You are on page 1of 11

INOVASI PEMBELAJARAN OLEH GURU PROFESIONAL DALAM ERA GLOBAL

Oleh I Made Sutama Jurusan PBSID, FBS, Undiksha e-mail address: damuh2003@yahoo.com ABSTRAK Karena dianggap penting, gagasan tentang inovasi pembelajaran disosialisasikan melalui berbagai forum kepada para guru. Namun respon yang mereka berikan kurang menggembirakan. Padahal, dalam era global, merupakan keharusan bagi guru untuk secara terus-menerus melakukan inovasi pembelajaran. Globalisasi telah melahirkan persaingan dalam berbagai bidang, termasuk bidang ketenagakerjaan. Kondisi ini menuntut kualitas SDM yang tinggi, sementara mutu pendidikan kita rendah. Oleh karena itu, tidak ada pilihan bagi guru kecuali melakukan inovasi pembelajaran. Gagasan tentang bagaimana anak belajar dan bagaimana pembelajaran harus dilaksanakan telah dikemukakan oleh para ahli. Namun, ada banyak varian tentang hal itu, bergantung pada paham yang mereka anut. Dihadapkan pada keadaan seperti itu, guru harus menemukan pembelajaran inovatif, melalui berbagai jenis penelitian, seperti penelitian pengembangan, evaluaif, dan penelitian terapan, terutama penelitian tindakan kelas. Penelitian oleh guru merupakan tuntutan profesionalitas seorang pendidik. Kata-kata kunci: inovasi pembelajaran, guru profesional, era global ABSTRACT Because of being considered as important, the idea of inovation in teaching and learning was socialized through various forums to teachers. But their responses were not satisfying. In the global era, doing inovative learning is a must for them. Globalization has resulted in competitiveness in many fields, including the field of manpower. Those conditions require high quality human resources, whereas our national education quality is low. For this reason, there is no other choice for the teachers, except to do inovation in teaching and learning processes. The ideas of how children learned and how the learning and teaching processes should be managed were proposed by many experts. But, there were a number of variants about it, depending on the view they hold. Being faced with such a condition, teachers should find inovative teaching and learning by conducting many kinds of reaseraches, such as design, evaluative, and applied researches, espicially classroom action research. For the teacher, doing research is a part of their professionalism. Key words: inovation of learning, professional teacher, global era. PENDAHULUAN

Seiring dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, inovasi pembelajaran merupakan salah satu hal yang mendapat perhatian, di samping sarana penunjang pembelajaran. Berbagai forum diadakan untuk menyemaikan dan menyosialisasikan gagasan tentang inovasi pembelajaran dengan partisipan atau subjek sasaran para guru. Bahkan, dalam Diklat Sertifikasi Guru, sebagai tindak lanjut penanganan para peserta sertifikasi yang tidak lolos lewat jalur portofolio, inovasi pembelajaran merupakan salah satu mata Diklat. Namun, di sisi lain, ada keengganan atau keterpaksaan pada sebagian guru untuk mengikuti perkembangan atau mendalami inovasi pembelajaran. Apa yang mereka tekuni selama ini seolah-olah sudah cukup dan tidak perlu diubah lagi. Padahal, merupakan suatu keharusan bagi guru untuk secara terus-menerus melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan mutu dan hasil pembelajaran, lebih-lebih setelah memasuki era global seperti sekarang. PEMBAHASAN Era Global dan Inovasi Pembelajaran Oleh kemajuan teknologi, umat manusia telah dibuat masuk ke dalam era global. Era ini ditandai oleh sejumlah hal. Antartempat di berbagai belahan dunia seolah-olah tanpa jarak. Berbagai kejadian di suatu belahan dunia dapat dengan cepat diketahui oleh masyarakat di belahan dunia yang lain melalui sarana teknologi informasi. Karena sarana teknologi informasi yang semakin maju pula, orang tidak perlu melakukan perjalanan dari berbagai tempat menuju tempat yang jauh untuk melakukan pertemuan. Dengan sarana itu, mereka dapat melakukan apa yang disebut dengan rapat virtual melalui fasilitas telepresence (Leksono, 2008). Orang dapat dengan cepat berpindah tempat dengan memanfaatkan sarana transportasi modern. Mobilitas umat manusia menjadi sangat tinggi. Setelah diikuiti oleh regulasi ketenagakerjaan yang sifatnya internasional, yang mengikat bangsa-bangasa di dunia, lahirlah globalisasi ketenagakerjaan. Globalisasi ketenagakerjaanakan menimpa berbagai bidang, termasuk pendidikan. Lebih-lebih dengan adanya aturan yang membolehkan kepemilikan saham oleh pihak asing sampai maksimal 49% pada usaha bidang pendidikan. Dari globalisasi bidang ketenagakerjaan ini timbullah suasana kompetitif yang berskala luas. Tenaga kerja Indonesia dalam berbagai bidang tidak lagi hanya bersaing dengan sesamanya, tetapi harus mulai bersaing dengan tenaga kerja pada bidang sejenis dari negara lain. Untuk memenangkan persaingan ini, sumber daya manusia (SDM) Indonesia dituntut memiliki kualitas yang tinggi.

Sementara era global menuntut kualitas SDM yang tinggi, secara umum kondisi SDM Indonesia masih memprihatinkan. Kemajuan bangsa-bangsa di dunia diindekskan lewat apa yang disebut dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM dihasilkan melalui penilaian terhadap empat aspek, yaitu: harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup. Dalam tiga tahun terakhir, IPM Indonesia bergerak lambat (0,697 pada tahun 2005; 0,711 pada tahun 2006; dan 0,728 pada tahun 2007) dan masih jauh dari indeks minimal negara yang digolongkan maju, yakni 0,800, sehingga menempatkan Indonesia pada posisi ke-108 dari 177 negara di dunia pada tahun 2007 . Karena indeks itu dihasilkan melalui penilaian terhadap empat aspek yang dua di antaranya berkenaan dengan pendidikan, indeks itu dapat dianggap menggambarkan tingkat kemajuan pendidikan. Kita tahu bahwa tinggi rendah kualitas SDM suatu bangsa sangat bergantung pada kulaitas pendidikan bangsa itu. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan merupakan sesuatu yang mutlak perlu dilakukan. Hal terbaru yang dilakukan oleh sejumlah pakar pendidikan di Indonesia adalah pengembangan kurikulum transnasioanal Eropa-Asia untuk jenjang SMK. Dalam konteks ini, ada sesuatu yang wajib dilakukan oleh guru, yakni secara terus-menerus melakukan inovasi pembelajaran. Mendapatkan Gagasan Pembelajaran Inovatif Karena merupakan kemutlakan bagi guru untuk secara terus-menerus melakukan inovasi pembelajaran, wawasan pembelajaran pada diri guru juga harus terus diperluas. Gagasan pembelajaran inovatif, sebagai pengetahuan, bisa didapatkan melalui berbagai sumber. Salah satu sumber adalah penglaman, sebagaimana ampak pada ungkapan bahwa pengalaman adalah guru utama. Selama bertugas mengelola pembelajaran di sekolah, tentu banyak hal yang telah dialami oleh guru. Di antara pengalaman itu, pasti ada pengalaman tentang keberhasilan mengelola pembelajaran. Dalam situasi yang sama, pengalaman itu dapat diterapkan kembali, tetapi tidak demikian halnya bila situasi yang dihadapi itu betul-betul baru (Sutama, 2005). Kelemahan lain yang ada pada pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah banyak pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman bergantung pada apa yang dapat diobservasi dan bagaimana hal itu diinterpretasikan. Sayangnya, sebagai manusia kita kadang-kadang salah dalam mengobservasi dan membuat interpretasi yang tidak akurat karena terlibat secara personal. Sumber lain untuk mendapatkan pengetahuan tentang pembelajaran inovatif adalah para

pakar. Para pakar, secara umum, memiliki keunggulan akademis dan intelektual. Oleh karena itu, gagasan teoretis para pakar tentang pembelajaran perlu diketahui. Namun perlu disadari bahwa teori pembelajaran dari pakar manapun tidak dapat dilepaskan dari teori belajar yang dianut. Tentang beberapa teori belajar dan implementasinya dalam pembelajaran (Budiningsih, 2005) akan disajikan berikut ini. Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran Ada banyak pakar yang menganut paham behavioristik, seperti Thorndike, Watson, Hull, Guthrei, dan Skinner. Menurut teori behavioristik, belajar merupakan perubahan tingkah laku yang dihasilkan melalui interaksi antara stimulus dan respon. Berdasarkan teroi ini, seseorang telah dianggap belajar kalau ia telah dapat menunjukkan perubahan tingkah laku. Sebagai contoh, seorang anak dapat dianggap telah belajar budi pekerti, kalau ia telah menjadi lebih menghargai orang lain, misalnya. Yang terpenting menurut teori ini adalah masukan yang berupa stimulus dan keluaran yang berupa respon. Sementara, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati. Faktor lain yang dianggap penting adalah penguatan. Penguatan berfungsi meningkatkan kemungkinan timbulnya respon yang diharapkan. Berdasarkan teori behavioristik tersebut, dikembangkan langkah-langkah pembelajaran seperti di bawah ini. Guru menentukan tujuan pembelajaran. Guru mengidentifikasi pengetahuan awal siswa untuk menentukan materi pelajaran. Guru menyajikan materi pelajaran. Guru memberi stimulus. Guru mengamati respon siswa. Guru memberi penguatan. Teori Belajar Kognitif dan Penerapannya dalam Pembelajaran Teori belajar kognitif dianut oleh pakar-pakar, seperti Piaget, Bruner, dan Ausubel. Menurut teori ini, ada hal yang lebih penting dari sekadar hasil belajar yang berupa perubahan tingkah laku. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak dan melibatkan

proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi melalui pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang telah dimiliki dan terbentuk dalam pikiran berdasarkan pemahaman dan pengalaman sebelumnya. Dalam penerapan teori belajar kognitif, kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar amat diperhitungkan agar aktivitas belajar menjadi lebih bermakna bagi siswa. Prinsip-prinsip belajar yang dianut adalah berikut ini. Siswa mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu sampai mencapai kematangan kognitif seperti orang dewasa. Pembelajaran perlu dirancang agar sesuai dengan perkembangan kognitif siswa. Agar proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi, siswa perlu dilibatkan secara aktif dalam belajar. Pengalaman atau informasi baru perlu dikaitkan dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa untuk menarik minat dan meningkatkan retensi. Belajar memahami akan lebih bermakna daripada belajar menghafal. Perbedaan individual antarsiswa perlu diperhatikan dalam rangka mencapai keberhasilan belajar. Gagasan antarpakar tentang implementasi teori kognitif dalam pembelajaran agak bervariasi. Berikut ini ditampilkan langkah-langkah pembelajaran menurut Piaget. Guru menentukan tujuan pembelajaran. Guru memilih materi pelajaran dan menentukan topik-topik yang dapat dipelajari secara aktif. Guru menentukan kegiatan belajar yang sesuai dengan topik, seperti penelitian, pemecahan masalah, diskusi, simulasi, dsb. Guru melakukan penilaian proses dan hasil belajar. Teori Belajar Konstruktivistik dan Penerapannya dalam Pembelajaran Teori belajar konstruktivistik berasal dari filsafat konstruktivisme yang pada awalnya digagas oleh Mark Baldwin (Sanjaya, 2007). Menurut teori kontruktivistik, pengetahuan merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan, dengan demikian, secara terus-menerus mengalami reorganisasi karena adanyapemahaman-pemahaman baru. Jadi, pengetahuan, menurut teori kontruktivisik tidak dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah memilikinya (guru) ke pikiran orang lain yang

belum memilikinya (siswa). Belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh siswa. Dengan demikian, kendali belajar dapat dikatakan sepenuhnya ada pada siswa. Sementara itu, tugas guru adalah menata lingkungan sehingga memberi peluang optimal bagi terjadinya proses belajar dan membantu agar proses rekonstruksi pengetahuan berjalan lancar. Sebelum aktivitas belajar dimulai, siswa sesungguhnya telah memiliki kemampuan awal. Kemampuan awal itu akan mendasari proses rekonstruksi pengetahuan baru. Oleh karena itu, sesederhana kemampuan awal itu, kemampuan itu harus dijadikan dasar pembelajaran. Teori Kecerdasan Ganda dan Penerapannya dalam Pembelajaran Teori kecerdasan ganda diperkenalkan oleh Howard Gardner sejak 1983. Menurut Gardner, ada sepuluh macam kecerdasan pada setiap individu dengan proporsi yang bervariasi. Biasanya, satu kecerdasan lebih menonjol/kuat dibandingkan kecerdasan lainnya. Kesepuluh kecerdasan itu adalah (1) kecerdasan verbal/bahasa, (2) kecerdasan logika/matematik, (3) kecerdasan visual/ruang, (4) kecerdasan gerak tubuh, (5) kecerdasan musikal/ritmik, (6) kecerdasan interpersonal, (7) kecerdasan intrapersonal, (8) kecerdasan naturalis, (9) kecerdasan spiritual, dan (10) kecerdasan eksistensial. Tidak ada satuan kegiatan manusia yang hanya menggunakan satu macam kecerdasan. Kesepuluh kecerdasan itu bekerja sama secara utuh dan terpadu. Kecerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan lainnya dalam memecahkan masalah. Semua kecerdasan itu dapat ditingkatkan atau dikembangkan. Untuk menyelenggarakan pembelajaran berdasarkan teori intelligensi ganda, ada beberapa langkah yang perlu ditempuh (Suparno, 2004). Langkah pertama adalah mengenali inteligensi ganda siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: (1) dengan tes, (2) dengan mencoba mengajar dengan inteligensi ganda dan mengamati respon siswa terhadap metode tersebut, (3) dengan observasi terhadap apa yang dilakukan siswa di kelas dan di luar kelas, (4) dengan mengumpulkan dokumen yang dibuat oleh siswa. Langkah kedua adalah menyiapkan pengajaran. Dalam menyiapkan pengajaran, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) berfokus pada topik tertentu, (2) mengidentifikasi aspek inteligensi yang mungkin dikembangkan, (3) membuat skema kemungkinan kegiatan yang sesuai dengan topik dan inteligensi yang akan dikembangkan, dan (4) menyusun RPP. Langkah ketiga adalah melaksanakan pengajaran. Pengajaran dilaksanakan dengan apa pun

menerapkan berbagai strategi yang sesuai dengan aspek-aspek inteligensi yang akan dikembangkan. Langkah terakhir adalah melakukan evaluasi. Evaluasi perlu disesuaikan dengan tujuan dan cara pengajaran. Jika guru melaksanakan pengajaran dengan teori inteligensi ganda, evaluasinya pun harus lebih luas dan menyeluruh, bukan hanya menguji satu aspek inteligensi. Penelitian sebagai Upaya Akhir Dari paparan tentang berbagai teori belajar pada bagian sebelumnya, dapat diketahui betapa bervariasinya pandangan para pakar tentang hal yang sama, dalam hal ini adalah tentang belajar. Dalam bidang pendidikan, yang praktiknya dipengaruhi oleh interaksi kompleks berbagai faktor, ada ruang bagi para pakar untuk saling tidak bersepakat tentang sesuatu (Sutama, 2005). Dalam kondisi seperti itu, kita harus mampu mengkaji pendapat para ahli dan mengambil keputusan. Persoalannya adalah, bagaimana pengkajian itu harus dilakukan. Jawabannya adalah pengkajian harus dilakukan melalui penelitian dengan menerapkan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah bersifat objektif, sistematis, dapat diuji, dan relatif tak terpengaruh oleh kepercayaan pribadi, pendapat, dan perasaan. Pendekatan ilmiah menggunakan metodologi yang handal yang dijadikan pijakan bagi pengambil keputusan. Tujuan utama penelitian ilmiah adalah menjelaskan berbagai fenomena, memahami hubungan antarfenomena, dan kemudian menggunakannya untuk memprediksi dan mempengaruhi perilaku (Sutama, 2005). Penjelasan dalam hal ini bermakna pengembangan dan pengujian teori tentang suatu fenomena. Penjelasan memberi informasi yang berkenaan dengan tiga tujuan praktis penelitian, yaitu: mendeskripsikan, memprediksi, dan mengontrol. Deskripsi memberi pengetahuan fundamental tentang sebuah fenomena dan biasanya diperlukan untuk melakukan eksplanasi atau prediksi. Sebelum suatu fenomena diprediksi berdasarkan fenomena yang lain, kedua fenomena itu harus dideskripsikan lebih dahulu. Prediksi sangat penting bagi guru karena ia secara konstan harus membuat keputusan prediktif. Akhirnya, kontrol atas fenomena memberi informasi tentang hubungan sebab-akibat, suatu informasi yang sangat penting yang memberi penjelasan yang bermanfaat dalam berbagai situasi. Ada beberapa jenis penelitian yang dapat dipilih untuk dilakukan oleh guru berdasarkan tujuannya, yaitu: (1) penelitian dasar, (2) penelitian terapan, (3) penelitian evaluatif, dan (4) penelitian pengembangan. Peneltian dasar bertujuan untuk mengembangkan teori. Penelitian dasar dilakukan bukan dengan maksud menerapkan hasilnya dalam situasi praktis. Walaupun demikian,

kontribusinya secara tak langsung untuk situasi praktis tetap ada. Penelitian terapan memiliki sasaran menguji teori dan ide lain dalam latar pendidikan. Fokusnya biasanya adalah masalahmasalah yang memerlukan pemecahan untuk mengembangkan praktik pendidikan. Hasilnya langsung dan segera dapat digunakan untuk mengambil keputusan pendidikan. Penelitian evaluatif diarahkan untuk mengambil keputusan tentang pelaksanaan suatu program: apakah program itu berjalan efektif atau sesuai standar pelaksanaan. Pada banyak kasus, penelitian evaluatif difokuskan pada masalah-masalah, seperti kurikulum mana yang mesti diterapkan, apakah suatu program baru dapat berjalan dengan baik. Penelitian pengembangan bertujuan mengembangkan suatu produk. Produk dalam konteks pembelajaran bisa berupa model pembelajaran, buku ajar, modul, model evluasi, atau media pembelajaran. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di antara Jenis-jenis Penelitian PTK telah menjadi trend baru sejak akhir tahun 90-an sampai sekarang, baik di kalangan mahasiswa LPTK maupun guru, lebih-lebih setelah dimulainya proses sertifikasi guru melalui portofolio, sampai-sampai ada yang beranggapan bahwa untuk mengikuti sertifikasi lewat penilaian portofolio guru harus memiliki laporan PTK. PTK adalah penelitian reflektif mandiri dan berdaur ulang yang dilakukan di dalam kelas dengan tujuan melakukan perbaikan terhadap system, cara kerja, proses, isi, kompetensi, atau situasi (Tantra, 2006). Mungkin ada yang bertanya tentang di mana posisi PTK di antara jenis-jenis penelitian yang telah disampaikan sebelumnya. Jika dilihat dari sisi tujuannya, PTK tergolong penelitian terapan. Dikatakan demikian karena PTK dilaksanakan untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang dihadapi oleh guru di kelas. Ada sepuluh karakteristik yang dimiliki oleh PTK (Syamsudin, 2006). Kesepuluh karakteristik itu adalah berikut ini. Masalah yang dipecahkan merupakan masalah praktis yang dihadapi peneliti dalam kehidupan profesi sehari-hari. Peneliti memberi perlakuan yang berupa tindakan yang terencana untuk memecahkan masalah itu. Langkah-langkah penelitian yang direncanakan selalu dalam bentuk siklus atau berdaur ulang. Adanya langkah berpikir reflektif dari peneliti, baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan tindakan.

Bersifat situasional kontekstual yang terkait dengan mendiagnosis dan memecahkan masalah dalam konteks tertentu. Dilakukan secara kolaboratif, baik dengan sejawat, kepala sekolah, maupun dengan dosen LPTK. Bersifat partisipatori, yakni masing-masing anggota tim ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan penelitiannya. Bersifat self-evaluative, yakni peneliti melakukan evaluasi sendiri secara kontinyu untuk meningkatkan praktik. Bersifat on the spot yang didesain untuk menangani masalah konkret yang ada di tempat itu juga. Temuannya diterapkan segera. PTK dilakukan dengan melalui beberapa langkah. Langkah-langkah yang harus dilalui adalah berikut ini. Peneliti mengidentifikasi masalah yang dihadapinya dalam pembelajaran yang dilaksanakan di kelas. Setelah masalah yang akan ditangani ditetapkan, peneliti merenungkan berbagai kemungkinan penyebab munculnya masalah itu. Berdasarkan hasil diagnosis penyebab timbulnya masalah, dilakukan kajian tentang berbagai alternative pemecahan masalah itu. Di antara beberapa alternatif pemecahan itu, dipilih satu sebagai tindakan yang akan diterapkan. Berbagai persiapan dilakukan untuk melaksanakan tindakan itu, seperti merancang skenario tindakan dan instrumen pendukung implementasi skenario itu. Tindakan dilaksanakan sambil dilakukan observasi terhadap pelaksanaannya dan efeknya. Evaluasi dilakukan terhadap keberhasilan pelaksanaan tindakan dengan berbagai cara. Hasil evaluasi direfleksikan untuk memastikan perlu tidaknya modifikasi tindakan yang akan diterapkan pada siklus berikutnya dalam rangka mencapai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Jika kedelapan langkah di atas disederhanakan, maka sesungguhnya ada empat langkah penting dalam PTK, yaitu: (1) perencanaan, (2) tindakan, (3) observasi dan evaluasi, dan (4) refleksi (Sukardi, 2004; Suyanto dkk, 2006).

Jika dilihat dari tujuan pelaksanaan dan karakteristiknya, PTK memang perlu lebih diakrabi oleh para guru. Dengan PTK, guru akan dapat mengatasi masalah-masalah praktis yang dihadap dalam pembelajaran di kelas sekaligus melakukan inovasi dalam pembelajaran. Penelitian bagi Guru Profesional dalam Era Global Sebagaimana disadari bersama, arus globalisasi telah pula merambah dunia pendidikan dengan berbagai implikasi dan dampaknya, baik positif maupun negatif. Dalam konteks ini, tugas dan peranan guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan sangat penting. Untuk mengemban tugas itu, guru dituntut untuk lebih profesional. Guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehinga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan optimal (Kunandar, 2007). Guru profesional dituntut memiliki empat kompetensi, yaitu: kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial (Republik Indonesia, 2005). Kompetensi profesional memiliki dua subkompetensi, yaitu menguasai substansi keilmuan terkait bidang studi dan menguasai struktur dan metode keilmuan. Indikator subkompetensi kedua ini adalah menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan atau materi bidang studi. Lebih dari seperempat abad yang lalu (1979 -1984), pemerintah, melalui P2LPTK, mengemukakan bahwa seorang guru prefesional harus mampu memenuhi sejumlah syarat, yang satu di antaranya adalah mampu menjadi guru-peneliti (teacher-researcher) (Sumarsono, 2004). Berangkat dari tuntutan di atas, merupakan keharusan bagi guru profesional untuk melakukan penelitian, lebih-lebih dalam era global. PENUTUP Memasuki era global, tuntutan pengembangan SDM semakin tinggi. Untuk memenuhi tuntutan itu, guru secara terus-menerus perlu melakukan inovasi dalam melaksanakan pembelajaran. Gagasan pembelajaran inovatif dapat diperoleh dari berbagai sumber, yaitu: pengalaman, para pakar, dan penelitian ilmiah.Dari ketiga sumber itu, sumber ketiga merupakan yang terbaik. Itulah sebabnya guru perlu melakukan penelitian, lebih-lebih dengan adanya tuntutan dimilikinya kompetensi profesional oleh seorang guru.

DAFTAR PUSTAKA Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran.Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Kunandar. 2007. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Leksono, Ninok. 2008. Rapat Virtual dan Cara Kerja Modern. Dalam KOMPAS, 026 (44): 1. Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depatemen Pendidikan Nasional RI. Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta. Sukardi.2004. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara. Sumarsono. 2004. Otonomi Pendidikan. Jakarta: Komisi Pendidikan KWI. Suparno, Paul. 2004. Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sutama, I Made. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan (Buku Ajar Tidak Diterbitkan). Suyanto, Kasihani K. dkk. 2006. Metodologi Penelitian Tindakan Kelas (Makalah Tidak Diterbitkan). Syamsudin AR dan Damaianti, Vismaia S. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tantra, Dewa Komang. 2006. Konsep Dasar dan Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Makalah Tidak Diterbitkan).

11

You might also like