok kontrol. 2) Melaksanakan pelatihan, yaitu menerapkan model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan pada kelompak treatment. 3) Kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam pelaksanaan implementasi model meliputi: evaluasi proses pendidikan (keterlaksanaan model), evaluasi hasil pendidikan pasca implementasi pendidikan melalui posttest, dan observasi tentang kecerdasan sosial warga belajar dalam kegiatan refleksi hasil pembelajaran
Page 53

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Analisa terhadap hasil implementasi model pendidikan keterampilan menjahit yang dikembangkan, dengan langkah kegiatan yang dilakukannya adalah: 1) Melakukan analisis data sebelum pelaksanaan pendidikan/implementasi model pretest (data test dan data observasi pembelajaran warga belajar sebelum pendidikan) dengan sesudah pelaksahaan pendidikan/ implementasi model posttest (data test dan data observasi pembelajaran warga belajar pasca pendidikan) pada kelompok treatment, terkait dengan ada tidaknya perubahan perilaku kewirausahaan 2) Melakukan pengamatan terhadap kecerdasan sosial warga belajar, meliputi: 3) Melakukan analisis data perbedaan hasil pengamatan terhadap kecerdasan sosial sebelum dan sesudah pelaksanaan pembelajaran kooperatif. Analisis ersebut dimaksudkan untuk mengkomparasikan perbedaannya sebagai dasar dalam menguji signifikansi peningkatan kecerdasan sosial(kelompok treatment) yang dianggap sebagai pengaruh dari implementasi model pembelajaran kooperatif. 4) Analisis data yang ditempuh seperti tersebut di atas, dimaksudkan untuk mengetahui apakah model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan tersebut efektif untuk kecerdasan sosial warga belajar Paket B di PKBM Kota Gorontalo 5. Penyusunan Model yang Direkomendasikan. Pengembangan modelpembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket B di PKBM Kota Gorontalo, dideskripsikan sebagai berikut: Pertama, dilakukan pengkajian berbagai teori yang relevan dengan pendidikan utamanya terkait dengan model pembelajaran kooperatif, kecerdasan sosial, andragogik, kajian tentang program Paket B serta Konsep tentang PKBM. Agar peneliti memiliki gambaran awal yang lebih lengkap tentang model yang akan dikembangkan, peneliti juga melakukan pengkajian hasil-hasil penelitian lain yang dianggap relevan, Kedua, dilakukan studi pendahuluan untuk mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan upaya peningkatan kecerdasan sosial warga belajar program Paket B. Survey pada studi pendahuiuan dilakukan melalui pihak terkait pada penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan pada warga belajar. Survey pada penyelenggaraan pembelajaran pada program Paket B di PKBM dan pihak yang terkait dengan pelaksanaan program pembelajaran di PKBM. Seluruh informasi diperoleh dari pihak-pihak terkait tersebut, serta landasan yuridis formal yang relevan, dan kajian teoretis dijadikan acuan dalam studi pendahuluan untuk merumuskan model dan pengembangan selanjutnya. Ketiga, merancang model hipotesis pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar paket B, peneliti melakukan analisis kesenjangan antara rnodel hipotesis dengan kondisi aktual pembelajaran kooperatif yang dilakukan warga belajar di lapangan. Selanjutnya hasil analisis tersebut digunakan sebagai acuan dalam merumuskan model hipotesis.
Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 54 percaya diri, sikap positif, kesadaran situasional, kemampuan membawa diri, ketrampilan berkomunikasi dan memiliki sikap empati.

Keempat, melakukan uji kelayakan model hipotesis melalui judgement pakar untuk perbaikan konseptual dan kesesuaian model hipotesis tersebut. Uji kelayakan model hipoteses tersebut dilakukan melalui penilaian oleh praktisi dan sejawat peneliti, untuk memberikan masukan kesesuaian model tersebut di tingkat lapangan. Uji kelayakan dimaksudkan untuk memperbaiki draf model hipotesis yang telah dirumuskan, sehingga model hipotesis tersebut siap untuk diujicobakan secara terbatas. Kelima, melakukan ujicoba terbatas model hipotesis hasil uji kelayakan yang melibatkan warga belajar program Paket B. Ujicoba model secara terbatas ini, dimaksudkan untuk memvalidasi model, melalui penyempurnaan model hipotesis yang telah diuji kelayakannya oleh pakar dan praktisi, berdasarkan temuan-temuan dalam ujicoba tersebut, sehingga siap untuk dilakukan implementasi model dalam uji lapangan. Keenam, melakukan uji kecerdasan sosial kelompok treatment sebelum implementasi model, uji penguasaan kompetensi dilakukan melalui tes dan observasi sebelum implementasi model. Pengamatan kecerdasan sosial warga belajar sebelum implementasi model tersebut, dimaksudkan untuk memperoleh data kecerdasan sosial warga belajar untuk dikomparasikan dengan kecerdasan sosial warga belajar pasca implementasi model pasca pembelajaran (sebagai posttest). Analisis komparasi kedua macam data tersebut digunakan untuk menguji efektivitas model yang dikembangkan. Ketujuh, implementasi model uji lapangan, kegiatan implementasi model pada tahap ini dilakukan terhadap kelompok treatment, yaitu kelompok warga belajar Paket B. lmplementasi model pembelajaran kooperatif dilaksanakan di PKBM Kota Gorontalo. Kedelapan, evaluasi hasil implementasi model, dilaksanakan melalui kegiatan pengujian pasca pembelajaran guna memperoleh data kecerdasan sosial warga belajar pasca implementasi model. Data yang diperoleh adalah data hasil tes pasca pembelajaran, dan data observasi ada saat pelaksanaan pasca pembelajaran. Data hasil posttest dalam analisisnya dikomparasikan dengan data hasil pretest sebagai dasar analisis efektivitas model yang dikembangkan. Selanjutnya, untuk mengetahui bahwa model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan efektif dan berpengaruh terhadap peningkatan kecerdasan warga belajar Paket B, lebih lanjut dilakukan analisis model berdasarkan hasil implementasi model/uji lapangan tersebut. Analisis dilakukan berdasarkan data pengamatan kecerdasan sosial sebelum dan setelah pelaksanaan pembelajaran kooperatif. Dari hasil analisis ini dirancang model "akhir" pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar sebagai "model yang akan direkomendasikan". Tahapan-tahapan pengembangan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket B di PKBM Kota Gorontalo dapat digambarkan melalui kerangka pengembangan model sebagai berikut:
STUDI PENDAHULUAN
Pembelajaran Kooperatif, Kecerdasan Sosial

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

MODEL KONSEPTUAL
Rasionalisasi, Asumsi Pengembangan Model, Tujuan Pengembangan, Komponen

Page 55

3.1. Tahapan Pengembangan Pendidikan Keterampilan Menjahit Warga Belajar Paket C dalam Perspektif Kewirausahaan

F. Pengolahan Data dan Teknik Analisis Data Tahapan dalam proses penelitian, terdiri atas langkah: (1) meneliti hasil penelitian berkaitan dengan produk yang akan dikembangkan, (2) mengembangkan produk berdasarkan hasil penelitian, (3) uji lapangan, dan (4) mengurangi devisiensi yang ditemukan dalam tahap uji coba lapangan. Merujuk pada tahapan dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan dibagi ke dalam beberapa tahap yaitu: (l) pekerjaan menuliskan data, (2) mengedit, (3) mengklasifikasikan data, (4) mereduksi, dan (5) interpretasi atau memberi tafsiran. Berdasakan pada rencana analisis data tersebut, maka teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: 1. Analisis Data Tahap Pertama Analisis data penelitian tahap pertama, terkait dengan studi pendahuluan, dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara kualitatif dilakukan untuk memaknai deskripsi obyektif tentang implementasi pembelajaran kooperatif pada kondisi aktual dan kontekstual yang pernah dilakukan terkait penyelenggaraan program Paket B. Analisis data kuantitatif hasit studi pendahuluan dilakukan untuk memaknai kondisi PKBM Taman Pendidikan dan PKBM Al-Zikra. Analisis data secara kualitatif yang dimaksudkan di atas, secara keseluruhan untuk mendeskripsikan hasil studi pendahuluan sebagai salah satu komponen penting untuk terumuskannya model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan. Sedangkan analisis data kuantitatif pada studi pendahuluan untuk memotret kecerdasan sosial warga belajar, sebagai komponen penting sebagai dasar memperoleh gambaran kondisi kecerdasan sosial warga belajar sebagai faktor pendukung pentingnya peningkatan kecerdasan sosial warga belajar melalui model yang dikembangkan 2. Analisis Data Tahap Kedua Analisis data pada tahap ini digunakan prosedur kualitatif; dan bentuknya adalah menelaah faktor-faktor yang secara konseptual akan menjadi kendala dalam rnengimplementasikan model pembelajaran kooperatif yang dirancang. Analisis data pada tahap ini untuk memaknai kondisi obyektif atas pandangan para pengelola PKBM, praktisi, dan para pakar. Hasil analisis ini dapat dijadikan pedoman, dalam memverifikasi model awal pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket B di PKBM.

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dideskripsikan dengan mengacu pada tujuan penelitian, yakni: (1) mendeskripsikan kondisi objektif pembelajaran kooperatif di PKBM Kota Gorontalo, (2) mengembangkan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar program Paket B di PKBM Kota Gorontalo, (3) mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar program Paket B di PKBM Kota Gorontalo, dan (4) mengetahui efektivitas model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar program Paket B di PKBM Kota Gorontalo
1. Deskripsi Kondisi Objektif Pembelajaran Kooperatif Di PKBM Kota Gorontalo Untuk mendapatkan kondisi objektif pembelajaran kooperatif di PKBM Kota Gorontalo diperoleh melalui wawancara, observasi dan angket pada kegiatan Studi Pendahuluan. Wawancara dilaksanakan dengan Ketua Forum PKBM (Bapak Provinsi Gorontalo (Drs.Buharin Igirisa.M.Pd) pada tanggal 3 September 2011 untuk memberikan rekomendasi terhadap Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai tempat pelaksanaan penelitian. Dari hasil wawancara tersebut diperoleh bahwa dari 17 PKBM yang ada di Kota Gorontalo hanya dua PKBM yang direkomendasikan yaitu PKBM Taman Pendidikan dan PKBM Al-Zikra. Pada tanggal 4 September 2011 peneliti melakukan wawancara dengan Ketua PKBM (La Putu) sekaligus observasi pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Taman Pendidikan yang berlokasi di Kelurahan Tapa Kecamatan Kota Utara, dilanjutkan wawancara dengan Ketua PKBM (Drs.Darsono Daud M.Pd) pada tanggal 5 September 2011 sekaligus melaksanakan observasi pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Al-Zikra yang berlokasi di kelurahan Padebuolo Kecamatan Kota Timur. Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap kedua PKBM ini menghasilkan informasi mengenai profil PKBM lokasi penelitian dan bagaimana kondisi objektif pembelajaran yang ada di PKBM. a. Profil Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Taman Pendidikan A. Hasil Penelitian

PKBM "Taman Pendidikan" merupakan lembaja di jalur Pendidikan non formal yang didirikan oleh masyarakat dan untuk masyarakat di Kelurahan Tapa Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo. PKBM ini dinamakan "Taman Pendidikan" dengan maksud agar melalui lembaga ini dapat diciptakan sumber daya manusia yang handal, berkualitas dan berdaya saing khususnya bagi masyarakat yang berada di Kelurahan Tapa dan Kecamatan Kota Utara pada umumnya. PKBM "Taman Pendidikan" didirikan pada tanggal 8 Agustus tahun 2008 di Kelurahan Tapa Kecamatan Kota Utara dan telah dikukuhkan dengan akta notaris nomor 41 dihadapan notaris Lisa Purnamawati Nento, SH pada tanggal 19 Juni 2009.

Dalam melaksanakan berbagai penyelenggaraan program PKBM "Taman Pendidikan" telah beroleh izin operasional dari Pemerintah Kota Gorontalo dalam hat ini Dinas Pendidikan Kota Gorontalo nomor 427/Diknas-PNFP/2088a. Untuk, rnenunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan yang diselenggarakan oleh PKBM "Taman Pendidikan" khusus dalam bal mengatur manajemen operasional keuangan maka PKBM "Taman Pendidikan" telah memiliki rekening bank di BRI Unit Andalas dengan nomor rekening 5125-01-006788-53-8 dan juga dilengkapi dengan telah terdaftar pada Kantor Pajak Nomor Pokok Wajib Pajak 02.837.007.0-822.000
b. Profil Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Al-Zikra Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) AL-Zikra adalah lembaga dijalur Pendidikan non formal yang didirikan oleh masyarakat Kelurahan Padebuolo melalui Dinas Pendidikan Kota Gorontalo. PKBM ini dinamakan AL-Zikra dengan maksud agar melalui lembaga ini dapat diciptakan sumber daya manusia yang handal, berkualitas dan berdaya saing khususnya bagi

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 57

masyarakat yang berada di Kelurahan Padebuolo dan Kecamatan Kota Timur pada umumnya. PKBM AL-Zikra didirikan pada tanggal 28 Juli tahun 2008 di Jalan Matolodula Kelurahan Padebuolo Kecamatan Kota Timur dan telah dikukuhkan dengan akta notaris nomor 14 dihadapan notaris Lisa Purnamawati Nento,SH pada tanggal 5 Agustus 2008.

Dalam melaksanakan berbagai penyelenggaraan program PKBM AL-Zikra telah beroleh izin operasional dari Pemerintah Kota Gorontalo dalam hal ini Dinas Pendidikan Kota Gorontalo Nomor 427/Diknas-PNFP/2148. Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan yang diselenggarakan oleh PKBM Al-Zikra khusus dalam hal mengatur manajemen operasional keuangan maka PKBM Al-Zikra telah memiliki rekening bank di BRI unit Kota Timur dengan nomor rekening 5133-01-025123-53-2 dan juga dilengkapi dengan telah didaftarkannya PKBM AlZikra di kantor pajak Nomor Pokok Wajib Pajak 02.680.378.3-822.000 Kondisi objektif pembelajaran pada Pendidikan kesetaraan Paket B sebagai subjek penelitian ini didasarkan pada satandar yang diberlakukan Pemerintah khususnya yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Satandar Nasional Pendidikan. Dalam kenyataanya sesuai hasil temuan di lapangan pada tanggal 3 sampai dengan tanggal 5 September 2011 sesuai dengan hasil wawancara dengan beberapa pengelola di beberapa PKBM Kota Gorontalo diproleh bahwa proses pembelajaran pada program Paket B pada umumnya masih menggunakan pembelajaran konvensional yaitu pembelajaran yang berpusata pada tutor. Secara rinci kondisi objektif pelaksanaan pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Pendidikan kesetaraan program Paket B di PKBM Kota Gorontalo dapat diuraikan sebagai berikut:
1.Model Pembelajaran kooperatif belum dilakukan sepenuhnya pada program Paket B di PKBM Kota Gorontalo 2. Ada kekhawatiran bahwa pembelajaran kooperatif hanya akan mengakibatkan kekacauan di kelas, dan peserta didik tidak akan belajar jika mereka ditempatkan dalam kelompok. 3. Banyak kesan yang negatif mengenai kegiatan kerja sama atau belajar dalam kelompok 4. Warga belajar tidak senang disuruh bekerja sama dengan orang lain 5. Warga belajar yang aktif dan tekun merasa harus bekerja melebihi warga belajar yang lain dalam kelompok, sementara warga belajar kurang mampu merasa rendah diri karena ditempatkan satu kelompok dengan warga belajar yang lebih pintar dan aktif. 6.Warga belajar yang pintar merasa bahwa temannya yang kurang mampu hanya menumpang saja pada hasih jerih payah mereka. 7.Ada perasaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau keunikan pribadi karena harus menyesuaikan diri dengan kelompok.

Kajian ini diarahkan pada upaya menggali faktor-faktor internal model faktual pembelajaran pada Pendidikan kesetaraan paket B di PKBM yang diasumsikan dapat mempengaruhi kecerdasan sosial warga belajar dalam mengikuti program pembelajaran serta kemampuan tenaga tutor/tutor dalam membangun program pembelajaran. Disamping itu pula akan dibahas berbagai permasalahan yang terkait dengan penyelenggaraan pembelajaran yang berlangsung di PKBM. a. Partisipasi warga belajar dalam proses pembelajaran Dalam pengembangan program di PKBM (satuan Pendidikan nonformal) khususnya program Pendidikan kesetaraan, partisipasi dari seluruh komponen pembelajaran khususnya warga belajar baik dalam menyusun perencanaan pembelajaran maupun Page 58

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

dalam pelaksanaan pembelajaran merupakan tolak ukur utama. Hal ini dimaksudkan dengan tujuan: 1) Warga belajar belum memiliki rasa tanggungjawab terhadap program yang akan dikembangkan, terutama keberhasilan dan keberlangsungan program. 2) Keterlibatan warga belajar dalam penyusunan perencanaan progran pembelajaran program Paket B belum nampak merupakan sebuah proses awal dari terjadinya proses belajar. 3) Penulusuran dan analisis kebutuhan warga belajar akan secara dini ditemukan, sehingga memudahkan tutor dalam mengembangkan program pembelajaran terutama; materi pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran serta model evaluasi pembelajaran yang akan dikembangkan Disamping itu pula keterlibatan warga belajar dalam perencanaan pembelajaran akan memudahkan tutor dalam menganalisis permasalahanpermasalahan yang akan ditimbulkan dan akan memudahkan dalam pemecahan masalah yang ditemukan baik dalam proses pembelajaran maupun dalam mengukur keberhasilan pembelajaran. Kriteria dasar yang harus dipenuhi warga belajar dalam partisipasinya dalam menyusun rencana program meliputi: a) kemampuan dasar dan keterampilan yang dimiliki, terutama memahami masalah diri dan lingkungannya, c) memiliki kemauan, d) dapat bekerjasama, dan c) terbuka terhadap pengembangan diri dan pengembangan program. Kegiatan utama untuk membangun kondisi partisipasi warga belajar di PKBM dalam pengembangan dan proses pembelajaran kooperatif dilakukan melalui berbagai kegiatan yaitu: a) Pendekatan Awal Pendekatan awal dilakukan oleh tutor kepada warga belajar, untuk lebih mengenal satu satu sama lain terutama, berbagai hal yuang berkaitan dengan potensi-potensi (diri) yang dimiliki warga belajar. Disamping itu pula kegiatan ini dilakukan untuk menumbuhkan rasa situational awarness warga belajar dalam mengikuti Pendidikan kesetaraan di PKBM (motivasi) mengingat heteroginitas warga belajar dilihat dari usia, latar belakang keluarga (ekonomi), jenis kelamin, dan latar belakang pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dalam mendukung proses dan perencanaan pembelajaran. Kegiatan pokok yang dilakukan bersama warga belajar pada tahapan ini meliputi: 1) Tutor bersama warga belajar saling berkenalan (saling memperkanalkan diri), hal ini dilakukan untuk membangun keakraban diantara masing-masing. 2) Melakukan identifikasi awal tentang warga belajar (kemampuan dan keterampilannya) melalui wawancara secara informal untuk mengetahui identitas diri, kemampuan yang dimiliki, jenis keterampilan yang dimiliki, kebutuhan, jenisk kegiatan yang dilakukan diluar belajar di PKBM, asal tempat tinggal, dan kebiasaan dalam belajar. 3) Menyebarluaskan dan memetakan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki warga belajar kepada tutor lain agar memudahkan dalam membuat topik-topik (tema-tema) pembelajaran. 4) Membina kepercayaan warga belajar, agar terus mengembangkan diri danpercaya kepada kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. 5) Membentuk kelompok belajar, sesuai dengan kemapuan dan keterampilan yang Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 59

dimiliki dan kebutuhan masing-masing. Hasil dari kegiatan ini adalah: 1) memberikan alternatif strategi pembelajaran sehingga partisipasi warga belajar dalam proses pembelajaran terjadi dengan sebaik-baiknya dan tanpa paksaan. 2) meningkatkan kepercayaan diri warga belajar, 3) mengikuti pembelajaran secara terus menerus (kontinu). b) Assesment Warga Belajar Assesment dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal warga belajar, kebutuhan, keinginan dan motivasi yang sebenarnya ada dalam diri warga belajar. Assessment ini dilakukan ketika pertama kali warga belajar akan mengikuti pembelajaran. Selama kegiatan ini tutor memberikan motivasi dan meningkatkan intensitas komunikasi dengan warga belajar sehingga diperoleh kejelasan, bahwa warga belajar betul-betul akan mengikuti dengan sungguh-sungguh program Paket B di PKBM Kota Gorontalo. Kegiatan assesment mencakup: 1) identifikasi masalah-masalah keikutsertaan dalam proses pembelajaran, 2) identifikasi berbagai potensi yang dimiliki warga belajar serta dihubungkan dengan kebutuhan nyata warga belajar dalam mengikuti proses pembelajaran, 3) latar belakang warga belajar di masyarakat dan di rumah, 4) kondisi lingkungan warga belajar di mana mereka tinggal dan bekerja bagi yang sudah bekerja, 5) riwayat pendidikan warga belajar, 6) kondisi kehidupan sehari-hari. Identifikasi ini dilakukan untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan dalam proses pembelajaran dan strategi yang diterapkan terutam dalam memilih tema-tema yang cocok dengan materi pembelajaran yang akan dibangun di PKBM. Hasil asessment dapat dijadikan acuan atau fundasi dalam menyusun rencana pembelajaran yang secara langsung berimbas pada penetapan strategi pembelajaran, metoda pembelajaran dan bahan ajar (sumber) belajar yang akan digunakan tutor dalam proses pembelajaran. b. Program Pembelajaran dan Rencana Pembelajaran 1) Program Pembelajaran Program pembelajaran yang dikembangkan di PKBM menggunakan kurikulum Pendidikan kesetaraan Paket B (Pendidikan Dasar Kesetaraan) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. a) Struktur Kurikulum, yang merupakan pola susunan mata pelajaran program Pendidikan kesetaraan Paket B terdiri atas berbagai mata pelajaran untuk mengembangkan kemampuan olahhati, olahpikir, olahrasa, olahraga dan olahkarya, termasuk muatan lokal, dan pengembangan kepribadian profesional. b) Beban Belajar, program Pendidikan kesetaraan paket B dinyatakan dalam satuan kredit kompetensi (SKK) yang menunjukkan bobot kompetensi yang harus dicapai oleh warga belajar dalam mengikuti program pembelajaran baik melalui tatap muka, prlatek keterampilan, dan/ atau kegiatan mandiri. c) Kurikulum Tingkat Satuan Kegiatan Belajar (PKBM) dan Silabus, dikembangkan dan ditetapkan bersama antara Dinas Pendidikan Kabupaten Kota yang bertanggungjawab dibidang Pendidikan nonformal serta sesuai dengan kewenangannya. Kedalaman kurikulum dituangkan dalam standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) masing-masing mata pelajaran. Mata pelajaran IPTEK memiliki SK dan KD yang sama dengan Pendidikan formal di PKBM, hal ini dipakai untuk kepentingan ujian penyetaraan tingkat nasional. Page 60

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

d) Kalender Pendidikan Kalender Pendidikan yang digunakan pada PKBM disusun sesuai kebutuhan warga belajar di PKBM. Permulaan tahun ajaran sesuai dengan kalender Pendidikan kesetaraan yang dikeluarkan Direktorat Pendidikan Kesetaraan Direktorat jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas (awal tahun ajaran pada Bulan Mi). Warga belajar dapat mengikuti kegiatan pembelajaran sesuai dengan kesempatan masing-masing dengan memperhatikan beban belajar dan cara menempuhnya sesuai dengan aturan yang diberlakukan. 2) Rencana Pembelajaran Hasil assessment dijadikan dasar untuk perencanaan pembelajaran yang disampaikan di PKBM. Pihak yang terlibat dalam perencanaan pembelajaran adalah pengelola dan tutor, adapun warga belajar terbatas hanya menyampaikan beberapa informasi permasalahan yang dihadapi ketika dilakukan dialog serta beberapa pertanyaan yang disampaikan kepada mereka. Disamping itu warga belajar terlibat dalam penyusunan perencanaan pembelajaran hanya pada penyampaian permasalahanpermasalan serta kebutuhan yang ingin dipelajarinya. Komponen-komponen yang direncanakan meliputi berbagai hal yang behubungan erat dengan pembelajaran seperti: materi pembelajaran, penjadwalan, serta tempat proses pembelajaran berlangasung. Di samping itu pula diamati beberapa kreativitas tutor yang sesuai dengan topik-topik materi pembelajaran. Dalam proses ini ada beberapa kekurangan yang teramati diantaranya adalah; kurang memperhatikan kebutuhan real warga belajar serta sumber belajar yang mendukung. Tujuan pembelajaran ditentukan langsung oleh pengelola dan tutor, dengan asumsi bahwa warga belajar sebagai sasaran pembelajaran pasif, sehingga keterlibatan dalam proses penyusunan rencana pembelajaran masih terbatas. Warga belajar mengikuti pembelajaran di PKBM kebanyakan tidak didasarkan atas motivasi yang datang dari dalam dirinya (instrinsik) tetapi atas dasar motivasi dari luar (ekstrinsik) seperti; ajakan teman-temannya, ajakan pengelola dan tutor, disuruh orang tua dan perusahaan dimana warga belajar bekerja, juga dikarenakan adanya transport dari pengelola. Rekrutment tutor dilakukan atas dasar sukarela dan keikhlasan, tidak berdasar pada kompetensi. Dalam proses penyusunan rencana pembelajaran, diketahui bahwa proses belajar dilakukan tutor sesuai dengan waktu senggang yang dimiliki, disamping itu pula tutor menerima tunjangan (intensif) sesuai dengan standar yang ditetapkan PKBM. Pada tahap (awal) orientasi pembelajaran di PKBM, warga belajar pertama-tama dikenalkan peran dan fungsi PKBM di masyarakat khusunya dalam pembelajaran (visi, misi dan tujuan PKBM), dijelaskan pula berbagai aturan yang harus dilaksanakan warga belajar, peran pengelola dan tutor dalam rangka proses pembelajaran. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam mendukung tahap oreintasi diantaranya adalah: menyusun jadwal pembelajaran dan jadwal tambahan untuk keterampilan, membuat jadwal pembagian tugas kebersihan PKBM, menyusun kegiatan yang menyenangkan seperti permainan, olahraga dan kesenian. Kegiatan-kegiatan itu disusun berdasar kesepakatan antara tutor/pengelola dengan warga belajar. Dalam tahap orientasi pembelajaran disusun pula pengorganisasian warga belajar dan pembentukan kelompok belajar, kegiatan ini dipimpin oleh warga belajar dan diarahkan oleh tutor. Page 61

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

c. Pelaksanaan Pembelajaran Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi antara tutor dan warga belajar melalui berbagai media dan metoda yang sesuai dengan materi ajar/pesan yang secara kooperatif dibutuhkan warga belajar. Proses pembelajaran dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku warga belajar. Dalam proses pembelajaran dilakukan pula pemberian motivasi agar warga belajar berpartisipasi secara aktif di dalamnya Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan secara bervariasi oleh tutor yang dibantu oleh pengelola. Variasi pelaksanaan pembelajaran (tidak konsisten dengan perencanaan semula) dapat dicermati dari waktu, dan materi pembelajaran. Ketidak kosistenan pelaksanaan pembelajaran disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah; rendahnya motivasi warga belajar, tutor berhalangan hadir, tidak ada penjemputan warga belajar ke tempat pembelajaran di PKBM yang bisa menghambat kelancaran proses pembelajaran di PKBM. PKBM dalam menyelenggarakan pembelajaran cenderung kaku dan kurang memperhatikan kebutuhan belajar warga belajar dan disesuaikan dengan potensi lokal (masyarakat) yang dapat didaya gunakan untuk mendukung keberhasilan pembelajaran. Proses pembelajaran bersifat teacher centered (tutor lebih dominan menyampaikan materi sedangkan warga belajar pasif). Hal tersebut diakibatkan oleh kreativitas tutor yang rendah atau dalam proses belajar hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab atau metode konvensional. Tempat pelaksanaan pembelajaran pada umumnya menggunakan ruangan yang ada di PKBM, atau halaman PKBM, meskipun sebagian ruangan PKBM sudah permanen, namun tempat-tempat tersebut belum sepenuhnya mendukung proses pembelajaran baik yang intra maupun ekstra. Waktu pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan sesuai kesepakatan antara tutor, pengelola dan warga belajar, namun dalam pelaksanaannya sering kali berubah-ubah karena berbagai alasan keterbatasan tutor dan bahan ajar. Dalam proses pembelajaran dilakukan pula kegiatan pembinaan, dimana kegiatan ini disesuaikan dengan komponen materi program pembelajaran. Dengan harapan tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Kondisi PKBM, tersebut di atas secara nyata didukung oleh data-data penelitian kuantitatif, meliputi; tujuan diselenggarakannya berbagai program di PKBM, (40%) didasarkan pada pemenuhan akan keanekaragaman minat warga belajar, (30%) pengelola menyatakan didasarkan kepada pemenuhan keanekaragaman kebutuhan warga belajar, (30,26%) pengelola menyatakan didasarkan pada keanekaragaman adat/kebiasaan masyarakat calon warga belajar, dan (30%) didasarkan kepada keanekaragaman tuntutan/kebutuhan pasar. Waktu penyelenggaraan program pembelajaran di PKBM bervariasi. Menurut tutor PKBM, waktu pembelajaran pada umumnya merupakan hasil kesepakatan antara tutor dengan warga belajar yaitu (75%) diserahkan kepada tutor, (20%) diserahkan kepada warga belajar , dan (5%) disesuaikan dengan tempat. Lamanya waktu pembelajaran per minggu pada PKBM, (75%) selama dua kali, dan (257%) selama satu kali. Sumber dana pembelajaran di PKBM belum berkembang, semuanya bersumber dari pemerintah (100%), Metode pembelajaran yang sering digunakan di PKBM, menurut warga belajar adalah ceramah, tanya jawab, dan diskusi (80%). Metode praktek hanya sekitar 20%. Metode pembelajaran yang digunakan, menurut warga belajar di PKBM sesuai dengan Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 62

kondisi warga belajar (93,33%), kurang sesuai dengan kondisi warga belajar (5,33%) dan tidak sesuai dengan kondisi warga belajar (1,33). Alat dan sumber pembelajaran yang digunakan di PKBM, pada umumnya tutor memandang sangat menunjang kemampuan warga belajar (30,56%), kurang menunjang kemampuan warga belajar (66,67%) dan tidak menunjang kemampuan warga belajar (2,78%). Menurut warga belajar, program pembelajaran disusun sesuai dengan kebutuhan warga belajar (54,67%), berdasarkan program pemerintah (38,67%), dan disusun sesuai dengan kemampuan tutor (6,67%). d. Strategi Pembelajaran Seperti telah dijelaskan sebelumnya strategi pembelajaran yang diterapkan di PKBM adalah; pembelajaran partisipatif, diskusi kelompok, belajar mandiri dan Iainlain. Namun ada metoda lain yang dikembangkan di PKBM yakni tutor sebaya. Strategi pembelajaran ini dikembangkan karena keterbatasan PKBM dalam menyediakan tutor dan keterbatasan sumber belajar. Dalam menyelenggarakan strategi pembelajaran ini diperlukan kesiapan dan kemampuan tutor dalam mengkoordinasikan berbagai pengalaman mengajar kepada anak, juga kemampuan tutor dalam memilih anak yang unggul di antara teman-temannya. Pembelajaran partisipatif tutor sebaya dilakukan pada warga belajar yang berada pada level (kelas) 9 untuk program Paket B dan kelas 12 untuk program Paket C atau kelas akhir pada Pendidikan kesetaraan. Strategi pembelajaran ini dilakukan dengan cara tutor menyiapkan bahan/materi ajar yang cocok dan dapat dipecahkan atau didiskusikan warga belajar di PKBM dan dipimpin oleh temannya yang lebih pintar (unggul). Model pembelajaran partisipatif tutor sebaya dipadukan juga dengan strategi pembelajaran kooperatif Strategi pembelajaran ini memerlukan bahan ajar (modul) yang sudah sedemikian rupa disiapkan dengan berbagai bahan bacaan yang secara kooperatif berkaitan dengan mated ajar dan masalah-masalah/kebutuhan belajar yang harus dipecahkan warga belajar. Beberapa faktor yang menjadi perhatian tutor dalam mengembangkan strategi pembelajaran tutor sebaya di antaranya adalah: 1) Kegiatan Pembelajaran berpusat pada warga belajar. 2) Kesesuaian kegiatan dan isi materi pembelajaran dengan sifat-sifat individualitas warga belajar. 3) Faktor keturunan dan kesesuaiannya dengan materi pembelajaran. 4) Kesesuian materi pembelajaran dengan faktor lingkungan (environmental factor). 5) Kesesuaian materi pembelajaran dengan potensi diri warga belajar. 6) Kesesuaian materi pembelajaran dengan perkembangan kehidupan. 7) Kesesuaian makna dengan pengembangan materi pembelajaran. Pendekatan pembelajaran lain yang digunakan dalam proses pembelajaran di PKBM adalah pendekatan partisipatif andragogis. Pendekatan ini dilakukan dalam rangka membantu menumbuhkan kerjasama dalam menemukan dan menggunakan hasil-hasil temuannya yang secara kooperatif berkaitan dengan lingkungan masyarakat dimana warga belajar tinggal dan bekerja. Kondisi dan situasi Pendidikan yang dibangun dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan warga belajar. Di samping pendekatan pembelajaran partisipatif andragogis, juga dilakukan pendekatan pembelajaran berbasis lingkungan/kontekstual; pendekatan ini dilakukan Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 63

agar proses pembelajaran secara kooperatif relevan dan bermanfaat bagi warga belajar sesuai potensi dan kebutuhan lokal (lingkungan sekitar dimana mereka tinggal dan bekerja). Oleh karena itu pendekatan pembelajaran ini harus terkait dengan lingkungan di mana warga belajar hidup dan bekerja. Sehingga warga belajar merasakan, bahwa pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya bermanfaat dan terkait langsung dengan kehidupan sehari-harinya. e. Dana Belajar Berdasarkan hasil wawancara dengan seluruh responden yang terkait dan mengerti tentang dana belajar yang dikelola atau yang digunakan di PKBM dan hasil pengolahan daftar isian, sumber dana belajar PKBM dapat diidentifikasi sebagai berikut: pemerintah, masyarakat, forum PKBM, Iuran warga Belajar, dan bantuan donator. Dari sumber-sumber dana tersebut, terbesar terbesar diperoleh dari pemerintah. Dana yang masuk dari berbagai sumber tersebut, dikelola oleh PKBM secara otonom, baik dalam pencarian maupun dalam penggunaannya menjadi tanggung jawab PKBM. Setiap PKBM harus melaporkan dan mempertanggungjawabkannya kepada pemberi dana atau pihak lain yang dipandang perlu mendapat laporan. Pengelolaan dan penggunaan dana pada setiap PKBM bervariasi Hasil identifikasi pengeluaran dana oleh Pengelola PKBM dapat dideskripsikan sebagai berikut. 1) Sebanyak 6% pengelola menyatakan pengeluaran dalam satu tahun di bawah Rp 10.000.000; 2) Sebanyak 9% pengelola menyatakan antara Rp. 10.000.000 s/d Rp. 12.500.000; 3) Sebanyak 16% pengelola menyatakan berkisar antara Rp. 12.500.000 s/d Rp.15.000.000, 4) Sebanyak 9% menyatakan berkisar antara Rp.15.000.000 s/d 17.500.000; 5) Sebanyak 60% menyatakan di atas Rp. 20.000.000,Penggunaan dana tersebut diantaranya untuk transfot tutor, membeli bahan habis pakai, ATK, buku tulis, membayar rekening listrik dan dan rekening air. Semua dana yang diperoleh untuk pembiayaan semua program yang ada di PKBM bersumber dari dana APBN.

f.Evaluasi Hasil Belajar

Evaluasi hasil belajar, dilakukan untuk melihat pencapaian program yang yang dilaksanakan di PKBM, serta sebagai informasi timbal balik kepada 'tutor dan warga belajar mengenai kemajuan yang telah dicapai. Hasil dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk penetapan peningkatan intervensi, revisi atau terminasi. Instrumen evaluasi berupa rancangan program, instrumen test, case record, file perkembangan anak dan pedoman observasi, yang dipergunakan baik secara kontinu, maupun secara periodik bulanan, triwulan, semesteran dan tahunan.

Penilaian dilakukan oleh pengelola dan tutor dan bersifat insidental tidak kontinu, ada juga evaluasi yang bersifat assesmen melalui pengumpulan informasi dari tutor, dan warga belajar. Kegiatan penilaian pada umumnya berkaitan dengan kewajiban melihat perkembangan hasil belajar warga belajar dan laporan PKBM dalam menyelenggarakan program. Hasil belajar dirumuskan dalam bentuk pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam berbagai hal para pengelola PKBM juga mengenal istilah kompetensi. Semua Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 64

aspek tersebut dievaluasi dengan berbagai cara, baik dengan cara tes maupun nontes, secara lisan, tulisan maupun perbuatan. Pelaksanaan evaluasi dilakukan melalui evaluasi sumatif dan formatif dan dilakukan secara terencana dan terprogram. Selama ini pelaksanaan evaluasi pendidikan pada program Paket B masih menggunakan sistem peringkat. Dalam sistem ini, warga belajar dibandingkan dengan teman-teman lainnya berurut berdasarkan prestasi belajarnya. Secara filosofis maupun pedagogis praktek ini kurang terpuji. Karena dengan cara ini dapat mengorbankan anak dan mengerdilkan makna serta tujuan pendidikan. Sistem evaluasi dalam pembelajaran kooperatif menganut falsafah homo homini socius yang menekankan saling ketergantungan antara mahluk hidup. Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama, tak akan ada individu, keluarga, organisasi, atau masyarakat. Tanpa kerjasama, keseimbangan lingkungan hidup akan punah. Evaluasi pembelajaran dalam dunia pendidikan nonformal khususnya pada program Paket B belum banyak diterapkan. Alasannya dengan menggunakan evaluasi ini dianggap kurang adil. Bagi warga belajar yang tekun dan pandai merasa dirugikan karena temannya yang kurang mampu hanya mengikuti pada hasil jerih payah mereka, sedangkan warga belajar yang kurang mampu merasa dirinya jadi benalu. Sistem penilaian dalam pembelajaran kooperatif, warga belajar mendapat nilai pribadi dan nilai kelompok. Mereka saling membantu dan mempersiapkan diri untuk tes. Kemudian, masing-masing mengerjakan tes sendiri-sendiri dan menerima nilai pribadi.Sedangkan nilai kelompok bisa dibentuk dengan beberapa cara. Pertama, nilai kelompok bisa diambil dari nilai terendah yang didapat oleh warga belajar dalam kelompok. Kedua, nilai kelompok juga bisa diambil dari rata-rata nilai semua anggota kelompok, dari sumbangan setiap anggota. Kelebihan kedua cara tersebut adalah semangat gotong royong yang ditanamkan. Dengan cara ini, kelompok bisa berusaha lebih keras untuk membantu semua anggota dalam mempersiapkan diri untuk tes. Penilaian pembelajaran kooperatif atau gotong royong perlu lebih sering dilakukan dalam program Paket B ini, untuk memupuk sikap dewasa. Sistem inipun merupakan alternative yang menarik untuk mencegah timbulnya sikap agresif dan terasing. Hasil belajar yang berupa pengetahuan, dinilai melalui tes hasil belajar tertulis. Hasil belajar tersebut, oleh para responden (tutor, pengelola, dan penilik) dinilai berkualifikasi baik (65%), bahkan (25%) responden menyatakan sangat baik, serta (10%) responden menyatakan cukup baik. Evaluasi pembelajaran yang selama ini dilakukan, menurut warga belajar lebih menekankan kepada kemampuan warga belajar (70%), (20%) menyatakan lebih menekankan pada kurikulum dari pemerintsh, (10%) menekankan kebutuhan lingkungan, dan ternyata menurut warga belajar evaluasi yang dilakukan hanya bersifat formalitas Walaupun bagaimana menurut responden warga belajar, hasil belajar yang diperoleh oleh mereka sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka belajar mengikuti kegiatan (96%), dan hanya (4%) responden yang menyatakan kurang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka. Dampak pembelajaran yang diperoleh, (69%) responden warga belajar berpendapat bahwa hasil belajar yang mereka peroleh dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan warga belajar.
g. Daya Dukung

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 65

Menurut keterangan pengelola PKBM, tujuan diselenggarakannya berbagai program di PKBM, (33,33%) didasarkan pada pemenuhan akan keanekaragaman minat warga belajar, (20,00%) pengelola menyatakan didasarkan kepada pemenuhan keanekaragaman kebutuhan warga belajar, (26,67%) pengelola menyatakan didasarkan pada keanekaragaman adat/kebiasaan masyarakat calon warga belajar, dan (20,00%) didasarkan kepada keanekaragaman tuntutan/kebutuhan pasar. h. Waktu Pembelajaran Waktu penyelenggaraan program pembelajaran di PKBM bervariasi. Menurut tutor PKBM, waktu pembelajaran pada umumnya merupakan hasil kesepakatan antara tutor dengan warga belajar (86,67%), diserahkan kepada tutor (6,67%), diserahkan kepada warga belajar (6,67%) dan disesuaikan dengan tempat (10%). Lamanya waktu pembelajaran per minggu pada PKBM, (73,33%) selama dua kali, dan (26,67%) selama satu kali. Sumber dana pembelajaran di PKBM belum berkembang, bersumber dari pemerintah (86,67%), Sisanya ada yang dari masyarakat, forum PKBM, dan warga belajar. i. Metode Pembelajaran Metode pembelajaran yang sering digunakan di PKBM, menurut warga belajar adalah ceramah, tanya jawab, dan diskusi (80%). Metode praktek hanya sekitar 20%. Metode pembelajaran yang digunakan, menurut warga belajar di PKBM sesuai dengan kondisi warga belajar (93,33%), kurang sesuai dengan kondisi warga belajar (5,33%) dan tidak sesuai dengan kondisi warga belajar (1,33). Alat dan sumber pembelajaran yang digunakan di PKBM, pada umumnya tutor memandang sangat menunjang kemampuan warga belajar (30,56%), kurang menunjang kemampuan warga belajar (66,67%) dan tidak menunjang kemampuan warga belajar (2,78%). Menurut warga belajar PKBM, program pembelajaran disusun sesuai dengan kebutuhan warga belajar (54,67%), berdasarkan program pemerintah (38,67%), dan disusun sesuai dengan kemampuan tutor (6,67%). j. Kondisi Eksternal Penyelenggaraan PKBM Faktor-faktor eksternal iiidentifikasi sebagai berikut. I) Pembinaan Pembinaan pada penyelenggaraan PKBM dilakukan oleh Penilik dan dari unsur Bidang PNFI Dinas Pendidikan Kota Gorontalo seta dari unsur forum PKBM baik di tingkat Kota maupun Tingkat Provinsi Gorontalo. Frekuensi pembinaan dalam satu tahun dapat dirinci sebagai berikut: 1 tahun sekali sebanyak 25%, menyatakan 2 kali dalam setahun sebanyak 25%, 3 kali dalam setahun sebanyak 35%, 4 kali dalam setahun sebanyak 15%, dan responden yang menyatakan lebih dari 4 kali sebanyak 15%. Materi yang diberikan di PKBM secara keseluruhan mencakup materi: pengelolaan PKBM, pengelolaan Pendidikan kesetaraan, keaksaraan, kewirausahaan, Pendidikan anak usia dini, kursus dan pelatihan, keagamaan, pelayanan informasi dengan memggunalan teknik bimbingan individual, bimbingan kelompok, maupun dengan menggunakan media. 2) Jaringan Informasi dan Kerja Sama (Kemitraan) PKBM Page 66 penyelenggaraan PKBM dalam penelitian ini

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Jenis Lembaga Mitra yang menjalin kerja sama dengan PKBM antara lain: Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Tenaga Kerja, Dunia Usaha/ Dunia Industri, BPKB, SKB, Tokoh Masyarakat dan Perguruan Tinggi khususnya jurusan Pemdidikan Luar Sekolah dalam pembinaan dan penyelenggaraan PKBM. Selain jalinan kerja sama dengan instansi terkait di atas, penilik mengetahui adanya jalinan kemitraan antara PKBM dengan PKBM lainnya. 3) Dampak Program Pembelajaran Dampak program pembelajaran PKBM dalam bentuk peluang kerja bagi warga belajar pada PKBM sebanyak 40%. Dampak program pembelajaran PKBM dalam bentuk peningkatan pendapatan warga belajar pada PKBM sebanyak 40%. Dampak pembelajaran yang diperoleh, pada umunya warga belajar berpendapat dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan warga belajar (70%).
Berdasarkan hasil observasi bahwa kegiatan pembelajaran pada kedua PKBM yang ada di Kota Gorontalo, baik dari tahap perencanaannya, pengorganisasian, pelaksanaan, pembinaan, penilaian maupun pengembangan belum optimal. Peningkatan perilaku/sikap sosial yang dimiliki warga belajar belum nampak. Kondisi objektif pembelajaran di PKBM Kota Gorontalo dapat dilihat ada gambar 4.1 berikut ini:

PERENCANAAN Program Pembelajaran

Pelaksanaan Pembelajaran

Evaluasi

Output Pengetahuan, Keterampilan Sikap Page 67

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Gambar 4.1. Kondisi Objektif Pembelajaran pada Program Paket B Kota Gorontalo

2.

Model konseptual pembelajaran kooperatif bahi peningkatn kecerdasan sosial warga belajar Pendidikan Kesetaraan Program Paket B di PKBM Kota Gorontalo, dapat dideskripsikan sebagai berikut.

Pengembangan Model Pembelajaran

a. Dasar Pemikiran Progarm Paket B diperuntukkan bagi warga belajar yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung, tidak pernah sekolah, putus sekolah dan putus lanjut, serta usia produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidup, dan warga masyarakat lain yang memerlukan layanan khusus dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai dampak dari perubahan peningkatan taraf hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi. Definisi mengenai setara adalah sepadan dalam civil effect, ukuran, pengaruh, fungsi dan kedudukan. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 26 ayat (6) bahwa hasil Pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program Pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional Pendidikan. Oleh karena itu, pengertian mengenai Pendidikan Kesetaraan Program Paket B adalah jalur Pendidikan nonformal dengan standar kompetensi lulusan yang sama dengan sekolah formal tingkat SMP/MTs, tetapi konten, konteks, metodologi, dan pendekatan untuk mencapai standar kompetensi lulusan tersebut lebih memberikan konsep-konsep terapan, tematik, induktif, yang terkait dengan permasalahan lingkungan.Dengan demikian pada kompetensi lulusan Pendidikan Kesetaraan Program Paket B diberi catatan khusus pemilikan keterampilan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja. Perbedaan ini disebabkan aleh kekhasan karakteristik warga belajar yang karena berbagai hal tidak mengikuti jalur formal karena memerlukan substansi praktikal yang relevan iengan kehidupan nyata. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang lebih induktif, konstruktif, serta kooperatif melalui penekanan pada permasalahan lingkungan serta pencarian solusi dengan pendekatan mtar keilmuan yang tidak tersekatsekat sehingga lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan itu, sistem pembelajaran (delivery system) dirancang sedemikian rupa agar memiliki kekuatan tersendiri, untuk mengembangkan kecakapan komprehensif dan kompetitif yang berguna dalam peningkatan kemampuan belajar sepanjang hayat. Proses pembelajaran Pendidikan program Paket B lebih menitikberatkan pengenalan permasalahan lingkungan serta cara berpikir untuk memecahkannya melalui pendekatan antardisiplin ilmu yang elevan dengan permasalahan yang sedang dipecahkan. Penilaiannya lebih nengutamakan uji kompetensi. Pengembangan model Kooperatif untuk neningkatkan kecerdasan sosial warga belajar Pendidikan Kesetaraan Program Paket B dilandaskan atas aspek teoretik konseptual, yuridis, dan empirik sehingga lantinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan memiliki tingkat isibilitas yang tinggi untuk diimplementasikan. Page 68

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

b. Landasan Konseptual Landasan konseptual yang dijadikan rujukan dalam pengembangan model ini adalah konsep dasar pembelajaran kooperatif. Dalam menggunakan model belajar cooperative learning di dalam kelas termasuk pada program Paket B, ada beberapa konsep mendasar yang perlu diperhatikan dan diupayakan oleh tutor. Tutor dengan kedudukannya sebagai perancang dan pelaksana pembelajaran dalam menggunakan model ini hams memerhatikan beberapa konsep dasar yang merupakan dasar-dasar konseptual dalam penggunaan cooperative learning. Adapun prinsip-prinsip dasar tersebut menurut Stahl (1994), meliputi sebagai berikut. 1). Perumusan Tujuan Belajar Warga belajar Harus Jelas Sebelum menggunakan strategi pembelajaran, tutor hendaknya memulai dengan merumuskan tujuan pembelajaran dengan jelas dan spesifik. Tujuan tersebut menyangkut apa yang diinginkan oleh tutoruntuk dilakukan oleh warga belajar dalam kegiatan belajarnya. Perumusan tujuan harus disesuaikan dengan tujuan kurikulum dan tujuan pembelajaran. Apakah kegiatan belajar warga belajar ditekankan pada pemahaman materi pelajaran, sikap, dan proses dalam bekerja sama, ataukah keterampilan tertentu. Tujuan harus dirumuskan dalam bahasa dan konteks kalimat yang mudah dimengerti oleh warga belajar secara keseluruhan. Hal ini hendaknya dilakukan oleh tutorsebelum kelompok belajar terbentuk. 2). Penerimaan yang Menyeluruh oleh Warga belajar tentang Tujuan Belajar Tutor hendaknya mampu mengkondisikan kelas agar warga belajar menerima tujuan pembelajaran dari sudut kepentingan diri dan kepentingan kelas. Oleh karena itu, warga belajar dikondisikan untuk mengetahui dan menerima kenyataan bahwa setiap orang dalam kelompoknya menerima dirinya untuk bekerja sama dalam mempelajari seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang telah ditetapkan untuk dipelajari. 3). Ketergantungan yang Bersifat Positif Untuk mengondisikan terjadinya interdependensi di antara warga belajar dalam kelompok belajar, maka tutorharus mengorganisasikan materi dan tugas-tugas pelajaran sehingga warga belajar memahami dan mungkin untuk melakukan hal itu dalam kelompoknya (Johnson, et al., 1988). Tutorharus merancang struktur kelompok dan tugastugas kelompok yang memungkinkan setiap warga belajar untuk belajar dan mengevaluasi dirinya dan teman kelompoknya dalam penguasaan dan kemampuan memahami materi pelajaran. Kondisi belajar ini memungkinkan warga belajar untuk merasa tergantung secara positif pada anggota kelompok lainnya dalam mempelajari dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan tutor. 4). Interaksi yang Bersifat Terbuka Dalam kelompok belajar, interaksi yang terjadi bersifat langsung dan terbuka dalam mendiskusikan mated dan tugas-tugas yang diberikan oleh tutor. Suasana belajar seperti itu akan membantu menumbuhkan sikap ketergantungan yang positif dan keterbukaan di kalangan warga belajar untuk memperoleh keberhasilan dalam belajarnya. Mereka akan saling memberi dan menerima masukan, ide, saran, dan kritik dari temannya secara positif dan terbuka. 5). Tanggung Jawab Individu Page 69

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Salah satu dasar penggunaan cooperative learning dalam pembelajaran adalah bahwa keberhasilan belajar akan lebih mungkin dicapai secara lebih baik apabila dilakukan dengan bersama-sama. Oleh karena itu, keberhasilan belajar dalam model belajar strategi ini dipengaruhi oleh kemampuan individu warga belajar dalam menerima dan memberi apa yang telah dipelajari-nya di antara warga belajar lainnya. Sehingga secara individual warga belajar mempunyai dua tanggung jawab, yaitu mengerjakan dan memahami materi atau tugas bagi keberhasilan dirinya dan juga bagi keberhasilan anggota kelompoknya sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

6). Kelompok Bersifat Heterogen Dalam pembentukan kelompok belajar, keanggotaan kelompok harus bersifat heterogen sehingga interaksi kerja sama yang terjadi merupakan akumulasi dari berbagai karakteristik warga belajar yang berbeda. Dalam suasana belajar seperti itu akan tumbuh dan berkembang nilai, sikap, moral, dan perilaku warga belajar. Kondisi ini merupakan media yang sangat baik bagi warga belajar untuk mengembangkan kemampuan dan melatih keterampilan dirinya dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis. 7). Interaksi Sikap dan Perilaku Sosial yang Positif Dalam mengerjakan tugas kelompok, warga belajar bekerja dalam kelompok sebagai suatu kelompok kerja sama. Dalam interaksi dengan warga belajar lainnya warga belajar tidak begitu saja bisa menerapkan dan memaksakan sikap dan pendiriannya pada anggota kelompok lainnya. Pada kegiatan bekerja dalam kelompok, warga belajar harus belajar bagaimana mening-katkan kemampuan interaksinya dalam memimpin, berdiskusi, bernegosiasi, dan mengklarifikasi berbagai masalah dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok. Dalam hal ini tutorharus membantu warga belajar menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku yang baik dalam bekerja sama yang bisa digunakan oleh warga belajar dalam kelompok belajarnya. Perilaku-perilaku tersebut termasuk kepemimpinan, pengembangan kepercayaan, berkomunikasi, menyelesaikan masalah, menyampaikan kritik, dan perasaan-perasaan sosial. Dengan sendirinya warga belajar dapat mempelajari dan mempraktikkan berbagai sikap dan perilaku sosial dalam suasana kelompok belajarnya. 8). Tindak Lanjut (Follow Up) Setelah masing-masing kelompok belajar menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, selanjutnya perlu dianalisis bagaimana penampilan dan hasil kerja warga belajar dalam kelompok belajarnya, termasuk juga: (a) bagaimana hasil kerja yang dihasilkan, (b) bagaimana mereka membantu anggota kelompoknya dalam mengerti dan memahami materi dan masalah yang dibahas, (c) bagaimana sikap dan perilaku mereka dalam interaksi kelompok belajar bagi keberhasilan kelompoknya, dan (d) apa yang mereka butuhkan untuk meningkatkan keberhasilan kelompok belajarnya di kemudian hari. Oleh karena itu, tutor harus mengevaluasi dan memberikan berbagai masukan terhadap hasil pekerjaan warga belajar dan aktivitas mereka selama kelompok belajar warga belajar tersebut bekerja. Dalam hal ini, tutorharus memberikan kesempatan kepada warga belajar untuk mengemukakan ide dan saran, baik kepada warga belajar lainnya maupun kepada tutordalam rangka perbaikan belajar dari hasilnya di kemudian hari. 9). Kepuasan dalam Belajar Page 70

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Setiap warga belajar dan kelompok harus memperoleh waktu yang cukup untuk belajar dalam mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilannya. Apabila warga belajar tidak memperoleh waktu yang cukup dalam belajar, maka keuntungan akademis dari penggunaan cooperative learning akan sangat terbatas (Stahl, 1992). Perolehan belajar warga belajar pun sangat terbatas sehingga tutorhendaknya mampu merancang dan mengalokasikan waktu yang memadai dalam menggunakan model ini dalam pembelaj arannya. Konsep-konsep di atas dalam pelaksanaannya sering disalahmengertikan oleh tutor. Banyak di antara tutor yang menganggap bahwa dalam menggunakan model pembelajaran dengan cooperative learning cukup satu atau beberapa konsep dasar saja yang ditargetkan (Stahl, 1994). Hal ini menyebabkan efektivitas dan produktivitas model ini secara akademis sangat terbatas. Secara khusus dalam menerapkan model ini, tutorhendaknya memahami dan mampu mengembangkan rancangan pembelajarannya sedemikian rupa sehingga memungkinkan teraplikasikan dan terpenuhinya keseluruhan konsep-konsep dasar dari penggunaan cooperative learning dalam pembelajarannya. David dan Roger Johnson (1989), menyatakan bahwa pengorganisasian materi dan tugas serta bekerja dalam kelompok tidak cukup memadai bagi terjadinya suasana kerja yang bersifat cooperative. Pengembangan suasana yang kondusif bagi kelompok belajar dan hubungan-hubungan yang bersifat interpersonal di antara sesama anggota harus ditumbuhkan oleh tutor sehingga kelompok belajar dapat bekerja dan belajar secara produktif. Syarat pertama yang harus dilakukan oleh tutorselaku pelaksana dan pengembang kegiatan belajar mengajar adalah mengkondisikan warga belajar untuk bekerja sama sebelum menggunakan cooperative learning (Stahl, 1994; Slavin, 1992). Banyak tutor yang mengatakan bahwa "saya tidak dapat menggunakan cooperative learning karena warga belajar saya tidak mempunyai keterampilan untuk bekerja sama". Hal ini merupakan kenyataan yang sering ditemukan di lapangan karena tutor tanpa pemahaman yang baik mengenai model dan prinsip penggunaannya, begitu saja menggunakan model belajar cooperative learning tanpa pengondisian iklim belajar yang memadai. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pengkondisian iklim bekerja sama di antara warga belajar dan pemberian informasi mengenai model pem-belajaran yang akan digunakan beserta langkah-langkahnya, serta proses refleksi dan evaluasi setelah pembelajaran berlangsung (Yager, et al, 1986), merupakan suatu keharusan bagi tutordalam menggunakan model belajar tersebut. Langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif secara umum (Stahl, 1994; Slavin, 1983) dapat dijelaskan secara operasional sebagai berikut. Langkah pertama yang dilakukan oleh tutor adalah merancang rencana program pembelajaran. Pada langkah ini tutormempertimbangkan dan menetapkan target pembelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Di samping itu, tutorpun menetapkan sikap dan keterampilan sosial yang diharapkan dikembangkan dan diperlihatkan oleh warga belajar selama berlangsungnya pembelajaran. Tutordalam merancang program pembelajaran harus mengorganisasikan materi dan tugas-tugas warga belajar yang mencerminkan sistem kerja dalam kelompok kecil. Artinya, bahwa materi dan tugas-tugas itu adalah untuk dibelajarkan dan dikerjakan secara bersama dalam dimensi kerja kelompok. Untuk memulai pembela-jarannya, tutorharus menjelaskan tujuan dan sikap serta keterampilan sosial yang ingin dicapai dan diperlihatkan oleh warga belajar selama pembelajaran. Hal ini mutlak harus dilakukan oleh tutor, karena dengan demikian warga belajar tahu dan memahami apa yang harus dilakukannya selama proses belajar mengajar berlangsung. Page 71

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Langkah kedua, dalam aplikasi pembelajaran di kelas, tutor merancang lembar observasi yang akan digunakan untuk mengobservasi kegiatan warga belajar dalam belajar secara bersama dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam menyampaikan materi, tutortidak lagi menyampaikan materi secara panjang lebar, karena pemahaman dan pendalaman materi tersebut nantinya akan dilakukan warga belajar ketika belajar secara bersama dalam kelompok. Tutorhanya menjelaskan pokok-pokok materi dengan tujuan warga belajar mempunyai wawasan dan orientasi yang memadai tentang materi yang diajarkan. Pada saat tutorselesai menyajikan materi, langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah menggali pengetahuan dan pemahaman warga belajar tentang materi pelajaran berdasarkan apa yang telah dibelajarkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengondisikan kesiapan belajar warga belajar. Berikutnya, tutormembimbing warga belajar untuk membuat kelompok. Pemahaman dan konsepsi tutor terhadap warga belajar secara individual sangat menentukan kebersamaan dari kelompok yang terbentuk. Kegiatan ini dilakukan sambil menjelaskan tugas yang harus dilakukan oleh warga belajar dalam kelompoknya masing-masing. Pada saat warga belajar belajar secara berkelompok, maka tutormulai melakukan monitoring dan mengobservasi kegiatan belajar warga belajar berdasarkan lembar observasi yang telah dirancang sebelumnya. Langkah ketiga, dalam melakukan observasi terhadap kegiatan warga belajar, tutormengarahkan dan membimbing warga belajar, baik secara individual maupun kelompok, baik dalam memahami materi mau-pun mengenai sikap dan perilaku warga belajar selama kegiatan belajar berlangsung. Pemberian pujian dan kritik membangun dari tutorkepada warga belajar merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh tutorpada saat warga belajar bekerja dalam kelompoknya. Di samping itu, pada saat kegiatan kelompok berlangsung, ketika warga belajar terlibat dalam diskusi dalam masingmasing kelompok, tutorsecara periodik memberikan layanan kepada warga belajar, baik secara individual maupun secara klasikal. Langkah keempat, tutor memberikan kesempatan kepada warga belajar dari masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Pada saat diskusi kelas ini, tutor bertindak sebagai moderator. Hal ini dimaksudkan untuk mengarahkan dan mengoreksi pengertian dan pemahaman warga belajar terhadap materi atau hasil kerja yang telah ditampilkannya. Pada saat presentasi warga belajar berakhir, tutor mengajak warga belajar untuk melakukan refleksi diri terhadap proses jalannya pembelajaran, dengan tujuan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada atau sikap serta perilaku menyimpang yang dilakukan selama pembelajaran. Di samping itu, pada saat tersebut, tutor juga memberikan beberapa penekanan terhadap nilai, sikap, dan perilaku sosial yang harus dikembangkan dan dilatih oleh warga belajar. Dalam melakukan refleksi diri ini, tutortetap berperan sebagai mediator dan moderator aktif. Artinya, pengembangan ide, saran, dan kritik terhadap proses pembelajaran harus diupayakan berasal dari warga belajar, kemudian barulah tutormelakukan beberapa perbaikan dan pengarahan terhadap ide, saran, dan kritik yang berkembang. Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara warga belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri: (1) untuk memuntaskan materi belajarnya, warga belajar dalam kelompok secara bekerja sama. (2) kelompok dibentuk dari warga belajar yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. (3) jika dalam kelas terdapat warga belajar-warga belajar yang heterogen ras, suku, budaya, dan jenis kelamin, maka diupayakan agar tiap kelompok terdapat keheterogenan tersebut. (4) penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok daripada perorangan. Page 72

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Tujuan Pembelajaran Kooperatif; (1) Hasil belajar akademik, yaitu untuk meningkatkan kinerja warga belajar dalm tugas-tugas akademik. Pembelajaran model ini dianggap unggul dalam membantu warga belajar dalam memahami konsep-konsep yang sulit. (2) Penerimaan terhadap keragaman, yaitu agar warga belajar menerima temantemannya yang mempunyai berbagai macam latar belakang. (3) Pengembangan keterampilan sosial, yaitu untuk mengembangkan keterampilan sosial warga belajar diantaranya: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau mengungkapkan ide, dan bekerja dalam kelompok. Penggunaan pembelajaran kooperatif seharusnya mengikuti langkah-langkah atau prosedur tertentu dalam penggunaannya. Hal ini dimaksudkan agar penggunaan pembelajaran kooperatif dapat efektif meningkatkan kemampuan belajar dan hasil belajar warga belajar. Karli dan Yuliariatiningsih (2002: 72) mengemukakan langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) Tutor merancang pembelajaran, mempertimbangkan dan menetapkan target pembelajaran yang ingin dicapai. (2) Tutor merancang lembar observasi kegiatan warga belajar dalam belajar secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. (3) Tutor mengarahkan dan membimbing warga belajar baik secara individu maupun kelompok. (4) Memberikan kesempatan kepada warga belajar untuk mempersentasekan hasil kerjanya. Keempat langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif di atas diuraikan sebagai berikut: (1) Tutor merancang pembelajaran, mempertimbangkan dan menetapkan target pembelajaran yang ingin dicapai oleh tutor sesuai dengan tuntutan materi pembelajaran. Tutor juga menetapkan sikap dan keterampilan-keterampilan sosial yang diharapkan dapat dikembangkan oleh tutor selama berlangsungnya proses pembelajaran. Selain itu, tutor juga mengorganisir materi tugas-tugas yang dikerjakan bersama-sama dalam dimensi kerja kelompok oleh warga belajar melalui keaktifan semua anggota kelompok. (2) Tutor merancang lembar observasi kegiatan warga belajar dalam belajar secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam penyampaian materi pelajaran, pemahaman dan pendalamannya akan dilakukan warga belajar ketika belajar secara bersama-sama dalam kelompok. Pemahaman dan konsepsi tutor terhadap warga belajar secara individual sangat menentukan kebersamaan dari kelompok yang dibentuk oleh tutor dalam proses pembelajaran. (3) Dalam melakukan kegiatan observasi terhadap warga belajar, tutor mengarahkan dan membimbing warga belajar, baik secara individual maupun kelompok, dalam pemahaman materi maupun mengenai sikap dan perilaku warga belajar selama berlangsungnya proses pembelajaran. (4) Langkah selanjutnya adalah tutor memberikan kesempatan kepada warga belajar untuk mempersentasekan hasil kerjanya. Tutor juga memberikan penekanan terhadap nilai, sikap, dan perilaku sosial yang dikembangkan dan dilatih oleh para warga belajar dalam kelas. Ibrahim (2000: 10) mengemukakan langkah-langkah model pembelajaran kooperatif yang terdiri atas 6 langkah, yaitu: (1) Menyampaikan tujuan dan memotivasi warga belajar. (2) Menyajikan informasi. (3) Mengorganisasikan warga belajar ke dalam kelompokkelompok belajar. (4) Membimbing kelompok bekerja dan belajar. (5) Evaluasi. (6) Memberikan penghargaan Langkah-langkah di atas menunjukkan bahwa pelajaran dimulai yaitu tutor menyampaikan tujuan pelajaran dan memotivasi warga belajar untuk belajar. langkah ini diikuti oleh penyajian informasi, seringkali dengan bahan bacaan daripada secara verbal. Selanjutnya warga belajar dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 73

bimbingan tutor pada saat warga belajar bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas bersama mereka. Langkah terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentasi hasil akhir kerja kelompok atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu agar warga belajar dapat termotivasi dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif atau kerja kelompok. Jadi pembelajaran kooperatif sangat positif dalam menumbuhkan kebersamaan dalam belajar pada setiap warga belajar sekaligus menuntut kesadaran dari warga belajar untuk aktif dalam kelompok, karena jika ada warga belajar yang pasif dalam kelompok maka hal itu dapat mempengaruhi kualitas pelaksanaan pembelajaran kooperatif khususnya berkaitan dengan rendahnya kerjasama dalam kelompok. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa terdapat dua kegiatan utama dalam pembelajaran kooperatif yaitu kegiatan tutor dam kegiatan warga belajar. Di samping itu pembahasan model konseptual pembelajaran kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Taman Pendidikan Kota Gorontalo, dapat dideskripsikan sebagai berikut. Dalam dasar pemikiran diungkapkan bahwa model pembelajaran kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial belajar warga belajar,berpijak pada landasan konseptual, landasan yuridis, landasan empirik. Hal ini amat penting karena suatu model selain harus memiliki pijakan teori yang kokoh dan didasarkan pengalaman empirik yang teruji, juga harus berada pada koridor dan rambu-rambu hukum yang memayunginya. Semua itu telah dipenuhi dalam pengembangan model pembelajaran kooperatif untuk peningkatn kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Taman PendidikanKota Gorontalo. Landasan konseptual yang dijadikan pijakan dalam pengembangan model adalah education for all dan pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dan konsep kecerdasan sosial (Social Intelligence). Pemilihan landasan konseptual seperti itu sudah dipandang cukup mendasar dan komprehensif untuk pengembangan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar pendidikan program paket B di PKBM Kota Gorontalo. Berkenaan dengan landasan yuridis sebagai payung hukum dan kebijakan yang menjadi legalitas dan akuntabilitas pada tingkat implementasi model yang disusun, dalam penelitian ini dipilih UUD 1945, UU Nomor 20 tahun 2003 dan Inpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Wajar Dikdas 9 tahun dan Pendidikan Kesetaraan dan Kepmen Diknas tentang pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Wajar Dikdas 9 tahun dan Pendidikan Kesetaraan. Model yang disusun telah disesuaikan dengan ramburambu yang ada dalam payung hukum tersebut. Dengan demikian, model yang dikembangkan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan pendidikan pada umumnya dan pendidikan kesetaraan program paket B pada khususnya. Selain berlandaskan acuan konseptual dan yuridis, model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar program paket B di PKBM Kota Gorontalo juga didasarkan pada temuan empirik berupa hasil penelitian tahap pendahuluan mengenai informasi atau data yang diperlukan dari masyarakat sekitar dan kelompok sasaran. Data kondisi riil pembelajaran ini sebagaimana diungkapkan dalam bagian awal hasil penelitian dijadikan pijakan dalam pengembangan model. Dengan demikian, model pembelajaran kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Kota Gorontalo selain kokoh Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 74

secara konseptual dan yuridis juga memiliki fisibilitas dan adaptabilitas yang tinggi untuk diaplikasikan dalam praktik pembelajaran nyata di lapangan. Tujuan umum Pembelajaran Pendidikan Kesetaraan Program Paket B adalah untuk memberikan pendidikan setara SMP/MTs agar dapat memiliki prestasi akademik dan penguasaan keterampilan praktis yang dapat dijadikan bekal untuk bekerja dan berusaha. Sedangkan secara khusus, tujuan pembelajaran program paket B adalah: (1) Membantu menurunkan jumlah putus jenjang SD/MI, drop out SMP/MTs; (2) Membelajarkan warga belajar agar memiliki pengetahuan kooperatif; berbasis keunggulan potensi lokal; (3) Melaksanakan pembelajaran kooperatif program paket B berbasis keunggulan potensi lokal; (4) Memberdayakan PKBM untuk berpartisipasi membantu mengurangi jumlah putus jenjang SD/MI dan drop out SMP/MTs; (5) Meningkatkan kemampuan warga belajar membaca, agar mereka dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari; (6) Memberdayakan tenaga lokal yang potensial untuk mengelola sumber daya yang ada di lingkungannya; (7) Meningkatkan kecerdasan sosial warga belajar melalui pembinaan watak kewirausahaan. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan itu selain mencapai standar kompetensi lulusan juga menekankan kepada pembinaan mental dan watak untuk saling membantu secara positif. Dengan demikian, lulusan yang menggunakan model pembelajaran kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Kota Gorontalo kecerdasan sosialnya lebih tinggi dengan lulusan Paket B lainnya. Di samping itu tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994). Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu: 1. Hasil belajar akademik Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi warga belajar atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu warga belajar memahami konsepkonsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai warga belajar pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada warga belajar kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik. 2. Penerimaan terhadap perbedaan individu Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi warga belajar dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain. Page 75

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

3. Prosedur Pengembangan Model Pembelajaran Prosedur yang ditempuh dalam model pembelajaran kooperatif ini, melalui empat tahapan, yakni: (l) perencanaan, (2) pelaksanaan, dan (3) evaluasi. Masing-masing tahapan tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut: 1) Tahap Perencanaan Tahap perencanaan dalam implementasi model ini menempuh beberapa kegiatan antara lain: a) Identifikasi kebutuhan belajar, ditempuh melalui dua tahapan yakni: pertama, wawancara dengan Kepala Seksi Pendidikan Kesetaraan Bidang PNFI Kota Gorontalo dan Penangung jawab SKB. Teknik wawancara menggunakan wawancara terbuka untuk memperoleh gambaran umum kebutuhan belajar tutor. Kedua, identifikasi kebutuhan belajar setiap tutor dengan menggunakan format identifikasi kebutuhan belajar, dan dilengkapi dengan wawancara untuk memperoleh gambaran kebutuhan belajar tutor terkait dengan pengembangan kompetensi mereka dalam pembelajaran. b) menetapkan kebutuhan belajar berdasarkan prioritas, kebutuhan belajar ditetapkan berdasarkan porsi terbanyak dari hasil identifikasi pengisian format identifikasi dan wawancara. Langkah ini ditempuh untuk menghindari terlalu beragamnya kebutuhan belajar dan sumber belajar yang diperlukan. Penetapan kebutuhan belajar, dijadikan dasar untuk menetapkan tujuan pembelajaran, materi pokok pembelajaran, strategi atau pendekatan pembelajaran, serta perumusan alat evaluasi yang akan digunakan. c) Identifikasi sumber belajar, yaitu memilih dan menentukan tutor yang dapat dilibatkan membantu melakukan pembelajaran dalam pendidikan, di samping peneliti sendiri sebagai tutor, juga merekrut dosen Jurusan PLS dan dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan yang dianggap kompeten dalam materi pendidikan yang akan diberikan. Di samping menentukan tutor, dipilih pula sumber belajar lainnya yang mendukung kegiatan pembelajaran, yaitu berupa bahan ajar. Bahan ajar ditentukan sesuai dengan hasil identifikasi kebutuhan, yang meliputi bahan ajar cetak (buku teks), dan bahan ajar yang dikembangkan sendiri oleh tutor. d) Identifikasi warga belajar; adalah warga belajar yang mengikuti kesetaraan di PKBM Kota Gorontalo. 2) Tahap Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan pendidikan keterampilan diorientasikan pada strategi pembelajaran kooperatif. Strategi ini diproyekksikan pada pengkondisian interaksi profesional dengan mempertahankan pendekatan pembelajaran transmisi (transfer), transaksional, dan kolaboratif. Dalam pembelajaran tutor bertindak sebagai sumber belajar untuk memfasilitasi terjadinya kegiatan proses pembelajaran dengan langkah-langkah: Fase-1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi warga belajar (Tingkah Laku Tutor): Tutor menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi warga belajar untuk belajar. Fase-2 Menyajikan informasi. Tingkah Laku Tutor: Tutor menyajikan informasi kepada warga belajar dengan jalan demontrasi atau lewat bahan bacaan. Fase-3 Mengorganisasikan warga belajar ke dalam kelompok-kelompok belajar. Tingkah Laku Tutor: Tutor menjelaskan kepada warga belajar bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. Fase-4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar. Tingkah Laku Tutor: Tutor membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. Fase-5 Evaluasi. Tingkah Laku Tutor, Tutor mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Fase-6 Memberikan penghargaan Tingkah Laku Tutor: Tutor mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok Page 76

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Memberikan pengalaman belajar dalam pembelajaran kooperatif tersebut diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan sosial meliputi: Situational awarness, Presense, Authenticity, Clarity, Emphaty. Warga belajar bertindak secara individual maupun kelompok secara kolaboratif dengan tutor melaksanakan kegiatan dalam proses pendidikan dengan langkahlangkah: (l) menyimak uraian materi secara seksama; (2) melakukan kegiatan pembelajaran sesuai materi yang diajarkan dengan bimbingan tutor; (3) merancang implementasi pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran sebagai bentuk reflektif dalam pendidikan ini melalui langkah-langkah: (a) menyusun rencana persiapan pembelajaran (RPP), (b) melaksanakan pembelajaran di kelompok kecil dengan warga belajarnya teman sebaya dan sekaligus diobservasi secara seksama (c) menganalisis dan diskusi pembelajaran yang telah dilakukan, dan (d) merencanakan pembelajaran tahap selanjutnya. Langkah-langkah tersebut ditempuh bertujuan untuk lebih meningkatkan pemahaman warga belajar dalam pembelajaran secara terbuka dalam kondisi akutal. Strategi belajar seperti ini dapat diharapkan tutor dapat mengadopsi, menginternalisasi, dan mengaktualisasi hal-hal yang dialami, diamati, dan diterapkan. Dengan demikian tutor akan lebih situational awarness dan berupaya mengembangkan kompetensinya sesuai pengalaman pembelajaran dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran khususnya pada pendidikan kesetaraan paket B di PKBM Kota Gorontalo. Pelaksanaan pembelajaran kooperatif diarahkan pada peningkatan kemampuan dalam bentuk teori maupun dalam bentuk praktek. Secara teori, warga belajar memahami kecerdasan sosial yang baik dan benar sedangkan secara praktik, warga belajar dapat mengaplikasikan teori yang diperolehnya selama proses pembelajaran. Materi teori sedikit berbeda dengan materi praktek. Materi teori mengarah pada kemampuan warga belajar untuk memahami materi, sedangkan praktek diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan sosialnya. 3) Tahap Evaluasi Tahap evaluasi dilakukan berdasarkan kiteria dan instrumen yang akan digunakan untuk menilai efektivitas model pembelajaran. Evaluasi efektivitas model ditempuh melalui pengamatan terhadap perilaku kecerdasan sosial warga belajar dalam pelaksanaan pelatihan di SKB Gorontalo. Kecerdasan sosial yang diamati meliputi; Situational awarness, Presense, Authenticity, Clarity, dan Emphaty Evaluasi dampak implementasi model (outcome), dilakukan pada kegiatan reflektif untuk mengetahui kemampuan warga belajar, dilaksanakan melalui observasi terhadap warga belajar dalam melaksanakan pembelajaran. Pengamatan atau observasi dilakukan secara seksama oleh peneliti. Hasil pengamatan selanjutnya didiskusikan untuk saling memberikan masukan perbaikan bagi kecerdasan sosial warga belajar yang diamati, untuk perbaikan pembelajaran selanjutnya. Berdasarkan seluruh uraian di atas, langkah-langkah pengembangan model secara komprehensif, maka dirumuskan model hipotetik model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar paket B dalam bentuk gambar sebagai berikut: 4) Indikator Keberhasilan Sesuai dengan tujuannya pengembangan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar kesetaraan paket C di SKB, indikator keberhasilannya antara lain adalah meningkatnya kecerdasan sosial warga belajar, meliputi: (1) sekurang-kurangnya 75% Situational awarness warga belajar meningkat dan Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 77

diterapkannya dalam pembelajaran, (2) sekurang-kurangnya 75% Presense warga belajar meningkat dan diterapkannya dalam pembelajaran, (3) sekurang-kurangnya 75% Authenticity meningkat dan diterapkannya dalam pembelajaran, (4) sekurang-kurangnya 75% Clarity meningkat dan diterapkannya dalam pembelajaran, (5) sekurang-kurangnya Emphaty warga belajar meningkat dan diterapkannya dalam pembelajaran. Kesemua indikator tersebut berada pada kategori baik. Hasil pengamatan terhadap indikator tersebut nampak pada tabel 4.5. Selanjutnya kriteria penilaian terhadap kecerdasan sosial warga belajar paket B dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: Tabel 4.2 Kriteria Penilaian Kecerdasan Sosial Warga Belajar Paket B No Rentang Skor 1 85 100 2 75 84 3 60 74 4 < 60 Sumber: Juknis KTSP Dirjen Pembinaan SMA Kriteria Sangat Baik Baik Cukup Kurang

I N P U T

PERENCANAAN
1. 2. Analisis Kebutuhan Penyusunan Program Pembelajaran

PEMBELAJARAN KOOPERATIF Page 78

P R O

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Tugas Kerjasama

Intensif kerjasama

4). Pengujian Model Hipotetik a) Kelayakan Model Hipotetik Model hipotetik pembelajaran kooperatif yang telah dikonsep, sebelum dilakukan uji coba terbatas, dan uji lapangan, terlebih dahulu dilakukan uji kelayakan. Maksud dilakukannya uji kelayakan yaitu untuk menghasilkan model pembelajaran kooperatif awal yang lebih sesuai dan efektif ketika dilakukan uji coba. Uji kelayakan model ditempuh melalui dua tahap kegiatan, yakni: (l) analisis model oleh praktisi dan penilaian oleh para ahli. Analisis model oleh praktisi, dilakukan oleh peneliti dangan rnendiskusikan model hipotetik yang telah dikonsep bersama Kepala PKBM Kota Gorontalo.
(1) Hasil Validitas Praktisi

Analisis model dilakukan untuk mengkaji relevansi isi, dan keterkaitan setiap komponen dari model pembelajaran kooperatif hipotetik yang dirumuskan, serta melihat sesuai tidaknya komponen tersebut dengan usaha peningkatan pembelajaran kooperatif pada PKBM Kota Gorontalo. Diskusi untuk menganalisis model tersebut dilakukan dengan cara peneliti mengajukan beberapa pertanyaan atas keragu-raguan terhadap beberapa komponen dari konsep model yang dikembangkan. Hasil diskusi diperoleh masukan atau saran-saran untuk penyempurnaan konsep model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar paket B yang dikembangkan.

Berdasarkan masukan dari diskusi dengan praktisi tersebut, model hipotetik pendidikan yang telah dikonsep peneliti, masih ada beberapa kekurangan yang perlu dimasukkan, di antaranya:
(a) Perlu dimasukkan komponen konten yang berkaitan dengan keterlibatan aktif warga belajar dan kemampuan memahami dan mempraktekkannya kecerdasan sosial dalam pembelajaran (b) Perlu dilakukan observasi di dalam penerapan pembelajaran, (c) Hasil observasi pembelajaran untuk melakukan perbaikan pembelajaran selanjutnya.

Berdasarkan masukan tersebut peneliti selanjutnya melakukan penyempurnaan terhadap model hipotetik yang telah dikonsep. Page 79

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Penilaian oleh pakar dilaksanakan dengan cara melakukan konsultasi sesuai dengan kebutuhan dalarn penyempurnaan model yang sedang dikembangkan. Pakar yang melakukan judgemen model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan ini sebanyak tiga orang, bertujuan untuk rnemperoleh model yang lebih sesuai dan efektif dalam pelaksanaan ujicoba model. Saran atau masukan dari pakar selanjutnya digunakan untuk perbaikan model hipotetik, baik yang menyangkut isi, bahasa serta relevansinya. Berdasarkan wawancara peneliti dengan pakar (ahli) diperoleh masukan sebagai berikut:
(a) sistematika model pembelajaran kooperatif disusun kembali (b) komponen pembelajaran dalam model pembelajaran kooperatif disesuaikan dengan kondisi di SKB, sehingga dapat diikuti oleh tutor dalam uji coba model tersebut (c) komponen peningkatan kecerdasan sosial warga belajar dalam model pembelajaran kooperatif perlu lebih difokuskan, sehingga dapat dilihat peningkatannya kecerdasan sosialnya (d) model yang dikembangkan perlu adanya kegiatan aktif warga belajar melakukan pembelajaran nyata mulai dari rencana, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi dengan pendekatan andragogi partisipatif (e) model tersebut perlu dicantumkan komponen (outcome) untuk melihat kemampuan warga belajar, dan setiap komponen dalam model perlu diuraikan secara rinci dan jelas

(2) Hasil Validitas Pakar

Selain model hipotetik peneliti melakukan pengujian kelayakan instrumen efektivitas model melalui penilaian ahli (expert judgement), dan ujicoba empirik melalui pengamatan terhadap kecerdasan sosial warga belajar paket B Kota Gorontalo pada kegiatan pembelajaran. b. Revisi Model Hipotetik Pasca Uji Kelayakan

Revisi model hipotetik pendidikan dilakukan setelah dilaksanakannya uji kelayakan dari model hipotetik tersebut sebagaimana telah dijelaskan di atas. Didasarkan pada hasil penilaian praktisi dan penilaian para ahli (expert judgement), model pembelajaran kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial warga belajar paket B, sudah dianggap layak untuk diimplementasikan dalam uji coba di PKBM yang dijadikan sampel penelitian yaitu PKBM Taman Pendidikan dan Al-Zikra Menurut hasil penilaian praktisi dan pakar, model hipotetik tersebut sebelum ujicoba, masih perlu penyempurnaan, utamanya berkaitan dengan beberapa hal sebagai berikut: (l) sistematika model pembelajaran kooperatif disusun kembali; (2) komponen pembelajaran dalam model pembelajaran kooperatif disesuaikan dengan kondisi di SKB, sehingga dapat diikuti oleh tutor dalam uji coba model tersebut; (3) komponen peningkatan kecerdasan sosial warga belajar dalam model pembelajaran kooperatif perlu lebih difokuskan, sehingga dapat dilihat peningkatannya kecerdasan sosialnya, dan (4) model yang dikembangkan perlu adanya kegiatan aktif warga belajar melakukan pembelajaran nyata mulai dari rencana, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi, (5) model tersebut perlu dicantumkan komponen (outcome) untuk melihat kemampuan warga belajar, dan setiap komponen dalam model perlu diuraikan secara rinci dan jelas. Hasil analisis pakar, praktisi dan teman sejawat tersebut yang dijadikan rujukan untuk merevisi model. Model pembelajaran hasil revisi secara jelas dapat digambarkan sebagai berikut di bawah ini.

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 80

I N P U T

PERENCANAAN
1. 2. Analisis Kebutuhan Penyusunan Program Pembelajaran

PEMBELAJARAN KOOPERATIF

P R O S E S

Tugas Kerjasama

Intensif kerjasama

KECERDASAN SOSIAL

situational awarness, presense, authenticity clarity emphaty EVALUASI

OUT PUT

Meningkatkan Prestasi akademik

OUT COME Meningkatkan Kecerdasan Sosial Warga Belajar Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Gambar 4.3. Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif bagi Peningkatan

Page 81

3. Implementasi Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif Bagi Peningkatan Kecerdasan Sosial Warga Belajar Paket B di PKBM

Model konseptual yang disusun merupakan pengembangan pembelajaran kooperatif ke pembentukan social character building dan keterampilan sosial. Dimana karakter dan sikap sosial akan diposisikan sesuai dengan kebutuhan dalam penyelenggaraan pembelajaran kooperatif dalam pendidikan kesetaraan program Paket B. Masing-masing unsur yang dapat membentuk karakter dan sikap sosial dielaborasi ke dalam kurikulum muatan local dikemas kepada semua bidang studi. Setiap unsur dikembangkan ke dalam bahan ajar dan media pembelajaran. Salah satu cara untuk kepentingan pengembangan pembelajaran kooperatif yang efektif, efisien dan akuntabel diperlukan berbagai pendekatan. Antara lain mengkaji kurikulum yang berlangsung selama ini, dan mengembangkan pembelajaran kooperatif yang dikemas kedalam modul serta mengkombinasikan beberapa mata pelajaran yang terkait dengan pembentukan karakter dan sikap sosial yang dapat dikuasai dan dipahami oleh warga belajar. Proses pembelajaran program Paket B lebih menitikberatkan pengenalan permasalahan lingkungan serta cara berpikir untuk memecahkannya melalui pendekatan antar-disiplin ilmu yang relevan dengan permasalahan yang sedang dipecahkan. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang lebih induktif, konstruktif, serta belajar mandiri melalui penekanan pada pengenalan permasalahan lingkungan serta pencarian solusi dengan pendekatan antar keilmuan yang tidak tersekat-sekat sehingga lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan itu, sistem pembelajaran (delivery system) dirancang sedemikian rupa agar memiliki kekuatan tersendiri, untuk mengembangkan kecakapan komprehensif dan kompetitif yang berguna dalam peningkatan kemampuan belajar sepanjang hayat. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang lebih induktif dan konstruktif. Dengan demikian pada kompetensi lulusan program Paket B diberi catatan khusus tentang keterampilan sosial yang sudah dimiliki oleh warga belajar yang menjadikan warga belajar bisa menyesuaikan dengan perkembangan yang ada terutama bisa menyesuaikan dengan lingkungan dimana saja mereka berada. Maka untuk pemenuhan tuntutan tersebut dipandang harus ada upaya pengembangan dalam proses pembelajaran yang mengarah kepada pembentukan karakter dan sikap sosial. Di samping itu, juga untuk melaksanakan amanah Undang-Undang Sisdiknas yaitu yang terkait dengan substansi pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar pada program pendidikan kesetaraan program Paket B. Dalam pengembangan model pembelajaran kooperatif pada program Paket B, mengingat banyaknya variabel intervening terhadap program Paket B, maka dalam penelitian ini dibatasi pada tataran substansi profil pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar program Paket B, model konseptual pengembangan pembelajaran kooperatif dalam program Paket B, dan implementasi model pembelajaran kooperatif dilakukan, terhadap dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dari sampel dalam waktu yang bersamaan. Untuk kepentingan kelompok eksperimen di bawah ini adalah aspek yang dikembangkan dari program pendidikan kesetaraan yang selama sebagaimana tampak dalam tabel berikut. Page 82

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Tabel 4.1 Aspek Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif Program Paket B di PKBM

No 1

Kebutuhan Belajar Berdasarkan Warga Belajar Warga belajar Warga belajar lebih sebelumnya tidak memilih atau harus mendapatkan didahului oleh pembelajaran pembelajaran secara secara konseptual konsep tentang tentang pembelajaran pembelajaran kooperatif kelompok (Cooperatif Kemampuan Warga belajar sudah awal warga mengetahui belajar dari pembelajaran secara konsep masih kelompok tetapi rendah belum sesuai dengan langkah-langkah Akuntabilitas Warga belajar individual sering sudah mengetahui diabaikan bahwa di sehingga tugas- lingkungannya tugas sering banyak potensi diborong oleh lokal yang bisa salah seorang dikembangkan anggota kelompok Minat dan Warga belajar kebutuhan membutuhkan materi belajar belum yang bersifat nampak konseptual guna mendukung Dan masih pembelajaran secara b f belum Tutor Tutor Tutor sering memiliki membiarkan adanya pemahaman warga belajar yang terhadap mendominasi substansi materi kelompok atau pembelajaran menggantungkan diri kooperatif pada kelompok

Program Paket B

Kondisi Awal

Aspek Pengembangan Warga belajar mempelajari konsep pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial

Perlu disusun bahan ajar yang bisa membangun karakter dan sikap sosial secara akademik Bahan belajar harus disusun dan disesuaikan dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh warga belajar Perlu adanya pengembangan aspek pembelajaran yang bersifat konseptual dengan mengacu pada standar yang baku Pada tahap awal diberikan orientasi tentang pelaksanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan keterampilan sosial

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 83

Proses Pembelajara n

Cara mengajar tutor masih bersifat konvensional dengan metode ceramah ,pendekatan secara klasikal dan lebih dominan dalam setiap pelaksanaan Setiap pelaksanaan pembelajaran tutor belum terbiasa menyusun rencana pembelajaran, media belajar, dan alat evaluasi Proses pembelajaran lebih cenderung pada pendekatan instruksional dibandingkan pendekatan pribadi Lebih menekankan pada penuntasan penyampaian materi dan mengabaikan kebutuhan pribadi warga Tujuan Pembelajaran pada tahap awal hanya mengacu pada

Aspek pengembangan watak dan karakter serta sikap kebersamaan dan keterampilan sosial dalam pembelajaran oleh tutor belum begitu nampak, mereka hanya mengajarkan materi pokok yang digariskan dalam kurikulum Rencana Pembelajaran, media belajar dan alat evaluasi perlu mendapat penekanan pada pengembangan pembelajaran secara tim, harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendekatan pembelajaran harus lebih menekankan pada pendekatan kelompok dibandingkan instruksional

Tujuan Pembelajara n

Senantiasa mempedulikan kebutuhan warga karakteristik dan belajar dijadikan kebutuhan warga landasan dalam belajar pada saat pengembangan penyampaian materi pembelajaran pelajaran sehingga tercipta peningkatan Tujuan belajar lebih Tujuan pembelajaran diarahkan pada tidak hanya pengembangan watak menekankan pada dan karakter pencapaian standar kemandirian serta kompetensi lulusan kemampuan WB sikap kewirausahaan namun lebih mengarah agar bisa lulus namun tetap pada pengembangan dalam ujian mempedulikan watak dan karakter siap

Proses pembelajaran yang lebih menekankan kepada proses kerjasama dalam kelompok. dengan tujuan yang ingin dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan bahan pelajaran, tetapi juga adanya unsur kerjasama Adaptasi SKK terhadap materi belajar yang sesuai dengan pengembangan watak dan karakter serta pembelajaran secara tim dan kerjasama bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Pendekatan pembelajaran menekankan pada pendekatan kelompok untuk pengembangan watak dan karakter pembelajaran secara tim dan kerjasama bagi peningkatan k d i Karakteristik dan l

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 84

4.

Media Belajar

Minimnya media pendukung pembelajaran yang disusun oleh tutor pada setiap proses pembelajaran Kurang memanfaatkan media lokal untuk mendukung proses belajar

Media belajar dapat membantu peningkatan kemampuan dan pemahaman WB

Bahan Belajar

6.

Kurikulum

Media belajar yang dibutuhkan pada hakekatnya tidak harus mahal, namum disekitar lingkungan WB pun dapat dijadikan media pembelajaran, asalkan sesuai dengan isi dan Belum adanya Bahan belajar yang Dikembangkan bahan belajar secara khusus berbagai bahan belajar untuk mengarah pada yang disesuaikan mengembangkan pengembangan dengan tujuan dari model pembelajaran pembelajaran pembelajaran kooperatif bagi kooperatif yaitu kooperatif bagi peningkatan menciptakan situasi peningkatan kecerdasan sosial di mana keberhasilan kecerdasan sosial warga belajar individu ditentukan warga belajar atau dipengaruhi Bahan belajar Bahan belajar yang Bahan belajar perlu yang selama ini diberikan dikembangkan dan dikembangkan oleh tutor masih disesuaikan dengan masih bersifat bersifat konvensional kebutuhan WB. Tutor konvensional dan terkesan dapat menyusun dipaksakan, aspek bahan belajar yang pengembangan watak lebih mengarah pada dan karakter aspek pengembangan kemandirian serta pembelajaran ik k i h k Tutor harus Kurangnya Tutor tif d dapat memahami kemampuan tutor mengembangkan hakikat materi untuk memahami analisis terhadap pelajaran yang hakikat materi strategi belajar diajarkannya dan pelajaran yang mengajar yang memahami diajarkannya dan menekankan pada berbagai model memahami berbagai sikap atau perilaku pembelajaran model pembelajaran bersama dalam yang dapat yang dapat bekerja atau merangsang merangsang membantu di kemampuan kemampuan warga antara sesama warga belajar belajar untuk belajar dalam struktur untuk belajar dengan perencanaan kerjasama yang

Tutor diharapkan dapat membuat media yang sederhana, murah, menarik dan memberi manfaat terhadap peningkatan Tutor mengembangkan dan mencari media lokal baik dengan menggunakan objek nyata ataupun dengan cara visualisasi

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 85

kurikulum dalam praktik pembelajaran masih sangat kurang dan beragam

kurikulum dalam praktik pembelajaran terjadi karena kurangnya pembinaan/bimbingan dari pihak terkait atau karena faktor kemalasan dari tutor itu sendiri. Dalam kurikulum perlu adanya suplemen pengembangan watak dan karakter kemandirian serta sikap kewirausahaan warga belajar sehingga lulusan program memiliki peningkatan kecerdasan sosial Materi evaluasi selain mengukur kompetensi hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu, dan pengembangan keterampilan sosial

7.

Alat Evaluasi

Kurikulum yang ada belum menyentuh pengembangan watak dan karakter serta sikap sosial warga belajar sehingga lulusan program kurang memiliki Evaluasi yang telah disusun oleh Dinas dan lembaga terkait masih terbatas pada uji kemampuan penguasaan kompetensi akademik sehingga belum memberikan informasi

kebutuhan belajar WB sehingga dapat dilanjutkan pada penyusunan kurikulum pembelajaran yang generik, namun mengacu pada pencapaian standar k WB Dikembangkan materi khusus sebagai suplemen kurikulum yang ada tentang pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar

Tutor perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. .

Dalam Pembelajaran kooperatif bagi peningkatan keerdasan sosial warga belajar di PKBM Kota Gorontalo dapat dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi. Uji coba dalam rangka menguji efektivitas model dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. Tahap Persiapan, kegiatan yang dilakukan yaitu: (1) menyusun program pelatihan tutor, merekrut dan melatih calon tutor, (2) menyusun program pembelajaran kooperatif; (3) menentukan kelompok sasaran, (4) mengidentiflkasi kelompok sasaran, (5) mempelajari data tentang kelompok sasaran, (6) menentukan prioritas kebutuhan dan masalah, (7) menyusun materi, (8) memilih dan menentukan metode, (9) menyiapkan media belajar; (10) menyiapkan daftar sasaran, (11) menentukan waktu dan tempat. Tahap Pelaksanaan. Melakukan pengamatan selama proses pembelajaran secara berkelanjutan, mencatat hal-hal yang terjadi baik yang menyangkut tutor maupun, motivasi, kreativitas dari warga belajar dalam mengikuti pembelajaran. Untuk melihat Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 86

keterpaduan dan keterkaitan antar komponen yang satu dengan komponen lainnya dan efektif tidaknya program yang telah dipersiapkan sebelumnya, bisa membandingkan kriteria yang telah disusun dengan realitas yang terjadi selama proses ini berlangsung. Jika program ini bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan, berarti terjadi sinergi antara komponen-komponen tersebut, maka proses pembelajaran pembelajaran kooperatif bisa menyentuh dan memiliki ikatan emosional di antara warga belajar sehingga lebih situational awarness dan memiliki daya ungkit dalam pembelajaran. Tahap Evaluasi, dalam proses pembelajaran, hasil penilaian dapat menolong tutor untuk memperbaiki kemampuan agar menjadi tutor yang profesional. Merancang evaluasi termasuk tugas seorang tutor ketika dalam membuat rancangan pembelajaran (instructional design). Evaluasi adalah suatu proses berkelanjutan tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai (assess) keputusan-keputusan yang dibuat dalam merancang sebuah sistem pembelajaran. Hasil penilaian ini sebagai feed back terhadap pembelajaran kooperatif secara keseluruhan. Atas dasar ketercapaian tujuan program ini yang terakumulasikan dalam hasil penilaian, bisa dilihat apakah program ini efektif atau tidaknya manakala dikomparasikan capaian kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap evaluasi yaitu: menetapkan tujuan evaluasi, menyusun instrumen evaluasi, mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data, menggunakan hasil evaluasi. Setelah melalui proses validasi terhadap rancangan model maka sebagai pengembangannya perlu diimplementasikan kepada objek dan sasaran yaitu warga belajar Paket B yang ada di PKBM Kota Gorontalo yang ditetapkan sebagai objek penelitian. Secara sistematis, langkah dalam operasional pengembangannya meliputi: perencanaan, pelaksanaan dan pengamatan, serta evaluasi. Rancangan model konseptual diimplementasikan atau diujicobakan dalam dua tahap, yaitu uji coba tahap pertama dan ujicoba tahap kedua. Pelaksanaan kegiatan ujicoba dalam dua tahap ini dimaksudkan agar hasil yang pembelajaran dapat memenuhi kebutuhan peserta didik, mengenai kekurangan dan kelemahan yang ditemua pada saat diadakannya ujicoba tahap pertama, dapat disempurnakan dan lebij dimantapkan lagi pada saat ujicoba tahap kedua. Untuk melihat peningkatan kecerdasan sosial melalui pembelajaran kooperatif, akan dilaksanakan kegiatan ujicoba dengan menggunakan lembar pengamata kecerdasan sosial sebagai alat utama yang dilaksanakan pada uji coba terbatas Sehubungan rekomendasi dari praktisi dan pakar dari uji kelayakan model hipotetik sebagaimana telah dijelaskan di atas, selanjutnya dilakukan perbaikan-perbaikan tersebut diorientasikan untuk penyempurnaan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial yang dikembangkan, dan siap untuk dilakukan implementasi model. a. Uji coba Model Terbatas 1) Tahap Kegiatan Untuk ujicoba terbatas, setelah adanya hasil revisi dari uji kelayakan praktisi dan pakar. Sasaran ujicoba adalah warga belajar paket B secara terbatas beberapa orang warga belajar di PKBM Taman Pendidikan Kota Gorontalo. Ujicoba terbatas dilakukan melalui empat tahapan, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, output dan outcome. Tahap perencanaan meliputi kegiatan identifikasi kebutuhan belajar, identifikasi bahan belajar, identifikasi struktur program. Secara rinci dapat diuraikan lebih lanjut Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 87
a) Tahap Perencanaan

sebagai berikut. (l) Identifikasi kebutuhan belajar, dilakukan melalui pengisian format identifikasi kebutuhan yang telah disiapkan oleh peneliti, dan wawancara untuk memperoleh masukan tentang kebutuhan belajar terkait dengan peningkatan kecerdasan sosial. (2) Identifikasi sumber belajar, berupa handout yang di kemas oleh peneliti. Di samping itu peneliti sendiri sebagai tutor dalam pembelajaran kooperatif dan dibantu oleh tutor lain dari dosen dan tutor senior program paket B di Taman Pendidikan PKBM Kota Gorontalo. (3) Penyusunan struktur program pembelajaran kooperatif yang telah disiapkan peneliti didiskusikan dengan tim dan peserta diminta memberikan masukan untuk menyempurnakan struktur terkait dengan kebutuhan belajar yang telah diidentifikasi. b) Tahap Pelaksanaan Tahap pelaksanaan ujicoba dilakukan tutor bersama-sama dengan peserta, mengingat peserta ujicoba adalah orang dewasa maka pendekatan yang digunakan dalam pendidikan adalah pendekatan andragogi dan pendekatan partisipatif di mana proses pembelajaran untuk setiap pokok bahasan, pada dasamya dibedakan menjadi tiga tahap kegiatan, yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti/penyajian, dan kegiatan penutup. Pertama tahap pendahuluan dilakukan tiga kegiatan, yaitu: (1) membangun perhatian warga belajar dengan cara meyakinkan bahwa pengalaman belajar yang akan dilakukan berguna untuk melaksanakan tugas pembelajaran, dan tutor melakukan interaksi yang menyenangkan baik secara individual ataupun kelompok secara dialogis dan demokratis; (2) tutor membangun motivasi peserta dengan cara menciptakan suasana akrab, menyapa dan berkomunikasi secara kekeluargaan, mengaitkan pengalaman belajar yang akan dilak'ukan sesuai kebutuhan peserta dalam pembelajaran, (3) memberikan acuan atau rambu-rambu tentang pembelajaran yang akan dilakukan, yaitu: (a) menjelaskan tujuan yang akan dicapai, (b) menjelaskan tahapan pembelajaran, sehingga peserta diharapkan memahami langkah-langkah belajar yang harus dilakukan, dan (c) menjelaskan target kemampuan yang harus dimiliki setelah pembelajaran berlangsung. Kedua, tahap pelaksanaan pembelajaran peran tutor dan warga belajar, sesungguhnya terdiri kegiatan pendahuluan pembelajaran, inti, dan kegiatan penutup. Adaptur peran tutor dan warga belajar secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut. (1) tutor menciptakan interaksi yang kondusif di antara warga belajar, dan tutor dengan warga belajar; sekaligus tutor melakukan pengkondisian warga belajar untuk belajar. (2) tutor melakukan penjajagan untuk memahami pengalaman dan kemampuan dasar warga belajar sesuai dengan tema melalui dialog dan tanya jawab untuk mengungkap pengalaman apa saja yang telah peserta alami sesuai dengan tema yang akan dikaji dan didiskusikan. (3) tutor memberikan wawasan kepada warga belajar sebagai pembekalan teori untuk menambah pengetahuan dalam melaksanakan tugas dalam pembelajaran. (4) tutor memberikan toolkit berupa format silabus, RPP dan kisi-kisi penilaian (sesuai dengan tema yang dibahas), untuk meningkatkan keterampilan peserta yang berhubungan dengan upaya meningkatkan kemampuan tutor dalam pembelajaran. (5) tutor memberikan tugas langsung kepada setiap warga belajar untuk mempraktekkan materi untuk diimplementasikan dalam pelaksanaan pembelajaran. (6) tutor mendorong peserta dapat memecahkan persoalan pembelajaran dalam pelaksanaan praktek, melalui penyelesaian tugas-tugas mandiri. (7) tutor menugaskan warga belajar secara individual dalam menyiapkan bahan dan tempat kerja disesuaikan dengan Standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar KD) yang akan didalami dan mendiksusikan hasilnya serta melakukan revisi bersama. (8) tutor meminta masing-masing warga belajar secara bergilir mengimplementasikan materi pelajaran secara aktual melalui kehidupan sehati-hari, dan lainnya secara kolaboratif bersama tutor melakukan pengamatan. (9) tutor dan warga belajar melakukan refleksi hasil pengamatan Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 88

pelaksanaan pembelajaran aktual untuk memberikan masukan untuk perbaikan pembelajaran selanjutnya, (10) tutor/fasilitator melakukan evaluasi program pembelajaran, dalam hal ini peneliti mengadakan pengamatan terhadap kecerdasan sosial warga belajar. Peran warga belajar selama pelaksanaan ujicoba tampak antusias dan berpartisipasi penuh dalam pembelajaran yang ditunjukkan melalui kegiatan sebagai berikut: (l) menunjukkan sikap antusiasme yang cukup baik ketika menyimak orientasi tentang Srategi pembelajaran yang dikemukakan oleh tutor, dimana mereka mempunyai motivasi mengikuti pendidikan cukup baik. (2) menyimak penjelasan tutor secara aktif, mengajukan pertanyaan-peftanyaan, serta menjawab setiap pefianyaan yang diajukan oleh tutor. (3) menjetaskan tentang pengalaman mereka yang relevan dengan tema yang dijelaskan tutor dan mengajukan masalah-masalah yang dihadapi dalam melaksanakan pembelajaran. (4) melaksanakan tugas mandiri sesuai petunjuk yang telah dijelaskan dengan menggunakan bahan belajar (toolkit) dan penyelesaian pengisian format tugas-tugas pembelajaran secara individual. (5) mempelajari bahan belajar yang diberikan oleh tutor, kemudian mendiskusikan pengalaman belajar yang dianggap sulit dengan tutor. (6) merancang rencana kegiatan implementasi pembelajaran aktual melalui penerapan kecerdasan sosial. (7) mendiskusikan hasil praktek, untuk dilakukan perbaikan seperlunya, (8) setiap peserta melaksanakan simulasi praktek pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah diperbaiki, tutor dan peserta lainnya melakukan pengamatan praktek pembelajaran tersebut, demikian seterusnya secara bergiliran. (9) melakukan refleksi yaitu mendiskusikan hasil pengamatan secara kolaboratif pelaksanaan praktek untuk diberikan masukan perbaikan, pada pembelajaran selanjutnya dan demikian seterusnya. c) Tahap Evaluasi Tahap evaluasi dilakukan peneliti dengan melibatkan warga belajar terhadap keseluruhan komponen program, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi. Tutor melakukan pengamatan terhadap keseluruhan proses pembelajaran, dan secara umum proses pembelajaran berlangsung lancar. Untuk memperoleh gambaran tanggapan warga belajar terhadap model pembelajaran kooperatif yang dilaksanakan, dilakukan penilaian dengan rnenggunakan lembar pengamatan tentang kecerdasan sosial warga belajar selama pendidikan. Hasil pada tahap evaluasi ini dijadikan sebagai temuan untuk melakukan revisi model yang dikembangkan. Tentuan hasil evaluasi diuraikan lebih lanjut sebagai temuan ujicoba model dan dijadikan bahan untuk revisi model hipotetik. Untuk melihat peningkatan kecerdasan sosial melalui pembelajaran kooperatif, akan dilaksanakan kegiatan ujicoba dengan menggunakan angket sebagai alat utama yang dilaksanakan setelah pasca pembelajaran yaitu pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, Angket ini diujikan pada 40 orang warga belajar program Paket B di PKBM Taman Pendidikan dan PKBM Al-zikra Kota Gorontalo sebagai berikut: a.Definisi Konseptual Kecerdasan sosial adalah kemampuan seseorang dalam memahami, mendengarkan dan peka terhadap maksud dan pemikiran orang lain, serta merasakan dan mengamati reaksi-reaksi dan perubahan orang lain, yang di tunjukkan baik secara verbal maupun non verbal dan mampu mencari pemecahan masalah yang efektif dalam suatu interaksi sosial dan memiliki penguasaan ketrampilan komunikasi. Adapun indikator dari kecerdasan sosial adalah; situational awarness, presense, authenticity, clarity, ketrampilan berkomunikasi dan memiliki sikap empati.
b.Definisi Operasional

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 89

Kecerdasan sosial peserta didik adalah skor jawaban responden terhadap skala kecerdasan sosial yang indikator-indikatornya yaitu; (1) Situational awarness, (2) Presense, (3) Authenticity, (4) Clarity, dan (5) empathy.

c. Kisi-Kisi Insrumen

Tabel 4.1.Kisi-kisi Instrumen Kecerdasan Sosial Peserta warga Belajar Sebelum Uji Coba VARIABEL INDIKATOR Nomor Situtional Awarness Kecerdasan Sosial (Tinggi Rendah) Presense Authenticity Clarity 1,2,3,4,5, 6,7,8, 9,10,11, 12,13,14,15,16, 17,18,19, 20, 21 22, 23, 24,25,26, 27.28, 29,30 31,32,33,34,35,36,37.38 BUTIR SKALA Jml (Pra uji coba) 11 10 9 8 Jml (Pasca uji coba)

Empati Jumlah

39,40,41,42,43,44,45,46

8 46

Sebelum digunakan dalam penelitian, instrumen ini terlebih dahulu diujicobakan kepada 40 orang warga belajar program paket B pada 2 PKBM di Kota Gorontalo. Uji coba ini dimaksudkan untuk menguji validitas setiap butir soal dan menghitung koefisien reliabilitas perangkat kuesioner. Uji validitas butir soal dilakukan dengan cara mengkorelasikan skor masing-masing butir soal yang diperoleh setiap responden dengan skor total yang diperoleh responden yang bersangkutan. Koefisien korelasi dihitung dengan menggunakan rumus rank order correlation. Proses perhitungannya dilakukan dengan mengoperasikan perangkat lunak SPSS. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dari 46 butir soal yang diuji validitasnya, terdapat 46 butir soal yang memiliki koefisien korelasi yang signifikan pada a < 0.05. Koefisien korelasinya merentang dari 0,213 sampai dengan 0,899. Dengan demikian, ke46 butir soal tersenut dinyatakan valid. Sebaran butir soal yang valid tersebut disajikan dalam tabel 3.2. Page 90

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Selanjutnya, secara keseluruhan ke-46 butir soal itu dihitung koefisien reliabilitasnya dengan menggunakan teknik Alfa Cronbach diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,935 signifikan pada a < 0.05. Berdasarkan hasil uji validitas butir soal dan perhitungan koefisien reliabilitas keseluruhan perangkat kuesioner sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dinyatakan bahwa instrumen pengungkap data kecerdasan sosial warga belajar itu layak digunakan sebagai instrumen pengungkap data dalam penelitian ini. Tabel 4.2.Kisi-kisi Instrumen Kecerdasan Sosial warga Belajar Hasil Uji Coba VARIABEL INDIKATOR Nomor Situtional Awarness Kecerdasan Sosial (Tinggi Rendah) Presense Authenticity Clarity 1,2,3,4,5, 6,7,8, 9,10,11, 12,13,14,15,16, 17,18,19, 20, 21 22, 23, 24,25,26, 27.28, 29,30 31,32,33,34,35,36,37.38 BUTIR SKALA Jml (Pra uji coba) 11 10 9 8 Jml (Pasca uji coba) 8 7 7 6 7 Empati Jumlah 39,40,41,42,43,44,45,46 8 46 41

d. Perhitungan Validitas Dan Reliabilitas Butir Perhitungan vaiditas dan reliabilitas butir menggunakan responden sebanyak 46 orang. Pengolahan menggunakan persamaan korelasi point biserial. Sedangkan pengujian reliabilitas instrumen menggunakan KR-20 sebagaimana penjelasan rumus-rumus tersebut berikut ini. Rumus korelasi biserial tersebut adalah sebagai berikut:

r bis (i) =
Keterangan: rbis(i) i t pi

Xi Xt St

pi qi

= koefisien korelasi biserial = rata-rata skor untuk yang menjawab benar butir ke-i = rata-rata skor untuk seluruhnya = proporsi yang menjawab benar (tingkat kesulitan) butir ke-i Page 91

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

qi

= sama dengan 1-p

st = standar deviasi skor total Selanjutnya untuk perhitungan reliabilitas digunakan analisis korelasi yang menggunakan formula Kuder-Richardson-20 atau dikenal dengan KR-20. Formula KR-20 adalah sebagai berikut:

k p(1 p ) KR 20 = 1 s 2 k 1 x
Keterangan: K sx2 p = = = Banyaknya item dalam tes yang valid Varians skor tes Proporsi subjek yang mendapat angka 1 pada suatu item, yaitu banyaknya subjek yang mendapat angka 1 dibagi oleh banyaknya seluruh subjek yang menjawab item tersebut.

Berdasarkan pengolahan data, terlihat ada lima butir yang tak valid. Butir dinyatakan tidak valid sehingga di drop karena rhitung < rtabel. Butir-butir yang didrop tersebut adalah butir nomor 10, 27, 33, 38, dan 40. Selanjutnya peningkatan reliabilitas instrumen setelah butir tak valid tidak disertakan dalam perhitungan, yaitu dari r = 0,887 menjadi r = 0,905. Dengn demikian dapat disimpulkan bahwa dengan 40 butir instrumen ini memiliki reliablitas yang tinggi yaitu sebesar 0,905. e. Revisi Model Pasca Ujicoba Terbatas Perbaikan model pembelajaran kooperatif didasarkan pada hasil ujicoba, dimaksudkan untuk penyempurnaan model sesuai temuan dan masukan secara empirik terhadap model hipotetik yang telah diuji kelayakan sebelum diujicoba. Dari uji coba model, ada beberapa temuan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Temuan tersebut, rnenurut peneliti sangat berharga sebagai bahan masukan dalam menyempurnakan model, sehingga memperoleh model yang memiliki validitas dan reliabilitas tidak diragukan, dan layak untuk uji lapangan yang lebih luas. Berdasarkan temuan hasil ujicoba sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa sekalipun secara umum model yang dikembangkan sudah positif dan diterima untuk bisa diimplementasikan, namun ada beberapa temuan yang perlu ditindaklanjuti untuk menyempurnakan model, yaitu antara lain: (l) warga belajar masih mengalami kebingungan dalam langkah-langkah pembelajaran kooperatif, terutama pada prosesnya sehingga perlu diperjelas prosedur pembelajarannya, (2) warga belajar mengeluhkan kurangnya pembinaan dari institusi yang terkait untuk mengembangkan kompetensi mereka lebih lanjut dalam pembejaran pada program paket B dan (3) warga belajar mengeluhkan masih kurangnya akses informasi tentang pendidikan-pendidikan dari institusi pembina ataupun dari institusi lain yang relevan untuk melakukan pengembangan tentang pendidikan kesetaraan.

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 92

Temuan hasil ujicoba tersebut yang dijadikan rujukan untuk merevisi model, terlebih dahulu dikonsultasikan kepada pakar, untuk memperoleh saran-saran lebih lanjut dalam menyempurnakan model yang akan diimplementasikan (diujicoba lapangan). Dengan mempertimbangkan saran para ahli, penyempurnaan model dilakukan. Dari revisi model pasca ujicoba, dihasilkan model yang lebih disempurnakan dan siap untuk dilakukan implementasi uji lapangan. Model pembelajaran kooperatif hasil revisi berdasarkan hasil ujicoba terbatas, secara jelas dapat digambarkan sebagai berikut di bawah ini.

PERENCANAAN I N P U T
a. b. Analisis Kebutuhan Penyusunan Program Pembelajaran

Other Input Pendekatan Andragogi partisipatif PEMBELAJARAN KOOPERATIF

P R O S E S

Tugas Kerjasama

Intensif kerjasama

KECERDASAN SOSIAL

situational awarness, presense, authenticity clarity emphaty Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | EVALUASI Page 93

4.Efektivitas Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif Bagi Peningkatan Kecerdasan Sosial Warga Belajar

Untuk menguji efektivitas model dilakukan melalui uji hipotesis yang datanya diperoleh melalui penelitian eksperimen. Bentuk perlakuan terhadap kelompok eksperimen adalah berupa penerapan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Paket B di PKBM Kota Gorontalo.

Dalam penelitian ini dirumuskan satu hipotesis penelitian, dengan komparasi untuk menguji efektivitas model. Sebagaimana telah dirumuskan sebelumnya dalam Bab I, hipotesis penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut: " Terdapat perbedaan kecerdasan sosial yang signifikan antara kelompok warga belajar Pendidikan Program Paket B yang menggunakan model pembelajaran kooperatif dengan yang tidak menggunakan model pembelajaran kooperatif ". Dalam rumusan hipotesis tersebut, diperlakukan dua kelompok pembelajaran yaitu satu kelompok sebagai kelompok eksperimen. Dan kelompok yang kedua sebagai kelompok kontrol.
Perolehan tes hasil kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ini kemudian dilakukan pengujiannya melalui uji-t yang hasil analisisnya diolah melalui SPSS-14 sebagai berikut: Berdasarkan pengujian statistik, model pelatihan yang dikembangkan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil warga belajar. Hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh. Berdasarkan data, dari uji coba tahap pertama dan tahap kedua hasil tes kelompok eksperimen selalu lebih unggul dibandingkan dengan kelompok kontrol. Untuk melihat perolehan skor nilai kelompok eksperimen yang menggunakan model pelatihan dan kelompok kontrol dengan pembelajaran sebagaimana biasa digunakan fasilitator terhadap warga belajar, secara keseluruhan mencakup dua kali putaran dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.3 Hasil Uji t Hasil Post-test Uji Coba Tahap I dan II Kelompok Eksperimen (KE) dan Kelompok Kontrol (KK) Uji Coba Tahap I Tahap II Variabel Post Test (KE) (KK) Post Test (KE) n 20 20 20 RataRata Std Nilai t 4,43 3,87 Df 19 19 Sig .000 .000

33,1000 28,8500 33,2500

2,67346 3,42245 2,59301

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 94

(KK)

20

29,4000

3,58946

Pada uji coba tahap pertama, berdasarkan perhitungan statistik, diperoleh hasil kelompok eksperimen dengan n=20, simpangan baku (SB)= 2,67 diperoleh nilai rata-rata hasil Post-test sebesar 33,10; sedangkan kelompok kontrol dengan n=20 SB = 2,42 diperoleh rata-rata hasil Post-test sebesar 33,25. dilihat dari hasil perhitungan Simpangan Baku (SB) skor yang diperoleh kelompok eksperimen ternyata lebih homogen dibandingkan dengan kelompok kontrol, karena SB kelompok eksperimen sebesar 2,42 < SB kelompok kontrol sebesar 2,58 yang berarti pada kelompok eksperimen tingkat penguasaan materi pembelajaran lebih merata dibanding pada kelompok kontrol. Selanjutnya untuk melihat perbedaan yang signifikan antar perolehan Post-test kedua kelompok, perlu terlebih dahulu di tetapkan hipotesis yang akan digunakan, yaitu: Ho : Rata-rata hasil tes kelompok eksperimen sama dengan rata-rata hasil tes kelompok kontrol. : Rata-rata hasil tes kelompok eksperimen lebih tinggi dari pada rata-rata hasil tes H1 kelompok kontrol. Kriteria pengambilan keputusan yaitu: Pertama : dengan membandingkan t hitung dengan tabel t tabel, jika t hitung < t tabel (positive tabel) maka Ho di terima, sebaliknya jika t hitung > t tabel (positive tabel) maka Ho di terima. Kedua : dengan melihat nilai probabilitas. Jika probabilitas > 0.05 maka Ho diterima, sebaliknya jika probabilitas < 0.05 Ho diterima. Berdasarkan perhitungan statistik, diperoleh nilai t hitung sebesar 4,43. harga t tabel sebagai batas kritis pada tabel distribusi t pada taraf kepercayaan 95% (=5%) dan derajat bebas (df) 20 sebesar 1.72. oleh karena harga t hitung sebesar 4,43 > dari t tabel sebesar 1.72, sehingga Ho tidak diterima. Pernyataan ini pula di perkuat oleh nilai probabilitas sebesar 0.00 < 0.05. hal ini berarti rata-rata hasil tes pada kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata hasil tes pada kelompok kontrol. Pada uji coba tahap kedua, berdasarkan perhitungan statistik pada tabel di atas, kelompok eksperimen dengan n=20, simpangan baku (SB) = 2,58 diperoleh nilai rata-rata hasil Post-test sebesar 33,25; sedangkan kelompok kontrol dengan n=20, SB = 3,58 diperoleh rata-rata hasil Post-test sebesar 29,40. dilihat dari hasil perhitungan simpangan baku (SB) skor yang diperoleh kelompok eksperimen homogen dibandingkan dengan kelompok kontrol, karena SB kelompok eksperimen sebesar 2,58 < SB kelompok kontrol sebesar 3,58 yang berarti pada kelompok eksperimen tingkat penguasaan materi pembelajaran lebih merata dibandingkan pada kelompok kontrol. Selanjutnya untuk melihat perbedaan yang signifikan antara perolehan Post-test kedua kelompok, perlu terlebih dahulu ditetapkan hipotesis yang akan digunakan yaitu: Ho : Rata-rata hasil tes kelompok eksperimen sama dengan rata-rata hasil tes kelompok kontrol. H1 : Rata-rata hasil tes kelompok eksperimen lebih tinggi dari pada rata-rata hasil tes kelompok kontrol. Pertama : dengan membandingkan t hitung dengan tabel t tabel, jika t hitung < t tabel (positif tabel) maka Ho di terima, sebaliknya jika t hitung > t tabel (positive tabel) maka Ho di terima. Kedua : dengan melihat nilai probabilitas. Jika probabilitas > 0.05 maka Ho diterima, sebaliknya jika probabilitas < 0.05 Ho diterima. Berdasarkan perhitungan statistik, diperoleh nilai t hitung sebesar 3,87. harga t tabel sebagai batas kritis pada tabel distribusi t pada taraf kepercayaan 95% (=5%) dan derajat bebas (df) 20 sebesar 1.72. oleh karena harga t hitung sebesar 3,87 > dari t tabel sebesar 1.72, sehingga Ho tidak diterima. Pernyataan ini pula di perkuat oleh nilai probabilitas sebesar 0.00 < 0.05. hal ini berarti rata-rata hasil tes pada kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata hasil tes pada kelompok kontrol. Perbedaan skor Post-test kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam dua putaran di atas, jika divisualisasikan dalam bentuk grafik, maka perbedaan skor kedua kelompok tersebut akan tampak sebagaimana grafik berikut ini.

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 95

35 30 25 20 15 10 5 Posttest Uji Coba Tahap I Posttest Uji Coba Tahap II

Kelompok Eksperimen (KE)

Kelompok Kontrol (KK)

Gambar 4.5. Post-test Tahap I dan Tahap II Uji efektivitas ini selain ditujukan dengan membandingkan antara nilai Post-test kelompok eksperimen dengan nilai Post-test kelompok kontrol baik itu uji coba tahap pertama maupun uji coba tahap kedua, ditunjukkan pula dengan membandingkan nilai Post-test kelompok eksperimen uji coba tahap pertama dengan nilai Post-test kelompok eksperimen uji coba tahap kedua. Dari hasil perhitungan yang dihasilkan ternyata dapat dipahami bahwa pengembangan model pelatihan manajemen berbasis kompetensi untuk meningkatkan kreativitas pengelola PKBM dalam penelitian ini memperlihatkan hasil yang diinginkan yakni terjadinya peningkatan hasil belajar warga belajar. Hal ini berdasarkan hasil pengujian pada kelompok eksperimen memberikan gambaran adanya peningkatan yang cukup berarti pelaksanaan hasil Post-test uji coba kedua cenderung naik dibandingkan hasil Post-test uji coba pertama sebagaimana tabel berikut ini. Tabel 4.4 Hasil Uji Coba Post-test Kelas Eksperimen Tahap N Skon Min Skor Maks Skor Rata-Rata Std. 1 20 26 37 33,1000 2,67346 2 20 28 38 33,2500 2,59301 Maka akan tampak sebagaimana terlihat dalam grafik berikut. 35 30 25 20 15 10

Posttest I

Posttest II

Gambar 4.6. Hasil Uji Coba Post-test Kelas Eksperimen Selanjutnya untuk melihat signifikansi perbedaan yang terjadi pada hasil Post-test uji coba

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 96

tahap pertama sampai Post-test uji coba tahap kedua pada kelompok eksperimen, dilakukan analisis statistik dengan uji t dua sampel berpasangan. Dalam hal ini hasil Post-test uji coba tahap pertama dipasangkan dengan hasil Post-test uji coba tahap kedua. Hasil Post-test uji coba pertama yang dipasangkan dengan hasil Post-test uji coba tahap kedua dengan menggunakan program SPSS ver. 13, diperoleh uji t sebagaimana hasil berikut ini. Tabel 4.5 Hasil Post-test Uji Coba Pertama Yang Dipasangkan Dengan Hasil Post-test Uji Coba Tahap Kedua Variabel n Rata-Rata Std Nilai t Df Sig Post Test 1 20 33,1000 2,67346 -4,12 19 .000 Post Test 2 20 33,2500 2,59301 Sebelum menggunakan pengujian perbedaan rata-rata skor Post-test uji coba tahap pertama dan Post-test uji coba tahap kedua, terlebih dahulu ditetapkan hipotesis sebagai berikut. Ho :tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara hasil Post-test uji coba tahap pertama dengan hasil Post-test uji coba tahap kedua. H1 : terdapat perbedaan yang bermakna antara hasil Post-test uji coba tahap pertama dengan hasil Post-test uji coba tahap kedua. Kriteria pengambilan keputusan yaitu: Pertama : dengan membandingkan t hitung dengan tabel t tabel, jika t hitung < t tabel (positif tabel) maka Ho di terima, sebaliknya jika t hitung > t tabel (positif tabel) maka Ho di terima. Kedua : dengan melihat nilai probabilitas. Jika probabilitas > 0.05 maka Ho diterima, sebaliknya jika probabilitas < 0.05 Ho diterima. Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai t hitung sebesar -4.12. Harga t tabel sebagai batas kritis pada tabel distribusi t pada taraf kepercayaan 95% (=5%) dan derajat bebas (df) 20 sebesar 1.72. Oleh karena harga t hitung sebesar -4.12 > dari t tabel sebesar 1.72, sehingga Ho tidak diterima. Pernyataan ini perkuat oleh nilai probabilitas sebesar 0.00 < 0.05. Hal ini memperlihatkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara hasil belajar warga belajar pada Post-test uji coba tahap pertama dengan Post-test uji coba tahap kedua. Dengan demikian dapat dikatakan telah terjadi peningkatan hasil belajar warga belajar dari Post-test tahap pertama ke Post-test tahap kedua.

Selanjutnya berdasarkan hasil pengamatan terhadap kecerdasan sosial, mencakup: (1) Situational awarness, (2) Presense, (3) Authenticity, (4) Clarity, dan (5) Emphaty untuk uji tahap I dapat dideskripsikan sebagai berikut Tabel 4.4 Kecerdasan Sosial Uji Tahap I Sebelum Uji Coba No 1 2 3 4 5 Komponen Kompetensi Situational awarness Presense Authenticity Clarity Emphaty Rerata Kecerdasan Sosial Persentase skor 48,75 52,08 55,42 48,75 57,50 52,50 Kategori Kurang Kurang Kurang Kurang Kurang Kurang

Berdasarkan tabel tersebut, kecerdasan sosial warga belajar dalam melaksanakan pembelajaran sebelum model pembelajaran kooperatif, dapat digambarkan sebagai berikut.

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 97

58 56 54 52 50 48 46 44 48.75 52.08 48.75 55.42 57.5

Situational Awarness

Presense

Authenticity

Clarity

Emphaty

Gambar 4.4. Grafik Kecerdasan Sosial Warga Belajar Uji Tahap I Sebelum Pembelajaran Kooperatif Berdasarkan data di atas, nampak bahwa kecerdasan sosial warga belajar sebelum pelatihan belum sesuai yang diharapkan atau masih sebesar 52,50%. Uji tahap II penerapan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial dapat dideskripsikan sebagai berikut Tabel 4.4 Kecerdasan Sosial Uji Tahap II Sebelum Uji Coba No 1 2 3 4 5 Komponen Kompetensi Situational awarness Presense Authenticity Clarity Emphaty Rerata Kecerdasan Sosial Persentase skor 50,42 53,33 56,67 50,63 59,06 54,02 Kategori Kurang Kurang Kurang Kurang Kurang Kurang

Berdasarkan tabel tersebut, kecerdasan sosial warga belajar dalam melaksanakan pembelajaran sebelum model pembelajaran kooperatif uji Tahap II, dapat digambarkan sebagai berikut.

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 98

60 58 56 54 52 50 48 46 50.42 53.33 50.63 59.06 56.67

Situational Awarness

Presense

Authenticity

Clarity

Emphaty

Gambar 4.4. Grafik Kecerdasan Sosial Warga Belajar Uji Tahap II Sebelum Pembelajaran Kooperatif Berdasarkan data di atas, nampak bahwa kecerdasan sosial warga belajar sebelum pelatihan belum sesuai yang diharapkan atau masih sebesar 54,02%. Oleh sebab itu, dilaksanakan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar paket B. Peningkatan kecerdasan sosial warga belajar setelah penerapan model pembelajaran kooperatif dapat dideskripsikan sebagai berikut: Tabel 4.4 Kecerdasan Sosial Uji Tahap I Setelah Uji Coba Komponen Kompetensi Persentase skor Kategori Situational awarness 78,75 Baik Presense 77,92 Baik Authenticity 77,50 Baik Clarity 79,38 Baik Emphaty 78,44 Baik Rerata Kecerdasan Sosial 78,40 Baik Berdasarkan tabel tersebut, kecerdasan sosial warga belajar dalam melaksanakan pembelajaran sebelum model pembelajaran kooperatif, dapat digambarkan sebagai berikut. No 1 2 3 4 5

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 99

100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Situational Awarness Presense Authenticity Clarity Emphaty 78.75 77.92 77.5 79.38 78.44

Gambar 4.4. Grafik Kecerdasan Sosial Warga Belajar Uji Tahap I Sebelum Pembelajaran Kooperatif Berdasarkan data di atas, nampak bahwa kecerdasan sosial warga belajar sebelum pelatihan belum sesuai yang diharapkan atau masih sebesar 52,50%. Uji tahap II penerapan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial dapat dideskripsikan sebagai berikut Tabel 4.4 Kecerdasan Sosial Uji Tahap II Setelah Uji Coba No 1 2 3 4 5 Komponen Kompetensi Situational awarness Presense Authenticity Clarity Emphaty Rerata Kecerdasan Sosial Persentase skor 81,25 80,42 80,00 83,75 80,31 81,15 Kategori Baik Baik Baik Baik Baik Baik

Berdasarkan tabel tersebut, kecerdasan sosial warga belajar dalam melaksanakan pembelajaran setelah model pembelajaran kooperatif uji Tahap II, dapat digambarkan sebagai berikut.

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 100

100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Situational Awarness Presense Authenticity Clarity Emphaty 81.25 80.42 80 83.75 80.31

Gambar 4.4. Grafik Kecerdasan Sosial Warga Belajar Uji Tahap II Setelah Pembelajaran Kooperatif Berdasarkan data di atas, nampak bahwa kecerdasan sosial warga belajar sebelum pelatihan belum sesuai yang diharapkan atau masih sebesar 81,15%. Oleh sebab itu, dilaksanakan model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial warga belajar paket B. C. Pembahasan Hasil Penelitian Sesuai dengan permasalahan dan hasil penelitian yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya, pembahasan hasil penelitian ini diarahkan pada tiga hal, yaitu: (1) pembahasan tentang kondisi objektif pelaksanaan pembelajaran kooperatif dalam Pendidikan Kesetaraan Program Paket B pada PKBM diKota Gorontalo, (2) pembahasan tentang model pembelajaran kooperatif, (3) pembahasan tentang efektivitas model pembelajaran kooperatif dalam peningkatan kecerdasan sosial warga belajar Pendidikan Kesetaraan Program Paket B.

1. Kondisi Objektif Pembelajaran Kooperatif dalam Pendidikan Kesetaraan Program Paket B


di PKBM di Kota Gorontalo

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa warga belajar Program Paket B di PKBM Kota Gorontalo sebagian besar berusia 13-22 tahun (80%). Penggarapan warga belajar usia 13-15 tahun untuk dilibatkan dalam pendidikan kesetaraan Program Paket B di PKBM, mengandung arti bahwa PKBM Kota Gorontalo memiliki andil penting dalam rangka penuntasan wajar Dikdas sembilan tahun di Kota Gorontalo khususnya dan Indonesia umumnya. Adanya warga belajar Program Paket B yang berusia di atas 22 tahun, mengindikasikan bahwa ada sebagian masyarakat yang belum memiliki ijazah SMP atau sederajat, mereka ingin meningkatkan kualifikasi pendidikannya. Kondisi ini perlu dikembangkan karena tumbuhnya kesadaran internal dari masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan kesetaraan merupakan peluang bagi keberhasilan program yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan berarti bagi upaya pengembangan kualitas SDM. Page 101

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Hasil penelitian ditemukan informasi bahwa berdasarkan jenis kelaminnya, warga belajar laki-laki berjumlah 56% dan perempuan sebanyak 44%. Mengandung arti bahwa latar belakang pendidikan penduduk laki-laki di Kota Gorontalo relatif lebih tinggi dibanding perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk yang berjemis kelamin lakilaki yang belum memiliki ijazah SMP/sederajat lebih banyak yang ingin meningkatkan kualifikasi pendidikannya dibanding penduduk perempuan. Kajian ini pula mengungkap bahwa sebagian besar warga belajar belum kawin (75%). Mengindikasikan bahwa usia mereka merupakan prioritas I garapan program Pendidikan Kesetaraan Paket B. Di lain pihak setelah lulus mereka sebagian besar memiliki peluang untuk melanjutkan ke SMA/SMK/MA di samping ke Program Paket C. Data lain juga menunjukkan bahwa sebagian besar warga belajar belum bekerja (90%). Hanya 10% yang sudah bekerja, itu pun dalam sektor informal. Besarnya persentase warga belajar yang belum bekerja mengandung arti bahwa Pendidikan Kesetaraan Program Paket B mereka gunakan sebagai jalan untuk memperoleh pekerjaan di samping untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Hal ini dapat dimaklumi karena di Provinsi Gorontalo saat ini sudah mulai dibangun perusahaan dan pabrik bahkan tempat-tempat usaha lainnya yang membutuhkan tenaga kerja yang mempersyaratkan minimal lulusan SMP / sederajat dalam merekrut pegawainya. Tuntutan ini menjadi pemicu bagi masyarakat Kota Gorontalo yang belum memiliki ijazah SMP karena berbagai keterbatasan terutama masalah ekonomi, untuk mengikuti Pendidikan Kesetaraan Program Paket B. Studi ini pun membahas bahwa jarak tempat tinggal warga belajar dari PKBM umumnya 1 sampai 2 km atau lebih, bahkan beberapa diantaranya harus ditempuh dengan cara berjalan kaki. Kondisi ini telah menjadi masalah tersendiri bagi kelancaran pelaksanaan program. Warga belajar banyak yang absen karena alasan tidak punya ongkos, cuaca hujan, panas, atau cape. Hal ini pun dikeluhkan oleh para penyelengara program terutama para pendidik yang mengajar yautu tutor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan yang memotivasi mereka menjadi warga belajar di PKBM umumnya adalah memperoleh sertifikat/ijazah (97%). Hal ini sejalan dengan temuan sebelumnya dalam penelitian ini bahwa sebagian besar warga belajar usianya relatif muda dan belum bekerja. Ijazah yang mereka peroleh boleh jadi akan dijadikan bekal untuk memasuki kerja, misalnya menjadi karyawan di berbagai perusahaan. . Tenaga Pendidik (Tutor) Dalam penelitian ini ditemukan informasi bahwa sebagian besar (60%) tutor adalah perempuan, dam laki-laki hanya (40%). Proporsi ini mengindikasikan bahwa partisipasi laki-laki dan perempuan utnuk menjadi tutor pendidikan kesetaraan paket B relatif imbang. Usia sumber belajar/tutor berentang dari 21 tahun sampai 56 tahun, dengan ratarata 35 tahun, cukuip matang bagi pendidik kesetaraan Paket B. Didapat pula informasi bahwa sebagian besar (89%) tutor sudah menikah dan sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai PNS atau guru yang tersebar di SMP/SMA/MTs/MA yang terdekat dengan PKBM selain sebagai tutor (80%). Kondisi ini sangat menguntungkan karena selain tutor akan relatif lama menetap di tempat saat ini dan mereka pun akan bertahan menjadi tutor karena mereka memiliki pekerjaan selain sebagai tutor. Pekerjaan sebagai tutor merupakan wujud pengabdian dan aktualisasi diri mereka. Namun sangat disayangkan, kendati sebagian besar dari mereka pernah mengikuti Page 102

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

mengikuti PNF kewirausahaan, kursus dan pelatihan. Namun secara formal, latar belakang pendidikan tutor (92%) adalah paling tinggi SMA dan sederajat. Hanya 8% tutor yang lulusan pertutoran tinggi. Hal ini masih di bawah standar yang diharapkan bahwa tenaga pendidik nonformal untuk Paket B minimal D2 (Direktorat Pendidikan Kesetaraan, 2007). Penelitian ini juga menghaslkan temuan bahwa penghasilan tutor sebelum menjadi tutor setiap bulannnya minimum Rp. 325.000 dan maksimum adalah Rp. 1.000.000 dengan penghasilan rata-rata Rp.400.000. Setelah menjadi tutor penghasilan berubah minimum Rp. 500.000 maksimum Rp. 1.350.000 dengan rata-rata Rp. 600.000. Temuan ini mengindikasikan bahwa penghasilan tambahan sebagai tutor belum memberikan perubahan yang berarti bagi penghasilan tutor secara keseluruhan. Ini dapat dipahami karena honor yang diterima tutor tidak menentu baik dilihat dari segi waktu pembayaran maupun jumlahnya. Studi ini menghasilkan pengalaman para tutor menjadi sumber belajar bervariasi dari yang kurang dari 1 tahun sampai yang lebih dari 3 tahun. Rata-rata pengalaman mereka menjadi adalah di atas 2 tahun. Ini memberi makna bahwa keterlibatan mereka sebagai tutor pendidikan kesetaraan Paket B masih relatif baru. Mereka masih perlu mendalami berbagai hal tentang pendidikan kesetaraan, terutama berkaitan dengan pendekatan pembelajaran nonformal. Hal yang mengkhawatirkan juga bisa muncul manakala mereka sebelumnya bukan seorang pendidik atau belum pernah terlibat dalam aktivitas pendidikan. Kendati demikian kekhawatiran itu tidak perlu terlalu jauh karena dalam pemilihan tutor dasar pendidikan formal benar-benar diperhatikan, tidak asal pilih. Hasil kajian inipun diterima informasi bahwa jumlah tutor yang ada di tiap-tiap PKBM, baik menurut warga belajar maupun pengelola sudah dipandang sesuai dengan kebutuhan (95%), bahkan menurut (5%) responden dianggap melebihi kebutuhan. Temuan ini mengindikasikan bahwa secara kuantitas tutor PKBM itu sudah memadai, selanjutnya mereka perlu dikembangkan kualitas sehingga memenuhi standar minimal seorang tutor paket B. Informasi lain dari penelitian ini adalah bahwa tujuan para tutor untuk menjadi tutor terlihat 7% untuk memperoleh pendapatan tambahan, 3% untuk meningkatkan kemampuan yang dimiliki, 5% untuk membantu warga yang kurang mampu, dan (85%) untuk melaksanakan tugas pemerintah. Temuan ini mengandung arti bahwa mereka terlibat dalam Pendidikan Kesetaraan paket B karena melaksanakan tugas pemerintah dalam rangka mengentaskan Wajar Dikdas 9 tahun. Tujuan mereka adalah pengabdian, makanya wajar yang menjadi tujuan mereka menjadi tutor tidak berkaitan langsung dengan upaya memperoleh penghasilan sehingga penghasilan mereka tidak berubah secara berarti. b. Strategi Pembelajaran Kajian ini menghasilkan temuan bahwa pembelajaran pada PKBM, secara umum pengorganisasian warga belajar ditangani dan dikelola dalam suasana/setting kelompok belajar. Hal ini sudah sejalan dengan pedoman penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan. Setiap kelompok belajar berangotakan 20-25 orang warga belajar. Kelompok seperti ini cukup ideal untuk proses pembelajaran. c. Tempat Kegiatan Balajar Page 103

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Dalam kajian ini juga diperoleh informasi bahwa kondisi bangunan PKBM sebagai panti belajar sebagian besar permanen (56,67%), dengan rata-rata luas bangunan (panti) 188 m2, dengan luas minimal 35 m2 dan maksimal 960 m2. Sarana prasarana belajar yang tersedia di PKBM sebagian besar terdiri dari buku/bahan belajar, dan lainnya berupa fasilitas belajar, perpustakaan, dan media belajar. Status kepemilikan panti belajar pada PKBM adalah menyatakan milik yayasan (60,00%), sewa (26,67), milik pengelola dan milik warga belajar (6,67 %). Kondisi seperti itu, dapat menjamin keberlangsungan pendidikan secara baik dan aman untuk jangka lama. Pihak pengelola hanya tinggal meningkatkan pemeliharaan dan penataan panti agar lebih sesuai dengan kebutuhan proses pembelajaran, terutama masalah kebersihan dan kenyamanan. Ini penting karena pada saat penelitian diketahui bahwa kondisi panti yang ada saat ini umumnya kurang terpelihara kebersihan dan kenyamanannya. d. Perencanaan dan Proses Pembelajaran Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan diselenggarakannya berbagai program di PKBM, menurut pengelola sebanyak 33,33% didasarkan pada pemenuhan akan keanekaragaman minat warga belajar, 20,00% pengelola menyatakan didasarkan kepada pemenuhan keanekaragaman kebutuhan warga belajar, (26,67%) pengelola menyatakan didasarkan pada keanekaragaman adat/kebiasaan masyarakat calon warga belajar, dan (20,00%) didasarkan kepada keanekaragaman tuntutan/kebutuhan pasar. Hal ini sudah sejalan dengan hakekat tujuan penyelenggaraan pendidikan kesetaraan yakni menyediakan layanan alteraatif yang dapat memenuhi keanekaragaman kebutuhan masyarakat beserta berbagai permasalahan yang mengmbat mereka menempuh pendidikan pada jalur formal. Dalam studi ini juga diperoleh informasi bahwa waktu penyelenggaraan program pembelajaran di PKBM bervariasi. Menurut tutor PKBM, waktu pembelajaran pada umumnya merupakan hasil kesepakatan antara tutor dengan warga belajar (86,67%), diserahkan kepada tutor (6,67%), diserahkan kepada warga belajar (6,67%) dan disesuaikan dengan tempat (10%). Lamanya waktu pembelajaran per minggu pada PKBM, (73,33%) selama dua kali, dan (26,67%) selama satu kali. Keragaman ini tidak perlu dipermasalahkan, yang penting memenuhi standar minimal penyelenggaraan Paket B yakni 816 jam/tahun, 180 hari/tahun, 4,5 jam/hari, 34 minggu/tahun, dan 34 SKS/semester @ 40 menit Hasil penelitian menunjukkan bahwa dana pembelajaran di PKBM bersumber dari pemerintah (86,67%). Sisanya ada yang dari masyarakat, forum PKBM, dan warga belajar. Ini dapat dipahami karena sebagian besar PKBM menyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan Paket B karena ada dana bantuan dari pemerintah. Begitu juga sebagian besar warga belajar mengikuti Paket B karena mereka tidak perlu membayar. Jangankan untuk membayar sumbangan pendidikan, mereka pun sering bolos tidak mengikuti pembelajaran karena tidak punya ongkos. Kondisi ini sejalan dengan pembiayaan sebagaimana digariskan dalam Acuan dan Pembelajaran Pendidikan Kesetaraan (Direktorat Pendidikan Kesetaraan, 2007). Hasil penelitian berkenaan dengan metode, alat dan sumber belajar menunjukkan bahwa metode pembelajaran yang sering digunakan di PKBM, menurut warga belajar adalah ceramah, tanya jawab, dan diskusi (80%). Metode praktek hanya sekitar 20%. Kendati demikian, metode pembelajaran yang digunakan itu, menurut warga belajar di Page 104

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

PKBM sesuai dengan kondisi warga belajar (93,33%). Alat dan sumber pembelajaran yang digunakan di PKBM, pada umumnya kurang menunjang kemampuan warga belajar (66,67%). Apa yang terungkap dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa metode yang digunakan masih bersifat konvensional. Hal ini belum sejalan dengan acuan yang disarankan Direktorat Pendidikan Kesetaraan (2007) bahwa pembelajaran hendaknya menekankan kegiatan yang berpusat pada peserta didik. Fokus pembelajaran adalah untuk mengoptimalkan penguasaan hasil pembelajaran secara tuntas. Kegiatan pembelajaran ini hendaknya dapat meningkatkan perolehan pengetahuan dan keterampilan yang perlu dikuasai oleh peserta didik dalam menyelesaikan masalah atau membuat keputusan yang bijak. Untuk itu, metode yang dapat diterapkan adalah pembelajaran kooperatif, pembelajaran interaktif, pembelajaran dengan peta konsep, pembelajaran berbasis penugasan, eksperimen, diskusi, simulasi, dan kajian lapangan. Selain itu, alat dan sumber belajar yang ada masih perlu disesuaikan dengan keperluan pencapaian tujuan pembelajaran. Menurut warga belajar PKBM, program pembelajaran disusun sesuai dengan kebutuhan warga belajar (54,67%), berdasarkan program pemerintah (38,67%), dan disusun sesuai dengan kemampuan tutor (6,67%). Proporsi ini sudah cukup baik, namun yang perlu diperhatikan adalah sejauhmana program pembelajaran itu disusun sehingga dapat memfasilitasi proses pembelajaran peserta didik.

e. Dana Belajar Studi ini menunjukkan bahwa dana belajar yang dikelola atau yang digunakan di PKBM dan hasil pengolahan daftar isian, sumber dana belajar PKBM dapat diidentifikasi sebagai berikut: pemerintah, masyarakat, forum PKBM, Iuran warga Belajar, dan bantuan donator. Dari sumber-sumber dana tersebut, dana terbesar adalah dari pemerintah. Apa yang ditemukan dalam penelitian ini dapat dipahami karena biaya program Paket B bersumber dari pemerintah. Telah diungkapkan dalam uraian sebelumnya bahwa dana pembelajaran di PKBM bersumber dari pemerintah (86,67%). Sisanya ada yang dari masyarakat, forum PKBM, dan warga belajar. Kondisi ini sejalan dengan pembiayaan sebagaimana digariskan dalam Acuan dan Pembelajaran Pendidikan Kesetaraan (Direktorat Pendidikan Kesetaraan, 2007). f. Sarana Belajar Kajian ini menunjukkan bahwa sebagian PKBM memiliki sarana belajar berupa gedung sebagai tempat belajar, buku-buku sebagai bahan belajar, berbagai media pembelajaran, dan perpustakaan. Sebagian lagi belum memiliki gedung tempat belajar sendiri. Tempat belajarnya masih numpang di sekolah-sekolah dasar atau tempat lain yang mereka sewa. Hal ini tidak menjadi masalah karena dalam Acuan dan Pembelajaran Pendidikan Kesetaraan (Direktorat Pendidikan Kesetaraan, 2007) juga kondisi seperti itu tdak dipersoalkan. Yang penting perlu dilengkapi oleh administrasi untuk menunjang kelencaran pengelolaan kelompok belajar.

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 105

g. Hasil Belajar Dalam studi ini diperoleh informasi bahwa hasil belajar yang berupa pengetahuan, dinilai melalui tes hasil belajar tertulis, termasuk kualifikasi baik (61%), bahkan (23%) responden menyatakan sangat baik, dan (16%) responden menyatakan cukup baik. Hasil belajar yang diperoleh itu sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka belajar. Dampak pembelajaran yang diperoleh dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan warga belajar. Temuan ini mengandung arti bahwa pembelajaran Paket B telah memenuhi standar dan juga memenuhi kebutuhan warga belajar. Dampaknya tidak hanya kepada pengetahuan tetapi juga pada kompetensi dan keterampilan warga belajar. Berkenaan dengan faktor-faktor ekstemal penyelenggaraan PKBM yang ditemukan dalam penelitian ini dibahas sebagai berikut. h. Pembinaan Dalam studi ini ditemukan informasi bahwa pembinaan pada penyelenggaraan PKBM dilakukan oleh penilik dan Tenaga Lapangan Dikmas (TLD) ratarata 4 kali dalam setahun dengan teknik bimbingan individual, bimbingan kelompok, dan dengan pengunaan media. Materinya adalah PNF kesetaraan, pendidikan keaksaraan, kewirausahaan, pendidikan anak usia dini, kursus dan pelatihan, keagamaan, pelayanan informasi, dan pengelolaan PKBM. Apa yang ditemukan itu sudah cukup memadai, yang penting pembinaannya dilakukan secara merata dan berkesinambungan. Tampaknya materi pembinaan yang diberikan pun cukup komprehensif, dalam arti mencakup berbagai aktivitas yang menjadi bidang garapan PKBM, termasuk di dalamnya pendidikan kesetaraan. i. Jaringan Informasi dan Kerja Sama (Kemitraan) PKBM Salah satu temuan penelitian ini ialah bahwa PKBM menjalin kemitraan dengan Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Tenaga Kerja, Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Perbankan, Dunia Usaha/Dunia Industri, BPKB, SKB, Tokoh Masyarakat dan pertutoran tinggi dalam pembinaan dan penyelenggaraan PKBM. Ini mengandung arti bahwa PKBM relatif cukup dikenal oleh instansi lain. Jejaring yang kini telah dibangun perlu dikembangkan dan dilestarikan agar berbagai aktivitas di PKBM diketahui dan dipahami oleh pihak-pihak terkait. Bahkan bagi perusahaan/dunia industri, program kesetaraan dapat dijadikan lahan untuk digarap melalui program corporate social responsibility (CSR) perusahaan yang bersangkutan. Dengan cara ini, kedua belah pihak sama-sama diuntungkan, PKBM akan memperoleh bantuan program dan dananya, sementara perusahaan dapat mewujudkan tanggung jawab sosialnya secara nyata dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar. Bahkan perusahaan bisa mencangkokkan program bagi calon tenaga kerjanya sehingga lebih memenuhi kebutuhan perusahaan. j. Dampak Program Pembelajaran Dalam studi ini terdapat informasi bahwa dampak program pembelajaran yang paling dirasakan oleh warga belajar adalah berupa peluang kerja bagi warga belajar serta peningkatan kemampuan dan keterampilan. Temuan ini dapat dimaklumi karena dengan diraihnya ijazah Paket B berarti mereka mempunyai peluang untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan yang ada diKota Gorontalo karena untuk diterima bekerja Page 106

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

minimal harus lulusan SMP/Sederajat. Di samping itu, mereka juga memiliki pengetahuan dan keterampilan baru yang diajarkan. Secara ringkas, temuan tentang pelaksanaan proses pembelajaran kooperatif pada pendidikan kesetaraan program Paket B di PKBM Kota Gorontalo dapat dibahas sebagai berikut. 1) Warga belajar sebelumnya tidak mendapatkan pembelajaran secara konseptual tentang pendidikan kecakapan hidup, biasanya langsung luluh dengan praktek keterampilannya; kemampuan awal warga belajar dari konsep masih rendah; pengalaman warga belajar dalam bidang keterampilan berwirausaha belum tumbuh; minat dan kebutuhan belajar belum nampak. 2) Tutor belum memiliki pemahaman terhadap substansi mated pendidikan; cara mengajar tutor masih bersifat klasikal dan lebih dominan dalam setiap pelaksanaan pembelajaran; setiap pelaksanaan pembelajaran tutor belum terbiasa menyusun rencana pembelajaran, media belajar, dan alat evaluasi pembelajaran. 3) Proses pembelajaran lebih cenderung pada pendekatan instruksional dibandingkan pendekatan pribadi; lebih menekankan pada penuntasan penyampaian materi dan mengabaikan kebutuhan pribadi warga belajar 4) Tujuan pembelajaran pada tahap awal hanya mengacu pada kemampuan WB agar bisa lulus dalam ujian paket B dan mereka mempunyai ijazah 5) Minimnya media pendukung pembelajaran yang disusun oleh tutor pada setiap proses pembelajaran; kurang memanfaatkan media lokal untuk mendukung proses belajar 6) Belum adanya bahan belajar untuk mengembangkan watak dan karakter kecerdasan sosial serta sikap kewirausahaan yang disusun oleh pihak tutor secara lokal ataupun nasional; bahan belajar yang dikembangkan masih bersifat konvensional 7) Kurikulum yang ada belum menyentuh pengembangan watak dan karakter kecerdasan social serta sikap kewirausahaan warga belajar sehingga lulusan program kurang memiliki kecerdasan sosial; kemampuan tutor untuk menterjemahkan kurikulum dalam praktik pembelajaran masih sangat kurang dan beragam 8) Evaluasi yang telah disusun oleh Dinas dan lembaga terkait masih terbatas pada uji kemampuan penguasaan kompetensi akademik sehingga belum memberikan informasi tentang kecerdasan sosial warga belajar Tegasnya, proses pembelajaran seperti yang ditemukan dalam penelitian inibelum mampu menyediakan kondisi yang memfasilitasi warga belajar mengembangkan kecerdasan sosialnya secara optimal. 2. Model Konseptual Pembelajaran Kooperatif yang Dikembangkan Pembahasan model konseptual pembelajaran kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Taman PendidikanKota Gorontalo, dapat dideskripsikan sebagai berikut. Dalam dasar pemikiran diungkapkan bahwa model pembelajaran kooperatif pembelajaran kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial belajar warga belajar, Page 107

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

bersandar pada landasan konseptual, landasan yuridis, landasan empirik. Hal ini amat penting karena suatu model selain harus memiliki pijakan teori yang kokoh dan didasarkan pengalaman empirik yang teruji, juga harus berada pada koridor dan rambu-rambu hukum yang memayunginya. Semua itu telah dipenuhi dalam pengembangan model pembelajaran kooperatif untuk peningkatn kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Taman PendidikanKota Gorontalo. Landasan konseptual yang dijadikan pijakan dalam pengembangan model adalah education for all dan kooperatif (life skills) dan konsep kecerdasan sosial. Selain itu juga juga mengacu pada konsep dasar kecakapan hidup (life skills), kecakapan hidup dalam pendidikan nonformal, hubungan kehidupan nyata, kecakapan hidup, dan mata pelajaran, pendidikan berbasis luas sebagai wahana pendidikan berorientasi kecakapan hidup, dan jenis-jenis life skills, pengembangan life skills dalam pendidikan berbasis masyarakat. Pemilihan landasan konseptual seperti itu sudah dipandang cukup mendasar dan komprehensif untuk pengembangan model pembelajaran kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Kota Gorontalo. Berkenaan dengan landasan yuridis sebagai payung hukum dan kebijakan yang menjadi legalitas dan akuntabilitas pada tingkat implementasi model yang disusun, dalam penelitian ini dipilih UUD 1945, UU Nomor 20 tahun 2003 dan Inpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Wajar Dikdas 9 tahun dan Pendidikan Kesetaraan dan Kepmen Diknas tentang pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Wajar Dikdas 9 tahun dan Pendidikan Kesataraan. Model yang disusun telah disesuaikan dengan ramburambu yang ada dalam payung hukum tersebut. Dengan demikian, model yang dikembangkan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan pendidikan pada umumnya dan pendidikan kesetaraan program paket B pada khususnya. Selain berlandaskan acuan konseptual dan yuridis, model pembelajaran kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Kota Gorontalo juga dilandaskan pada temuan empirik berupa hasil penelitian tahap pendahuluan mengenai informasi atau data yang diperlukan dari masyarakat sekitar dan kelompok sasaran. Data kondisi riil pembelajaran ini sebagaimana diungkapkan dalam bagian awal hasil penelitian dijadikan pijakan dalam pengembangan model. Dengan demikian, model pembelajaran kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Kota Gorontalo selain kokoh secara konseptual dan yuridis juga memiliki fisibilitas dan adaptabilitas yang tinggi untuk diaplikasikan dalam praktik pembelajaran nyata di lapangan. Tujuan umum Pembelajaran Pendidikan Kesetaraan Program Paket B adalah untuk memberikan pendidikan setara SMP/MTs agar dapat memiliki prestasi akademik dan penguasaan keterampilan praktis yang dapat dijadikan bekal untuk bekerja dan berusaha. Sedangkan secara khusus, tujuan pembelajaran program paket B adalah: (1) Membantu menurunkan jumlah putus jenjang SD/MI, drop out SMP/MTs; (2) Membelajarkan warga belajar agar memiliki pengetahuan kooperatif; berbasis keunggulan potensi lokal; (3) Melaksanakan pembelajaran kooperatif program paket B berbasis keunggulan potensi lokal; (4) Memberdayakan PKBM untuk berpartisipasi membantu mengurangi jumlah putus jenjang SD/MI dan drop out SMP/MTs; (5) Meningkatkan kemampuan warga belajar membaca, agar mereka dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari; (6) Memberdayakan tenaga lokal yang potensial Page 108

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

untuk mengelola sumber daya yang ada di lingkungannya; (7) Meningkatkan kecerdasan sosial warga belajar melalui pembinaan watak kewirausahaan. Tampak bahwa tujuan pembelajaran yang dirumuskan itu selain mencapai standar kompetensi lulusan juga menekankan kepada pembinaan mental dan watak untuk saling membantu secara positif. Dengan demikian, lulusan yang menggunakan model pembelajaran kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Kota Gorontalo kecerdasan sosialnya lebih tinggi dengan lulusan Paket B lainnya. Di samping itu Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994). Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu: 1. Hasil belajar akademik Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi warga belajar atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu warga belajar memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai warga belajar pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada warga belajar kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik. 2. Penerimaan terhadap perbedaan individu Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orangorang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi warga belajar dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugastugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain. 3. Pengembangan keterampilan sosial Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada warga belajar keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh warga belajar sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial. Sasaran layanan pembelajaran kooperatif program paket B adalah anggota masyarakat yang termasuk sasaran wajar dikdas 9 tahun kelompok umur 13-15 tahun. Dengan demikian, sasaran program ini adalah prioritas program. Dengan demikian, program ini memberikan andil yang berarti dalam penuntasan wajar Dikdas 9 tahun. Di lain sisi, lulusan yang menggunakan model pembelajaran kooperatif untuk peningkatan Page 109

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Kota Gorontalo akan lebih mandiri dibandingkan lulusan paket B di PKBM lainnya. Penyelenggaraan pembelajaran kooperatif program paket B dikembangkan dengan menggunakan dua strategi, yaitu: (1) hanya mata pelajaran yang esensial saja yang diberikan, sedangkan mata pelajaran lainnya diharapkan dapat dipelajari oleh para warga belajar sendiri. Mata pelajaran yang diberikan adalah PPKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA (Biologi, Fisika); dan (2) pembelajaran dilaksanakan dengan pola belajar mandiri, belajar kelompok, dan tutorial. Kurikulum dikembangkan dalam model ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan meliputi: (1) Kelompok mata pelajaran Pendidikan Agama dan Akhlak Mulia; (2) Kelompok mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kepribadian; (3) Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; (4) Kelompok mata pelajaran Estetika; dan (5) Kelompok mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan. Isi kurikulum tingkat satuan pendidikan meliputi 10 mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Ke-10 mata pelajaran tersebut meliputi: Pendidikan Agama; Pendidikan Kewarganegaraan; Bahasa; Matematika, Ilmu, Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni dan Budaya, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan; Keterampilan/Kejuruan; Muatan Lokal. Selain itu, Kurikulum program Paket B setara SMP/MTs mengembangkan kecakapan hidup yang terdiri atas: kecakapan pribadi, kecakapan intelektual, kecakapan sosial dan kecakapan vokasional. Ini mengandung arti bahwa model yang dikembangkan menggunakan kurikulum yang sesuai dengan standar nasional sehingga memungkinkan setiap lulusan bisa lolos ujian nasional Paket B. Sebagai kekhasan model ini, dalam pembelajaran dimasukkan materi khusus untuk membina karakter kecerdasan sosialk psikologis dan sikap mental wrga belajar. Meteri ini bersifat suplemen namun diberlakukan sama pentingnya dengan materi lain yang digariskan dalam kurikulum nasional. Dengan demikian, lulusan Paket B yang menggunakan model ini akan lebih mandiri dibanding lulusan Paket B yang menggunakan model pembelajaran lainnya. Fasilitator atau tutor para sarajana pendidikan yang mau mengabdikan ilmunya untuk peningkatan sumber daya manusia di daerah sesuai nidang keahlian maingmasing atau bidang studi misalnya sarjana Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, matematika atau guru bidang studi yang ingin menambah jumlah jam mengajar dan ikhlas mengabdikan ilmunya untuk kemaslahatan umat. Tutor ini terlebih dahulu dilatih tentang berbagai model pembelajaran termasuk di dalamnya model pembelajaran kooperatif. Mereka Paham akan metodologi dan strategi belajar, Mampu menyusun rencana pembelajaran, Memiliki motivasi untuk membelajarkan orang lain, Letak geografis dekat dengan kelompok belajar. Dengan demikian, tutor yang menerapkan model pembelajaran kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Kota Gorontalo lebih kompeten dibandingkan dengan yang lain, khususnya dalam membangun sikap mental dan karakter kecerdasan sosial warga belajar. Metode pembelajaran dalam model kooperatif untuk peningkatan kecerdasan sosial warga belajar pendidikan kesetaraan program paket B di PKBM Kota Gorontalo menggunakan metode pembelajaran partisipatif. Sedangkan teknik pembelajaran yang digunakan adalah dengan membagi warga belajar atas kelompok kecil, dilanjutkan dengan diskusi kelompok, simulasi, permainan, demonstrasi, kerja kelompok yang diakhiri dengan laporan masing-masing kelompok dalam bentuk presentase oleh ketua Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 110

kelompok. Dengan cara ini pembelajaran lebih bervariatif dan responsif terhadap keanekaragaman karaktersitik dan kebutuhan warga belajar sevcara individual maupun kelompok. Bahan belajar yang dikembangkan berasal dari warga belajar sendiri, lingkungan dan pihak penyelenggara. Sumber dan bahan belajar yang digunakan antara lain: Buku, Gambar, Peta, Diagram, Alat simulasi hitung dan sumber lain. Selain itu, bahan dan sumber belajar dapat pula dibuat dan dikembangkan bersama warga belajar. Sumber dan bahan belajar tersebut yaitu yang ditemukan dan ditentukan oleh warga belajar dengan memanfaatkan potensi lokal atau pontensi alam yang ada di sekitar mereka. Dengan cara ini, pembelajaran menjadi lebih familiar dengan warga belajar. Semua media yang digunakan sudah mereka kenal dan digunakan dalam kehidupan keseharian mereka dengan harapan dapat mengurangi hambatan belajar dan miskonsepsi akan dapat diminimalisasikan. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan teknik portofolio selama program berjalan. Evaluasi dilakukan secara bertahap yang meliputi tes lisan dan tulisan baik uraian atau pilihan ganda, dan praktek. Tes ini dilakukan selama proses dengan budaya mereka. Pada akhir program akan dilakukan tes kompetensi untuk mengukur kemampuan warga belajar selama proses pembelajaran. Selain itu, dalam model pembelajaran ini, pada awal semester dilakukan pengukuran kecerdasan sosial warga belajar sebagai pretest dan pada akhir semester juga dilakukan pengukuran ulang sebagai post test. Cara seperti ini sudah cukup komprehensif untuk menggambarkan kemampuan belajar warga belajar secara nyata dan lengkap.

3. Implementai Model Pembelajaran Kooperatif dalam Peningkatan Kecerdasan sosial Warga Belajar Program Paket B Di PKBM Kota Gorontalo Dalam Pembelajaran kooperatif bagi peningkatan keerdasan sosial warga belajar di PKBM Kota Gorontalo dapat dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi. Uji coba dalam rangka menguji efektivitas model dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. Tahap Persiapan, kegiatan yang dilakukan yaitu: (1) menyusun program pembelajaran kooperatif; (2) menentukan kelompok sasaran, (3) mengidentiflkasi kelompok sasaran, (4) mempelajari data tentang kelompok sasaran, (5) menentukan prioritas kebutuhan dan masalah, (6) menyusun materi, (7) memilih dan menentukan metode, (8) menyiapkan media belajar; (9) menyiapkan daftar sasaran, (10) menentukan waktu dan tempat. Tahap Pelaksanaan. Melakukan pengamatan selama proses pembelajaran secara berkelanjutan, mencatat hal-hal yang terjadi baik yang menyangkut tutor maupun, motivasi, kreativitas dari warga belajar dalam mengikuti pembelajaran. Untuk melihat keterpaduan dan keterkaitan antar komponen yang satu dengan komponen lainnya dan efektif tidaknya program yang telah dipersiapkan sebelumnya, bisa membandingkan kriteria yang telah disusun dengan realitas yang terjadi selama proses ini berlangsung. Jika program ini bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan, berarti terjadi sinergi antara komponen-komponen tersebut, maka proses pembelajaran pembelajaran kooperatif bisa menyentuh dan memiliki ikatan emosional di antara warga belajar sehingga lebih situational awarness dan memiliki daya ungkit dalam pembelajaran. Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | Page 111

Tahap Evaluasi, dalam proses pembelajaran, hasil penilaian dapat menolong tutor untuk memperbaiki kemampuan agar menjadi tutor yang profesional. Merancang evaluasi termasuk tugas seorang tutor ketika dalam membuat rancangan pembelajaran (instructional design). Evaluasi adalah suatu proses berkelanjutan tentang pengumpulan dan penafsiran informasi untuk menilai (assess) keputusan-keputusan yang dibuat dalam merancang sebuah sistem pembelajaran. Hasil penilaian ini sebagai feed back terhadap pembelajaran kooperatif secara keseluruhan. Atas dasar ketercapaian tujuan program ini yang terakumulasikan dalam hasil penilaian, bisa dilihat apakah program ini efektif atau tidaknya manakala dikomparasikan capaian kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap evaluasi yaitu: menetapkan tujuan evaluasi, menyusun instrumen evaluasi, mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data, menggunakan hasil evaluasi. Setelah melalui proses validasi terhadap rancangan model maka sebagai pengembangannya perlu diimplementasikan kepada objek dan sasaran yaitu warga belajar Paket B yang ada di PKBM Kota Gorontalo yang ditetapkan sebagai objek penelitian. Secara sistematis, langkah dalam operasional pengembangannya meliputi: perencanaan, pelaksanaan dan pengamatan, serta evaluasi. Rancangan model konseptual diimplementasikan atau diujicobakan dalam dua tahap, yaitu uji coba tahap pertama dan ujicoba tahap kedua. Pelaksanaan kegiatan ujicoba dalam dua tahap ini dimaksudkan agar hasil yang pembelajaran dapat memenuhi kebutuhan peserta didik, mengenai kekurangan dan kelemahan yang ditemua pada saat diadakannya ujicoba tahap pertama, dapat disempurnakan dan lebij dimantapkan lagi pada saat ujicoba tahap kedua. Untuk melihat peningkatan kecerdasan sosial melalui pembelajaran kooperatif, akan dilaksanakan kegiatan ujicoba dengan menggunakan angket sebagai alat utama yang dilaksanakan setelah pasca pembelajaran yaitu pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, Angket ini diujikan pada 40 orang warga belajar program Paket B di PKBM Taman Pendidikan dan PKBM Al-zikra Kota Gorontalo sebagai berikut: Secara konseptual kecerdasan sosial adalah kemampuan seseorang dalam memahami, mendengarkan dan peka terhadap maksud dan pemikiran orang lain, serta merasakan dan mengamati reaksi-reaksi dan perubahan orang lain, yang di tunjukkan baik secara verbal maupun non verbal dan mampu mencari pemecahan masalah yang efektif dalam suatu interaksi sosial dan memiliki penguasaan ketrampilan komunikasi. Adapun indikator dari kecerdasan sosial adalah; situational awarness, presense, authenticity, clarity, ketrampilan berkomunikasi dan memiliki sikap empati.
Sedangkan secara operasiomal kecerdasan sosial peserta didik adalah skor jawaban responden terhadap skala kecerdasan sosial yang indikator-indikatornya yaitu; (1) situational awarness, (2) presense, (3) authenticity, (4) clarity, (6) emphaty. Skala yang digunakan berbentuk skala 0-1 dengan kriteria bila benar skor 1 dan bila salah skor 0. Sebelum digunakan dalam penelitian, instrumen ini terlebih dahulu diujicobakan kepada 40 orang warga belajar program paket B pada 2 PKBM di Kota Gorontalo. Uji coba ini dimaksudkan untuk menguji validitas setiap butir pernyataan dan menghitung koefisien reliabilitas perangkat kuesioner. Uji validitas butir pernyataan dilakukan dengan cara mengkorelasikan skor masingmasing butir pernyataan yang diperoleh setiap responden dengan skor total yang diperoleh responden yang bersangkutan. Koefisien korelasi dihitung dengan menggunakan rumus rank order correlation. Proses perhitungannya dilakukan dengan mengoperasikan perangkat lunak SPSS.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dari 46 butir pernyataan yang diuji validitasnya, terdapat 46 butir soal yang memiliki koefisien korelasi yang signifikan pada a < 0.05. Koefisien korelasinya merentang dari 0,213 sampai dengan 0,899. Dengan

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 112

demikian, ke-46 butir soal tersenut dinyatakan valid. Sebaran butir soal yang valid tersebut disajikan dalam tabel 3.2. Selanjutnya, secara keseluruhan ke-46 butir pernyataan itu dihitung koefisien reliabilitasnya dengan menggunakan teknik Alfa Cronbach diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,935 signifikan pada a < 0.05. Berdasarkan hasil uji validitas butir pernyataan dan perhitungan koefisien reliabilitas keseluruhan perangkat kuesioner sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dinyatakan bahwa instrumen pengungkap data kecerdasan sosial warga belajar itu layak digunakan sebagai instrumen pengungkap data dalam penelitian ini. 4. Pembahasan tentang Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif dalam Peningkatan Kecerdasan sosial Warga Belajar Paket B Di PKBM Kota Gorontalo Uji Efektivitas model dilaksanakan dengan melakukan uji implementasi terlebih dahulu. Implementasi model pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial dilakukan di Ruang belajar PKBM Kota Gorontalo, didasarkan pada strategi penggunaan lima komponen yaitu komponen planning, pelaksanaan, Output, Other Input, dan outcome. Dari hasil implementasi model yang dikembangkan telah dapat diterima dan sesuai untuk kecerdasan sosial dengan harapan lebih efektif dan efisien sesuai dengan kondisi SKB.
1) Perencanaan, antara lain meliputi kegiatan identifikasi kebutuhan, dan struktur program pendidikan, dilakukan sebagai persiapan sebelum pelaksanaan pendidikan dengan melibatkan warga belajar. Perencanaan pendidikan, sebagai komponen utama dalam pendidikan, menunjukkan sangat mendukung terjadinya kelancaran belajar peserta dalam pelaksanaan sesuai model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan. Handoko (dalam Sudrajat, 2010: 2) bahwa mengemukakan bahwa terdapat empat tahap dalam perencanaan, yaitu : (a) menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan; (b) merumuskan keadaan saat ini; (c) mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan; (d) mengembangkan rencana atau serangkaian kegiatan untuk pencapaian tujuan Dalam penyusunan program pembelajaran, hal-hal yang diperhatikan adalah: (a) identifikasi tujuan pendidikan; (b) identifikasi materi pendidikan; (c) identifikasi media pendidikan; (d) identifikasi sarana pendidikan; (e) identifikasi metode pendidikan; (f) identifikasi tutor pendidikan; (g) menetapkan jadual pendidikan; dan (h) identifikasi sumber pembiayaan. Seluruh komponen dalam kegiatan pengorganisasian tersebut sebagai satu kesatuan saling terkait sebagai langkah kegiatan melaksanakan strategi pendidikan. Dalam pelaksanaannya, strategi yang dikembangkan memberikan arah yang lebih jelas dalam menempuh proses pendidikan sehingga pelaksanaan pembelajaran dalam pendidikan dapat berlangsung lancar sesuai dengan komponen dan prosedurpelatilran yang dkembangkan Pelaksanaan proses pendidikan telah dapat berlangsung dengan baik didasarkan pada pengkondisian pembelajaran orang dewasa (andragogi), sehingga warga belajar mampu mengikuti pendidikan dengan baik dan menunjukkan kesesuaian prinsip-prinsip pembelajaran yang telah dirancang. Keterlibatan peserta dalam menempuh pendidikan berdasarkan prinsip pembelajaran partisipatif; intreraktif kolaboratil, dan demokatis, telah dapat ditunjukkan oleh peserta dalam pelaksanaan kegiatan bersama tutor, mengerjakan tugas-tugas, melaksanakan praktek mengajar, dan diskusi kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas praktek. Refleksi hasil belajar, sebagai kegiatan yang ditempuh oleh peserta untuk merefleksi hasil belajar pasca pendidikan dalam bentuk melaksanakan pembelajaran dalam tindakan nyata peserta. Sudrajat (2010: 2) mengemukakan bahwa hal yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanan (actuating) ini adalah bahwa seorang tutor akan termotivasi untuk mengerjakan sesuatu jika : (1) merasa yakin akan mampu mengerjakan, (2) yakin bahwa pekerjaan tersebut memberikan manfaat bagi dirinya, (3) tidak sedang dibebani oleh problem pribadi atau tugas lain yang lebih penting, atau mendesak, (4) tugas tersebut merupakan kepercayaan bagi yang bersangkutan dan (5) hubungan antar teman dalam organisasi tersebut harmonis.

2)

3) Output

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 113

Komponen Output merupakan hasil belajar peserta pasca pendidikan yang diperoleh berdasarkan hasil kegiatan pengamatan. Pengamatan yang dilakukan meliputi kecerdasan sosial sebelum dan setelah pembelajaran kooperatif, dan observasi kecerdasan sosial peserta pasca pendidikan yang dikomparasikan dengan hasil pengamatan pelaksanaan pembelajaran oleh peserta sebelum dan setelah pendidikan. Hasil pengamatan terhadap kecerdasan sosial warga belajar bagi peningkatan kecerdasan sosial menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Kecerdasan sosial warga belajar sebelum pelaksanaan pembelajaran kooperatif sebesar 52,50% sebelum uji coba tahap I dan setelah pembelajaran mengalami peningkatan menjadi sebesar 78,80%. Sedangkan pada uji Tahap II, kecerdasan sosial warga belajar sebelum uji coba sebesar 54,02% dan setelah uji coba menjadi 81,15%. Dengan demikian peningkatan kecerdasan sosial warga belajar sebesar 26,3% pada uji tahap I dan sebesar 27.13%. pada uji tahap II. 4) Other Input Berdasarkan ujicoba terbatas, dan uji empirik pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial, telah terungkap temuan bahwa: pertama, kurangnya informasi tentang program-program peningkatan dan pengembangan kualitas tutor yang dapat dilakukan dengan banyak pendekatan. Program peningkatan dan pengembangan warga belajar yang selama ini diketahui baru terbatas pada program pendidikan secara umum dan formal formal serta cenderung menggunakan pendekatan yang konvensional. Pada hal pendekatan lain banyak seperti pendidikan berbasis kompetensi yang bisa dilakukan, termasuk: pembelajaran kooperatif bagi peningkatan kecerdasan sosial, studi lanjut, dan kegiatan ilmiah sederhana seperti diskusi dan seminar. Kedua, pembinaan dan pemantauan (supervisi dan monitoring) oleh pihak Dinas Pendidikan Kota Gorontalo untuk mengoptimalkan pelaksanaan program pendidikan kesetaraan pada SKB, utamanya untuk mengoptimalkan peningkatan dan pengembangan kecerdasan sosial warga belajar, terungkap belum adanya kegiatan supervisi dan monitoring yang baik terkait manajemen penyelenggaraan maupun pelaksanaan pembelajaran pada implementasi program pendidikan kesetaraan tersebut dan belum intensif dilakukan secara terprogram oleh pihak-pihak terkait. Peningkatan dan pengembangan kecerdasan sosial warga belajar melalui pendidikan oleh Dinas Pendidikan dalam hal ini PNF masih terbatas, belum ada tindak lanjut melalui menitoring secara terprogram terhadap hasil pendidikan di masing-masing PKBM. Kedua unsur sebagaimana dijelaskan di atas merupakan temuan penting sebagai komponen masukan lain (Other Input) terkait dengan komponen dalam model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan. 5) Outcome Outcome pelaksanaan model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan, terjadi meningkatnya kecerdasan sosial dalam melaksanakan pembelajaran. Implementasi model pembelajaran kooperatif berpengaruh pada peningkatan kecerdasan sosial kesetaraan paket B, dapat dideteksi dari pengamatan pembelajaran sebagai kegiatan refleksi hasil pendidikan, menunjukkan rerata kecerdasan sosial dapat dikatakan menjadi lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, sesuai dengan setiap komponennya sebagai landasan bahwa model pembelajaran kooperatif, dapat berpengaruh meningkatkan kecerdasan sosial warga belajar kesetaraan paket B. Secara diagram model yang direkomendasikan tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut: PERENCANAAN I Dr. Rusdin Djibu, M.Pd | N P U
1. 2. Analisis Kebutuhan Penyusunan Program Pembelajaran

Page 114

Perilaku kesadaran sosial warga belajar dalam proses pembelajaran kooperatif nampak dari adanya kesadaran warga belajar untuk mentaati aturan-aturan sekolah, seperti: (1) masuk kelas tepat waktu, meski belum semua warga belajar melakukannya dengan baik, (2) tidak makan dan minum di dalam kelas pada saat pembelajaran berlangsung, (3) tidak membuang sampah pada sembarang tempat, dan membersihkan kelas apabila pembelajaran selesai, (4) meninggalkan ruang kelas dalam keadaaan rapi, kursi dan meja diletakkan dan diatur sesuai dengan denah kelas, (5) menciptakan proses pembelajaran kondusif, artinya tidak ribut pada saat tutor menjelaskan materi pelajaran. Page 115

Kecerdasan sosial warga belajar pada pembelajaran kooperatif setelah pelaksanaan model tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada uji tahap I, peningkatan kecerdasan sosial meliputi; Situational awarness dari 48,75% menjadi 78,75%, Presense dari 52,08% menjadi 79,42%, Authenticity dari 55,42% menjadi 77,50%, Clarity dari 48,75% menjadi79,38%, dan Emphaty dari 57,50% menjadi 78,44%. Pada uji tahap II mengalami peningkatan: Situational awarness dari 50,42% menjadi 81,25%, Presense dari 53,33% menjadi 80,42%, Authenticity dari 56,67% menjadi 80,00%, Clarity dari 50,63% menjadi 83,75%, dan Emphaty dari 59,06% menjadi 80,31%. Peningkatan kecerdasan sosial yang ditunjukkan oleh warga belajar dalam pelaksanaan pembelajaran dideskripsikan sebagai berikut: 1. Situational Awarness

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Kesadaran sosial warga belajar tersebut mengindikasikan bahwa pembelajaran kooperatif telah berhasil dengan baik. Meskipun warga belajar belum semuanya menunjukkan perilaku tersebut namun secara umum pembelajaran kooperatif yang diterapkan dalam meningkatkan kesadaran sosial telah berhasil dengan baik,
2.

Kehadiran warga belajar dalam proses pembelajaran cukup tinggi. Hal tersebut nampak dari adanya kedisiplinan warga dalam pelaksanaan pembelajaran. warga belajar menggunakan seragam yang telah ditentukan oleh pihak PKBM, meskipun tidak memiliki seragam seperti peserta didik pada pendidikan formal (SMP/sederajat) warna putih dongker, tetapi penampilan meraka menarik. Dalam berbicara tutor membiasakan mereka untuk sopan dan menjalin kerjasama yang baik di antara warga belajar maupun dengan tutor. Dalam memberikan pertanyaan atau menjawab pertanyaan tutor, warga belajar berusaha dengan sebaik mungkin berbicara dengan sopan dan tidak menyinggung pihak lainnya.
Authenticity

Presense

Perilaku lainnya yang ditunjukkan oleh warga belajar dalam peningkatan kecerdasan sosial di antaranya; adanya kejujuran warga belajar dalam menjawab pertanyaanpertanyaan tutor; bilamana warga belajar terlambat, maka menjawab sesuai dengan apa yang dialaminya. Demikian pula kecerdasan warga belajar pada aspek keterbukaaan mengalami peningkatan. Setiap warga belajar menerima saran dan kritik dari temantemannya. Selain itu mereka mampu mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan dalam proses pembelajaran. Perilaku lain yang ditunjukkan oleh warga belajar adalah kemampuan untuk menolong temannya yang mengalami kesulitan dalam belajar. Bila terdapat temantemannya yang mengalami kendala dalam pembelajaran, maka dibantu oleh teman lainnya baik secara material maupun immaterial. Dalam proses pembelajaran, warga belajar selalu berusaha menjalin komunikasi yang baik. Komunikasi tersebut berupa pemberian informasi-informasi tentang aspek-aspek yang telah dipelajari maupun yang akan dipelajari. Terdapat warga belajar yang tidak dapat memahami dengan mudah materi pelajaran sehingga dibantu oleh teman lainnya. Dalam hal ini, komunikasi yang terjalin adalah komunikasi di antara para warga belajar, sedangkan komunikasi dengan tutor selalu terjalin pada proses pembelajaran maupun di luar pembelajaran baik dalam bentuk bimbingan belajar di sekolah maupun di rumah. Perilaku yang ditunjukkan warga belajar dalam proses pembelajaran, terutama dalam hal memperhatikan materi yang disampaikan oleh tutor cukup baik. Warga belajar menunjukkan sikap yang patuh dan taat terhadap tutor dan menunjukkan kedisiplinan yang cukup tinggi. Bila terdapat tugas-tugas yang diberikan oleh tutor langsung diselesaikan sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Selain itu tugas diselesaikan tepat waktu.
5. Emphaty 4. Clarity

3.

Dr. Rusdin Djibu, M.Pd |

Page 116

You might also like