You are on page 1of 130

STRUKTUR SPASIAL WILAYAH PHERI URBAN SEBAGAI SISTEM DARI TATA RUANG KOTA

Posted December 28, 2009 by syahriartato Categories: Uncategorized

Abstrak Penulisan ini mengangkat judul tentang Struktur Spasial Wilayah Pheri Urban sebagai sub sistem dari suatu tata ruang kota. Dan akan mengulas lebih mendalam mengenai struktur keruangan wilayah pheri urban menyangkut tentang dimensi presentase bentuk pemanfaatan lahan kedesaan, dimensi presentase bentuk pemanfaatan lahan perkotaan. Daerah pinggiran kota adalah suatu daerah yang juga dikenal sebagai daerah urban-fringe atau daerah peri-urban atau nama lain yang muncul kemudian merupakan daerah yang memerlukan perhatian yang serius karena begitu pentingnya daerah tersebut terhadap peri kehidupan baik desa maupun di kota dimasa yang akan datang. Berbagai dimensi kehidupan dikemukakan secara sistematik agar memudahkan pembaca merasa mudah mengikuti alur pemikiran yang dibangun.Dalam wilayah pheri urban secara fisik morfologis inilah sifat-sifat baik kedesaan dan kekotaan non fisikal menunjukkan intensitas yang jelas, sehingga secara akademik, para peneliti dapat menggunakannya sebagai dasar identifiksi wilayah. Karena wilayah ini bersifat multidimensional sehingga sangat menarik berbagai disiplin ilmu. Ciri khas wilayah ini sangat istimewa yang tidak dimiliki oleh wilayah lain yaitu dalam hal keterkaitan yang begitu besar dengan aspek kehidupan kota maupun desa yang tercipta secara simultan. Dalam beberapa hal ini sifat kekotaan terlihat lebih menonjol. Perpaduan sifat kedesaan dan kekotaan inilah yang menarik untuk dibahas, dan hal ini menjadi sedemikian penting untuk dikemukakan, karena pemahaman struktur keruangan wilayah pheri urban akan memfasilitasi dalam pemahaman kekuatan kekuatan yang berperan mengubah performa dari berbagai perspektif. Dan bagian ini akan dikemukakan mengenai latar belakang permasalahan yang dihadapi wilayah pheri urban dan pentingnya studi wilayah pheri urban secara umum dan khusus di Indonesia. A. Pendahuluan Sejarah perkembangan studi wilayah pheri urban adalah Studi yang pertama kali mulai menyinggung WPU adalah studi yang dikemukakan oleh Von Thunen pada tahun 1926. Teorinya dikenal dengan The Isolated State Theory. Wilayah Pheri Urban yang disinggung adalah pola pemanfaatan lahan yang terbentuk berkaitan dengan pertimbangan biaya transportasi, jarak dan sifat komoditas. Oleh karena fakta empiris membuktikan bahwa keberadaan kota dan wilayah pheri urban sangat bervariasi adanya ditinjau dari segi fisikal, maka untuk membahas teorinya. Pada prinsipnya, wilayah pheri urban didominasi oleh lahan pertanian dimana jenis komoditas yang diusahakan oleh petani membentuk pola keruangan yang khas. Perkembangan kotanya didominasi oleh bentuk perkembangan konsentris dan terjadi sangat lambat dan bahkan terkadang stagnan karena kotanya dibatasi oleh benteng yang dibangun pada

masa sebelumnya untuk masa maksud pertahanan dan pada kasus ini perkembangan kotanya bersifat sentripental dalam wujud pemadatan bangunan (densifikasi) bangunan. Fakta empiris menunjukkan bahwa perkembangan fisik kota yang substansial terjadi sejalan dengan perkembangan teknologi transportasi dan telekomunikasi. Pada perkembangan selanjutnya, muncul ide ide baru dan berkembang sebagai teori teori baru . Walaupun belum secara khusus atau eksplisit mengemukakan mengenai wilayah pheri urban, namun sudah membahas kondisi wilayah pheri urban sendiri. Pada saat itu belum muncul istilah khusus yang mengacu pada wilayah pheri urban. Baru pada dekade abad 20, muncul istilah yang diperkenalkan oleh Gaplin (1915) mengenai wilayah pheri urban yaitu istilah urban. Istilah tersebut merupakan akronim dari kata rural dan urban yang pada awalnya digunakan untuk menunjukkan suatu wilayah kedesaan yang mengalami perubahan menuju sifat kekotaan. Kemunculan istilah baru tersebut sangat menarik perhatian para pemerhati wilayah perkotaan dan wilayah, sehingga mengundang munculnya studi baru dan memunculkan konsep-konsep baru pula. Beberapa tahun setelah itu bermunculan teori-teori baru mengenai kota dan sekitarnya (Yunus, 2008 : 42). B. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan Tujuan dari penulisan ini adalah: Menjelaskan faktor faktor yang mempunyai pengaruh substansial terhadap dimensi pembentuk pemanfaatan lahan dalam stuktur spasial wilayah urban. Menjelaskan teori-teori yang menyangkut struktur spasial wilayah pheri urban.

2. Kegunaan Kegunaan penyusunan ini adalah untuk mengetahui sejarah perkembangan studi wilayah pheri urban, mengetahui metoda pendekatan sistem yang dimanfaatkan untuk delimitas sub zona wilayah pheri urban serta untuk mengetahui dimensi bentuk pemanfaatan lahan di dalam struktur spasial wilayah pheri urban sebagai sub sistem suatu tata ruang kota. C. Pembahasan Seperti telah dikemukakan oleh banyak pakar mengenai studi kota, bahwa pada masa yang akan datang kebanyakan penduduk di dunia ini akan bertempat tinggal di kota. Hal ini didasarkan oleh kenyataan bahwa jumlah penduduk kota kota di dunia mempunyai kecendrungan makin besar. Sebagian besar penduuk kota yang baru tersebut akan menempati lahanlahan yang berada di sekitar lahan terbangun, karena keberadaan lahan lahan kosong yang dapat dimanfaatkan untuk permukiman di bagian dalam kota sudah sangat terbatas adanya atau bahkan sudah hilang sama sekali. Makin banyaknya jumlah penduduk yang menempati wilayah pheri urban ini dengan sendirinya akan membawa komsekuensi keruangan, sosial, ekonomi, kultural dan biofisikal di

wilayah pheri urban. Oleh karena latar belakang kondisi wilayah phei urban yang sangat bervariasi dari satu kota ke kota yang lain, maupun dari negara yang satu dengan negara lain, maka dapat dipastikan bahwa kondisi spasial, ekonomi, sosial, kultural dan lingkungan biofisikal yang terpengaruh oleh adanya perkembangan kota akan bervarisasi pula. Bertambahnya penduduk akan selalu diikuti oleh bertambahnya bangunan bangunan pemukiman maupun bukan permukiman. Bangunan bangunan non permukiman merupakan bangunan yang mengakomodasikan kegiatan kegiatan baru yang menyartai, seperti kegiatan ekonomi, sosial, kultural dan politik. Terlepas dari sudut kepentingan mana sebuah negara memandang, baik antagonis maupun protogonis mengenai hilangnya lahan pertanian di WPU tersebut, ternyata ada kesamaan pandangan bahwa sebaiknya perlu ada pengelolaan yang mengatur hal tersebut agar WPU sebagai wilayah pra- urban mampu menciptakan suasana kehidupan kekotaan yang ada pada saat ini. Dinamika wilayah pheri urban yang menyangkut proses perubahan berbagai elemen kehidupan ternyata telah menciptakan struktur spasial yang khas di WPU sendiri. Pengenalan struktur spasial WPU merupakan tahap awal mengenali berbagai permasalahan yang muncul di wilayah pheri urban. Pemahaman mengenai hal tersebut dapat dijadikan landasan untuk merumuskan berbagai kebijakan untuk mengantisipasi kecendrungan perkembangannya di masa yang akan datang (Yunus, 2008 : 91). 1. Pendekatan Sistem Secara garis besar, terdiri beberapa pendekatan sistem yang dapat dimanfaatkan untuk delimitas subzona wilayah pheri urban yaitu : a. Pendekatan Administratif Teknik ini adalah suatu cara untuk mendelitimasi subzona spasial wilayah pheri urban yang mendasarkan pada eksistensi unit administrasi sebagai unit analisis (analitical units) dan data mengenai bentuk pemanfaatan lahan. Secara teoritis, makin kecil unit analisisnya makin akurat identifikasi subzona yang dilakukan dan makin luas unit administrasi yang digunakan makin kurang akurat hasilnya. Sebagai contoh aplikasi pendekatan ini adalah zonifikasi sebagian wilayah pheri urban di daerah pinggiran kota Yogyakarta. Oleh karena penelitiannya dibatasi pada desa-desa yang berbatasan langsung dengan kota Yogyakarta secara administratif maka hasil yang diperoleh adalah jalur membingkai kota Yogyakarta. Walaupun secara administratif, desa-desa penelitian berbatasan langsung dengan kota Yogyakarta ternyata status spasial yang diperoleh menunjukkan variasi yang cukup besar. Pendekatan administratif ternyata tidak hanya dapat digunakan untuk identifikasi wilayah pheri urban atas dasar proporsi luasan bentuk pemanfaatan lahan semata, namun dapat pula digunakan untuk identifikasi wilayah pheri urban atas dasar proporsi jumlah penduduk atas dasar mata pencahariannya (Yunus, 2008 : 34). b. Pendekatan Fisikal Teknik ini merupakan cara identifikasi subzona wilayah pheri urban atas dasar unit-unit fisikal sebagai unit analisis. Cara ini dilaksanakan dengan cara mengenali unit analisis atas dasar batas-

batas fisikal yang ada seperti kenampakan linear (jalan, saluran air) sehingga tergambarkan blokblok unit analisis. Di dalam masing-masing blok kemudian dihitung mengenai proporsi bentuk pemanfaatan lahannya. Masing-masing unit analisis akan menampilkan proporsi bentuk pemanfaatan lahan kedesaan maupun lahan kekotaan. Batas fisikal kota koinsiden dengan batas administrasi kota. Konsdisi seperti ini disebut sebagai, True Bounded City. Memang, dalam perencanaan tata ruang kota akan memudahkan pemerintah kota, karena seluruh areal kekotaan berada pada batas-batas administrasi kota. Mengingat bahwa pada masa mendatang kota yang bersangkutan selalu akan bertambah luas arealnya, maka kerja sama/koordinasi kerja dengan pemerintah daerah dalam mengsinkronkan perencanaan tata ruang kota. Permasalahan hubungan antara batas kota secara administratif dan batas kota secara fisikal ini juga mempunyai dampak dalam analisis urbanisasi. Untuk kota yang bersifat True Bounded analisis urbanisasi tidak mengalami kesulitan karena semua nampak kekotaan sesuai dengan batas administrasi kota (Yunus, 2008 : 39). c. Pendekatan Sel/Sistem Grid Pendekatan ini menekankan pada eksistensi unit analisis yang dibentuk berdasarkan garis-garis konseptual yang dibuat secara vertikal dan horizontal pada suatu peta yang menggambarkan sebaran bentuk pemanfaatan lahan. Istilah pendekatan sel mengandung pengertian bahwa cara ini akan menghasilkan sel/kotak-kotak sebagai unit analisis dengan luasan tertentu yang dihasilkan oleh garis-garis vertikal maupun horizontal yang dibuat (Yunus, 2008 : 40). d. Pendekatan Ekologi Faktorial Istilah factorial ecology sendiri termasuk baru di dalam studi kota yang digunakan untuk menganalisis struktur keruangan kota (urban spatial structure) dengan menggunakan analisis faktor sebagai tekniknya. Memang dari pendekatan ini dimungkinkan mampu menggambarkan kota-kota secara lebih detail, namun cara ini dengan metode-metode induktifnya belum tentu menjamin generalisasi pola struktur sosial dan keruangan kota yang lebih baik (Yunus, 2000 : 238) 2. Wilayah Pheri Urban berada diantara Pure Urban Land Use dan Pure Rural Land Use sehingga timbul dimensi penilaian Dimensi penilaian tersebut antara lain : a. Dimensi Presentase jarak dari / ke batas 100% lahan kekotaan atau lahan kedesaan. Batas terluar wilayah pheri urban di setiap sisi tidak selalu mempunyai jarak yang sama ke/dari lahan perkotaan terbangun dan hal ini sangat tergantung dari kondisi keruangan masing-masing bagian. Dengan demikian ada beberapa faktor yang mempunyai pengaruh substansial terhadap dekat jauhnya jarak batas terluar WPU dari lahan terbangun, yaitu : 1. Faktor aksesibilitas; 2. Faktor topografis; 3. Faktor kendala alami; 4. Faktor telekomunikasi; 5. Faktor jaringan kelistrikan dan 6. Faktor politis. Faktor aksesibilitas fisikal mempunyai pengaruh substansial terhadap penjalaran nilai-nilai kekotaan ke arah daerah perdesaan. Aksesibilitas fisikal yang

ditentukan oleh keadaan prasarana dan sarana transportasi. Makin baik kondisi prasarana transportasi dan sarana transportasi dari daerah perkotaan ke daerah perdesaan dapat dikatakan makin tinggi aksesibilitasnya dan akibatnya, maka makin jauh pula jarak pengaruh kota terhadap daerah di sekitarnya. Faktor topografis juga mempunyai peranan yang besar terhadap jarak batas terluar wilayah pheri urban. Pada umumnya faktor topografis juga terkait dengan aksesibilitas fisikal sehingga pada bagian-bagian wilayah pheri urban yang ditandai oleh kondisi topografis yang terjal akan berbeda dengan bagian yang mempunyai kondisi topografis yang datar. Faktor telekomunikasi dalam beberapa hal dapat mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam penjalaran ide/nilai-nilai kekotaan dari kota ke desa. Oleh karena telekomunikasi mampu menghubungkan daerah satu ke daerah lain tanpa terkendala oleh halangan fisikal, maka bagian wilayah-wilayah yang terpencil secara fisikal sekalipun akan mampu terjangkau selama alat telekomunikasinya tersedia. Faktor jaringan listrik mempunyai imbas yang besar di dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya di daerah perdesaan. Sebenarnya, intensitas penjalaran nilai-nilai kekotaan melalui media elektronik sangat erat terkait dengan masuknya jaringan kelistrikan ke daerah perdesaan. Munculnya berbagai bentuk pemanfaatan lahan nonpertanian akan sangat mempengaruhi penentuan batas terluar dari wilayah peri urban. Faktor politis berkaitan erat dengan kebijakankebijakan pemerintah dalam pemanfaatan lahan. Untuk negara-negara maju dengan formulasi dan aplikasi tata ruang yang mapan, konsisten dan konsekuen penentuan batas terluar wilayah peri urban dapat ditentukan dengan cara antara lain moratorial, zoning regulation, green belt policies, dan beberapa kebijakan keruangan lainnya (Yunus, 2008 : 115). b. Dimensi persentase bentuk pemanfaatan lahan kedesaan Dimensi ini mengungkapkan proporsi bentuk pemanfaatan kedesaan yang ada dibandingkan dengan bentuk pemanfaatan lahan kekotaan. Bentuk pemanfaatan lahan kedesaan dalam hal ini diekspresikan sebagai bentuk pemanfaatan agraris dan selebihnya itu merupakan bentuk pemanfaatan lahan nonkedesaan atau dikenal sebagai bentuk pemanfaatan kekotaan. Bagian terluar dari wilayah peri urban ditandai oleh proporsi lahan kedesaan 100% yang kearah luar merupakan wilayah kedesaan sebenarnya dan kearah dalam merupakan wilayah peri urban.oleh karena wilayah peri urban meliputi daerah yang sangat luas, maka penghitungan proporsi lahan kedesaan tersebut memerlukan metode tertentu. Oleh karena wilayah peri urban terdiri dari rural fringe dan urban fringe, maka proporsi lahan kedesaan yang menjadi indikator batas antara keduanya adalah 50% lahan kedesaan. Hal ini berarti bahwa apabila proporsi lahan kedesaan yang ada di atas 50% berarti bagian ini termasuk ke dalam rural fringe dan apabila proporsinya tercatat kurang dari 50% maka bagian tersebut akan dikategorikan sebagai urban fringe (Yunus, 2008 : 121). c. Dimensi persentase bentuk pemanfaatan lahan perkotaan Bentuk pemanfaatan lahan perkotaan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah lahan nonagraris dalam arti luas. Seperti diketahui bahwa intensitas bangunan-bangunan atau bentuk pemanfaatan lahan nonpertanian/bentuk pemanfaatan lahan urban di wilayah peri urban tidak akan sama di seluruh bagian. Ada bagian tertentu yang sangat intensif, namun ada bagian yang lain yang tidak

intensif. Munculnya bangunan sebagai ekspresi bentuk pemanfaatan lahan non agraris sejalan dengan akselerasi konversi bentuk pemanfaatan lahan agraris ke bentuk pemanfaatan non agraris. Secara umum akan terlihat bahwa makin mendekati lahan kekotaan terbangun, maka akan semakin intensif pembangunan dan makin besar proporsi bentuk pemanfaatan lahan kekotaan dan begitu pula sebaliknya. Gambaran seperti ini akan tampak jelas pada kota-kota yang perkembangan fisikalnya didominasi oleh apa yang disebut sebagai perkembangan konsentris (concentric development). Bentuk perkembangan ini merupakan bentuk perkembangan yang paling lambat dibandingkan dengan bentuk-bentuk perkembangan yang lain. Perkembangan fisikalnya terjadi secara gradual sentrifugal di semua sisi-sisi lahan terbangun yang sudah ada. Sebagaimana upaya untuk mengidentifikasi wilayah peri urban dari sisi persentase proporsi bentuk pemanfaatan lahan kedesaan, upaya untuk mengidentifikasi proporsi bentuk pemanfataan lahan kekotaan. Secara diskrit memang sangat sulit untuk menemukenali batas antara urban fringe dan rural fringe. Oleh karena kondisi urban fringe dan rural fringe sebenarnya tidak semata dicirikhasi oleh bentuk pemanfaatan lahan dan suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa makin banyak faktor determinan maka makin kuat suatu bagian wilayah peri urban menjadi magnet bagi fungsi-fungsi kekotaan (Yunus, 2008 : 122). Jika dikaitkan dengan konsep wilayah pheri urban maka ada keterkaitan pada konsep kota modern. Kota modern adalah tempat para penghuninya mengaktualisasikan diri mereka secara berkelompok, tapi terutama secara individual, tanpa harus menginjak-injak hak kelompok atau individu lain. Sebuah masyarakat urban seperti hanya dapat terbentuk bila setiap kelompok sosial-religius atau etnis melepaskan klaim mereka akan sifat absolut sistem nilai yang mereka anut. Setiap kelompok harus mampu menekankan sebagian kepeningan kelompok mereka sendiri, demi terbentuknya komunitas urban yang heterogen secara etnis-religius tetapi homogen secara urban kultural. Kepentingan komunitas urban scara keseluruhan harus diberi prioritas utama dan dimenangkan terhadap kepentingan spesifik kelompok manapun, termasuk kelompok mayoritas (Santoso, 2006 : 84) 3. Teoriteori yang menjadi landasan dalam studi wilayah pheri urban a. Teori Trade off (clark) Menurut Clark (1982) pembahasan terjadinya concentric rings jenis-jenis tata guna lahan di wilayah pheri urban adalah wacana ekonomi dan pada masa selanjutnya model pembahasan tersebut dikenal dengan trade off. Model yang dikemukakan didasarkan pada asumsi seperti yang telah dikemukakan oleh Von Thunen, sebagai berikut : 1) Bahwa kota yang bersangkutan hanya mempunyai satu pusat kegiatan saja atau satu CBD dan semua kesempatan kerja hanya berada di bagian ini dan semua transaksi jual beli barang hanya berlangsung di bagian pusat ini. 2) Bahwa di daerah di sekitar kota merupakan daerah yang datar homogen. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya gradasi ongkos transport yang teratur proporsional ke dan dari pusat kota dan hal inilah yang mirip dengan apa yang dikemukakan oleh von thunen mengenai homoginitas kondisi lingkungan fisik di bagian wilayah pheri urban dalam kaitannya dengan

usaha pertanian. Homoginitas tanah dalam hal kegiatan pertanian yang homogin memungkinkan petani tidak mempunyai pilihan lain, karena dimana-mana mempunyai kemampuan yang sama. 3) Bahwa ongkos transport ke dan dari pusat kota menunjukkan gradasi yang proporsional ke segala arah dan bagian pusat kota merupakan tempat dimana derajad kemudahan untuk menjangkaunya (aksesibilitas) yang paling tinggi. 4) Bahwa keberadaan lahan akan dijual kepada pihak pihak yang mempunyai penawaran yang paling tinggi yang berarti bahwa semua pihak yang ada di kota mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan lokasi yang dianggap menguntungkan dan tidak ada persaingan yang bersifat monopolistik. 5) Bahwa pemerintah tidak mengadakan intervensi dalam hal persaingan bebas pemasaran lahan, serta tidak ada kebijakan kebijakan tertentu yang mampu mengubah performa lahan, seperti zoning regulation dan lain sejenisnya. Secara berturut-turut, zona cincin konsentris yang tercipta adalah (1) zona paling dalam merupakan inti dari cincin-cincin yang terbentuk dan merupakan bagian pusat kota yang merupakan daerah dengan fungsi komersial; (2) zona berikutnya merupakan cincin yang melingkari zona paling dalam dan merupakan zona yang ditempati oleh fungsi residensial; (3) zona paling luar merupakan cincin dengan fungsi utama industrial. Walaupun secara eksplisit tidak dikemukakan mengenai fungsi-fungsi mana sebenarnya yang berkembang di wilayah pheri urban, namun dalam uraiannya dapat diketahui bahwa cincin kedua dan ketiga sebagian atau seluruhnya merupakan fungsi yang telah dan atau sedang berkembang di wilayah pheri urban. Di bagian pusat kota atau zona inti , yang bukan termasuk ke dalam wilayah pheri urban, merupakan daerah yang paling tinggi aksesibilitasnya dan kondisi ini paling dibutuhkan oleh fungsi komersial. Oleh karena perkembangan fungsi ini sangat tergantung dari banyaknya custemors yang dapat menjangkau daerahnya, maka faktor tingginya aksesibilitas menjadi suatu hal yang sangat menentukan terhadap perkembangan fungsi ini, sehingga fungsi ini mau memberikan penawaran tertinggi terhadap lokasi yang dianggap paling ideal dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya seperti fungsi residensial dan industrial. Hal inilah yang menyebabkan terciptanya gradien yang sangat curam dalam kaitannya dengan jarak dari pusat kota. Sementara itu pada cincin pertama yang terbentuk melingkari zona inti, didominasi oleh fungsi residensial. Pada subzona cincin pertama didominasi oleh fungsi residensial dihuni oleh golongan berstatus ekonomi rendah sampai menengah bawah, karena para penghuni memprioritaskan bertempat tinggal dekat dengan tempet dimana mereka bekerja / dekat pusat kota dimana kesempatan kerja berada. Oleh karena kemampuan membayar sewa lahannya juga lebih rendah, maka gradien grafik yang terbentuk juga sedikit mendatar namun dalam luasan yang agak besar. Untuk golongan yang berstatus ekonomi tinggi, mempunyai opsi yang lebih luas. Apakah mereka akan bertempat tinggal di dekat pusat kota yang fasilitas kehidupannya paling lengkap dengan konsekuensi sewa lahan yang mahal. Berdasarkan beberapa penelitian memang ada kecendrungan bahwa golongan ini memilih bertempat tinggal di daerah pinggiran kota/peripheral locations atau bagian dari wilayah pheri urban yang fasilitasnya kurang, namun memberikan tawaran kepuasan dalam hal kenyamanan bertempat tinggal. Disinilah pemaknaan trade-off berada untuk golongan berstatus sosial tinggi berada. Zona paling luar merupakan zona

yang didominasi oleh fungsi industrial. Zona yang ditempati oleh fungsi industrial, menurut rasional yang dikemukakan membutuhkan lahan yang luas serta faktor aksesibilitas juga menjadi bahan pertimbangannya. Oleh karena bangunan bangunannya relatif berskala besar, maka daerah dimana masih tersedia lahan yang dapat mengakomodasikan bangunan bangunan besar adalah pilihannya. Disamping itu, kemudahan untuk mengangkut bahan mentah (raw material) dan hasil produksi dalam jumlah besar menjadi pertimbangan utamanya. Oleh karena itulah, maka fungsi industrial menempati ring terluar. Di kebanyakan negara, perkembangan fungsi ini mendominasi bangunan bangunan di daerah pinggiran kota yang berselang seling dengan fungsi-fungsi residensial. Dua hal menarik untuk dikemukakan terkait dengan teori trade-off ini adalah pertama memberikan dasar penalaran bagi teori konsentirs yang dikemukakan oleh Burgess mengenai struktur internal kota yang terkenal dengan teori konsentris merupakan pionir pembahasan struktur tata ruang internal kota yang mampu memicu munculnya teori-teori baru. Hal menarik kedua terkait dengan dasar penalaran perubahan kekotaan yang terjadi di dalam struktur internalnya, adalah pembahasan yang mengaitkan antara fungsi-fungsi Bid-rent dengan tahapan-tahapan siklus keluarga di kota. Hal kedua ini, kemudian mendasari penalaran yang dikemukakan dalam teori yang dikenal dengan sosial area analysis (Yunus, 2008 : 99) Gambar 1. Model sebaran spasial (trade of model) di WPU ( Clark) b. Teori Land Use Triangle : Discrete (Robin Pryor) Pryor (1971) mengemukakan tesisnya tentang wilayah pheri urban atas dasar parameter yang terukur, yaitu mengenai proporsi bentuk pemanfaatan lahan. Pada masa sebelumnya, belum pernah ada konsep yang jelas mengenai keberadaan wilayah pheri urban itu sendiri serta bagaimana karakteristik soasial yang dapat diamati di lapangan. Berdasarkan fakta empiris yang dikemukakan oleh para peneliti terdahulu, dapat disimpulkan bahwa karakteristik wilayah pheri urban yang merupakan perpaduan antara karakteristik kekotaan dan karakteristik kedesaan muncul dalam ekspresi ekonomi, sosial, kultural dan spasial. Kemajaun teknologi transportasi dan informasi telah mengakibatkan penjalaran ide-ide, nilai-nilai, norma-norma kekotaan mampu menjangkau daerah yang relatif terisolir dalam artian fisikal dan dalam beberapa hal telah mampu mengubah sifat kedesaan menjadi sifat semi kekotaan atau bahkan kekotaan sepenuhnya. Berdasarkan proporsi keberadan lahan kekotaan dan lahan kedesaan dapat diketahui mengenai struktur spasial wilayah pheri urban. Menurut Pryor struktur spasial wilayah pheri urban dibedakan dalam 2 kategori yaitu urban fringe di satu sisi dan rural fringe di sisi yang lain yang didasari oleh kenyataan bahwa WPU merupakan wilayah yang berada diantara wilayah yang berkenampakan kekotaan seratus persen dan wilayah berkenampakan kedesaan seratus persen. Kenampakan wilayah dalam hal ini diartikan sebagai kenampakan fisikal lahan (land scape) yang diaktualisasikan dalam bentuk pemanfaatan lahan. Bentuk pemanfaatan lahan adalah kenampakan fisikal sebagai cerminan kegiatan manusia diatasnya dan hal adalah langkah awal dalam mengenali berbagai atribut wilayah yang berasosiasi dengan kenampakan fisikal bentuk pemanfaatan lahan seperti karakteristik demografis, kultural, ekonomi dan sosial. Berdasarkan fakta empiris, makin ke arah lahan kekotaan terbangun, makin intensif perubahan bentuk pemanfaatan lahan dari bentuk

pemanfaatan lahan kedesaan menjadi bentuk pemanfaatan lahan kekotaan dan begitupula sebaliknya. Oleh karena model diagramatik yang dikemukakan berujud segitiga bentuk pemanfaatan lahan, maka didalamnya memuat tiga dimensi penilaian yang digunakan untuk mengidentifikasi batas terluar dari masing-masing subzona. Tiga dimensi penilaian tersebut adalah (1) presentase jarak dari/ ke batas 100% kenampakan kekotaan atau ke batas 100% kenampakan kedesaan; (2) presentase proporsi lahan kedesaan dan (3) presentase proporsi lahan kekotaan (Yunus, 2008 : 111) Gambar 2. Model Zonifikasi WPU Negara Maju atas dasar Bentuk pemenfaatan lahan

Legenda A : percentage Distance Urban to Rural land B : Percentage Urban land Use C : Percentage Rural Land Use D : Boundari Of Built-Up Urban Area E : Boundari Of Built-Up Rural Land F : Rural Urban Fringe G : Urban Fringe H : Rural Fringe 1. 4. Studi Kasus Perkembangan wilayah pheri urban di Yogyakarta Pemahaman mengenai wilayah pheri urban di Negara Negara maju menghasilkan keragaman teori yang berbeda-beda serta istilah yang berbeda-beda pula. Walaupun esensi yang dikemukakan tidak menampilkan perbedaan yang signifikan, namun beberapa diantaranya terkadang memunculkan pemahaman yang sedikit menimbulkan kerancuan, apalagi apabila kacamata yang digunakan adalah kondisi WPU di Negara berkembang. Salah satu contoh kasus perkembangan WPU yaitu di kota Jogjakarta dengan mengambil kasus beberapa desa yang berbatasan langsung dengan kota Yogyakarta sebagai bagian paling dinamis dari WPU nya. Dengan mendasarkan zonifikasi yang ada, ternyata kecendrungan perkembangan kota baik ditilik dari segi fisikal maupun dari segi demografis dapat diketahui dengan jelas. Hal ini sangat penting dipahami para pemerhati masalah perkotaan, khususnya penentu kebijakan, keruangan dalam rangka pengendalian perkembangan kota sehingga sejak dini dapat diketahui

kemungkinan timbulnya dampak negative terhadap lingkungan dan sejak dini pula dapat melakukan langkah-langkah antisipatif untuk mengatasinya Gambar 3. Zonifikzsi WPU kota Yogyakarta atas dasar bentuk pemanfaatan lahan. kasus kota Yogyakarta tahun 1988 kasus kota Yogyakarta tahun 1998

Gambar 4. Zonifikzsi WPU kota Yogyakarta atas dasar komposisi mata pencaharian kasus kota Yogyakarta tahun 1988 kasus kota Yogyakarta tahun 1998

Memang dalam tataran praktik dan kemajuan teknologi seseorang dapat memantau kecendrunagn kota dengan menggunakan alat bantu foto udara atau remote sensing imageries lainnya, namun hal ini hanya dapat mengungkapkan perkembangan fisikal kekotaannya dan bukan kecendrungan perkembangan sosio demografinya. Kecendrungan perkembangan fisikal tidak selalu konsiden dengan perkembangan sosio demografis sehingga dengan mengetahui kecedrungan perkembangan kota dari dimensi yang berbeda-beda dharapkan dapat menjadi dasar yang menjadi kukuh untuk penyusunan kebijakan antisipasi baik dari segi spasial, fisikal, sosial, ekonomi dan kultura. Sebagai contoh yang dapat dikemukakan disini adalah kasus kota Yogyakarta. Perkembangan spasial fisikal yang terjadi yaitu kearah utara, baik ke arah timur laut maupun kearah barat laut walaupun insentitas perkembangannya berbeda-beda. Di bagian barat laut diidentifikasi peralihan status dari zobidekot menjadi zobikodes sedangkan dari bagian timur laut teridentifikasi perubahan dari zobikodes menjadi zobidekot. Hal ini mengindikasikan bahwa kea rah itu pula terjadi konversi lahan-lahan pertanian paling banyak terjadi. Sementara itu, di bagian tenggara tidak menunukkan perubahan status sifat kkotaan yang berarti. Namun demikian, ditilik dari sisi lain, yaitu sosio demografis ternyata ke arah barat daya menunjukkan perubahan sosio demografis yang sangat signifikan dari status zobides ke status zobikot dan hal ini tidak terdeteksi dari kecendrungan perkembangan fisikal. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan struktual sosio demografis yang signifikan di bagian barat daya. Demikian pula halnya di bagian utara juga terlihat perubahan yang sangat sgnifikan, dari semula bersifat zobikodes di bagian utara pada tahun 1988 menjadi bersifat zobikot pada tahun 1998 yang berarti sifat kekotaan semakin tampak dengan jelas dari segi kpmposisi demografisnya, khususnya mengenai mata pencahariannya. Sementara itu di bagian-bagian lain seperti di bagian barat tampak belum menunjukkan perubahan yang berarti dan signifikan. Apabila hal ini tidak diikuti oleh adanya konversilahan pertanian menjadi lahan non pertanian yang signifikan dapat dipastikan bahwa di bagian ini telah terjadi densifikasi pemukuman yang substansial da hal ini sangat perlu di monitor, karena densifikasi yang tidk terkontrol merupakan biang keladi terciptanya kekumuhan dalam pemukiman dan deteriorisasi lingkungan. Oleh karena formulasi kebijakan pengendalian kota tidak hanya mendasarkan pada satu dimensi saja,

maka keberadaan media yang dapat membantu mengenali kecendrunga perkembanagan kota dari berbagai dimensi akan lebih bermanfaat. (Yunus, 2008 : 153). D. Kesimpulan 1. Sejarah perkembangan studi wilayah pheri urban adalah Studi yang pertama kali mulai menyinggung WPU adalah studi yang dikemukakan oleh Von Thunen pada tahun 1926. Teorinya dikenal dengan The Isolated State Theory 2. Pendekatan Sistem Secara garis besar, terdiri beberapa pendekatan sistem yang dapat dimanfaatkan untuk delimitas subzona wilayah pheri urban yaitu :

Pendekatan administratif Pendekatan fisikal Pendekatan sel/sistem grid Pendekatan ekologi faktorial

3. Wilayah Pheri Urban berada diantara Pure Urban Land Use dan Pure Rural Land Use sehingga timbul dimensi penilaian Dimensi penilaian tersebut antara lain :

Dimensi Presentase jarak dari / ke batas 100% lahan kekotaan atau lahan kedesaan Dimensi persentase bentuk pemanfaatan lahan kedesaan Dimensi persentase bentukpemanfaatan lahan perkotaan

E. Daftar Pustaka Santoso, Jo. 2006. Menyiasati kota tanpa warga. KPG dan Centropolis : Jakarta Yunus, H.S. 2008. Dinamika Wilayah Peri-Urban Determinan Masa Depan Kota. Pustaka Pelajar : Yogyakarta _______. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar : Yogyakarta _______. 2005. Manajemen Kota Prespektif Spasial. Pustaka Pelajar : Yogyakarta Comments: Be the first to comment

TATA GUNA LAHAN-SISTEM TRANSPORTASI SEBAGAI SUBSISTEM DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN

Posted December 28, 2009 by syahriartato Categories: Uncategorized

Abstrak Penulisan ini berjudul tentang Tata Guna Lahan dan Sistem Transportasi sebagai sub system dalam Perencanaan Pembangunan yang berkelanjutan yang membahas mengenai keterkaitan antara sistem guna lahan dengan system transportasi dalam melakukan pembangunan yang berkelanjutan.Transportasi merupakan salah satu kunci perkembangan bagi wilayah perkotaan. Kota yang baik dapat ditandai, antara lain, dengan melihat kondisi transportasinya. Transportasi yang aman dan lancar, selain mencerminkan keteraturan kota, juga mencerminkan kelancaran kegiatan perekonomian kota. Akan tetapi terdapat kecenderungan dengan berkembangnya suatu kota bersamaan pules dengan berkembangnya masalah transportasi yang terjadi. Kemacetan (congestion), keterlambatan (delay), polusi udara, polusi suara, dan pemborosan energy merupakan sebagian dari sekian hanyak permasalahan yang dihadapi suatu kola berkaitan dengan masalah transportasi.Permasalahan ini berkailan Brat dengan poles testes guna Lahan, karena sector ini sangat berperan dalam menentukan kegiatan dan aktivitas pergerakan yang terjadi.Penulisan ini menguraikan berbagai system pendekatan yang tepat juga mencakup seluruh aspek yang terkait untuk memberikan alternative pemecahan masalah yang tepat, sehingga dalam pemecahan permasalahan tersebut memerlukan suatu pemecahan yang comprehensive dan terpadu yang melibatkan semua unsur dan actor dalam pembangunan kota. A. Pendahuluan Kota dikenal dengan banyaknya permasalahan yang kompleks yang terdapat didalamnya, dimana terdapat kecenderungan bahwa berkembangnya suatu kota bersamaan pula dengan berkembangnya masalah transportasi yang terjadi, sehingga masalah ini akan selalu membayangi perkembangan suatu wilayah perkotaan. Wilayah perkotaan dari tahun ke tahun telah berubah sebagai akibat terjadinya pergeseran yang dramatis dari lahan pertanian menjadi daerah bisnis terjadi perubahan fungsi guna lahan. Daerah daerah tersebut saat ini menjadi pusat-pusat kegiatan financial dan peluang-peluang bisnis yang ekstensif yang kompleksitas dan diversitasnya mengalami siklus perubahan akibat beragam pengaruh social dan ekonomi. Dengan terjadinya perubahan fungsi lahan yang sering kita temui di suatu kota dimana tata guna lahan yang ada tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah dibuat. (Sujarto, 2001:139) Ada beberapa hal yang menjadi faktor utama dari timbulnya masalah tersebut, adalah sebagai berikut; 1. Bahwa karena dinamika masyarakat yang menyebabkan perubahan yang cepat di dalam system nilai dan kebutuhan masyarakat sering proses penyusunan terdahului oleh perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini menyebakan tidak sesuainya rencana dan kenyataan nyata manakala suatu rencana selesai disusun.

1. Kelanggenang suatu rencana kota dalam arti konsekuen dan konsistennya pembangunan kota dengan rencana kota sangat ditentukan juga oleh konsekwenan dan kekonsistenan pengelola kota dan masyarakat dalam memegang arahan pembangunan yang ditetapkan. Adanya saling ketergantungan antara tata guna lahan dan system transportasi, sehingga pola guna lahan dan system transportasi tidak dapat dipisahkan. Kegiatan transportasi yang terwujud pada hakikatnya adalah kegiatan yang menghubungkan dua lokasi guna lahan . Salah satu tujuan utama perencanaan setiap tata guna lahan atau system transportasi adalah untuk menjamin adanya keseimbangan yang efisien antara aktivitas guna lahan dengan kemampuan transportasi (Blunden dan Black, 1984; ASCE, 1986 dalam Khisty dan Lall, 2003: 74). Permasalahan ini bukan saja menyangkut pada kenyamanan system transportasi yang terganggu (kepadatan, kemacetan, keterlambatan, parkir dll), namun juga dapat meningkatkan pencemaran lingkungan melalui gas buangan dari kendaraan bermotor serta merupakan suatu bentuk pemborosan energy yang sia-sia. Penulisan ini mencoba melihat permasalahan dalam system transportasi secara komprehensif yang di dasarkan pada pendekatan system. Permasalahan transportasi ini merupakan suatu permasalahan kompleks yang melibatkan banyak aspek, pihak dari system yang terkait sehingga pemecahan permasalahan tersebut memerlukan suatu pemecahan yang comprehensive dan terpadu yang melibatkan semua unsur dan actor dalam pembangunan kota. Permasalahan di sektor ini tidaklah sederhana. Berbagai aspek/ pendekatan sistem yang mempengaruhi system tersebut yaitu system kegiatan, system jaringan, system pergerakan, dan lingkungan. B. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan Tujuan dari penulisan penulisan ini adalah: Mengidentifikasi system transportasi sebagai suatu system

Mengidentifikasi keterkaitan antara tata guna lahan dan system transportasi dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan 2. Kegunaan Berdasarkan tujuan penyusunan penulisan di atas, maka adapun kegunaan dari penulisan penulisan ini adalah: Untuk mengetahui bagaimana system transportasi sebagai suatu system

Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antara tata guna lahan dan system transportasi dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. C. Pembahasan Transportasi dan tata guna lahan berhubungan sangat erat, sehingga biasanya dianggap membentuk satu landuse transport system. Agar tata guna lahan dapat terwujud dengan baik maka kebutuhan transportasinya harus terpenuhi dengan baik. Sistem transportasi yang macet tentunya akan menghalangi aktivitas tata guna lahannya. Sebaliknya, tranportasi yang tidak melayani suatu tata guna lahan akan menjadi sia-sia, tidak termanfaatkan. Suatu rencana kota juga tak pernah lepas dari rencana tata guna lahan serta rencana transportasi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 1 seperti berikut : Gambar 1. Rencana Tata Guna Lahan dan Rencana Transportasi sumber : (http://www.google.co.id/search?hl=id&q=KETERKAITAN+TATA+GUNA+LAHAN+DENG AN+TRANSPORTASI&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=&aq=f&oq . 1. Pendekatan Sistem System adalah suatu perangkat yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan, yang menjalankan fungsinya demi mencapai tujuan. Pendekatan system (system approach) adalah suatu cara yang sistematik dan menyeluruh untuk memecahkan masalah yang melibatkan suatu system.(Mohammadi,2001 dalam Khisty dan Lall, 2003: 7). Gambar 1. Pendekatan Sistem Transportasi berkaitan dengan tata guna lahan, lingkungan dan energi.

sumber: (http:// www.go ogle.co. id/searc h?hl=id &q=KE TERKA ITAN+ TATA+ GUNA +LAHA N+DEN GAN+TRANSPORTASI&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=&aq=f&oq)

Sub system kegiatan merupakan system kegiatan tertentu yang membangkitkan pergerakan dan dapat menarik pergerakan. System ini berkaitan erat dengan pengaturan pola tata guna lahan sebagai unsur terpenting dalam pembentukan pola kegiatan kota atau daerah. Sistem tersebut dapat merupakan suatu gabungan dari berbagai system pola kegiatan tata guna lahan (land use) seperti kegiatan social, ekonomi, budaya dsb. Kegiatan yang timbul dalam system ini membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap hari, besarnya pergerakan yang ditimbulkan tersebut sangat berkaitan dengan jenis dan intensitas kegiatan yang dilakukan. Pergerakan tersebut membutuhkan moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda tersebut bergerak. Prasarana yang diperlukan merupakan bagian dari system jaringan meliputi jaringan jalan raya, terminal, dll.Interaksi antara system kegiatan dan system jaringan akan menghasilkan suatu pergerakan. Dari ketiga sub system tersebut, masih diperlukan system kelembagaan. System ini terdiri dari individu, kelompok, lembaga, instansi pemerintah serta swasta yang terlibat. Di Indonesia system kelembagaan yang berkaitan dengan transportasi adalah: a. System kegiatan:Bappenas, Pemda b. System jaringan: Dep. Perhubungan, Bina Marga c. System pergerakan LLAJR,Polantas.

Seluruh kebijaksanaan yang diambil oleh masing-masing kelembagaan harus terkait dan terkoordinasi dengan baik. Secara umum dapat disebutkan, bahwa Pemerintah, Swasta dan Masyarakat harus ikut berperan dalam mengatasi masalah transportasi, Karena hal ini merupakan masalah bersama yang memerlukan penanganan dan keterlibatan semua pihak. Selain dari semua sub system diatas terdapat suatu aspek yang harus selalu diperhatikan dalam pengadaan system transportasi yaitu aspek lingkungan. 2. Pendekatan Sistem Kegiatan

Pendekatan terhadap system kegiatan ini sebenarnya sangat banyak macam dan faktornya, namun pada pembahasan ini ditekankan pada aspek pola tata guna lahan dalam suatu kota. Keterkaitan antara system kegiatan (model tata guna lahan) dengan system transportasi dapat dilihat bahwa perencanaan transportasi untuk masa yang akan datang selalu dimulai dari perubahan dan perkembangan tata guna lahan. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui perencanaan tata guna lahan dalam merencanakan system angkutan. Tata guna tanah/lahan perkotaan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian dalam ruang dari peran kota; kawasan tempat tinggal, kawasan tempat kerja, kawasan tempat rekreasi dst. Pola distribusi kegiatan guna lahan pada saat sekarang sangat tidak teratur diakibatkan banyaknya rencana kota yang diabaikan karena alasan ekonomi. Faktor determinan yang mempengaruhi Guna lahan : a. Faktor kependudukan,

Tingginya aktifitas perkotaan sangat dipengaruhi oleh perkembangan jumlah penduduk; Perkembangan jumlah penduduk tidak saja dipengaruhi oleh natural growth, akan tetapi arus masuk (pergerakan penduduk) in migration Pertumbuhan penduduk yang tinggi sangat berpengaruh pada spasial perkotaan.

b. Faktor kegiatan penduduk, kegiatan-kegiatan penduduk seperti ekonomi, industry, perkantoran yang esensinya menggunakan lahan sangatlah mempengaruhi tata guna lahan. Pola penggunaan lahan di kawasan perkotaan, umumnya terbentuk polarisasi yaitu munculnya kutub-kutub pertumbuhan, atau meningkatnya daerah lain akibat dari aktifitas yang berbeda dalam sebuah kota sehingga pergerakan penduduk di dasari kebutuhan akan pekerjaan, tempat tinggal, fasilitas, dll. Jika manfaat lahan di setiap daerah untuk suatu kota telah diketahui, maka ini memungkinkan kita untuk memperkirakan lalu lintas yang dihasilkan (Blunden dan Black, 1984 dalam Khisty dan Lall, 2003: 74). Dari hal tersebut maka kita dapat mengetahui sejauh mana tingkat kebutuhan akan jasa transportasi yang merupakkan masukan yang berguna untuk merencanakan sampai tingkat mana fasilitas-fasilitas transportasi akan disediakan. Keterkaitan guna lahan dengan arus lalu lintas (Menhein, 1979 dalam Miro, 2004: 45) adalah sebagai berikut: Arus lalu lintas ditentukan menurut pola tata guna lahannya dan tingkat pelayanan system transportasinya.

Kalau arus lalu lintas dalam jangka waktu yang lebih lama (panjang) semakin bertambah, hampir pasti bahwa pola tata guna lahan dan tingkat pelayanan transportasinya mengalami perubahan. Pengaturan tata guna lahan di kota-kota saat ini memang menjadi suatu permasalahan yang sangat sulit dan rumit mengingat pertumbuhan dan perkembangan nilai lahan yang sedemikian tinggi serta kepadatan bangunan yang sangat tinggi pula. 3. Pendekatan Sistem Jaringan Jaringan transportasi adalah jaringan prasarana trasnportasi (lintasan jalan, lintasan penyeberangan, lintasan transportasi laut, lintasan rel) dan simpul sarana transportasi (terminal, pelabuhan, bandara). Dalam hal ini akan dibahas mengenai system transportasi darat, sistem jaringan (prasarana) meliputi jalan dan terminal. Jaringan jalan merupakan suatu kesatuan jalan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam suatu hubungan hirarki. System jaringan jalan dengan peranan pelayanan, jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah ditingkat nasional dengan simpul jasa distribusi disebut jaringan jalan primer, dan system jaringan jalan dengan pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat di dalam kota membentuk system jaringan jalan sekunder. Transport jalan raya seringkali dikatakan sebagai urat nadi bagi kehidupan dan perkembangan ekonomi, social, dan mobilitas penduduk yang tumbuh mengikuti maupun mendorong perkembangan yang terjadi pada berbagai sector dan bidang kehidupan tersebut. Dalam hubungan ini transportasi khususnya transportasi jalan raya, menjalankan dua fungsi, yaitu sebagai unsur penting yang melayani kegiatan-kegiatan yang sudah/sedang berjalan (the servicing function) dan sebagai unsur penggerak penting dalam proses pembangunan (the promoting function). (Kamaluddin, 2003: 53). Dalam angkutan jalan raya, system jaringan jalan dan kendaraan bermotor tidak dapat dipisahkan. Dimana dalam pembangunan jaringan jalan harus memperhatikan jumlah kendaraan yang akan melewatinya. Permasalahan yang muncul, kondisi system transportasi yang memburuk akibat meningkatnya motorisasi yang diperparah akibat lebih tingginya kenaikan jumlah kendaraan bermotor dibanding kecepatan pembangunan jalan. Hal ini menggambarkan bahwa system penyediaan dan system permintaan terdapat ketimpangan sehingga system transportasi tidak berjalan dengan efektif dan efisien. Salah satu contoh dari permasalahan yang ditimbulkannya yaitu dapat menimbulkan kemacetan diakibatkan kapasitas jaringan jalan tidak sesuai dengan kendaraan yang ada. 4. Pendekatan Sistem Pergerakan Transportasi yang baik yaitu transportasi yang dapat memberikan kenyamanan, biaya murah dan efesiensi waktu. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki flow/jaringan transportasi untuk mengurangi masalah yang muncul yaitu dengan melakukan intervensi pada sarana transportasi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberlakukan system angkutan

massal, dimana dengan hal tersebut kita dapat mengurangi system pergerakan pada jalan raya, juga sebagai suatu langkah antisipasi dalam peningkatan kepadatan lalu lintas. Sebaran geografis antara tata guna tanah (sistem kegiatan) serta kapasitas dan lokasi dari fasilitas transportasi (sistem jaringan) digabung untuk mendapatkan volume dan pola lalu lintas (sistem pergerakan). Volume dan pola lalu lintas pada jaringan transportasi akan mempunyai efek feedback atau timbal balik terhadap lokasi tata guna tanah yang baru dan perlunya peningkatan prasarana. Ada 2 masalah dalam meminimalkan pergerakan akibat land use yaitu a. Bangkitan lalulintas, Bangkitan lalu lintas tergantung dari land use sebuah daerah (permukiman, perkantoran, industry, perdagangan, dll) mempunyai karakteristik bangkitan lalu lintas maupun pergerakan yang berbeda-beda. Beberapa tipe antara lain :

Tipe land use yang menghasilkan lalu lintas yang berbeda dengan land use lainnya Land use yang berbeda menghasilkan tipe lalu lintas yang berbeda (pejalan kaki, truk, mobil) Land use yang berbeda menghasilkan lalu lintas pada waktu yang berbeda.

b. Jarak yang terlalu jauh yang mengakibatkan land use yang jauh jaraknya bakal ditinggalkan dan akan beralih fungsi, sehingga alih fungsi ini akan menimbulkan masalah baru. Dalam hal ini perlunya dalam rencana tata guna lahan memperhatikan zona-zona pembagian berdasarkan aktivitas penduduk yang saling berkaitan juga dalam rencana kota distribusi penduduk juga harus diperhatikan agar distribsi ruang dan distribusi . 5. Transportasi dan Dampak Lingkungan Kemacetan, polusi, konservasi energy dan penurunan kesehatan masyarakat adalah beberapa dampak lingkungan yang diakibatkan oleh pergerakan kendaraan bermotor. Kemacetan lalu lintas tidak hanya mengurangi efisiensi pengoperasian transportasi, tetapi juga membuang waktu dan energy, menimbulkan polusi yang berlebihan, membahayakan kesehatan masyarakat dan mempengaruhi ekonomi masyarakat. Kemacetan lalu lintas juga dapat membahayakan kesehatan.Konsentrasi Karbon monoksida yang tinggi pada jalan yang padat akan menghalangi aliran oksigen untuk para pengemudi, sehingga akan mempengaruhi kinerja pengemudi. Hal ini akan berakibat pada menipisnya lapisan ozon yang selanjutnya mengakibatkan sesak napas, batuk, sakit kepala, penyakit paru-paru, penyakit jantung,dan kanker. Tingkah laku agresif dan reaksi psikologis juga berhubungan dengan kondisi kemacetan lalu lintas (GAO dalam http://www.google.co.id/search?hl= id&q=KETERKAITAN+TATA+GUNA+LAHAN+DENGAN+TRANSPORTASI&btnG=Telus uri+dengan+Google&meta=&aq=f&oq) Dari tinjauan masalah transportasi dan dampaknya pada lingkungan, maka dapat dilihat kontribusi yang sangat besar dari masalah transportasi terhadap kenyamanan dan kelestarian

lingkungan. Hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah suatu pola pembangunan yang bertujuan untuk mencukupi /memenuhi kebutuhan generasi penduduk masa kini tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan dating untuk mencukupi /memenuhi kebutuhannya. (World Comission on Environment and Development/WCED (1987) dalam Yunus, 2005:141). Untuk mengatasi permasalahan ini sedikitnya terdapat tiga konsep yang dapat diberikan. Konsep yang pertama adalah usaha untuk mengurangi jumlah kendaraan bermotor yang ada, hal ini dapat dilakukan dengan penyediaan sarana transportasi massal yang nyaman, sehingga dapat menjadi alternative terbaik bagi masyarakat dan dapat mengurangi jumlah kendaraan pribadi. Konsep kedua adalah perbaikan mutu gas buangan dari kendaraan bermotor, baik dari segi desain, perawatan maupun pemakaian bahan bakar yang seminimal mungkin dapat memberikan pencemaran terhadap lingkungan. Konsep yang ke tiga adalah usaha mengurangi kemacetan lalu lintas di jalan sehingga pemborosan energy dan pencemaran lingkungan dapat dikurangi. 6. Studi Kasus Permasalahan Transportasi akibat perubahan guna lahan di Jakarta Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia, sebagai ibukota Negara, posisi Jakarta memegang posisi sangat penting dalam hal; politik, ekonomi, dan perdagangan. Tidak salah, kalau akhirnya Jakarta diserbu oleh pendatang (urban) yang berdatangan dari berbagai wilayah di Indonesia. berdasarkan catatan resmi catatan sipil, tahun 2007, jumlah penduduk Jakarta adalah 7.706.392 jiwa, sedangkan berdasarkan perkiraan, pada siang hari, penduduk Jakarta bisa mencapai 12 juta jiwa. Yang menjadi persoalan dimana lahan yang tersedia tidak bertambah akan tetapi jumlah penduduknya semakin hari semakin meningkat, dengan kata lain maka kebutuhan akan lahan pun semakin meningkat. Pengaturan tata guna lahan di Jakarta ini memang menjadi suatu permasalahan yang sangat sulit dan rumit mengingat pertumbuhan dan perkembangan nilai lahan yang sedemikian tinggi serta kepadatan bangunan yang sangat tinggi pula. Pengaturan ini sudah diarahkan, baik dalam Jakarta 1965-1985 Master Plan, maupun Jakarta 1985-2005 Structure Plan, namun implementasi-nya masih seringkali berubah dan tidak sesuai karena adanya berbagai kebutuhan dan kendala. Sebagai contoh adalah kasus di Kuningan, pada awalnya wilayah ini dalam Jakarta Struktur Plan 2005 diarahkan untuk pengembangan kawasan campuran, dengan sebagian besar untuk pemukiman kelas atas yang disediakan untuk para diplomat serta perkantoran. Tetapi sekarang kawasan ini tumbuh menjadi kawasan perkantoran kelas satu termasuk kantor-kantor komersial. Hal ini terjadi karena lokasi tersebut yang sangat strategis dibandingkan lokasi lain. Dari aspek accessibility kawasan ini mudah dicapai dari segala arah, tetapi pelayanan transportasi tidak cukup baik. Jalur lalu lintas sangat padat terutama pada jam-jamsibuk. Dengan kondisi ini maka kebijaksanaan tata guna lahan di kawasan ini dirumuskan kembali dengan konsep superblock system dan high rise building. Sebagai dampaknya kebutuhan transportasi meningkat pesat sedangkan sarananya sangat terbatas, akibatnya kemacetan dan kepadatan lalu lintas tidak dapat dihindarkan.

Dengan luas area 325 ha dan lebih dari setengah juta pekerja, maka kawasan ini sangat memerlukan alat dan sarana transportasi baru. Namun dalam realitanya, walau terjadi perubahan fungsi kegiatan (tata guna lahan), kebijaksanaan transportasi masih mengacu pada Jakarta Struktur Plan 2005, yang jelas-jelas sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi perkembangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan penggunaan lahan belum didukung dengan kebijaksanaan pengembangan transportasi. Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa kebijaksanaan tata guna lahan yang baik belum tentu dapat mendukung pemecahan masalah transportasi, Karena masih ditentukan oleh implementasinya yang banyak dipengaruhi oleh factor-faktor lain yang dianggap lebih penting dan mendesak dari penataan guna lahan itu sendiri. (http://www.google.co.id/search?hl=id&q=KETERKAITAN+TATA+GUNA+LAHAN+DENG AN+TRANSPORTASI&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=&aq=f&o D. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan sebelumnya maka dapat kami simpulkan bahwa :.

System transportasi merupakan suatu system dalam pengembangan suatu perkotaan. permasalahan system transportasi tersebut merupakan masalah yang kompleks yang melibatkan banyak aspek, pihak dan system yang terkait maka diperlukan pendekatan system yang tepat pula yang mencakup aspek yang terkait. Interaksi tata guna lahan dan system transportasi merupakan indicator yang mesti diperhatikan dalam melakukan perencanaan system jaringan transportasi guna terciptanya pembangunan yang berkelanjutan tanpa merusak ekologi yang ada.

2. Saran

Melakukan intervensi pada system transportasi baik pada aspek prasarana, sarana dan manajemen secara tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul. Meningkatkan pelayanan system transportasi bagi masyarakat. Kebijaksanaan penggunaan lahan seharusnya didukung dengan kebijaksanaan pengembangan transportasi, sehingga meminimalisir permasalahan yang muncul.

E. Daftar Pustaka http://www.google.co.id/search?hl=id&q=KETERKAITAN+TATA+GUNA+LAHAN+DENGA N+TRANSPORTASI&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=&aq=f&oq Kamaluddin, Rustian. 2003. Ekonomi Transportasi. Ghalia Indonesia: Jakarta Khisty, C.Jotin dan Lall, B.Kent. 2003. Dasar-dasar Rekayasa Transportasi. Erlangga : Jakarta

Miro, Fidel. 2004. Perencanaan Transportasi untuk Mahasiswa, Perencana, dan Praktisi. Erlangga : Jakarta Sudjarto, Djoko. 2001. Pengantar Planologi. ITB : Bandung Yunus, Hadi Sabari. 2005. Manajemen Kota Perspektif Spasial. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Comments: Be the first to comment

HAMBATAN DALAM SISTEM PEMBANGUNAN PERKOTAAN YANG BERKELANJUTAN


Posted December 28, 2009 by syahriartato Categories: Uncategorized

Oleh: Syahriar Tato Abstrak Dalam makalah ini dipaparkan mengenai pembangunan yang berkelanjutan, dimana terwujudnya pembangunan berkelanjutan merupakan dambaan tiap kawasan atau kota dalam melaksanakan pembangunannya sebab dengan terwujudnya pembangunan bekelanjutan berarti telah menjamin kesejahteraan kehidupan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan dating dalam segala dimensi kehidupan. Dengan melihat kondisi seperti sekarang ini, dimana ketersediaan lahan semakin terbatas maka dibutuhkan para perencana kota yang dapat mengatasi masalah kompleks perkotaan yang menghambat terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Dalam makalah ini juga dibahas mengenai berbagai macam masalah perkotaan yang menghambat pembangunan yang berkelanjutan yang sangat terlihat jelas yaitu masalah urbanisasi yang tidak terkendali yang mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan sehingga mempengaruhi secara langsung kondisi lingkungan dan kondisi keamanan perkotaan. Sehinnga dibutuhkan keahlian dari perencana kota yang dapat membuat perencanaan yang disatu pihak dapat memecahkan masalah urbanisai dan dilain pihak memperkaya fungsi kota dengan menata ruang perkotaan yang berdaya guna memenuhi segala macam aktivitas perkotaan. Dalam makalah ini juga terdapat contoh kasus yang meperlihatkan kondisi pembangunan yang tidak berkelanjutan di Kacamatan Tambora kotamadya Jakarta Barat. Contoh kasus ini menunjukkan tingkat kemiskinan yang signifikan yang berakibat pada banyaknya muncul permukiman kumuh yang dapat mengganggu keindahan kota serta mengakibatkan pencemaran lingkungan.

1. A. Pendahuluan Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan merupakan proses pengolahan sumber daya alam dan pendayagunaan sumber daya manusia dengan memanfaatkan tekhnologi. Dalam pola pembangunan tersebut, perlu memperhatikan fungsi sumber daya alam dan sumber daya manusia, agar dapat terus-

menerus menunjang kegiatan atau proses pembangunan yang berkelanjutan. Pengertian pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat bergantung padanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya. Proses pembangunan terutama bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat baik secara spiritual maupun material. Definisi ini menunjukan bahwa adanya suatu pembangunan karena suatu kebutuhan, dan masalah. Adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah suatu harapan. Sedangkan jika harapan tersebut tidak tercapai berarti, hal itu adalah masalah. Dengan demikian pembangunan mempunyai hubungan yang erat dengan masalah. Karena titik tolak pembangunan dimulai dari tindakan mengurangi masalah tersebut dengan tujuan memenuhi kebutuhan dan meningkatkan untuk mencapai suatu tingkatan yang layak. Pembangunan yang tidak bertitik tolak dari masalah berarti ada indikasi kesalahan konsep dan model pembangunan tersebut berorientasi pada penyelesaian masalah sebagai penyebab akar masalah bukan akar masalahnya. Hal ini menyebabkan peningkatan laju pembangunan lama untuk mencapai suatu pertumbuhan pembangunan yang merakyat. Model pembangunan yang merakyat berarti berangkat dari masyarakat. Pembangunan dalam konteks Negara selalu ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik yang merata. Pembangunan bukan hanya berarti penekanan pada akselerasi dan peningkatan pendapatan perkapita sebagai indeks dari pembangunan saja, akan tetapi pembangunan merupakan suatu proses multi dimensi yang meliputi pola reorganisasi dan pembaharuan seluruh sistem dan aktifitas ekonomi dan sosial dalam mensejahterakan kehidupan warga masyarakat. Bagi manusia, pembangunan tidak hanya dalam konteks pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi tetapi juga haruslah melihat aspek keadilan terhadap lingkungan. Lingkungan bagi ummat manusia adalah salah satu modal dasar dalam pembangunan. Lingkungan sehat, bersih, lestari, secara tidak langsung akan mempengaruhi keberlanjutan produktifitas manusia di masa yang akan datang. Artinya, dalam konteks tersebut selain keberlanjutan dari sisi ekonomi dan sosial, maka diperlukan juga keberlanjutan pada sisi ekologis. Sinergi tiga aspek tersebut yaitu, ekonomi, sosial dan budaya didalam pembangunan disebut dengan Pembangunan Berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah satu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk menikmati dan memafaatkannya. Menurut Brundtland Report dari PBB 1987, pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah

bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_berkelanjutan) Ada dua makna gagasan yang terkandung didalam cara pandang pembangunan berkelanjutan yaitu : gagasan kebutuhan, yaitu kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan kehidupan manusia dan gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan oerganiasi social terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. (http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2007/06/bagaimana-konsep-pembangunan-kota-.) Pembangunan berkelanjutan juga mensyaratkan adanya pemeliharaan keanekaragaman. Pemeliharaan keanekaragaman hayati untuk memastikan bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Yang tak kalah pentingnya adalah pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakuan yang merata terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti oleh masyarakat. Namun, tentunya masih saja ada hambatan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan itu sendiri. Hambatan dalam pembangunan perkotaan berkelanjutan diantaranya diantaranya masalah internal dan eksternal perkotaan. Dalam pembahasan/penulisan ini dibahas mengenai hambatan dalam pembangunan berkelanjutan khususnya masalah internal perkotaan sebagai sistemnya dan sebagai subsistemnya dibatasi pada pada 3 masalah yaitu masalah kemiskinan di perkotaan, masalah kualitas lingkungan hidup perkotaan dan masalah keamanan dan ketertiban kota. 1. B. Rumusan Masalah Dari pembahasan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penulisan penulisan ini adalah : 1. Apa yang menjadi masalah internal perkotaan. 2 . Bagaimana masalah kemiskinan di perkotaan. 3. Bagaimana masalah kualitas lingkungan hidup perkotaan. 4. Bagaimana masalah keamanan dan ketertiban kota. 1. C. Tujuan dan Kegunaan 1. 1. Tujuan Penulisan Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan penulisan ini adalah : 1. Untik mengidentifikasi masalah internal perkotaan 2. Untuk mengidentifikasi kemiskinan di perkotaan

3. Untuk mengidentifikasi kualitas lingkungan hidup perkotaan 4. Untuk mengidentifikasi keamanan dan ketertiban kota 5. 2. Kegunaan Penulisan Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan penulisan ini adalah : 1. 2. 3. 4. 5. Untuk mengetahui masalah internal perkotaan. Untuk mengetahui kemiskinan di perkotaan. Untuk mengetahui kualitas lingkungan hidup perkotaan. Untuk mengetahui keamanan dan ketertiban kota. D. Pembahasan

Permasalahan pembangunan berkelanjutan sekarang telah merupakan komitmen setiap orang, sadar atau tidak sadar, yang bergelut di bidang pembangunan. Permasalahan pembangunan berkelanjutan juga tak dapat diabaikan dalam perkembangan berbagai ilmu pengetahuan dan tekonologi, termasuk ilmu perencanaan kota. Perencanaan kota bertujuan menyelesaikan atau mengatasi permasalahan kota melalui penyediaan ruang untuk semua kegiatan masyarakat yang kompleks, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Ini berarti tujuan kegiatan perencanaan kota, yang menghasilkan kebijakan rencana kota, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman utama pembangunan kota, adalah untuk mencapai proses pembangunan yang berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan sebagai hasil debat antara pendukung pembangunan dan pendukung lingkungan. Konsep pembangunan yang berkelanjutan ini terus berkembang. Pada tahun 1987, Edward B. Barbier mengusulkan bahwa pembangunan berkelanjutan harus dilihat sebagai interaksi antara tiga system : sistem biologis dan sumber daya, sistem ekonomi dan sistem sosial. Selain itu, dalam menjelaskan konsep pembangunan berkelanjutan ini, Budimanta membandingkan perkembangan kota Jakarta dengan kota-kota lain di Asia, yaitu Bangkok, Singapura, Tokyo yang memiliki kualitas pembangunan yang berkelanjutan yaitu cara berpikir yang integrative, perspektif jangka panjang mempertimbangkan keanekaragaman dan distribusi keadilan social ekonomi. (Arif Budimanta Dalam Bunga Rampai, 2005: 375-377) Beberapa pemikir dibidang perencanaan dan perancangan kota, serta lingkungan buatan di perkotaan, berpendapat bahwa untuk mencapai proses pembangunan berkelanjutan, perlu perencanaan dan perancangan yang bersifat ekologis dan berlandaskan etika non-antroposentris. Etika lingkungan non-antroposentris memandang manusia sebagai anggota komunitas hidup di dunia, seperti juga mahluk hidup lainnya, seperti juga semua mahluk hidup lainnya. Sejak paruh abad ke-20, berkembang etika lingkungan non-antroposentris sebagai salah satu akibat terjadinya krisis-krisis lingkungan. Etika lingkungan non-antroposentris itu terbagi atas beberapa aliran, seperti biosentris, bioregionalisme, ekofeminisme dan sebagainya Proses pembangunan berkelanjutan di perkotaan dapat diketahui dengan melakukan evaluasi terhadap kondisi kawasan-kawasan di kota tersebut, proses-proses yang terjadi di dalam masyarakat dan antara masyarakat dan lingkungannya. Evaluasi itu dapat dilakukan dengan beberapa cara. Salah satu cara adalah evaluasi berdasarkan criteria pembangunan berkelanjutan.

kriteria pembangunan berkelanjutan di perkotaan dirumuskan berdasarkan pemikiran-pemikiran yang berkembang seperti diuraiakan diatas, dan pemahaman bahwa kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah ancaman utama pembangunan berkelanjutan. Kemiskinan serta kerusakan lingkungan hidup merupakan ancaman utama bagi proses pembangunan berkelanjutan dengan melihat tujuan dari pembangunan berkelanjutan yaitu mencapai masyarakat sejahtera (masyarakat berkelanjutan) dalam lingkungan hidup yang berkelanjutan. (Madrim Djody Gondokusumo dalam Bunga Rampai, 2005: 405) Berikut dibahas mengenai tiga sub sistem masalah internal perkotaan yang merupakan hambatan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan yaitu masalah kemiskinan di perkotaan, masalah kualitas lingkungan hidup perkotaan dan masalah keamanan dan ketertiban perkotaan. 1. 1. Masalah Kemiskinan di Perkotaan Kemiskinan merupakan salah satu contoh ketidakadilan yang dialami suatu kelompok (masyarakat pra sejahtera), dan terdapat di mana-mana, baik di Negara maju maupun di Negaranegara yang sedang berkembang. Ketidakadilan itu terlihat dari tidak terpenuhinya kebutuhankebutuhan mereka untuk bertahan hidup dalam kesehatan yang baik, sulitnya mendapat akses ke pelayanan publik (sanitasi sehat, air bersih, pengelolaan sampah ) rumah sehat, RTH, pelayanan pendidikan dan sebagainya. Ketidakadilan juga terlihat dari tidak adanya akses kepemilikan hak atas tanah yang mereka huni. Sebagai akibat itu semua, sulit bagi mereka untuk mendapat akses ke pekerjaan yang baik dan stabil. Ketidakadilan itu menyebabkan masyarakat miskin tetap miskin dan mengancam proses pembangunan yang berkelanjutan. Kerusakan lingkungan, kondisi permukiman buruk atau kumuh dalam suatu kawasan memperlihatkan bahwa kawasan tersebut sedang dalam proses tidak berkelanjutan. (Madrim Djody Gondokusumo dalam Bunga Rampai, 2005: 410) Saat ini masalah kemiskinan perkotaan merupakan masalah mendesak yang banyak dihadapi kota-kota di Indonesia. Yang paling mudah dan terlihat jelas dari wajah kemiskinan perkotaan ini adalah kondisi jutaan penduduk yang tinggal di permukiman kumuh dan liar. Kondisi kekumuhan ini menunjukkan seriusnya permasalahan sosial ekonomi, poltik, dan lingkungan yang bermuara pada kondisi kemiskinan. Pengertian kemiskinan sendiri bermakna multi-dimensi dari mulai rendahnya pendapatan, kekurangan gizi dan nutrisi, tidak layaknya tempat tinggal, ketidakamanan, kurangnya penghargaan social, dan lain-lain. Masalah lain yaitu, adanya urbanisasi. Urbanisasi hampr terjadi dimanapun diseluruh dunia disebabkan oleh perkembangan ekonomi dan daya tarik perkotaan yang kadang menjebak bagi mereka yang tidak mampu bersaing sehingga menjadi terpinggirkan. Di Indonesia perkembangan ini cepat sekali sejak tahun 70-an, sebelum itu urbanisasi juga sudah berjalan tapi lebih lambat dan terbatas. Daya tarik kota sebagai pusat mata pencaharian yang membengkak ini sering dibarengi dan diperbesar oleh kemunduran ekonomi diluar kota. menyebabkan mereka para pendatang yang tidak memiliki keterampilan dan kemampuan untuk bersaing di perkotaan memaksa mereka untuk terpinggirkan sehingga menjadi warga miskin di perkotaan, sebagai pengangguran.(Soefaat, 1999: 43)

Krisis ekonomi meningkatkan angka kemiskinan absolut di daerah perkotaan. Penduduk perkotaan yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat secara signifikan sejak terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1997. Sebenarnya pemerintah telah berusaha untuk mengentaskan atau mengurangi kemiskinan dengan berbagai programnya. Namun demikian, tampaknya dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang ini, kemiskinan masih tetap merupakan masalah penting sehingga perlu ditangani secara bersama-sama terutama dikawasan perkotaan. (Gita Chandrika Dalam Bunga Rampai, 2005 : 7). Selain itu, dibutuhkan kebijakan yang tegas dari pemerintah Indonesia dalam melihat masalah ini. Dalam kondisi seperti ini kita dapat belajar pada Negara tetangga kita Malaysia, dalam menetapkan strategi jangka pendeknya. Deputi perdana menteri Malaysia, Datuk Anwar Ibrahim, telah menginstruksikan kepada Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian untuk menghentikan import sayur-sayuran dan buah-buahan. Bersamaan dengan itu, beliau menginstruksikan agar masyarakat mau memberdayakan sumber daya lahan yang tersedia untuk menanam sayur-sayuran, paling tidak untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Upaya praktis ini tentu saja tidak dapat secara makro memperbaiki kondisi ekonomi kita, namun paling tidak sejumlah devisa dapat dihemay dan lapangan kerja pertanian dapat digairahkan kembali. Apalagi, seringnya nilai tukar rupiah merosot terhadap nila dollar AS menimbulkan kenaikan harag berbagai jenis barang, termasuk harga-harga kebutuhan pokok yang dampaknya menyentuh segenap lapisan masyarakat. Pada dasarnya hal ini tidak akan terjadi apabila semua kebutuhan pokok tersebut dapat dicukupi oleh kita sendiri. Sebenarnya bukan hal yang tidak mungkin melakukannya, mengingat bangsa Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati. Hanya saja hingga ssat ini pengelolaan sumberdaya tersebut belum optimal. Kebutuhan bahan pokok sebenarnya mampu kita penuhi, mengingat produk-produk bahan poko tersebut berasal atau bersumber dari sumber daya hayati. Kebutuhan masyarakat, baik pangan, sandang, maupun papan, semuanya merupakan produk olahan yang menggunakan bahan dasar sumber daya hayati. Kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki hingga saat ini bellum dimnafaatkan secara optimal. Seharusnya dengan kekayaan hayati tersebut, kebutuhan kita akan barang-barang, khususnya yang berdasar sumber daya hayati, dapat kita penuhi sendiri. Swasembada bahan pokok seharusnya dapat kita lakukan. Swasembada bahan pangan yang kita lakukan masih mengalami hambatan sebab meskipun Negara kita hidup dalam pola agraris, tetapi ketergantungan terhadap agro-industri, baik hulu maupun hilir dapat dilepaskan. Sebagai contoh, dalam pengadaan beras, melalui pancausaha tani pemerintah mengharuskan petani menggunakan varietas benih unggul padi, yang awalnya yang diperoleh dari IRRI (Iinternasional Rice Research Institut). Padahal, seperti kita ketahui pada jenis tersebut tidak dapat tumbuh tanpa dipupuk dan diberi pestisida. Hal tersebut mengakibatkan petani sangat tergantung pada indutri pupuk dan pestisida, padahal tidak ada satu pun industri yang bahan bakunya tidak tergantung impor. Sehingga begitu dollar AS naik, harganya pun ikut naik, dan dampak sampai kepada sektor pertanian. Yang menjadi kunci permasalahan adalah mengapa pasokan hulu dan hilir tidak dikembangkan secara mandiri di tingkat lokal dan nasional. Ketergantungan petani terhadap bibit tersebut menyebabkan petani tidak menjadi orang bebas. Oleh karena itu, untuk kembali memperdayakan petani, maka kekuasaan atas bibit harus dikembalikan kepada mereka. Mereka diberikan peluang untuk membudidayakan bibit-bibit

lokal yang sudah ada. Bila hal ini dilakukan, ketergantungan petani dari jaringan internasional industri bibit akan hilang dan memunculkan kekuatan lokal. Krisis ekonomi yang menyebabkan naiknya harga kebutuhan bahan pokok telah menimbulkan berbagai kerusuhan. Kerusuhan ini bahkan telah menembus sampai kawasan pedesaan atau kawasan pinggiran kota. Hal ini disebabkan desa telah kehilangan daya tahan menghadapi krisis. Kultur agraris yang menjadi basis pertahanan ekonomi desa telah hilang maupun ditinggalkan, diganti dengan pola modern yang tergantung pada industri. Dementara industry yang diharapkan mampu menopang sektor pertanian, kondisinya sangat rentang dan keropos, karena ketergantungannya pada bahan baku impor. Kebijakan tegas untuk meninggalkan kultur agraris, karena ada pandangan bahwa pola pertanian yang ada selama ini tidak memberikan nilai tambah, sangatlah naif. Nilai tambah yang dimaksud dalam konteks tersebut adalah yang bisa memberikan konstribusi devisa, bukan dalam pengertian mampu memberikan daya hidup pada komunitas desa. Bahkan kecenderungannya adalah mengubah kawasan pedesaan yang mampu mandiri berbasis pertanian keanekaragaman hayati, sebagai ajang konversi, menjadi kawasan industri dan kawasan permukiman perkotaan. Ketahanan kita akan kebutuhan bahan pokok sangatlah kurang, karena investasi yang ada selama ini bukan untuk pembangunan industri yang berbasis sumber daya alam hayati (agroindustry). Tempe, yang merupakan makanan Indonesia sejak dahulu kala, ternyata kita belum mampu menjadi produsen bahan baku kedelainya hingga kini. Kedelai hingga kini masih harus diimpor. Semuanya itu disebabkan kita belum pernah mengadakan penelitian bioteknologi, yang dapat mendukung pola agraris yang kita miliki agar efisien. Penelitian yang ada selama ini bukan membumi, tetapi menuju ke langit. Untuk itu, dalam rangka peningkatan ketahanan akan kebutuhan bahan pokok, diperlukan upaya pembangunan daerah yang berbasis keanekaragaman hayati setempat.(Sugandi, 2007: 46-50) Penelitian penelitian terbaru menunjukkan bahwa kemiskinan tidaklah statis. Orang miskin bukanlah orang yang pasif. Ia adalah manajer seperangkat asset yang ada di seputar diri dan lingkungannya. Keadaan ini terjadi pada orang yang miskin yang hidup di Negara yang tidak menerapkan sistem Negara kesejahteraan (welfare state). Sistem yang dapat melindungi warganya menghadapi kondisi-kondisi yang memburuk yang mampu ditangani oleh dirinya sendiri. Kelangsungan hidup individu dalam situasi seringkali tergantung pada keluarga yang secara bersama-sama dengan jaringan sosial membantu para anggotanya dengan pemberian bantuan keuangan, tempat tinggal dan bantuan-bantuan mendesak lainnya. Pendekatan kemiskinan yang berkembang selama ini perlu dilengkapi dengan konsep keberfungsian sosial yang lebih bermatra demorasi-sosial ketimbang neo-liberalisme. Rebounding atau pelurusan kembali makna keberfungsian sosial ini akan lebih memperjelas analisis mengenai bagaimana orang miskin mengatasi kemiskinannya, serta bagaimana struktur rumah tangga, keluarga kekerabatan, dan jaringan sosial mempengaruhi kehidupan orang miskin. Paradigma baru lebih menekankan pada apa yang dimiliki si miskin ketimbang apa yang tidak dimiliki si miskin . (Suharto, 2005 : 148)

Pada akhirnya kebijakan pengurangan kemiskinan yang selama ini yaitu pendekatan top-down dalam perencanaan kebijakan yang sekarang dilakukan, yaitu pemerintah dan para pakar menganggap dirinya yang paling mengetehaui tentang proses-proses yang terjadi dimasyarakat, perlu diganti dengan pendeketan bottom-up, yaitu melibatkan partisipasi masyarakat melalui dialog-dialog yang demokratis, menghargai perbedaan-perbedaan, keadilan dan kesetaraan jender. Ilmu pengetahuan modern antroposentris sebagai dasar perencanaan kebijakan publik untuk mengelola kehidupan masyarakat dan lingkungan perlu diganti dengan ilmu pengetahuan yang bersifat non-antroposentris, menghargai etika dan nilai-nilai yang ada di masyarakat dan di lingkungan alam. (Madrim Djody Gondokusumo Dalam Bunga Rampai, 2005 : 418) 1. 2. Masalah Kualitas Lingkungan Hidup Perkotaan Pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan lingkungan, yaitu mengurangi resiko lingkungan atau dan memperbesar manfaat lingkungan. Sejak berabad tahun yang lalu nenek moyang kita telah merubah hutan menjadi daerah pemukiman dan pertanian. Perubahan hutan menjadi sawah merupakan usaha untuk memanfaatkan lahan untuk produksi bahan makanan dibawah kondisi curah hujan yang tinggi dan juga untuk mengurangi resiko erosi di daerah pegunungan. Hingga sekarang pencetakan sawah masih berjalan terus. Dengan perubahan hutan atau tata guna lahan lain menjadi sawah berubahlah pula keseimbangan lingkungan. Jadi jelaslah keserasian bukanlah suatu hal yang kekal, melainkan berubah-ubah menurut umur orang atau golongan, tempat dan waktu. Karena itu melestarikan keserasian bertentangan dengan hakekat hidup yang menginginkan perubahan. Melestarikan keserasian akan berarti meniadakan kebutuhan dasar untuk dapat memilih. Karena itu akan berarti menurunkan mutu lingkungan dan dengan itu mutu hidup. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan pada hakekatnya tidak bisa dilepaskan dari pembangunan manusia itu sendiri. Manusia merupakan subjek sekaligus objek pembangunan. Manusia berada pada posisi sentral sahingga pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilya tidak boleh mengabaikan dimensi manusianya. Untuk dapat melakukan hal tersebut, diperlukan pendekatan pembangunan yang menitikberatkan pada segi manusia. Pembangunan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup manusia. Di lain pihak, pembangunan yang makin meningkat akan memberikan dampak negatif, berupa resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan. Kerusakan ini pada akhirnya akan menjadi beban yang malah menurunkan mutu hidup manusia, sehingga apa yang menjadi tujuan pembangunan akan sia-sia. Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan manusia, sehingga menuntut tanggung jawab dan perannya untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Keberlanjutan pembangunan harus memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam, sumber daya manusia, serta pengembangan sumber daya buatan, dan menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan pembangunan, serta menjadi jaminan bagi kesejahteraan serta mutu hidup generasi masa kini dan generasi mendatang.

Permasalahan ketersediaan tanah di perkotaan sebagai lahan hijau sangat terbatas. Selain harga tanah yang mahal, juga kurangnya penghargaan bagi pemilik tanah terlantar untuk dimanfaatka sebagai lahan terbuka hijau. Penggunaan ruang terbuka hijau mulanya diawali dengan tumbuhnya perumhana liar yang semakin luas dan sulit dikendalikan, yang selanjutnya menimbulkan terbentuknya kawasan kumuh. Apalagi para penghuni tersebut dikenakan pajak tidak resmi sehingga mereka merasakan seolah mendapatkan legalitas untuk tinggal di tempat tersebut. Begitu juga, disisi lain factor urbanisasi, khususnya golongan berpendapat rendah dan kurangnya tingkat pendidikan, mendorong mereka untuk menduduki lahan ruang terbuka hijau. Seperti pemanfaatan tepian tepian bantaran sungai dan tepian jalur kereta api sebagai tempat tinggal. (Soemarwoto, 1983 : 60-61) Secara sistem, ruang terbuka hijau kota pada dasarnya adalah bagian dari kota yang tidak terbangun, yang berfungsi menunjang kenyamanan, kesejahteraan, penigkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam, umumnya terdiri dari ruang pergerakan linear atau koridor dan ruang pulau atau oasis (Spreigen 1965). Perencanaan ruang terbuka hijau secara tepat mampu mampu berperan dalam menigkatkan kualitas atmosfer kota, penyegaran udara, menurunkan suhu kota, menyapu debu permukaan kota, menurunkan kadar polusi udara dan meredam kebisingan. Penelitian Embleton (1963) menyatakan bahwa 1 hektar ruang terbuka hijau dapat meredam suara pada 7 db per 30 meter jarak dari sumber suara pada frekuensi kurang dari 1000 CPS , atau penelitian Carpenter (1975) dapat meredam kebisingan 25-80 %. Kualitas udara bersih merupakan factor luar yang sangat berpengaruh. Karena itu, keberadaan ruang terbuka hijau kota merupakan eksternalitas ekonomis, bukan disekonomis. Artinya, ruang terbuka hijau akan menyebabkan seseorang atau beberap individu menjadi lebih sehat dan baik. Dengan demikian, ada kemauan untuk menerima ruang terbuka hijau dari penigkatan aktivitas lain yang menguntungkan. Oleh karena itu, perencanaan ruang terbuka hijau kota merupakan manfaat sosial yang terdiri dari surplus konsumen sekaligus juga merupakan surplus produsen, sehingga umumnya kesejahteraan (kesehatan) penduduk kota meningkat akibat lingkungan yang sehat. Pelaku-pelaku yang terlibat dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota terdiri atas sebagai berikut : 1. a. Pemerintah Kewajiban pemerintah kota, dalam hal ini instansi/lembaga dinas pertamanan, dan dinas kehutanan adalah mengadakan dan menyelenggrakan pembangunan secara adil untuk meningkatkan kehidupan masyarakat kota, termasuk di dalamnya bidang keamanan, kenyaman, dan keserasian. Apabila hal ini dikaitkan dengan jenis ruang terbuka hijau yang ada maka ruang terbuka hijau yang harus disediakan oleh pemerintah adalah ruang terbuka hijau korodor yang meliputi: jalur hijau kota dan jalur hijau jalan; ruang terbuka hijau produktif yang meliputi kawasan pertanian kota, perairan/tambak; ruang terbuka hijau konservasi yang meliputi kawasan cagar alam dan hutan kota; ruang terbuka hijau lingkungan yang meliputi kawasan taman lingkungan dan bangunan, serta permakaman, perkantoran dan kebun binatang 1. b. Swasta

Peranan swasta sebagai pelaku ekonomi kota, yang bergerak di sektor formal maupun informal, tidak secara mutlak berkewajiban untuk melaksanakan pengadaan ruang terbuka hijua kota. Melalui pertimbangan-pertimbangna tertentu serta pengkajian dari sudut pandang swasta, dapat disediakan ruang terbuka hijau yag memungkinkan untuk dikelolah oleh swasta, yaitu ruang terbuka hijau untuk keindahan/estetika; ruang terbuka hijau untuk rekreasi; ruang terbuka hijau lainnya yang dapat dikomersialkan. 1. c. Masyarakat Kota Peran serta masyarakat, baik secrara individual maupun kelembagaan terhadap ruang terbuka hijau lebih terbatas pada pemanfaatan dan pemeliharaan. Dari segi perencanaan maupun pengadaannya, peran serta masyarakat sangat kecil sekali. Hal ini disebabkan keberadaan ruang hijau kota biasanya terbentuk oleh adanya tanah kosong yang belum/tidak dimanfaatkan. Kelangsungan keberadaannya tidak dapat dijamin, sehubungan dengan sifat penguasaan tanahnya yang lebih banyak bersifat individu (bukan tanah negara). 1. d. Media Massa Media massa, baik media elektronik maupun media cetak, ikut berperan sebagai pelaku dalam pengelolaan ruang terbuka hijau, khususnya dalam menciptakan opini publik terhadap pentingnya keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan. Disamping hal tersebut, fungsi media massa juga bermanfaat untuk ikut mengawasi perkembangan ruang terbuka hijau. (Sugandy, 2007 : 103-105 ) Indonesia sudah mulai menyadari bahwa untuk mencapai masyarakat perkotaan masyarakat kehidupan perkotaan yang sejahtera, kualitas lingkungan hidupnya harus baik, karena akan beperngaruh pada kualitas hidupnya (Quality Of Life). Masalah yang terkait dengan kualitas lingkungan hidup dan pada akhirnya kualitas hidup masyarakat kota, meliputi aspek fisik seperti kualitas udara, air, tanah; kondisi lingkungan perumahannya seperti kekumuhan, kepadatan yang tinggi, lokasi yang tidak memadai serta kulaitas dan keselamatan bangunannya; ketersediaan saran dan prasarana serta pelayanan kota lainnya; aspek sosial budaya dan ekonomi seperti kesenjangan dan ketimpangan kondisi antar golongan atau antar warga, tidak tersedianya wahana atau tempat untuk menyalurkan kebutuhankrbutuhan sosial budaya, seperti untuk berinteraksi dan mengejawantahkan aspirasi-aspirasi sosial budayanya; serta jaminan perlindungan hukum dan keamanan dalam melaksanakan kehidupannya. Kohesi sosial dan kesetaraan (Equity) merupakan faktor penting dalam kualitas hidup di perkotaan. Kekumuhan kota disebabkan karena sumber daya yang ada di kota tidak mampu melayani kebutuhan penduduk kota. Kekemuhan kota bersumber dari kemiskinan kota yang desebabkan karena kemiskinan warganya dan ketidakmampuan pemerintah kota dalam memberikan pelayanan yang memadai kepada warga masyarakatnya. Kemiskinan warga disebabkan karena tidak memiliki akses kepada mata pencaharian yang memadai untuk hidup layak, serta akses pada modal dan informasi yang terbatas. Kemiskinan ini akan berdampak pada kemampuan

warga untuk membayar pajak yang diperlukan untuk membangun fasilitas dan infrastruktur di kawasannya. Permasalahan utama prasarana dan saran perkotaan (PSP) termasuk perumahan adalah tidak memadainya suplay dibandingkan dengan kebutuhan. Hal ini menyebabkan terbatasnya kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pelayan PSP yang layak. Akibat dari keterbatasan suplay dibandingkan dengan kebutuhan, maka masyarakat yang berpenghasilan rendah justru harus membayar harga mahal untuk memperoleh pelayanan PSP tersebut. Berkaitan dengan perumahannya, mereka terpaksa menggunaka lahan-lahan secara liar dengan kualitas perumahan yang jauh dibawah standar. (Gita Chandrika Napitupulu dalam Bunga rampai, 2005 : 7-8 ) 1. 3. Masalah Keamanan dan Ketertiban Perkotaan Beberapa teror bom yang terjadi di beberapa kota di Indonesia akhir-akhir ini, sperti di Bali, Jakarta dan lain-lain telah menimbulkan keresahan bagi masyarakat perkotaan dan mengganggu jalannya perekonomian kota. Selain itu, beberapa kota di Indonesia juga mengalami penurunan kualitas kehidupan dengan banyaknya terjadi kerusuhan yang disebabkan oleh konflik antar kelompok masyarakat, seperti di Poso, Palu, Ambon, Banda Aceh dan sebagainya. Permasalahan ini diperberat dengan masalah ketertiban di perkotaan Karena tidak disiplinnya masyarakat perkotaan. Hal ini tercermin dengan jelas antara lain dalam disiplain berlalu lintas. Saat ini juga semakin sering terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, terutama di kota-kota besar. Hal ini dapat terjadi karena berbagai hal seperti tidak adanya sosialisasi dari pemerintah, kurangnya pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, kurangnya pemamhaman akan hak-hak dan tanggung jawab masyarakta dalm pembanguna kota dan lain sebagainaya. Semua hal tersebut diatas sangat berpengaruh pada kinerja kotanya.( Gita Chandrika Napitupulu dalam Bunga rampai, 2005 : 9-10) Kemampuan untuk membuat perencanaan yang di satu pihak memecahkan masalah urbanisasi dan dilain pihak memperkaya fungsi kota merupakan keahlian yang sangat diharapkan dari para perencana kota pada masa akan datang. Setiap kota, selain berusaha untuk meningkatkan fungsifungsi perkotaan yang bersifat standar, sebaiknya juga mengembangkan fungsi-fungsi khusus yang kompetitif secara global. Tetapi kedua hal di atas hanyalah suatu strategi umum dalam menyiasati permasalahan pengembangan kota, dan sebenarnya baru bisa terlaksana bila beberapa permaslahan pokok dari kota-kota di Indonesia telah diperbaiki secara substansial. (Santoso, 2006 : 61) 1. 4. Contoh Kasus Contoh dari hambatan pembangunan yang berkelanjutan akibat kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup, yaitu yang terjadi di Kacamata Tambora, kotamadya Jakarta Barat (melalui penelitian yang dilakukan pada tahun 2002-2003). Kecamatan Tambora adalah kecamatan yang berkepadatan penduduk tertinggi di DKI Jakarta, yaitu lebih dari 500 orang per hektar, memiliki permukiman kumuh atau buruk yang sangat luas dan kemiskinan yang sangat signifikan. Evaluasi yang dilakukan berdasarkan Perhitungan criteria pembangunan yang berkelanjutan di

perkotaan (3 PRO) terhadap kecamatan itu memperlihatkan bahwa proses tidak berkelanjutan sedang berlangsung. Hal itu tentunya juga mengancam subsistem-subsistem lain dalam system kota Jakarta, karena komponen-komponen pembentukan yang membentuk jaringan, subsistem Kecamatan Tambora tersebut diatas, dapat dikelompokkan dalam tiga dimensi yang saling berinteraksi terus menerus, yaitu dimensi social ekonomi dan lingkungan. Kerusakan lingkungan, yang merupakan faktor ekologis sebuah kota, dalam kasus Kecamatan Tambora, dapat dilihat pada kondisi air, tanah, dan udara yang telah tercemar. Pencemaran itu disebabkan oleh berbagai sumber didalam dan luar Kota Jakarta, serta sebagai akibat tidak berfungsinya pengelolaan sampah dan limbah air kota. Tumpukan sampah di TPS juga merupakan sumber berkembangnya vektor-vektor penyakit, seperti kecoa, lalat, nyamuk, tikus, dll. Kondisi lingkungan pemukiman buruk atau kumuh seperti diuraikan diatas memperlihatkan bahwa kawasan itu sedang dalam proses yang tidak berkelanjutan. Kemiskinan dan fungsi-fungsi lingkungan hidup yang telah hilang atau rusak, tercemar, itu merupakan ancaman terhadap proses pembangunan berkelanjutan. Ancaman itu tidak hanya terjadi di dalam kawasan atau subsistem Kecamatan Tambora saja, tetapi juga akan mempengaruhi subsistem-subsistem lain yang membentuk kota Jakarta. 1. E. Kesimpulan dan Saran Dari hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan: 1. Bahwa hambatan dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, keamanan dan ketertiban kota, dan sebagainya. 2. Bahwa masalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadidi suatu kawasan tertentu memperlihatkan bahwa kawasan itu sedang dalam proses tidak berkelanjutan. 3. Kemiskinan dan fungsi-fungsi lingkungan hidup yang telah hilang atau rusak, tercemar, itu merupakan ancaman terhadap proses pembangunan berkelanjutan. Ancaman tersebut tidak hanya terjadi di kawasan itu saja, tetapi juga akan mempengs\aruhi sub-sub sistem lain yang membentuk kawasan itu Berdasarkan kesimpulan diatas, maka adapun saran bagi pemerintah agar dapat menerapkan sistem pembangunan yang berkelanjutan seperti di negara-negara maju lainnya dengan jalan menanggulangi kemiskinan serta meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta keamanan dan ketertiban di perkotaan guna menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya di Indonesia sehingga dapat dirasakan bukan hanya untuk di masa sekarang melainkanjuga untuk generasi yang akan datang. 1. F. Daftar Pustaka http://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_berkelanjutan http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2007/06/bagaimana-konsep-pembangunan-kota-harus

Bunga, Rampai. 2005. Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, Konsep dan Pedekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI Santoso, Jo. 2006. Menyiasati Kota Tanpa Warga. Gramedia :Jakarta Soefaat. 1999. Hubungan Fungsional Teknik Sipil dengan Tata Ruang Kota dan Daerah Jilid 1. PT. Mediatama Saptakarya : Bandung Soemarwoto, Otto. 1983. Ekologi Lingkungan hidup dan Pembangunan. Djambatan : Jakarta Sugandhy, Aca dan Hakim, Rustam. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Bumi Aksara Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. PT. Refika Aditama: Bandung. Comments: Be the first to comment

ANALISIS KETERSEDIAAN SARANA PERMUKIMAN DI KAWASAN TANJUNG BUNGA MAKASSAR


Posted December 28, 2009 by syahriartato Categories: Uncategorized

Oleh: Syahriar Tato ABSTRAK Pada suatu lingkungan permukiman keberadaan sarana dan prasarana merupakan ukuran standar kelayakan dalam artian lingkungan permukiman yang dilengkapi sarana dan prasarana (utilitas) yang memadai cenderung akan mengalami peningkatan taraf kesejahteraan. Hal ini cukup beralasan seperti keberadaan jalan-jalan penghubung ke daerah sekitar maupun ke pusat kota akan terjadi kemudahan akses interaksi dengan lingkungan permukiman sekitarnya maupun ke kawasan-kawasan utama pada daerah perkotaan. Disisi lain keberadaan sarana dan prasarana yang ada di lingkungan permukiman akan memacu pula peningkatan aktivitas sosial dan aktivitas ekonomi. Seperti keberadaan sarana jasa dan perdagangan akan memacu kelancaran distribusi barang dan jasa dari dalam ke luar, keberadaan sarana kesehatan akan terjadi peningkatan mutu kesehatan masyarakat, dan keberadaan sarana pendidikan yang memacu perubahan pola pikir dalam menumbuhkan kemandirian.

1. A. PENDAHULUAN Perkembangan jumlah penduduk pada daerah perkotaan yang disertai dengan peningkatan arus urbanisasi membawa perubahan besar pada kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan

papan beserta fasilitas penunjangnya. Kebutuhan dasar tersebut terus meningkat secara alamiah seiring kompleksitasnya kebutuhan hidup bermasyarakat, seperti kebutuhan untuk aktivitas sosial, aktivitas ekonomi, dan aktivitas pelayanan umum. Dari fenomena tersebut menuntut pula pembangunan sarana dan prasarana di daerah perkotaan sebagai pengejewantahan menjaga kelangsungan hidup masyarakat di daerah perkotaan dalam rangka menuju kota berkelanjutan (sustainable cityes). Menurut Jayadinata J.T, (1999:31) mengatakan bahwa dalam meningkatkan perkembangan kegiatan sosial dan ekonomi, sarana dan prasarana merupakan hal yang penting. Untuk itu perhatian sejak dini dalam hal pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi pembangunannya baik dari segi pembangunan kuantitas sarana dan prasarana yang ada maupun kualitas pelayanannya. Namun upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana di daerah perkotaan bukanlah hal semudah membalikkan telapak tangan. Kendala dan sejumlah permasalahan dalam hal pemenuhan dan distribusinya menuntut tanggung jawab bersama ketiga komponen pembangunan yaitu pemerintah (penentu kebijakan), masyarakat (pengguna) dan pihak swasta (developer). Dari segi pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana fenomena-fenomena umum yang menjadi kendala utama yaitu harga lahan di perkotaan semakin tinggi, kurangnya ketersediaan lahan, kurangnya partisipasi masyarakat baik dalam bentuk swadaya maupun pemeliharaan sarana dan prasarana yang ada, dan lain sebagainya, sedangkan ditinjau dari segi distribusi yaitu pemerataan sarana dan prasarana yang menimbulkan kesenjangan sosial antara kawasan pusat kota dan kawasan pinggiran kota. Kota Makassar sebagai salah satu kota dengan pelayanan jasa, sosial, ekonomi terbesar pada Kawasan Timur Indonesia (KTI) memberikan andil yang cukup besar dalam memicu perkembangan kota-kota lain yang berada di wilayah timur Indonesia umumnya dan bagi daerah hinterlandnya. Kota Makassar dalam Rencana Umum Tata Ruang terdiri atas bagian wilayah kota (BWK) yang membentuk fungsi kawasan-kawasan dan tersebar di seluruh Kota Makassar. Antaranya kawasan pendidikan, kawasan jasa dan perdagangan, kawasan industri, kawasan perkantoran, kawasan permukiman dan kawasan rekerasi/hiburan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang mendukung kelancaran aktivitas masyarakat. Di era globalisasi pembangunan perumahan di Kota Makassar terjadi perkembangan yang cukup pesat seiring dengan permintaan kebutuhan akan papan sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk. Implikasi dari pembangunan perumahan tersebut menuntut pula ketersediaan sarana dan prasarana perumahan. Kawasan Tanjung Bunga secara geografis terletak di sekitar 5 km sebelah barat daya dari jantung Kota Makassar yang merupakan daerah pesisir pantai Selat Makassar yang membentang sepanjang 8 km, yang pengembangannya di mulai sejak tahun 1997 secara fisik maupun non fisik. Ditinjau dari topografi Kawasan Tanjung Bunga merupakan daerah yang berdataran rendah dan juga termasuk daerah perairan karena merupakan daerah hilir aliran Sungai Jeneberang. Pembangunan pada Kawasan Tanjung Bunga perpaduan antara pariwisata, olah raga, bisnis, dan permukiman di atas lahan seluas 1000 ha, sedangkan tahap awal pembangunannya di mulai dari pembangunan pusat kawasan yaitu pada Kelurahan Tanjung Merdeka, dimana pembangunan

itu berupa pembangunan perumahan yang terdiri dari beberapa kompleks perumahan seluas 340 Ha, pembangunan ruko sebagai fasilitas perdagangan, pembangunan jalan akses dari dan ke Kota Makassar dan Kabupaten Gowa (PT. GMTD, Tbk, 2005). Kawasan Tanjung Bunga merupakan daerah pengembangan wilayah kota (BWK) C Kota Makassar yang memiliki fungsi utama sebagai rekreasi pantai dan jasa pariwisata, pusat perdagangan dan jasa sosial dengan fungsi penunjang pemerintahan Kota, perdagangan, permukiman, pendidikan, dan transportasi (revisi RUTRK Kota Makassar, 2001). 1. B. TUJUAN DAN KEGUNAAN 2. 1. TUJUAN Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu, untuk mengetahui ketersediaan sarana saat ini dan yang akan datang di Kawasan Tanjung Bunga 1. 2. KEGUNAAN

Sebagai bahan masukan bagi swasta (developer) yaitu PT. GMTD, Tbk dalam hal penyediaan kebutuhan sarana di Kawasan Tanjung Bunga . Sebagai bahan masukan bagi peneliti selanjutnya khususnya bagi pengembangan disiplin ilmu perencanaan wilayah dan kota

1. C. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada ketersediaan dan banyaknya Kebutuhan akan 1. D. METODE PENULISAN 1. a. Dalam melakukan penelitian diperlukan penetapan lokasi sebagai upaya pemecahan masalah sesuai dengan tujuan penlitian dan ditetapkan Lokasi GMTDC TANJUNG BUNGA. 2. b. Melakukan proses pendataan baik berupa data primer maupun data sekunder dengan melakukan teknik observasi, kuisoner maupun kunjungan lembaga atau instansis. 3. c. Dalam melakukan proses analisa digunakan analisis bunga berganda dalam memproyeksi tingkat kebutuhan sarana. 1. E. ANALISIS 2. a. Analisis Aspek Kependudukan Dari hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode bunga berganda, maka perkembangan jumlah penduduk di Kawasan Tanjung Bunga dapat diasumsikan yaitu jumlah penduduk 10 (sepuluh) tahun kedepan 2005 2010 dengan menggunakan metode bunga berganda, maka akan diperoleh jumlah penduduk sebesar 32.737 jiwa. 1. b. Analsisis Ketersediaan Sarana Dan Prasarana

Analisis kebutuhan akan sarana pendidikan diadasarkan pada kondisi real dimana hal tersebut belum memadai yang perhitungannya didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh Ditjen. Cipta Karya Dep. PU, Tahun 1979. 1. 1. Analisis Sarana Pendidikan Ketersediaan fasilitas pendidikan, merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui tingkat pendidikan di daerah/kawasan tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah mengupayakan program pendidikan bagi masyarakat baik secara formal maupun informal, yang mana pendidikan informal dapat ditempuh melalui kursus, pelatihan dan pembinaan. Sedangkan untuk pendidikan formal pemerintah telah menyediakan jenjang pendidikan yang di mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas serta Perguruan Tinggi. Hasil analisis evaluasi ketersediaan sarana pendidikan di atas berdasarkan standar perencanaan yang dikeluarkan oleh Ditjen. Cipta Karya Dep. PU, Tahun 1979 dapat dilihat bahwa untuk kebutuhan Taman kanak-kanak (TK) yang ada saat ini perlu adanya penambahan begitu pula dengan Sekolah Dasar (SD) sedangkan untuk sarana pendidikan lainnya yaitu Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) pada saat ini kurang memadai sedangkan Perguruan Tinggi (PT) tidak perlu mengalami penambahan. Sarana pendidikan yang ada di Kawasan Tanjung Bunga merupakan sekolah yang dikelola oleh pihak swasta dan memiliki sejumlah fasilitas yang ada di dalamnya yang berupa Laboratorium Bahasa Inggris, Komputer dan IPA. Sarana pendidikan yang ada di Kawasan Tanjung Bunga merupakan satu kompleks. Kebutuhan sarana pendidikan 10 (sepuluh) tahun ke depan untuk sarana pendidikan berupa : Taman Kanak-Kanak (TK) perlu adanya penambahan sebanyak 30 (tiga puluh) unit dengan kebutuhan lahan 36 ha, Sekolah Dasar (SD) penambahan sebanyak 19 (sembilan belas) unit dengan kebutuhan lahan 28,5 ha, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) perlu penambahan sebanyak 5 (lima) unit dengan kebutuhan lahan 50 ha serta Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) penambahan sebanyak 5 (lima) dengan kebutuhan lahan 100 ha. 1. 2. Analisis Sarana Peribadatan Dalam melaksanakan ritual keagamaan berupa ibadah menurut agama dan kepercayaan yang dianut, merupakan wujud kepercayaan terhadap Tuhan YME. Untuk dapat melaksanakan kegiatan keagamaan tersebut, diperlukan ketersediaan fasilitas peribadatan berupa tempat ibadah bagi masing-masing pemeluk agama. Dengan kondisi yang ada maka untuk ketersediaan sarana peribadatan yang ada saat ini masih belum memadai yaitu berupa sarana langgar serta belum adanya mesjid di Kawasan Tanjung sehingga dalam melaksanakan kewajiban yang berupa Shalat Jumat, maka masyarakat yang bermukim di Kawasan Tanjung Bunga yang hendak beribadah harus ke luar untuk mencari tempat beribadah.

Untuk ketersediaan 10 (sepuluh) tahun ke depan mengenai fasilitas peribadatan diperkirakan masih membutuhkan penambahan jumlah maupun pengadaan unit yaitu; sarana Langgar/Surau mengalami penambahan 11 (sebelas) unit dengan kebutuhan lahan 3,3 ha sedangkan untuk sarana Masjid untuk tahun 2015 perlu adanya pengadaan dengan melihat kondisi yang akan datang. Selain itu juga nantinya akan diadakan pembangunan Masjid dan Gereja yang berskala kawasan yang melayani, kebutuhan masyarakat di Kawasan Tanjung Bunga dan di daerah sekitarnya. 1. 3. Analisis Sarana Kesehatan Untuk menciptakan sumber daya manusia yang sehat, diperlukan peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, yang indikator pentingnya yaitu tersedianya sarana kesehatan yang berupa ; Poliklinik, Praktek Dokter, Apotek, dan Rumah Sakit Bersalin/BKIA : Ketersediaan sarana kesehatan yang ada saat ini yang berupa; Poliklinik tidak memadai dengan melihat jumlah penduduk yang ada saat ini, sedangkan Praktek Dokter, Apotek, dan Rumah Sakit Bersalin/BKIA yang ada saat ini masih memadai dengan melihat kondisi kependudukan serta standar perencanaan. Dengan kondisi yang mana berdasarkan standar perencanaan dan hasil proyeksi jumlah penduduk, maka beberapa jenis sarana kesehatan masih memerlukan beberapa penambahan yakni diantaranya; Poliklinik sebanyak 9 (sembilan) dengan kebutuhan lahan 2,7 ha, Praktek Dokter sebanyak 5 (lima), Apotek sebanyak 1 (satu) dengan kebutuhan lahan 0,35 ha, Rumah Sakit Bersalin/BKIA sebanyak 1 (satu) dengan kebutuhan lahan 1,6 ha. Selain penambahan dan pengadaan unitnya diperlukan juga pemeliharaan dan peningkatan pelayanannya terhadap masyarakat yang bermukim di Kawasan Tanjung Bunga maupun di daerah sekitarnya. dan nantinya di Kawasan Tanjung Bunga akan dilengkapi dengan Rumah Sakit type A yang sesuai dari perencanaan PT. GMTD, Tbk sebagai pengelola kawasan terpadu ini. 1. 4. Analisis Sarana Perdagangan dan Jasa Sedangkan untuk ketersediaan sarana perdagangan pada tahun proyeksi yaitu tahun 2015 masih membutuhkan pengadaan jenis sarana seperti pusat perbelanjaan lingkungan yang berupa minimarket yaitu sebanyak 1 (satu) unit yang melayani kebutuhan masyarakat di Kawasan Tanjung Bunga sedangkan untuk jenis sarana perdagangan yang berupa toko/warung perlu adanya penambahan yang mana sarana tersebut bergabung dengan permukiman Berdasarkan jumlah penduduk yang ada saat ini dengan memperhatikan standar perencanaan yang baku yang dikeluarkan oleh Ditjen Cipta Karya Dep. PU, Tahun 1979. Maka yang tidak memadai yaitu Toko/Warung dan untuk sarana perbelanjaan yang berskala lingkungan seperti minimarket saat ini belum ada, sedangkan untuk sarana yang lainnya sudah memadai seperti pusat perbelanjaan dan niaga, dan pertokoan (ruko). Disamping itu Pusat Perbelanjaan & Niaga (Mall) yang ada di Kawasan Tanjung Bunga merupakan Pusat Perbelanjaan dan Niaga (Mall) yang berskala regional yang melayani kebutuhan warga masyarakat di Kawasan Tanjung Bunga pada khususnya dan di Kota Makassar pada umumnya yang dikenal dengan nama Grade Trade Center (GTC).

Ketersediaan sarana perdagangan dan jasa merupakan aspek yang cukup esensial dalam perkembangan suatu kota atau wilayah, fasilitas perdagangan dan jasa juga merupakan suatu indikator dalam menentukan perkembangan tingkat perekonomian suatu wilayah, dimana ketersediaan sarana perdagangan dan jasa sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. 1. 5. Analisis Sarana Perkantoran Sarana perkantoran merupakan sarana sosial yang menunjang aktivitas di Kawasan Tanjung Bunga dengan melihat fungsi pelayanan dari pada sarana tersebut seperti Kantor Pemerintah yang berupa Kantor Kecamatan Tamalate yang berskala kawasan sebagai fungsi primer, sedangkan swasta yang berupa Kantor Manajemen PT.GMTD, Tbk, dan Kantor Kelurahan Tanjung Merdeka yang pelayanannya berskala lokal sebagai fungsi sekunder. Untuk melihat kebutuhan sarana perkantoran yang ada saat ini dengan menggunakan jumlah penduduk yang ada saat ini serta melihat standar perencanaan yang dikeluarkan oleh Ditjen. Cipta Karya Dep. PU, Tahun 1979. Maka segala kebutuhan sarana perkantoran yang ada saat ini sudah memadai, selain itu mungkin perlu adanya peningkatan di segi pelayanannya utamanya perkantoran yang bersifat memberikan pelayanan ke publik. Untuk sarana perkantoran yang telah ada saat ini tidak perlu mengalami penambahan melainkan perlu adanya peningkatan dari segi tingkat pelayanannya 1. 6. Analisis Sarana Olah Raga Dan Rekreasi Untuk sarana olah raga dan rekreasi merupakan sarana yang cukup penting dalam menciptakan manusia yang sehat jasmani maupun rohani, karena sesuai dengan fungsi sarana tersebut merupakan tempat untuk melakukan aktivitas yang memberikan dampak yang positif bagi kehidupan kita sehari-hari dan sebagai sarana untuk melepas lelah di dalam aktivitas kita seharian. Sehingga sarana olah raga dan rekreasi sangat penting untuk menunjang suatu kawasan. Kebutuhan sarana olah raga dan rekreasi untuk ketersediaan saat ini di Kawasan Tanjung Bunga sudah memadai yang berupa sarana olah raga yang meliputi: Lapangan Bulutangkis, dan Stadion Dayung yang merupakan sarana olah raga yang bersifat nasional karena ditempat tersebut sering diadakan kegiatan yang bersifat nasional, sedangkan untuk sarana rekreasi yang berupa rekreasi pantai yang dikenal dengan Akkarena dengan skala pelayanan yang bersifat regional pada umumnya dan Kawasan Tanjung Bunga pada khususnya serta taman bermain yang terletak dilingkungan hunian yang ada di Kawasan tanjung Bunga. Selain itu terdapat baruga atau balai pertemuan yang melayani kebutuhan masyarakat di Kawasan Tanjung Bunga untuk kegiatan atau pertemuan antar warga yang terletak di salah satu kawasan hunian yaitu perumahan taman Toraja. Untuk mengetahui kebutuhan sarana olahraga dan rekreasi untuk tahun 2015 adalah sebagai berikut sarana olahraga Lapangan Bulutangkis, Baruga dan Stadion Dayung tidak mengalami penambahan melainkan butuh adanya peningkatan kondisi dari pada sarana tersebut sedangkan untuk sarana rekreasi juga tidak mengalami penambahan tetapi memperbaiki kondisi serta

mengembangkan yang telah ada sesuai dengan perkembangan kedepan nantinya, hal ini di karenakan kawasan ini merupakan kawasan yang berbasis daerah pariwisata sesuai dengan peruntukannya dalam RUTR Kota Makassar, selain sarana tersebut sarana yang berupa taman yang merupakan sarana daripada kawasan hunian yang ada di Kawasan Tanjung Bunga perlu adanya penambahan sebanyak 10 (sepuluh). 1. c. Analisis Aspek Sarana di Tinjau dari Master Plan Kawasan Tanjung Bunga Analisis aspek sarana ditinjau dari master plan dimaksud untuk melihat apakah peruntukkan sarana yang terbangun sesuai dengan fungsi peruntukkannya, dimana hal ini mempunyai sasaran terwujudnya tingkat pencapaian sesuai dengan kawasan perencanaan dan untuk mengantisipasi impak dari pergerakan sebagai bangkitan yang berpengaruh terhadap permasalahan transportasi kedepannya serta permasalahan lingkungan lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari hasil peta over lay tinjauan eksisting sarana dengan master plan Kawasan Tanjung Bunga berikut. Dari tabel hasil over lay di atas dapat dilihat bahwa ada beberapa sarana yang ada saat ini tidak sesuai dengan peruntukkannya yaitu tidak berdasarkan dengan master plan yang dikeluarkan oleh PT. GMTD, Tbk yaitu sarana pendidikan yang berupa Taman Kanak-Kanak (TK), sarana kesehatan yang berupa BKIA (Rumah Sakit Bersalin), serta sarana perkantoran swasta yang berupa Kantor Manajemen PT. GMTD, Tbk. Sedangkan untuk sarana lainnya sudah sesuai dengan peruntukkannya yang sudah mengacu pada master plan di Kawasan Tanjung Bunga. 1. d. Analisis Sarana Dengan Menggunakan Metode Pembobotan Untuk Meninjau Ketersediaan Sarana yang Ada Saat ini di Kawasan Tanjung Bunga Analisis sarana dengan metode pembobotan disini dimaksudkan untuk mendapatkan nilai, dimana dari nilai bobot inidiidentifikasi terdapat tiga kategori yaitu memadai (baik) dalam artian memiliki tingkat ketersediaan, kurang memadai (kurang baik) dalam artian kurang memiliki tingkat ketersediaan, dan tidak memadai (tidak baik) dalam artian belum memiliki tingkat ketersediaan. Adapun pemboboton disini didasarkan pada variabel yang telah ditetapkan dan dijabarkan dalam sub variabel sesuai dengan klasifikasi untuk masing-masing eksisting sarana yang ada di Kawasan Tanjung Bunga. 1. 1. Sarana Pendidikan Tabel 01 Hasil Pembobotan Sarana Pendidikan Indikator Tingkat Pelayanan yang Skori Bob Standar Nil Sesuai Nil Nil ng ot Perencana Master Plan ai Persepsi/Masyarakat/Resp ai ai an onden 1 Sarana Jumlah Tingkat kebutuhan 5 1 unit tidak 3 1 Tingkat pencapaian sesuai Pendidikan; penduduk N Variabel o

TK

pendukung minimum

Kondisi

4 5

dengan fungsi peruntukkan ya dan 1 unit sudah sesuai dengan fungsi peruntukkan nya 8,66 2,66

Jumlah

1 SD Jumlah 1 penduduk pendukung minimum 1 3

Jumlah

SLTP Jumlah penduduk pendukun g minimum

Jumlah

SMU Jumlah 3 penduduk pendukun g minimum Jumlah 3 Sumber : Hasil Analisis Tahun 2005 Keterangan ; Asumsi pembobotan yaitu;

4,6 3 6 Tingkat kebutuhan 5 Sesuai 5 Tingkat pencapaian dengan Kondisi 5 fungsi peruntukann 5 ya 5 5 Tingkat kebutuhan 5 Sesuai 5 Tingkat pencapaian dengan Kondisi 3 fungsi peruntukann 5 ya 4,3 5 3 Tingkat kebutuhan 5 Sesuai 5 Tingkat pencapaian dengan Kondisi 5 fungsi peruntukann 5 ya 5 5

11

3,66

12,33 4,11

13

4,33

Memadai (baik) = 5 Kurang memadai (kurang baik) = 3 Tidak Memadai (tidak baik) = 1

1. 2. Sarana Peribadatan Tabel 02

Hasil Pembobotan Sarana Peribadatan Indikator Tingkat Pelayanan yang Standar Nil Sesuai Perencan ai Persepsi/Masyarakat/Res aan ponden 1 Sarana Jumlah Tingkat kebutuhan 1 Tingkat pencapaian Peribadatan; penduduk pendukun Kondisi Musholla g minimum h N Variabel o Jumlah 1 Nil Master ai Plan 1 1 1 1 Skori Bob Nil ng ot ai

Sesuai 5 dengan fungsi peruntukan nya 5 7 2,33

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2005 Keterangan ; Asumsi pembobotan yaitu;


Memadai (baik) = 5 Kurang memadai (kurang baik) = 3 Tidak Memadai (tidak baik) = 1

1. 3. Sarana Kesehatan Tabel 03 Hasil Pembobotan Sarana Kesehatan Indikator Tingkat Pelayanan yang Standar Nil Sesuai Perencan ai Persepsi/Masyarakat/Res aan ponden 1 Sarana Jumlah Tingkat kebutuhan 1 penduduk Tingkat pencapaian Kesehatan; pendukun Kondisi Poliklini g minimum k N Variabel o Jumlah

Nil Master ai Plan 5 5 5

Skori Bob Nil ng ot ai

Sesuai 5 dengan fungsi peruntukkan nya 5 5 11 3,66

Praktek Jumlah penduduk

1 5

5 Tingkat kebutuhan 3 Tingkat pencapaian

Sesuai dengan

dokter

pendukun g minimum 5 5

Kondisi 3 3 3 Tingkat kebutuhan 3 Tingkat pencapaian Kondisi 5

fungsi peruntukann ya 5 5 13 4,33

Jumlah

Apotek Jumlah penduduk pendukun g minimum

Jumlah

5 BKIA/ Rumah sakit bersalin Jumlah 5 penduduk pendukun g minimum 5


Jumlah

5 4,3 5 3 Tingkat kebutuhan 1 Tidak sesuai 1 Tingkat pencapaian dengan Kondisi 1 fungsi peruntukann 1 ya 1 1

Sesuai dengan fungsi peruntukann ya

14,33 4,77

2,33

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2005 Keterangan ; Asumsi pembobotan yaitu;


Memadai (baik) = 5 Kurang memadai (kurang baik) = 3 Tidak Memadai (tidak baik) = 1

1. 4. Sarana Perdagangan dan Jasa Tabel 04 Hasil Pembobotan Sarana Perdagangan Dan Jasa Indikator N Variabel o 1 Sarana Perdagangan dan Jasa;

Pst.

Tingkat Pelayanan yang Standar Nil Sesuai Perencan ai Persepsi/Masyarakat/Res aan ponden Jumlah Tingkat kebutuhan 5 penduduk Tingkat pencapaian pendukun Kondisi g minimum

Nil Master ai Plan 5 5 5

Skori Bob Nil ng ot ai

Sesuai 5 dengan fungsi peruntukkan nya

Perbelan jaan & Jasa (mall) Jumlah

Pertokoa Jumlah n (ruko) penduduk pendukun g minimum Jumlah Toko/war penduduk ung pendukun g minimum

5 5

5 Tingkat kebutuhan 5 Tingkat pencapaian Kondisi 5 5 5 Tingkat kebutuhan 3 Tingkat pencapaian Kondisi 5 5 4,3 3

Sesuai dengan fungsi peruntukann ya Sesuai dengan fungsi peruntukann ya

5 5

15

Jumlah

5 1

5 5

15

Jumlah

10,33 3,33

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2005 Keterangan ; Asumsi pembobotan yaitu;


Memadai (baik) = 5 Kurang memadai (kurang baik) = 3 Tidak Memadai (tidak baik) = 1

1. 5. Sarana Perkantoran Tabel 05 Hasil Pembobotan Sarana Perkantoran Indikator Nil Tingkat Pelayanan yang Standar ai Sesuai Perencana Persepsi/Masyarakat/Res an ponden 1 Sarana Jumlah Tingkat kebutuhan 5 Tingkat pencapaian Perkantoran; penduduk pendukung Kondisi Kantor minimum N Variabel o Nil ai Master Plan 3 1 Nil Skori Bob ai ng ot

Sesuai 5 dengan fungsi peruntukkan

Kecam atan Jumlah

nya

5 Kantor Jumlah 5 Lurah penduduk pendukung minimum 5 Ktr. Jumlah 5 Manaje penduduk men pendukun PT. g GMTD minimum , Tbk 5

Jumlah

1,6 6 Tingkat kebutuhan 3 Sesuai Tingkat pencapaian dengan Kondisi 1 fungsi peruntukann 1 ya 1,6 6 Tingkat kebutuhan 5 Tidak sesuai Tingkat pencapaian dengan Kondisi 5 fungsi peruntukann 5 ya

5 5

11,66 3,88

5 1

11,66 3,88

Jumlah

11

3,66

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2005 Keterangan ; Asumsi pembobotan yaitu;


Memadai (baik) = 5 Kurang memadai (kurang baik) = 3 Tidak Memadai (tidak baik) = 1

1. 6. Sarana Olahraga & Rekreasi Tabel 06 Hasil Pembobotan Sarana Olahraga & Rekreasi Indikator N Variabel o 1 Sarana Olahraga & Rekreasi; Nil Tingkat Pelayanan yang Nil Standar ai Sesuai ai Master Perencan Persepsi/Masyarakat/Res Plan aan ponden Jumlah Tingkat kebutuhan 3 Sesuai 5 penduduk Tingkat pencapaian dengan pendukung fungsi Nil Skori Bob ai ng ot 5

minimum

Kondisi

1 5

Lap. Bulutan gkis 5 5

peruntukkan nya

Jumlah

Dayung Jumlah penduduk pendukung minimum

3 Tingkat kebutuhan 5 Tingkat pencapaian Kondisi 5 5 5 Tingkat kebutuhan 5 Tingkat pencapaian Kondisi 1

Sesuai dengan fungsi peruntukann ya Sesuai dengan fungsi peruntukann ya

5 5

13

4,33

Jumlah

Baruga Jumlah penduduk pendukung minimum

5 5

5 5

15

Jumlah

5 Pantai Jumlah 5 Akkare penduduk na pendukung minimum 5 5


Taman Jumlah penduduk pendukung minimum

Jumlah

5 3,6 6 Tingkat kebutuhan 5 Sesuai Tingkat pencapaian dengan Kondisi 5 fungsi peruntukkan 5 nya 5 Tingkat kebutuhan 3 Sesuai Tingkat pencapaian dengan Kondisi 5 fungsi peruntukkan 5 nya 5

5 5

13,66 4,55

5 5

15

15

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2005 Keterangan ; Asumsi pembobotan yaitu;


Memadai (baik) = 5 Kurang memadai (kurang baik) = 3 Tidak Memadai (tidak baik) = 1

Tabel 07 Nilai Bobot Aspek Sarana Ditinjau Dari Standar Indeks Bobot Kualitatif Dan Kuantitatif

No

Variabel Sarana Pendidikan;

Nilai Bobot 2,66 3,66 4,11 4,33 2,33

Indeks Bobot Kuantitatif >35 >1 3 1 >35 >1 3 1

Indeks Bobot Kualitatif Kurang Memadai Memadai Memadai Memadai Kurang Memadai

TK SD SLTP SMU

Sarana Peribadatan; 2

Musholla

Sarana Kesehatan;

3,66 4,33 4,77 2,33 5 5 3,33 >35 >1 3 1 >35 >1 3 1

Memadai Memadai Memadai Kurang memadai Memadai Memadai Memadai

Poliklinik Praktek dokter Apotek BKIA/rumah sakit bersalin

Sarana Perdagangan dan Jasa;

Pusat perbelanjaan dan niaga (Mall) Pertokoan (ruko) Toko/Warung

Sarana Perkantoran;

3,88 3,88 3,66 >35 >1 3 1 >35 >1 3 1

Memadai Memadai Memadai

Kantor kecamatan Kantor lurah o Kantor manajemen PT. GMTD, Tbk

Sarana Olahraga Dan Rekreasi; 4,33 7


Memadai Memadai Memadai

Lap. Bulutangkis Dayung Baruga Pantai Akkarena

5 4,55

Taman

5 4,55

Memadai Memadai

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2005 F. DAFTAR PUSTAKA Amien, M. 1996. Penataan Ruang Untuk Pembangunan Wilayah Penerbit Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin Bratakusumah S. D. dan Riyadi. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Budihardjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung: Penerbit Alumni. Badan Perencanaan Daerah. 2001. Revisi Rencana Umum Tata Ruang Kota Makassar. Departemen PU Direktorat Jenderal Cipta Karya. 1998. Kamus Tata Ruang. Jakarta Jayadinata, J. T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan & Wilayah. Bandung: Penerbit ITB Bandung. Koestoer H. R. 1997. Perspektif Lingkungan Desa Kota. Jakarta Penerbit Universitas Indonesia. H. R. et al (ed.). 2001. Dimensi Keruangan Kota. Jakarta Penerbit Universitas Indonesia. Pedoman Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota. 1979. Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum W.J.S. Poerwadarminta. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta PN Balai Pustaka. Comments: Be the first to comment

pengelolaan sampah
Posted December 24, 2009 by syahriartato Categories: Uncategorized

Comments: Be the first to comment

STUDI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH

Posted December 24, 2009 by syahriartato Categories: Uncategorized

Abstract The aim of the study was to find out the physical characteristics of the final dumping site and its suitability with the concept of spatial arrangement and its impact on the quality of water around it. The study was descriptive. The variables studied were topographical, hydrological, geological, and physical conditions of the town spatial arrangement, land use around it, accecibility, BOD5, and E. Coli Bacteria. The results of the study indicate that the physical characteristics of the final dumping site support the permeation of leaches toward the river and settlement area in the western part of the location. The land use condition is relatively heterogeneous around the dumping site and there is no relationship between the components of space function. The dumping site is not suitable viewed from the aspect of spatial arrangement. Based on BOD5 and content of E. Coli Bacteria, it is apparent that the distance, topographical, and geological conditions have an effect on water pollution in the dumping site and its vicinity. The effect of E. Coli Bacteria on the distance (S1S14) of the dumping site indicates that the decrease tends to be linear, but at samples S15-S24, it tends to increase significantly. This condition indicates that the E. Coli Bacteria around the location is not only affected by the existence of the dumping site, but also by other factors such as the activities of the community around the location.

I. PENDAHULUAN 1. A. Latar Belakang

Kota Enrekang mengalami perkembangan yang pesat, yang berpengaruh terhadap meningkatnya produksi sampah di kota tersebut. Berdasarkan data dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Enrekang, produksi sampah Tahun 1997 di Kota Enrekang sebesar 29,31 m3/hari, kemudian pada Tahun 2002 menjadi 34,77 m3/hari ( meningkat rata-rata sebesar 3,72 %/tahun). Kebijakan pemerintah Kabupaten Enrekang dalam pengolahan TPA sampah yaitu menggunakan metode Lahan Urug Terkendali (Controlled Landfill). Prinsip pengolahan metode Lahan Urug Terkendali adalah secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah kemudian dilakukan perataan dan pemadatan sampah. Efektifitas penggunaan metode tersebut harus mempertimbangkan aspek kondisi fisik TPA, jenis dan karakteristik sampah, kemampuan pendanaan, dan prasarana pendukungnya

(Notoatmodjo, S. 1997). Tanpa mempertimbangkan aspek-aspek tersebut akan menimbulkan pencemaran lingkungan di sekitarnya, seperti terbentuknya rembesan lindi yang dapat mencemari air permukaan dan air tanah dangkal, serta polusi udara, serta pencemaran tanah. Indikasi tersebut lebih dipertegas dari penelitian terdahulu yang dilakukan di TPA Tamangapa oleh (Arifin 2001) yang menyimpulkan bahwa rembesan lindi yang keluar dari timbunan sampah membentuk alur yang mencemari air permukaan dan air tanah dangkal sekitar TPA. Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh (Yuliana 2001) menunjukan bahwa beberapa sumur di sekitar TPA Kabupaten Enrekang kondisi airnya berbau. Lebih lanjut Yuliana menyimpulkan bahwa kondisi kualitas air sumur di sekitar TPA Kabupaten Enrekang relatif berbau dan berubah warna terutama sumur-sumur yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi TPA. Juga disimpulkan bahwa penyakit diare dan kudis yang menjadi keluhan masyarakat sejak pertengahan Tahun 2000 disebabkan oleh pencemaran air akibat rembesan air lindi dari TPA tersebut. Mempertimbangkan jenis sampah di Kota Enrekang, maka di dalam penelitian tersebut disarankan pengolahan sampah dilakukan dengan pengomposan. 1. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana karakteristik fisik lokasi TPA sampah di Desa Batu Mila Kabupaten Enrekang ? 2. Apakah penempatan TPA sampah Kabupaten Enrekang sesuai dengan konsep penataan ruang? 3. Apakah TPA sampah Kabupaten Enrekang mencemari air lingkungan di sekitarnya ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan karakteristik fisik lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan kesesuaian penempatan TPA sampah Kabupaten Enrekang di tinjau dari aspek penataan ruang kota. 3. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengaruh TPA Sampah Kabupaten Enrekang terhadap pencemaran air lingkungan di sekitarnya. D. Kegunaan Penelitian 1. Sebagai salah satu masukan dalam pengolahan TPA sampah di Kabupaten Enrekang. 2. Sebagai salah satu masukan dalam penentuan lokasi TPA di Kabupaten Enrekang, dan kabupaten lainnya secara umum. 3. Sebagai salah satu masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya di bidang persampahan.

1. II. 2. A.

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Sampah

Menurut American Public Health Association, sampah (waste) diartikan sebagai suatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Menurut Mustofa (2000) sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembikinan atau pemakaian, barang rusak atau bercacat dalam pembikinan atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan. Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, maka sampah didefinisikan sebagai suatu zat atau benda-benda yang tidak terpakai lagi yang bersumber dari aktivitas manusia dan proses alam baik yang bersifat zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan. 1. B. Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah adalah upaya yang sering dilakukan dalam sistem manajemen persampahan dengan tujuan antara lain untuk meningkatkan efesiensi operasional. Menurut Madelan (1997), terdapat enam aktifitas yang terorganisir di dalam elemen fungsional teknik operasional pengelolaan sampah, sebagai berikut; 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Timbulan Sampah (Waste Generation) Pewadahan (Onside Storange) pengumpulan (Collection) Pemindahan dan Pengangkutan (Transfer dan Transport) Pemanfaatan Kembali (Procesing dan Recovery) Pembuangan Sampah (Disposal) C. Pengolahan TPA Sampah

Menurut Ryadi (1986), cara pembuangan akhir sampah merupakan salah satu aspek strategis dalam sistem pengolahan sampah. Beberapa metode pengolahan sampah dalam penerapannya adalah sebagai berikut; 1. Open Dumping atau pembuangan terbuka; merupakan cara pembuangan sederhana di mana sampah hanya dibuang pada suatu lokasi, dibiarkan terbuka tanpa pengaman dan ditinggalkan setelah lokasi penuh. 2. Controlled Landfill: Metode ini merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk menghindari potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam operasionalnya juga dilakukan perataan dan pemadatan sampah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan TPA. 3. Sanitary Landfill: metode ini dilakukan dengan cara sampah ditimbun dan dipadatkan kemudian ditutup dengan tanah, yang dilakukan terus menerus secara berlapis-lapis sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pekerjaan pelapisan sampah dengan tanah penutup dilakukan setiap hari pada akhir jam operasi. 4. Inceneration; cara ini dilakukan dengan cara membakar sampah. 5. Composting: cara pengolahan sampah untuk kebutuhan pupuk tanaman. 6. Individual Inceneration; setiap orang atau rumah tangga membakar sendiri sampahnya.

7. Recycling: cara ini memanfaatkan dan mengolah kembali sebagian sampah, seperti kaleng, kertas, plastik, kaca/botol dan lain-lain. 8. Hog Feeding: cara pengolahan dengan sengaja mengumpulkan jenis sampah basah (gerbage) untuk digunakan sebagai makanan ternak. Sejalan dengan itu, Wardhana (1995) menjelaskan bahwa walaupun sudah disediakan TPA, namun karena sampah yang dihasilkan terus bertambah, sehingga TPA ikut semakin meluas. Oleh karena itu, perlu dipikirkan lebih lanjut bagaimana mengurangi jumlah limbah padat (sampah) sampai ke TPA dengan memanfaatkan kembali limbah padat tersebut melalui daur ulang dan sistem pengomposan. 1. D. Pemilihan Lokasi TPA Sampah

Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 125/KPTS/1991 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Pembuangan Akhir Sampah, dijelaskan kriteria pemilihan lokasi TPA sebagai berikut; 1. Kriteria Regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak-tidaknya penempatan TPA, sbb; 1. Kondisi geologi; yaitu tidak berlokasi pada daerah besar yang aktif dan bukan pada zona bahaya geologi. 2. Kondisi hidrogeologi; yaitu tidak memiliki muka air tanah kurang dari 3 meter, tidak boleh kandungan tanah lebih 10-6 cm/det, jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter dari hilir aliran. 3. Kemiringan zona harus kurang dari 20 %. 4. Jarak dari bandara harus lebih besar dari 3.000 mtr. 5. Tidak pada daerah lindung dan daerah banjir periodik ( 25 thn). 6. Kriteria penyisih yaitu kriteria untuk memilih lokasi terbaik yaitu dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut; 1. Iklim yang meliputi: intensitas hujan kecil. arah angin dominan tidak menuju kepermukiman. 2. Utilitas, tersedia lebih lengkap. 3. Lingkungan biologis meliputi: daya dukung kurang menunjang flora dan fauna, habitat kurang bervariasi. 4. Kondisi tanah meliputi: produktifitas tanah rendah, kapasitas besar, tersedia tanah penutup yang cukup, status tanah tidak bervariasi. 5. Kepadatan penduduk rendah. 6. Masih dalam wilayah administrasi Kabupaten berangkutan. 7. Memiliki zona penyangga yang cukup, untuk bau dan kebisingan. 8. Estetika lingkungan (tidak terlihat dari keramaian dan jalan umum). 9. Biaya pengelolaan dan pengolahan yang murah. Sejalan dengan itu, berdasarkan pedoman penyusunan tata ruang wilayah dan kota Tahun 1997, faktor pertimbangan penentuan lokasi TPA sebagai berikut; 1. Di luar kawasan lindung (cagar alam, tangkapan air, hutan lindung);

2. Jauh dari sumber air bersih dan daerah rawan bencana; 3. Di luar aktifitas perkotaan, tetapi memiliki akses pencapaian yang baik; 4. Mempertimbangkan kecenderungan perkembangan kota; 5. Berlokasi pada lahan-lahan non produktif; 6. Berorientasi pada pemanfaatan jangka panjang; 7. Tidak harus dibatasi oleh wilayah administrasi. 1. E. Pencemaran Air Lingkungan

Menurut Wardana (1995), air yang bersih tidak hanya ditetapkan pada kemurniannya saja, tetapi didasarkan pada keadaan normalnya. Jadi air tercemar apabila air tersebut telah menyimpang dari keadaan normalnya. Tanda-tanda atau indikator air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan yang dapat diamati melalui; (i) perubahan suhu air, (ii) perubahan pH, (iii) adanya perubahan warna, bau, dan rasa, (iv) timbulnya endapan, koloidal, bahan tersuspensi, (v) adanya mikroorganisme, (vi) meningkatnya BOD5 air lingkungan. Sejalan dengan itu, menurut Notoadmodjo (1997), syarat-syarat air yang sehat sebagai berikut; 1. Syarat fisik air minum adalah bening (tidak berwarna), tidak berasa, suhu di bawah suhu udara di luarnya. 2. Syarat bakteriologis air minum harus bebas dari segala bakteri terutama bakteri patogen. Apabila dari pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang dari 20102 Bakteri E. Coli, maka air tersebut sudah memenuhi syarat kesehatan. 3. Syarat kimia air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu dalam jumlah tertrentu pula. Lebih jelasnya baku mutu air, dapat dilihat tabel berikut; Tabel 1. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Domestik (KepGub. Sulsel No. :14 Thn 2003) Paramater Satuan pH BOD5 COD TSS B.E. Coli Kadar Maksiman* A B C 6-9 6-9 6-9 25 40 75 80 100 125 20 35 50

mg/l mg/l mg/l MPN/ 2500 5000 100 ml

Keterangan:

* = Kecuali pH Kategori A : - Kawasan permukiman (real estat) ukuran > 200 Ha - Restourant [rumah makan] ukuran > 2.300 m2 - Perkantoran, perniagaan dan apartemen ukuran > 50.000 m2. Kategori B - Kaw. permukiman (real estat) ukuran 16-200 Ha. - Restourant [rumah makan] ukuran 1.400-2.300 m2 - Perkantoran, perniagaan dan apartemen ukuran 10.000-50.000 m2. Kategori C - Restourant [rmh makan] ukuran 500-1.400 m2 - Perkantoran, perniagaan dan apartemen dengan ukuran 5.000-10.000 m2. 1. III. METODE PENELITIAN

A.

Populasi dan Sampel

Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah air lingkungan yang terdapat di sekitar lokasi TPA yang terdiri atas rembesan air lindi (air genangan), air sumur dangkal dan air Sungai Mila dengan jumlah sampel sebanyak 24 titik. Pengambilan sampel didasarkan pada kondisi topografi (arah pergerakan lindi) dan jarak. Metode penarikan sampel ini dilakukan secara sengaja (Purposive Sampling), pada daerah rembesan air lindi di lokasi TPA (2 sampel), pada rembesan air lindi/air genangan sekitar lokasi TPA (12 sampel), pada sumur-sumur di sekitar lokasi TPA (8 sampel) dan di sungai Mila (2 sampel).

B.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data disesuaikan dengan data yang akan diambil, meliputi; 1. Pengukuran; melakukan pengukuran terhadap indikator kualitas air yang meliputi BOD5 dan Bakteri E. Coli.

2. Observasi; Pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap kondisi fisik alamiah TPA sampah dan guna lahan daerah sekitarnya, dengan melakukan sketsa dan pemetaan tematik lokasi. Teknik ini digunakan untuk mendiskripsikan secara terperinci karakteristik fisik di sekitar TPA. 3. Wawancara; (i) Teknik wawancara non struktur, yaitu melakukan wawancara kepada Aparat Pemda Enrekang berkaitan dengan lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang, dan (ii) Focus Group Discussion, yaitu wawancara kepada kelompok masyarakat tentang TPA sampah di Kabupaten Enrekang. 4. Dokumentasi; Merupakan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait seperti BPS, Bappeda, Bapedalda, BPN, serta penelitian terdahulu yang relevan.

C.

Variabel Penelitian

Dari uraian rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat dirumuskan variabel penelitian sebagai berikut;

1. Untuk menjawab rumusan masalah pertama, ditentukan variabel, sbb;


1. Kondisi Topografi 2. Kondisi Hidrologi 3. Kondisi Geologi

2. Untuk menjawab rumusan masalah kedua, ditentukan variabel sbb;


1. Penggunaan Lahan sekitar TPA 2. Pencapaian (Aksesibilitas) 3. Perkembangan Fisik Ruang Kota Enrekang

3. Untuk menjawab rumusan masalah ketiga, ditentukan variabel variabelnya, meliputi; BOD5 dan Bakteri E. Coli. D. Metode Analisis

Teknik analisis data yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah, sbb; 1. Rumusan masalah butir (a) dianalisis dengan teknik statistik diskriptif. 2. Rumusan masalah butir (b), dianalisis dengan teknik statistik diskriptif. 3. Rumusan masalah butir (c), dianalisis dengan menggunakan analisis statistik diskriptif. 1. Kecenderungan Perkemb. Fisik Kota
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tinjauan Lokasi TPA terhadap Tata Ruang Kota

Arah perkembangan Kota Enrekang dihambat oleh keadaan alam berupa gunung yang ada di sekelilingnya. Pengembangan ruang fisik secara ekstensif di Kota Enrekang tidak memungkinkan lagi, sehingga harus mempertimbangkan alternatif lahan-lahan kosong pada daerah sekitarnya yang potensi untuk kegiatan perkotaan. Secara alamiah kecenderungan perkembangan fisik kota saat ini adalah mengikuti jalur jalan poros ke selatan Kota Enrekang dan sebagian kecil berkembang ke arah timur. Perkembangan fisik kota saat ini menunjukan fenomena penggunaan ruang yang tidak mempertimbangkan pelestarian lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa permukiman masyarakat yang telah merambah sampai ke kawasan lindung yang terdapat di arah timur dan utara kota ini. 1. Kebijakan Penataan Ruang Kota Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Enrekang Tahun 2001-2010 sebagai salah satu instrumen yang berkekuatan hukum dalam pemanfaatan ruang di Kabupaten Enrekang, telah mengarahkan penggunaan ruang Kabupaten Enrekang sedemikian rupa sebagai pengejawantahan dari visi Kabupaten Enrekang. Salah satu arahan pengembangan fisik Kota Enrekang menurut RTRW tersebut adalah wilayah Kecamatan Maiwa, dimana arahan fungsi pengikat wilayah Kecamatan Maiwa tersebut adalah industri dan perkebunan, sedangkan fungsi penunjang adalah permukiman dan fasilitas pendukung lainnya. Sementara itu, lokasi TPA yang ada saat ini juga terdapat di Kecamatan Maiwa. 1. Aksesibilitas Secara umum sistem transportasi darat di Kabupaten Enrekang sangat dipengaruhi pola persebaran permukiman dan kondisi geografis wilayahnya. Pola permukiman yang terpencar serta kondisi geografi relatif bergelombang/pegunungan, menjadi kendala dalam pengembangan ruang Kabupaten Enrekang termasuk pengelolaan persampahan. Sistem pengelolaan persampahan di Kabupaten Enrekang belum menunjukan hasil yang optimal baik ditinjau dari aspek pewadahan/ pengumpulan maupun dari aspek pengangkutan ke TPA. Jarak Kota Enrekang ke lokasi TPA yang relatif jauh yaitu sekitar 23 km serta sistem pewadahan/pengumpulan yang masih didominasi oleh metoda individual merupakan kendala yang dalam rangka teknik operasional pengelolaan sampah di Kabupaten Enrekang. Tingkat

pencapaian armada angkutan sampah ke TPA ditempuh selama 6 jam tiap kali pengangkutan. Sehingga tiap kendaraan masing-masing hanya bisa mengangkut sampah 2 kali / hari. Jumlah armada angkutan sampah yang dioperasikan tiap hari sebanyak 2 unit dengan kapasitas 6 m3/unit, sehingga jumlah rata rata pengangkutan setiap hari sebanyak empat kali kendaraan atau sebanyak 24 m3, sementara volume produksi sampah tiap hari di Kota Enrekang adalah kurang lebih 34,77 m3/hari. Oleh karena itu, dipertimbangkan alternatif lokasi baru TPA Kota Enrekang yang mudah dijangkau, namun tetap mempertimbangkan aspek lingkungan hidup. 1. Aspirasi Masyarakat Hasil wawancara dengan 60 responden di Kota Enrekang yang terdiri masyarakat sekitar TPA (15 responden) dan masyarakat Kota Enrekang (40 responden) serta Pemda Kabupaten Enrekang dalam hal ini Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Enrekang (5 responden), secara umum menjawab pertanyaan bahwa tidak sepakat penempatan lokasi TPA di Desa batu Mila, dengan pertimbangan; Lokasi TPA sampah relatif jauh dari Kota Enrekang. Tingkat pencapaian yang relatif sulit ke lokasi TPA. Mencemari lingkungan sekitarnya terutama Sungai Bila dan permukiman sekitarnya. Bergabung dengan kawasan permukiman dan lokasi bumi perkemahan pramuka. Menciptakan pembiayaan operasional yang tinggi.

Matriks hasil wawancara dengan masyarakat di Kota Enrekang, sbb; Tabel 2 Matriks Hasil Wawancara dengan Masyarakat Kabupaten Enrekang Jawaban No. Persepsi Masyarakat responden Jumlah % 1 Reatif Jauh dari Kota 45 75,0 Enrekang Tidak setuju karena 41 63,3 ekses rendah 2 Mencemari 57 95,0 Lingkungan Sekitarnya 3 Berdekatan dengan 39 65,0 kawasan permukiman dan Bumi Perkemahan

Pramuka Menciptakan Biaya Operasional Yg Tinggi

32

53,3

B. Tinjauan TPA Terhadap Kualitas Air Lingkungan

Untuk menilai air yang bersih, tidak hanya ditetapkan pada kemurnian saja, tetapi juga didasarkan pada keadaan normalnya. Apabila terjadi penyimpangan dari keadaan normal berarti air tersebut telah mengalami pencemaran. Keadaan normal tersebut tergantung dari kegunaan & asal sumber air. Dalam penilaian kualitas air di kawasan TPA sampah dan sekitarnya di Kabupaten Enrekang ini, beberapa indikator air lingkungan yang diamati perubahan-perubahannya meliputi; (i) Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD5) dan (ii) Kandungan Bakteri E. Coli. Dalam pengamatan tersebut, diambil 24 sampel pada titik-titik sampel yang dianggap sebagai tempat-tempat rembesan air lindi dengan pertimbangan kondisi topografi, geologi dan jarak. Lebih jelasnya titik-titik pengambilan sampel, dapat dilihat pada gambar berikut. Berdasarkan hasil pengujian sampel air pada 24 titik sampel yang dilakukan di Laburatorium Kimia Fakultas Teknik Universitas 45 Makassar, maka diketahui kondisi air lingkungan di TPA sampah Kabupaten Enrekang dan sekitarnya, sebagaimana pada tabel berikut; Berdasarkan tabel tersebut, dapat diuraikan kondisi dan kualitas air di TPA sampah dan sekitarnya, sebagai berikut; Tabel 3. Karakteristik Sampel Air di Kawasan TPA Kabupaten Enrekang Jarak No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Kode S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 (m) 0 0 5 10 22 24 30 55 67 60 80 94 88 (mg/l) 327,60 323,50 242,20 137,30 112,80 112,70 110,20 98,50 52,30 96,00 96,00 48,20 47,00 (MPN/100 ml 77 X 102 78 X 102 62 X 102 59 X 102 59 X 102 61 X 102 57 X 102 51 X 102 46 X 102 47 X 102 42 X 102 42 X 102 27 X 102 BOD5 Bakteri E-Coli

14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

S14 S15 S16 S17 S18 S19 S20 S21 S22 S23 S24

86 90 105 120 125 100 200 200 165 126 150

38,80 38,80 38,50 33,10 36,10 27,80 19,40 19,10 20,30 19,50 18,90

21 X 102 77 X 102 81 X 102 82 X 102 81 X 102 95 X 102 41 X 102 96 X 102 75 X 102 99 X 102 97 X 102

Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Fakultas Teknik Univ. 45 Makassar

1. 1.

Penilaian BOD5

Hasil pengujian kandungan BOD5 dalam air pada lokasi TPA sampah dan sekitarnya pada jarak antara 0-150 m menunjukkan bahwa kandungan BOD5 pada titik pengambilan sampel S1dan S13 menunjukan kandungan BOD5 berada di atas ambang batas. Kandungan BOD5 yang relatif cukup tinggi terutama terjadi pada sampel S1 dan S2 yaitu masing-masing 327,60 mg/l dan 323,50 mg/l. Pengambil sampel tersebut dilakukan dalam lokasi TPA sampah. Sementara itu, pada sampel S3 sampai dengan S7 cenderung menurun, tetapi masih dalam kategori cukup tinggi yaitu di atas 100 Mg/L. Selanjut dari titik sampel S8 sampai dengan S13 kandungan BOD5 masih pada ambang batas yang tidak diperbolehkan, tetapi menunjukan penurunan yang relatif linier, bahkan pada sampel S9 terjadi penurunan yang cukup signifikan yaitu dari 98,50 mg/l pada S8 turun menjadi 52,30 mg/l pada S9. Penurunan kandungan BOD5 yang cukup drastis pada sampel S9 disebabkan oleh kondisi lahan pada daerah tersebut merupakan lokasi pembuatan batu cipping yang telah dilengkapi saluran drainase di sekelilingnya serta sudah mengalami pemadatan yang maksimal, sehingga sulit terjadi perembesan air lindih pada lokasi tersebut. Selanjutnya pada S10 kembali terjadi kenaikan BOD5 dari 52,30 mg/l pada S9 menjadi 96,00 mg/l pada S 10. Kemudian dari sampel 10, sampel S11 sampai pada sampel terakhir 24 (S24) terus mengalami penurunan. Penurunan kandungan BOD5 sampai mencapai titik di bawah ambang batas terjadi pada sampel S14 (kandungan BOD5 =38,80 mg/l) sampai pada S24 (kandungan BOD5 = 18,90 mg/l). Diagram hubungan kandungan BOD5 terhadap jarak diperlihatkan pada gambar berikut. Grs. ambang batas diperbolehkan

Gambar 2. Diagram Hubungan kandungan BOD5 air terhadap jarak. Gambar diagram tersebut di atas menunjukkan sebaran pencemaran air yang cenderung linier pada kawasan TPA kecuali pada titik sampel 9 (S9) mengalami penurunan kandungan BOD5 yang relatif drastik. Tingginya kandungan BOD5 di sekitar lokasi TPA tersebut merupakan konsekwensi dari belum adanya pengolahan sampah yang baik di TPA tersebut, misalnya tidak adanya drainase dan kolam oksidasi yang memadai pada kawasan tersebut, sehingga terbentuk genangan-genangan air lindih dan selanjutnya meresap ke dalam tanah. Berdasarkan pola sebaran BOD5 dalam air di sekitar TPA, menunjukan bahwa kondisi topografi dan jarak turut mempengaruhi sebaran pencemaran air di sekitar lokasi TPA. 1. 2. Penilaian Bakteri E-Coli

Berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan, pengendalian Pencemaran Air, Udara, Penetapan Baku Mutu Limbah Cair, Baku Mutu Udara Ambien dan Emisi serta Baku Mutu Tingkat Gangguan Kegiatan yang Beroperasi di Propinsi Sulawesi Selatan, dalam penelitian ini akan digunakan parameter kualitas air kategori A yaitu parameter kualitas air pada kawasan permukiman dengan ukuran 16-200 Ha dengan kadar maksimal BOD5 adalah 50102 mg/l. Hasil pengujian kandungan Bakteri E. Coli pada lokasi TPA pada jarak 0-150 m menunjukan pola sebaran relatif berfluktuasi. Pada titik sampel antara S1 (dalam lokasi TPA) S18 (jarak 86 meter ke arah utara) kandungan Bakteri E. Coli relatif menurun secara linier. Diantara sampel tersebut, kandungan Bakteri E. Coli di atas ambang batas terjadi pada sampel S1 sampai dengan sampel S8, sedangkan sampel S9 sampai dengan sampel S14 kandungan Bakteri E. Coli Berada di bawah ambang batas. Namun demikian, pada sampel S15 (jarak 90 meter) S24 (jarak 150 m) terjadi peningkatan kandungan Bakteri E. Coli yang cukup signifikan kecuali pada sampel S20 terjadi penurunan di bawah ambang batas. Peningkatan terutama terjadi pada sampel air di daerah permukiman khususnya pada sumur-sumur penduduk. Sedangkan penurunan secara drastis terjadi pada sampel S20 disebabkan karena lokasi pengambilan sampel yang dilakukan di seberang jalan (jalan tersebut membatasi titik sampel dengan perumahan dan TPA), sehingga pemadatan tanah oleh jalan menyulitkan perembesan ke titik sampel tersebut. Pola sebaran Bakteri E. Coli tersebut di atas, menunjukan bahwa lokasi TPA berpengaruh terhadap kandungan bakteri E. Coli dalam air. Semakin jauh air dari lokasi TPA semakin kecil kandungan Bakteri E. Coli. Selain dari pengaruh jarak terhadap kandungan Bakteri E. Coli dalam air tersebut, kondisi topografi dan geologi lokasi penelitian turut berpengaruh terhadap sebaran Bakteri E. Coli dalam air di lokasi tersebut. Jenis batuan konglomerat yang terdapat pada lokasi penelitian memiliki porositas yang tinggi dalam menyebarkan cairan lindi yang mengandung Bakteri E. Coli bersumber dari TPA sampah tersebut. Demikian pula kondisi topografi yang relatif bergelombang menjadikan pola sebaran Bakteri E. Coli cenderung berfluktuasi.

Sementara itu, kandungan Bakteri E. Coli yang cenderungan meningkat pada sampel S15 sampai S24 (kecuali sampel S20), disebabkan oleh aktifitas masyarakat yang bermukiman di sekitar TPA tersebut seperti kondisi saluran air kotor rumah tangga dan jamban keluarga yang belum di desain dengan baik sehingga dengan mudah terjadi rembesan ke sumur-sumur penduduk dan air lingkungan di kawasan tersebut. Diagram sebaran Bakteri E. Coli diperlihatkan pada gambar berikut. Grs. ambang batas diperbolehkan

Gambar 3. Diagram hub. kandungan Bakteri E. Coli dalam air terhadap jarak.

V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui karakteristik fisik lokasi TPA sampah Kabupaten Enrekang, sebagai berikut; 1. Struktur geologi TPA sampah Kabupaten Enrekang merupakan batuan konglomerat searah dengan kemiringan lahan, memudahkan rembesan lindih ke arah barat kawasan permukiman. 2. Kondisi topografi pada lokasi TPA relatif bervariasi membentuk kemiringan yang relatif terjal ke arah barat sampai ke Sungai Mila, mempercepat rembesan air lindih sampai kawasan permukiman sekitar Sungai Bila. 2. Berdasarkan hasil penelitian, lokasi TPA sampah yang ada di Batu Mila tidak sesuai ditinjau dari aspek penataan ruang. 3. Berdasarkan indikator BOD dan Bakteri E. Coli, menunjukan bahwa TPA sampah Kabupaten Enrekang telah mencemari air lingkungan di sekitarnya dampai radius 150 meter 4. Agar dilakukan studi lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang. 5. Sebaiknya lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang tidak terpusat pada satu kawasan saja, tetapi terdistribusi berdasarkan kondisi geografis dan tipologi kota di Kabupaten Enrekang . 6. Agar Masyarakat dan Pemda Kabupaten Enrekang memulai program pengomposan sampah organik dalam mendukung dan menciptakan program Sistem Pertanian Organik (Organic Farming) baik dalam skala individual maupun dalam skala Komunal (kelompok).

B. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1990. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Enrekang. Bappeda Kabupaten Enrekang. Alswar, J.R.L. 1988. Pengantar Ilmu Gunungapi. Nova, Bandung. Arifin F. 2001. Tinjauan Geohidrologi Sebagai Salah Satu Pertimbangan Dalam Pemilihan Lokasi TPA Sampah (Studi Kasus TPA Sampah Tamangapa Makassar). Tesis tidak diterbitkan. Prorgam Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. A Warld Health Organitation Expert Committee. 1989. Enviromental Sanitary. Proc. Nat. Sym Therm. Poll. Vanderbilt University Press, Nashville, Tenn. Azikin, S. 1980. Dasar-Dasar Geologi Struktur. Departemen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung, Bandung. Azwar. A. 1989. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta. Budihardjo. E. 1999. Kota Berkelanjutan. Alumni, Bandung. Damanhuri E. 1990. Penelitian Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah dan Pengelolaan Sampah Tepat Guna. Bandung. Hidartan dan Handayana, 1994. Pemetaan Geomorfologi Sistematis Untuk Studi Geologi, Proceding Volume II. Pertemuan Ilmiah Tahunan XXIII Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Bandung. Lahee, F.H. 1997. Field Geology. Sixth Edition, McGraw-Hill Book Company Inc. Kogakhusa Company, Ltd, New York, Toronto, London and Tokyo. Madelan. 1997. Sistem Pengelolaan Sampah. Instalasi Penerbitan PAM-SKL, Ujungpandang. Mustofa,H.A. 2000. Kamus Lingkungan. Rineka Cipta, Solo. Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta. Ryadi, W. 1986. Pedoman Teknis Pengelolaan Persampahan. Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Jakarta. Ruslan H.P. (1988). Ekologi Lingkungan Pencemaran. Satya Wacana, Semarang. Slamet R., 1984. Pencemaran Air. Karya Anda, Surabaya. Soemarwoto, O. (1989). Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan, Bandung. Sudjana. 1992. Metode Statistika. Tarsito Edisi ke-6, Bandung.

Sulawesi II Urban Development Project Pekerjaan Umum. 1999/2000. Prosedur Pengoperasian Standar TPA Sampah., Departemen Pekerjaan Umum, Ujungpadang. Tri C.S. 1998. Penelitian Secara Cepat Pencemaran Air, Tanah, dan Udara. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Unaradjan, U. 2000. Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial. PT. Grasindo, Jakarta. Vehoef, P.N.W. 1989. Geologi Untuk Teknik Sipil. Erlangga, Jakarta. Wardhana W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset, Yogyakarta. Yayasan LPMB. 1991. Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Yuliana.2001. Studi Pengelolaan Sampah di Kabupaten Enrekang Ditinjau Dari Aspek Pewadahan dan Pengangkutan. Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Planologi Universitas 45, Makassar. Comments: Be the first to comment

STUDI ARAHAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN


Posted December 24, 2009 by syahriartato Categories: Uncategorized

Abstrak Kerusakan sungai umumnya disebabkan oleh hilangnya hutan di daerah hulu sebagai akibat dari penebangan pohon yang tidak diikuti oleh peremajaan kembali, peladangan yang berlokasi di daerah pinggiran sungai serta terjadinya sedimentasi yang diakibatkan oleh erosi berkepanjangan tanpa adanya pengendalian dan dapat berakibat terjadinya luapan banjir yang pada akhirnya menggenangi daerah perumahan dan permukiman penduduk. Permasalahan utama yang mengakibatkan kerusakan lingkungan sungai sebagai akibat adanya permukiman di sekitar bantaran sungai tanpa memperdulikan aturan sempadan sungai. Perubahan status sosial ekonomi masyarakat dan kekurangmampuan sebagian warga diduga dengan sendirinya akan berdampak pada peningkatan intensitas untuk bermukim disekitar bantara sungai dengan harapan dapat membuka lahan perkebunan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Disisi lain dengan terbukanya lahan disekitar bantara sungai akan menyebabkan mudahnya terjadi penurunan (degradasi tanah) dan semakin tingginya tingkat erosi yang dapat ditimbulkan. Untuk menjaga DAS Lawo, maka diperlukan arahan pengelolaan dan pemanfaatannya.

1. A.

Pendahuluan

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisahan topografi yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh diatasnya kedalam suatu sistem pengaliran sungai atau tempat tertentu sesuai dengan kepentingan. Salah satu usaha pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan kaitannya dengan pengendlian aliran sungai adalah untuk memenuhi keselamatan penduduk dari bahaya ancaman banjir yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Kondisi demikian disebabkan oleh rusaknya system tata lingkungan pada daerah aliran sungai, terutama pada bagian hulu. Daerah hulu yang merupakan pengatur lingkungan (condition environment), telah terjadi kerusakan lingkungan, sepeti: perambahan hutan lindung, perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi kebun campuran, dari kebun menjadi lahan pemukiman, yang berakibat terhadap tingginya aliran permukaan (run-off), air hujan yang jatuh hanya sebagian kecil yang meresap kedalam tanah, dimana sebagian besar mengalir di permukaan yang menuju kesungai sebagai badan air. Kondisi demikian diperparah oleh adanya penambangan Galian C didaerah aliran sungai bahkan dibadan sungai, sehingga membuat ekosistem sungai rusak. Dampak air yang ditimbulkan adalah rendahnya debit air yang masuk di daerah irigasi pada musim kemarau, yang mengakibatkan berkurangnya luas lahan budidaya dari tahun ketahun. Kondisi ini kalau di biarkan terus berlangsun akan berdampak terhadap menurunnya produksi terutama sektor pertanian, yang merupakan salah satu sektor andalan kabupaten soppeng. Salah satu sungai yang terdapat di Kabupaten Soppeng adalah Sungai Lawo yang melintasi di empat Kecamatan yaitu Kecamatan Lalabata, Donri-Donri, Ganra dan Kecamatan Lilirilau, dengan luas kawasan DAS 17.104.45 Ha. Untuk meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan di DAS Lawo, maka perlu di lakukan suatu kajian guna menyusun rencana pengelolaan kaitannya dengan alokasi berbagai kegiatan budidaya dan non budidaya yang dapat di lakukan dalam a DAS Lawo, dengan tujuan kondisi debit air pada musim kemarau dan musim penghujan tidak terlalu jauh berbedah dan pada saat musim hujan DAS tersebut tidak menimbulkan banjir yang dapat merugikan. Disamping untuk mendapatkan hasil ekonomis yang optimal dari hasil kegiatan budidaya tanpa merusak ekosistem lingkungan DAS Lawo. Proses Pengendalian DAS Lawo bertujuan untuk mewujudkan rasa aman dikalangan masyarakat yang hidup di daerah sekitar aliran sungai dan melestarikan ekosistem, flora dan fauna serta jenis-jenis biota yang hidup didalam sungai. Dengan demikian pengendalian daerah aliran sungai pada prinsipnya ditujukan untuk meminimalkan ancaman banjir, kerusakan ekosistem sungai, kelestarian fungsi sungai dan yang terpenting adalah tuntutan hidup masyarakat dapat berjalan sesuai dengan koridor untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, jauh dari bahaya yang dapat diakibatkan oleh luapan air sungai yang sewaktu-waktu dapat terjadi. 1. B. Tujuan dan Sasaran Penelitian

1. Tujuan Tujuan pelaksanaan penelitian pengelolaan dan pemanfaatan DAS Lawo sebagai berikut: Untuk menentukan konsep pengelolaan DAS Lawo, sehingga terjadi kesimbangan antara daerah budidaya dan non-budidaya dan untuk mempertahankan dan memperbaiki lingkungan sistem hidrologis Sungai Lawo. 3. Sasaran Pekerjaan Sasaran yang ingin dicapai dalam pelaksanaan studi arahan pengelolaan dan pemanfaatan DAS Lawo sebagai berikut : (1) meningkatkan stabilitas tata air, (2) meningkatkan stabilitas tanah, (3) meningkatkan pendapatan petani, dan (4) meningkatkan perilaku masyarakat ke arah kegiatan konservasi. 1. C. Tinjauan Teoritis.

1. Karakteristik DAS. Air adalah salah satu sumberdaya alam yang memiliki sifat yang unik, dilihat dari kemampuannya untuk memugar diri (self restoring capability). Ditinjau secara setempat air dapat menyusut atau habis, akan tetapi secara keseluruhan air tidak akan habis selama faktorfaktor pembentuknya tetap ada dan tetap berfungsi. Air dapat disebut sebagai sumberdaya yang mengalir (flowing resources), sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai suatu static resources, tetapi sebagai suatu dynamic resources,. Pada dasarnya DAS merupakan suatu wilayah yang menampung air, menyalurkan air tersebut dari suatu aliran ke seperangkat aliran tertentu dari hulu ke hilir dan berakhir di suatu tubuh/badan air bumi seperti danau atau laut. DAS juga merupakan suatu gabungan sejumlah sumberdaya darat. Sumberdaya yang menjadi unsur suatu DAS ialah iklim, geologi atau sumberdaya mineral, tanah, air, flora dan fauna, manusia, dan berbagai sumberdaya budaya, sedemikian rupa sehingga DAS dapat dikatakan merupakan suatu sumberdaya yang bergatra ganda dan terdiri atas berbagai macam sumberdaya tunggal. Tiap sumberdaya pembentuk DAS memerlukan penanganan yang berbeda-beda tergantung pada watak, kelakuan dan kegunaan masing-masing. 1. 2. Pengelolaan DAS.

Pengelolaan DAS biasanya ditujukan kepada pengelolaan dua unsurnya yang dianggap penting, yaitu sumberdaya tanah dan sumberdaya air. Unsur-unsur lain seperti; iklim, vegetasi, dan manusia diperlakukan sebagai faktor-faktor dalam pengelolaan. DAS dapat dibagi menjadi dua satuan pengelolaan yakni satuan pengelolaan DAS hulu mencakup seluruh daerah tadahan atau

daerah kepala sungai, dan satuan pengelolaan DAS hilir mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah bawahan. Pengolahan DAS hulu ditujukan untuk mencapai hal-hal berikut; a) b) Mengendalikan aliran permukaan lebih yang merusak sebagai usaha pengendalian banjir. Memperlancar infiltrasi air ke dalam tanah,

c) Mengusahakan pemanfaatan aliran permukaan untuk maksud-maksud yang berguna bagi kesejahteraan manusia, d) Mengusahakan semua sumberdaya air dan tanah untuk memaksimumkan produksi

Perlakuan terhadap DAS hulu merupakan bagian terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS karena hal itu akan menentukan manfaat-manfaat besar yang dapat diperoleh atau peluang yang terbuka dalam pengelolaan DAS hilir. Pada prinsipnya DAS hulu perlu dikelola dengan penekanan utama sebagai fungsi konservasi. Perlakuan terhadap daerah hilir akan menentukan seberapa besar manfaat yang secara potensial dapat diperoleh dari pengelolaan daerah hulu akan benar-benar terwujud. Dengan kata lain, pengelolaan daerah hilir bertujuan meningkatkan daerah tanggapnya terhadap dampak pengelolaan DAS hulu. Pengelolaan DAS hilir dengan demikian mempunyai peranan melipatgandakan pengaruh perbaikan yang telah dicapai di DAS hulu. Menurut pandangan ekologis, maka daerah hulu dikelola sebagai daerah penyumbang, atau lingkungan pengendali (conditioning environment) dan daerah hilir sebagai daerah penerima (acceptor) atau lingkungan konsumen. Seperti telah diuraikan sebelumnya, model matematik yang mewakili suatu sistem selalu meliliki unsur-unsur sebagai berikut (Mize and Cox, 1968): Berdasarkan hal tersebut diatas, jumlah air didalam tiap komponen input, output, dan laju transfer dapat dapat digambarkan dalam tabel 1. Tabel: 1. Keadaan Sistem Hidrologi DAS Komponen Banyaknya Komponen Input Output Transfer ke Komponen (1) Transfer dari komponen (2) (3) (1) (2) X1 X2 a1 a2 Z1 Z2 (1) (2) - F12 F21 0 F32 (3) X3 a3 Z3 (3) 0 F23 -

1. 3.

Tata Guna lahan dan Perilaku DAS.

Tata guna lahan memiliki keterkaitan dengan sumberdaya air DAS dalam beberapa aspek sebagai berikut; a) Tata guna lahan memberikan dampak terhadap curah hujan. Lahan yang penuh ditutupi kanopi pepohonan akan dapat meningkatkan curah hujan sekitar 5 6 %. b) Tata guna lahan berdampak besar terhadap kelembaban tanah. Lahan yang tertutup dengan pepohonan menyebabkan berkurangnya radiasi dan tiupan angin dipermukaan tanah, sehingga tanah menjadi lebih lembab. c) Tutupan kanopi pepohonan yang rapat dapat mengurangi debit banjir dengan periode ulang pendek, meningkatkan aliran dasar (base flow), serta meningkatkan pengisian air tanah. d) Pengolahan yang tidak tepat dapat meningkatkan erosi dan pengendapan sedimen, akibatnya kerusakan yang ditimbulkan oleh banjir menjadi berlipat ganda dan umur reservoir menjadi lebih pendek. Upaya penghijauan dan konservasi lahan lebih efektif untuk pengurangan sidementasi dan debit air/banjir. e) Tata guna lahan juga memberikan dampak terhadap kualitas air. 1. 4. a) Hutan dan Pengaruhnya bagi Air.

Ekosistem Hutan Alam

Struktur hutan yang masih utuh terdiri dari pohon-pohon yang sangat besar dan tinggi sampai kepada pohon-pohon Perdu dan tumbuhan yang merambat yang semuanya tersusun dalam lapisan tujuk yang rapat. Hutan yang masih utuh terdiri dari strata-strata atau lapisan-lapisan tajuk. Lapisan-lapisan tajuk ini terbentuk sebagai akibat dari persaingan dimana pada akhirnya jenis-jenis tertentu akan lebih dominan dari pada jenis yang lain. Pohon-pohon yang tinggi pada lapisan teratas akan mengalahkan pohon-pohon yang lebih rendah, dan merupakan jenis-jenis yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan. b) Peredaran Air. 1. Intersepsi. Intersepsi merupakan suatu proses dimana sebagian dari curah hujan tertahan leh tajuk pohon dan sebagian besar diuapkan kembali ke udara. Air hujan yang ditahan oleh tumbuhan selain diuapkan kembali dari permukaan tanah, juga dalam jumlah yang kecil mungkin di absorbsi melalui daun ke dalam jaringan tanaman (Jeffrey, 1964). Apabila jumlah dan intensitas curah hujan rendah, maka sebagian besar dari air hujan akan ditahan oleh tajuk dan langsung diluapkan kembali ke udara. Hal ini berarti bahwa untuk curah hujan yang kecil, persentase yang diintersepsi akan besar. Sebaliknya apabila jumlah dan

intensitas curah hujan besar maka persentase yang diintersepsi akan menjadi kecil. Dalam penelitian Malchanov (1963) pada tegakan spurce (Picea sp) yang lebat daunnya, ternyata dapat mengintersepsi lebih dari 68% curah hujan yang tidak lebat. 1. Air Lolos (Throughfall) Air lolos adalah bagian dari curah hujan yang mencapai permukaan tanah melalui lapisan tajuk. Sebelum mencapai permukaan tanah, air ini telah melalui suatu struktur lapisan tanah yang rapat, mulai dari lapisan pohon-pohon yang dominan sampai pada lapisan semak belukar dan serasah. Dengan demikian kecepatan dan besarnya butir-butir hujan yang mencapai tanah sudah sedemikian kecil sehingga tidak lagi merupakan bahaya bagi kerusakan tanah. 1. Aliran Batang (Stemflow) Aliran batang adalah bagian dari curah hujan yang mencapai permukaan tanah melalui batang pohon. Aliran batang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yang terpenting adalah architektur pohon, struktur tegakan (stratifikasi), kulit batang dan letak serta posisi daun. Pengukuran stemflow pada suatu hutan selalu hijau yang rapat di Balnco (Huttel, 1962) pada petak seluas 300 meter persegi dengan 16 pohon yang masing-masing dipasangi saluran plastik berbentuk spiral pada dasar batang menunjukkaan bahwa aliran batang kurang dari 1% air lolos (UNESCO, 1978). 1. Penguapan (Evapotranspiration) Penguapan merupakan proses perubahan face cair menjadi uap. Proses ini berlangsung pada berbagai permukaan air, tanah tanaman untuk kemudian terlepas ke atas atmosfir sebagai uap air. Laju penguapan sangat dipengaruhi oleh radiasi, suhu, kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara di atmosfir dan jumlah air yang tersedia untuk diuapkan. Dikemukakan selanjutnya bahwa terdapat korelasi antara evatranspirasi total dengan kedalaman akar. Perakaran yang dalam dari jenis-jenis pohon menyebabkan evapotranpirasi lebih besar dibandingkan dengan jenis-jenis herbal yang mempunyai perakaran dangkal. Hal ini sangat penting diperhatikan dalam menentukan luas hutan lindung didaerah-daerah dengan ketinggian yang tinggi. Hubungan ketinggian dan evapotranspirasi telah diukur seperti tabel di bawah ini : Tabel 2. Evapotranspirasi pada berbagai ketingggian Ketinggian 0 (m, dpl) Evapotransp. 4,36 3,79 3,29 2,85 2,49 2,16 1,85 mm/hr Evapotransp 1.590 1.380 1.200 10,40 9,10 7,90 6,80 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000

mm/tahun Sumber : Ramsay, D.M. (ed). 1976.. 1. D. 2. 1. Gambaran DAS Sungai Lawo Topografi

Ketinggian di wilayah hulu DAS Lawo 100 meter dpl, bagian tengah DAS 180 500 meter dpl, dan bagian hilir DAS 32 meter dpl. Wilayah DAS Sungai Lawo, lereng/kemiringan berkisar dari lereng 0% hingga lereng > 45%. Untuk kemudahanya lereng dikelompokkan menjadi 5 kelas, yaitu: Lereng 0 7%, Lereng 8 15%, Lereng 15 25%, lereng 26 45% dan Lereng > 45%. Sedangkan bentuk lereng memanjang (U S), dan panjang lereng > 50 m. 1. 2. Geologi dan Jenis Tanah

Wilayah DAS Lawo terdapat jenis tanah Alluvial kelabu tua, gromosol, mediterian coklat, mediterian coklat regosol, dan litosol yang tersebar dari hulu hilir. Sedangkan tekstur tanah berfariasi dari hulu hilir DAS. Bagian hulu DAS tekstur tanah antara lain: lempung berpasir dan liat berpasir. Tengah DAS antara lain: liat berpasir dan lempung berpasir. Sedangkan tekstur tanah di bagian hilir DAS antara lain: lempung berpasir, lempung berliat, dan liat. 1. 3. Hidrologi dan Klimatologi

Kondisi hidrologi DAS lawo berdasarkan data dari Dinas PSDA Kabupaten Soppeng debit sungai rata-rata per 15 Agustus 2007 adalah 427, 64 (L/det). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dimana lebar badan sungai berfariasi antara 8 30 m, kecepatan air rata-rata 41 54 detik, sedangkan kedalaman sungai antara 10 100 cm. sedangkan genangan yang terjadi di wilayah DAS lawo berupa genangan permanen, priodik, dan temporer. Genangan sebagian besar terjadi dibagian hilir DAS terutama disekitar pinggiran danau tempe. Sedangkan di bagian hulu DAS tidak terdapat genangan. Temperatur udara di Kabupaten Soppeng berada sekitar 24 0 sampai 30 0 . Keadaan angin berada pada kecepatan lemah sampai sedang. Curah hujan Kabupaten Soppeng pada tahun 2005 berada pada intensitas 90,54 mm dan 9,9 hari hujan/bulan. Rata-rata curah hujan menurut bulan di Kabupaten Soppeng tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu 295 mm dan yang terendah yakni bulan Agustus dan Oktober yakni 0 (tidak hujan), sedang rata-rata hari hujan di Kabupaten Soppeng tertinggi bulan April 19,6 hari dan terendah bulan Agustus dan Okotober yakni 0 (tidak hujan). Kondisi ini menyebar merata keseluruh wilayah Kabupaten Soppeng, termasuk wilayah DAS Lawo. 1. 4. Erosi dan Sedimentasi

Aktifitas penduduk didaerah sekitar DAS secara tidak terkendali akan memberikan dampak terhadap perubahan kondisi fisik sungai terutama dalam bentuk erosi dan transpor sedimentasi dan akan berlanjut dengan proses pendangkalan dibagian dasar sungai sehingga akan

mempengaruhi pola aliran air sungai baik di bagian hulu, tengah, maupun di bagian hilir DAS. Kondisi DAS sungai lawo terutama dalam bentuk erosi dan sedimentasi, dimana bagian hulu DAS ditemukan beberapa bagian sungai yang sudah mengalami perubahan fisik dalam bentuk erosi. 1. 5.

Struktur dan Tipologi DAS

Daerah Hulu DAS

Karakteristik hulu DAS Lawo secara umum merupakan kawasan hutan lindung yang memiliki kerapatan hutannya baik dan sampai saat ini masih tetap dipertahankan fungsi hutannya terutama penduduk yang bermukim disekitar hulu DAS sebagai kawasan yang dapat memberikan perlindungan dibagian hulu hingga hilir DAS, namun di beberapa bagian sungai terutama kondisi fisik sungai telah mengalami perubahan alur sungai yang dapat mempengaruhi pola aliran air sungai yang tidak mengikuti alur sungai yang sebenarnya di mana aliran air mengalir dibagian kiri kanan sungai dan membentuk delta di bagian tengah sungai.

Daerah Tengah DAS

Bagian tengah DAS merupakan daerah transisi antara bagian hulu dan hilir DAS, kaitannya dengan hubungan antara bagian hulu dan hilir DAS melalui daur hidrologi tidak terlepas dari peranan bagian tengah DAS, sehingga dalam proses penanganannya perlu diperhatikan pula guna menjaga keberlangsungan hubungan antara hulu, tengah, dan hilir DAS dalam menjalankan fungsi hidrologinya. Kondisi fisik bagian tengah DAS, dibeberapa tempat telah mengalami perubahan dalam bentuk alur air sehingga air tidak mengalir di bagian tengah sungai, bahkan terjadi kering di bagian tengah sungai.

Daerah Hilir Das

Kondisi bagian hilir DAS Lawo dari segi fisik sungai umumnya sudah mengalami degradasi terutama dalam bentuk sedimentasi. kondisi ini dibiarkan berlanjut terus menerus maka akan berlanjut dengan proses pendangkalan di bagian tengah sungai dan akan mengganggu keberlangsungan ekosistem pada hilir DAS itu sendiri. E. Analisis Wilayah DAS Lawo 1. Analisis geomorfologis Ketinggian merupakan salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap suhu udara. Ketinggian di wilayah hulu DAS Lawo 100 meter dpl, bagian tengah DAS 180 500 meter dpl, dan bagian hilir DAS 32 meter dpl.Wilayah DAS Sungai Lawo, lereng/kemiringan berkisar dari lereng 0 7% hingga lereng > 45%. Sedangkan bentuk lereng memanjang (U S), dan panjang lereng > 50 m, sebagaimana pada tabel 3. Tabel: 3.

Klasifikasi dan Luas Lereng di Wilayah DAS Lawo Luas No Klasifikasi 1 07 2 8 15 3 16 25 4 25 45 5 >45 Jumlah (Ha) 11.863,92 486,34 2.502,46 1.391,19 860,54 17.104. 45 % 69 3 15 8 5 100

Sumber: Hasil Analisis Tim Perencanaan 2007 Apabila dianalisis lebih lanjut maka kondisi lereng 0 7% sebagian besar penutupan lahannya adalah sawah dan rawa, sehingga untuk pemanfaatan lahannya dapat diperuntukan sebagai budidaya lahan kering ataupun lahan basa dan permukiman. Lereng 8 15% sebaiknya diperuntukan sebagai budidaya lahan kering atau lahan basah. Lereng 16 25% pemanfaatannya sebaikknya sebagai budidaya tanaman tahunan/tanaman semusim jenis vegetasi berupa cengkeh, kopi, cokelat, dan lainnya vegetasi tersebut berfungsi sebagai jalur hijau juga bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Lereng 25 45% vegetasinya tetap dipertahankan selain itu juga dapat di manfaatkan sebagai budidaya tanaman tahunan yang berbasis pada huta rakyat, agrovorestri dan hutan kemasyarakatan. Sedangkan lereng >45% vegetasinya tetap dipertahankan dan dilestarikan, karena berfungsi sebagai kawasan penyangga, pengaturan tata air, dan kawasan lindung, selain itu juga kondisi lereng ini dapat terjadi tanah longsor sehingga kelestariannya tetap dijaga. 1. Analisis geohidrologis. Geohidrologis dimaksudkan untuk mengetahui kondisi berupa kerapatan drainase, debit air sungai, dan genangan. Analisis ini sebagai dasar indikator dalam mengetahui kondisi hidrologis wilayah DAS Lawo, guna merumuskan strategi penanganan dan arahan pemanfaatannya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dimana lebar badan sungai berfariasi antara 8 30 m, kecepatan air rata-rata 41 54 detik, dan kedalaman sungai antara 10 100 cm. sedangkan genangan yang terjadi di wilayah DAS Lawo berupa genangan permanen, priodik, dan temporer. Genangan sebagian besar terjadi dibagian hilir DAS terutama disekitar pinggiran danau tempe. Sedangkan di bagian hulu DAS tidak terdapat genangan. Kerapatan drainase adalah panjang aliran sungai per kilometer persegi luas DAS seperti tercantum dalam rumus di bawah ini: Dd = L/A

Dd= Kerapatan Drainase (km/km)

L = Panjang Aliran Sungai (km) A = Luas DAS (km2) Dari hasil analisis yang dilakukan diperoleh kerapatan drainase wilayah DAS Lawo adalah 0,386 km/km. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sistem pengaliran (drainase) DAS Lawo dalam kondisi sudah terganggu (tidak normal), artinya jumlah air larian total semakin besar, sehingga tingkat infiltrasi yang terjadi di wilayah DAS Lawo akan semakin kecil. Kondisi ini perlu adanya upaya-upaya penanganan yang harus dilakukan seperti pemantapan fungsi kawasan lindung terutama penghijauan kembali pada daerah-daerah yang kategori vegetasinya sudah dalam kondisi yang tidak diharapkan, serta pengaturan kembali pola penggunaan lahan di wilayah DAS lawo guna menghindari kemungkinan dampak negatif yang akan terjadi. Sedangkan dari data yang diperoleh maka Besarnya kecepatan permukaan aliran sungai (Vperm dalam m/dt) dapat dihitung dengan rumus: Vperm = L/t

L = Jarak Antara dua Titik Pengamatan (m) t = Waktu Perjalanan Benda Apung (detik) Dari hasil perhitungan diatas maka diperoleh kecepatan permukaan aliran sungai rata-rata adalah 1,06 m/dt. Berdasarkan data di atas dan hasil perhitungan kecepatan permukaan aliran rata-rata maka besarnya debit air dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Bernoulli atau sering juga dikenal sebagai the continuity equation. Pada persamaan ini nilai Q diperoleh dari perkalian antara kecepatan aliran V (m/dt) dan luas penampang melintang A (m2) atau secara matematis: Q=AV

Q = Debit (m3/dt) A = Kecepatan Aliran (m/dt) V = Luas Penampang Melintang (m2) Dari hasil analisis yang dilakukan maka diperoleh debit air rata-rata DAS Lawo adalah 9,328 m3/dt. Tabel: 4.

Jenis dan Luas Genangan di Wilayah DAS Lawo No 1 2 3 4 Jenis Genangan Permanen Periodik Temporer Non Genangan Jumlah Luas (Ha) 76,53 845,46 307,13 15.875,33 17.104.45

Sumber: Hasil Analisis Tim Perencanaan 2007. 1. 3. Analisis Jenis Tanah

Wilayah DAS Lawo terdapat jenis tanah Alluvial kelabu tua, gromosol, mediterian coklat, mediterian coklat regosol, dan litosol yang tersebar dari hulu hingga hilir. Sedangkan tekstur tanah bervariasi. Bagian hulu dan tengah DAS tekstur tanah berupa lempung berpasir dan liat berpasir. Sedangkan tekstur tanah di bagian hilir DAS antara lain lempung berpasir, lempung berliat, dan liat. Bagian hulu DAS terdapat jenis tanah mediterian coklat regosol dan litosol, jenis tanah ini mudah tererosi karena teksturnya berupa pasir berlempung sehingga penutupan lahannya harus tetap di jaga untuk menjaga agar tidak terjadi erosi/tanah longsor. Bagian tengah DAS terdapat jenis tanah gromosol dan mediterian cokelat. Di mana jenis tanah ini adalah jenis tanah subur, karena mempunyai lapisan atas/soluin tanah yang dalam 100 cm, sehingga memungkinkan untuk budidaya tanaman jangka panjang. Sedangkan jenis tanah yang terdapat di bagian hilir DAS adalah alluvial kelabu tua. Jenis tanah ini merupakan hasil dari proses endapan lumpur dari hasil sedimentasi yang terjadi, sehingga sifatnya relatif subur, yang sesuai untuk lahan/kegiatan budidaya lahan basah. 1. Analisis Geologi Berdasarkan pengamatan tim dilapangan ditemukan beberapa titik yang terdapat erosi dan longsor terutama di bagian hulu DAS yang mempunyai kelerengan kisaran 25 sampai >40, kondisi ini diduga sebagai akibat lemahnya struktur geologi, dan keberadaan vegetasi kurang mengimbangi kondisi struktur geologi yang ada sehingga mudah terjadinya erosi dan longsor. Hal ini perlu adanya upaya penanganan berupa pemilihan jenis vegetasi yang akan dibudidayakan harus memiliki sistem perakaran yang dapat mendukung struktur geologi yang ada. 5. Analisis Potensi SDA a. Analisis SDA Kehutanan Pada kawasan hulu DAS status hutan sebagian besar adalah hutan lindung, sehingga kedepan kawasan hutan tersebut tetap dijaga dan dilestarikan, karena kawasan ini merupakan daerah resapan dan penyimpanan air, disisi lain kerapatan pohon sudah mulai berkurang, disebabkan

karena terjadinya penebangan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan belum sadar akan pentingnya pelestarian hutan, sehingga masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang fungsi pelestarian lingkungan disekitarnya, dan harus dipertegas dengan aturan yang ada, dimana bagi oknum masyarakat yang merusak kawasan hutan tanpa memiliki dasar yang jelas harus diberikan sanksi berdasarkan peraturan yang berlaku. Sedangkan pada kawasan DAS tengah dan hilir DAS seluruh kawasan bukan hutan lagi melainkan kawasan budidaya, sehingga pemanfaatan lahan di daerah tersebut harus memperhatikan kaidah-kaidah konservasi agar pemanfaatannya tidak merusak lingkungan ekosistem wilayah DAS. b. Analisis SDA Pertanian Pembukaan lahan pertanian di wilayah daerah aliran sungai (DAS) harus dilakukan dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan sehingga tidak akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan seperti erosi, pencemaran air, perubahan siklus hidrologi, dan meningkatnya laju sedimentasi. Kegiatan pertanian lahan basah adalah kegiatan pertanian yang memerlukan air terus menerus sepanjang tahun, dengan komoditas utamanya adalah padi sawah (wetland rice). Pertanian lahan basah memerlukan kedalaman efektif tanah minimal 60 cm. Produktifitas dan kualitas mutu panen cenderung menurun bila kedalaman efektif tanah menurun. batas ambang kedalaman efektif tanah ini adalah 30 cm. Sedangkan tekstur tanah yang terbaik bagi jenis pertanian lahan basah adalah tanah yang berliat, berdebu halus, sampai berlempung halus. Tanah yang berkuarsa sangat tidak sesuai untuk pengembangan pertanian kecuali kandungan kuarsanya sedang. Dari hasil analisis yang dilakukan di wilayah DAS Lawo, terdapat penyebaran lahan yang sesuai bagi pengembangan budidaya pertanian lahan basah, terutama dalam hal tekstur tanah dan kedalaman efektif tanah. c. Analisis Sumberdaya Air Potensi Sungai Lawo sebagai sumber air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan perlu dikelola dengan baik terutam dalam hal pengaturan berbagai pemanfaatan lahan yang ada disekitar Sungai Lawo agar dampaknya tidak mengganggu kondisi hidrologi sungai baik dari segi fisik sungai, kuantitas, maupun kualitas air, sehingga dapat dimanfaatkan dalam berbagai kebutuhan seperti sumber air bersih, pertanian, perikanan, peternakan, dan berbagai kebutuhan lainnya. 6. Analisis Aliran Sungai Lawo a. Analisis DAS Hulu Bagian hulu DAS biasanya memiliki karakteristik antara lain; merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase tinggi, kelerengan diatas 15 %, bukan daerah banjir, jenis vegetasi adalah tegakan hutan. Pemanfaatan potensi sumberdaya hutan dan sumber daya lahan berupa perambahan hutan dan perladangan di suatu wilayah DAS yang cenderung meningkat tanpa mengikuti kaida-kaidah konservasi akan memberikan dampak positif terhadap DAS dalam menjalankan fungsinya sebagai tempat penyediyaan sumber air dapat terganggu. Kondisi hulu DAS Lawo umumnya didominasi oleh kawasan hutan lindung yang berperan penting dalam mendukun proses hidrologi DAS masih tetap terjaga, namun kenyataannya terdapat adanya

perambahan hutan yang kemudian dijadikan sebagai perladangan masih tetap terjadi. Untuk itu perlu adanya tindakan berupa sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat agar masyarakat menyadari pentingnya fungsi hutan dan bahaya terjadinya kerusakan lingkungan berupa erosi dan tanah longsor. b. Analisis DAS Tengah. Pemanfaatan potensi sumberdaya lahan seperti perladangan tanpa mengikuti kaida-kaidah konservasi tanah dan air misalnya penggunaan input (pupuk dan pestisida) yang berlebihan akan berimplikasi langsung terhadap kandungan unsur pada tanah dan akan berpengaruh kepada daya dukung tanah sehingga tanah mudah tererosi dan juga berpengaruh terhadap penurunan kualitas air tanah, juga penebangan vegetas di daerah pinggiran sungai untuk perluasan areal perladangan dapat memberikan tingkat erosi yang terjadi di wilayah DAS. Aktifitas penduduk di sekitar bantaran sungai yang cenderung meningkat tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konserfasi tanah dan air, akan menimbulkan berbagai problem lingkungan seperti erosi yang dapat mempengaruhi produktifitas lahan, dan memberikan dampak terutama di daerah hilir DAS dalam bentuk transpor sedimentasi yang akan mengganggu sistem hidrologi DAS. c. Analisis DAS hilir. Karakteristik hilir DAS memiliki ciri antara lain; merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase kecil, kelerengan dibawah 8 %, dibeberapa daerah merupakan daerah banjir, pemakaian air diatur oleh bangunan irigasi, jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian. Bagian hilir DAS disamping sebagai daerah pemanfaatan juga sebagai daerah penadah tentunya akan menanggung berbagai resiko yang terjadi di suatu wilayah DAS. Banjir yang terjadi di wilayah DAS lawo umumnya terdapat di bagian hilir DAS, dimana pada musim hujan banjir dapat merusak areal persawahan bahkan sampai ke pemukiman penduduk, tinggi banjir yang terjadi 1 m. Sedimentasi sebagai hasil dari proses erosi yang terjadi di DAS dapat menyebabkan terjadinya pendangkalan pada sungai, bendungan, waduk, saluran-saluran irigasi, dan muara-muara sungai karena adanya sedimentasi ditempat tersebut. Berdasarkan kondisi di atas maka perlu adanya upaya-upaya yang harus dilakukan seperti pengaturan berbagai aktifitas terutama di wilayah hulu DAS agar tidak mengganggu fungsi kawasan hutan lindung, dan peningkatan fungsi sistem irigasi yang ada, serta pengaturan penggunaan air irigasi agar dapat mengairi semua sawah yang ada di wilayah DAS Lawo secara umum dan khususnya wilayah hilir DAS sebagai daerah pemanfaatan berbagai aktifitas. 7. Analisis Pengemb. Wisata. 1. a. Pengembangan Wisata Air.

DAS Lawo khususnya di bagian hulu DAS memiliki potensi air yang masih mengalir sepanjang tahun dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wisata air, potensi ini dapat dilakukan melalui upaya pembangunan waduk tangkap yang fungsinya menampung air yang berasal dari bagian hulu, disamping untuk kebutuhan sistem irigasi juga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pariwisata (wisata air) berdasarkan daya dukung kawasan. 1. b. Pengembangan Agrowisata

Pengembangan agrowisata pada suatu lokasi perlu dilakukan kajian lokasi secara matang, seperti; (i) pemilihan berdasarkan Karakteristik alam, dan (ii) Pemilihan berdasarkan potensi wilayah. Aktifitas penduduk di wilayah DAS lawo yang pada umumnya adalah petani, dengan memanfaatkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam melakukan kegiatan pertanian seperti pada waktu tiba musim panen padi dikenal dengan kebiasaan (massangki) dimana masyarakat berkelompok untuk memanen padi, serta bentuk keindahan alam tentunya sangat memiliki potensi untuk pengembangan Wisata Agro di wilayah DAS Lawo. c. Pengembangan Ekowisata. DAS Lawo terutama di bagian hulu DAS, memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata. Hal ini di tandai dengan adanya berbagai keunggulan-keunggulan yang dimiliki berupa keindahan alam pegunungan, keberadaan satwa, salah satunya adalah monyet yang tersebar khususnya di wilayah hulu DAS Lawo serta potensi lain yang dapat dikembangkan dalam mendukung pengembangan potensi ekowisata dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat dan lingkungan ekologis di DAS Lawo agar lebih lestari. F. Strategi Pengelolaan dan Pemanfaatan DAS Lawo 1. Arahan Strategi Penanganan DAS. Mengacu pada PP No. 22 tahun 1982 tentang tata pengaturan air, dinyatakan bahwa pendekatan dalam pengembangan, perlindungan dan penggunaan sumberdaya air didasarkan atas pendekatan wilayah sungai. DAS sendiri merupakan suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah yang mengalir dari permukaan tanah ke sungai dari hulu hingga hilir, yang akan banyak dipengaruhi oleh kondisi vegetasi pada setiap bagian dari daerah alirsan sungai tersebut. a. Strategi Penanganan DAS Hulu Berdasarkan aspek ekologi daerah hulu dikelola sebagai daerah penyumbang (donor) atau sebagai lingkungan pengendali (conditiong environment). DAS hulu merupakan seluruh daerah tadahan/kepala sungai, proses penanganan ini berupa;

Meningkatkan kemampuan fungsi retensi DAS hulu terhadap aliran permukaan melalui pemantapan fungsi kawasan lindung. Mengendalikan aliran permukaan lebih yang merusak sebagai usaha mengendalikan banjir. Memperlancara infiltrasi air ke dalam tanah.

Mengusahakan pemanfaatan aliran permukaan untuk maksud yang berguna bagi kesejahteraan manusia. Mengusahakan semua sumberdaya air dan tanah untuk memaksimalkan produksi. Mempertahankan dan melestarikan hutan lindung yang terdapat di satuan pengelolaan DAS Hulu. Meminimalisir tingkat erosi dan longsor yang terjadi melalui pendekatan EkoEnggineering dengan memanfaatkan vegetasi setempat.

b. Strategi Penanganan DAS Tengah Bagian tengah DAS merupakan daerah transisi antara bagian hulu dan hilir DAS, kaitannya dengan hubungan antara bagian hulu dan hilir DAS melalui daur hidrologi tidak terlepas dari peranan bagian tengah DAS, dengan strategi berupa;

Meningkatkan fungsi retensi DAS tengah melalui pengembangan prasarana pengairan berupa waduk tangkap dalam menahan air yang mengalir dari arah hulu DAS, serta menjaga keberadaan vegetasi sekitarnya dalam membantu kemampuan retensi terhadap aliran permukaan. Menentukan dan menyesuaikan jenis budidaya yang dapat dikembangkan pada setiap unit lahan. Menentukan sistem budidaya yang dapat dilakukan pada setiap permukaan lahan. Mencegah atau mengendalikan banjir dan sedimentasi sehingga tidak merusak atau menurunkan kemampuan lahan.

c. Strategi Penanganan DAS Hilir Berdasarkan tinjauan aspek ekologi, DAS hilir merupakan daerah penerima (acceptor) atau lingkungan konsumsi. DAS hilir mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah bawahan. Proses penanganannya berupa;

Mencegah atau mengendalikan banjir dan sidementasi sehingga tidak merusak atau menurunkan kemampuan lahan. Meningkatkan daya guna air dari sumber-sumber air tersedia. Memperbaiki pengaturan pemanfaatan lahan untuk meningkatkan kemampuan lahan. Meliorasi tanah dan kalau perlu dilakukan reklamasi tanah.

2. Arahan Pemanfaatan Lahan. a. Rencana Kawasan Lindung.

Sebagai kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, terdapat dibagian hulu DAS yaitu berupa kawasan hutan lindung. Luas kawasan lindung yang merupakan kawasan DAS hulu seluas 860,56 hektar dengan vegetasi adalah hutan, sedangkan DAS hulu yang merupakan daerah lindung namun vegetasinya bukan hutan, maka harus dihutankan kembali dengan vegetasi tanaman yang sesuai seperti kemiri dan sukun. Dengan tujuan disamping bernilai lingkungan juga bernilai ekonomis. Kawasan Perlindungan setempat meliputi garis sempadan sungai, waduk tangkap, dan kawasan sekitar mata air, dimana proses pengaturannya dilakukan mulai dari hulu hingga ke hilir DAS Lawo. b. Rencana Pemanfaatan Budidaya. Berdasarkan potensi yang terdapat di wilayah DAS Lawo terutama potensi pertanian yang dominan, maka dilakukan rencana pemanfaatan kawasan budidaya yang meliputi budidaya lahan kering dan lahan basah.

Budidaya Lahan Kering.

Arahan pemanfaatan lahan dengan kegiatan budidaya lahan kering, merupakan jenis tanaman yang dapat dibudidayakan seperti kelapa dalam, kemiri, bambu, kakao, kopi, dan lainnya. Pengembangannya diarahkan di daerah DAS tengah, sedangkan di daerah hulu DAS bisa dikembangkan jenis budidaya berupa kemiri, jambu mente, lada, dan tembakau, namun harus memperhatikan keberadaan kawasan hutan lindung yang ada sehingga tidak terganggu fungsi lindungnya.

Budidaya Lahan Basah.

Berdasarkan pola penyebaran jenis tanah terutama dalam hal tekstur dan kedalaman efektif tanah, maka jenis budidaya pertanian lahan basah (padi sawah) pengembangannya terutama diarahkan di daerah hilir dan di daerah tengah DAS. 3. Arahan Prasarana Lingkungan. a. Rencana Pengembangan Waduk. Prasarana lingkungan berupa waduk tangkap, rencana pengembangannya diarahkan pada daerah perbatasan antara hulu dan tengah DAS, dimana lokasi ini sebelumnya masuk dalam rencana pembangunan waduk tangkap, namun dalam rencana ini diupayakan agar waduk tersebut selain berfungsi untuk menunjang kegiatan seperti pertanian dan berbagai pemanfaatan lainnya juga berfungsi sebagai tempat wisata yang berskala lokal. b. Rencana Irigasi. Sedangkan prasarana irigasi, diarahkan pada daerah-daerah yang memiliki potensi dominan berupa jenis pertanian lahan basah terutama di daerah hilir dan tengah DAS, dengan

mempertimbangan kapasitas sistem irigasi yang ada sehingga dapat mengaliri semua areal sawah. 4. Arahan Prasarana Wisata. a. Pengembangan Wisata Air. DAS Lawo khususnya di bagian hulu DAS memiliki potensi air yang masih mengalir sepanjang tahun dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wisata air. Pengembangan wisata ini diarahkan pada daerah yang memiliki potensi untuk dibangun prasarana air berupa waduk tangkap yang fungsinya menampung air yang berasal dari bagian hulu, disamping untuk kebutuhan sistem irigasi juga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pariwisata (wisata air) dengan berdasarkan kepada daya dukung kawasan. b. Pengembangan Agrowisata. Prospek pengembangan agrowisata di wilayah DAS Lawo mempunyai peluang yang baik mengingat potensi yang ada sangat beragam dan khas. Perpaduan antara kekayaan komoditas agraris dengan bentuk keindahan alam dan budaya masyarakat setempat merupakan kekayaan obyek wisata yang amat bernilai. Aktifitas penduduk di wilayah DAS Lawo yang pada umumnya adalah petani, cenderung terdapat di daerah tengah dan hilir. Dengan demikian pengembangan agro wisata diarahkan di daerah tengah dan hilir DAS, dengan memanfaatkan potensi pertanian yang ada dan kebiasaan masyarakat dalam melakukan kegiatan pertanian seperti pada waktu tiba musim panen padi dikenal dengan massangki dimana masyarakat berkelompok untuk memanen padi, serta bentuk keindahan alam tentunya sangat memiliki potensi untuk pengembangan Wisata Agro di wilayah DAS Lawo. c. Pengembangan Ekowisata. Ekowisata merupakan kegiatan pariwisata atau wisata terbatas yang memanfaatkan tatanan, nilai dan fungsi ekologi sebagai obyek dan tujuan kepariwisataan. Konsep ini lahir akibat keprihatinan dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan yang terancam oleh pembangunan, serta ekowisata menjadi alat bagi penyadaran terhadap upaya pelestarian lingkungan yang tidak mungkin mengorbankan masyarakat yang tinggal dan hidup didalam atau sekitar kawasan lingkungan. Pengembangan ekowisata DAS Lawo diarahkan pada daerah-daerah yang memiliki potensi pengembangan, terutama di bagian hulu DAS, memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata yang meliputi keindahan alam pegunungan, keberadaan satwa liar, salah satunya adalah monyet yang tersebar di wilayah hulu DAS Lawo serta potensi lain yang dapat dikembangkan dalam mendukung pengembangan potensi ekowisata dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat dan lingkungan ekologis di wilayah DAS Lawo agar lebih lestari. 5. Arahan Sistem Permukiman. a. Areal Permukiman di Daerah Hulu.

Keberadaan pemukiman di daerah hulu DAS perlu diperhatikan agar tidak mengganggu fungsi kawasan lindung. Agar tidak mengganggu fungsi kawasan dan wilayah DAS secara keseluruhan, maka diperlukan upaya-upaya penanganan pelarangan perluasan kawasan pemukiman serta penyiapan lokasi pemukiman yang layak dalam berbagai aspek agar penduduk setempat dapat direlokasi ke tempat yang disiapkan. b. Areal Permukiman di Daerah Hilir. Penanganan pemukiman di luar daerah hulu diarahkan terutama pada daerah tengah dan hilir DAS, dimana proses penanganannya berupa pengaturan garis sempadan sungai, larangan pembuangan sampah ke dalam sungai serta pengaturan fungsi kawasan lainnya yang dapat dilakukan agar penduduk dapat terhindar dari berbagai resiko lingkungan berupa banjir dan erosi agar lingkungan wilayah DAS dapat terjaga dalam mendukung berbagai pemanfaatan. 1. G. Rekomendasi.

Berdasarkan hasil kajian DAS Lawo, maka terdapat beberapa rekomendasi yang harus dilakukan untuk dapat mengelola dan melindungi DAS Lawo, sehingga dapat lebih berkelanjutan, sebagai berikut; 1) Pengelolaan dan perlindungan DAS Lawo harus dilakukan secara terpadu, karena berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 kawasan DAS merupakan kawasan strategis lingkungan yang senantiasa harus dilindungi. 2) Diprediksi DAS Lawo sepuluh tahun kedepan, apabila tidak dilakukan perbaikan dan perlindungan DAS Lawo, maka akan terjadi kerusakan yang lebih parah. 3) Masyarakat yang bermukim dalam kawasan lindung, seharusnya direlokasi pada suatu tempat dalam bentuk transmigarasi lokal. 4) Untuk dapat mempercepat implementasi, maka sebaiknya dilakukan sosialisasi, terutama kepada masyarakat yang bermukim dalam wilayah DAS Lawo. 5) Pengelolaan dan perlindungan DAS Lawo harus menjadi komitmen bersama seluruh stakeholder. 6) Pembangunan Waduk tangkap, harus memperhatikan kepemilikan lahan yang termasuk dalam areal rencana waduk, sehingga dapat dilakukan lebih manusiawi. DAFTAR PUSTAKA Asdak, C., 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Asdak, C., 1990. Biophysical relationships needed to perform economic evaluation of watershed management program, Padjajaran University Press, Bandung.

Brooks, K.N., P.F. Folliott, H.M., 1994. Policies for sustanaibel Development. The role of watershed management. The environment and natural resources policy adn training project. New York. Black, P.E., 1991. Watershed Hydrology. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. Easter, K.W., 1985. Integrated watershed management research for developing countries. EastWest center Worshop report. Honolulu H.I. Gray, D.M., 1970. Handbook on the principles of hydrology, National Research Council of Canada. Sungai X3 Vegetasi X1 Comments: Be the first to comment

PENANGANAN BANJIR DAN KEKERINGAN


Posted December 24, 2009 by syahriartato Categories: Uncategorized

ABSTRAK Besarnya kerugian akibat kekeringan di beberapa daerah sangat memprihatinkan, karena nilainya cukup besar. Berdasarkan beberapa kejadian kekeringan diperoleh informasi bahwa kekeringan dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan, kabu asap, terbatasnya penyediaan air bersih, berkurangnya air untuk prtanian, perikanan, peternakan dan terganggunya transportasi air. A. Pendahuluan Indonesia merupakan negara beriklim tropika humida (humid tropic) yang pada musim hujan mempunyai curah hujan tinggi. Akibatnya di beberapa tempat terjadi banjir yang banyak menimbulkan kerugian baik nyawa maupun harta benda. Kerugian ini akan semakin besar kalau terjadi di kota-kota besar yang padat penduduknya. Untuk mengurangi kerugian tersebut telah banyak usaha penanggulangan banjir yang dilakukan seperti pembuatan tanggul banjir, tampungan banjir sementara, pompanisasai air banjir, sudetan sungai, dll. Usaha pengendalian banjir tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan, karena kejadian banjir terus meningkat dari waktu ke waktu. Fenomena ini sudah kita sadari, karena proses

kejadian banjir memang sangat komplek, baik itu proses di lahan maupun di jaringan sungainya. Oleh karena itu penanggulangan banjir tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan DAS, dan sumberdaya air secara keseluruhan. Di sisi lain banjir merupakan salah satu sumberdaya alam yang cukup besar potensinya. Apabila air banjir pada musim hujan dapat ditampung dan disimpan, sehingga dapat menurunkan debit banjir, maka pada saat kekeringan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia dan keperluan lain seperti irigasi, pembangkit tenaga listrik, perikanan dan pariwisata. Dengan demikian, usaha pengendalian banjir yang dilakukan sekaligus dapat mengurangi kerugian akibat kekeringan. Uraian di atas menunjukkan bahwa peristiwa banjir dan kekeringan sangat merugikan kehidupan manusia. Penanggulangan kedua bencana tersebut terus diupayakan dengan berbagai cara, namun nampaknya masih dilakukan secara terpisah. Pengendalian banjir dan pananganan kekeringan secara terpadu nampaknya akan memberikan hasil lebih baik. B. Pembahasan 1. Banjir 1. Banjir adalah peristiwa keberadaan air mengalir melampaui kapasitas perangkat pengaliran yang disediakan/tersedia dan mengalir di luar kemampuan perangkat itu. Dalam konteks ini air menimbulkan gangguan akibat pengalirannya atau genangannya pada tempat-tempat yang tidak disediakan untuknya. Di Indonesia ada beberapa factor penting penyebab terjadinya banjir : a. Faktor Hujan Intensitas hujan sangat berpengaruh pada besarnya debit puncak banjir. Semakin tinggi intensitas hujan maka semakin tinggi pula debit banjirnya. Hal ini dapat difahami, terutama jika telah banyak melakukan analisis banjir dengan model-model yang tersedia. Perlu mendapat perhatian pada penggunaan rumus Rasional, yaitu pada kondisi durasi hujan yang lebih pendek dari waktu konsentrasinya. Pada kondisi tersebut nilai debit puncak ditentukan oleh sebagian luas DAS, karena hujan diseluruh DAS belum teratus. Kejadian hujan dalam beberapa hari berturut-turut, justru dapat menimbulkan banjir, walaupun intensitas hujannya tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan oleh kondisi tanah yang telah dibasahi hujan sebelumnya menurunkan kemampuan menginfiltrasi air. Pada kondisi tanah dengan kelengasan tinggi atau jenuh air, infiltrasi memang masih berjalan, namun nilainya cukup kecil, sehingga hampir seluruh hujan menjadi aliran dan dapat menimbulkan banjir. Hujan deras yang terjadi pada suatu hari dimana hari-hari sebelumnya tidak hujan sering tidak menimbulkan bnajir. Pengaruh kelengasan tanah awal pada debit banjir sudah difahami, namun belum dirumuskan dengan baik. Oleh karena itu menarik untuk dikaji pengaruh kelengasan tanah awal pada kejadian banjir.

b. Faktor DAS Daerah Aliran Sungai adalah daerah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke sungai yang bersangkutan. Perubahan fisik yng terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Semakin banyak lahan terbuka, atau terbangun semakin kecil kemampuan retensinya. Kejadian banjir di Sorong tanggal 18 Juli 2003 (www.kompas.com.) adalah akibat penggundulan hutan di sekitarnya. Kerugian banjir diperkirakan sebesar 2,8 milyar rupiah. Bandung selatan mengalami banjir pada 27 Mei 2004 (w.w.antara.co.id.), sehingga jalur jalan Majalaya Bandung terputus. Genangan air mencapai 50 cm 80 cm. Banjir ini diestimasikan akibat pemotongan bukit-bukit di sekitar Bandung selatan untuk permukiman dan kawasan industri. Berubahnya kawasan retensi banjir untuk Jakarta menjadi permukiman, daerah terbuka (jika ada tanaman, hanya perdu), industri dll., mengakibatkan banjir yang terjadi meningkat. Pada th 2003, kejadian banjir diperparah dengan adanya peningkatan elevasi muka air laut. Hal tersebut diperparah dengan pola penyebaran permukiman yang menyebar, sehingga daya rusak terhadap ekologis dan lingkungannya lebih tinggi. c. Faktor Alur Sungai Upaya pengendalian banjir yang selama ini dilakukan berupa kegiatan fisik/struktur yang berada di sungai (in stream) dengan tujuan untuk melindungi dataran banjir yang telah berkembang. Pengendalian banjir tersebut dengan membangun prasarana dan sarana seperti pembuatan tanggul, normalisasi alur sungai, sudetan, saluran drinasi, tampungan air (waduk), polder, dll. Pada umumnya, prasarana dan sarana pengendali banjir direncanakan untuk 10 sampai 100 th, sedang sistem drainasi 2 sampai 10 tahun. Data yang digunakan dapat berupa data hujan maupun aliran yang terekam pada kondisi DAS saat itu. Apabila kondisi DAS di Indonesia dapat digolongkan stabil, prediksi debit dengan kala ulang tersebut tentu saja tidak akan menjadi masalah. Namun kenyataannya, Daerah Aliran Sungai yang ada memiliki tataguna lahan yang tidak stabil, bahkan cenderung mengalami kerusakan. Tingkat kerusakan DAS bervariasi mulai dari kecil, sedang sampai besar/kritis yaitu pada tingkat yang sudah mengkhawatirkan. Oleh karena itu, prediksi nilai debit dengan kala ulang tertentu yang diperoleh pada saat perencanaan sudah tidak relevan lagi pada saat ini. Hal ini terjadi jika Daerah Aliran Sungainya mempunyai luas area terbuka yang meningkat. Peningkatan debit banjir mengakibatkan prasarana dan sarana yang ada tidak mampu menampung aliran yang terjadi. Aspek pendangkalan yang terjadi di alur sungai juga merupakan salah satu sebab terjadinya banjir. Adanya pendangkalan alur sungai, tampang sungai menjadi berkurang sehingga daya tampung alirannya menurun pula. Proses pendangkalan ini dapat terjadi akibat erosi tebing dan dasar sungai maupun akibat erosi lahan di Daerah Aliran Sungai. Persoalan banjir menjadi semakin rumit jika di alur sungai terdapat rintangan-rintangan arus baik oleh alam maupun buatan manusia seperti :

Penampang pengaliran sempit karena formasi geologi yang keras Adanya ambang alam yang keras Belokan tajam pada sungai akan menimbulkan arus menyilang yang berbahaya Bangunan silang sengan sungai dengan rongga terlalu sempit Pertemuan antara dua sungai atau lebih dengan arus saling merintangi Faktor-faktor di atas perlu mendapatkan perhatian cukup serius dalam penanganan masalah banjir, sehingga dapat memberikan hasil yang baik. 2. Kekeringan Kekeringan merupakan salah satu bentuk kondisi ekstrim dan kejadian alam yang kejadiannya tidak dapat dihindari serta karakteristiknya masih menyimpan ruang yang luas untuk dipelajari dan dikaji lebih mendalam. Kekeringan seringkali ditanggapi dengan pemahaman yang berbedabeda. Batasan atau kriteria kekeringan sampai sekarang belum disepakati secara luas. Hal ini menunjukkan bahwa kekeringan merupakan kejadian yang spesifik pada suatu wilayah. Namun demikian, ada beberapa tipe kekeringan yang akan ditunjukkan untuk dapat digunakan sebagai acuan. a. Kekeringan Meteorologis Tipe kekeringan ini paling mudah untuk diidentifikasi dan difahami. Suatu wilayah dapat dikatakan mengalami kekeringan meteorologis apabila hujan tahunan rerata yang terjadi tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk evapotranspirasinya atau dapat juga dibandingkan dengan temperaturnya. Tidak ada batasan mengenai berapa lama hari/bulan tanpa hujan atau berapa banyak kekurangan air. Kekeringan meteorologis didasarkan pada kriteria kuantitatif berupa indeks kekeringan. Selanjutnya indeks kekeringan dapat digunakan sebagai indikator dalam menetapkan klasifikasi tingkat kekeringan suatu wilayah. Indeks Kekeringan Menurut De Martonne dengan : P = curah hujan tahunan rerata (mm), T = temperatur tahunan rerata, a = indeks kekeringan.

Menurut De Martonne, suatu wilayah yang memiliki nilai a < 15 dikategorikan sebagai wilayah kering. Metode ini dianggap masih mengandung kelemahan karena mengabaikan pengaruh variasi musiman dan amplitudo harian dari temperatur di wilayah kering. Indeks Kekeringan Menurut Thornthwaite (1948) Metode ini mengukur kekeringan suatu wilayah berdasarkan nilai evapotranspirasi potensial (Eto), didefinisikan sebagai jumlah penguapan dari suatu wilayah yang tertutup tumbuhan dengan kecukupan air untuk terjadinya penguapan maksimum menurut kondisi klimatologi. Evapotranspirasi potensial ini dihitung berdasarkan rumus Thornthwaite sebagai fungsi emperatur rerata bulanan. Apabila jumlah hujan tahunan rerata lebih kecil dari Eto tahunan, maka wilayah tersebut merupakan daerah semi kering. Indeks kekeringan menurut UNESCO (1979) Menurut UNESCO tingkat kekeringan diukur berdasarkan nilai evapotranspirasi potensial Eto yang dihitung menurut rumus Penman. Nilai ini dibandingkan dengan tinggi curah hujan tahunan rerata (P). < 0,03 Wilayah Super Kering 0,03 < < 0,20 0,20 < < 0,50 b. Kekeringan Hidrologi Kekeringan tipe ini merefleksikan kondisi sistem air dalam suatu wilayah baik untuk air permukaan maupun air bawah permukaan. Kekeringan hidrologis dapat dilihat dari debit aliran rendah (lowflow), tampungan air di danau/waduk, tampungan dalam tanah dsb. Kondisi kekerinan hidrologi tidak selalu terjadi secara bersamaan dengan kekeringan meteorologis. Kadangkala ada daerah yang mengalami kekeringan meteorologi tetapi kalau dipandang dari sisi hidrologi sebenarnya tidak mengalami kekeringan. Tetapi pada umumnya, apabila terjadi kekeringan hidrologi maka secara meteorologi juga mengalami kekeringan. c. Kekeringan Pertanian Kekeringan pertanian merefleksikan kekurangan lengas tanah yang dibutuhkan oleh tanaman untuk hidup (evapotranspirasi). Respon tanaman terhadap kondisi lengas tanah sangat bervariasi. Sebagian tanaman mampu bertahan hidup dan tumbuh dalam kondisi lengas tanah yang rendah, tetapi ada juga tanaman yang membutuhkan lengas tanah tinggi untuk bertahan hidup. Beberapa batasan kondisi lengas tanah untuk tanaman yaitu kondisi jenuh, kapasitas lapang, titik layu awal dan titik layu permanen. Kondisi lengas tanah ini berdampak langsung pada produktifitas tanaman. wilayah kering wilayah semi kering

Nampak bahwa kekeringan yang terjadi dapat merupakan interaksi berbagai tipe kekeringan yang menambah kesulitan pengertian tentang kekeringan. Namun secara umum dapat dirangkum bahwa kekeringan adalah peristiwa terjadinya kesenjangan antara ketersediaan air dan kebutuhannya di masing-masing wilayah dan untuk tiap-tiap penggunaan. Contoh daerah yang mengalami kekeringan yaitu di Jawa Barat pada Juni 2003. Sawah seluas 24.802 ha mengalami kekurangan air dengan status berat dan ringan, sedang 345 ha puso (www.pikiran_rakyat.com). Kekeringan yang melanda Pulau Jawa terutama disebabkan oleh berkurangnya luas hutan dan meningkatnya penggunaan lahan non hutan. Kesimpulan ini dipeoleh Aris Poniman dari hasil penyusunan neraca sumberdaya hutan dan lahan (www.swara.net). Peningkatan lahan non hutan dapat mengakibatkan kekeringan karena keseimbangan ekosistem dalam suatu DAS terganggu. Aris mengingatkan perlunya masyarakat lebih waspada akan kemungkinan sering terjadinya banjir, tanah longsor dan tentu saja kekeringan. 3. Penanganan Banjir dan Kekeringan Secara Terpadu Banjir, sebagaimana diketahui, adalah persoalan kelebihan air, sementara kekeringan adalah persoalan kekurangan air. Fenomena bahwa banjir semakin meningkat dari waktu ke waktu, sementara debit musim kemarau semakin menurun sudah difahami bersama. Salah satu contoh kodisi tersebut ditunjukkan pada kejadian aliran di sungai Cidanau dari tahun 1998 2000 sebagai berikut : Gambar 1. Fluktuasi debit rata-rata bulanan Sungai Cidanau

Mengingat fenomena di atas, alangkah baiknya jika penanganan kedua persoalan tersebut dapat dilakukan secara terpadu. Penanganan banjir melalui peningkatan retensi banjir dapat dilakukan dengan cara program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan maupun perdesaan, pemeliharaan reservoirreservoir alamiah dan pembuatan resapan-resapan yang dapat memasukkan air hujan sebanyakbanyaknya ke dalam tanah. Tanah diharapkan dapat menjadi tampungan air sementara dan secara perlahan-lahan air dialirkan ke sungai sehingga tidak menimbulkan banjir di hilir. Manfaat langsung peningkatan retensi ini adalah terjaganya konservasi air di DAS, muka air tanah dapat diharapkan stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk berbagai keperluan terpenuhi. Contoh penanganan banjir dan kekeringan secara terpadu dapat diuraikan sebagai berikut. Daerah Industri Cilegon Sungai Cidanau terletak di Daerah Cilegon, Jawa Barat yang bermuara di Selat Sunda. Sungai ini sering membanjiri daerah Industri Cilegon dan sekitarnya. Disisi lain pada musim kemarau, daerah pantai tersebut kesulitan mendapatkan air bersih. Untuk mengatasi kesulitan air bersih

dan mengurangi besarnya debit banjir, PT Krakatau Tirta Industri membuat waduk Krenceng yang letaknya 27,2 km dari Sungai Cidanau.

Gambar 2. Sketsa tata letak waduk Krenceng U WTP Wd.Kreuceng

Air baku untuk kebutuhan air bersih diambil dari Sungai Cidanau dengan lokasi intake 700 m dari Selat Sunda di Kecamatan Cinangka. Dari intake air dipompa menuju waduk Krenceng yang merupakan penyimpanan cadangan air baku. Kapasitas waduk tersebut yaitu 2,5 juta m3. Dari waduk air dialirkan ke Water Treatment Plant Krenceng dengan kapasitas pengolahan 2000 lt/dt. Terbangunnya sistem pengadaan air bersih di daerah Cilegon tersebut dapat mengatasi kesulitan air bersih dan sekaligus dapat mengurangi besarnya debit banjir, sehingga genangan yang sering terjadi dapat menurun. Pengendalian Banjir Sungai Bengawan Solo Hulu dan Penyediaan Air Irigasi Pengendalian banjir Sungai Bengawan Solo Hulu dilakukan dengan pembuatan waduk Wonogiri yang terletak 2 km sebelah selatan kota Wonogiri. Waduk ini mulai beroperasi pada th 1982. Catchment areanya sebesar 1350 km2 dan kapasitas tampungan 650 juta m3. Waduk ini direncanakan untuk mengurangi debit banjir sebesar 4000 m3/detik menjadi 400 m3/detik (Nippon Koei Co., Ltd, 1978). Daerah banjir yang dapat dibebaskan seluas 11.000 ha, dan yang paling utama adalah pembebasan daerah Surakarta yang padat penduduk. Selain untuk pengendalian banjir waduk juga dimanfaatkan untuk irigasi. Daerah Irigasi yang mendapatkan air dari waduk Wonogiri meliputi wilayah Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Sragen dan Klaten dengan luas 23.200 ha. Namun dengan berjalannya waktu, areal irigasi di Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan atau industri. Oleh karena itu PDAM Surakarta akan memanfaatkan air Bengawan Solo untuk air baku dalam penyediaan air bersih bagi Kodya Surakarta. Daerah Aliran Sungai Goseng Daerah Aliran Sungai Goseng merupakan ordo pertama sungai Samin yang bermuara di Sungai Bengawan Solo. Luas area DAS Goseng = 5.96 km2. Daerah Aliran Sungai ini terletak pada 73932 745 08 LS dan 1105902 111215 yang ditunjukkan pada Gambar 3. Permasalahan yang ada di DAS Goseng yaitu dibukanya lahan dengan kemiringan yang terjal sebagai tegal oleh masyarakat setempat. Sehingga nilai koefisien aliran dan erosi lahan

meningkat, yang ditandai dengan meningkatnya nilai debit puncak dan kekeruhan air sungai Samin. Usaha penambahan luas hutan diaplikasikan pada DAS Goseng, dengan harapan dapat memberikan tambahan air ke dalam tanah dan mengurangi erosi lahan. Lahan tegal dengan kemiringan 25 65% dicoba untuk di hutankan kembali dengan skenario 5, 10, 15, 20 % luas DAS menjadi hutan atau tanpa reboisasi tetapi seluruh tegal dengan kemiringan tersebut di buat teras. Kejadian hujan yang digunakan dalam analisis yaitu kejadian pada tanggal 14 Januari 1997. Hasil analisis menunjukkan adanya penurunan debit puncak, yang berarti ada penambahan volume air ke dalam tanah sebagai ditunjukkan pada Gambar. Informasi yang dapat diperoleh dari analisis ini bahwa adanya penghutanan kembali DAS memberikan harapan bahwa besarnya cadangan air tanah untuk berbagai kebutuhan dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu. Harapan ini tentunya akan lebih mudah terwujud jika dapat dilakukan reboisasi secara serempak. Gambar 3. Penurunan debit puncak dengan adanya skenario reboisasi Gambar 5. Prediksi penambahan volume air akibat penghutanan kembali DAS C. Daftar Pustaka Agus Maryono, 2002, Banjir Terus Menerus di Indonesia dan Tinjauan Eko-Hidrolis, Seminar Permasalahan Banjir di Indonesia, HMS UAJY dan HATHI, Yogyakarta Krakatau Tirta Industri, PT., 2001, Proyeksi Kebutuhan Air Bersih Untuk Industri Cilegon dan Sekitarnya serta Kualitas dan Kuantitas Sungai Cidanau, Cilegon. Rachmad Jayadi, 2000, Prinsip Dasar Pengelolaan Kekeringan, Kursus Singkat Sistem Sumberdaya Air Dalam Otonomi Daerah II, Jur. Teknik Sipik UGM, Yogyakarta Sudjarwadi dan Fuad Bustomi, 2002, Perencanaan Pengembangan dan managemen Sumberdaya Air untuk Mengantisipasi Kekeringan DAS Mahakam, Seminar Pengendalian Kekeringan DPS Mahakam, Kalimantan Timur Siswoko, 2002, Mampukah Sarana dan Prasarana Pengendali Banjir dan Sistem Drainasi Membebaskan Dataran Banjir dari Ancaman Banjir dan Genangan, Seminar Permasalahan Banjir di Indonesia, HMS UAJY dan HATHI, Yogyakarta Comments: Be the first to comment

ARSITEKTUR TRADISIONAL SULAWESI SELATAN PUSAKA WARISAN BUDAYA LOKAL INDONESIA


Posted October 9, 2009 by syahriartato Categories: SENI DAN BUDAYA

Kebudayaan dan Arsitektur Tradisional. Manusia beraktifitas mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan dimuka bumi ini, berbekal kemampuan berfikir secara metaforik serta memanfaatkan seluruh indranya. Kemampuan berfikir secara metaforik itu terwujud dalam kreativitas penciptaan berbagai symbol, berisi ungkapan makna yang digunakan ketika berkomunikasi menyampaikan pesan, kesan, harapan, pengalaman, bahkan ungkapan perasaan kepada sesamanya. Komunikasi secara simbolik itu dilakukan dengan efektif, etis dan manusiawi untuk membangun kesepahaman. Dengan menggunakan simbol-simbol yang diciptakannya, manusia dapat saling berhubungan baik secara langsung maupun tidak, hingga pergaulannya kemudian semakian luas hingga menembus batas antar personal, komunitas, etnis, nasion bahkan generasi pada suatu skala interaksi sosial budaya. Ketika interaksi sosial budaya suatu masyarakat semakin luas maka kian beragam dan kompleks jaringan yang dilakoninya. Semakin tinggi intensitas interaksi sosial budaya yang dikembangkan oleh suatu komunitas lokal dalam pergaulannya dengan komunitas diluarnya, maka semakin besar pula peluang masyarakat tersebut untuk mengembangkan kebudayaan-nya. Sebaliknya semakin terisolir suatu komunitas dari lintasan orbitasi sosial budayanya, atau semakin mereka menutup diri dari pergaulan dengan luar komunitasnya, maka semakin kuat pula hambatan yang dihadapi dalam mengembangkan budayanya. Kini, dimasa interaksi sosial budaya masyarakat semakin luas dan terbuka, mengarahkan mereka menuju suatu keadaan imajiner, dimana masyarakat semakin mengabaikan batas geografis, etnografis, negara bahkan bangsa. Ralp Linpton seorang antropolog kenamaan Amerika menyatakan bahwa didunia ini tidak ada lagi masyarakat yang berhak menyatakan bahwa kebudayaannya masih asli. Selebihnya merupakan hasil tukar menukar dan pinjam meminjam unsur kebudayaan yang diserap secara murni ataupun dimodifikasikan. Demikian pula sebagian besar pengembangan unsur kebudayaan setempat biasanya merupakan pengembangan yang diilhami oleh pengaruh kontak budaya dengan pihak luar. Di Indonesia, perkembangan semangat demokrasi dan reformasi menjadi fenomena umum yang turut mendorong terjadinya pola interaksi sosial budaya baru. Masyarakat semakin terbuka. Suka tidak suka, perkembangan demokrasi dan reformasi tersebut telah mendorong pengaruh yang memberi dampak positif sekaligus negatif. Perkembangan positif yang telah terjadi adalah berkembangnya keterbukaan, transparansi, penegakan hukum dan hak azasi, memberi warna dan nuansa baru dalam tatanan pergaulan dan kehidupan kemasyarakatan, baik di tingkat lokal, regional maupun global. Sebaliknya, dampak negatif juga pasti terjadi, karena meningkatnya transportasi dan informasi yang mengantarkan budaya baru. Bila tidak ada filterisasi dan proteksi secara dini, keterbukaan dapat mengakibatkan infiltrasi kebudayaan yang membawa nilai-nilai baru yang tidak semuanya baik dan sesuai dengan nilai luhur yang dimiliki hingga dapat menimbulkan dekadensi kebudayaan. Kebudayaan lokal akan cenderung semakin terpuruk dan akhirnya porak poranda kehilangan identitas. Kondisi ini, kian diperparah karena anutan

model pembangunan di Indonesia, sementara masih lebih bertumpu pada prioritas pembangunan ekonomi yang kapitalistis. Dalam masyarakat kapitalistis, nilai ekonomis cenderung menjadi tujuan utama yang sangat kuat menonjol, serta mempengaruhi sendi kehidupan secara keseluruhan. Sementara disisi lain nilainilai non ekonomi, nilai-nilai batin dan nilai-nilai spiritual terus tergerogoti hingga keberadaannya merosot tajam. Ukuran keberhasilan seseorang cenderung dinilai dalam pencapaian skala materialistis -ekonomi kebendaan semata. Sementara nilai-nilai moral, nilainilai batin dan spiritual, nilai kewibawaan, keadilan dan nilai-nilai kearifan budaya leluhur terabaikan, bahkan nilai-nilai itu seolah menjadikan semacam komoditas eceran. Kondisi seperti itu diperparah lagi dengan kekurangsiapan sebagian besar masyarakat Indonesia mengantisipasi kemajuan yang sangat pesat dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi komunikasi dan teknologi informasi sudah semakin canggih. Keberadaannya telah secara cepat menjadi katalisator yang sangat cepat, menarik dan mentransformasi masuknya kebudayaan mancanegara. Orang-orang ingin serba bergegas cepat. Tak heran jika yang nampak pesat berkembang kemudian adalah budaya opportunis dan hedonis yang lebih mengunggulkan rasiokebudayaan otak, berbanding terbalik dengan sensitifitas kebudayaan rasa yang cenderung pelan karena segala sesuatu perlu proses dan pengendapan, penghayatan. Kebudayaan rasa berintikan pada proses, solidaritas dan empati bagi sesama. Suatu yang sesungguhnya memiliki tempat terhormat dalam kepribadian bangsa Indonesia sebagai wujud dari nilai warisan nenek moyang bangsa. Dampak berbagai dari kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menjadikan batas-batas antar bangsa sudah semakin tidak jelas, hampir semua aspek kehidupan bangsa sudah saling berinteraksi secara bebas, bercampur. Komunitas etnis atau masyarakat tradisional perlahan memudar, mereka sudah sangat sulit untuk hanya mempertahankan ciri khas budaya lokalnya sebagai unggulan warisan leluhur mereka saja. Keluhuran budaya lokal yang adiluhung dan bersahaja itu, kian tercemari nilai-nilai kebendaan dan pragmatisme. Kenyataannya terlihat pada apa yang terjadi didunia pendidikan, banyak orang yang mengabaikan mutu, sementara yang dikejar adalah bagaimana cara memperoleh selembar ijazah. Ukuran terhormat bagi seseorang hanya dinilai pada pencapaian prestasi sesaat, atau bagaimana memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya, penguasaan power kekuasaan sebesar-besarnya tetapi mengabaikan bagaimana cara atau proses mencapainya. Padahal, masyarakat tradisional Indonesia sesungguhnya sangat percaya akan pentingnya suatu proses yang membentuk tatanan, acuan tetap, yang mengatur segala apa yang terjadi secara harmonis. Tatanan atau acuan itu bersifat Stabil, Selaras dan kekal karena lahir dari proses yang panjang. Kepercayaan dan pemahaman akan tatanan dan acuan yang mengatur itu kemudian mengendap, mengkristal, menjadi landasan nilai budaya, menjadi sumber segala anutan, ukuran kemuliaan dan kebahagiaan manusia. Sesungguhnya, apapun yang dilakukan manusia haruslah sesuai atau selaras dalam harmoni tatanan kehidupan alam sekitarnya. Bila tidak bertentangan dengan keselarasan dan harmoni alam, niscaya hidup manusia akan tenang dan damai. Sebaliknya perbuatan manusia yang menyimpang dari tatanan dan aturan itu, akan menjadi dosa, penyimpangan yang bisa berakibat terjadinya sangsi, hukuman pembawa malapetaka.

Pada masyarakat tradisional Indonesia, perbuatan manusia itu selalu berdimensi dua atau dwimatra; yaitu mistik dan simbolik. Untuk mengungkap kepercayaan akan makna hidup, manusia menggunakan tanda tanda atau simbol. Ada dua macam tanda penting, pertama : mitos asal, atau tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua : Ritual berupa upacara atau perlakuan simbolis yang berfungsi atau dimaksudkan untuk memulihkan harmoni tatanan alam agar tetap selaras dengan manusia, agar manusia dapat terhindar dari malapetaka dan mendapatkan keselamatan serta kesejahteraan dalam kehidupan. Itulah dasar-dasar filosofi yang mewarnai Budaya masyarakat tradisional Indonesia. Pola pemikiran masyarakat tradisional pada umumnya hidup dalam budaya kosmologi yang menyeluruh. Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas dan berpusat pada kehidupan dirinya sendiri, Egocentrum. Kemudian manusia mengembangkan diri melalui dorongan naluri dan nalarnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kehidupan egocentrum kemudian berubah menjadi bagian integral dari kehidupan habitat sekitarnya, yang diatur dalam sebuah tatanan budaya atau kebudayaan. Masyarakat tradisional sering dianggap sebagai masyarakat yang hanya hidup dalam suasana kepercayaan leluhur semata yang di pengaruhi oleh ethos budaya lokal yang ekslusif serta mempunyai sifat-sifat khusus. Kekhususan itu ditandai dari cara mereka mempertahankan suasana hidup selaras, harmonis dan seimbang dengan kehidupan habitat sekitarnya. Keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, menjadi pola pengendali hubungan antar manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan habitat sekitarnya itu didasarkan pada anggapan bahwa eksistensi hidup ada dalam rangkuman makrokosmos alam raya. Suatu tatanan yang selalu teratur, tersusun dan berulang secara hirarkis otomatis dalam sebuah tatanan budaya yang terjaga. Ketika bicara tentang kebudayaan secara komprehensif, maka arsitektur adalah salah satu wujud hasil karya seni budaya. Keterkaitan hubungan antara kebudayaan suatu bangsa dengan arsitektur, tergambar pada telaahan masing masing unsurnya. Telaah arsitektur pada umumnya berpijak pada unsur unsur konsep, cara membangun dan wujud nyata dari bangunan sebagai suatu lingkungan buatan dalam rekayasa lingkungan sekitarnya. Telaahan kebudayaan selalu berpijak pada unsur-unsur buah pikiran idea, perbuatan, sikap dan prilaku behavior serta hasil karya seni artefak. Arsitektur sebagai hasil karya seni budaya diakui sebagai salah satu wujud kebudayaan yang dapat dijadikan cerminan dari kehidupan manusianya, dari masa ke masa. Arsitektur sebagai unsur kebudayaan, laksana salah satu bentuk bahasa non-verbal manusia yang bernuansa simbolik. Arsitektur adalah alat komunikasi manusia secara non verbal yang mempunyai nuansa sastrawi. Tidak jauh berbeda dengan sastra verbal yang metaforik. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana metafor keindahan, dari sudut pandang itu akan dikenali karakteristiknya. Dalam naskah kuno sastra jawa dan kitab sastra lontara Bugis Makassar secara jelas dapat ditemukan relevansi antara lingkungan dan kehidupan budaya manusia, hal tersebut terwujud pada penggambaran bentuk rumah adat yang diciptakannya. Sumber : Tjahjono, Ed., 1999

Gambar 1. Rumah Tradisional Nusantara Konsep Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Dalam masyarakat tradisional Sulawesi Selatan, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat selalu dilakukan bersendikan adat istiadat. Adat istiadat menjadi semacam pedoman dalam berpikir dan bertindak sesuai pola kehidupan masyarakatnya. Terwujud baik dalam tingkah laku, cara berinteraksi, termasuk perlakuan dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan alam sekitarnya. Adat istiadat dan kepercayaan adalah warisan nenek moyang yang mengisi inti kebudayaan. Hal tersebut dipercaya sebagai warisan yang diterima langsung dari sang pengatur tata tertib kosmos untuk menjadi pengarah jalannya lembaga-lembaga sosial. Oleh sebab itu berbagai upacara, pesta dan upacara kemasyarakatan yang berdasarkan pada adat istiadat, tetap diadakan untuk menjaga kesinambungan dan pelestarikan prosesi budaya bangsa. Termasuk tata cara atau prosesi pembuatan rumah. Tata cara pembuatan rumah menurut konsep arsitektur tradisional Sulawesi Selatan, merujuk pada pesan atau wasiat yang bersumber dari kepercayaan dan adat istiadat yang dianut masyarakat Sulawesi Selatan; mulai dari pemilihan tempat, penentuan arah peletakan rumah, bentuk arsitektur, hingga penyelenggaraan upacara ritual ketika proses membangunnya. Konsep Bugis Makassar Konsep arsitektur masyarakat tradisional Bugis-Makassar bermula dari suatu pandangan hidup ontologis, bagaimana memahami alam semesta secara universal. Filosofi hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut Sulapa Appa, menunjukkan upaya untuk menyempurnakan diri. Filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk Segi Empat. Filosofi yang bersumber dari mitos asal mula kejadian manusia yang diyakini terdiri dari empat unsur, yaitu : tanah, air, api, dan angin. Bagi masyarakat tradisional Bugis-Makassar yang berfikir secara totalitas, maka rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh pemahaman: Struktur kosmos dimana alam terbagi atas tiga bagian yaitu alam atas , alam tengah, dan alam bawah,. Abu Hamid (1978:30-31) dalam Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan menuliskan bahwa rumah tradisional orang Bugis tersusun dari tiga tingkatan yang berbentuk segi empat, dibentuk dan dibangun mengikuti model kosmos menurut pandangan hidup mereka, anggapannya bahwa alam raya (makrokosmos) ini tersusun dari tiga tingkatan, yaitu alam atas atau banua atas, alam tengah banua tengah dan alam bawah banua bawah . Benua atas adalah tempat dewa-dewa yang dipimpin oleh seorang dewa tertinggi yang disebut Dewata Seuwae (dewa tunggal), bersemayam di Botting-Langik (langit tertinggi). Benua tengah adalah bumi ini dihuni pula oleh wakil-wakil dewa tertinggi yang mengatur hubungan manusia dengan dewa tertinggi serta menggawasi jalannya tata tertib kosmos. Benua bawah disebut Uriliyu (tempat yang paling dalam) dianggap berada di bawah air. Semua pranata-pranata yang berkaitan dengan pembuatan atau pembangunan rumah harus berdasarkan kosmologis yang diungkap dalam bentuk makna simbolis-filosofis, yang diketahuinya secara turun-temurun dari generasi kegenerasi.

Menurut Mangunwijaya (1992:95-96), bahwa bagi orang-orang dahulu, tata wilayah dan tata bangunan alias arsitektur tidak diarahkan pertama kali demi penikmatan rasa estetika bangunan, tetapi terutama demi kelangsungan hidup secara kosmis. Artinya selaku bagian integral dari seluruh kosmos atau semesta raya yang keramat dan gaib. Beberapa hal yang penting diketahui bahwa dalam proses mendirikan rumah pada masyarakat tradisional Bugis-Makassar, mereka selalu meminta pertimbangan dari Panrita Bola atau Panre bola untuk pencarian tempat, menunjukkan arah yang dianggap cocok dan baik. Panre Bola menguasai ilmu pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah; dimulai dari pemilihan jenis kayu, menghitung berapa tiang (aliri), berapa pasak (pattolo) yang akan dipakai, Termasuk pengerjaan elemen-elemen atau ornamen bangunan rumah hingga akhirnya merekostruksi rumah yang diinginkan serta perlengkapannya. Dalam hal ini peranan seorang Panrita Bola sangat menentukan melalui nasehat-nasehat mereka yang akan menjadi pegangan bagi penghuni rumah; kepercayaan tentang adanya pengaruh kosmologis sudah sangat dimaklumi masyarakat BugisMakassar. Beberapa wasiat yang menjadi perhatian dalam hal menentukan arah rumah pada masyarakat tradisional Bugis-Makassar misalnya: sebaiknya menghadap kearah terbitnya matahari, menghadap kedataran tinggi, atau menghadap ke salah satu arah mata angin. Selain itu salah satu faktor pertimbangan lain yang selalu diperhitungkan adalah pemilihan waktu saat mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan yang baik, biasanya ditentukan atas bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu. Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh serangkaian upacara-ritual. Pada tahap selanjutnya secara berurutan mulailah mendirikan rumah dengan mengerjakan pemancangan tiang pusat rumah yang disebut posibola terlebih dahulu, menyusul pemasangan tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan selesai dikerjakan secara keseluruhan. Seperti kebanyakan rumah tradisional di indonesia, rumah Bugis Makassar juga dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya. Rumah tradisional Bugis-Makassar pada dasarnya terwujud dalam beberapa macam yaitu : - Rumah Kaum Bangsawan Arung atau Karaeng. Untuk rumah bangsawan Arung atau Karaeng yang memegang jabatan, pada puncak rumah induk terdiri dari tiga atau lebih sambulayang /timpalaja. Tiang kesamping dan kebelakang berjumlah 5 hingga 6 batang, sedang untuk bangsawan biasa jumlah tiang kesamping dan kebelakang 4 hingga 5 tiang. - Rumah Orang Kebanyakan Tosama, Untuk rumah Tosama atau orang kebanyakan/masyarakat umum terdiri dari 4 buah tiang kesamping dan kebelakang, puncak sambulayang/timpalaja hanya dua susun. - Rumah Hamba sahaya Ata atau Suro,

Bentuk rumah Ata atau Suro- hamba sahaya berukuran yang lebih kecil, biasanya hanya terdiri dari tiga petak, dengan sambulayang/ timpalaja yang polos. Pada umumnya rumah tradisional Bugis-Makassar berbentuk panggung dengan penyangga dari tiang yang secara vertikal terdiri atas tiga bagian yaitu : - Rakkeang / Pammakkang, terletak pada bagian atas. Disini melekat plafond tempat atap bertumpu dan menaungi, juga berfungsi sebagai gudang penyimpanan padi sebagai lambang kehidupan/kesejahteraan pemiliknya. Selain itu dimanfaatkan menjadi tempat penyimpanan atribut adat kebesaran. - Ale bola / kale balla, terletak pada bagian tengah. Dibagian ini ada sebuah tiang yang lebih ditonjolkan diantara tiang tiang lainnya. Ruangannya terbagi atas beberapa petak dengan masing masing fungsinya. Biasanya ruang ini menjadi tempat pusat aktivitas interaksi penghuni rumah. - Awaso / siring, terletak pada bagian bawah rumah. Bagian ini dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan alat cocok tanam, alat bertukang, pengandangan ternak, dan lain lain. Sedang secara horisontal ruangan dalam rumah terbagi atas tiga bagian yaitu : - Lontang ri saliweng/padaserang dallekang, letaknya diruang bahagian depan. - Lontang ri tengnga/padaserang tangnga, terletak diruang bahagian tengah. - Lontang ri laleng / padaserang riboko, terletak diruang bahagian belakang. Selain ruang ruang tersebut, masih ada lagi tambahan dibagian belakang Annasuang atau Appalluang- ruang dapur, dan ruang samping yang memanjang pada bagian samping yang disebut tamping, serta ruang kecil di depan rumah yang disebut lego-lego atau paladangtempat berbincang atau bercengkerama. Sebagaimana diketahui dalam konsep arsitektur tradisional Bugis- Makassar, memandang kosmos terbagi atas tiga bagian, maka secara struktural rumah tradisional Bugis Makassar terbagi atas : Struktur bagian bawah, Berdirinya tiang ditunjang oleh beberapa konstruksi sambungan yang disebut: Pattoddo (Makassar), Pattolo (Bugis), berfungsi untuk menghubungkan/menyambung antara tiang satu dengan tiang yang lainnya dengan arah melebar rumah. Bahan biasanya dari kayu jati, batang kelapa, dan lain-lain. Palangga (Makassar), Arateng (Bugis), terbuat dari balok pipih yang panjangnya lebih sedikit dari panjang rumah. Bahan yang digunakan dari bahan batang kelapa, lontar, bambu dan lain-lain. Fungsinya yaitu: Penahan berdirinya tiang-tiang rumah, dan Sebagai dasar tempat meletakkan pallangga caddi/tunabbe sebagai dasar tumpuan lantai. Pada rumah bangsawan jumlahnya biasanya 5 hingga 6 batang (sesuai petak rumah),untuk rakyat biasa 4 batang. Pondasi/ Umpak, tempat meletakkan tiang agar tidak bersentuhan langsung dengan tanah.

Struktur badan rumah, komponen komponen utama bagian ini adalah : 1. Lantai, berdasarkan status penghuninya maka lantai rumah tradisional terdiri dari ; Untuk golongan bangsawan Arung, lantai rumah biasanya tidak rata karena adanya tamping yang berfungsi sebagai sirkulasi, bahan lantai dari papan. Sedangkan untuk golongan rakyat biasa Tosama umumnya rata tanpa tamping. Golongan hamba sahaja Ata umumnya dari bambu. 2. Dinding untuk bahan penutup digunakan gamacca, papan, dengan sistem konstruksi ikat dan jepit. Konstruksi balok anak, merupakan penahan lantai, dan bertumpu pada balok pallangga lompo/arateng. Jumlahnya ganjil dengan jarak rata-rata 20 hingga 50 cm. Struktur dan konstruksi bagian atas rumah terdiri dari konstruksi kap/atap yang merupakan suatu kesatuan yang kokoh dan stabil untuk menahan gaya. Komponennya terdiri atas : Balok makelar soddu atau suddu. Terletak ditengah antara balok pengerat dan balok skor, berfungsi sebagai tempat kedudukan balok bubungan dan kaki kudakuda. Sistem konstruksinya dengan sistem ikat/takik pen, dengan ketinggian disesuaikan dengan status penghuninya. Arung = lebar rumah + 1 siku + 1 jengkal telunjuk + 3 jari pemilik, Golongan Tosama = lebar rumah + 1 telapak tangan, Golongan Ata = lebar rumah + 1 siku + tinggi kepala + kepalan tangan pemilik. Kaki Kuda kuda Pasolle. Berfungsi sebagai tempat kedudukan balok-balok gording dan sebagai penahan bidang atap sistem konstruksinya menggunakan sistem ikat, takik, dan paku pen. Balok pasolla berbentuk pipih 3/12 cm. Balok bangunan Coppo, berfungsi sebagai tempat bertumpunya balok suddu, kaso, dan bahan atap. Sistem konstruksinya, balok bubungan diletakkan diatas balok makelar yang ditakik kemudian diperkuat dengan paku pen, dimensi balok 4/12 cm. Balok pengerat Pattoddo riase atau Pannoddo, adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dari tiap baris arah lebar rumah. Panjangnya lebih sedikit dari lebar rumah, dimensi 4 x 12,5 x 14, atau 6 x 15 cm. Sistem konstruksinya, bila tiang dari bahan bambu maka tiang dan balok pengerat ditakik 1/3 dari diameter, kemudian diikat. Bila segi empat, tiang dilubangi setebal penampang balok pengerat kemudian padongko di tusuk pada setiap lubang dari tiang. Bahan biasanya batang lontar, kelapa, jati, dan lain-lain. Balok blander Bare atau Panjakkala, adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dalam arah memanjang. Fungsinya adalah sebagai ring balok, pendukung kaso, tempat memasang timpalaja dan tempat meletakkan balok rakkeang. Sistem konstruksinya biasanya menggunakan pen, ikat, dan diperkuat dengan pasak. Barakapu, sebagai tempat memakukan / mengikat papan lantai Rakkeang atau Pammakkang. Rakkeang/Pammakkang, sebagai tempat penyimpan barang dan lain-lain, bahannya dapat berupa bambu atau papan. Sistem konstruksinya, jepit dan ikat. Sambulayang atau Timpalaja, merupakan bagian konstruksi atas yang berupa bidang segitiga dan dibuat berlapis. Sistem konstruksinya, rangka utama berpegang, bertumpu pada balok nok, pada kedua ujung bagian bawah terletak pada balok Pattikkeng.

Les plank Ciring, berupa papan yang dipasang pada ujung sisi depan dan belakang atap. Fungsinya sebagai penahan angin yang berpegang pada balok gording dengan sistem sambungan pen dan lubang, ujungnya kadang diberi hiasan Ornamen. Atap, bahan dari nipa, rumbia, alang alang, atau daun lontar. Bentuk pelana dengan sudut antara 30 hingga 40. Ragam Hias dan Ornamen Ragam hias Ornamen pada rumah tradisional Bugis-Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis-Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari corak alam, flora dan fauna. Ornamen corak alam; Umumnya bermotifkan kaligrafi dari kebudayaan islam. Ornamen flora corak tumbuhan , Umumnya bermotifkan bunga/ kembang, daun yang memiliki arti rejeki yang tidak putus putusnya, seperti menjalarnya bunga itu, disamping motif yang lainnya. Ornamen fauna corak binatang, Umumnya bentuk yang sering ditemukan adalah : Kepala kerbau yang disimbolkan sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status sosial. Bentuk naga yang diartikan simbol wanita yang sifatnya lemah lembut, kekuatan yang dahsyat. Bentuk ayam jantan yang diartikan sebagai keuletan dan keberanian, agar kehidupan dalam rumah senantiasa dalam keadaan baik dan membawa keberuntungan. Penempatan ragam hias ornamen tersebut utamanya pada sambulayang/timpalaja, jendela, anjong, dan lain-lain. Penggunaan ragam hias tersebut menandakan bahwa derajat penghuninya tinggi. Gambar 2. Rumah Tradisional Bugis Makassar Konsep Mandar Identitas Arsitektur Tradisional Mandar tergambar dalam bentuk rumah tradisional yang disebut boyang . dikenal adanya dua jenis boyang, yaitu : boyang adaq dan boyang beasa. Boyang adaq ditempati oleh keturunan bangsawan, sedangkan boyang beasa ditempati oleh orang biasa. Pada boyang adaq diberi penanda sebagai simbolik identitas tertentu sesuai tingkat status sosial penghuninya. Simbolik tersebut, misalnya tumbaq layar yang bersusun antara 3 sampai 7 susun, semakin banyak susunannya semakin tinggi derajat kebangsawanan seseorang. Sedangkan pada boyang beasa, tumbag layar nya tidak bersusun. Simbolik lain dapat dilihat pada struktur tangga. Pada boyang adaq, tangganya terdiri atas dua susun, susunan pertama yang terdiri atas tiga anak tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas sembilan atau sebelas anak tangga. Kedua susunan anak tangga tersebut diantarai oleh pararang. sedangkan boyang beasa, tangga tidak bersusun. Rumah tradisional Mandar berbentuk panggung yang terdiri atas tiga bahagian, sama Ethos Kosmos yang berlaku pada etnis Bugis Makassar. Bagian pertama disebut tapang yang

letaknya paling atas, meliputi atap dan loteng. Bagian kedua disebut roang boyang , yaitu ruang yang ditempati manusia, dan bagian ketiga disebut naong boyang yang letaknya paling bawah. Demikian pula bentuk pola lantainya yang segi empat, terdiri atas tallu lotang (tiga petak). Petak pertama disebut samboyang (petak bagian depan), petak kedua disebut tangnga boyang (petak bagian tengah) dan petak ketiga disebut bui lotang (petak belakang). Tatanan dan aturan rumah adat, tiga susun dan tiga petak menunjukkan makna pada filosofi orang Mandar yang berbunyi : dadua tassasara, tallu tammallaesang (dua tak terpisah, tiga saling membutuhkan). Adapun dua yang tak terpisahkan itu adalah aspek hukum dan demokrasi, sedangkan tiga saling membutuhkan adalah aspek ekonomi, keadilan, dan persatuan. Struktur bangunan rumah orang mandar, terdiri dari bagian paling atas, yaitu ate (atap). Atap rumah berbentuk prisma yang memanjang ke belakang menutupi seluruh bagian atas rumah. Pada masa lalu, rumah-rumah penduduk, baik boyang adaq maupun boyang beasa menggunakan atap rumbia. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut banyak tersedia dan mudah untuk mendapatkannya. Pada bagian depan atap terdapat tumbaq layar yang memberi identitas tentang status penghuninya. Pada tumbaq layar tersebut dipasang ornamen ukiran bunga melati. Di ujung bawah atap, baik pada bagian kanan maupun kiri diberi ornamen ukiran burung atau ayam jantan. Pada bagian atas penutup bubungan, baik di depan maupun belakang dipasang ornamen yang tegak ke atas. Ornamen itu disebut teppang. Di bawah atap terdapat ruang yang diberi lantai menyerupai lantai rumah. Ruang tersebut diberi nama tapang. Lantai tapang tidak menutupi seluruh bagian loteng. Pada umumnya hanya separuh bagian loteng yang letaknya di atas ruang tamu dan ruang keluarga. Tapang berfungsi sebagai gudang untuk menyimpang barang-barang. Bila ada hajatan dirumah tersebut, tapang berfungsi sebagai tempat menyimpan bahan makanan sebelum dihidangkan atau didistribusikan. Pada masa lalu, tapang tersebut sebagai tempat atau kamar calon pengantin wanita. Ia ditempatkan pada kamar tersebut sebagai tindakan preventif untuk menjaga siriq (harga diri). Untuk naik ke tapang, terdapat tangga yang terbuat dari balok kayu atau bambu. Tangga tersebut dirancang untuk tidak dipasang secara permanen, hanya dipasang pada saat akan digunakan. Rumah orang Mandar, baik boyang adaq maupun boyang beasa mengenal tiga petak ruangan yang disebut lotang. Ruangan tersebut terletak di bawah tapang yang menggunakan lantai yang terbuat dari papan atau bilah bambu. Adapun ketiga lotang ruangan tersebut adalah : Samboyang, yaitu petak paling depan. Tangnga boyang, petak bagian tengah rumah. Petak ini berfungsi sebagai ruang keluarga, di mana aktivitas keluarga dan hubungan sosial antara sesama anggota rumah tangga. Bui boyang, petak paling belakang. Petak ini sering ditempatkan songi (kamar) untuk anak gadis atau para orang tua seperti nenek dan kakek. Penempatan songi untuk anak gadis lebih menekankan pada fungsi pengamanan dan perlindungan untuk menjaga harkat dan martabat keluarga. Sesuai kodratnya anak gadis memerlukan perlindungan yang lebih baik dan terjamin. Ketiga petak di dalam roang boyang tersebut memiliki ukuran lebar yang berbeda. Petak yang di tengah biasanya lebih lebar dibanding dengan petak-petak yang lainnya. Sedangkan petak yang paling depan lebih lebar dibanding dengan petak yang paling belakang.

Khusus pada boyang adaq, di dalam roang boyang terdapat ruangan atau petak yang lantainya lebih rendah tambing atau pelleteang. Letaknya selalu dipinggir dengan deretan tiang yang kedua dari pinggir, mulai dari pintu depan ke belakang. Ruangan ini merupakan tempat lalu lalang anggota keluarga. Olehnya itu, pemasangan lantai yang terbuat dari papan agak dijarangkan agar berbagai kotoran, seperti debuh, pasir, dan sebagainya dapat lebih mudah jatuh ke tanah. Selain itu, ruang ini juga berfungsi untuk menerima tamu dari kalangan masyarakat biasa dan ata (budak). Bangunan tambahan yang diletakkan di belakang bangunan induk disebut paceko (dapur). Bangunan tersebut biasanya dibuat secara menyilang dengan bangunan induk. Panjangnya minimal sama dengan lebar bangunan induk, dan lebarnya minimal sama dengan satu petak bangunan induk. Bangunan ini disertai ruang yang lapang, sehingga mempunyai banyak fungsi. Pada paceko juga tersedia tempat buang air kecil yang disebut pattetemeangang. Bangunan tambahan yang ada di depan rumah yang disebut dengan lego-lego (teras). Bangunan ini biasanya lebih sempit dibanding dengan bangunan tambahan bagian belakang. Kendati demikian, bangunan tersebut tampak lebih indah dihiasi berbagai ornamen, baik yang berbentuk ukiran maupun yang berbentuk garis-garis vertikal dan horisontal. Fungsi bangunan ini adalah sebagai tempat sandaran tangga depan, tempat istirahat pada sore hari dan tempat duduk sebelum masuk rumah. Rumah tradisional Mandar, baik boyang adaq maupun boyang beasa pada umumnya mempunyai dua tangga, yaitu tangga depan dan tangga belakang. Setiap tangga mempunyai anak tangga yang jumlahnya selalu ganjil. Jumlah anak tangga pada setiap tangga berkisar 7 sampai 13 buah. Jumlah tersebut disesuaikan dengan tinggi rumah. Pada umumnya, boyang adaq memiliki anak tangga yang lebih banyak, yaitu berkisar 11 sampai 13 buah. Sedangkan boyang beasa sekitar 7 sampai 9 buah. Pada boyang adaq, tangga depannya bersusun dua dilengkapi dengan pasangan. Sedangkan boyang beasa, tangganya tidak bersusun dan tidak dilengkapi pegangan. Terdapat ruang di bawah lantai yang disebut naong boyang (kolong rumah). Pada masa lalu, kolong rumah hanya berlantai tanah. Ditempat itu sering dibuatkan rambang sebagai kandang ternak. Ada kalanya sebagai tempat manette (menenun) kain sarung bagi kaum wanita. Bagian yang lain pada rumah adalah rinding (dinding). Dinding rumah terbuat dari kayu (papan) dan bambu (taqta dan alisi ). Pada umumnya, boyang adaq mempunyai dinding yang terbuat dari papan. Sedangkan boyang beasa selain berdinding papan, juga ada yang berdinding taqta dan alisi, rumah yang berdinding taqta dan alisi, penghuninya berasal dari golongan ata (beasa). Dinding rumah dirancang dan dibuat sedemikian rupa sesuai tinggi dan panjang setiap sisi rumah dan dilengkapi jendela pada setiap antara tiang. Hal itu dibuat secara utuh sebelum dipasang atau dilengketkan pada tiang rumah. Pembuatan dinding seperti itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan pasangannya, demikian pula untuk membukanya jika rumah tersebut akan dibongkar atau dipindahkan. Mendirikan rumah boyang melalui suatu tahapan kegiatan yang meliputi persiapan, membangun boyang dan hasil kegiatan berupa bangunan atau rumah tradisional. Dalam

proses persiapan ada beberapa hal yang patut diperhitungkan, yaitu bahan baku yang tersedia dari lingkungan alam sekitar (lokal) maupun dari luar (dari daerah lain), menyiapkan pappapia buyang (tukang dan ahli) sesuai latar belakang sosial budaya penghuninya. Gaya arsitektur tradisional banyak dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang tersedia disekitar lingkungan alam setempat. Gambar 5. Boyang Adaq Mandar Suatu bangunan rumah boyang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi memiliki nilai dan makna tersendiri sesuai dengan adat istiadat masyarakat tradisional Mandar. Olehnya itu, suatu rumah tradisional memiliki ciri khas terutama pada tipologi, interior/eksterior, dan ornamen yang ada didalamnya. Membangun rumah tradisional mandar memerlukan beberapa rangkaian kegiatan seperti musyawarah antar sesama keluarga atau kerabat, pemilihan lokasi atau tempat mendirikan rumah, dan pengadaan bahan baku untuk tiang, lantai, atap dan sebagainya. Bagi orang Mandar, setiap akan membangun rumah boyang senantiasa didahului dengan suatu pertemuan antara seluruh keluarga atau kerabat. Dalam pertemuan tersebut dilakukan musyawarah, yang biasanya dipimpin oleh anggota keluarga yang lebih tua dan banyak tahu tentang nilai-nilai dan adat istiadat dalam masyarakat tradisionalnya. Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam pelaksanaan musyawarah dihadirkan pula pappapia boyang (tukang ahli rumah). Musyawarah lebih diutamakan pada penilaian status sosial yang akan menempati rumah tersebut. Sebab dari status sosial yang akan menempati rumah tersebut. Dapat diketahui jenis dan bentuk rumah yang akan dibangun. Kalau yang bersangkutan berstatus bangsawan, maka jenis rumah yang akan dibangun adalah boyang adaq, bila yang bersangkutan berasal dari golongan masyarakat biasa, maka rumah yang akan dibangun adalah boyang beasa. Dalam musyawarah tersebut penilaian dan penentuan susunan tumbaq layar juga dibicarakan. Pemilihan waktu mendirikan boyang juga sangat penting, karena terkait dengan kepercayaan masyarakat tradisionalnya. Menurut mereka, ada waktu yang baik dan ada waktu yang buruk. Waktu yang baik selalu dihubungkan dengan keberuntungan dan keselamatan. Pemilihan waktu. Sedangkan waktu yang buruk selalu dihubungkan dengan bala, bencana dan ketidak mujuran, karena itu kegiatan awal dalam memulai mengerjakan rumah senantiasa berpedoman pada waktu-waktu baik, hari-hari baik adalah senin, kamis, dan jumat. Bulan-bulan tertentu dianggap kurang baik, seperti Muharram, Syafar, Jumadil Awal, dan Dzulkaiddah. Pemilihan tempat mendirikan boyang sangat terkait dengan kepercayaan tradisi masyarakat tentang adanya tanah yang baik dan kurang baik untuk dibanguni boyang. Tanah yang baik adalah tanah yang agak keras, tidak lembek. Biasanya berada pada daerah yang relatif sedikit tinggi atau bukit. Selain itu, tanah tersebut sebaiknya berbau wangi. Tanah seperti ini memberi makna keharuman, agar keluarga mereka kelak dapat memperoleh kebahagiaan, keharmonisan dalam rumah tangga. Orientasi rumah boyang yang paling baik adalah berorientasi pada arah yang mengandung makna positif, yaitu arah timur tempat matahari terbit. Arah pergerakan matahari yang menanjak

naik mengandung makna kebaikan, yaitu selalu bertambah naik . dalam pengertian ini, yang diharapkan selalu bertambah adalah nasib baik, terutama rezki dan amal kebijakan. Dengan arah rumah ketimur, cahaya matahari pagi dapat menyinari ruang lego-lego hingga kedalam rumah. Setelah agama Islam masuk di daerah Mandar, maka muncullah pandangan baru bahwa arah barat juga baik. Arah barat dianggap menghadap ke kiblat. Sedangkan bahan bangunan diusahakan dan diambil dari lingkungan alam sekitar. Penebangan ayu (kayu) dan bambu biasanya disesuaikan dengan waktu baik. Waktu-waktu baik adalah sama halnya pada saat memulai membangun rumah boyang. Pada saat menebang kayu, yang pertama harus ditebang adalah bahan untuk membuat possi arring (tiang pusat). Jenis kayu yang diperuntukkan untuk possi arring tidaklah sembarang, biasanya kayu sumaguri dan cawecawe . kedua jenis kayu tersebut mengandung makna simbolis. Untuk jenis sumaguri mengandung makna empati kepada seluruh masyarakat. Jadi, jenis kayu tersebut banyak digunakan pada possi arriang rumah adaq. Sedangkan jenis kayu cawe-cawe mengandung makna semangat atau mengairahkan. Jenis kayu tersebut pada umumnya digunakan untuk possi arriang rumah biasa. Hal ini dimaksudkan agar penghuninya kelak senangtiasa bersemangat atau bergairah dalam mengarungi kehidupan dunia. Penebangan kayu untuk possi arriang harus dilakukan oleh sando boyang. Sebelum melakukan penebangan, sando boyang melakukan upacara ritual yang dilakukan sendiri dirumahnya. Waktu penebangan diupayakan pada hari-hari baik. Adapun hari baik menebangan kayu untuk possi arriang adalah hari ke 14 terbitnya bulan, orang Mandar menyebutnya tarrang bulan (terang bulan), atau pada hari ke delapan sebelum tenggelamnya bulan. Penebangan kayu dilakukan pada pagi hari sekitar jam 09.00. Penebangan kayu dapat dilakukan oleh beberapa orang, tetapi pekerjaannya harus dimulai oleh sando boyang. Ada hal yang penting untuk diperhatikan dan diperhitungkan pada saat menebangan kayu, yaitu kayu tersebut harus tumbang dan jatuh kearah matahari terbit. hal ini dimaksudkan agar cahaya matahari senantiasa menerangi rumah yang akan dibangun. Dalam pengertian ini terdapat makna simbolis, bahwa diharapkan kelak rumah yang akan dibangun itu senantiasa dalam kondisi yang terang bercahaya. Pembangunan rumah tradisional boyang, dimulai dari pembuatan tiang arriang. Setiap rumah memiliki tiang minimal 20 batang. Tiang tersebut diatur dan disusun berjejer kesamping dan kebelakang. Setiap jejeran ke samping biasanya terdiri atas lima batang. Sedangkan jejeran ke belakang biasanya empat batang (tidak termasuk tiang paceko). Kelima tiang yang berjejer ke samping diupayakan memiliki lekukan dan bengkok yang sama. Dalam pembuatan arriang, pekerjaan pertama yang harus dibuat adalah possi arriang (tiang pusat). Setelah possi arriang usai dikerjakan, maka dilanjutkanlah pekerjaan pada seluruh tiang rumah lainnya. Pekerjaan seluruh tiang tersebut harus diperhatikan ujung-pangkalnya. Semua tiang pangkalnya harus berada di bawah, tidak boleh terbalik. Bagi rumah tradisional yang mempunyai paceko dan lego-lego, maka harus menggunakan minimal lima tiang tambahan untuk Paceko dan dua atau empat tiang untuk lego lego. Rumah tradisional Mandar yang terdiri atas tallu lontang, jumlah pasak yang dibutuhkan sebanyak 18 buah. Pasak tersebut terdiri atas empat untuk passolor, empat untuk baeq, lima

araiang diaya dan aratang naong. Selain itu, bilamana rumah tersebut mempunyai tambing, maka harus ditambah lagi aratang diaya dan aratang naong masing-masing satu buah. Bila rumah tersebut ditambah paceko, maka harus ditambah lagi passollor dan baeq sebanyak lima buah. Sedangkan aratang diaya dan aratang naong masing-masing dua buah. Selain pasak, terdapat pula balok kayu yang bentuknya pipih menyerupai pasak. Kayu ini disebut pambalimbungan (tulang punggung, paling diatas tempatnya). Jumlahnya tiga buah, masingmasing satu buah untuk rumah induk, paceko dan lego-lego. Lantai rumah tradisional Mandar terbuat dari papan (kayu) dan lattang, Lattang biasanya dipilih tarring (bambu) yang besar dan sudah tua. Lattang ini biasanya dipakai pada lantai paceko. Dinding rumah tradisional Mandar pada umumnya terbuat dari papan, alisi dan taqta. Pada dinding sisi depan rumah, biasanya dilengkapi tiga pepattuang (jendela) dan satu baba (pintu). Dinding sisi depan ini biasanya dilengkapi ornamen pada bagian luar di bawah jendela. Pada dinding sisi kanan dan kiri rumah biasanya juga dilengkapi dengan pepattuang sebanyak dua atau tiga buah. Pepattuang berbentuk segi empat yang rata-rata terdiri atas dua daun jendela yang berukuran sekitar 100 x 40 cm. Daun jendela itu dapat dibuka ke kiri dan ke kanan. Letak pepattuang biasanya berada antara dua buah tiang rumah. Untuk memperindah, pepattuang ini biasanya diberi ornamen berupa ukiran dan terali dari kayu yang jumlahnya selalu ganjil. Terali-terali tersebut ada yang dipasang secara vertikal dan ada yang horisontal. Secara vertikal mempunyai makna hubungan yang harmonis dengan Tuhannya. Sedangkan secara horisontal mempunyai makna hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Pemasangan ornamen seperti itu hanya tampak pada jendela yang ada di bagian depan dan sisi kiri kanan rumah. Pemasangan ornamen berupa ukiran dan terali-terali juga dapat dilihat pada bangunan tambahan di depan rumah, yaitu lego-lego. Prosesi ritual menurut kepercayaan masyarakat tradisional Mandar biasanya dimulai dari possi arriang. Pada possi arriang diikat lipaq (sarung) dan mukena atau kebaya. Sarung melambangkan jiwa laki-laki dan kebaya atau mukena sebagai jiwa perempuan. Kedua jiwa tersebut harus menyatu di dalam possi arriang kemudian tiang possi arriang disiram dengan air dari dalam cerek. Air yang tersisa di dalam cerek tadi dimasukkan dalam botol kemudian digantung pada possi arriang . segala bahan kelengkapan upacara mattoddoq boyang, seperti tebu, pisang, kelapa juga digantung pada possi arriang . Bahan kelengkapan upacara biasanya digantung setelah rumah berdiri. Bilamana rumah boyang akan diberi tambahan bangunan, seperti paceko dan lego-lego, maka setelah bangunan induk berdiri tegak dilanjutkan pendirian tiang paceko. Tambahan untuk Paceko biasanya terdiri atas satu deretan tiang yang jumlahnya enam batang ditambah satu batang di dekat tangga belakang. Setelah tiang berdiri, dilanjutkan pemasangan aratang naong dan aratang diaya yang dikuatkan dengan passanna. Seluruh tiang paceko juga diberi batu arriang. Setelah pendirian tiang paceko, dilanjutkan pula pada pendirian tiang lego-lego. Untuk boyang adaq, jumlah tiang lego legonya sebanyak empat batang. Sedangkan boyang beasa jumlah tiang lego legonya sebanyak dua batang.

Ragam Hias dan Ornamen Pada umumnya rumah tradisional, baik rumah bangsawan maupun rumah orang biasa di tana Mandar, memakai ragam hias ornamen. Pada bagian atap, dinding, plafon dan sebagainya. Ornamen selain berfungsi sebagai hiasan atau ornamen, juga berfungsi sebagai identitas sosial, dan makna-makna budaya dalam masyarakat. Corak ornamen umumnya bersumber dari alam sekitar manusia seperti flora, fauna, gambaran alam, agama dan kepercayaan namun tidak semua flora, fauna dan sebagainya dapat dijadikan corak ornamen. Konsep Toraja Etnis Toraja mendiami dataran tinggi di kawasan utara Sulawesi Selatan. Pada umumnya wilayah permukiman masyarakat Toraja terletak di pegunungan dengan ketinggian 600 hingga 2800m di atas permukaan laut. Temperatur udara kawasan permukiman masyarakat Toraja berkisar pada 150 hingga 300C. Daerah ini tidak berpantai, budayanya unik, baik dalam taritarian, musik, bahasa, makanan, dan kepercayaan Aluktodolo yang menjiwai kehidupan masyarakatnya. Keunikan itu terlihat juga pada pola permukiman dan arsitektur tradisional rumah mereka, upacara pengantin serta ritual upacara penguburannya. Kondisi Tana Toraja, tang dipegunungan dan berhawa dingin diduga mendasari ukuran pintu dan jendela yang relatif kecil, lantai dan dindingnya dari kayu yang tebal. Ukuran atap rumah tradisional Toraja yang terbuat dari susunan bambu sangat tebal. Wujud konstruksi ini sangat diperlukan untuk menghangatkan temperatur udara interior rumah. Masyarakat Tradisional Tana Toraja didalam membangun rumah tradisional mengacu pada kearifan budaya lokalKosmologi mereka yaitu :

Konsep pusar atau pusat rumah sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme Dalam perspektif kosmologi, rumah bagi masyarakat Toraja merupakan mikrokosmos, bagian dari lingkungan makrokosmos. Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi ruang tengah rumah dimana atap menyatu dengan asap-father sky Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti ariri possi di Toraja, possi bola di Bugis, pocci balla di Makassar dimana tiang menyatu dengan mother earth

Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga mengenal filosofi Aluk Apa Otona yaitu empat dasar pandangan hidup : Kehidupan Manusia, kehidupan alam leluhur Todolo, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi dasar terbentuknya denah rumah Toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding yang melambangkan badan atau Kekuasaan. Dalam kehidupan masyarakat toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri, Egocentrum. Hal ini yang tercermin pada konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang agak tertutup dengan bukaan yang sempit. Selain itu konsep arsitektur tradisional toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos budaya simuane tallang atau filosofi harmonisasi dua belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi didapati

dalam konsep arsitektur Tongkonan yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen tongkonan seperti : Rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, didalam satu sistem kehidupan dan penghidupan orang toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional toraja, dimana rumah dianggap sebagai mikrokosmos. Gambar 3. Kosmologi dalam arsitektur Toraja Sumber : Tjahjono, Ed., 1999 Gambar 4. Rumah tradisional Tongkonan Toraja Tata letak rumah tongkonan berorientasi Utara Selatan, bagian depan rumah harus berorientasi Utara atau arah Puang Matua Ulunna langi dan bagian belakang Rumah ke Selatan atau arah tempat roh-roh Pollona Langi. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti kehidupan dan pemeliharaan, pada arah Timur dimana para Dea Dewata memelihara dunia beserta isinya ciptaan Puang Mutua untuk memberi kehidupan bagi manusia, dan arah Barat adalah tempat bersemayam To Membali Puang atau tempat para leluhur Todolo. Atau selalu ada keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Kesemuanya ini diterjemahkan menjadi satu kata sederhana yaitu keseimbangan dan secara arsitektural keseimbangan selalu diaplikasikan kedalam bentuk simetris pada bangunan. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa prinsip dasar Arsitektur Tradisional Toraja adalah simetris, keterikatan dan berorientasi. Rumah Adat Tradisional Tongkonan. Tongkonan, rumah adat Toraja adalah merupakan bangunan yang sangat besar artinya, karena peranannya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Toraja. Tongkonan dalam fungsinya terbagi menjadi 4 macam tingkatan yaitu : - Tongkonan Layuk, kedudukannya sebagai rumah tempat membuat peraturan adat istiadat. - Tongkonan Pokamberan/Pokaindoran, yaitu rumah adat yang merupakan tempat melaksanakan aturan dan perintah adat dalam suatu masalah daerah. - Tongkonan Batu Ariri, yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan fungsi sebagai tempat persatuan dan pembinaan keluarga dari keturunan pertama tongkonan itu, serta tempat pembinaan warisan, jadi mempunyai arti sebagai tiang batu keluarga. Tongkonan Parapuan, fungsinya sama dengan Tongkonan Batu Ariri tetapi tidak boleh diukir seperti tiga tongkonan diatas dan tidak memakai Longa. Sedangkan fungsi dan kegunaan penataan lantai bangunan tradisional rumah adat Toraja, dibedakan atas :

- Banua Sang Borong atau Banua Sang Lanta, adalah rumah untuk para Pengabdi kepada Penguasa Adat, pada jaman sekarang ini banyak didapati di kebun kebun. Pada rumah ini hanya terdapat satu tiang untuk melaksanakan kegiatan sehari hari. - Banua Dang Lanta, adalah bangunan yang tidak mempunyai peranan adat seperti Tongkonan Batu Ariri yang terdiri dari dua ruang yaitu Sumbung sebagai tempat tidur dan Sali sebagai dapur. - Banua Tallung Lanta, yaitu bangunan pemerintahan adat Toraja yang mempunyai tiga ruang. Ruang ruang itu adalah Sumbung, Sali dan Tangdo yang berfungsi sebagai tempat upacara pengucapan syukur dan tempat istirahat tamu tamu. - Banua Patang Lanta, yaitu bangunan tongkonan tertua dari penguasa adat yang memegang fungsi adat Togkonan Pasio aluk. Dalam proses pembangunan bangunan tradisional Toraja ini pengerjaannya dibagi menjadi 2 tahap yaitu : - Tahap Mangraruk, yaitu sebagai pekerjaan permulaan untuk mengumpulkan seluruh bahan bahan bangunan yang diperlukan . - Tahap Ma Tamben atau Ma Pabendan, yaitu membangun suatu tempat untuk menyimpan bahan bangunan yang dinamakan Barung atau Loko Pa Tambenan, dimana semua bahan bangunan diolah diukur untuk persiapan pendirian bangunan tersebut. Setelah semua pekerjaan tersebut diatas sudah selesai, dilanjutkan dengan pengerjaan Ma Pabendan. Pekerjaan ini adalah pekerjaan permulaan dari pembangunan karena semua bahan bangunan sudah disiapkan, melalui tahap-tahap sebagai berikut : - Tahap Pabenden Leke, yaitu tempat membuat bangunan yang merupakan tempat mendirikan bangunan sampai selesai. Jadi bangunan rumah adat Toraja selama didirikan seolah olah tidak terkena sinar matahari dan hujan. - Tahap Noton Parandangan, yaitu mengatur dan menanam batu pondasi yang dipahat atau asli yang sudah cukup baik untuk menjadi batu pondasi. - Tahap Ma Pabendan, yaitu mendirikan tiang tiang bangunan utama diatas batu parandangan yang sudah diatur dalam ukuran persegi panjang. - Tahap Ma Ariri Posi, yaitu mendirikan satu tiang tengah bangunan yang merupakan salah satu tiang yang mempunyai arti dalam pembangunan rumah adat Toraja. - Tahap Ma Sangkinan Rindingan, yaitu pekerjaan memasang dinding pengosokan berjejer keliling bangunan dan kayu Sangkinan Rindingan ini sama besar dan tingginya begitu pula pada jarak pemasangannya kecuali pada bagian sudut bangunan.

- Tahap Ma Kamun Rinding, yaitu pemasangan semua dinding yang dimasukkan dari atas ke dalam Sangkinan Rinding melalui semacam jaluran rel sebagai bingkai yang terpasang mati. - Tahap Ma Petuo, yaitu pemasangan 4 buah kayu Ma Petuo sebagai tumpuan bagi kayu bubungan. - Tahap Ma Kayu Bekei, yaitu pemasangan kayu diatas kayu Ma Petuo sebagai tempat mengatur kayu kayu membentuk segitiga dengan badan rumah. Tahap Ma Paleke Indo Tekeran, yaitu semua kayu yang panjangnya 3,5 m, dengan persilangan pada ujung atasnya dan ujung bawahnya disambung pada kayu Rampanan Papa sebagai tempat mengatur kayu kecil kecil yang bernama Tarampak. - Tahap Ma Rampani, yaitu tempat menumpunya kayu Rampanan yang fungsinya mengikat dan mengatr atap. - Tahap Ma Palaka Indo Para, yaitu merupakan bagian depan agak miring dari bagian atap bangunan. - Tahap Ma Paringgi, yaitu pemasangan kayu pamiring yang membentuk longa dan berpangkal pada kayu Rampanga Papa Longa. - Tahap Ma Pabendan Tulak Somba, yaitu pemasangan kayu Tulak Somba menopang bagian depan dan bagian belakang Longa. - Tahap Ma Benglo Longa, yaitu tangga pembantu pemasangan semua bagian dari Longa dan bila telah selesai maka Ma Benglo Longa dibongkar. - Tahap Ma Papa, yaitu merupakan pekerjaan yang sangat berat karena pemasangan Tarampak sampai ke bubungan tidak boleh berhenti. Semua bangunan rumah adat Toraja mempunyai peranan dan fungsi tertentu, fungsi fungsi tersebut tidak akan berubah sepanjang letak dari bangunan itu tidak berubah yaitu atap menghadap keutara sebagai orientasi bangunan. Faktor inilah yang menyebabkan konstruksi dan arsitektur bangunan tetap sebagai dasar perancangan Tongkonan, karena adanya hubungan pandangan keyakinan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan. Jadi bagian bagian dari rumah adat Toraja pulalah yang menentukan struktur arsitekturnya antara lain ; rumah adat Toraja dibagi atas 2 bagian besar yaitu dengan menarik garis besar dari utara ke selatan yang dibedakan dengan nama Kale Banua Matallo dan Kale Banua Matumpu yaitu bagian rumah sebelah timur dan bagian rumah sebelah barat. Sedangkan bagian luar dan dalam dibagi sebagai berikut : Interior rumah adat Toraja.

- Suluk Banua, yaitu kolong dari bangunan rumah yang dibentuk oleh tiang tiang yang dihubungkan oleh sulur yang dinamakan roroan. Peranannya sebagai tempat mengurung hewan hewan ternak pada malam hari untuk menjaga tuannya diatas rumah. - Kale Banua, yaitu bagian badan dari bangunan yang terdiri dari ruang/petak mulai utara ke selatan. - Pentiroan, yaitu jendela jendela pada seluruh badan rumah yang kelihatan pada 4 sisi. Jendela jedela itu adalah :

Pentiroan Tingayo, yaitu 2 buah jendela yang terletak dibagian muka rumah menghadap ke utara. Jendela ini dapat terbuka dan tertutup setiap saat. Pentiroan Matallo, yaitu jendela yang terletak disebelah timur bangunan, pemasangannya pada tengah bangunan pada ruang tengah. Jendela ini dibuka pada pagi hari dan dibuka terus pada waktu upacara pengucapan syukur. Pentiroan Mampu , yaitu jendela yang terletak disebelah barat bangunan. Jendela ini dibuka pada waktu ada upacara pemakaman orang mati. Pentiroan Pollo Banua, yaitu jendela yang terletak dibelakang rumah menghadap ke selatan. Jendela ini terbuka terus pada waktu upacara kematian atau bila didalamnya ada orang yang sakit.

- Longa bagian menjulang dari atap bangunan di sebelah utara dan selatan. Lobang ini berjumlah 3 buah dan tidak tertutup dengan ukuran 10 x 15 cm. - Rattiang atau disebut juga loteng yaitu bagian atas dari rumah yang sebagian ditutupi atap. Berfungsi untuk menyimpan peralatan dan pakaian upacara adat.

Exterior rumah adat Toraja. Tingayo Banua atau Lindo Banua, yaitu bagian muka bangunan yang digunakan sebagai tempat melakukan upacara pengucapan syukur dan pemujaan.

Matallo Banua, yaitu bagian sebelah timur atau kanan bangunan sebagai tempat acara pemujaan kepada Deata. - Matampu Banua, yaitu bagian bangunan sebelah barat. - Pollo Banua, yaitu bagian belakang bangunan sebagai tempat pelepasan orang mati. Ragam Hias dan Ornamen Ragam hias Ornamen rumah adat Toraja adalah sebagai berikut : - Kabongo, yaitu kayu yang dibentuk seperti kepala kerbau dengan tanduk asli tanduk kerbau yang mengartikan bahwa Tongkonan ini adalah Tongkonan pemimpin masyarakat dengan kata lain tempat melaksanakan peranan dan kekuasaan adat Toraja. - Katik adalah bentuk kepala aya jantan yang berkokok. Perletakan Katik ini adalah diatas kuduk dari Kabongo yang mengartikan pimpinan yang menjalankan pemerintahan pada masyarakat tertentu. - Ariri Posi yaitu tiang tengah pada bangunan rumah adat Toraja yang hampir kelihatan berdiri sendiri diantara ruang selatan dan ruang tengah. - Tulak Somba yaitu tiang tinggi penopang ujung depan dan belakang bangunan adat Toraja yang dinamakan Longa. Fungsinya sebagai tiang penopang sekaligus tempat melekatnya tanduk karbau hasil pesta mendirikan rumah. - Passura yaitu ukiran tradisional pada bangunan adat Toraja yang bukan hanya sebagai hiasan, tetapi melambangkan sesuatu hal atau kegiatan serta problem kehidupan masyarakat. Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan, Dari Masa Kemasa. Perkembangan arsitektur tradisional dipengaruhi oleh banyak faktor seperti : waktu, pengaruh budaya luar, pola hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Dari masa lampau hingga masa kini ada 4 masa perkembangannya yang dapat ditelusuri yaitu : Masa arsitektur tradisional, Masa arsitektur klassik, Masa arsitektur modern serta Masa arsitektur post modern. Masa arsitektur tradisional : pada masa ini budaya asli dan pola hidup masyarakat tradisional berkembang didalam masyarakat tanpa ada pengaruh luar, arsitektur tradisional merupakan pilihan satu-satunya. Secara tradisi, bangunan hanya berfungsi sebagai rumah tinggal ataupun sebagai tempat bermukim keluarga. Arsitektur tradisional sangat dipengaruhi oleh keadaan dan potensi alam sekitarnya yang sering diambil menjadi motif utama pemberi corak. Terutama pengaruh iklim, curah hujan, tumbuhtumbuhan yang dipakai sebagai bahan bangunan dan batu-batuan. Arsitektur tradisional Toraja misalnya, mempunyai sudut kemiringan atap yang tajam karena curah hujan di daerah ini besar.

Bambu dipakai sebagai atap dan plafound karena banyak hutan bambu di Tana Toraja. Demikian pula halnya bahan kayu yang dipakai sebagai tiang dan dinding. Perihal ragam hias ornamen arsitektur tradisional Sulawesi Selatan yang sering ditemukan dan banyak memberi warna, dipakai menghiasi dinding dan tiang sesuai tradisi masing masing etnis. Ornamen dipakai sebagai ungkapan arti simbol simbol suatu benda yang dianggap mempunyai arti khas dalam penghidupan dan kehidupan masyarakat tradisional etnis bersangkutan. Masa Arsitektur Klassik adalah masa berkembangnya arsitektur klassik dari Eropa yang masuk ke Indonesia. Arsitektur Klassik disebut pula Arsitektur Kolonial karena gaya ini hadir pada zaman kolonial. Model arsitektur klasik sangat berbeda dengan arsitektur tradisional. Perbedaan itu terlihat dalam hal konsep, prinsip dasar, bentuk tata ruang, bahan bangunan, struktur dan konstruksi. Sejak masa ini, arsitektur tradisional mulai tersisihkan. Arsitektur Klasik mencakup gaya Renaissance, Ghotic dan Barouq. Gaya arsitektur ini lebih dikenal melalui rancangan Istana Raja dan Gereja di Eropa, yang kemudian menyebar keseluruh dunia seiring penyebaran agama Katolik dan Protestan. Gaya gaya klasik ini terlihat pada Gereja yang lebih menekankan pada konsep sakral yaitu : Manusia itu kecil dihadapan Tuhan. Para arsitektur menerjemahkannya kedalam bahasa non verbal dengan menampilkan bangunan, ruangan atau komponen bangunan yang berskala mega atau melampaui skala manusia. Misalnya, bangunan besar dengan lantai atau permukaan tanah yang ditinggikan, kolom yang besar, ruangan yang sangat luas dan plafond tinggi dan berorientasi keatas. Cara penyelesaian arsitektur seperti ini dikenal sebagai cara untuk memperoleh wibawa dan menekankan perasaan manusia yang berada di dekatnya atau didalamnya sehingga merasa lebih kecil dan tidak berarti didekat bangunan atau kolom yang besar, atau didalam ruangan yang luas dengan plafond yang tinggi itu. Disini peran proporsi dan skala dari bangunan, ruang dan komponen sangat penting. Dimasa arsitektur klassik ini, penggunaan bahan bangunan, tata ruang, bentuk bangunan, struktur dan konstruksi menjadi lain. Bahan bangunan lokasi seperti ; kayu, bambu, dan rerumputan untuk bahan atap mulai kurang dipakai. Karena semen, batu merah, beton dan besi jauh lebih menjamin kekuatan dan keawetan bangunan. Arsitektur tradisional yang lebih mengutamakan penggunaan bahan bangunan alamiah mulai dilupakan. Gaya arsitektur klassik terus tumbuh, berkembang dan mewarnai karakter berbagai bangunan penting, tidak hanya pada Gereja tetapi juga bangunan Pemerintah Kolonial dan perumahan mereka. Begitupun ketika pedagang Cina, masuk ke Indonesia, mereka juga membawa gaya arsitektur Cina, seperti terlihat pada rumah ibadah Klenteng dan perumahan didalam Kampung Cina yang masih dapat dilihat di beberapa kota besar di Indonesia. Masa Arsitektur Modern : Konsep arsitektur modern menekankan faktor fungsionalisme dan efesiensi . Ilmu pengetahuan dan teknologi arsitektur modern memberi warna lain bagi perkembangan kearsitekturan, misalnya desain dan teknologi bahan bangunan. Konsep arsitektur modern pada dasarnya lebih menekankan fungsionalisme dan efesiensi yang mengutamakan

kenikmatan penghuni dan keleluasaan ruang gerak manusia. Pemakaian bahan bangunan pun menjadi lebih bebas dan beragam. Dalam perkembangan selanjutnya, arsitektur modern ini mendominasi karya-karya arsitektur di Indonesia. Ternyata arsitektur modern sebagai suatu konsep yang mengutamakan fungsionalisme dan efisiensi itu lebih mampu mewadahi aktifitas manusia moderen sampai sekarang. Masa Arsitektur Post-Modern adalah model arsitektur masa kini. Arsitektur Post Modern ini memunculkan kembali arsitektur tradisional. Ini juga menjadi suatu pertanda bahwa arsitektur di Indonesia sedang mencari bentuk lain seiring dengan kecenderungan masyarakat dan para arsitek memanfaatkan warisan budaya masa lampau untuk menemukan identitas baru yang dapat dipakai sebagai simbol dalam era globaliasi ini. Identitas, karakter dan ciri khas sangat penting untuk dihadirkan kembali. Pada masa ini, funsionalisme dan efisiensi menjadi tidak mengikat lagi, mulai tidak dipersoalkan. Gaya arsitektur Post-Modern yang sedang melanda dunia kearsitekturan juga merambah masuk ke Indonesia melalui kota-kota besar. Gaya post-modern ini lebih menonjolkan simbolisme, klasik, ornamen, warna-warni dan bentuk yang unik. Nampaknya gaya ini menoleh dan menggali dan memanfaatkan keunikan arsitekturan tradisional dan seni masa lampau untuk berimajinasi ke masa depan. Gaya arsitektur tradisional yang beranekaragam di Indonesia menjadi sumber inspirasi utama dalam pengayaan gaya post-modern ini selanjutnya. Beberapa arsitektur modern masa kini, dirancang dan dibangun dengan mengawinkannya dengan unsur-unsur arsitektur tradisional tetapi terkadang bauran dengan unsur tradisional itu sendiri, menjadi rancu akibat dari perbedaan prinsip dasar, filosofi dan konsepnya. Masalah lain akan timbul bila dua macam atau lebih arsitektur tradisional yang berbeda disatukan di dalam satu gubahan arsitektur, seperti Toraja dengan Bugis, Toraja dengan Bali, Toraja dengan Jawa, atau kombinasi lainnya. Meskipun demikian arsitektur tradisional masih memiliki dan menampilkan persamaan yaitu : unsur vertikal dan horisontal. Bahkan kedua unsur ini dapat ditemukan pada seluruh gaya arsitektur tradisional di Indonesia. Pada arsitektur masa kini dimana modernitas dan tradisional muncul bersamaan, nampaknya ada kecenderungan untuk menjawab keinginan masyarakat tampil lebih eksis, beridentitas etnis dan menyatakan status sosial melalui arsitektur tradisional sebagai simbol agar mempunyai nilai Aktualisasi . Cara pernyataan diri ini menjadi lebih menarik karena tradisionalisme ditarik hadir dalam pola hidup modern. Kemudian muncullah masalah-masalah akibat benturan antara tradisional dengan modernitas. Unsur tradisional memang hadir tetapi lepas dari prinsip dasar dan norma norma khasnya. Konsepsi Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Sebagai Reinkarnasi Karakter Pengembangan Kawasan Budaya Dan Pariwisata Lokal. Sulawesi Selatan secara geografis terletak pada 0012~80 Lintang Selatan dan 116048~122036 Bujur Timur. Temperatur udara sekitar 26,90C, yaitu antara 22,30C ~ 34,50C. Daerah ini merupakan Jazirah Barat Daya Pulau Sulawesi, dengan daerah dataran, pegunungan dan lautan.

Letaknya berada di daerah katulistiwa hingga masyarakatnya berpeluang hampir sepanjang tahun bisa bercocok-tanam. Daerah Sulawesi selatan dihuni oleh tiga etnis utama yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Masing-masing yang berbeda dalam bahasa dan sebagian budayanya. Perbedaan itu terlihat juga pada jenis makanan, pakaian, musik dan tari-tarian. Dalam hal arsitektur rumah tradisional Bugis-Makassar secara umum sejenis, yaitu rumah panggung dengan atap pelana yang sebagian besar bahan bangunannya dari kayu. Arsitektur rumah tradisional Toraja juga berupa rumah panggung, tetapi, pola ruang, struktur dan konstruksinya sangat berbeda dibanding rumah arsitektur tradisional Bugis-Makassar.Bahan bangunan untuk atapnya adalah bambu. Kelompok etnis yang paling besar di Sulawesi Selalatan adalah Bugis dan Makassar. Suku Makassar, Bugis dan Mandar terkenal sebagai pusat kelahiran pelaut berjiwa patriotik, baik dimasa perang maupun dimasa damai. Pada abad XVI Etnis Bugis- Makassar dan Mandar yang menghuni kawasan pantai mempunyai pelaut-pelaut ulung. Dengan perahu layar tradisionalnya mereka mengarungi lautan kepulauan Indonesia. Mereka berlayar untuk berniaga ke berbagai bandar niaga di Pulau Jawa, Sumatera, Malaka kepulauan Maluku di Kawasan Timur Indonesia, bahkan sampai ke Madagaskar (Mattulada 1998:3). Bahkan sampai kebagian utara Australia, beberapa pulau di samudera Pasifik sampai kepantai Afrika. Dalam sistem sosial masyarakat Bugis dan Makassar ada strata sosial masyarakat yang menentukan arsitektur rumah tinggal mereka. Pola ruang, ornamen, dan besaran rumah tradisional Bugis-Makassar mempunyai korelasi positif dengan tingkat strata sosial pemiliknya. Ukuran ruang, pintu dan jendela rumah Bugis-Makassar relatif besar. Kemungkinan kondisi ini diwujudkan untuk mengeliminir temperatur udara panas terutama yang lokasinya di daerah hilir dan pantai. Rumah tradisional Toraja atapnya melengkung, ukiran yang cantik dan warna yang alami. Latar belakang geografis, prasejarah dan sejarah Sulawesi Selatan telah melahirkan kekayaan budaya yang menarik. Seseorang dapat mengamati, menikmati berbagai pengalaman pada keunikan budayanya, itu masih dapat ditemukan di beberapa daerah misalnya pada upacara religius, upacara adat, seni tradisional, seni ukir, tenun benang kapas dan sutra serta arsitektur tradisionalnya. Makassar merupakan salah satu kota bandar niaga terbesar di Indonesia bagian timur. Makassar dan daerah sekitarnya juga terkenal memiliki pelaut ulung yaitu orang orang yang ahli membuat kapal laut sekaligus mumpuni berlayar. Pelabuhan Paotere yang berada di utara Ujung Pandang merupakan kawasan pelabuhan kapal tradisional. Dipelabuhan ini terlihat kapal-kapal layar Phinisi khas Bugis-Makassar yang terkenal itu berlabuh. Benteng peninggalan kolonial Fort Rotterdam dan sejumlah bangunan peninggalan kolonial lainnya seperti rumah kediaman Gubernur menjadi bukti sejarah keberadaan Belanda di kota Makassar. Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam merupakan salah satu bangunan peninggalan kolonial yang paling terawat di Indonesia. Benteng ini menjadi salah satu contoh terbaik dari arsitektur bangunan peninggalan Belanda yang ada di Indonesia.

Sebelum Fort Rotterdam dibangun, di tempat ini terdapat benteng yang disebut Benteng Pannyua milik kerajaan Gowa yang dibangun pada sekitar tahun 1545. Kemudian Benteng ini dikuasai Belanda ketika sukses menyerang dan menduduki daerah ini. Setelah Perjanjian Bungaya ditandatangani pada tahun 1667, Belanda kemudian memodifikasi ulang benteng itu yang selanjutnya dikenal dengan nama Fort Rotterdam. Dalam bangunan benteng ini terdapat Museum Negeri La Galigo yang memiliki koleksi antara lain peralatan makanan dan memasak dari Tana Toraja, instrument musik dan berbagai macam kostum pakaian adat. Makassar juga merupakan kota tempat peristrahatan terakhir dua pahlawan besar Indonesia; Sultan Hasanuddin dan Pangeran Diponegoro yang di asingkan Belanda dari Jawa ke kota ini. Pahlawan nasional Pangeran Dipenogoro menjalani penahanan masa pengasingan selama 26 tahun di Fort Rotterdam. Makam Diponegoro dan sebuah monumen untuk mengenang jasa pahlawan yang gagah berani ini terdapat di jalan Diponegoro, Makassar. Monumen Mandala di jalan. Jendral Sudirman merupakan tugu berbentuk menara yang menjadi salah satu ikon arsitektur- ciri kota Makassar. Selain itu bangunan Vihara yang bergaya arsitektur Cina juga banyak terdapat di kota ini, khususnya di jalan Sulawesi, karena masyarakat keturunan Cina banyak bermukim di jalan itu dan sekitarnya. Sisa-sisa arsitektur kerajaan Gowa masih dapat ditemui di kawasan pinggiran, di tenggara kota Makassar. Di kawasan ini terdapat Makam Sultan Hasanuddin, salah seorang raja Gowa yang sangat terkenal, hidup antara tahun 1629 1670. Di luar kompleks makam Pahlawan nasional ini terdapat Batu Pelantikan yang disebut palantikang merupakan tempat dimana dulu Raja-raja Gowa dilantik sebagai pemangku kerajaan dan dianugerahi mahkota kerajaan. Tidak jauh dari kompleks pemakaman Sultan Hasanuddin terdapat Mesjid Katangka yang juga memiliki kompleks makam di mana di dalamnya terdapat beberapa kuburan dengan arsitektur khas. Beberapa kilometer ke arah selatan kota Sungguminasa terdapat Museum Balla Lompoa. Dimasa lalu bagunan ini adalah istana Sultan Gowa. Istana ini berupa bangunan rumah kayu dengan gaya arsitektur Bugis-Makassar. Pada Museum tersimpan koleksi yang hampir sama dengan museum yang terdapat di Benteng Fort Rotterdam. Pulau Kayangan terletak sekitar empat mil laut atau sekitar 15 menit dengan menggunakan speed boat dari Pelabuhan Laut dekat pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar. Pulau Kayangan adalah sebuah pulau kecil berpasir putih seluas satu hektar. Lokasi wisata ini dilengkapi fasilitas antara lain pondokan, panggung hiburan, restoran, gedung serba guna dan anjungan untuk memancing beragam jenis ikan laut. Pulau kecil yang terletak di lepas pantai kota Makassar ini ramai dikunjungi wisatawan pada hari libur. Kegiatan yang banyak dilakukan wisatawan di pulau ini selain memancing adalah snorkling. Di pulau ini tersedia beberapa penginapan kecil yang juga menyediakan fasilitas makan. Untuk menuju ke pulau ini wisatawan dapat menumpangi perahu motor milik pengelola atau menyewa speed boat. Dimasa lalu pulau ini menjadi tempat peristirahatan dan wisata petinggi kolonial Belanda. Ada beberapa bangunan peritirahatan khas Eropah yang sayangnya kini tidak ditemukan lagi Maros merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan, termasuk tetangga yang berbatasan langsung dengan kota Makassar atau dikenal Kabupaten penyangga kota

Makassar. Obyek-obyek wisata di Kabupaten Maros yang banyak dikunjungi wisatawan antara lain Bantimurung. Di lokasi ini terdapat Air Terjung Bantimurung yang berada di lokasi perbukitan kapur yang subur dengan aneka tumbuhan. Bantimurung terkenal karena menjadi habitat aneka jenis kupu-kupu yang cantik, di lokasi wisata ini terdapat Museum kupu-kupu. Obyek wisata andalan ini cocok untuk kegiatan wisata alam di lembah bukit kapur/karts yang curam dengan vegetasi tropis yang subur sehingga selain memiliki air terjun yang spektakuler juga menjadi habitat yang ideal berbagai spesies kupu-kupu, burung dan serangga yang langka. Selain air terjun dan kupu-kupunya, terdapat pula sebuah gua dengan stalagtit dan stalagmitnya yang menakjubkan. Dekat dari Bantimurung terdapat gua Leang Leang. Gua ini diperkirakan menjadi tempat kediaman manusia purba yang hidup di daerah ini pada masa 8000 hingga 30.000 tahun yang lalu. Terdapat lukisan tua yang dilukis pada dinding gua yang diperkirakan berusia 5000 tahun SM. Tempat yang disebut juga Taman Prasejarah Leang-Leang ini terletak pada deretan bukit kapur yang curam dan para arkeolog berpendapat bahwa beberapa gua yang terdapat disekitar kawasan tersebut pernah dihuni manusia yang ditandai dengan lukisan. Prasejarah berupa gambar babi rusa serta puluhan gambar telapak tangan yang ada pada dinding dinding gua. Selain lukisan prasejarah, juga terdapat benda laut berupa kerang yang menandai bahwa gua tersebut juga pernah terendam dan dikelilingi oleh laut. Di kawasan Bantimurung ini pernah dibangun rumah-rumah peristirahatan dengan arsitektur khas Bugis-Makassar, namun sayangnya tempat itu musnah terbakar. Obyek wisata Alam Gua Pattunuang di Kabupaten Maros selain kaya akan akan stalagtit dan stalagmit yang menakjubkan, juga memiliki panorama alam sekitarnya sangat menawan dan indah. Berbagai spesies flora dan fauna yang tergolong langka dapat dijumpai di tempat ini. Diperkaya lagi dengan bentangan pegunungan yang curam dan bertebing. Pada kawasan ini terdapat batu besar yang berbentuk perahu yang menyimpan legenda menarik. Menurut cerita rakyat bahwa pada zaman dahulu, pernah ada saudagar dari Cina yang datang untuk melamar guna mempersunting gadis Samangki, namun karena lamarannya ditolak akhirnya saudagar tersebut malu dan mengkaramkan perahunya yang kemudian menjelma menjadi batu. Batu tersebut kemudian dikenal masyarakat sekitar dengan julukan Biseang Labboro yaitu perahu terdampar. Di kawasan ini terlihat aneka ornamen yang indah. Sejumlah obyek wisata pantai juga dapat dijumpai di Maros seperti Pantai Kuri dengan pasir putihnya. Kawasan ini merupakan salah satu pantai yang sangat ideal untuk dinikmati, terlebih dengan suasana matahari terbenamnya yang indah. Letaknya sangat strategis yaitu antara kota Maros dan Kota Makassar. Keberadaannya menjadikan kawasan yang pertama dapat dikunjungi setelah mendarat di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Untuk menuju Kota Makassar melalui pantai Kuri dapat ditempuh dalam waktu 15 menit dengan menelusuri pesisir pantai, sehingga selain akan memberi kenyamanan tersendiri juga terhindar dari kemacetan arus lalu lintas jalan raya. Sayangnya Bandara Internasional Sultan Hasanuddin yang megah itu kurang menyerap ornamen arsitektur tradisional Sulawesi Selatan. Malino di Kabupaten Gowa adalah kawasan resort pegunungan yang terkenal sejak awal kemerdekaan Indonesia. Kawasan ini pernah menjadi tempat pertemuan antara para pemimpin Kalimantan dan pemimpin daerah Indonesia timur lainnya ketika mereka membentuk negara federasi Indonesia sebagai hasil perundingan dengan pemerintah belanda. Di kawasan Malino

terdapat tempat-tempat peristirahatan bergaya arsitektur kolonial yang masih terjaga keberadaannya. Kabupaten Jeneponto meski dikenal sebagai wilayah yang kering, ternayata memiliki juga panorama alam yang indah dan asri dengan pepohonan yang rindang. Tidak terlalu sulit menemukan pantainya yang landai dengan udara yang nyaman untuk melakukan berbagai aktivitas olahraga pantai. Salah satu obyek pantainya yang terkenal adalah Birtaria Kassi di Kecamatan Tamalatea dengan pantai yang landai dan sudah tertata baik, ditunjang berbagai fasilitas kolam renang, penginapan dengan bagunan berarsitektur Bugis-Makassar. Di kawasan ini juga terdapat kolam pancing dan berbagai restoran, toko souvenir dan arena hiburan anak anak. Air Terjun Boro, berlokasi di Desa Tompobulu, Kecamatan Kelara. Pemandangannya indah dengan pegunungan yang berada di kanan kiri air terjun yang tingginya mencapai 20 meter. Di kawasan ini rumah-rumah dibangun berarsitektur khas Bugis Makassar. Kuburan Raja Raja Binamu merupakan kuburan para Raja Raja Binamu yang pernah memerintah di Butta Turatea Jeneponto. Kuburan ini memiliki ciri khas ornamen yang indah. Derajat yang di makamkan disana dapat dilihat dari patung yang berada di atas kuburan. Bantaeng adalah pusat pembuatan kapal orang Bugis dengan reputasi yang terkenal selama ratusan tahun. Daerah ini kaya akan sejarah maritimnya. Pada masa lalu, Bantaeng merupakan daerah taklukan Kerajaan Majapahit. Puisi puisi lama pada abad ke14 pernah memuji kualitas kapal buatan daerah ini. Di utara Bantaeng terdapat sebuah air terjun yang cukup mengesankan. Di sini, wisatawan dapat melakukan kegiatan olahraga pantai, mandi atau berendam di laut atau berlayar dengan perahu. Di kota Bantaeng terdapat juga bangunan-bangunan khas gaya arsitektur kolonial. Karena daerah ini pernah menjadi salah satu pusat pemerintahan kolonial Belanda. Di desa Kampala, Kecamatan Eremerasa, terdapat Permandian Alam Emmerasa. Di sepanjang jalan, wisatawan dapat menyaksikan rumah panggung berjejer di antara areal persawahan. Di sekitar permandian ini udaranya sejuk dengan pemandangan alam berupa perbukitan yang ditumbuhi pohon dan tanaman berwarna hijau. Di Kelurahan Bontojaya, Kecamatan Bissappu terdapat Gua Batu Ejaya. Letaknya di atas bukit yang datar, sekitar 300 meter dari jalan raya. Di sekitar gua itu terdapat banyak pohon kapuk. Masyarakat setempat menggunakan buah pohon kapuk itu sebagai bahan baku untuk membuat kasur. Gua Batu Ejaya pernah diteliti tahun 1937 oleh Van Stein Callonfols, ilmuwan dari Belanda. Ia melakukan penggalian arkeologi dan menemukan alat alat batu jenis calsedon berupa serpihan yang digunakan sebagai pencerut, ujung ujung panah. Masjid Tua Tompong juga menjadi salah satu obyek yang dikunjungi wisatawan. Masjid kuno ini memiliki atap bentuk tumpang tiga. Bangunan induknya terdiri dari penampil dan tubuh masjid. Dinding masjid di bagian Utara, Selatan dan Barat terbuat dari tembok yang mempunyai ventilasi udara dari roster porselin berwarna hijau. Dinding masjid bagian timur terdiri dari empat pilar bergaya arsitektur Eropa. Konon, masjid ini dibangun pada tahun 1887 atas prakarsa Raja Bantaeng Karaeng Panawang pada abad 12.

Makam Raja Raja La Tenri Ruwa merupakan kompleks makam yang terletak di tengah kota Bantaeng, tepatnya di Lingkungan Lembang Cina, Kelurahan Pallantikang, Kecamatan Bantaeng. Di kompleks ini terlihat kuburan dan nisan dengan ornamen yang khas. Di sekitarnya terdapat rumah rumah penduduk berarsitektur tradisional. La Tenri Ruwa adalah Raja Bone ke 11 yang pertama menerima ajakan dari Raja Gowa XIV Mangerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin untuk memeluk agama Islam. Oleh sebab itu dalam kompleks bangunan ini terdapat sekitar 159 buah bangunan makam yang menyerap gaya arsitektur Islam. Bahan baku bangunan makam itu terbuat dari batu karang, selebihnya batu cadas, batu bata dan batu kapur yang memakai bahan perekat. Di kota Bantaeng terdapat Balla Lompoa-rumah adat khas Bugis Makassar yang dulu menjadi tempat bermukimnya raja raja Bantaeng. Luas tanahnya sekitar 1.617 meter persegi. Bangunannya terdiri dari rumah induk dan pendopo. Bulukumba merupakan salah satu tempat keberangkatan kapal yang menuju ke Pulau Selayar. Di kabupaten ini terdapat desa-desa orang Bugis -Makassar yang bermukim di sekitar pantai Bulukumba. Rumah-rumah mereka berarsitektur Bugis Makassar. Di arah selatan ibukota kabupaten Bulukumba terdapat desa tempat pembuatan kapal juga sejumlah obyek wisata yang dikenal dengan nama Pantai Bira, terletak di Kecamatan Bonto Bahari. Panorama alam yang indah. Pantai dengan hamparan pasir putih ini menjadi tempat yang asyik untuk menikmati sunrise dan sunset yang amat mempesona. Pantai di tempat ini memiliki pasir yang putih. Di kawasan pantai ini, wisatan dapat berenang, snorkeling dan menyelam. Pada hari biasa, tempat ini bagus untuk bersantai namun pada hari libur selalu ramai dengan pengunjung. Pantai bira memiliki keragaman biota laut yang sangat indah. Berbagai jenis ikan hias dan terumbu karang beraneka warna. Untuk bermalam telah dibangun beberapa cottage ala arsitektur Bugis-Makassar yang dipadukan dengan pendekatan konsep arsitektur modern. Pantai lemo-lemo, tempat pembuatan perahu tradisional dan di sekitar pesisir dijadikan kawasan cagar alam dengan aneka satwa liar yang dilindungi. Pantai Mandala Ria di Desa Ara Kecamatan Bontobahari terdapat rumah-rumah khas Bugis Makassar. Selain pesona pantai berpasir putih yang indah, juga tersedia sumber air tawar di laut disaat surut. Kerajinan masyarakat berupa sulaman dan miniatur perahu phinisi dapat dijadikan souvenir menarik dari lokasi ini. Kajang adalah kampung adat yang menjadi pemukiman dengan rumah-rumah adat khas Kajang. Masyarakatnya masih sangat terikat dengan adat istiadat yang bersumber dari ajaran pasang/wasiat yang disebut Pasangnga Ri Kajang yang dikomunikasikan lewat Ammatoa sebagai pemangku adat. Mereka hidup dalam kesederhanaan dengan pakaian serba hitam dan bangunan rumah mereka dominan berwarna hitam dan mereka hidup dengan melestarikan hutan sebagai warisan leluhur. Pulau Selayar terletak di arah tenggara dari daratan semenanjung Sulawesi Selatan ini memiliki pantai berpasir dengan panorama yang indah. Pulau yang berbentuk memanjang tapi sempit ini dihuni oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Mereka kebanyakan tinggal di kawasan pantai barat Pulau Selayar atau di Benteng yang merupakan kota utama di pulau ini. Beberapa kilometer di

selatan Benteng terdapat Benteng Bontobangun. Di dekat Pulau Selayar terdapat Pulau Pasi di mana wisatawan dapat melakukan kegiatan air snorkeling. Di Selayar terdapat juga rumah adat yang berarsitektur khas. Taka Bone Rate merupakan pulau karang atol yang terletak di tenggara Pulau Selayar atau di utara Pulau Bone Rate. Pulau atol Taka Bone Rate adalah yang terbesar ketiga di dunia dengan luas sekitar 2220 km2. Kabupaten Sinjai merupakan daerah yang terletak di pantai timur bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan dan berada di kaki Gunung Bawakaraeng, menyimpan potensi wisata bahari maupun wisata alam berpemandangan yang tidak kalah menariknya dengan daerah lainnya. Selain itu, sebagai daerah bekas wilayah gabungan antara Kerajaan Tellulimpoe (Tondong, Bulo Bulo dan Lamatti) dengan Kerajaan Pitulimpoe (Turungeng, Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka), tentunya menyimpan benda benda peninggalan sebagai tanda kejayaan kedua kerajaan tersebut di masa lalu. Hal ini merupakan potensi wisata budaya yang tiada nilainya. Untuk wisata bahari daerah potensi pengembangan untuk wisata bahari adalah Pulau pulau Sembilan di Kecamatan Sinjai Utara, Pantai Lasia di Kecamatan Sinjai Timur dan Desa Pattongko Kecamatan Tellulimpoe. Pulau pulau Sembilan terdiri dari 9 buah pulau yakni Pulau Burungloe, Pulau Liang Liang, Pulau Kambuno, Pulau Kodingare, Pulau Batanglampe, Pulau Katingdoang, Pulau Kanalo 1, Pulau Kanalo 2 dan Pulau Larearea yang merupakan daerah potensial untuk dijadikan obyek wisata bahari. Benteng Balangnipa berjarak 2 km dari pusat kota Sinjai, terletak di Kelurahan Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara. Pada awal dibangunnya tahun 1560, benteng ini merupakan dasar yang bahannya berupa batu gunung yang diikat oleh lumpur Sungai Tangka, tebal dinding siwali reppa -setengah depa, berbentuk segi empat dan memiliki empat buah pertahanan yang disebut bastion. Selanjutnya pada zaman penjajahan Belanda tahun 1864, direnovasi dengan model arsitektur Eropa dan selesai tahun 1868. Bone adalah ibukota kabupaten Bone. Adalah salah satu daerah yang berada dipesisir Timur Sulawesi Selatan. Wisata budaya dan sejarahnya sangat kaya. Antara lain rumah adat Bola Soba di Kelurahan Manurungnge, Kecamatan Tanete Raittang. Rumah adat bugis yang terletak di pusat Kota Watampone ini adalah bekas istana Panglima Perang Kerajaan Bone Andi Baso Pagiling Putra Mahkota Raja Bone XXXX Lapawawoi Karaeng Sigeri. Rumah tersebut dibangun akhir abad ke 19 atau tahun 1890. keberadaan rumah panggung ini menunjukkan bahwa sejak masa lalu masyarakat Bone telah menguasai pengetahuan teknik arsitektur dan sipil yang cukup tinggi. Museum Lapawawoi di pusat kota Watampone. Di museum ini tersimpan peninggalan Kerajaan Bone dan benda-benda peninggalan Arung Palakka seperti keris, patung, pakaian kerajaan, bajubaju adat dan foto-foto keturunan Raja-raja Bone juga sarat dengan sejarah. Pernak-pernik itu sangat indah dalam bentuk dan warnanya. Untuk kegiatan wisata alam, Bone banyak memiliki gua-gua alam seperti Gua Mampu di Desa Labbeng, yang memiliki stalagtit dan stalagmit menyerupai bentuk makhluk sehingga muncul legenda Alleborenge Ri Mampu atau kutukan Kerajaan Mampu. Legenda tentang kerajaan yang

dikutuk menjadi batu ini disampaikan secara turun temurun di tengah masyarakat setempat dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecinta alam. Sejumlah makam menjadi obbyek wisata ziarah seperti komplek pemakaman Raja Kalokkoe (Laleng Bata) sekitar 3 km dari kota Watampone dan makam Raja-raja Watang Lamuru di Desa Labalata, kompleks makam Labalata dan Kalokkoe serta makam Lapatau Matanna Tikka di Desa Nagauleng, Kecamatan Cenrana. Makam-makam ditempat ini dibuat dengan bentuk yang khas. Bajoe yang terletak 7 km di sebelah timur Bone merupakan kota pelabuhan dan penyeberangan menuju ke Kolaka di Sulawesi Tenggara. Wisatawan dapat menyewa perahu jika berminat melihat desa terapung di dekat Bajoe. Rumah-rumah masyarakat di kawasan itu dibangun dengan khas arsitektur Bugis-Makassar. Pemandian alam Mattampa merupakan salah satu obyek wisata di Kabupaten Pangkep yang terletak di Kelurahan Samalewa, Kecamatan Bungoro sekitar 3 km dari kota Pangkajene yang berada pada poros Makassar Pangkep. Di pemandian ini juga terdapat Gua Mattampa dan taman rekreasinya yang dilengkapi fasilitas olahraga dan pertanian terpadu dan pusat percontohan pengembangan kolam air tawar dan tempat memancing. Di beberapa gua, terdapat peninggalan purbakala berupa gambar telapak tangan, babi, rusa, perahu yang diperkirakan berusia 5000 tahun. Di kelurahan Balloci Baru terdapat Taman Laut Pulau Kapoposan di Desa Mattiro Ujung Kecamatan Liukang Tupabiring. Kepulauan ini memiliki gugusan terumbu karang yang padat dan indah yang di sela selanya berenang ikan ikan hias aneka warna dari berbagai spesies. Di bagian timur pantai yang landai dan berpasir putih sudah dilengkapi dengan fasilitas akomodasi dengan bangunan rumah khas berarsitektur Bugis Makassar. Obyek pantai lainnya adalah Pulau Langkadea, sekitar 25 menit dengan speed boat dari Pelabuhan Bining Kassi, Pangkajene. Pulau ini disebut juga Citra Mustika Langka atau Pulau Wisata Bahari Muslim karena pengunjung menghadapi sejumlah ketentuan misalnya harus berbusana muslim, laki laki dan perempuan yang bukan muhrimnya tidak diperkenankan serumah dan tidak diperbolehkan ada judi. Sejumlah fasilitas tersedia mulai dari akomodasi, jet sky dan fasilitas olahraga lainnya. Soppeng merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan. Ibukotanya Watansoppeng atau disebut juga kota kalong atau kelelawar, ada sekian mitos yang berkembang bahwa keberadaan kalong ini yang jumlahnya ratusan hingga ribuan ini, bertengger di pohon pohon taman kota dengan suara berisik yang khas. Keberadaan kalong di jantung kota Watansoppeng semakin menambah pesona kota ini karena ibukota Watansoppeng dijuluki sebagai kota kalong. Uniknya kalong ini hanya mau berdiam dan bergelantungan di pepohonan sepanjang kota Watansoppeng. Di Soppeng masih banyak ditemukan bagunan bergaya arsitektur kolonial. Salah satu diantaranya yang cukup terkenal diberi julukan Rumah Tinggi Villa Yuliana merupakan salah satu bangunan arsitektur peninggalan Belanda di Kabupaten Soppeng, bangunan ini terletak di jantung kota Watansoppeng, dibangun oleh C. A. Krosen tahun 1905 selaku Gubernur Pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi. Konstruksi dan

arsitektur bangunan ini merupakan perpaduan gaya Eropa dan gaya Bugis. Villa ini merupakan bangunan kembar, satu di antaranya ada di Nederland, pembangunan villa ini merupakan wujud kecintaan terhadap Ratu Yuliana. Rumah Adat Sao Mario terletak di Kelurahan Manorang Salo, Kecamatan Marioriawa. Di dalam kompleks Rumah Adat Sao Mario ini, terdapat berbagai jenis rumah adat yang bergaya Arsitektur Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Minangkabau dan Batak. Rumah adat ini juga berfungsi sebagai museum dengan koleksi berbagai jenis barang antik yang bernilai tinggi dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri seperti : kursi, meja, tempat tidur, senjata tajam dan berbagai macam batu permata. Kompleks Istana Datu Soppeng terletak di jantung kota Watansoppeng, berhadapan dengan Villa Yuliana yang dibangun sekitar tahun 1261 pada masa Pemerintahan Raja Soppeng I Latemmalala yang bergelar Petta Bekkae. Dalam kompleks tersebut terdapat bangunan, antara lain : Bola Ridie -Rumah Kuning yang berfungsi untuk menyimpan berbagai jenis atribut kerajaan, SalassaE berfungsi sebagai Istana Datu Soppeng. Menhir Latammapole sebagai tempat menjalani hukuman bgi orang yang melanggar adat dengan cara mengelilingin 7ya kali. Makam Jera Lompoe adalah makam Datu/Raja-Raja Soppeng, Luwu dan Sidenreng dari abad XVII. Makam ini terletak di Kelurahan Bila Kecamatan Lalabata sekitar 1 km sebelah utara kota Watansoppeng. Melihat bentuk, type orintasi dan data historis makam ini dapat dikatakan bahwa Islam masuk sekitar abad XVII. Namun, dilihat dari bentuk nisannya terdapat pengaruh kebudayaan Hindu. Itu terlihat pada ornamen-ornamennya. Pemandian Air Panas Lejja merupakan salah satu objek wisata andalan yang banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Pemandian ini berada dalam kawasan hutan lindung yang berbukit dengan panorama alam yang indah, sejuk, nyaman di Desa Bulue, Kecamatan Marioriawa. Di tempat ini terdapat fasilitas peristirahatan yang dibangun dengan gaya campuran tradisional dan modern. Pemandian Alam Ompo merupakan salah satu tujuan wisata andalan pula. Pemandian yang terletak di Kelurahan Ompo, Kecamatan Lalabata ini dikenal dengan airnya yang jernih. Pada obyek wisata Ompo ini terdapat areal yang luas untuk perkemahan dan Motor Cross dan juga terdapat sebuah danau buatan yang cukup luas sebagai areal bermain perahu dan memancing ikan air tawar. Pemandian Alam Citta terletak di Jantung Desa Citta, Kecamatan Liliriaja. Di obyek ini pengunjung dapat berenang dan menikmati keindahan panorama alam, perkampungannya masih banyak yang khas berarsitektur Bugis-Makassar dan berbagai aktivitas masyarakat sekitarnya seperti pengolahan tembakau secara tradisionil. Kota Sengkang terletak di pinggir Danau Tempe yang memiliki panorama indah. Sengkang merupakan kota yang cukup menyenangkan untuk dikunjungi. Salah satu daya tarik kota Sengkang adalah produk kain sutera. Hasil industri tenun milik rakyat. Sengkang memang dikenal sebagai pusat industri sutera. Kain sutera banyak dijual di pasar Sengkang seperti selendang sutera. Namun, sayangnya pusat penenunan sutera milik rakyat umumnya terletak di

desa-desa di sekitar Sengkang yang tidak memiliki akses angkutan umum. Untuk dapat menuju ke desa-desa ini, Anda harus menyewa angkutan umum. Danau Tempe merupakan danau yang cukup luas namun dangkal yang menjadi habitat satwa burung. Pinggiran danau merupakan kawasan tanah lumpur yang juga menjadi tempat bermukim masyarakat setempat. Pengunjung dapat berjalan-jalan menyusuri danau dengan menggunakan perahu motor hingga ke Sungai Walanae, mengunjungi Desa Salotangah dan Desa Batu Batu yang berada di tengah danau. Pinrang dikenal sebagai salah satu Lumbung Pangan di Sulawesi Selatan sekaligus penghasil udang, ikan bandeng, kakao, kopi, kemiri dan kelapa. Sebagai daerah pertanian yang memiliki sumber daya alam yang cukup, Pinrang juga memiliki kekayaan laut yang membentang sekitar 93 km dari kota Parepare sampai ke Polewali Mamasa. Pulau Kamarrang di Kelurahan Ujung Labuang dapat ditempuh dari Ujung Lero sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu motor. Gugusan pulau yang menyembul dari laut ini mempunyai luas 7 hektar didominasi oleh vegetasi hutan pantai termasuk hutan bakau yang mengitari pulau pulau bagian Barat dan Utara. Sementara pada bagian Timur terdapat pantai berbatu keras yang tahan hantaman ombak. Pada bagian tengah pulau terdapat pohon pohon tua yang digelantungi oleh ratusan kelelawar. Terdapat sebuah makam tua di pulau ini dan dikeramatkan oleh para peziarah untuk menyatakan dan melepas nazar bila keinginannya dikabulkan. Terdapat sebuah villa berarsitektur modern di pulau ini yang digunakan wisatawan untuk beristirahat. Dua buah air terjun terdapat pula di Kabupaten Pinrang yaitu Air Terjun Karawa di Kelurahan Betteng. Kawasan air terjun dengan ketinggian 60 meter ini di bawahnya terdapat kolam kolam alami dan bebatuan untuk beristirahat. Dari kolam alami ini, air mengalir melalui batu batu gunung dan menciptakan air terjun kecil sehingga seolah bersusun susun. Air terjun lainnya masih di kelurahan yang sama sekitar 20 km dari kota Pinrang disebut Air Terjun Kalijodoh. Berada di kawasan seluas 2 hektar dan mempunyai empat sumber air. Panorama alam pegunungannya membuat tempat ini terasa sejuk dan nyaman sehingga menjadi tempat memadu kasih dan diyakini mereka yang datang berpasangan bisa berjodoh. Tak heran bila hari libur banyak dikunjungi wisatawan lokal setempat. Pemandian air panas terdapat di Kelurahan Maminasse pada jalan poros Pinrang-Sidrap. Ada dua sumber air yang mendukung tempat ini yaitu sumber air panas dan sumber air dingin. Di lokasi ini telah dibangun kolam renang yang sumber airnya dari kedua mata air tersebut. Pemandian Air Panas Sulili ini sudah dilengkapi berbagai fasilitas lainnya termasuk pondok wisata sehingga banyak dikunjungi wisatawan domestik. Pemandian air panas lainnya terdapat di Kelurahan yang sama menuju arah PLTU Bakaru, sekitar 12 km dari Pinrang. Pemandian Air Panas Lemosusu ini memiliki panorama alam yang meski failitasnya masih sederhana untuk mandi maupun berendam.

Kota Palopo adalah ibukota kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan. Kota ini terletak di daerah pegungungan yang memiliki banyak danau. Danau-danau di wilayah ini saling berhubungan melalui banyak sekali sungai-sungai kecil. Dari kota ini bisa dilakukan perjalanan kekota pertambangan Soroako. Kota terletak di dekat Danau Matano seluas 16.400 hektar dan merupakan danau terdalam di Sulawesi. Di sebelah selatan Danau Matano terdapat Danau Towuti seluas 56.100 hektar yang merupakan danau terbesar kedua di Indonesia setelah Danau Toba. Danau ini menjadi habitat aneka flora dan satwa burung. Di Kota Palopo telah dibangun rumah adat yang cukup besar berarsitektur Bugis. Rumah adat ini sering dimanfaatkan untuk berbagai upacara baik upacara adat ataupun upacara Pemerintah Daerah. Di Kabupaten Luwu terdapat Istana Kerajaan Luwu atau disebut juga Museum Batara Guru, misalnya, terletak di pusat kota Palopo. Istana ini didirikan pada tahun 1922 1924 oleh seorang arsitek Belanda bernama Obsenter Noble pada masa penjajahan Belanda di Luwu dengan bangunan bergaya Eropa. Istana yang berfungsi sebagai museum Batara Guru ini menyimpan benda benda pribadi dan peralatan yang pernah digunakan Rja Raja Luwu. Di sini juga terdapat benda benda antik seperti keramik, peralatan dan perlengkapan upacara adat dan benda pusaka. Makam Raja Raja Luwu Lokkoe yang artinya gua tempat peristirahatan. Terletak di pusat kota Palopo dan bentuknya unik seperti bentuk piramida. Di tempat ini dimakamkan para Raja Luwu yang pernah berkuasa. Gua Liang Andulan di Desa Siteba, Kecamatan Lamasi memiliki ragam stalaktit dan stalagmit dengan warna warna yang indah. Untuk mencapai gua, pengunjung harus melalui sekitar 480 anak tangga dan di dalam gua terdapat makam leluhur To Tana Lalong terdiri dari Liang Kabongian dan Liang Sugi Sakalikuku. Tana Toraja merupakan daerah tujuan wisata internasional yang paling menarik dan paling terkenal di Sulawesi. Secara geografis Tana Toraja berada di pegunungan pada pangkal semenanjung Sulawesi Selatan. Di kawasan yang indah permai ini masih bisa ditemui desa-desa tradisional dengan sawah yang membentang luas, bangunan rumah tradisional Tongkonan dengan arsitektur yang unik khas kebudayaan Toraja yang sangat menarik. Masyarakat Toraja secara etnografis dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu Toraja Barat, Timur dan Selatan, namun yang banyak dikenal orang luar khususnya wisatawan asing adalah Toraja Selatan yang dikenal juga dengan nama Toraja Saadan atau Saqdan. Pada umumnya mereka bermukim di sekitar Rantepao dan Makale, ibukota administrasi Tana Toraja. Kota kecil yang cantik ini dikelilingi perbukitan yang puncaknya sering ditutupi kabut dan di dekat kota terdapat sebuah danau buatan. Rantepao merupakan kota terbesar di Tana Toraja dan juga pusat perdagangan di wilayah ini. Wisatawan yang mengunjungi Toraja umumnya berkumpul di Rantepao. Kota ini menjadi titik awal bagi wisatawan yang ingin megeksplorasi segala keunikan dan keindahan Toraja. Rantepao adalah kota hujan karena hujan hampir selalu turun sepanjang tahun dengan udara yang dingin pada malam hari. Di kota ini masih banyak terdapat rumah-rumah yang dibangun dengan arsitektur khas Toraja.

Salah satu upacara adat yang paling mengesankan di Toraja adalah upacara penguburan mayat yang sudah terkenal ke seluruh dunia. Orang Toraja percaya tanpa upacara penguburan ini, arwah orang yang mati akan memberikan kemalangan bagi keluarga yang ditinggalkan. Upacara penguburan ini, menjadi ajang ditampilkannya ornamen-ornamen khas Toraja yang sangat indah. Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Dalam Konteks Ketahanan Budaya Lokal. Pemanfaatan model arsitektur tradisional pada bangunan masa kini, ternyata sering dianggap tidak lagi mampu sepenuhnya mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Seringkali dianggap terjadi ketidakserasian antara keberadaan model arsitektur tradisional yang boleh dikatakan cenderung stagnan, dengan dinamika tuntutan kehidupan moderen yang selalu cepat berubah dengan variasi-variasinya. Pada banyak kasus, karena penerapan model arsitektur tradisional yang salah, tidak mengabaikan kaidah-kaidah sebagaimana mestinya mengakibatkan bangunan atau rumah itu bermasalah. Pemahaman seperti itulah yang mendasari pertimbangan hingga penerapan model baru pada arsitektur rumah atau bangunan masa kini dengan corak kekinian pula, tidak mau mengadopsi potensi arsitektur rumah tradisional. Kalau pun ada upaya-upaya menyerap model arsitektur rumah tradisional, maka proses adopsi itu secara umum masih belum cukup memuaskan karena hadir hanya sebagai tempelan artistik pemanis, sebatas ornamen ringan semata, bukan karena pertimbangan aktualisasi kekayaan arsitektur tradisional. Ada pula paradigma yang menilai bahwa dalam konteks waktu, tradisional diidentikkan dengan masa lalu yang kuno dibanding dengan modern, ultra modern atau pasca modern yang sepenuhnya mencerminkan kekinian terbaru. Itu salah satunya yang menyebabkan rumah berarsitektur tradisional yang mengandung berbagai kearifan itu dinilai kuno, ketinggalan zaman hingga pelan-pelan mulai ditinggalkan pemangku kepentingan. Padahal, sangat penting disadari bahwa transformasi model arsitektur tradisional ke arsitektur moderen sebenarnya dapat terproses secara baik dalam penataan ruang dan lingkungan dari waktu ke waktu, jika saja hal tersebut terus dilakukan dalam kesadaran tinggi. Mencari wujud arsitektur tradisional untuk rumah yang baru dengan penerapan secara bijak dan mematuhi kaidah-kaidah dengan tepat. Semakin cepat dilakukan transformasi akan semakin besar dan efektif manfaatnya bagi masyarakat. Alasan inilah yang mendasari pemikiran; pentingnya berbagi kesadaran untuk sama-sama berusaha menggali dan memahami kembali kearifan dan keunggulan yang terkandung dalam ranah arsitektur rumah tradisional. Kearifan dan keunggulan yang mulai tak diabaikan, ditinggalkan atau bahkan cenderung dilupakan itu. Ini perlu segera direvitalisasi. Hasil penelusuran, pengkajian dan pelestarian kearifan lokal dalam yang masih dimiliki, perlu ditransformasikan untuk menjadi bekal pengetahuan dan keterampilan yang sangat diperlukan bagi pengembangan ilmu arsitektur, untuk generasi sekarang dan generasi penerus, serta bagi kelestarian alam dan lingkungan. Penerapan wujud identitas dan karakter budaya lokal pada arsitektur rumah tradisional diberbagai kawasan wisata, seharusnya terus menerus dilakukan secara konsepsional. Agar dapat terlihat secara jelas bagaimana esensi kearifan budaya lokal yang diterapkan itu ternyata masih bisa sangat fungsional. Konsep arsitektur tradisional yang diterapkan pada kawasan wisata

budaya lokal, bisa berperan menjadi transformator atas nilai yang ingin diwariskan untuk memperkokoh ketahanan budaya lokal sekaligus nasional. Perlu pula selalu diperhitungkan, bagaimana penataan suatu kawasan wisata budaya dan sekitarnya yang menyatu dalam konsep arsitektur rumah tradisional setempat. Misalnya dengan penataan secara menyeluruh atas bangunan dan lingkungan diseputar Bola Soba dan juga Balla Lompoa rumah khas Bugis Makassar. Di kawasan itu, perlu dengan sengaja ditata suatu lanskap yang berorientasi pada arsitektur etnis Bugis-Makassar nan harmonis, misalnya; dengan menanam pohon lontara atau pohon pandan di tamannya sebagai salah satu cara mempertahankan aura masa lalu. Suatu obyek arsitektur memang dapat menyandang lebih dari satu atribut kategorisasi, bergantung dari sudut pandang yang menilainya: Jika Rumah Tradisional Bugis Makassar seperti : Balla Lompoa, Bola Soba, dalam kenyataannya bahwa dibangun oleh masyarakat tradisional Bugis-Makassar berdasarkan kaidah budaya Bugis-Makassar, maka itu merupakan Arsitektur etnis Bugis Makassar; demikian pula bila mengingat Balla Lompoa tercipta berdasarkan kaidah dari bakuan teknik arsitektur yang telah diwariskan secara turun-temurun, maka itu merupakan arsitektur tradisional; Jika ditilik dari strata masyarakat bangsawan yang membangun dan menggunakannya maka Balla Lompoa masuk dalam kategori arsitektur klasik. Begitu pula dengan Tongkonan madandan atau batu ariri yang merupakan arsitektur etnis Toraja, sekaligus merupakan arsitektur tradisional. Keberadaan model Tongkonan bisa dan perlu dikembangkan secara berkelanjutan sekaligus dipadukan dengan konsep arsitektur modern, apalagi mengingat Tana Toraja sebagai dareah tujuan wisata Sulawesi Selatan yang wisatawannya datang dari manca negara, tentunya mereka datang karena ingin menikmati keunikan budaya Toraja, salah satunya adalah melihat bentuk serta mengapresiasi arsitektur Tongkonan yang unik itu. Untuk mewujudkan ketahanan budaya dan konteks pelestarian Esensi dan pengembangan Substansi arsitektur tradisional Sulawesi Selatan maka;

Perlu upaya memahami esensi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dilestarikan sebagai warisan budaya. Perlu upaya memahami substansi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dikembangkan ke dimensi kekinian, seiring dengan perubahan waktu dan kemajuan teknologi yang bergerak ke masa depan. Bahwa mempertahankan jatidiri dan karakter etnis lokal amatlah penting di tengah deraan arus modernisasi dan kecenderungan universalisasi. Hal tersebut dapat ikut ditransformasikan melalui kesadaran akan keunggulan budaya yang dimiliki. Hidup dan kehidupan memang berhak terus berkembang seiring zamannya, namun perubahan lingkungan strategis etnis yang mengadopsi kearifan-kearifan lokal perlu pula terus ikut diperhitungkan dan dipertahankan guna menjadi roh bagi pengembangan sekaligus dan meningkatkan ketahanan arsitektur berciri tradisional.

Semakin cepat dilakukan kajian untuk menggali nilai dari kearifan arsitektur tradisional lokal dampaknya akan semakin baik, termasuk upaya-upaya transformasi, pewarisan nilai dan teknologi arsitektur tradisional dari para sesepuh, cerdik cendekia bidang budaya, sosiologi dan arsitek rumah tradisional akan sangat baik sebelum mereka terlanjur berpulang. Diharapkan dengan terwujudnya kelestarian arsitektur tradisional lokal Sulawesi Selatan dapat merajut kembali kejayaan masa lalu yang bermanfaat menjadi kebanggan masa kini. Warisan itu diwujudkan dalam explicit knowledge, yang sangat kita perlukan dalam memantapkan konsepsi ketahanan budaya lokal etnis oleh generasi masa kini dan generasi penerus dalam menghadapi tantangan masa mendatang. BAHAN BACAAN

Abbas, Ibrahim (1999), Pendekatan Budaya Mandar. Hamid, Abu (1986). Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan. Makassar : Antropologi Unhas. Budi Santoso (1997), Pembangunan Nasional Indonesia dengan Berbagai Persoalan Budaya dalam Masyarakat Majemuk. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan (2005), Informasi dan Potensi Investasi Pariwisata Sulawesi Selatan Djauhari Sumintardja (1998), Kompendium Sejarah Arsitektur Djauhari Sumintardja (1988), The House in Tana Toraja (Traditional Housing in Indonesia). Faisal (2007), Arsitetur Tradisional Mandar Provinsi Sulawesi Barat Josef Prijotomo (1988), Pasang surut arsitektur di Indonesia Koentjaraningrat (1993), Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan Kostof, S. (1991), A History of Architecture. Rituals and Settings. Mangunwijaya,YB, (1992) Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Mattulada (1982), Geografi Budaya Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Depdikbud Nasrul Baddu (1990), Rumah tradisional Bugis Makassar Ronald Arya (2005), Nilai-nilai Arsitektur Tradisional Jawa Rudofsky, B. 1964. Architecture Without Architects. Sampebulu, DR, Ir, M.Eng, (1990), Tradisionalisme dalam arsitektur masa kini Saliya Yuswadi, Ir, M.Arch, (1992), Ragam Hias dalam arsitektur Tradisional Toraja Sachary, A. (2005). Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Desain, Arsitektur, Seni Rupa, dan Kriya. Tangdilintin, LT, (1979), Tongkonan (Rumah adat Toraja) dengan struktur seng dan konstruksinya. Tjahjono, G. Editor. (2001). Indonesian Heritage. Vol. 6. Architecture. Tuan, Y.F. (1974).Topophilia. A Study of Environmental Perception, Attitudes, and Values. Tang, Mahmud (1998), Reaktualisasi Nilai-nilai budaya Bugis Makassar dalam Kehidupan Sosial Pada Era Revormasi. Rinwar Karim, Muktahim, Adnin Sakti, (1992), Arsitektur tradisional Bugis Makassar.

Yudono Ananto, Prof, DR, Ir, MSc, (2008) Kearifan arsitektur tradisional rumah panggung dalam hunian modern.

Wikantari Ria, DR, Ir, M.Arch, (2008), Kearifan arsitektur lokal Kawasan Timur Indonesia : Tinjauan Ragam Lintas Etnik Comments: Be the first to comment

ESTE DE LACOSTE
Posted October 9, 2009 by syahriartato Categories: Uncategorized

DAFTAR RIWAYAT HIDUP DAN IDENTITAS DOSEN Nama NIK/NIDN : : DR.Ir.Drs. Syahriar Tato, SH, MS 110018518/NIDN. 09.2102.5101

Tempat/tanggal lahir Agama/Jenis kelamin Pangkat/Golongan/Terhitung mulai tanggal Alamat rumah dan No.Tel/Faks/ e-mail Tlp : 0811417696 / 081524058227 email : ariegagahdeh@gmail.com

: :

Pinrang 21-2-1951 Islam/Laki-laki

( IV/C (01-04-06), Kep. No.25/KTH. 2006)

Jln.Bau Mangga III no. 3, Makassar

1. Pendidikan yang pernah diikuti :

JENJANG

BIDANG Administrasi Negara

PERGURUAN TINGGI STIA LAN RI. Makassar Universitas Muslim Indonesia Universitas Satria Makassar UNHAS UNHAS Akademi Teknologi Negeri Makassar

TAHUN MASUK /LULUS 1980/1984 1984/1990 2006/2009 1990/1992 1994/2004 1970/1975

S1

Teknik Sipil Hukum Pidana PLH Perencanaan dan Penyehatan Lingkungan Program Ilmu-Ilmu Teknik Arsitektur

S2 S3 Profesi Spesialis Lain-lain D3

1. a. Judul Tesis : Studi Tingkat Kekumuhan Permukiman Pada Kawasan Pantai Kotamadya Ujung Pandang Pembimbing I Pembimbing II Pembimbing III : : : DR.Ir. Yulianto Sumalyo, M.Sc Prof.DR.H. Rahardjo Adisasmita, M,Ec DR.Ir. Sampe Paembonan, MS Model Teknologi Pengolahan Limbah Cair Rumah

b. Judul Disertasi : Tangga Dengan Filter Biogeokimia

1. Pembimbing I 2. : Prof.DR.Ir.H. Muh.Arief, Dipl.Ing Pembimbing II Pembimbing III Pembimbing IV : : : Prof.DR.H. Syahrul, M.Agr DR.Ir.H. Muh. Saleh Pallu, M.Eng DR.Ir. Mary Selintung, Msc

1. Judul penelitian terakhir dan tahunnya : :

1. Karya terpenting dan tahunnya 1. Penghargaan dalam bidang ilmu/

profesi/pendidikan beserta tahunnya : 1. Satya Karya 1985 Mentri PU

2. Satya Lencana 10th 1997 Presiden RI 3. Satya Lencana 20th 2003 Presiden RI 4. Satya Lencana 30th 2009 Presiden RI 1. Pengalaman mengajar 2. Mata kuliah dalam program studi ini di perguruan tinggi ini pada 3 tahun terakhir NO NAMA MATA KULIAH 1. Prasarana Wilayah dan Kota I JENJANG S-2 SKS 2

1. Mata kuliah di luar program studi ini di perguruan tinggi ini pada 3 tahun terakhir NO NAMA MATA KULIAH JENJANG S-1 SKS 2 PROGRAM STUDI PWK

1. Sistem Perumahan Dan Pemikiman

1. Mata kuliah yang diberikan di luar perguruan tinggi ini pada 3 tahun terakhir NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. NAMA MATA KULIAH Pembangunan Daerah Methode Penulisan Ilmiah Manajemen Mutu Terpadu Manajemen Program Dan Proyek Prasarana Wilayah Dan Kota I Prasarana Wilayah dan Kota II Perencanaan Pariwisata Konsep dan Struktur Tata Ruang Manajemen Proyek dan Program Pembangunan Daerah JENJANG S-2 S-2 S-2 S-2 S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 SKS 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 PERGURUAN TINGGI STIA-LANRI STIK Tamalate STIK Tamalate STIA LANRI PWK UIN PWK UIN PWK UIN PWK UIN STIA PARIS STIA PARIS

1. Daftar karya ilmiah yang ditulis dalam 3 tahun terakhir NO 1. JUDUL TULISAN Kebijakan system perencanaan terhadap pembangunan perkotaan TAHUN 2005 DITERBITKAN SEBAGAI : *) Jurnal SPASIAL, Perencanaan wilayah dan Kota Univ. 45,

Tata Guna lahan system transportasi sebagai 2. sub system dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan Hambatan dalam system pembangunan perkotaan yang berkelanjutan

2006

3.

2007

4.

Pengelolaan sampah perkotaan sebagai sebuah sistem

2008

5.

Struktur Spasial wilayah peri urban sebagai system dari tata ruang kota

2008

6.

Pendekatan system dalam struktur spasial wilayah peri urban

2009

Mei 2005 Jurnal SPASIAL, Perencanaan wilayah dan Kota Univ. 45, Mei 2006 Jurnal SPASIAL, Perencanaan wilayah dan Kota Univ. 45, April 2007 Jurnal SPASIAL, Perencanaan wilayah dan Kota Univ. 45, April 2008 Jurnal SPASIAL, Perencanaan wilayah dan Kota Univ. 45, Juni 2008 Jurnal SPASIAL, Perencanaan wilayah dan Kota Univ. 45, April 2009

1. Daftar Artikel Dosen (Dr. Ir. Drs. Syahriar Tato, SH, MS) selama 10 tahun terakhir NO JUDUL ARTIKEL TAHUN DITERBITKAN SEBAGAI : *) Artikel dalam Majallah sinergino6 Tahun I, Oktober 2003 Artikel dalam Majallah BKKINEWS Edisi 1 Tahun 2003 Artikel dalam Majallah BKKINEWS Edisi 1 Tahun 2003 Artikel dalam Majallah BKKINEWS Edisi 2 Tahun 2003 Artikel dalam Majallah

1. Air Sumber kehidupan, masihkah lestari

2003

2.

Sastra tutur tradisional etnis bugis Makassar, masihka memukau?

2003

3.

Menstimulasi peran aktif public dalam apresiasi Film dan sinetron Indonesia

2003

4. Manajemen Strategik organisasi seni budaya Filter Biogeokimia, Mengolah limbah cair perkotaan

2003

5.

2004

1 Milyard Orang Dambakan Air

2004

Sinergi no1. Tahun I, Januari 2004 Artikel dalam Majallah sinergino3 Tahun. II Maret 2004 Artikel dalam Majallah BKKINEWS Edisi 3 Tahun 2004 Artikel dalam Majallah BKKINEWS Edisi 5 Tahun 2004 Artikel dalam Majallah BKKINEWS Edisi 6 Tahun 2004 Artikel dalam Majallah Mimbar AspirasiEdisi 44 Februari 2005 Artikel dalam Majallah BIC, Building Information Center, Edisi Maret 2008 Buku Ilmiah, Penerbit Cipta Letera 2009 Buku Ilmiah, Penerbit warisan Budaya Indonesia

7.

Manajemen seni budaya menggapai produktifitas melalui kerjasama tim Mungkinkah membangun seni budayaBeraura tradisi di Sulawesi Selatan

2004

8.

2004

9.

Menjadikan seni tradisional siplemen pencapaian kemandirian lokal

2004

Meniru Istambul Turki Mengembangkan Wisata 10. Kota ( Tinjauan Pemamfaatan Ruang Kota untuk kebutuhan wisata)

2005

11.

Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan sebagai warisan Pusaka budaya local Indonesia

2008

12.

Mengolah Limbah Cair Rumah Tangga dengan Filter Biogeokimia

2009

13. Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan

2009

1. Pengalaman membimbing mahasiswa S2 dalam 5 tahun terakhir NAMA MAHASISWA P. JUDUL TESIS STUDI Efektifitas Media Filter, S2 Aerob dan Waktu Tinggal TAHUN PERGURUAN KET TINGGI MULAI AKHIR Unhas 2006

NO

1. Zaenab

Terhadap Penurunan Kadar SS,BOD,COD, Dan MBAS di limbah cair rumah sakit Labuangbaji Makassar Penataan Lingkungan 2. Edi Syahrir Pemukiman Kumuh Di S2 Kota makassar Studi Pengembangan 3. Muh. Setiawan Objek Wisata Alam S2 Lumpue Pare-pare Strategi Pengembangan 4. Rahmawati Asis Objek Wisata Sanrobengi S2 Kab. Takalar

2009 Univ 45 2009 Univ 45 2009 Univ 45 2009 2009 2009

Pengalaman membimbing mahasiswa S1 dalam 5 tahun teakhir NAMA MAHASISWA P. JUDUL TESIS STUDI S1 TAHUN PERGURUAN KET TINGGI MULAI AKHIR 2008 Univ 45 2008 S1 Univ 45 2008 2008 S1 Univ 45 2008 S1 Univ 45 2006 S1 Univ 45 2006 S1 Univ 45 2007 2007 2009 2008 2008 2008

NO

1.

2.

3. 4.

5.

6.

7.

Optimalisasi Pemamfaatan lahan Irma Febriani Pemukiman Kota Tanah Grigot Kab. Pasir Pengaruh Implementasi Konsep Agropolitan Ramlan Riza TerhadapPerkembangan Kota Barru Rahmudi Laode Perubahan Fungsi Lahan Hua Kota Bilibili Kab. Gowa Strategi Pengembangan Rosmini Satria Kawasan Wisata Pantai lemo di Desa Mabonta Studi Pengembangan Ilham Objek Wisata Pantai Beraue Kab. Luwu Timur Studi Pemamfaatan Laode Ali Kasim Kawasan Pesisir Kota Raha Pengaruh Pengembangan Pulau Maitara Sebagai Kawasan Ekowisata Afriani Tompo dalam Peningkatan Ekonomi Masyarakat Pulau

S1

Univ 45

2008

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Prospek Pengembangan Kota Ternate sebagai S1 tujuan wisata Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Peningkatan Heru kualitas dilingkungan S1 Soemarjono Permukiman Kota Makassar Arahan Pengembangan Kawasan Wisata Pantai Risdawati S1 Awal Baru Kec. Tarakan Timut, Kota Tarakan Analisis Pengembangan Kota Belopa Utara Arjan Ibrahim S1 sebagai Ibukota Kab Luwu Identifikasi Ruang Laode M. Terbuka Hijau Kota S1 Rusman Baubau Revitalisasi Kawasan Wisata Sejarah dan Jawa Lukman Hakim S1 M. Kadafi Lakufu Tondano, Kab. Minahasa Analisis Pengembangan Pantai Dato Pangale M. Masruri D dalam Peningkatan Sosial S1 Ekonomi masyarakat di Kab. Majene Analisis Pengembangan Objek Wisata Pantai Haerun Amrus Tanjung Tababu Kec. S1 Lasusua, Kab. Kolaka Utara Analisis Pengembangan Kota Malino Sebagai Ansarullah S1 Kawasan Wisata Kab. Gowa Evaluasi Lokasi Perumahan Swadaya Mas Herfina Simabur S1 Kel. Batua Kec. Manggala Kota Makassar Analisis Sistem Pegelolaan Persampahan Citra Ariesta S1 Ibu Kota Kec. Beto Ambari Kota Baubau

2008 Univ 45 2008 Univ 45 2009 2009

2008 Univ 45 2008 Univ 45 2008 Univ 45 2008 Univ 45 2005 Univ 45 2005 2009 2009 2009 2009

14.

2005 Univ 45 2005

15.

2005 Univ 45 2009 Univ 45 2009 Univ 45 2009 2009 2006

16.

17.

18.

19. Nur Rezki

Studi Pengembangan Kawasan Objek Wisata Benteng Alla Kab. Enrekang

2008 S1 Univ 45 2009

Makassar, 18 Agustus 2009 DR.Ir.Drs. Syahriar Tato, SH.MS Comments: Be the first to comment Older Entries Newer Entries

Home About

Subscribe
Syahriartato's Blog syndicates its weblog posts and Comments using a technology called RSS (Real Simple Syndication). You can use a service like Bloglines to get notified when there are new posts to this weblog.

Archives

February 2010 January 2010 December 2009 October 2009

Categories

opini di majalah dan koran (12) SENI DAN BUDAYA (102) TULISAN ILMIAH POPULER (2) Uncategorized (25)

Blogroll
o o

WordPress.com WordPress.org

Meta

Register Log in XFN WordPress.com

Blog at WordPress.com. Theme: Sapphire by Michael Martine. Follow

Follow Syahriartato's Blog


Get every new post delivered to your Inbox.
Enter your

Powered by WordPress.com

You might also like