You are on page 1of 61

Makalah Kebijakan Kependudukan KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DOSEN : Dr.Kariono, M.

si D I S U S U N OLEH: KELOMPOK 2 PANJI PRIAMBODO DICKY HIMAWAN HRISTY M SITORUS LINA SUSANTI DUHA HADIYANTI ARINI TRI RAHMAT PUTRA (090903046) (090903063) (090903076) (090903078) (090903082) (090903088)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pada awal pembangunan ekonomi suatu negara, umumnya perencanaan pembangunan ekonomi berorientasi pada permasalahan pertumbuhan (growth) ekonomi dan pengurangan pengangguran. Hal ini bisa dimengerti mengingat penghalang utama pembangunan negara-negara sedang berkembang adalah terjadinya kekurangan modal, kesempatan kerja yang sedikit, dan teknologi yang rendah. Kalau permasalahan kekurangan modal dapat diatasi, maka proses pembangunan di negara-negara sedang berkembang akan lebih cepat mencapai sasaran. Pertumbuhan ekonomi pada prinsipnya harus dinikmati penduduk, DalamPelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan.Peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;

Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.Untuk melindungi tenaga kerja, Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun demikian, dalam konteks ketenagakerjaan, berbagai perbaikan pada berbagai faktor tersebut ternyata belum memberikan dampak yang menggembirakan terhadap penciptaan kesempatan kerja.Dengan keadaaan yang demikian kami tertarik dalam membahas tentang ketenagakerjaan dan kebijakan yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia.

I.2 Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dari makalah ini adalah: 1. Apa yang menjadi kebijakan dalam ketenagakerjaan? 2. BagaimanaTrade-Off Antara Perlindungan Tenaga Kerja dan perluasan kesempatan kerja? 3. Bagaimana Analisis Kebijakan Ketenagakerjaan di Indonesia?

I.3Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah kebijakan kependudukan selain itu makalah ini juga bertujuan juga untuk bahan refrensi bacaan yang berguna bagi mahasiswa untuk menambah wawasan.

BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Ketenagakerjaan Menurut Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, ditentukan bahwa yang dimaksud dengan ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Tenaga kerja adalah orang yang siap masuk dalam pasar kerja sesuai dengan upah yang ditawarkan oleh penyedia pekerjaan. Jumlah tenaga kerja dihitung dari penduduk usia produktif (umur 15 thn65 thn) yang masuk kategori angkatan kerja (labour force). Ketenagakerjaan merupakan bagian penting bagi suatu perusahaan karena menyangkut eksistensi suatu perusahaan dalam dunia industri. Lingkup ketenagakerjaan meliputi fungsi pekerja dalam menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan

dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluargannya. Di sisi lain pengusaha memiliki fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan berkeadilan. Memperhatikan fungsi para pihak maka hubungan yang tercipta antara pekerja dan pengusaha atau yang biasa disebut dengan hubungan industrial, harus dijalankan secara selaras dan seimbang guna mencapai tujuan perusahaan. Rencana Strategis dan Kebijakan Disnakertrans Arah Kebijakan, Strategi dan Prioritas Kebijakan Jangka Menengah 1. Kebijaksanaan Umum Pembangunan di Propinsi Kalimantan Selatan di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian untuk pembangunan jangka menengah (selama kurun waktu lima tahun), diprioritaskan untuk perluasan kesempatan kerja, perlindungan serta peningkatan kesejahteraan tenaga kerja melalui penyebaran informasi dan perencanaan tenaga kerja, penempatan tenaga kerja, perluasan kesempatan berusaha, pembinaan manajemen dan produktivitas, pemagangan dan pelatihan, kelembagaan dan perlindungan serta peningkatan kesejahteraan tenaga kerja. Sedangkan dibidang ketransmigrasian diprioritaskan untuk melaksanakan pembinaan dan penempatan transmigrasi di daerah yang telah direncanakan untuk UPT baru (PTB) di Kalimantan Selatan. Kebijaksanaan Khusus Kebijaksanaan Ketenagakerjaan a) Kebijakan makro, sektoral dan regional yang mendukung pembangunan ketenagakerjaan. Dalam upaya penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan diperlukan dukungan pertumbuhan ekonomi yang lebih berorientasi pada kepentingan pekerja dan perluasan lapangan kerja melalui program-program penciptaan lapangan kerja dengan didukung penyebaran informasi dan perencanaan tenaga kerja. Proses pertumbuhan ekonomi yang memperhatikan kepentingan pekerja memungkinkan pertumbuhan output yang diinginkan. Stabilitas ekonomi makro mutlak diperlukan untuk mengembalikan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan. Agar pertumbuhan tersebut tidak mengabaikan kepentingan tenaga kerja, perlu diupayakan kebijaksanaan yang mendukung kondisi ekonomi makro seperti neraca perdagangan, pengendalian kurs mata uang, suku bunga, fiskal, mometer, investasi serta kebijaksanaan sektoral dan regional yang kondusif bagi penanaman modal. b) Penciptaan lapangan kerja langsung yang mewadahi kepentingan masyarakat pekerja. Dalam era pembangunan saat ini,manusia khususnya sebagai tenaga kerja produktif yang semula dipandang sebagai objek pembangunan berkiprah lebih luas menjadi pelaksana, pemanfaat dan penentu pembangunan. Pandangan baru yang melihat tenaga kerja sebagai sumber daya manusia yang memiliki intergritas dan kemampuan merubah hubungan industrial antara pemilik modal (pengusaha) dengan pekerja kearah kemitraan. Dengan demikian, maka perkembangan suatu usaha kegiatan ekonomi menjadi tanggungjawab bersama antara pemilik modal dan pekerja. Tenaga kerja tidak dapat lagi dipandang semata- mata sebagai salah satu faktor produksi, tetapi lebih luas dari itu yaitu sebagai mitra kerja dalam berusaha. Pada gilirannya hubungan industrial yang harmonis dan kemitraan akan memberikan dampak positif terhadap kebijaksanaan sistem pengupahan, sekaligus memberikan rasa ketenangan bagi pekerja. Pembangunan sektoral yang membuka kesempatan kerja. Krisis ekonomi memberikan dampak negatif bagi perluasan kesempatan kerja pada sektor non pertanian namun keadaan ini tidak berlaku pada sektor pertanian, dimana terdapat

kecenderungan yang semula tenaga kerja disektor pertanian menurun jumlahnya, mengalami arus balik ketika krisis ekonomi berlangsung. Sektor pertanian menjadi tumpuan harapan bagi banyak angkatan kerja. Dalam kaitan ini pembangunan sektor pertanian yang mendukung (agribisnis) dan yang mengolah hasil- hasil pertanian (agroindustri) perlu lebih dikembangkan. Dalam pengembangannya, pemerintah dapat menjadi pendorong dan pembina terhadap masyarakat agar usaha disektor pertanian dapat dikembangkan menjadi usaha produktif. d) Mempersiapkan tenaga kerja yang berkualitas. Dalam era persaingan yang semakin ketat, upaya untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja sangat dibutuhkan. Kebijaksanaan tersebut diupayakan melalui peningkatan efisiensi iklim usaha yang dinamis yang didukung oleh perkembangan perekonomian secara menyeluruh baik nasional maupun internasional. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam aspek ketenagakerjaan dikembangkan melalui sistem keterpaduan antara dunia pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pasar atas dasar perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja diseminasikan keseluruh sektor daerah dan lapisan masyarakat. Dalam pemberdayaan dengan sistem desentralisasi diharapkan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif menyebarluaskan arti pentingnya kualitas dan produksi dalam masa persaingan bebas, terlebih lagi dalam kondisi ekonomi yang sedang lesu. Penciptaan iklim yang kondusif diupayakan melalui fungsi kelembagaan organisasi kepemimpinan dan manajemen yang ada dimasyarakat. Dalam upaya tersebut pendalaman dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tetap menjadi pegangan bagi peningkatan etos kerja yang tinggi. Pemberian perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Kebijaksanaan perlindungan bagi pekerja perlu diberikan selaras dengan arah pembangunan sistem hubungan industrial yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat industri yang langsung terlibat dalam proses produksi, perluasan jangkauan dan kemampuan berunding agar menghasilkan syarat- syarat kerja yang berkualitas di dasarkan atas musyawarah/ mufakat dan demokratis, pengaturan pengupahan yang layak bagi kemanusiaan, pengawasan dan pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja yang didukung oleh sumber daya yang memadai, disamping penegakan hukum (law enforcement) agar masyarakat luas mengetahui dinamika hukum ketenagakerjaan. Penciptaan suasana iklim kondusif cenderung mendorong tumbuh dan berkembangnya azas musyawarah dan mufakat untuk mencapai kepentingan bersama yang jauh dari pertentangan dan perselisihan. Kebijaksanaan Ketransmigrasian a) Menunjang pembangunan wilayah Kalimantan Selatan. Wilayah pembangunan di Kalimantan Selatan dibagi atas 3 pusat pembangunan yakni pembangunan I, II dan III. Program transmigrasi turut menunjang pembangunan dengan memanfaatkan daerah padang alang- alang yang tersebar di tiga wilayah tersebut yaitu wilayah rawa pasang surut, rawa monoton dan hutan skunder non produktif atau hutan produktif yang dapat dikonversi. b) Menunjang sarana aksesibilitas wilayah. Dalam rangka pembangunan pusat- pusat pertumbuhan antara pusat wilayah pengembangan pembangunan I Banjarmasin dan pusat pengembangan II Kotabaru yakni terwujudnya jalan raya trans Kalimantan Selatan dengan Kalimantan Timur melalui bagian tenggara dan timur Kalimantan Selatan.

c) Menunjang usaha peningkatan produksi pangan, perkebunan, kehutanan serta industri kecil. Peningkatan usaha pertanian diupayakan melalui irigasi teknis, perkebunan, kehutanan dengan HTI dan memerlukan peluang baru misalnya dibidang perikanan. Disamping itu juga ikut berperan pengendalian peladang berpindah/ perambah hutan, bekerjasama dengan instansi terkait, memukimkan kembali dalam pemukiman yang menetap. 3. S t r a t e g i Dalam pembangunan ketenagakerjaan dan ketransmigrasian jangka menengah, strategi yang diterapkan adalah sebagai berikut : a. Strategi Umum Bidang Tenaga Kerja a) Pembangunan sistem informasi dan perencanaan tenaga kerja. b) Pembinaan kompetensi tenaga kerja melalui pembinaan pelatihan dan pengembangan produktivitas tenaga kerja. c) Pembinaan penempatan tenaga kerja untuk perluasan kesempatan kerja sektoral/regional di dalam dan diluar negeri dengan memperhatikan pendapatan yang layak. d) Pembinaan hubungan industrial dan perlindungan, pengawasan serta peningkatan kesejahteraan pekerja. e) Pengembangan kualitas SDM, kinerja dan pembinaan pegawai di lingkungan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Bidang Transmigrasi a. Peningkatan mutu penyelenggaraan transmigrasi mulai dari input proses maupun output yang dihasilkan. b. Pengembangan berbagai pola usaha yang prospektif sesuai dengan kondisi dan potensi daerah Kalimantan Selatan c. Peningkatan koordinasi penyelenggaraan transmigrasi. d. Peningkatan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia. e. Peningkatan peran serta dunia usaha dalam pembangunan transmigrasi. Strategi Khusus Bidang Tenaga Kerja 1) Perencanaan tenaga kerja. Dalam pembangunan bidang ketenagakerjaan, aspek perencanaan dan informasi sangat penting artinya, untuk itu perlu dilakukan perencanaan tenaga kerja baik pada tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/ kota , serta menyediakan informasi ketenagakerjaan secara makro, sektoral dan regional yang lebih akurat dan tepat waktu. Oleh karena itu beberapa upaya dilakukan untuk memperoleh suatu perencanaan tenaga kerja dan sistem informasi ketenagakerjaan yang lebih baik yakni merevisi prinsip, metode dan asumsi dalam penyusunan perencanaan tenaga kerja secara reguler dan membangunan kerjasama yang lebih intensif dengan instansi terkait dalam menyusun perencanaan tenaga kerja nasional dan daerah serta menyajikan informasi tenaga kerja. Penelitian tenaga kerja juga dilaksanakan sebagai komplemen dalam penyusunan rencana tenaga kerja, penelitian dilaksanakan untuk mengidentifikasikan cara- cara produksi yang banyak menyerap tenaga kerja, kebutuhan pelatihan dan kesejahteraan pekerja. Studi pelacakan lulusan sekolah formal dan latihan kerja menjadi prioritas utama penelitian yang akan datang. 2) Penyusunan dan pengembangan sistem informasi pasar kerja.

Sistem informasi tenaga kerja berfungsi sebagai bahan pengambilan keputusan, evaluasi dan menopang program tenaga kerja, khususnya perencanaan tenaga kerja. Untuk meningkatan kualitas dan daya guna dari sistem informasi pasar kerja, maka perlu dilakukan upaya- upaya untuk merevisi prinsip, metode dan asumsi penyusunan informasi pasar kerja, selain itu perlu kerjasama yang lebih intensif dengan instansi terkait dalam penyajian informasi pasar kerja. Sistem informasi pasar kerja dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi dibidang informasi. Langkah-langkah yang direkomendasikan dalam upaya memperkokoh institusi pasar kerja meliputi : a) Memperkuat mekanisme yang ada agar koordinasi lebih efektif antara dinas terkait, maupun antar unit dalam dinas. b) Memperkokoh proses kelembagaan desentralisasi, untuk menyempurnakan kebijakan yang ada pada tingkat regional dan lokal. c) Mengembangkan sumber daya manusia pada tingkat regional. d) Memperkuat sistem informasi pasar kerja yang ada, termasuk upaya peningkatan kapasitas teknis sistem tersebut, serta melengkapinya dengan fasilitas agar secara cepat dapat melakukan penilaian terhadap kualifikasi tenaga kerja yang ada. e) Memperkokoh dialog sosial antar mitra kerja tripartit. 3) Perluasan kesempatan kerja dan padat karya. Tugas penting yang harus dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah propinsi saat ini adalah menciptakan kesempatan kerja. Perluasan kesempatan kerja ditekankan melalui program padat karya, khususnya untuk mengatasi masalah yang timbul disektor- sektor yang terkena PHK dengan membangun infrastruktur dipedesaan dan pinggiran perkotaan dengan sistem padat karya. Penekanan juga dilaksanakan pada perluasan kesempatan kerja mandiri melalui kegiatan yang berkelanjutan dan produktif serta memberikan pendapatan bagi para peserta program. Strategi yang dilaksanakan adalah : a) Perluasan kesempatan kerja disektor pertanian. b) Perluasan kesempatan kerja disektor industri/ usaha kecil menengah. c) Perluasan kesempatan kerja disektor informal. 4) Pemberdayaan dan optimalisasi sumber daya pelatihan nasional. Sumber daya pelatihan yang tersebar disemua sektor dan daerah baik milik pemerintah maupun milik swasta, perlu diberdayakan kemampuannya (empowerment) dan dioptimalkan pemanfaatannya. Untuk mempercepat proses peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja Indonesia, pemberdayaan dan optimalisasi sumber daya pelatihan nasional tersebut dilakukan melalui : a) Pengembangan standarisasi dan sertifikasi kompetensi tenaga kerja dengan pendekatan sektor dan profesi yang dilakukan secara desentralisasi dan paralel disemua sektor, dengan partisipasi aktif asosiasi profesi, perusahaan, pekerja dan para pakar. b) Peningkatan relevansi, kualitas dan efisiensi pelatihan kerja melalui pembinaan program, fasilitas dan sarana, instruktur dan tenaga ahli pelatihan, sistem dan metode, pendekatan, kelembagaan dan akreditasi. c) Pengembangan jaringan kerjasama pelatihan antar sektor baik ditingkat pusat maupun daerah untuk keperluan koordinasi dan sinergi pelatihan secara nasional. d) Peningkatan kerjasama internasional baik secara bilateral maupun multilateral, terutama dalam rangka standarisasi dan sertifikasi kompetensi, peningkatan kemampuan lembaga pelatihan maupun pemagangan. 5) Peningkatan pelatihan dan pemasyarakatan produktivitas.

Ketatnya persaingan dalam dunia kerja sebagai salah satu dampak dari globalisasi, menuntut peningkatan produktivitas yang semaksimal mungkin dari para tenaga kerja. Untuk itu pembangunan ketenagakerjaan memberikan perhatian yang besar pula atas masalah produktivitas kerja. Dalam hal ini yang akan dilakukan adalah peningkatan kesadaran dan motivasi terhadap produktivitas, efesiensi, efektivitas, disiplin dan etos kerja produktif serta berdaya saing tinggi. Strategi ini akan dilaksanakan melalui kegiatan : a) Pemasyarakatan nilai dan budaya produktif melalui kampanye produktivitas, penghargaan produktivitas, seminar penyuluhan produktivitas dan kegiatan sejenis. b) Pengembangan teknik dan metode peningkatan produktivitas baik pada tingkat organisasi/perusahaan maupun individu. c) Pengembangan kader dan tenaga ahli produktivitas, baik untuk penelitian dan pengembangan, pelatihan dan penyuluhan maupun pelaksanaan. d) Pengembangan kelembagaan, pelayanan peningkatan produktivitas, baik pada tingkat nasional, sektor dan daerah maupun tingkat perusahaan dan masyarakat. 6) Pengembangan bursa tenaga kerja terpadu. Tenaga kerja yang telah dikembangkan dalam program pelatihan perlu didayagunakan pada sektor yang produktif sehingga tenaga yang sudah terlatih dapat ditempatkan melalui bursa tenaga kerja baik untuk penempatan didalam negeri maupun diluar negeri. Dalam hal ini strategi pengembangan bursa tenaga kerja perlu ditingkatkan kemampuannya sehingga dapat lebih profesional dalam mendorong program- program perluasan dan penempatan tenaga kerja. Untuk memperbaiki layanan ketenagakerjaan dan untuk mengatasi berbagai masalah dalam pemberdayaan bursa tenaga kerja direncanakan beberapa program sebagai berikut : a) Dikembangkan suatu program yang mampu memberikan bantuan dan tanggapan yang cepat terhadap tenaga kerja yang terkena PHK, juga perusahaan, serikat pekerja dan masyarakat yang menderita akibat lesunya ekonomi, penutupan pabrik atau pemutusan hubungan kerja massal. Program ini dapat dijalankan dengan mendirikan dua atau tiga unit bantuan pekerja ter PHK yang mampu bergerak cepat dari satu daerah ke daerah lain. b) Guna meningkatkan daya kerja data base mikro, diupayakan untuk meningkatkan kemampuan petugas- petugas kantor bursa tenaga kerja, dalam melakukan pencatatan dan pengolahan data. c) Kantor- kantor bursa tenaga kerja dapat dibuat lebih menarik bagi para pencari kerja dengan berbagai cara, antara lain dengan mendirikan suatu pusat dokumentasi mengorganisir kelompok- kelompok pencari kerja dan pameran ketenagakerjaan bagi pencari kerja maupun pengusaha, mengorganisir kunjungan profesional ke perusahaan- perusahaan untuk mengecek lowongan kerja yang ada. d) Perlunya suatu jaringan komunikasi yang on line dengan seluruh Dinas Tenaga Kerja agar informasi dan data bursa tenaga kerja dapat dihasilkan dan dikirim tepat waktu. e) Perubahan status staf kantor bursa tenaga kerja dapat berhasil, karena hal ini akan menarik para profesional dan mereka yang memiliki keahlian teknis untuk bekerja di kantor- kantor bursa tenaga kerja. f) Pengembangan jaringan yang lebih ekstensif dan intensif serta kemitraan dengan lembagalembaga swadaya masyarakat, instansi- instansi ketenagakerjaan swasta, industri kecil menengah dan besar, KADIN, APINDO, Universitas, Dinas/Departemen terkait, Serikat Pekerja dan institusi lokal. 7) Penempatan tenaga kerja keluar negeri.

Dalam upaya memperoleh dan memperluas kesempatan kerja diluar negeri bagi tenaga kerja Indonesia, sekaligus untuk memperbesar perolehan devisa melalui remittance, maka program ekspor jasa tenaga kerja ke luar negeri akan terus ditingkatkan. Untuk itu mutu tenaga kerja akan terus ditingkatkan, selain itu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan menerapkan strategi baru dalam rangka penempatan tenaga kerja ke luar negeri yakni dengan menyederhanaan prosedur pengiriman TKI ke luar negeri sehingga mengurangi biaya rekrutment dan pengiriman. Dengan demikian diharapkan adanya kemudahan dan pengurangan biaya pengiriman TKI ke luar negeri, sehingga jalur resmi menjadi lebih menarik dari pada jalur percaloan. Agar dapat mencapai hasil yang optimal, strategi tersebut didukung dengan sistem informasi penempatan tenaga kerja Indonesia dan kelembagaan yang memadai. 8) Implementasi hubungan industrial dalam iklim keterbukaan. Strategi hubungan industrial mempunyai nuansa baru yaitu adanya kebebasan berserikat yang merupakan tantangan bagi pemerintah, penguasa serta serikat pekerja, seiring dengan jaminan kelangsungan dan pengembangan usaha. Oleh karena itu perlu adanya penyempurnaan terhadap ketentuan di bidang hubungan industrial dalam rangka meningkatkan posisi tawar- menawar (barganing position) antara pekerja dan pengusaha. Disamping itu perlu disusun aturan kerja (work rule) yang memadai dan disepakati berbagai pihak. Selanjutnya aturan baru tersebut dimasyarakatkan kepada pekerja dan pengusaha. Beberapa usaha strastegis yang diperlukan adalah : 1) Reformasi serikat pekerja. 2) Pendidikan perburuhan (worker education) 3) Pemasyarakatan keadaan baru dibidang hubungan industrial dalam era keterbukaan. 9) Perlindungan dan peningkatan kehidupan serta kesejahteraan pekerja. Dalam upaya peningkataan taraf hidup pekerja agar dapat hidup lebih layak, perlu adanya perlindungan dan peningkatan kesejahteraan pekerja. Bila dikaitkan dengan tujuan tersebut di atas, maka aspek- aspek yang menjadi perhatian utama adalah peningkatan upaya pemenuhan hak pekerja, keselamatan dan kesehatan kerja termasuk perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Untuk itu strategi yang diperlukan adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. i. ii. iii. iv. v. vi. Perlindungan tenaga kerja anak, orang muda dan wanita. Jaminan sosial dan syarat kerja. Perlindungan pengupahan. Perlindungan tenaga kerja ke luar negeri. Pengawasan norma keselamatan dan kesehatan kerja. Penegakan hukum dan pengawasan ketenagakerjaan.

Bidang Transmigrasi Intensifikasi upaya peningkatan mutu penyiapan permukiman transmigrasi baru melalui : a) Program permukiman dan lingkungan ditujukan untuk dapat menunjang kepada berkembangnya UPT yang ada serta dapat menangani UPT bermasalah yang diakibatkan oleh faktor fisik lingkungan. b) Pembangunan permukiman transmigrasi baru diarahkan pada terwujudnya kondisi yang layak huni, layak usaha dan layak berkembang sehingga dapat merupakan basis dan titik tolak pengembangan pertanian dan perekonomian unit- unit permukiman transmigrasi sampai kepada tingkat perkembangan tertentu, untuk selanjutnya dapat diserahkan kepada pemerintah daerah.

c) Pengembangan permukiman berdasarkan SKP Stelsel yang status pertanahannya sudah jelas serta dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai. d) Meningkatkan pendayagunaan sumber daya alam (lahan) dengan lebih berorientasi pada komoditas yang memiliki prospek dan layak usaha, melalui berbagai kegiatan invenstasi yang didukung oleh swasta. e) Penentuan pola usaha suatu permukiman ditetapkan menurut kondisi wilayah satuan kawasan pengembangan permukiman agar mempunyai skala produksi yang mempunyai kelayakan ekonomi. f) Pemanfaatan lahan disekitar jalan trans regional untuk membangunan permukiman transmigrasi menjadi kota - kota pertanian sebagai sentra- sentra produksi baru yang terintergrasi dengan pembangunan daerah.

Peningkatan produktivitas lahan transmigrasi. a) Mengurangi luasan lahan yang diberikan menjadi kurang dari 2 Ha/KK dengan kondisi siap olah/dibuka. b) Lahan yang telah siap olah dibagikan langsung/sekaligus, sehingga dapat digarap oleh warga transmigran yang mana dapat dihindari lahan tidur. c) Pemanfaatan lahan dapat lebih optimal karena lebih sesuai dengan kemampuan olah lahan warga transmigran per kepala keluarga. Hal ini dapat meningkatkan produktivitas lahan. Pengerahan transmigrasi lokal dipadukan dengan program AKL tenaga kerja dalam upaya pemerataan penduduk. a) Peningkatan prosentasi penyelenggaraan transmigrasi dengan program transmigrasi lokal dalam kabupaten dan antar kabupaten. b) Pemaduan program transmigrasi dengan program AKL tenaga kerja, dalam upaya menarik investor untuk menanamkan modalnya di daerah transmigrasi. Peningkatan mutu proses pengerahan transmigrasi melalui : a) Peningkatan peran serta/partisipasi masyarakat dalam pembangunan transmigrasi. b) Peningkatan mutu pelayanan, pendaftaran dan seleksi untuk memperoleh calon transmigran yang bermotivasi kuat untuk bertransmigrasi. c) Untuk dapat lebih mendorong dinamika masyarakat, diupayakan adanya komposisi transmigran yang tidak miskin. d) Peningkatan penerangan dan penyuluhan pembangunan transmigrasi ke daerah sasaran prioritas pengerahan. Mengintensifkan upaya peningkatan mutu pembinaan transmigrasi di daerah Kalimantan Selatan. a) Pembinaan permukiman diarahkan untuk dapat menggalang kemampuan transmigrasi agar mampu mandiri. b) Peningkatan produktivitas dan jumlah produksi pertanian para transmigran. c) Peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan. d) Penyelesaian penanganan UPT bermasalah sebagai prioritas pembinaan UPT. e) Peningkatan produksi lahan usaha disetiap UPT (PTA) melalui berbagai kegiatan usaha tani dengan melalui kerjasama dengan para investor sehingga dapat mengurangi luasan lahan tidur. f) Membina permukiman transmigrasi secara terintergrasi dengan pembangunan daerah dengan cara meningkatkan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi pelaksana pembangunan transmigrasi dengan sektor terkait.

g) Peningkatan dan pemantapan pengelolaan/ manajemen UPT. Peningkatan manajemen pendukung pembangunan transmigrasi. a) Di bidang perencanaan, dengan tersusunnya sistem, prosedur dan pedoman perencanaan dimaksudkan untuk tercapainya perencanaan dari bawah dan dari atas secara harmonis dan mampu menghasilkan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan. Untuk itu dalam menyusun rencana/program, koordinasi dengan unit kerja di lapangan mutlak diperlukan. b) Di bidang pelaksanaan, diarahkan agar pelaksanaan (personil dan rekanan) berdedikasi tinggi, mampu, jujur dan bertanggungjawab dalam melaksanakan program pembangunan transmigrasi yang menjadi tanggungjawabnya masing- masing, sehingga missi pembangunan transmigrasi dapat direalisasikan. c) Di bidang penyediaan dana, akan dilakukan uji coba peningkatan standart harga (unit price). Kemudian ditingkat produktifitasnya akan dibandingkan dengan hasil sebelumnya, dinilai dan dikendalikan oleh pusat. d) Di bidang organisasi dan tatalaksana, dimaksudkan agar organisasi dan tatalaksana Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi mampu mengakomodasi tuntutan kebutuhan pembangunan transmigrasi yang dinamis yang dipengaruhi oleh perkembangan jaman. Oleh karena itu sistem, prosedur dan pedoman yang dibuat untuk mendukung penyelenggaraan transmigrasi hendaknya jelas dan sederhana serta mampu memperlancar perencanaan pembangunan transmigrasi oleh pemerintah dan membuka peluang partisipasi masyarakat seluas- luasnya. e) Di bidang pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia (aparatur), diarahkan pada terwujudnya peningkatan kualitas aparatur yang mampu menumbuhkan gerakan pegawai yang efektif dan efisien sebagai pemacu keberhasilan misi transmigrasi. Penelitian dan pengembangan dimaksud untuk secara terus menerus memperoleh masukan untuk penyempurnaan. Penyelenggaraan transmigrasi guna perbaikan dan peningkatan sistem/ pola pembangunan transmigrasi dimasa datang. g) Melalui pengawasan dan pengendalian yang efektif dan menjangkau seluruh lini sejak perencanaan, diharapkan hasil- hasil pembangunan transmigrasi semakin memberdayakan transmigran dan masyarakat sekitarnya. 4. P r i o r i t a s Pembangunan di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun anggaran 2006-2010 untuk bidang ketenagakerjaan diprioritaskan untuk perluasan kesempatan kerja, perlindungan serta peningkatan kesejahteraan tenaga kerja melalui penyebaran informasi dan perencanaan tenaga kerja, penempatan tenaga kerja, perluasan kesempatan berusaha, pembinaan manajemen dan produktivitas, pemagangan dan pelatihan, kelembagaan dan perlindungan serta peningkatan kesejahteraan tenaga kerja. Sedangkan bidang ketransmigrasian diproritaskan untuk melaksanakan pembinaan dan penempatan transmigrasi di daerah yang telah direncanakan sebagai UPT baru (PTB) di Kalimantan Selatan TUJUAN Tujuan adalah sesuatu (apa) yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu satu sampai lima tahun. Tujuan ditetapkan dengan mengacu kepada pernyataan visi dan misi serta didasarkan pada isu-isu analisis strategis. Berdasarkan visi, misi dan kondisi strategis yang ada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Kalimantan Selatan menetapakan tujuan sebagai berikut :

a. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Tujuan kedua ini terkait dengan misi kedua, Pembinaan kompetensi tenaga kerja melalui pembinaan pelatihan dan pengembangan produktivitas. b. Meningkatnya kesejahteaan masyarakat dengan perluasan lapangan kerja. Tujuan yang keduaini terkait dengan misi ketiga, Pembinaan penempatan tenaga kerja untuk perluasan kesempatan kerja sektoral/regional di dalam dan luar negeri dengan memperhatikan pendapatan yang layak. c. Meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja Tujuan keempat terkait dengan misi keempat, Pembinaan hubungan industrial dan perlindungan, pengawasan serta peningkatan kesejahteraan pekerja. d. Peningkatan kualitas transmigran Tujuan ini terkait dengan misi ke lima pengendalian pertumbuhan dengan pengembangan kualitas transmigran e. Pemberdayaan kawasan transmigrasi sebagai pengembangan tanaman pangan, tanaman perkebunan dan industri kecil. Tujuan ini terkait dengan misi ke enam penciptaan kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. f. Pemerataan penduduk dan hasil-hasilnya Tujuan ini terkait dengan misi ketujuh Pengerahan persebaran dan mobilitas penduduk dalam upaya pemerataan dan peningkatan produktivitas g. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pembangunan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang mandiri. Tujuan ini terkait dengan misi kedelapan memberdayakan transmigran dan penduduk sekitarnya menuju masyarakat mandiri dan sejahtera dalam rangka menunjang pembangunan daerah. Ketidaksesuaian paham antara pekerja dan pengusaha, dikarenakan pengusaha memandang bagaimana mengeluarkan output biaya produksi dan konsumsi seminimal mungkin untuk mendapatkan income yang maksimal, sedangkan disisi lain para pekerja menginginkan terjaminnya hak-hak dan kepentingan mereka selaku pekerja yang telah memberikan sumbangsih kepada perusahaan dalam mendapatkan keuntungan. Akibat yang timbul dari perselisihan ini adalah aksi mogok yang dilakukan oleh pekerja, pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon dan uang penghargaan masa kerja bagi pekerja yang telah memenuhi masa kerja tertentu. Pasar kerja di Indonesia sebagaimana karakteristik umumnya negara sedang berkembang bersifat dualistik. Lapangan kerja sektor modern (formal) dengan jumlah tenaga kerja yang relatif sedikit dan sektor tradisional (informal) dengan jumlah tenaga kerja yang besar, berjalan secara bersamaan dalam perekonomian. Sektor modern memiliki upah yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan sektor tradisional. Selain itu, pekerja sektor modern memiliki kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses terhadap pelatihan sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Sebaliknya, pekerja di sektor tradisional melakukan kegiatan yang rendah tingkat produktivitasnya dengan upah rendah. Kesenjangan produktivitas-upah antara sektor modern dan sektor tradisional juga mencerminkan perbedaan tingkat pendidikan. Pekerja sektor modern berpendidikan lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor tradisional. Oleh karenanya, persoalan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terkait dengan upaya perluasan kesempatan kerja, tetapi juga mencakup upaya memfasilitasi perpindahan surplus tenaga kerja keluar dari sektor informal ke sektor modern yang lebih produktif dan memberikan

upah yang lebih tinggi. Perpindahan surplus tenaga kerja dari sektor informal ini selain bertujuan meningkatkan hak-hak tenaga kerja juga menjadi tujuan utama dari siklus pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut secara selaras, maka dalam konteks kebijakan tenaga kerja di Indonesia, perlu dijalin keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Tulisan ini menganalisis kebijakan tenaga kerja di Indonesia dalam kaitannya dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Diawali dengan pembahasan mengenai trade-off antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Dilanjutkan dengan analisis mengenai kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia khususnya UU No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya, pada bagian akhir adalah rekomendasi dalam penerapan kebijakan ketenagakerjaan yang berorientasi pada keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. 2.2 TRADE-OFF ANTARA PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA Perlunya kebijakan perlindungan tenaga kerja didasarkan pada kenyataan bahwa setiap pekerja menghadapi berbagai risiko, baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Risiko-risiko tersebut berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Beberapa risiko pasar kerja (labor market risks) yang utama adalah: 1. Risiko kehilangan pekerjaan (unemployment risks): Kehilangan pekerjaan dapat terjadi baik karena faktor kinerja individu, kinerja perusahaan maupun karena faktor ekonomi makro. Kehilangan pekerjaan akan berdampak secara langsung pada penurunan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. 2. Risiko kesehatan (health risks): Risiko kesehatan yang berdampak pada penurunan/kehilangan sumber pendapatan dari seorang pekerja dapat terjadi baik pada saat sedang bekerja maupun di luar pekerjaan. 3. Risiko penurunan upah riil (declining wage risks): Penurunan upah riil adalah penurunan daya beli, sehingga secara langsung menurunkan tingkat kesej ahteraan pekerja dan keluarganya. Penurunan upah riil dapat terjadi karena pemotongan tingkat upah atau karena laju inflasi yang lebih tinggi dari kenaikan upah nominal. 4. Risiko usia lanjut (old-age risks): Dampak menjadi tua bagi seorang pekerja adalah menurunnya tingkat produktivitas, dan kehilangan pekerjaan ketika kondisi fisik sebagai akibat faktor usia tidak memungkinkan lagi bagi pekerja tersebut untuk bekerja. Ini berarti bahwa semakin tua seorang pekerja akan menyebabkan risiko menurunnya/kehilangan pendapatan mereka. Risiko-risiko tersebut dapat bersifat individual pekerja ataupun melibatkan banyak pekerja. Munculnya risiko-risiko tersebut dapat berkaitan dengan kondisi individu, kondisi mikro perusahaan ataupun kondisi perekonomian secara makro yang tidak menguntungkan. Oleh karenanya, tujuan dari kebijakan perlindungan tenaga kerja adalah untuk meminimalkan dampak negatif dari berbagai risiko pasar kerja terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Secara garis besar, kebijakan perlindungan pekerja dapat dikelompokkan ke dalam pengaturan hubungan pekerjaan (employment relations) dan penyediaan jaminan sosial (social security).Kebijakan hubungan pekerjaan atau hubungan industrial umumnya mencakup pengaturan dan syarat- syarat hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja, mulai dari rekrutmen, interaksi selama masa kerja, sampai dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Bentuk-bentuk jaminan sosial umumnya terdiri dari tabungan wajib hari tua (provident fund), asuransi kesehatan (health insurance), asuransi kematian (life insurance), kompensasi atau asuransi kecelakaan kerja (work accident insurance), pesangon untuk pemutusan hubungan kerja atau asuransi pengangguran (unemployment insurance), dan lain-lain. Biaya-biaya yang timbul sebagai akibat kebijakan perlindungan tenaga kerja baik dari sisi pengaturan hubungan kerja maupun penyediaan jaminan sosial, ditanggung sepenuhnya atau sebagian besar oleh pemberi kerja. Oleh karenanya, dilihat dari sudut pandang pemberi kerja penerapan kebijakan ini menambah terhadap total biaya tenaga kerja (labor costs). Sebagai akibat dari hal ini, apabila kebijakan pelindungan pekerja terlalu berlebihan maka dapat timbul dampak negatif yang tidak diinginkan. Dari sudut pandang pemberi kerja, meningkatnya total biaya tenaga kerja yang terlalu besar dapat menjadi hambatan (disincentive) terhadap penciptaan kesempatan kerja. Sebaliknya bagi pekerja, kebijakan pelindungan pekerja yang terlalu berlebihan dapat menjadi hambatan untuk bekerja. Bagi perekonomian secara makro, hal ini dapat menciptakan kekakuan (inflexibility) dalam pasar kerja. Berbagai fakta di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan perlindungan tenaga kerja yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap kesempatan kerja (Suharyadi,2003). Di negara-negara Eropa Barat, penerapan kebijakan pemberian tunjangan pengangguran yang relatif tinggi (generous) telah berdampak pada tingginya tingkat pengangguran. Di Bangladesh, kebijakan yang melarang pekerja anak di bawah usia 15 tahun, berdampak pada pemecatan pekerja anak secara besar-besaran yang justru menyebabkan anak-anak ini terpaksa menjadi anak-anak jalanan dan berubah profesi menjadi pengemis atau pekerja seks komersial. Demikian juga, larangan bagi pemberi kerja untuk merekrut pekerja yang bukan anggota serikat pekerja di sektor pelabuhan di Australia menyebabkan pasar kerja di sektor ini menjadi bersifat monopsonistik sehingga efisiensi sektor secara keseluruhan menjadi rendah. Studi pada skala makro pada 48 negara juga menunjukkan fakta adanya hubungan negatif antara banyaknya kebijakan perlindungan tenaga kerja dengan pertumbuhan kesempatan kerja dan kenaikan upah riil. Oleh karena itu, pembuatan kebijakan perlindungan pekerja perlu didasarkan pada kebutuhan riil pekerja terhadap perlindungan, dengan memperhitungkan seberapa besar dan siapa yang akan menanggung biaya kebijakan yang dibuat, dan memperhatikan kondisi perekonomian secara keseluruhan. Di samping itu, perlu pula diperhatikan agar kebijakan perlindungan pekerja yang dibuat tidak memperbesar diskriminasi antara pekerja yang terlindungi (pekerja sektor formal) dan pekerja yang tidak terlindungi (pekerja sektor informal) oleh kebijakan tersebut. II.3 ANALISIS KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA (UU No. 13 Tahun 2003) Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon, ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja. Upah Minimum Pengaturan mengenai upah minimum dijelaskan pada pasal 88 90. Dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu komponen/kebijakan pengupahan adalah upah minimum (pasal 88). Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (pasal 88). Upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota serta berdasarkan sektor pada wilayah

provinsi atau kabupaten/kota (pasal 89). Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum tersebut dapat dilakukan penangguhan (pasal 90). Jika diterapkan secara proporsional, kebijakan upah minimum bermanfaat dalam melindungi kelompok kerja marjinal yang tidak terorganisasi di sektor modern. Namun demikian, kenaikan upah minimum yang tinggi dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah di Indonesia belakangan ini telah berdampak pada turunnya keunggulan komparatif industri-industri padat karya, yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja akibat berkurangnya aktivitas produksi. Kenaikan upah minimum yang terlalu cepat ini selain berdampak negatif terhadap prospek pekerja memperoleh pekerjaan di sektor formal, juga menyebabkan tingkat pengangguran terbuka menjadi lebih tinggi, terutama di kalangan angkatan kerja usia muda. Studi SMERU (2002) tentang upah minimum menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum selama periode 1990 hingga 1999 tidak mengurangi kesempatan kerja bagi pekerja laki- laki dewasa, pekerja berpendidikan tinggi atau para profesional. Sebaliknya, kenaikan upah minimum tersebut telah mengurangi kesempatan kerja bagi pekerja perempuan, pekerja usia muda dan pekerja kurang terdidik (yaitu mereka yang berpendidikan dasar atau lebih rendah). Studi SMERU menunjukkan bahwa secara ratarata, kenaikan upah minimum riil sebesar 20%, sebagaimana terjadi di beberapa daerah pada tahun 2002, menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan sektor formal di daerah perkotaan sebesar 2%, lapangan pekerjaan bagi pekerja perempuan dan pekerja usia muda berkurang masing-masing sebesar 6%, dan bagi pekerja kurang terdidik sebesar 4%. Kenaikan upah minimum memberikan dampak yang lebih besar terhadap lapangan pekerjaan bagi kelompok pekerja marjinal karena upah minimum telah mendekati tingkat upah rata-rata kelompok tersebut di pasar kerja. Kenaikan upah minimum yang tinggi akhir- akhir ini di seluruh Indonesia disebabkan oleh sejumlah kelemahan dalam proses penetapan upah minimum diantaranya, ketergantungan yang besar terhadap indeks kebutuhan hidup minimum atau KHM, penetapan indeks secara kurang hati- hati sej ak diberlakukannya otonomi daerah, tidak adanya pedoman mengenai bagaimana menggunakan kriteria lain dalam penetapan upah minimum, dan rendahnya partisipasi para stakeholder utamanya dalam proses penetapan upah. Proses penetapan upah minimum menjadi semakin rumit sejak penyerahan kewenangan penetapan upah minimum kepada pemerintah daerah di era otonomi. PHK dan Pembayaran Uang Pesangon Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab XII pada pasal 150 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan dengan serikat pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan persetujuan maka permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang mendasarinya (pasal 152). Selanjutnya tidak diperbolehkannya PHK. Aturan PHK yang diberlakukan pada UU ini telah mempersulit dan menimbulkan biaya tinggi bagi perusahaan untuk memberhentikan pekerja karena setiap kasus pengurangan pekerja wajib diajukan kepada pemerintah agar dikeluarkan izinnya. Tidak terdapat kewenangan manajemen dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan. Undang-Undang Ketenagakerjaan hendaknya memberikan kewenangan kepada manajemen dalam memutuskan penerimaan dalam pasal 153-155 dijelaskan alasan-alasan yang

diperbolehkannya PHK dan alasan-alasan dan pemecatan karyawan, tergantung pada pelaksanaan kontrak, negosiasi bipartit terhadap keadaan yang menyebabkan terjadinya PHK yang tidak adil, dan kerangka hukum yang memungkinkan pekerja dan serikat pekerja naik banding ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial. Sekalipun dalam UU Ketenagakerjaan keputusan dilakukannya PHK harus didasarkan pada alasan yang jelas, persetujuan terlebih dahulu untuk melakukan PHK tidak diwajibkan oleh standar ketenagakerjaan internasional dan tidak diatur oleh sebagian besar undang- undang ketenagakerjaan modern. Persetujuan terlebih dahulu hendaknya hanya diwajibkan oleh UU untuk kategori kelompok pekerja tertentu yang rawan pemecatan seperti misalnya pengurus serikat pekerja. Jika terjadi PHK perusahaan diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (pasal 156). Dalam pasal tersebut juga dirincikan besarnya uang pesangon/penghargaan tersebut. Pada pasal 158 dinyatakan bahwa pengusaha tidak wajib pemberi kerja membayar uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat (misalnya, pencurian atau melakukan kekerasan di tempat kerja). Namun, pengusaha diwajibkan membayar uang pisah kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat, yang besarannya ditetapkan melalui proses perundingan bersama. Terkait dengan aturan mengenai uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, Widianto (2006) mengemukakan UU ini telah menaikkan tingkat uang pesangon sebesar antara 19% sampai 63% bagi pekerja yang masa kerjanya mencapai lima tahun atau lebih. Tingkat uang pesangon yang baru tersebut termasuk tertinggi di kawasan Asia, khususnya untuk pesangon yang diberikan kepada pekerja yang terkena PHK karena pengurangan karyawan . Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ketentuan pesangon ini: 1. Biaya pesangon meningkat pesat dari waktu ke waktu, baik terkait dengan peningkatan besaran uang pesangon maupun melalui kenaikan upah minimum yang tinggi. Peningkatan besarnya uang pesangon meningkatkan insentif bagi pekerja untuk menjadikan dirinya dipecat dengan melakukan pelanggaran ringan pada setiap waktu tertentu. 2. Diberlakukannya uang pesangon yang tinggi dapat dianggap sebagai pajak di bidang ketenagakerjaan. Karena pemberi kerja harus membayar uang pesangon secara lump sum pada saat pekerja dikeluarkan atau saat terjadi pengurangan karyawan, maka uang pesangon dapat dianggap sebagai pajak atas pemecatan dan penerimaan karyawan baru, yang dapat mengurangi lapangan pekerjaan di sektor modern dalam jangka panjang. 3. Uang pesangon berkaitan langsung dengan masa kerja pekerja di perusahaan. Hal ini menciptakan distorsi dalam pasar kerja. Misalnya, perusahaan akan cenderung mempertahankan para pekerja yang lebih tua usianya, walaupun mereka kurang produktif dibandingkan yang jauh lebih muda karena biaya yang harus dikeluarkan untuk memecat pekerja yang lebih tua lebih mahal. Dengan cara demikian, struktur uang pesangon saat ini berpotensi menghambat bagi penempatan pekerja usia muda sebagai pekerja. 4. Mengaitkan uang pesangon dengan masa kerja juga mengurangi insentif pemberi kerja untuk berinvestasi dalam SDM (human capital) terutama jika keahlian yang diperlukan merupakan keahlian khusus. Alasannya adalah bahwa pembayaran uang pesangon mendorong pekerja tersebut untuk berganti pekerjaan dan ini akan merupakan biaya besar bagi perusahaan sehingga dalam jangka panjang perusahaan kehilangan insentif untuk berinvestasi bagi pekerjanya.

5. Besarnya uang pesangon mendorong timbulnya perselisihan industrial karena kebanyakan perusahaan tidak menyiapkan diri untuk melakukan pembayaran uang pesangon, sehingga pekerja mempunyai inisiatif untuk menunggu dipecat daripada mengundurkan diri secara sukarela walaupun pekerja sudah tidak produktif lagi. Hubungan Kerja Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Undang-undang ini juga mengatur berbagai persyaratan penggunaan tenaga kerja dan pemborongan produk dari luar perusahaan. Penggunaan pekerja kontrak, pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar (outsourcing), dan perekrutan tenaga kerja melalui agen penempatan tenaga kerja dibatasi hanya untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar hanya diperbolehkan bagi pekerjaan yang bukan pekerjaan utama dari perusahaan. Selanjutnya dalam konteks ini hubungan kerja yang terjadi adalah antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; (pasal 64 66) Tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk memberikan perlindungan kerja di tingkat perusahaan bagi pekerja di sektor modern. Meskipun demikian, bila ketentuan-ketentuan UU tersebut diimplementasikan secara kaku, ketentuan-ketentuan tersebut akan menghambat sebagian angkatan kerja untuk memperoleh kesempatan kerja di sektor modern. Selain itu, pekerja kontrak memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk cuti libur yang dibayar, cuti sakit, tidak termasuk dalam program pensiun, dan kurang memperoleh akses untuk pelatihan. Meskipun, pekerja kontrak biasanya terus memperoleh pekerjaan dan pada akhirnya menjadi pekerja tetap, tetapi hal ini jarang terjadi pada pekerja berpendidikan rendah. Dalam kaitannya dengan lembaga outsourcing, lebih jauh Nugroho (2004), mengemukakan bahwa lembaga outsourcing akan mengaburkan hubungan industrial. Terutama adanya ketidakjelasan status antara lembaga penyalur dengan perusahaan ketika terjadi perselisihan hubungan industrial. Posisi tawar buruh akan menjadi semakin lemah, sedangkan di pihak lain posisi perusahaan dan lembaga penyalur/outsourcing akan semakin kuat. Ini akan menciptakan hubungan yang subordinatif terhadap pekerja Waktu Kerja Terkait dengan waktu kerja, pada pasal 76 dinyatakan adanya larangan mempekerjakan pekerja perempuan di bawah 18 tahun dan pekerja perempuan hamil pada malam hari (Pukul 23.00 7.00). Selanjutnya pada pasal 77 dinyatakan kewajiban perusahaan untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja berkewajiban membayar upah lembur, tetapi harus memenuhi syarat : a. ada persetujuan pekerja/buruh yang

bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu (pasal 78). Aturan mengenai waktu kerja ini, secara eksplisit memberikan keterbatasan perusahaan untuk mempekerjakan pekerja sesuai dengan kebutuhan produksi. Meskipun, misalnya karena kekurangan bahan baku, perusahaan hanya membutuhkan masing-masing pekerja untuk bekerja kurang dari 40 jam seminggu, tetapi perusahaan harus tetap mempekerjakan pekerja dalam batas jam kerja tersebut. Demikian juga misalnya, karena peningkatan permintaan yang mengharuskan perusahaan meningkatkan produksi, perusahaan dibatasi dengan aturan tidak boleh mempekerjakan pekerja lembur lebih dari 3 jam perharinya Hal lain yang perlu diperhatikan dalam analisis ketenagakerjaan adalah berkaitan dengan rasio beban tanggungan atau burden of dependency ratio. Yang dimaksud dengan dependency ratio adalah beban yang ditanggung oleh penduduk produktif terhadap penduduk tidak produktif. Oleh karena itu, semakin banyak penduduk produktif yang tidak bekerja, maka dengan sendirinya akan meningkatkan beban tanggungan.

BAB III PENUTUP III.1 KESIMPULAN Ketenagakerjaan merupakan bagian penting bagi suatu perusahaan karena menyangkut eksistensi suatu perusahaan dalam dunia industri. Lingkup ketenagakerjaan meliputi fungsi pekerja dalam menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam analisis ketenagakerjaan adalah berkaitan dengan rasio beban tanggungan atau burden of dependency ratio. Yang dimaksud dengan dependency ratio adalah beban yang ditanggung oleh penduduk produktif terhadap penduduk tidak produktif. Oleh karena itu, semakin banyak penduduk produktif yang tidak bekerja, maka dengan sendirinya akan meningkatkan beban tanggungan.. DAMPAK PERMASALAHAN KEPENDUDUKAN TERHADAP PEMBANGUNANDI INDONESIA

Disusun Oleh : Decy C.L Tobing (090903056) Sri Amelia Girsang (090903037) Febrianti Eliana (090903032) Syahprizal Tambunan (090903030) Sadam Rahmadani (090903004) Widodo Sihotang (090903044) Doly Parman Ompusunggu (090903054)

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dari hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia adalah 237,6 juta jiwa. Berarti Indonesia termasuk negara terbesar ke tiga di antara Negara- negara yang sedang berkembang setelah Cina, India dan amerika serikat. Dibanding dengan jumlah sensus tahun 1990 maka akan terlihat peningkatan penduduk Indonesia rata-rata 1,49% pertahun. Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 sebanyak 273,2 juta jiwa. Bila dilihat dari luas wilayah pada peta penyebaran penduduknya terlihat tidak merata di 33 propinsi. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 sekitar 60.1 penduduk tinggal di pulau Jawa, padahal luas pulau Jawa hanya 7% dari luas wilayah Indonesia. Kondisi tersebut menunjukan bahwa kepadatan penduduk Indonesia tidak seimbang.Kondisi tersebut memerlukan upaya pemerataan dan upaya tersebut telah dilaksanakan melalui program transmigrasi dan gerakan kembali ke Desa. Dilihat dari tingkat pertambahan penduduknya Indonesia masih tergolong tinggi, hal ini bila tidak diupayakan pengendalianya akan menimbulkan banyak masalah. Di Indonesia dari tingkat partisipasi anak usia sekolah baru mencapai 53% meskipun wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun telah dicanangkan oleh pemerintah. Dibanding negara tetangga, tingkat partisipasi pendidikan kita tergolong rendah. Hongkong misalnya tahun 1985 telah mencapai 95%, Korea Selatan 88% dan Singapura telah mencapai 95 % (Surabaya Post, 2 Oktober 1995). Masalah-masalah lain seperti ketenagakerjaan 77% angkatan kerja masih berpendidikan rendah. Nampaknya sederhana, tetapi harus diingat bahwa manusia adalah sebagai subjek tetapi juga sekaligus objek pembangunan sehingga bila tidak diantisipasi mungkin pada gilirannnya akan berakibat ketidakstabilan atau kerapuhan suatu negara. Penduduk sebagai objek artinya penduduk merupakan factor yang harus diangkat atau di tingkatkan kualitas hidupnya. Sebagai subjek, penduduk adalah pelaku proses pembangunan. Dilihat dari sisi yang lain, penduduk merupakan beban Negara sekaligus potensi bagi suatu Negara. Penduduk dianggap sebagai beban Negara karena Negara harus dapat memberikan pelayanan kepada penduduknya. Penduduk juga dianggap sebagai potensi karena penduduk dianggap sebagai kekuatan Negara sebagai sumber daya manusia yang dapat memberikan sumbangan yang positif bagi Negara. Ada Negara yang penduduknya besar, ada Negara yang penduduknya sedikit.Ada Negara yang tingkat pertumbuhannya penduduknya tinggi, ada Negara yang tingkat pertumbuhan penduduknya rendah.Apabila suatu Negara pertumbhan penduduk sangat tinggi, ini merupakan suatu masalah. Hal ini dikarenakan kapasitas wilayah suatu Negara terbatas. Sebaliknya, jika pertumbuhan penduduk rendah atau negative (pendudunya semakin berkurang), ini juga merupakn suatu masalah. Sebab, penduduk Negara tersebut akan habis. Begitulah permasalahan kependudukan pada sebuah Negara menjadi masalah yang berhubungan dengan dinamika keadaan penduduk.

Wilayah perkotaan yang sangat berkembang pesat dengan pembangunan infrastuktur yang kompleks seperti jaringan jalan, fasilitas umum dan fasilitas social, menjadikan pertumbuhan ekonomi perkotaan meningkat dari wilayah lain di sekitarnya. Berbeda dengan wilayah pedesaan yang pembangunan infrastruktur publik berjalan lambat sehingga perekonomian di desa pun berjalan lambat. Secara sumber daya manusia pun berbeda, dengan pembangunan infrastruktur yang pesat kualitas SDM kota jauh melebihi SDM di desa. Akibatnya para penduduk desa tertarik dengan perekonomian kota dan berbondong-bondong pindah ke kota yang biasa kita kenal dengan urbanisasi. Meskipun pertumbuhan wilayah perkotaan signifikan tetapi tidak semua penduduk kota bisa menikmati hasil pembangunan tersebut. Contohnya adalah masalah hunian. Masih banyak kita jumpai penduduk yang tinggal di permukiman kumuh dan permukiman liar di kawasan sempadan sungai. Individu yang mendiami daerah-daerah tersebut semakin lama semakin banyak dan menjadi permasalahan lingkungan perkotaan yang sulit diselesaikan. Masalah penduduk tersebut cenderung dianggap sebagai beban pembangunan sehingga sering dijumpai penyelesaian yang tidak memperhitungkan aspek kemanusiaan. Hal ini semakin menguatkan anggapan bahwa banyak penduduk merupakan beban pembangunan suatu wilayah. I.2 Rumusan Masalah Dari berbagai permasalahan yang ada pada latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah dampak dari permasalahan kependudukan Indonesia terhadap pembangunan? BAB II KERANGKA TEORI II.1 Pengertian penduduk Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan menetap. Pertumbuhan penduduk diakibatkan oleh tiga komponen yaitu: fertilitas, mortalitas dan migrasi. II.1.1 Fertilitas (Kelahiran) Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup. Natalitas mempunyai arti yang sama dengan fertilitas hanya berbeda ruang lingkupnya. Fertilitas menyangkut peranan kelahiran pada perubahan penduduk sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan penduduk dan reproduksi manusia. 2.1.2 Mortalitas (Kematian) Mortalitas atau kematian merupakan salah satu di antara tiga komponen demografi yang dapat mempengaruhi perubahan penduduk.Informasi tentang kematian penting, tidak saja bagi pemerintah melainkan juga bagi pihak swasta, yang terutama berkecimpung dalam bidang ekonomi dan kesehatan.Mati adalah keadaan menghilangnya semua tanda tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Data kematian sangat diperlukan antara lain untuk proyeksi penduduk guna perancangan pembangunan. Misalnya, perencanaan fasilitas perumahan, fasilitas pendidikan, dan jasa jasa lainnya untuk kepentingan masyarakat.Data kematian juga diperlukan untuk kepentingan evaluasi terhadap program program kebijakan penduduk. 2.1.3 Migrasi

Migrasi merupakan salah satu faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Peninjauan migrasi secara regional sangat penting untuk ditelaah secara khusus mengingat adanya densitas (kepadatan) dan distribusi penduduk yang tidak merata, adanya faktor faktor pendorong dan penarik bagi orang orang untuk melakukan migrasi, di pihak lain, komunikasi termasuk transportasi semakin lancar. Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara atau pun batas administratif/batas bagian dalam suatu negara. Jadi migrasi sering diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah ke daerah lain. Migrasi antar bangsa (migrasi internasional) tidak begitu berpengaruh dalam menambah atau mengurangi jumlah penduduk suatu negara kecuali di beberapa negara tertentu yang berkenaan dengan pengungsian, akibat dari bencana baik alam maupun perang.Pada umumnya orang yang datang dan pergi antarnegara boleh dikatakan berimbang saja jumlahnya. Peraturan peraturan atau undang undang yang dibuat oleh banyak negara umumnya sangat sulit dan ketat bagi seseorang untuk bisa menjadi warga negara atau menetap secara permanen di suatu negara lain. II.2 Pengertian Pembangunan Problem mendasar bagi suatu bangsa atau negara adalah mencari wujud kondisi masyarakat secara ideal dan bagaimana cara merealisasikannya. Penelusuran formula ideal dan strategi perubahan masyarakat ini dapat disebut sebagai pembangunan. Beban ini secara formal diamanatkan kepada negara melalui pemerintahan yang ada didalamnya, sehingga dalam kurun masa tertentu, pemerintahan suatu negara bertugas melakukan pembangunan pada seluruh warga negara tersebut menuju kondisi yang lebih baik. Secara terminologis, di Indonesia pembangunan identik dengan istilah development, modernization,westernization, empowering, industrialization, economic growth, europanization, bahkan istilah tersebut juga sering disamakan dengan term political change. Identifikasi pembangunan dengan beberapa term tersebut lahir karena pembangunan memiliki makna yang multi-interpretable, sehingga kerap kali istilah tersebut disamakan dengan beberapa term lain yang berlainan arti. Makna dasar dari development adalah pembangunan. Artinya, serangkaian upaya atau langkah untuk memajukan kondisi masyarakat sebuah kawasan atau negara dengan konsep pembangunan tertentu. Di Indonesia, makna developmentalisme mengalami perkembangan dari konsep ideal tentang sebuah tatanan kesejahteraan masyarakat yang diformulasikan oleh negara-negara Barat. Format kesejahteraan ini kemudian mengalami perdebatan ketika developmentalisme sedikit banyak dipraktekkan ketika zaman Orde Baru berkuasa. Perdebatan ini terjadi karena pada dasarnya makna developmentalisme dan kesejahteraan sangat tergantung dari konteks dimana istilah tersebut digunakan dalam melihat keadaan.2 Modernization bermakna melakukan formulasi ulang atas sesuatu yang asalnya primitif atau tradisional, menuju kondisi yang lebih baik secara fisik. Pengertian ini menekankan adanya perubahan atau pertambahan bentuk fisik dari kondisi asalnya. Empowering bermakna upaya memberdayakan sesuatu untuk lebih berdaya lagi dari kondisi sebelumnya. Titik tekan istilah ini ada terletak pada penambahan kemampuan yang dimiliki oleh obyek prosesempowering. Jika ada seorang manusia yang asalnya hanya mampu membaca dan memahami sepuluh lembar tulisan dalam satu jam, lalu melalui proses tertentu kemampuan tersebut bertambah menjadi seratus lembar tulisan dalam satu jam, maka ilustrasi tersebut dapat dikategorikan sebagai akibatempowering. Industrialization identik dengan istilah industrialisasi. Term ini bermakna perubahan atau peralihan orientasi mata pencaharian dari yang bersifat agraris atau bercocok tanam menuju

bentuk pekerjaan industri. Manusia tidak lagi memposisikan dirinya untuk tergantung penuh pada produk jadi alam dalam memenuhi kebutuhannya, namun lebih pada pemanfaatan sumberdaya alam untuk mendapatkan kebahagiaan dengan kemampuan teknologi yang dimiliki manusia. Economic growth dapat diartikan dengan pertumbuhan ekonomi.Artinya, ketika berbicara tentang pembangunan, maka tidak dapat dilepaskan dari peningkatan kemampuan ekonomi dari manusia yang menjadi pelaku pembangunan itu sendiri.Muara dari economic growth adalah kemakmuran yang juga dapat menjadi tanda bahwa pembangunan telah berhasil dilakukan. Term europanization muncul sebagai dampak konsep pembangunan yang diterapkan di Indonesia, bahwa kiblat kemajuan adalah negara-negara Eropa.Jika Indonesia ingin mencapai kemajuan atau kemakmuran yang diinginkan, maka Indonesia harus meniru negara-negara Eropa, karena disanalah letak kemajuan tersebut. Jadilah upaya imitasi gaya hidup tersebut menjadi bagian dari terminologi europanization di Indonesia. Istilah ini juga dekat dengan westernization atau kebarat-baratan. Political change adalah perubahan politik. Artinya, perubahan kondisi politik sebuah negara akan membawa dampak pada arah pembangunan yang dilakukan di negara tersebut, sehingga sekecil apapun pengaruhnya, perubahan politik akan ikut mewarnai orientasi, langkah dan model pembangunan yang sedang berjalan di sebuah negara tertentu. Dari beberapa penelusuran makna pembangunan secara kebahasaan tersebut, dapat ditentukan beberapa nilai dasar dari konsep pembangunan.Pertama, pembangunan mengandung makna proses. Ada tahapan-tahapan atau proses tertentu yang harus dilalui ketika pembangunan tersebut dilakukan. Daur proses itupun dapat dimulai melalui satu titik dan berakhir pada titik lain, lalu dimulai lagi dari titik awal dimana sebelumnya telah dimulai.3 Kedua, pembangunan mengandung arti perubahan menuju arah yang lebih baik. Ada pertambahan nilai (value) dan guna (utility) dari obyek pembangunan. Dalam hal ini, dapat juga dikatakan bahwa ada tujuan dan target tertentu dalam pembangunan.Ketiga, terdapat subyek, metode dan obyek dalam pembangunan.Ada subyek yang melakukan pembangunan, ada rangkaian langkah yang menjadi panduan, dan terdapat juga obyek atau sasaran pembangunan.

BAB III PEMBAHASAN III.1 Permasalahan penduduk di Indonesia Pembangunan suatu bangsa berkaitan erat dengan permasalahan kependudukannya. Suatu pembangunan dapat berhasil jika didukung oleh subjek dan objek pembangunan, yakni penduduk yang memiliki kualitas dan kuantitas yang memadai. III.1.1 Permasalahan kuantitas penduduk di Indonesia : a) Jumlah penduduk Indonesia Penduduk dalam suatu negara menjadi faktor terpenting dalam pelaksanaanpembangunan karena menjadi subjek dan objek pembangunan. Manfaat jumlah penduduk yang besar adalah: 1. Penyediaan tenaga kerja dalam sumber daya alam. 2. Mempertahankan keutuhan Negara dari ancaman yang berasal dari bangsa lain. Selain manfaat yang diperoleh, ternyata Negara Indonesia yang berpenduduk besar, yaitu nomor 4 di dunia menghadapi masalah yang sangat rumit yaitu 1. Pemerintahan harus dapat menjamin terpenuhi kebutuhan hidup.

Dengan kemampuan pemerintah yang masih terbatas masalah ini sulit diatasi sehingga berakibat seperti masih banyak nya penduduk kekurangan gizi makanan, timbulnya pemukiman kumuh. 2. Penyidiaan lapangan kerja, sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan serta fasilitas social lainnya. Dengan kemampuan dana yang terbatas masalah ini cukup sulit diatasi, oleh karena itu pemerintah menggalakkan peran serta sector swata untuk mengatasi masalah ini b) Pertumbuhan penduduk Indonesia. Secara nasional pertumbuhan penduduk Indonesia masih relative cepat, walaupun ada kecenderungan menurun. Antara tahun 1961 1971 petumbuhan penduduk sebesar 2,1% per tahun, tahun 1971 1980 sebesar 2,32% per tahun, tahun 1980 1990 sebesar 1,98% per tahun, dan periode 1990 2000 sebesar 1,6% per tahun. Keluarga berencana merupakan suatu usaha untuk membatasi jumlah anak dalm keluarga, demi kesejahteraan keluarga. Dalam program setiap keluarga dianjurkan mempunyai dua atau tiga anak saja atau merupakan keluarga kecil. Dengan terbentuknya keluarga kecil diharapkan semua kebutuhan hidup anggota keluarga dapat terpenuhi sehingga terbentuklah keluarga yang sejahtera. Dua tujuan pokok program keluarga berencana yaitu: 1. Menurunkan angka kelahiran agar pertumbuhan penduduk tidak melebihi kemampuan peningkatan produksi. 2. Meningkatkan kesehatan ibu dan anak untuk mencapai keluarga sejahtera. c) Persebaran penduduk yang tidak merata Persebaran penduduk di Indonesia tidak merata baik persebaran antar pulau, provinsi, kabupaten maupun perkotaan dan pedesaaan. Pulau jawa dan Madura yang luasnya hanya + 7% dari seluruh wilayah daratan Indonesia, dihuni lebih kurang 60% penduduk Indonesia. Perkembangan kepadatan penduduk di pulau jawa dan Madura tergolong tinggi, yaitu tahun 1980 sebesar 690 jjiwa tiap tiap kilometer persegi, tahun 1990 menjadi 814 jiwa dan tahun 1998 menjadi 938 jiwa per kilometer persegi (km2). Akibat dari tidak meratanya pendudukan, yaitu luas lahan pertanian di jawa semakin sempit. Lahan bagi petani sebagian dijadikan pemukiman dan industry. Sebaliknya banyak lahan yang diluar jawa belum dimanfaatkan secara optimal karena kekurangan sumber daya manusia. Sebagian besar tanah di luar jawa dibiarkan begitu saja tanpa ada kegiatan pertanian. Keadaan demikian tentunya sangat tidak menguntungkan dalam melaksanakan pembanggunan wilayah dan bagi pertahanan kemanan Negara. Factor factor yang menyebabkan tingginnya tingkat imigrasi ke pulau jawa, antara lain karena pulau jawa: a) sebagai pusat pemerintahan. b) Sebagian besar tanahnya merupakan tanah vulkanis yang subur. c) Merupakn pusat kegiatan ekonomi dan industry sehingga banyak tersedia lapangan kerja. d) Tersedia berbagai jenjang dan jenis pendidikan. e) Memilki sarana komunikasi yang baik dan lancer. Persebaran penduduk antar kota dan desa juga mengalami ketidakseimbangan. Perpindahan penduduk dari desa ke kota di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu. Urbanisasi yang terus terjadi menyebabkan terjadinya pemusatan penduduk dikota yang luas wilayahnya terbatas. Pemusatan penduduk di kota-kota besar juga dapat menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan seperti: 1. Munculnya pemukiman liar 2. Sungai-sungai tercemar karena dijadkan tempat embuangan sampah baik oleh masyarakat maupun pabrik industry. 3. Terjadinya pencemaran udara dari asap kendaraan dan industry.

4. Timbulnyaberbagai permasalahan social seperti perampokan,pelacuran dan lain-lain. Oleh karena dampak yang dirasakan cukup besar,maka perlu ada upaya untuk meratakan penyebaran penduduk ditiap-tiap daerah. d) Susunan penduduk Indonesia Sejak sensus penduduk tahun 1961, piramida penduduk Indonesia berbentuk limas atau ekspansif. Artinya pada periode tersebut, jumlah penduduk usia muda lebih banyak daripada penduduk usia tua. Susunan penduduk yang seperti itu memberikan konsekuensi terhadap hal-hal berikut: 1. Penyediaan fasilitas kesehatan. 2. Penyediaan fasilitas pendidikan bagi anak usia sekolah 3. Penyediaan lapangan pekerjaan bagi penduduk kerja 4. Penyediaan fasilitas social lainnya yang mendukung perkembangan penduduk usia muda. III.1.1.1 Upaya-upaya Pemecahan Permasalahan Kuantitas Penduduk Indonesia Upaya pemerintah mengatasi permasalahan kuantitas penduduk antara lain, dengan pengendalian jumlah dan pertumbuhan penduduk serta pemerataan persebaran penduduk. a. Pengendalian jumlah dan pertumbuhan penduduk : Dilakukan dengan cara menekan angka kelahiran melalui pembatasan jumlah kelahiran, menunda usia perkawinan muda, dan meningkatkan pendidikan. b. Pemerataan Persebaran Penduduk : Dilakukan dengan cara transmigrasi dan pembangunan industri di wilayah yang jarang penduduknya. Untuk mencegah migrasi penduduk dari desa kekota, pemerintah mengupayakan berbagai program berupa pemerataan pembangunan hingga ke pelosok, perbaikan sarana dan prasarana pedesaan, dan pemberdayaan ekonomi di pedesaan. III.1.2 Permasalahan Kualitas Penduduk di Indonesia 1. Tingkat kesehatan penduduk yang rendah Meskipun telah mengalami perbaikan, tetapi kualitas kesehatan penduduk Indonesia masih tergolong rendanh. Indicator untuk melihat kualitas kesehatan penduduk adalah: a. Angka kematian : angka kematian yang tinggi menunjukkan tingkat kesehatan yang rendah b. Angka harapan hidup : angka harapan hidup yang tinggi menunjukkan tingkat kesehatan penduduk yang baik Kualitas kesehatan penduduk tidak dapat dilepaskan dari pendapatan penduduk. Semakin tinggi pendapatan penduduk maka pengeluaran untuk membeli pelayanan kesehatan semakin tinggi. Penduduk yang pendapatannya tinggi dapat menikmati kualitas makanan yang memenuhi standar kesehatan. 2. Tingkat pendidikan penduduk yang rendah Tingkat pendidikan bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur kualitas SDM penduduk suatu negara. Kualitas SDM berhubungan dengan produktivitas kerja. Orang yang tingkat pendidikannya tinggi diharapkan punya produktivitas yang tinggi. Kenyataan yang terjadi di Indonesia adalah banyak orang berpendidikan tinggi (sarjana) tetapi menganggur. Keadaan demikian tentu sangat memprihatinkan. Orang yang menganggur menjadi beban bagi orang lain (keluarganya). Tingkat pendidikan diharapkan berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan. Sehingga pembangunan dalam bidang pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah membawa dampak positif yang signifikan terhadap kesejahteraan penduduk. 3. Lama Sekolah Lama sekolah seseorang dapat menunjukan tingkat pendidikannya. Lama sekolah penduduk Indonesia masih tergolong rendah. Artinya, tingkat pendidikan masyarakat Indonesia rata-rata masih berada pada taraf pendidikan dasar.

4. Tingkat melek huruf Seseorang dikatakan melek huruf jika orang tersebut dapat membaca atau tidak buta huruf. Kemajuan tingkat melek huruf di Indonesia tergolong pesat. 5. Tingkat Pendapatan per Kapita (Percapita Income=PcI) rendah Pendapatan per kapita adalah rata-rata pendapatan penduduk suatu Negara dalam satu tahun. Pendapatan perkapita secara umum menggambarkan kemakmuran suatu Negara. Meskipun tidak termasuk Negara miskin, jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan cukup besar. sebanyak 37,5 juta penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan menurut standart yang ditetapkan PBB. Kemakmuran berbanding lurus dengan kualitas SDM, semakin tinggi kualitas SDM maka penduduk semakin tinggi pula tingkat kemakmurannya. Banyak Negara yang miskin sumber daya alam tetapi tingkat kemakmuran penduduknya tinggi. Indonesia dikenal sebagai Negara yang kaya sumber daya alam,namun mengapa banyak penduduk Indonesia yang hidup miskin? III.1.2.1 Upaya-upaya Pemecahan Permasalahan Kualititas Penduduk Indonesia 1. Tingkat kesehatan yang rendah diatasi dengan: Pembangunan fasilitas kesehatan kesehatan seperti pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan rumah sakit umum daerah (RUSD) pelayanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin. 2. Tingkat pendidikan yang rendah diatasi dengan Penyediaan fasilitas pendidikan yang lebih lengkap dan merata di semua daerah di Indonesia, penciptaan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, peningkatan kualitas tenaga pengajar (guru dan dosen) di lembaga pendidikan milik pemerintah, penyediaam program pelatihan bagi para pengajar dan pencari kerja, mempelopori riset dan penemuan baru dalam IPTEK di lembaga lembaga pemerintah. 3. Tingkat pendapatan yang rendah. Penciptaan perangkat hukum yang menjamin tumbuh dan berkembangnya usaha/ investasi, baik PMDN atupun PMA, opmtimalisasi peranan BUMN dalam kegiatan perekonomian, sehingga dapat lebih banyak menyerap tenaga kerja, penyederhanaan birokrasi dalam perizinan usaha, pembangunan menyediakan fasilitas umum (jalan , telepon) sehingga dapat mendorong kegiatan ekonomi. III.2 Dampak Permasalahan Penduduk Terhadap Pembangunan Permasalahan kependudukan membawa dampak bagi pembangunan di Indonesia. Dampakdampak tersebut dapat dilihat dibawah ini : Ketidakmerataan penduduk menyebabkan tidak meratanya pembangunan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan masih terdapatnya daerah tertinggal, terutama daerahdaerah pedalaman yang jauh dari pusat kota. Ledakan penduduk akibat angka kelahiran yang tinggi menyebabkan semakin tingginya kebutuhan penduduk akan perumahan, bahan pangan, dan kebutuhan tersier lainnya. Ledakan penduduk juga mengakibakan angka beban ketergantungan menjadi lebih tinggi. Hal ini disebabkan angka usia non produktif lebih besar daripada usia produktif. Arus urbanisasi yang tidak diimbangi dengan pendidikan dan ketrampilan yang cukup menimbulkan masalah pengangguran, kriminalitas, prostitusi, munculnya daerah kumuh, dan kemiskinan di daerah perkotaan. Hal tersebut dapat menghambat pembangunan, baik di daerah pedesaan (daerah asal) maupun daerah perkotaan (tujuan). Timbulnya berbagai masalah kerusakan lingkungan akibat pertambahan penduduk manusia. Masalah kemacetan lalu lintas dapat mengurangi arus mobilitas penduduk, barang, dan jasa yang akan berakibat pada terhambatnya perkembangan ekonomi penduduk.

III.3. Kependudukan dalam Pembangunan Nasional Beberapa alasan yang melandasi pemikiran bahwa kependudukan merupakan faktor yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional, antara lain adalah bahwa kependudukan, atau dalam hal ini adalah penduduk, merupakan pusat dari seluruh kebijaksanaan dan program pembangunan yang dilakukan. Dalam GBHN dengan jelas dikemukakan bahwa penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Sebaliknya, pembangunan juga harus dapat dinikmati oleh penduduk yang bersangkutan. Dengan demikian jelas bahwa pembangunan harus dikembangkan dengan memperhitungkan kemampuan penduduk agar seluruh penduduk dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan tersebut.Sebaliknya, pembangunan tersebut baru dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang luas. Keadaan dan kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan tingkat kualitas yang rendah, menjadikan penduduk tersebut sebagai beban bagi pembangunan. Dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang. Karena dampaknya baru terasa dalam jangka waktu yang panjang, sering kali peranan penting penduduk dalam pembangunan terabaikan. Sebagai contoh,beberpa ahli kesehatan memperkirakan bahwa krisis ekonomi dewasa ini akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan seseorang selama 25 tahun kedepan atau satu genarasi. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kondisi sumberdaya manusia Indonesia pada generasi mendatang, 25 tahun setelah tahun 1997.demikian pula, hasil program keluarga berencana yang dikembangkan 30 tahun yang lalu (1968), baru dapat dinikmati dalam beberapa tahun terakhir ini. Dengan demikian, tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam rangka pembangunan nasional sama artinya dengan menyengsarakan generasi berikutnya. BAB IV PENUTUP Penduduk sebagai pusat dari semua kebijakan pemerintah memiliki suatu peranan penting juga dalam pembangunan. Karena penduduk sebagai subjek dan objek dari pembangunan itu sendiri. Kependudukan akan berbanding lurus dengan pembangunan jika disertai dengan kualitas SDM yang baik. Sehingga jumlah penduduk yang banyak dan tidak merata bisa menjadi sebuah keuntungan bagi Negara, bukan sebagai beban. Namun kondisi yang dihadapi Indonesia saat ini berbanding terbalik dengan diatas. Jumlah penduduk yang banyak dan tidak merata justru menjadi suatu permasalahan yang sangat sulit dan menjadi beban bagi Negara karena dapat menghambat pembangunan yang sekarang ini hanya mengejar pertumbuhan. Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan terbukti tidak berlangsung secara berkesinambungan dan tidak dinikmati oleh seluruh masyarakat, sehingga filosofi sebagai subyek dan obyek pembangunan tidak tercapai. Pembangunan tidak dirasakan sebagai milik rakyat, sehingga tidak mengakar. Apa yang terjadi kemudian adalah jika terjadi sedikit gejolak (seperti apa yang sedang dialami saat ini), maka gejolak tersebut menjadi sulit untuk diatasi, dan masyarakat menjadi kurang berpartisipasi dalam mengatasi gejolak yang ada. Hal ini disebabkan mereka tidak pernah merasa memiliki dan merasakan hasil pembangunan itu sendiri. Tafficing

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar.Trafficking in persons for labor may not attract as much publicity as trafficking in persons for sex, but it is a huge problem Data Perdagangan Manusia di Indonesia sejak 1993-2003 menunjukkan bahwa perdagangan manusia dengan modus menjanjikan pekerjaan banyak terjadi dan ini dialami oleh kalangan perempuan dan anak-anak. Dampak yang dialami para korban perdagangan manusia beragam, umumnya masuk dalam jurang prostitusi (PSK), eksploitasi tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan dari sisi Pelaku umumnya dilakukan oleh agen penyalur tenaga kerja dengan modus janji memberi pekerjaan dan dilakukan baik secara pasif (dengan iklan lowongan pekerjaan) maupun dengan aktif (langsung ke rumah-rumah penduduk) merekrut mereka yang memang mengharapkan pekerjaan. Eksploitasi tenaga kerja ini menjerumuskan para tenaga kerja pada system kerja tanpa upah yang jelas, tanpa ada syarat-syarat kerja, tanpa perlindungan kerja dan sebagainya layaknya kerja paksa. Hasil studi International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa di dunia sekitar 12,3 juta orang terjebak dalam kerja paksa. Dari jumlah itu, sekitar 9,5 juta pekerja paksa berada di Asia sebagai wilayah pekerja paksa yang paling besar. Sisanya, tersebar sebanyak 1,3 juta di Amerika Latin dan Karibia, 660 ribu orang di sub-Sahara Afrika, 260 ribu orang di Timur Tengah dan Afrika Utara, 360 ribu di negara-negara industri, dan 210 orang di negara-negara transisi. Dari korban kerja paksa itu 40-50 persennya merupakan anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun.

Perdagangan manusia semakin marak dikarenakan keuntungan yang diperoleh pelakunya sangatlah besar, bahkan menurut PBB perdagangan manusia ini adalah sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan sekitar 9,5 juta USD dalam pajak tahunan, selain itu perdagangan manusia juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang paling menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian uang (money laundring) perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen dan penyeludupanmanusia. Menurut hasil studi ILO keuntungan yang diperoleh dari perempuan, laki-laki dan anak-anak yang diperdagangkan diperkirakan mencapai 32 miliar US dolar setiap tahunnya. Keuntungan yang diambil dari pekerja paksa yang diperdagangkan itu setiap orangnya kurang lebih sebesar 13 dolar AS. Sehingga, dalam satu tahun keuntungan yang diperoleh bisa mencapai 32 miliar dolar AS. Ekploitasi tenaga kerja itu tidak hanya terjadi di sektor informal tapi juga terdapat di berbagai sektor, misalnya pertanian, kontruksi, pembuatan bata, bengkel dan manufaktur. Pada umumnya terjadi di negara yang sedang berkembang. Kerja paksa tersebut kemungkinan besar terjadi di wilayah denganpengawasan ketenagakerjaan yang tidak memadai antara lain terhadap agen penyalur tenaga kerja dan sistem sub kontrak.

Negara Indonesia lebih dari satu dekade ini telah menjadi Negara pemasok tenaga kerja terbesar kedua di dunia setelah Filipina. Sekitar 72 persen pekerja migran tersebut berjenis kelamin perempuan. Tenaga kerja asal Indonesia itu, 90 persennya bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Negara Malaysia, Singapura, Hongkong,Taiwan, Korea Selatan, dan Timur Tengah. Sampai sekarang dalam hubungan struktur sosial kemasyarakatan, perempuan dan anak-anak juga seringkali ditempatkan pada posisi marginal yang terabaikan. Khususnya perempuan, dalam masyarakat kita masih ditempatkan pada posisi nomor dua atau dimarjinalkan. Sehingga konsekuensinya, perempuan seringkali dianggap sebagai obyek dan barang yang diperjual belikan. Oleh karenanya, perempuan dan anak-anak rentan menjadi korban segala bentuk kekerasan dan eksploitasi, termasuk didalam keluarga inti mereka sendiri.

Masalah perdagangan manusia (khususnya anak dan perempuan) di Indonesia saat ini bisa dikatakan berada pada "titik nadir" yang sangat memperhatinkan. Kemiskinan, harus diakui, memang menjadi "momok" yang menakutkan bagi sebagain besar masyarakat Indonesia, yang sampai sekarang belum bisa keluar dari problem tersebut. Karena faktor ekonomis inilah modus operandi perdagangan manusia tersebut lebih banyak berkedok penawaran lapangan kerja, sehingga menyeret sebagian perempuan dan anak-anak Indonesia kedalam praktek trafficking.

I.2 1. 2.

Rumusan Masalah Apakah Faktor-faktor yang mempengaruhi Bagaimanakah Respon dari pemerintah terhadap masalah trafficking ini ?

BAB II PEMBAHASAN II.1 Pengertian Human Trafficking Human Trafficking (khusunya anak dan perempuan) secara konseptual adalah pemindahan dari dukungan sosial atau keluarganya melalui proses direkrut, dikirim, dipindahkan, ditampung, dan diterima oleh perseorangan atau kelompok dengan menggunakan kekerasan, penculikkan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan seseorang untuk tujuan eksploitasi

seksual, ponografi, kerja paksa, prostitusi dan bentuk-bentuk lain serupa perbudakan. Secara sederhana, trafficking adalah sebuah bentuk perbudakan modern. Dengan diundangkannya UU 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang rumusan tentang perdagangan orang/human trafficking yang terdapat dalam UU ini menjadi rujukan utama. Pasal 1 angka 1 menyebutkan: Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi dapat meliputi, paling tidak, adalah: 1. Eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual. 2. Kerja atau pelayanan paksa. 3. Perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan. 4. Penghambaan. 5. Pengambilan organ-organ tubuh. Definisi trafficking yang paling banyak diterima di seluruh dunia adalah definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengatakan bahwa trafficking adalah: "perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan atau penerimaan orang ini, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau jenis paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau tunjangan untuk mencapai kesepakatan seseorang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi." Memang definisi yang diberikan dalam protokol PBB tahun 2000 tersebut terasa masih rumit bagi orang awam, karena menggunakan bahasa teknis hukum. Namun, dari definisi tersebut, setidaknya ada tiga tahap bagaimana kejahatan trafficking itu terjadi. Pertama, proses, meliputi perekrutan atau pengiriman atau pemindahan atau penampungan atau penerimaan. Kedua, jalan atau cara, meliputi ancaman atau pemaksaan atau penculikan atau penipuan atau kebohongan atau kecurangan atau penyalagunaan kekuasaan. Dan ketiga, tujuan, yaitu prostitusi atau ponografi atau eksploitasi seksual atau kerja paksa dengan upah yang tidak layak atau perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan. Jika ketiga tahapan tersebut terpenuhi, maka satu kasus dapat dikatakan sebagai human trafficking atau perdagangan manusia. Dan Persetujuan dari korban tidak lagi relevan bila salah satu dari tiga tahap yang tercantum tersebut digunakan. Trafficking, menurut International Catholic Migration Commission (ICMC) dan American Center for International Labor Solidarity (ACILS) tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat korban rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma kejiwaan (psikologi) dan bahkan kematian. Pelaku traffickingmenipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak

kekerasan fisik untuk menjerumuskan korban ke dalam prostitusi, pornografi, kerja paksa, perbudakan dan lain-lain. Pelaku trafficking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh mereka. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh para pelaku terhadap korban antara lain.: 1. Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri; 2. Menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi; 3. Memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur; 4. Mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya; Membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong; 5. Membuat korban tergantung pada pelaku trafficking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam "perlindungan" dari yang berwajib; dan 6. Memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman; Selain cara-cara diatas yang kerap dilakukan oleh para pelaku trafficking ada beberapa bentuk traffickingyang terjadi khususnya pada anak-anak dan perempuan baik di dalam maupun di luar negeri. Antara lain, kerja paksa seks dan eksploitasi seks, pembantu rumah tangga, penari, penghibur, kedok pertukaran budaya, pengantin pesanan, penjualan bayi, dan buruh anak. Perlu diingat bahwa kasus perdagangan manusia ini dapat terjadi dalam lingkup domestik antara desa dan kota (urbanisasi) maupun lintas batas negara (trans-nasional). II.2 Faktor yang Mempengaruhi Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh ILO-IPEC pada tahun 2003 di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jakarta, dan Jawa Barat memperkuat bahwa trafficking di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks karena juga diperluas oleh faktor ekonomi dan sosial budaya. Kualitas hidup miskin di daerah pedesaan dan desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik membuat anak dan orang tua rentan dieksplotasi oleh para pelaku trafficking. Disamping diskriminasi terhadap anak perempuan, seperti kawin muda, nilai keperawanan, pandangan anak gadis tidak perlu pendidikan tinggi menjadi kunci faktor pendorong. Anak-anak yang di-trafficking bekerja dengan jam kerja relatif panjang dan rawan kekerasan fisik, mental, dan seksual. Mereka tidak mempunyai dukungan atau perlindungan minimal dari pihak luar. Kesehatan mereka juga terancam oleh infeksi seksual, perdagangan alkohol dan obat-obatan terlarang. Karena itu tidak ada satu pun kasus trafficking di Indonesia secara khusus disebabkan oleh satu hal/penyebab saja. Trafficking disebabkan kondisi dan persoalan yang berbeda-beda. Misalnya, pertama,kurangnya kesadaran, banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya trafficking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan. Kedua kemiskinan, kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang. Ketiga, keinginan cepat kaya, keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat

orang-orang yang bermigrasi rentan terhadap trafficking. Selain persolan tersebut, perdagangan manusia juga dipicu oleh faktor-faktor budaya masyarakat yang juga memberikan kontribusi terhadap terjadinya praktektrafficking. Pertama, peran perempuan dalam keluarga: Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka. Kedua, peran anak dalam keluarga: Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap praktek trafficking. Ketiga, perkawinan dini: Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap praktek trafficking hal ini disebabkan kerapuhan ekonomi mereka. Keempat, sejarah pekerjaan karena jeratan hutang: Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan. Keempat, kurangnya pencatatan kelahiran: Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafficking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang perdagangkan, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya. Kelima, kurangnya pendidikan: Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skilldan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah diperdagangkan karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian. Dan keenam, korupsi & lemahnya penegakan hukum: Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafficking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafficking karena migrasi ilegal. Kurangnya anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha traffickingmenghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelakutrafficking. Kondisi geografis Indonesia yang kepulauan, juga disinyalir sangat rentan terhadap praktekpraktek kejahatan kemanusian ini. Sehinga tidak berlebihan jika Indonesia di identifikasikan sebagai negara yang menjadi pengirim, tempat transit dan penerima korban trafficking. Menurut Kepala Bidang Reserse dan Kriminal (Kaba Reskrim) Polri Komisaris Jenderal (Komjen) Erwin Mappaseng, ada tiga pintu perdagangan yang cukup besar di Indonesia, antara lain Batam, Entikong (Kalimantan Barat), dan Manado. Yang kesemua daerah ini pengawasan terhadap perbatasannya sangat lemaah dan sering dijadikan jalur penyeludupan manusia secara ilegal. Kompleksitas penyebab terjadinya trafficking di Indonesia memang membutuhkan perhatian khusus dan komitmen yang kuat dari berbagai elemen masyarakat. Praktek trafficking biasanya terselubung dengan berbagai tabir mulai budaya/kultural, politik maupun kepentingan ekonomi. Maraknya perdagangan manusia juga berkembang pesat karena bisnis ini menjanjikan keuntungan yang sangat besar, seperti bisnis haram lainnya, sehingga tidak mengherankan bisnis

perdagangan manusia ini merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan senjata dan narkotika. Ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, lemahnya penegakkan hukum, perbatasan antar negara yang rentan terhadap penyeludupan manusia, dan lain sebagainya membuat para pelaku trafficking lebih leluasa untuk menggaet korbannya dengan berbagai bujuk rayu. II.3 Respon Pemerintah Perdagangan manusia (human trafficking) memang telah cukup lama menjadi masalah nasional dan internasional bagi berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Isu perdagangan manusia (khusunya anak dan perempuan) mulai menarik perhatian banyak pihak di Indonesia tak kala ESCAP (Komite Sosial Ekonomi PBB untuk Wilayah Asia-Pasifik) mengeluarkan pernyataan yang menempatkan Indonesia bersama 22 negara lainnya pada peringkat ke-tiga atau terendah dalam merespon isu ini. Negara dalam peringkat ini dikategorikan sebagai negara yang tidak mempunyai standar pengaturan tentang perdagangan manusia dan tidak mempunyai komitmen untuk mengatasi masalah ini. Tidak sebatas pernyataan, ESCAP kemudian bersama organisasi perburuhan internasional (ILO) telah mengeluarkan ancaman untuk memberikan sanksi yang berat bagi Indonesia apa bila hingga tahun 2003 tidak mengeluarkan langkah-langkah apa pun. Ancaman serupa datang pula dari pemerintah Amerika Serikat yang akan mencabut fasilitas GSP (fasilitas umum perdagangan bagi negara berkembang) bagi negara-negara yang bermasalah dengan human trafficking, termasuk Indonesia. Trafficking in Persons Report June 2001 yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat juga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-tiga dalam upaya penanggulangan perdagangan anak. Negara-negara dalam peringkat ini dikategorikan sebagai (1) negara yang memiliki korban dalam "jumlah yang besar," (2) pemerintahannya belum sepenuhnya menerapkan "standar-standar minimum" serta (3) tidak atau belum melakukan "usaha-usaha yang berarti" dalam memenuhi standar pencegahan dan penanggulangan perdagangan anak. Menanggapi desakan-desakan internasional tersebut pemerintah Indonesia kemudian berupaya keras merespon dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi persoalan perdagangan manusia. Kebijakan penting yang dihasilkan kemudian adalah munculnya Keputusan Presiden No 88 Tahun 2003 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak yang di tanda tangani pada tanggal 30 Desember 2002 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. Tidak itu saja, di parlemen sekarang juga sedang di godok RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Disisi lain, kalangan masyarakat sipil terutama LSM mulai aktif melakukan langkah-langkah untuk turut menangani persoalan ini. Peran media massa yang banyak mengungkap kasus perdagangan manusia turut memberikan kontribusi penting bagi tersosialisasinya isu ini. Pada bulan Februari 2004 di Pulau Batam, terjadi pertemuan empat negara yaitu Amerika Serikat (AS), Indonesia, Malaysia dan Singapura. Pertemuan itu membahas tentang upaya memerangi kejahatan kemanusiaan bersindikat internasional, yaitu perdagangan manusia (human trafficking). Pertemuan itu diprakarsai langsung oleh pemerintah Indonesia bekerja sama dengan AS dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional. AS mengajak tiga negara dikawasan Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk tidak menolerir perdagangan manusia. AS juga meminta agar semua negara tidak menjadikan perempuan, seks, dan perbudakan sebagai objek penghasil uang.

Tujuan pertemuan tersebut tidak lain adalah ingin merumuskan tiga agenda aksi yang harus dilakukan LSM dan aparat penegak hukum dalam memerangi trafficking, yaitu penanggulangan korban, pencegahannya, dan penegakan hukum kasus-kasus trafficking. Yang tak kalah penting, salah satu butir rekomendasi konferensi, menjadikan Batam sebagai pelopor memerangi kasuskasus perdagangan manusia. Mengingat daerah ini sebagai tempat transit sebagian besar perempuan dan anak yang akan diperdagangkan ke luar negeri. Namun dalam perjalanannya ternyata Indonesia dinilai masih belum serius dalam menangani dan mencegah terjadinya perdagangan manusia. Hal itu menyusul menurunnya peringkat Indonesia dari Tier 2 menjadi Tier 2 Watch List (Tingkat 2 Daftar Pengamatan Khusus). Peringkat itu dikeluarkan US Departement of State pada 5 Juni 2006 lalu. Departemen yang langsung dibawahi Gedung Putih tersebut melakukan investigasi ke berbagai daerah di Indonesia. Posisi itu menyebabkan posisi Indonesia sama dengan Malaysia dan Kamboja. Indonesia diturunkan peringkatnya karena dianggap gagal oleh Pemerintah Amerika Serikat dalam memberikan bukti terhadap adanya peningkatan usaha-usaha untuk memerangi perdagangan manusia, yaitu salah satunya perangkat hukum yang bisa mengancam para pelaku perdagangan manusia. Memang upaya pemerintah dalam melindungi warganya dari tindak perdagangan manusia dinilai oleh beberapa kalangan masih belum optimal. Koordinasi aparat penegak hukum untuk mencegah dan menindak sindikat perdagangan manusia belum bisa dikatakan berhasil. Walaupun sudah banyak kasus-kasus yang mengindikasikan trafficking telah dibongkar oleh aparat kepolisian. Namun tetap saja, materi hukum yang kita punya sekarang tidak cukup untuk menanggapi kompleksitas kejahatan perdagangan manusia (human trafficking). Ada dua UU yang paling relevan dalam kejahatan ini, yaitu UU KUHP Pasal 297 dan UU Perlindungan Anak tahun 2002 Pasal 83. Hanya saja kedua UU ini tidak memberi definisi perdagangan manusia. Ketiadaan definisi ini membawa masalah serius dalam penerapan kedua UU itu dalam kasus yang seharusnya dikategorikan sebagai perdagangan manusia. Problem ini ditemukan, misalnya, dalam kasus sindikat perdagangan perempuan di bawah umur asal Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Dalam kasus ini ternyata pelaku hanya dituntut dengan tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur, menipu data tenaga kerja, atau menganiaya calon tenaga kerja wanita (TKW). Ancaman hukumannya 2,8 tahun penjara. Hukuman ini terlampau ringan dibandingkan bila menggunakan Pasal 297 KUHP yang berbunyi "Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun. Dari uraian panjang diatas menurut kami setidaknya ada dua hal yang harus menjadi agenda kebijakan strategsi pemerintah dalam mencegah dan memberantas praktek trafficking di Indonesia yaitu melalui pendidikan dan penegakkan hukum (undang-undang). 1. Pendidikan Peningkatan pendidikan telah menjadi perhatian semua pihak dan keberpihakan tersebut terutama ditujukan kepada anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin, anak jalanan, dan juga kepada mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Pemerintah harus memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat miskin untuk memperoleh layanan pendidikan yang memadai, secara gratis dan cuma-cuma. Pemerintah perlu mengembangkan sistem pendidikan nasional yang berpihak kepada orang miskin (pendidikan untuk orang miskin) dan juga yang dapat menggembangkan keterampilan Pendidikan yang ditawarkan di Indonesia saat ini sangat mahal dan biayanya sulit dijangkau oleh orang-orang miskin. Karenanya, mereka memilih untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka, sebab beban biaya pendidikan yang ada, tidak sebanding dengan kemampuan keuangan mereka.

Bahkan anak-anak mereka yang usia sekolah harus bekerja menjadi tulang punggung bagi perekonomian keluarga. Kondisi seperti ini sangat rentan bagi anak terjerumus kedalam praktekpraktek tarfficking. Peran pendidikan dalam mempengaruhi budaya masyarakat juga sangat tinggi. Budaya-budaya masyarakat yang selama ini memberikan kontribusi terhadap terjadinya praktek trafficking setidaknya akan semakin terkikis, dengan pendidikan yang dimiliki masyarakat. Di masyarakat Indramayu misalnya menilai anak adalah aset yang harus produktif secara ekonomis. Sehingga dengan berbagai cara anak dipaksa untuk memberikan kontribusi pada keluarga, padahal dukungan keluarga pada pendidikan anak sangat rendah. Akibatnya anak terpaksa pergi ke luar daerah atau ke luar negeri untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar, terutama menjadi pekerja rumah tangga karena tidak memiliki keterampilan kerja. Hal ini dikarena pendidikan (keterampilan) yang dimiliki si anak tidak memadahi. 2. Penegakkan Hukum Turunnya peringkat Indonesia dari Tier 2 menjadi Tier 2 Watch List di mata pemerintah AS disebabkan Indonesia belum bisa memberikan bukti adanya peningkatan usaha-usaha untuk memerangi perdagangan manusia, yaitu salah satunya perangkat hukum yang bisa mengancam para pelaku perdagangan manusia. Beberapa perangkat hukum di Indonesia memang dirasa belum secara spesifik membahas perdagangan manusia. Seperti yang diungkapkan diatas tadi ada dua UU yang paling relevan dalam kejahatan ini, yaitu UU KUHP Pasal 297 dan UU Perlindungan Anak tahun 2002 Pasal 83. Namun keduanya tidak memberi definisi secara spesifik tentang perdagangan manusia. Akibatnya membawa masalah serius dalam penerapan kedua UU ini. Untuk mencegah dan memberantas praktek perdagangan manusia ini baik pemerintah pusat (nasional) maupun pemerintah daerah sebenarnya telah menerbitkan undang-undang dan peraturan yang dapat menjerat para pelaku trafficking. Di tingkat nasional misalnya ada RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Kepres No 88 Tahun 2003. Kemudian beberapa pemerintah daerah telah membuat Peraturan Daerah (Perda) yang bisa melindungi dan minimal memberi sanksi administrasi pada pelaku pelaku trafficking. Misalnya Perda di Sumbawa (Perlindungan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia Asal Sumbawa) selain itu Perda Sulawesi Utara tentang Pencegahaan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia terutama Perempuan Dan Anak dan Perda Provinsi Sumatra Utara tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak. Namun tetap saja belum bisa memutus mata rantai praktek perdagangan manusia. Selama ini sudah sering kasus-kasus perdagangan manusia diajukan ke meja hijau, namun hasilnya ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Dalam kondisi seperti inilah peran aparat penegak hukum harus lebih ditingkatkan. Di sinilah, kita amat berharap bahwa aparat penegak hukum (polisi, hakim, jaksa, imigrasi) mampu berdiri di garda terdepan dalam menanggulangi kejahatan kemanusiaan ini. Jika tidak, maka mata rantai perdagangan manusia masih tetap tertata rapi dan akan makin besar. Perdagangan manusia sungguh sangat biadab, perbuatan itu menggerogoti jalinan masyarakat dan merusak nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, semua pihak harus memberi kontribusi nyata bagi penanggulangannya. Karena kompleksnya masalah perdagangan manusia ini, maka perlu upaya menggalang kerja sama melalui kemitraan yang menjadi satu-satunya cara yang harus dikembangkan di masa datang supaya penanganan masalah ini menjadi lebih efektif. Mengatasi permasalahan perdagangan manusia tidak hanya melibatkan satu lembaga, akan tetapi harus melibatkan semua

pemangku kepentingan yang ada di masyarakat, yaitu instansi-instansi pemerintah, LSM, media, organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam sebuah kemitraan. Secara umum,Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pelaksana yang mengatur masalah perlindungan hukum pekerja perempuan dan pekerja anak yang berkaitan dengan hal ini dapat dirinci di antaranya: a. UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan b. UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri c. UU No. 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan d. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1999 yang meratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 Tahun 1957 Tentang Penghapusan Kerja Paksa (Abolition of Forced Labour Convention). e. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 yaitu UU yang meratifikasi Konvensi ILO No. 138 1973 Tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja. f. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 yang meratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Menghapus Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Buat Anak. g. KEP. 224/MEN/2003 Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 h. KEP. 226 /MEN/2003 Tata cara Perizinan Penyelenggaraan Program Pemagangan di Luar Wilayah Indonesia i. KEP. 235 /MEN/2003 Tentang Jenis-jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan Keselamatan atau Moral Anak j. KEP. 01/MEN/VI/2004 Tatacara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh k. KEP. 15/MEN/VII/2004 Perlindungan bagi anak yang melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat. l. KEP. 112/MEN/VII/2004 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Dan Transmigrasi RI No : KEP.226/MEN/2003 Tentang Tata Cara Perizinan Penyelenggaraan Program Pemagangan Di Luar Wilayah Indonesia. Secara normatif perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan dan anak dipayungi oleh UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dimana dalam rumusannya secara khusus mengatur tentang pekerja perempuan dan pekerja anak. Dalam Bab X khusus menyangkut perlindungan atas pekerja anak, perempuan, dan penyandang cacat:

Pasal 68 jo Pasal 69 UU 13 Tahun 2003 mengatur bahwa anak dilarang untuk dipekerjakan, kecuali bagi anak usia 13 sampai 15 tahun dapat melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan social. Pasal 76 UU 13 Tahun 2003 mengatur tentang perlindungan pekerja perempuan di tempat kerja. Selain itu juga ketentuan dalam UU ini memuat larangan diskriminasi bagi pekerja laki-laki dan perempuan. Khusus dalam UU 39 tahun 2004 tentang PPTKI diperuntukkan bagi pekerja/buruh migran (TKI yang bekerja ke luar negeri). UU inilah sesungguhnya yang secara langsung berkenaan dengan pencegahan dan upaya penanggulangan perdagangan tenaga kerja perempuan dan anak ke luar wilayah negara Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam UU 39 tahun 2004:9

bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan objek perdagangan manusia termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 Tahun 1957 Tentang Penghapusan Kerja Paksa (Abolition of Forced Labour Convention), menuangkannya dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1999. Konvensi ini mengharuskan kerja paksa dalam bentuk apapun harus dihapus dari perundangan nasional, selain itu juga Negara wajib menerapkan hukuman pada orang-orang yang secara illegal menerapkan kerja paksa/kerja wajib.

II.4 Contoh Kasus Pemberantasan Trafficking Belum Optimal NurulArifin.Com Kenapa usaha pemberantasan perdagangan orang berjalan lambat? Pertanyaan itu muncul dari salah satu peserta Dialog Interaktif bertajuk Trafficking, Kebijakan dan Implementasinya, pada hari Rabu (27/10) di Gedung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPARI), Jakarta. Peserta tersebut resah terhadap kejahatan perdagangan orang yang relatif tak diperhatikan. Bandingkan dengan kejahatan terorisme, yang disikapi dengan pembentukan Densus 88 dan diliput secara bersemangat oleh media. Emmy Luci Sammy, dari Indonesia Asian Child Trafficking (Indo-Acts), menjelaskan bahwa adanya ketidakpahaman di banyak pihak mengenai trafficking. Data yang didapat dari pemantauan Yayasan Kakak di daerah Surakarta memberitahukan, di tahun 2009 ada 9 kasus perdagangan anak. Namun karena polisi tak memahami trafficking hanya 2 kasus yang diproses dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO). Emmy menambahkan, defenisi trafficking dalam UUPTPPO sudah bisa menjerat semua bentuk trafficking. UUPTPPO sudah cukup baik, hanya saja pemahaman aparat hukum yang kurang serta tak berpihak pada perspektif korban trafficking, membuat UU ini tak digunakan dalam menjerat pelaku trafficking, tegas Emmy. Lisna Yoelani dari Badan Nasional dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), memberitahukan bahwa ketidakpahaman trafficking juga terjadi di masyarakat, tepatnya para tenaga kerja wanita (TKW) yang kerap menjadi korban trafficking. Ketidaktahuan ini membuat para TKW mudah terkena penipuan, perekrutan tak resmi, pemalsuan dokumen, pelecehan seksual dan menjadikan calon TKW sebagai pekerja seks komersil (PSK). Karena itu, cara awal melindungi TKW agar tak menjadi korban trafficking salah satunya dengan memberikan pendidikan dan informasi yang benar dan lengkap. Agam Bekti Nugraha dari Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KPPA) menambahkan dengan menjelaskan peranan Gugus Tugas UUPTPPO sebagai pelaksana UU.

Merupakan peran Gugus Tugas UUPTPPO untuk mengkoordinasikan dan bekerjasama dalam mengadvokasi korban dan mensosialisasi trafficking. Kami semua melaksanakan peran itu, hanya saja kami akui belum maksimal, ujar Agam terbuka. Satu perwakilan dari kepolisian, yang namanya tak mau disebutkan, menjelaskan keadaan di kepolisian terkait kejahatan trafficking. Menurutnya, masyarakat dan anggota kepolisian, umumnya masih memandang trafficking sebagai bentuk bisnis dan profesi. Selain masalah pandangan sosial itu, logika hukum pidana yang melekat di para anggota polisi, ternyata tak selaras dengan logika hukum UUPTPPO. Logika hukum pidana berkata satu saksi bukanlah saksi, dan laporan korban tidak diterima. Sedangkan logika UUPTPPO membolehkan laporan korban menyertai alat bukti, jelasnya. Polisi yang tergabung dalam International Criminal Investigative Training (ICITAP) ini menambahkah, selama ini pelatihan bagi polisi sudah dilakukan untuk pemahaman dan keberpihakan terhadap korban trafficking. Tapi diakui usaha kami belum optimal, karena kurangnya jumlah personil dan dana, ujarnya. Pemaparan para pembicara ditanggapi oleh dua panelis. Yeremias Wuton dari International Organization for Migration (IOM) menekankan bahwa segala pihak yang terlibat dalam pemberantasan trafficking harus bisa menjelaskan dan menyelesaikan trafficking di skup nasional antar daerah yang jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan trafficking lintas negara Indonesia dengan negara luar Indonesia. Sedangkan panelis kedua, Anis Hidayah dari Migrant Care, menekankan pada pembangunan terminal khusus di setiap lokasi pemberangkatan atau pemulangan tenaga kerja Indonesia, dan usaha yang optimal dari Gugus Tugas. Dialog interaktif ini diadakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan, bekerjasama dengan KPPPARI dan dukungan Terre Des Hommes, sekaligus meluncurkan Jurnal Perempuan edisi 68 berjudul Trafficking dan Kebijakan. Dari kegiatan ini dihasilkan sejumlah rekomendasi sikap: pertama, pencanangan Hari Anti Trafficking Nasional. Kedua, evaluasi Pasal 2 (ayat 1) UUPTPPO yang terkesan melindungi trafficking transnasional melalui Indonesia. Ketiga, koordinasi antar pihak yang optimal dan efektif. Keempat, menyadarkan pada semua pihak pentingnya berpihak pada perspektif korban. Kelima, revisi UU Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negari (2004). Keenam, komitmen bersama memerangi trafficking. [jurnal perempuan]

BAB III

PENUTUP

III.1

Kesimpulan

Human Trafficking merupakan suatu bentuk kejahatan yang memperdagangkan manusia baik itu perempuan ataupun anak-anak untuk dieksploitasi baik sebagai pekerja seks maupun sebagai tenaga kerja illegal. Human Trafficking di Indonesia dapat dikatakan cepat laju pertumbuhannya. Factor utama yang melatarbelakanginya adalah karena kemiskinan dan sedikitnya lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia. Kasus yang sering terjadi adalah pengiriman perempuan dan anak-anak sebagai pekerja seks atau tenaga kerja illegal sebagai buruh kasar di luar negeri. Pada tataran politis pemerintah telah menunjukkan keseriusan untuk menghapuskan perdagangan manusia termasuk perdagangan tenaga kerja, ini dibuktikan dengan telah dibuatnya undangundang,kebijakan serta badan badan atau lembaga yang dapat melindungi masyarakat dari bahaya perdagangan manusia serta diratifikasinya konvensi-konvensi internasional dan menuangkannya dalam peraturan nasional. Namun,dapat dikatakan juga bahwa penerapannya belum maksimal. Hal ini dimungkinkan karena masih minimnya usaha pemerintah dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya perdagangan manusia. Selain itu, celah tersebut baik berasal dari peraturan perundang-undangan yang secara substansi masih belum jelas dan tegas, juga dari segi penegakannya masih parsial/sektoral sebaiknya dilakukan kerjasama terpadu antar instansi.

III.2 Saran Adapun saran yang dapat kelompok kami berikan untuk melawan perdagangan manusia di Indonesia, yaitu: 1. Membuat kebijakan yang tegas tehadap human trafficking 2. Membuat pendekatan penghapusan terhadap human trafficking 3. Mendefinisikan kembali pencegahan 4. Mengakhiri toleransi terhadap perdagangan manusia ilegal baik itu perdagangan seks atau pengiriman tenaga kerja secara illegal ke luar negeri 5. Pembentukan polisi khusus untuk membasmi human trafficking 6. Mengakhiri diskriminasi terhadap korban dalam penangkapan dan perdagangan manusia 7. Meningkatkan tindakan tegas terhadap pelaku bisnis perdagangan manusia 8. Melatih para penegak hukum untuk memahami perilaku pebisnis perdagangan manusia dan para korban 9. Membuat strategi untuk memerangi pasar yang berbeda untuk korban

10. Me-review pendekatan negara terhadap fenomena perdagangan manusia

Kebijakan penanggulangan kemiskinan BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat. Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika kemiskinan dibicarakan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan diberbagai bidang yang ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Selain itu, kondisi miskin dapat berakibat antara lain: (i) secara sosial ekonomi dapat menjadi beban masyarakat, (ii) rendahnya kualitas dan produktifitas sumber daya manusia di daerah, (iii) rendahnya partisipasi aktif masyarakat, (iv) menurunnya ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; (v) menurunnya kepercayaan masayarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; dan (vi) kemungkinan pada merosotnya mutu generasi (lost generations). Penanggulangan kemiskinan merupakan prioritas nasional empat setelah Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola, Pendidikan, dan Kesehatan. Makalah ini menjelaskan mengenai Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan selama masa pemerintahan SBY-Boediono yang tertuang dalam Visi SBY Boediono 2009-2014 adalah Terwujudnya Indonesia Yang Mandiri, Maju, Adil, Dan Makmur [Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 17/2007]. Misi SBY Boediono 2009-2014: Mewujudkan Indonesia Yang Lebih Sejahtera, Aman Dan Damai Dan Meletakkan Fondasi Yang Lebih Kuat Bagi Indonesia Yang Adil Dan Demokratis. I. 2 Rumusan Masalah Ada pun rumusan permasalahan makalah ini, yaitu: 1. Bagaimana profil kemiskinan di Indonesia hingga tahun 2011 ini? 2. Bagaimana kerangka pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan? 3. Bagaimana penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas nasional empat? 4. Bagaimana program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia? I. 3 Tujuan 1. Melaksanakan tugas kelompok mata kuliah Kebijakan Kependudukan. 2. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. I. 4 Manfaat 1. Mengetahui profil kemiskinan di Indonesia hingga tahun 2011 ini.

2. Mengetahui kerangka pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan. 3. Mengetahui program-program pemerintah tentang penanggulangan kemiskinan. BAB II PEMBAHASAN II. 1 Kemiskinan Hall dan Midgley (2004:14), menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat. John Friedman, kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada) modal yang produktif atau assets (misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lainnya) sumber-sumber keuangan, organisasi sosial danm politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang; pengetahuan, keterampilan yang memadai dan informasi yang berguna (Richard Quinney, 1979). Pengertian kemiskinan ada bermacam-macam. Pengertian kemiskinan yang perlu diketahui dan dipahami adalah sebagai berikut: 1. Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari. 2. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera apabila: a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya. b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari. c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja atau sekolah dan bepergian. d. Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah. e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. 3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1,00 per hari. Menurut Nasikun (1995) ada tiga pandangan mengenai kemiskinan yaitu: 1. Kemiskinan berarti tidak cukupnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan yang paling medasar untuk menjaga keberlangsungan kehidupan (standard of living). Standar hidup ini tentunya perlu ditetapkan secara obyektif. 2. Rendahnya pendapatan harus diukur secara subyektif, yakni relative rendah terhadap pendapatan orang lain di dalam masyarakat. 3. Kemiskinan dihubungkan dengan Usaha seseorang untuk mendapatkan pendapatan yang memadai. Indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga. Masyarakat Miskin

Menurut Gunawan Sumodiningrat (2000), masyarakat miskin secara umum ditandai oleh ketidakberdayaan atau ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal: 1. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation). 2. Melakukan kegiatan usaha produktif (unproductiveness). 3. Menjangkau sumber daya sosial dan ekonomi (inacceribility). 4. Menentukan nasibnya diri sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik (vulnerability); dan 5. Membebaskan diri dari mental budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor). Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan tersebut menumbuhkan perilaku miskin yang bermuara pada hilangnya kemerdekaan untuk berusaha dan menikmati kesejahteraan secara bermartabat. II. 2 Penyebab Kemiskinan Kemiskinan sesungguhnya dapat disebabkan oleh keterbatasan kesempatan sebagian besar rakyat Indonesia untuk mengakses sumber daya yang sebenarnya dapat berfungsi untuk menghasilkan income (pendapatan), seperti keterbatasan modal dan asset untuk usaha dan keterbatasan akses terhadap pelayanan sarana dan prasarana kesehatan dan sanitasi. Selain itu, tingginya tingkat kemiskinan di negara kita juga disebabkan oleh rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam kaitannya dengan kualitas SDM, tentu kita dapat melihat bagaimana kondisi dunia pendidikan kita. Apakah usaha pemerintah untuk melakukan pemerataan dan memajukan dunia pendidikan di negara kita sudah benar-benar terwujud. Seperti kebijakan sertifikasi guru yang telah ditetapkan pemerintah. Karena nyatanya hingga kini banyak guru yang mengajar di sekolah (baik SD, SMP maupun SMU) kualitas keilmuannya masih sangat memprihatinkan. Meskipun para guru telah mendapatkan kenaikan gaji dan tunjangan profesi guru. Lalu, bagaimana kualitas SDM Indonesia akan meningkat, kalau SDM (tingkat keilmuan) gurunya saja masih rendah. Tentu kondisi ini lagi-lagi akan menjadi kendala pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Padahal pendidikan merupakan modal terpenting untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup rakyat Indonesia. Maka tak salah kalau akhirnya Human Development Indeks (HDI) yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional menunjukkan bahwa posisi kualitas SDM Indonesia sangatlah rendah. Penyebab kemiskinan lain adalah budaya atau etos kerja rakyat Indonesia yang kini sudah terdegradasi oleh pengaruh perkembangan zaman. Kini, semangat untuk terus bekerja (melakukan apa saja) yang penting bisa menghasilkan uang (penghasilan) dengan cara yang halal demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga telah beralih pada etos kerja yang menghalalkan segala macam cara. Dan kini, budaya atau etos kerja itu telah mengalami penurunan dan beralih menjadi budaya malas yang tahunnya hanya meminta-minta saja. Makanya kini tidak heran kalau para pengemis, pengamen dan anak-anak jalanan kian menjamur di kota-kota besar dan merupakan suatu bukti bagaimana pola pikir masyarakat kita yang telah terdegradasi. Maraknya tindakan korupsi di berbagai lembaga pemerintahan kita juga merupakan penyebab lain, mengapa tingkat kemiskinan belum juga dapat ditekan. Karena miliaran hingga triliunan uang negara yang telah diselewengkan oleh berbagai pejabat di pemerintahan kita telah menimbulkan kerugian besar bagi keuangan negara. Di satu sisi negara ingin mengentaskan kemiskinan dengan mengucurkan berbagai aliran dana kepada rakyat miskin. Tetapi di sisi lain,

ternyata banyak aliran dana yang malah diselewengkan oleh pejabat-pejabat kita di pemerintahan hanya untuk kepentingan (memperkaya diri sendiri). Seharusnya dana yang diselewengkan oleh para koruptor tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomian di negara kita, termasuk membantu rakyat miskin. II. 3 Profil Kemiskinan Di Indonesia Maret 2011 Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen), turun 1,00 juta orang (0,84 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2010 yang sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen). Selama periode Maret 2010Maret 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang sekitar 0,05 juta orang (dari 11,10 juta orang pada Maret 2010 menjadi 11,05 juta orang pada Maret 2011), sementara di daerah perdesaan berkurang sekitar 0,95 juta orang (dari 19,93 juta orang pada Maret 2010 menjadi 18,97 juta orang pada Maret 2011). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah selama periode ini. Penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2010 sebesar 9,87 persen, menurun sedikit menjadi 9,23 persen pada Maret 2011. Di lain pihak, penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2010 sebesar 16,56 persen, juga menurun sedikit menjadi 15,72 persen pada Maret 2011. Peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan pada Maret 2010 dan Maret 2011 jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan bukan makanan lainnya), yaitu masing-masing sebesar 73,50 persen pada Maret 2010 dan sebesar 73,52 persen pada Maret 2011. Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai garis kemiskinan adalah beras, rokok kretek filter, gula pasir, telur ayam ras, mie instan, tempe, bawang merah, daging ayam ras ,dan tahu. Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya perumahan, listrik, pendidikan, dan angkutan. Pada periode Maret 2010Maret 2011, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. P1 menurun dari 2,21 pada Maret 2010 menjadi 2,08 pada Maret 2011, dan P2 menurun dari 0,58 pada Maret 2010 menjadi 0,55 pada Maret 2011. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekati Garis Kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.

II. 4 Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Dalam kerangka pelaksanaan strategi maka kebijakan penanggulangan kemiskinan meliputi 4 kategori kebijakan yang diselenggarakan secara terpadu, yakni: a. Kebijakan Perluasan Kesempatan (Promoting Opportunity) berkaitan dengan penciptaan iklim dan lingkungan yang kondusif dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Kebijakan tersebut meliputi: i. peningkatan alokasi fiskal untuk penanggulangan kemiskinan, ii. menciptakan sistem pajak dan subsidi yang adil, iii. merangsang investasi untuk daerah-daerah miskin, iv. peningkatan stabilitas moneter terutama yang berkaitan dengan pengendalian harga-harga kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat kurang mampu, v. peningkatan kinerja pelayanan publik,

vi. kebijakan peningkatan praktek pemerintahan yang baik dalam pengelolaan kebijakan penanggulangan kemiskinan, dan vii. peningkatan tanggung jawab pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan. b. Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment) berkaitan dengan upaya penguatan masyarakat beserta organisasi dan kelembagaannya untuk mampu mengakses dan terlibat dalam pengambilan kebijakan dan perencanaan publik. Kebijakan tersebut meliputi: i. Pendampingan manajemen dan informasi kepada lembaga ekonomi sosial masyarakat miskin. ii. Pengembangan forum lintas pelaku dalam komunikasi dan konsultasi baik antara pemerintah dan lembaga masyarakat, maupun antar lembaga masyarakat dalam kegiatan pengambilan keputusan publik. iii. Penguatan legalitas bagi penyusunan aturan masyarakat lokal dalam rangka otonomi daerah. iv. Penguatan akses terhadap kebutuhan dasar: pendidikan, kesehatan, perumahan, serta prasarana transportasi dan komunikasi. v. Peningkatan kapasitas lembaga dan organisasi masyarakat lokal dalam pengembangan demokrasi, partisipasi, dan resolusi konflik dalam rangka pemantapan ketahanan sosial masyarakat. vi. Penguatan akses dan kemampuan finansial, kemampuan organisasi modern, dan internalisasi budaya industri dalam proses industrialisasi dan pengembangan bisnis. vii. Pembangunan akses kepada pasar tenaga kerja yang lebih adil, baik antara tenaga kerja formal, informal maupun antara tenaga kerja lakilaki dan perempuan. viii. Pengembangan jaringan kerjasama antar organisasi masyarakat, pemerintah, dan swasta dalam rangka peningkatan pemasaran produk, penguatan posisi politis, kedudukan sosial dan etika berdemokrasi. c. Kebijakan Peningkatan Kemampuan (Capacity Building) berkaitan dengan upaya peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan, peningkatan ketrampilan usaha, ketrampilan usaha, permodalan, prasarana, teknologi, serta informasi pasar. Kebijakan tersebut meliputi: i. Peningkatan penyediaan dan pelayanan kebutuhan dasar yang langsung pada masyarakat miskin, terutama pangan, pendidikan, kesehatan, air bersih dan prasarana dan sarana dasar lainnya. ii. Pemberian potongan harga atau subsidi dalam berbagai pelayanan sosial dasar secara adil dan merata. iii. Penyediaan bantuan prasarana dan sarana sosial ekonomi yang menunjang kegiatan ekonomi produktif masyarakat miskin. iv. Penyediaan pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kemampuan serta pengembangan usaha bagi masyarakat miskin serta usaha mikro dan kecil. v. Kebijakan perbankan untuk peningkatan akses kredit dengan bunga terjangkau bagi penduduk miskin, usaha mikro, usaha kecil dan menengah. vi. Perbaikan akses dan regulasi yang mendukung kegiatan usaha mikro, kecil dan menengah, terutama di pemerintah daerah. vii. Pengembangan kelembagaan keuangan mikro dan perbankan yang mudah diakses oleh usaha mikro, kecil, dan menengah.

viii. Meningkatkan kapasitas usaha mikro, kecil, dan menengah melalui peningkatan skill, modal, teknologi, informasi, dan legal. ix. Pendampingan terhadap keluarga dan kelompok masyarakat miskin dalam pengembangan usaha dan kebiasaan hidup produktif. x. Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran antar usaha mikro, kecil, dan menengah bersama-sama dengan pemerintah dan organisasi non pemerintah atas dasar local resources based dan demand driven. d. Kebijakan Perlindungan Sosial (Social Protection) berkaitan dengan upaya memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat miskin, utamanya kelompok masyarakat yang paling miskin (fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, cacat) dan kelompok masyarakat miskin yang disebabkan oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi dan konflik sosial yang diarahkan melalui kemampuan kelompok masyarakat dalam menyisihkan sebagian dari penghasilan melalui mekanisme tabungan kelompok (pooled funds). Kebijakan tersebut meliputi: i. Meningkatkan penanganan jaminan sosial bagi anak terlantar dan fakir miskin. ii. Penanganan masyarakat miskin pada kawasan terisolir dan terbelakang. iii. Peningkatan kemampuan dan jaringan lembaga perlindungan sosial masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan jaminan sosial, khususnya pendidikan dan kesehatan. iv. Mengembangkan sistem jaminan sosial, terutama pada tingkat daerah yang mampu melindungi masyarakat dalam menangani fakir miskin, anak-anak terlantar, orang jompo, masa pensiun, bencana alam, krisis ekonomi, dan konflik sosial.

II. 5 Penanggulangan Kemiskinan sebagai Prioritas Nasional Dalam RPJM 2010-2014 Tema Prioritas: Penurunan tingkat kemiskinan absolut dari 14,15% pada 2009 menjadi 8-10% pada 2014 dan perbaikan distribusi pendapatan dengan pelindungan sosial yang berbasis keluarga, pemberdayaan masyarakat dan perluasan kesempatan ekonomi masyarakat yang berpendapatan rendah. SubtansiInti: 1.Bantuan Sosial Terpadu 2.PNPM Mandiri 3.KreditUsahaRakyat(KUR) 4.Tim Penanggulangan Kemiskinan Dalam Buku I RKP 2012 Tema Prioritas: Penurunan tingkat kemiskinan absolut dari 13,33% pada 2010 menjadi pada kisaran 11,5% pada 2012 dan perbaikan distribusi pendapatan dengan pelindungan sosial yang berbasis keluarga, pemberdayaan masyarakat dan perluasan kesempatan ekonomi masyarakat yang berpendapatan rendah. Arah Kebijakan Prioritas: Arah kebijakan untuk mendukung pencapaian sasaran tingkat kemiskinan tersebut dalam tahun 2012 adalah sebagai berikut: (i)Mendorongpertumbuhanekonomiyang berkualitasdanpro rakyat miskin dengan memberi perhatian khusus pada usaha-usaha yang melibatkan orang-orang miskin serta usahausahayang dapat menciptakan lapangan pekerjaan; (ii)Meningkatkan kualitas serta memperluas kebijakan afirmatif/keberpihakan untuk penanggulangan kemiskinan melalui perluasan 3 klaster program pro-rakyat yang dituangkan dalam pelaksanaan klaster 4;

(iii)Meningkatkan efektivitas pelaksanaan penurunan kemiskinan di daerah termasuk percepatan pembangunan daerah terpencil dan perbatasan; dan (iv)Menata dan meningkatkan kualitas pelaksanaan lembaga jaminan sosial. Dalam Buku II RKP 2012 FOKUS PRIORITAS 1: Peningkatan dan Penyempurnaan Kualitas Kebijakan Perlindungan Sosial Berbasis Keluarga. (i)Bantuan sosial terpadu diarahkan pada peningkatan perlindungan sosial berbasis keluarga bagi rumah tangga miskin. (ii)Penggunaan data keluarga miskin terpadu yang dihasilkan dari Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011 yang berbasis keluarga. FOKUS PRIORITAS 2 Penyempurnaan dan Peningkatan Efektivitas Pelaksanaan PNPM Mandiri. (i)Melanjutkan pelaksanaan PNPM Mandiri inti di 6.622 kecamatan di seluruh Indonesia; (ii)Peningkatan efektivitas dampak PNPM Mandiri dan peningkatan kualitas lembaga keswadayaan masyarakat yang sudah terbangun melalui PNPM Mandiri; (iii)Peningkatan kualitas dan perluasan integrasi PNPM Mandiri Inti dengan Penguatan, dengan pemanfaatan lembaga keswadayaan sebagai wadah partisipasi masyarakat terhadap pembangunan di wilayahnya dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan kecamatan; (iv)Peningkatan keterkaitan perencanaan di tingkat masyarakat dengan perencanaan reguler dalam mendukung proses perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin; (v)Peningkatan kegiatan ekonomi produktif dan infrastruktur skala kecil untuk memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat miskin dalam rangka meningkatkan kesejahterannya. Selanjutnya, pada tahun 2012 akan dilakukan pula: (i)Peningkatan cakupan pelayanan kepada masyarakat dengan masalah sosial terutama yang berada pada Rumah Tangga Miskin (RTM), serta korban bencana dan komunitas adat terpencil; (ii)Penyempurnaan kriteria, proses penargetan, serta proses seleksi penerima bantuan sosial, pengembangan sistem informasi manajemen yang berkualitas, serta peningkatan jumlah dan perluasan cakupan sasaran program; (iii)Perluasan cakupan Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi 1.516 ribu Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) serta mencakup wilayah timur Indonesia; (iv)Penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) melalui pemberian aset tanah yang layak terutama bagi kalangan kurang mampu sebanyak 219.391 bidang; (v)Penguatan akses dan kualitas pelayanan program KB bagi keluarga miskin di daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan didukung dengan promosi kebijakan pengendalian kependudukan serta peningkatan dukungan sarana dan prasarana pelayanan program KB dalam rangka mengendalikan pertumbuhan penduduk miskin serta meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin.

II. 6 Program-Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Kelompok Sasaran Penanggulangan Kemiskinan

Berdasarkan arah penanggulangan kemiskinan untuk peningkatan produktivitas dan meringankan beban pengeluaran masyarakat miskin maka secara umum kelompok sasaran penanggulangan kemiskinan berdasarkan kelompok usia adalah sebagai berikut: a. kelompok usia belum produktif (umur < 15 tahun); b. kelompok usia produktif (umur 15 60 tahun); c. kelompok usia tidak produktif ( umur > 60 tahun). Pengelompokkan tersebut merupakan kerangka umum yang dapat menjelaskan bahwa orientasi kebijakan peningkatan produktivitas ditujukan pada masyarakat miskin pada kelompok usia produktif, dan orientasi kebijakan untuk mengurangi beban pengeluaran ditujukan pada masyarakat miskin pada kelompok usia belum produktif dan tidak produktif. Selanjutnya dalam perencanaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang lebih operasional maka penetapan kelompok sasaran masyarakat miskin dikembangkan berdasarkan tujuan, sasaran, target program dan karakteristik wilayah di mana masyarakat miskin berada.

6. 1 Bantuan Sosial Terpadu Integrasi program perlindungan sosial berbasis keluarga yang mencakup program Bantuan Langsung Tunai (BLT) baik yang bersifat insidensial atau kepada kelompok marginal, bantuan pangan, jaminan sosial bidang kesehatan, beasiswa bagi anak keluarga berpendapatan rendah, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Parenting Education mulai 2010, serta Program Keluarga Harapan diperluas menjadi program nasional mulai 2011-2012. a. Bantuan Langsung Tunai Penyaluran BLT tahap pertama (Juni-Agustus) tahun 2009 mencapai total realisasi bayar 18.832.053 Rumah Tangga Sasaran (RTS) dengan total realisasi rupiah sebesar Rp. 5.694.615.900.000. Penyaluran BLT tahap kedua (September-Desember) mencapai total realisasi bayar 18.778.134 RTS dengan total realisasi rupiah sebesar Rp. 7.511.253.600.000. Artinya daya serapnya mencapai 98,74 persen dari total RTS. Provinsi dengan penyaluran tertinggi adalah Jawa Tengah sebesar 99,72 persen, sedangkan provinsi dengan penyaluran terendah adalah Kalimantan Tengah sebesar 83,32 persen. Secara keseluruhan penyaluran BLT oleh PT Pos ini sangat baik dan lancar. Sesuai hasil audit BPKP di 228 Kab/Kota, 878 Kecamatan dan 2.644 Desa/Kelurahan yang dilaksanakan serentak oleh 25 Kantor Perwakilan BPKP seluruh Indonesia, dihasilkan pencapaian pelaksanaan BLT-RTS tahun 2008 meliputi : ketepatan pendataan (86,16 persen), ketepatan penetapan (91, 74 persen), ketepatan jumlah dana yang diterima RTS (97 persen), ketepatan waktu distribusi KKB (87,83 persen), ketepatan waktu penyaluran BLT (90,34 persen) dan pemanfaatan dana BLT oleh RTS (93,86 persen). Aspek terpenting dari seluruh rangkaian penyaluran BLT adalah pendataan yang bermuara pada diberikannya Kartu Penerima BLT kepada Kepala RTS di rumah masing-masing yang diantar oleh petugas kantor pos. Dari hasil pengamatan di lapangan, Bappenas mencatat hanya 67,98 persen yang menerima kartu di rumah/kantor sendiri, sisanya menerima di kantor pos, kantor kelurahan atau di tempat lainnya. Pada saat akan mencairkan BLT di kantor pos, kendala yang banyak ditemui adalah banyaknya Kepala RTS yang mengaku kesulitan untuk menunjukkan bukti diri. Selain itu

pengambilan BLT juga tidak dapat diwakilkan, ketertiban dalam pengambilan BLT yang kurang sehingga harus berdesak-desakan, jauhnya jarak rumah tinggal dengan kantor pos terdekat serta biaya transpor yang tinggi. Penyaluran BLT dari PT Pos kepada RTS dilakukan tanpa terjadi pemotongan. Namun, masih terdapat berbagai pungutan dan pengaturan atas penggunaan BLT, diantaranya diminta untuk menyumbangkan sebagian uangnya untuk rumah tangga lain yang dianggap miskin tetapi tidak mendapat BLT, untuk membuat tanda bukti diri, untuk mengisi kas desa, bahkan diminta oleh aparat. Untuk daerah-daerah kepulauan/terpencil memerlukan tambahan sarana prasarana komunikasi, kantor pos atau tempat pembayaran BLT serta dukungan pendanaan yang memadai agar pelaksanaan program BLT-RTS dapat berjalan dengan lancar, khususnya di wilayah Kepulauan Indonesia Bagian Timur (Provinsi Maluku, Papua dan Papua Barat). Di samping itu, ada beberapa Kecamatan Pemekaran terutama di NTT yang belum memperoleh bantuan dana operasional dari Departemen Sosial. Evaluasi dampak program BLT terhadap kesejahteraan masyarakat miskin, diantaranya berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat konsumsi. Sedangkan terhadap perubahan status, RTS penerima BLT yang naik kelas dari kategori miskin menjadi tidak miskin adalah 35,1 persen, RTS yang tidak menerima BLT hanya 28,2 persen yang berpindah status dari kategori miskin menjadi tidak miskin. Sementara itu RTS penerima BLT yang turun dari kategori tidak miskin menjadi miskin adalah 5,3 persen. Bagi RTS yang tidak menerima BLT, yang turun dari kategori tidak miskin menjadi miskin mencapai 8,1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan program BLT untuk mempertahankan daya beli masyarakat miskin pada waktu Pemerintah menaikkan harga BBM telah dicapai. b. Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) Sasaran Program Raskin Tahun 2008 sebanyak 19,1 juta RTS. Subsidi Pemerintah untuk Program ini mencapai Rp. 11,66 Trilyun, dan untuk tahun 2009 dialokasikan menjadi Rp. 12,98 Trilyun. Realisasi Nasional hingga 31 Desember 2008 telah mencapai 96,64 persen dari Pagu Nasional sebesar 3.342.500 ton. Pada tahun 2009, disediakan pagu sebesar 3.329.514.360 kg selama 12 bulan untuk 18.497.302 RTS. Pemerintah daerah diminta untuk mengalokasikan anggaran, guna membantu pendistribusian dari Desa/Kelurahan ke tingkat RT/RW. Program Raskin 2009 yang telah disalurkan per 10 Maret 2009, mencapai 217 ribu ton atau 26,47 persen dari rencana penyaluran Januari-Maret 2009 sebanyak 822 ribu ton. c. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) Pada tahun 2007, penyaluran Askeskin mencapai Rp. 4,584 Trilyun. Sedangkan tahun 2008 mencakup anggaran sebesar Rp. 4,6 Trilyun. Untuk tahun 2009, alokasi yang tersedia mencapai Rp. 4,6 Trilyun untuk peserta sebanyak 76,4 juta orang dengan menggunakan sistem pelayanan yang sama dengan tahun 2008. d. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Kegiatan BOS diarahkan pada pencapaian sasaran wajib belajar sampai SMP untuk seluruh anak Indonesia. Selain itu, BOS juga diarahkan untuk menaikkan posisi Indonesia dalam

Human Depelovment Index (HDI), yang saat ini berada di posisi 109 dari 179 negara. Mengingat BOS pada dasarnya disalurkan untuk seluruh sekolah dan dinikmati oleh seluruh siswa (bukan hanya dari RTS), maka diusulkan agar BOS dikeluarkan dari program Bantuan dan Perlindungan Sosial, tetapi menjadi bagian dari program pembangunan pendidikan nasional. Untuk program Bantuan dan Perlindungan Sosial diusulkan untuk disertakan program Beasiswa Siswa Miskin yang juga telah tersedia anggarannya. Perlu diantisipasi dampak BOS bagi sekolah-sekolah negeri yang selama ini telah menjalankan pendidikan yang berkualitas, dengan dukungan biaya dari orang tua yang mampu. Dengan BOS, kemudian dinyatakan sekolah gratis, dan para pengelola dilarang memungut dana apapun dari orang tua. Padahal, pada beberapa sekolah, diduga bila biaya pendidikan dari BOS hanya 30-40 persen dari biaya yang selama ini dikeluarkan. e. Program Keluarga Harapan (PKH) Dalam persiapan program PKH tahun 2009 telah ditetapkan sasarannya sebanyak 720 ribu RT Sangat Miskin. Pembayaran Tahap I direncanakan akan dilaksanakan pada April-Mei 2009. Mulai saat ini, diperlukan persiapan dan pendataan sebagai antisipasi pelaksanan PKH 2010, terutama apabila PKH akan menjadi tulang punggung program bantuan dan perlindungan sosial, dalam rangka menjalankan amanah Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional.

6. 2 PNPM Mandiri Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Mandiri Perdesaan atau PNPM-Perdesaan atau Rural PNPM) merupakan salah satu mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang digunakan PNPM Mandiri dalam upaya mempercepat penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di wilayah perdesaan. Program pemberdayaan masyarakat ini dapat dikatakan sebagai program pemberdayaan masyarakat terbesar di tanah air. Dalam pelaksanaannya, program ini memusatkan kegiatan bagi masyarakat Indonesia paling miskin di wilayah perdesaan. Program ini menyediakan fasilitasi pemberdayaan masyarakat/ kelembagaan lokal, pendampingan, pelatihan, serta dana Bantuan Langsung untuk Masyarakat (BLM) kepada masyarakat secara langsung. Besaran dana BLM yang dialokasikan sebesar Rp750 juta sampai Rp3 miliar per kecamatan, tergantung jumlah penduduk. Dalam PNPM Mandiri Perdesaan, seluruh anggota masyarakat diajak terlibat dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif, mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana sesuai kebutuhan paling prioritas di desanya, sampai pada pelaksanaan kegiatan dan pelestariannya. Hasil PNPM Mandiri Perdesaan 1. Memperluas kesempatan usaha dan membuka lapangan kerja baru a. 62,5 juta Hari Orang Kerja (HOK) dihimpun melalui pekerjaan jangka pendek, yang melibatkan lebih dari 5,5 juta pekerja yang berasal dari masyarakat perdesaan dengan imbalan sesuai dengan harga setempat.

b. Dibukanya usaha dan jasa transportasi oleh masyarakat maupun pihak lain menyusul terbangunnya jalan, jembatan dan dermaga baru yang dikerjakan masyarakat dengan dana PNPM Mandiri Perdesaan. c. Lebih dari 1,57 juta warga desa, pedagang dan pengusaha kecil/ rumahtangga lokal, turut mendapatkan pinjaman dan berpartisipasi dalam kegiatan simpan pinjam PNPM Mandiri Perdesaan. 2. Dampak signifikan terhadap kenaikan belanja rumah tangga perdesaan Hasil studi di kecamatan lokasi PNPM Mandiri Perdesaan menunjukkan adanya peningkatan belanja rumah tangga yang cukup besar dibanding kecamatan non-program. Selanjutnya, semakin lama sebuah kecamatan menerima bantuan program, maka semakin besar dampaknya terhadap peningkatan belanja rumah tangga perdesaan. 3. Sasaran program yang berpihak pada orang miskin dan kesetaraan jender Berdasarkan berbagai studi dampak sosial dan ekonomi, PNPM Mandiri Perdesaan terbukti sukses dalam menentukan sasaran dan memberikan bantuan kepada kecamatan termiskin di Indonesia, dengan sasaran kelompok masyarakat miskin. Selain itu, PNPM Mandiri Perdesaan juga dinilai sukses memberdayakan kaum perempuan 4. Meningkatkan kapasitas, kinerja lokal dan kelembagaan Pembentukan model perencanaan dan pembiayaan partisipatif. a. Masyarakat Indonesia di lebih dari 34.100 desa telah turut berpartisipasi dalam proses demokrasi, berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan menyangkut alokasi dana bagi pembangunan publik di desa masing-masing b. Sekitar 62% dari peserta yang hadir dalam musyawarah perencanaan PNPM Mandiri Perdesaan merupakan kelompok masyarakat yang paling miskin di desanya, dan sekitar 70% tenaga kerja untuk kegiatan pembangunan sarana/ prasarana PNPM Mandiri Perdesaan berasal dari kelompok paling miskin c. Partisipasi perempuan dalam berbagai pertemuan dan kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan terus meningkat, berkisar antara 31-46% d. Rata rata swadaya masyarakat secara keseluruhan adalah 17% dan bervariasi di tiap provinsi. e. Sebanyak 82% masyarakat lokal di lokasi PPK kini menyatakan telah memiliki kemampuan berorganisasi dan kapasitas diri berkat peningkatan kapasitas yang menyertai pelaksanan PPK. Sebanyak 72% Unit Pengelola Kegiatan (UPK) di kecamatan lokasi PPK memiliki kinerja yang baik dan memadai, serta berpotensi untuk berkembang f. Tingginya komitmen pemerintah dan kontribusi mencapai 40% dari kabupaten-kabupaten pada PPK II, PPK III, serta PNPM-PPK yang menyediakan dana bersama (matching grants) dan cost sharing untuk pelaksanaan program. Semua kabupaten di PPK III dan PNPM-PPK menyediakan dana dari anggaran daerah untuk pelaksanaan program g. Akuntabilitas pemerintah dan peranan masyarakat madani lebih kuat. LSM dan jurnalis di provinsi PPK bertindak sebagai pengawas untuk memantau pelaksanaan PPK secara independen h. Program telah membangun mekanisme yang memungkinkan ketegangan yang diredakan. Hal ini terbukti dari keberhasilan pelaksanaan program di lokasi konflik dan bencana 5. Rendahnya tingkat korupsi Audit independen terhadap PPK yang dilaksanakan oleh Moores Rowland menemukan penyimpangan proyek desa ini kurang dari 1% dari total dana yang telah disalurkan. Pada kenyataannya, sejak digulirkan pada 1998 hingga saat ini, penyimpangan dana dalam program yang menjunjung semangat transparansi dan akuntabilitas ini sangat rendah, hanya sekitar 0,18% dari total dana yang telah disalurkan.

6. Meningkatkan akses ke pasar, pusat kota, fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan sumber air bersih di lebih dari 56% desa termiskin di seluruh Indonesia. PNPM Mandiri Perdesaan (melalui PPK dan PNPm-PPK) telah mendanai lebih dari 171.466 kegiatan sarana/ prasarana perdesaan di lokasi program di seluruh Indonesia. Berikut ini adalah daftar investasi PNPM Mandiri Perdesaan melalui PPK dan PNPM-PPK: a. 32.572 jalan dibangun atau ditingkatkan b. 8.755 jembatan dibangun atau direkonstruksi c. 10.510 sistem irigasi dibangun d. 9.940 unit sarana air bersih dan 4.589 unit Mandi Cuci Kakus (MCK) dibangun e. Untuk pendidikan, telah dibangun dan direnovasi sebanyak 6.411 sekolah; penyediaan alat dan materi penunjang belajar mengajar; diberikan lebih dari 117.270 beasiswa pendidikan untuk perorangan; dan mendanai 3.336 jenis kegiatan di bidang pendidikan lainnya f. Untuk kesehatan, telah dibangun dan direnovasi sejumlah 3.611 unit sarana dan pos kesehatan; serta mendanai 968 jenis kegiatan di bidang kesehatan lainnya 7. Tingginya tingkat pengembalian investasi -Menurut evaluasi ekonomi independen, bobot pengembalian investasi PNPM Mandiri Perdesaan berkisar antara 39-68%. Evaluasi lainnya menyebutkan, rata-rata EIRR untuk total kegiatan adalah 60,1%. Keuntungan yang paling dirasakan adalah terbentuknya kegiatan ekonomi baru melalui prasarana yang dibangun oleh PNPM Mandiri Perdesaan atau kapasitas produksi yang terbatas akhirnya dapat disalurkan ke pasar lokal. 8. Penghematan biaya dalam jumlah signifikan --Prasarana desa yang telah dibangun melalui metode PNPM Mandiri Perdesaan sangat hemat dalam pembiayaan. Rata rata 56% lebih murah dari pekerjaan sejenis yang dibangun oleh pemerintah maupun kontraktor. Berdasarkan studi konsultan independen diketahui, 94% prasarana yang dibangun dinilai berkualitas baik dan sangat baik secara teknis. 6. 3 Kredit Usaha Rakyat (KUR) Kredit Usaha Rakyat, yang selanjutnya disingkat KUR, adalah kredit/ pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah Koperasi (UMKM-K) dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif. KUR adalah program yang dicanangkan oleh pemerintah namun sumber dananya berasal sepenuhnya dari dana bank. Pemerintah memberikan penjaminan terhadap resiko KUR sebesar 70% sementara sisanya sebesar 30% ditanggung oleh bank pelaksana. Penjaminan KUR diberikan dalam rangka meningkatkan akses UMKM-K pada sumber pembiayaan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. KUR disalurkan oleh 6 bank pelaksana yaitu Mandiri, BRI, BNI, Bukopin, BTN, dan Bank Syariah Mandiri (BSM). Kredit Usaha Rakyat (KUR) bertujuan untuk memberikan kesempatan dan membuka akses bantuan permodalan untuk meningkatkan kemampuan usaha produktif masyarakat miskin dan hampir miskin, khususnya para pengusaha mikro dan kecil. Pada tahun 2008, jumlah nasabah KUR (sampai dengan 30 November 2008) sebanyak 1.566.859, nilai kredit yang direalisasikan sebesar Rp. 12.012 triliun dari target sampai Desember 2008 sebesar Rp. 14 triliun dan mencakup 2 juta nasabah. Pada tahun 2008, KUR telah membuka lapangan kerja untuk 4,59 juta orang. Pada tahun 2009, Pemerintah menambah dana jaminan KUR Rp. 2 triliun, sehingga total jaminan menjadi Rp. 3,4 triliun. Dengan demikian, nilai kredit KUR mencapai Rp. 34 triliun, dengan penambahan jumlah nasabah sebanyak 2 juta nasabah, sehingga total nasabah KUR menjadi 4 juta

BAB III PENUTUP Kesimpulan Kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2. 100 kalori per kapita per hari. Kemiskinan merupakan masalah yang sangat sulit untuk dihilngkan tetapi dapat ditekan jumlahnya melalui program-program yang telah dirancang. Dari sekian banyak program yang telah dilakukan pemrintah, program yang paling tepat dilaksanakan ialah melalui pengembangan dan permberdayaan usaha masyarakat terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang meliputi penajaman program, pendanaan, dan pendampingan. Pendampingan yang dimaksud di sini adalah program penyiapan, pemihakan dan perlindungan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program agar pendanaan yang disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik Untuk pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat di atas pendanaan disalurkan melalui dua jalur yaitu melibatkan peran lembaga keuangan baik bank maupun non-bank dan bantuan pemerintah dalam bentuk bantuan langsung kepada masyarakat (BLM). Melalui jalur lembaga keuangan dilakukan dengan menghimbau kepada bank-bank yang dikoordinasi oleh pemegang otoritas moneter (Bank Indonesia) untuk memprioritaskan business plan penyaluran kreditnya pada usaha-usaha mikro yang dimiliki oleh masyarakat. Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.

DAFTAR PUSTAKA Waskitho, Penyebab Kegagalan Kebijakan Dan Program Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia http://crackbone.wordpress.com/penyebab-kegagalan-kebijakan-dan- programpengentasan- kemiskinan-di-indonesia/ http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01jul11.pdf] 15 Nov 2011 19.10 http://musrenbangnas.bappenas.go.id/wpcontent/uploads/2011/04/Prioritas%20Nasional%20 4.pdf http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/PROS_2008_MAK4.pdf 15 Nov 2011 18.21

http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=29&id=3234&option=com_content&task=view Nov 2011 18.25 http://data.menkokesra.go.id/sites/default/files/SNPK_Ind.pdf 15 Nov 2011 18.48 http://www.pnpm-perdesaan.or.id/downloads/KOORDINASI%20PROGRAMPROGRAM%20PENANGGULANGAN%20%20KEMISKINAN%20DI%20INDON ESIA.pdf 15 Nov 2011 18.52 http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8496/ 15 Nov 2011 18.54

15

kebijakan gender BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Ketidaksetaraan gender merupakan hambatan utama menuju pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Sebaliknya, meningkatnya keadilan gender merupakan hal yang secara ekonomi masuk akal. Mengarusutamakan masalah-masalah gender ke dalam inisiatif, strategi, kebijakan, sasaran dan target pembangunan memerlukan pengertian menyeluruh atas konteks dinamika gender. Pengakuan atas perlunya memperbaiki status perempuan dan meningkatkan peranan potensinya di dalam pembangunan tak lagi hanya dipandang dari masalah hak asasi manusia atau keadilan sosial saja. Sementara upaya untuk kesejajaran gender masih tetap kuat tertanam dalam kerangka fundamental hak asasi manusia dan keadilan gender, investasi untuk perempuan kini juga diakui menentukan dalam pencapaian tujuan pembangunan yang berkesinambungan. Analisis ekonomi mengakui bahwa pendidikan dan pelatihan yang rendah mutunya, tingkat kesehatan dan status nutrisi rendah, serta akses yang terbatas terhadap sumberdaya tak hanya menekan kualitas hidup perempuan saja, namun juga membatasi produktivitas dan menghalangi pertumbuhan dan efisiensi ekonomi. Dengan demikian, peningkatan dan perbaikan status perempuan perlu dikejar, atas alasan kesejajaran dan keadilan sosial dan juga karena alasan rasa ekonomi dan merupakan praktek pembangunan yang baik. Secara menyeluruh, program pembangunan yang mencakup langkah-langkah dalam memberikan kesempatan ekonomi yang luas kepada perempuan dan meningkatkan pendapatan mereka, atau memperbaiki kesehatan dan pendidikan perempuan, dapat menghasilkan efisiensi. Kebijakan umum dalam mengurangi ketidaksejajaran gender sangat dibutuhkan untuk memperkecil kegagalan pasar dan hal itu memperbaiki kesejahteraan seluruh anggota masyarakat. Diskriminasi terhadap perempuan baik dalam lingkup pribadi rumah tangga dan lingkup umum menyebabkan tidak hanya kerugian terhadap individu, namun juga kerugian terhadap keadaan sosial dan ekonomi seluruh masyarakat. Sehingga, demi kepentingan negara itu sendiri, untuk meningkatkan, mendukung, menyempurnakan dan memastikan peranserta perempuan dalam mengecap secara bersama-sama pembangunan yang seimbang. Kajian-kajian tentang gender memang tidak bisa dilepaskan dari kajian teologis. Hampir semua agama mempunyai perlakuan-perlakuan khusus terhadap kaum perempuan. Ketimpangan peran sosial berdasarkan jender masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama. Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan laki-laki. Tidak mustahil di balik kesadaran teologis ini terjadi manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan struktur patriarki, yang secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat. Berbagai ketidakadilan gender tersebut diharapkan dapat dihapuskan melalui kebijakankebijakan publik dalam semua bidang kehidupan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa diskriminasi terhadap perempuan pada dasarnya tidak diperbolehkan, baik dilihat dari segi hukum internasional maupun hukum nasional. 1.2.Tujuan Adapun tujuan dari makalah ini adalah 1. Mengetahui pengertian gender 2. Mengetahui tentang kebijakan gender di Indonesia

3. 4. 5.

Mengetahui tentang implementasi kebijakan gender di Indonesi Mengetahui kesetaraan gender di Indonesia Gender dan desentralisasi

BAB 2 PEMBAHASAN 2.1. Konsep Gender Secara historis, konsep gender pertama sekali dibedakan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley yaitu ia membedakan antara gender dan seks. Perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi (menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya. Jadi kelihatan di sini gender lebih mengarah kepada simbol-simbol sosial yang diberikan pada suatu masyarakat tertentu Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Di dalam Womens Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan.Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. 2.1.1. Perbedaan Sex dengan Gender Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti jenis kelamin) lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya. Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan kepada aspek anatomi

biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak (child) menjadi seorang laki-laki (being a man) atau menjadi seorang perempuan (being a woman), lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (lovemaking activities), selebihnya digunakan istilah gender. 2.1.2. Isu Gender Isu gender sebagai suatu wacana dan gerakan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan telah menjadi pembicaraan yang cukup menarik perhatian masyarakat. Respons dan pendapat yang beragam bermunculan, mulai dari mendukung, menolak, menerima sebagai wacana teoretis tapi tidak bisa dilaksanakan secara empiris. Kondisi mendukung dan menolak ini bukan hanya dilakukan oleh laki-laki tetapi juga perempuan. Walaupun isu gender sebagai isu ketidakadilan, yang banyak mendapat ketidakadilan adalah pada perempuan, tetapi perempuan banyak menerima kondisi ketidakadilan itu sebagai suatu kondisi yang sudah seharusnya diterima 2.1.3. Analisa Situasi Gender Diawali dengan telahaan mengenai masalah-masalah penduduk dan demografi yang memperlihatkan struktur rumah tangga dan meningkatnya umur perkawinan pertama. Analisa mengenai kemiskinan dan Tujuan Pembangunan Milenium juga memperhatikan Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan Gender. Analisa kemiskinan menunjukkan bahwa ketika garis kemiskinan pendapatan telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, kerentanan terhadap kemiskinan masih menjadi isu utama, food poverty dan kekurangan gizi tidak boleh diabaikan. Dan juga mengidentifikasi ketidaksetaraan gender di bidang ketenagakerjaan dan partisipasi angkatan kerja, seperti juga halnya dalam akses ke sumberdaya produktif (lahan, kepemilikan dan jasa keuangan) serta modal manusia (pendidikan dan kesehatan).sedapat mungkin menggunakan lensa gender yang menonjolkan fakta bahwa dalam banyak kasus masih terdapat kekurangan data terpilah. 2.2. Kebijakan dan Undang-Undang Yang Mengatur Kesetaraan Gender di Indonesia 2.2.1. Tahap-Tahap Dalam Merumuskan Kebijakan Gender Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Berbeda dengan seks, perilaku gender adalah perilaku yang tercipta melalui proses pembelajaran, bukan sesuatu yang berasal dari dalam diri sendiri secara alamiah atau takdir yang tidak bisa dipengaruhi oleh manusia Pengarusutamaan gender adalah proses penilaian terhadap dampak suatu kegiatan pembangunan termasuk dampak dari suatu pembuatan peraturan, kebijakan dan program bagi laki-laki dan perempuan di semua tingkatan. Pengarusutamaan gender adalah strategi agar kebutuhan perempuan dan laki-laki dapat diintegrasikan dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi dari program yang dibuat sehingga perempuan dan laki-laki dapat memperoleh manfaat yang sama. Sesuai dengan definisi pengarusutamaan gender di atas seharusnya penentuan kebijakan juga memperhatikan isu gender sehingga dalam melahirkan sebuah kebijakan tidak bias gender atau terjadi kesenjangan gender.

Adapun tahapan yang dilalui dalam perumusan kebijakan dengan pengarusutamaan gender adalah:Pertama, perencanaan pembuatan dan pelaksanaan, dalam tahapan perencanaan diperlukan data statistic yang terpilih menurut jenis kelamin. Kedua, penerapan, penerapan program dan kebijakan yang responsif gender dapat bervariasi sesuai dengan kondisi setempat. Ketiga, partisipasi yaitu siapa yang terlibat dan memperoleh manfaat dari kebijakan tersebut. Selanjutnya keempat manajemen, yaitu pengelompokan keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam implementasi kebijakan dan terakhir pengawasan dan evaluasi yaitu pihak yang akan melakukan evaluasi dan pada tingkatan mana evaluasi dan pengawasan itu dapat dilakukan. 2.2.2. Kebijakan Gender di Indonesia Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur , dimana baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Pemahaman mengenai bagai-mana perbedaan gender yang menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada di dalam masyarakat.Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti, (1) marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi; (2) subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik; (3) pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif; (4) kekerasan (violence) berupa serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikis; (5) dan beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden). Dari segi hukum internasional, kebijakan gender dapat dirujuk pada konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yakni Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women (CEDAW). CEDAW ini telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Tujuan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan adalah untuk menciptakan suasana yang kondusif yang mendukung keberadaan perempuan dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang menjalankan peranannya dan dalam pemerolehan hak serta perlindungan hukum yang sama dengan laki-laki sebagai warga masyarakat. Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan berisi asas-asas dan upaya-upaya yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk membuat peraturan atau kebijakan tentang kesetaraan gender. Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi internasional penting yang menganut prinsipprinsip kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Rencana pembangunan jangka menengah Pemerintah untuk 2004-2009 mengidentifikasi pengarusutamaan gender sebagai target di bawah tema Membangun Indonesia yang Adil dan Demokratis. Meliputi kerangka hukum, kebijakan dan program pemerintah, serta lembaga-lembaga dan instrumen pengarusutamaan gender, baik di tingkat nasional maupun pemerintah lokal. Instrumen-instrumen pengarusutamaan gender termasuk Instruksi Presiden yang dikeluarkan tahun 2000 dan pedoman-pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan untuk pengarusutamaan gender yang diterbitkan tahun 2002. Pencapaian telah terlihat, termasuk penyusunan statistik data terpilah di beberapa propinsi, kabupaten dan kecamatan, penerapan Alur Analisis Gender (Gender Analysis Pathway) di beberapa kementerian, serta peningkatan permasalahan gender yang dicakup ke dalam rencana pembangunan tahunan pada tingkat kabupaten.

Namun demikian, masih banyak hal yang harus dilakukan. Masih sering terdapat kekurang pemahaman yang mendasar atas manfaat dan pentingnya pengarusutamaan gender dalam kebijakan dan program. Masalah gender masih dipandang sebagai masalah sosial semata dan tidak memiliki konsekuensi ekonomi. Unit pemberdayaan perempuan cenderung kekurangan staf dan sumberdaya, serta tidak ditempatkan secara strategis dalam struktur pemerintahan. 2.2.3. Undang-Undang tentang Kesetaran Gender di Indonesia Tujuan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan adalah untuk menciptakan suasana yang kondusif yang mendukung keberadaan perempuandalam kapasitasnya sebagai anggotamasyarakat yang menjalankan peranannyadan dalam pemerolehan hak serta perlindungan hukum yang sama denganlaki-laki sebagai warga masyarakat. Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan berisi asas-asas dan upaya-upaya yang harus dilakukan oleh negara-negara peserta untuk membuat peraturan yang diperlukan dalam rangka menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk dan perwujudannya. Konsekuensi logis dari diratifikasinya suatu konvensi internasional, adalah kewajiban untuk menindak lanjutinya di dalam tataran perundang-undangannasional serta pengimplementasinyannya di dalam berbagai bentuk kebijakanpublik, termasuk di dalamnya dalam upaya penegakan hukum serta penyelesaianperkara-perkara hukum secara kongkrit. Telah diratifikasinya Konvensi Peng-hapusan Diskriminasi terhadap perempuan oleh pemerintah Republik Indonesia, merupakan indikasi bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen untukmelakukan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Komitmen bangsa Indonesia dalam hal ini khususnya Pemerintah,memiliki kemauan melaksanakan apa yang diamanatkan oleh konvensi tersebut melalui peraturan perundangundangan, dilihat lebih lanjut dalam bentukkebijakan publik khususnya berupa peraturan perundang-undangan, sebagai berikut : Pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Con-vention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Pun-ishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia);yang memuat pernyataan pengakuan berlakunya Konvensi Internasional yangdisetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 10 Desember 1984 terse-but, serta komitmen untuk mengimplementasikannya di dalam peraturanperundangundangan di Indonesia. Sebelumnya Indonesia telah memberikanpersetujuan dan menandatangani Konvensi tersebut pada 23 Oktober 1985. Kedua, Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan; memuat pernyataan pemben-tukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. PembentukanKomisi yang bersifat nasional ini dilakukan dalam rangka pencegahan danpenanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan serta penghapusansegala bentuk tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Ketiga, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; yang memuat pengakuan berbagai hak asasi manusia secara umum, secarakhusus juga memuat pengakuan dan jaminan perlindungan berbagai hak wanitayang termuat pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 51. Keempat, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; yang memuat kriminalisasi berbagai perbuatan yang dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Menurut UU ini penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkanasas: (a) penghormatan hak asasi manusia; (b) keadilan dan kesetaraan gen-der; (b) nondiskriminasi; dan (d) perlindungan korban. Penghapusan kekerasanrumah tangga

bertujuan (a) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumahtangga; (b) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (c) menindakpelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan (d) memelihara keutuhan rumahtangga yang harmonis dan sejahtera. Kaidah penting yang dimuat di dalamUndang-Undang ini terdapat pada Pasal 5 yang memuat pernyataan: Setiaporang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalamlingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis;c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Kelima, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional 1999/2000; yang di dalam Buku II memuat Tindak Pidanakhususnya dalam Bab XV Tindak Pidana Kesusilaan, beberapa pasal tindakpidana kesusilaan (a) perluasan terhadap bentuk-bentuk tindak pidanakesusilaan yang penah dikenal di dalam KUHP yang sekarang berlaku; dan (b)memunculkan bentuk-bentuk tindak pidana kesusilaan baru yang sebelumnyabelum dikenal. Perluasan dan pembentukan tindak pidana kesusilaan semacamini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada kaumperempuan dari kemungkinan menjadi korban dari perbuatan-perbuatanpelanggaran nilai-nilai kesusilaan. Keenam, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Di dalam Inpres inidisebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran dan kualitasperempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, perludilakukan strategi pengarusutamaan gender dalam seluruh proses pembangunannasional. Kesetaraan gender dalam konteks Inpres ini adalah kesamaan kondisibagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknyasebagai manusia. Terwujudnya kondisi kesetaraan gender akan memungkinkan perempuan mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi,sosial, budaya, pertahanan, keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmatihasil pembangunan. 2.3. Implementasi Kebijakan Gender di Indonesia Keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan berbagai konvensi internasional berkaitan dengan kewajiban memberikan perlindungan hak asasi manusia termasuk jaminan perlindungan perempuan serta anak tidak terlepas tekanan dunia internasional. Pengakuan hak asasi manusia di dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional yang di masa lalu terbatas pada pengakuan yuridis formal belaka, sejak bergulirnya Reformasi mendapatkan momentumnya untuk diimplementasikan secara nyata. Pengakuan dan jaminan perlindungan hak asasi manusia tidak mengecualikan pula pengakuan kesetaraan hak dan kewajiban asasi manusia laki-laki dan perempuan sesuai citra kodratinya masing-masing. Perkembangan aspirasi berkaitan dengan kesetaraan gender ini membawa implikasi keharusan rekonstruksi ulang pemahaman terhadap citra manusia yang dalam perkembangan sejarah banyak dipengaruhi oleh konstruksi budaya daerah dan tradisi kehidupan beragama yang dalam konteks kontemporer dipandang banyakmerugikan kepentingan kaum perempuan. Penataan ulang pemahaman ini barang tentu bukan perkara mudah dilakukan, bahkan ketika secara yuridis formal telah dikonstruksikan menurut formulasi yang ideal, namun tidak dengan sendirinya selalu terimplementasikan sesuai dengan harapan terutama kaum perempuan. Dengan demikian, kendati pun bias gender dalam produk kebijakan nasional yang dikontruksikan dalamproduk hukum atau peraturan perundang-undangan, masih saja menjadi per-soalan apakah

pada tataran praktik dapat diimplementasikan dengan baik menu-rut kerangka konseptual filosofis yang mendasarinya. Sesuai dengan amanat GBHN 1999 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000 2004, dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender perlu dikembangkan kebijakan Nasional yang responsive gender. Salah satu strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah strategi pengarusutamaan gender dalam pembangunan. Hal ini dipertegas dengan terbitnya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang menyatakan bahwa seluruh Departemen maupun Lembaga Pemerintah Non Departemen dan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota harus melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantaaun dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program pembangunan. Asumsi dari kesenjangan gender di Indonesia ditandai berbagai bidang pembangunan terlihat masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk bekerja dan berusaha serta rendahnya akses mereka terhadap sumberdaya ekonomi seperti teknologi, informasi, pasar, kredit dan modal kerja. Meskipun penghasilan perempuan pekerja memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penghasilan dan kesejahteraan keluarganya. Perempuan masih dianggap sebagai pencari nafkah tambahan dan sebagai pekerja dalam keluarga. Kesemua ini berdampak pada masih rendahnya partisipasi, akses, dan kontrol yang dimiliki serta manfaat yang dinikmati perempuan dalam pembangunan. Inpres ini adalah salah satu upaya agar dapat terlaksananya kesetaraan dan keadilan gender dalam semua sektor di dalam masyarakat. Penyerahan proses anggaran kepada pemerintah daerah dalam beberapa kasus membuka peluang bagi partisipasi lebih besar dari warga, termasuk perempuan, dan menghasilkan anggaran yang lebih responsif terhadap gender. Banyak pemerintah daerah telah memperlihatkan kemauan politik untuk mengadopsi proses pembuatan kebijakan secara partisipatif, mengarusutamakan gender dan mengembangkan kapasitas melalui pelatihan mengenai masalah-masalah gender untuk para pejabat pemerintah daerah. Pada sisi kelembagaan, Indonesia telah mendirikan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan di tahun 1998 dan Undang-Undang No. 23/2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diberlakukan mulai 5 September 2004. Indonesia telah mencapai kemajuan dalam meningkatkan kesetaraan dan keadilan pendidikan bagi penduduk laki laki dan perempuan. Hal itu dapat dibuktikan antara lain dengan semakin membaiknya rasio partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk perempuan terhadap penduduk laki-laki, kontribusi perempuan dalam sektor non pertanian, serta partisipasi perempuan di bidang politik dan legislatif. Namun demikian, kiprah kaum perempuan yang menempati posisi strategis dalam pemerintahan dan pembangunan sebenarnya belum mencerminkan kondisi riil kaum perempuan secara keseluruhan di Indonesia. Terdapat sejumlah fakta di lapangan dan kasus tragis yang menimpa kaum perempuan Indonesia, sebut saja penganiayaan TKI di luar negeri yang masih berlangsung sampai saat ini dan belum ada solusi strategis dalam mengatasinya. Kemudian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), trafficking, kesenjangan kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan yang secara tidak langsung sudah tersistematisasi bahkan terlegitimasi dalam posisi dan kondisi yang memprihatinkan. Secara statistik datanya dapat dilihat dari gender development index (GDI) yang menggambarkan tentang disparitas antara laki-laki dan perempuan.

Dari aspek politik pun juga menggambarkan perbedaan yang cukup signifikan. Sejak pemilu 1955 sampai dengan pemilu 2009, jumlah anggota DPR RI perempuan kurang dari 40 persen. Padahal perbandingan jumlah pemilih pemilu di Indonesia antara laki-laki dan perempuan adalah 4 berbanding 5. Artinya seharusnya kesempatan bagi perempuan untuk dipilih di dalam pemilu oleh kaum perempuan cukup tinggi karena perempuan akan memperjuangkan kebijakan yang mengutamakan gender. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Jumlah anggota DPR RI dari perempuan masih sedikit. Akhirnya di dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan isu perempuan dan gender juga lemah.

BAB 3 PENUTUP 3.1. Kesimpulan Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. Gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.Ada perbedaan sex dengan gender, Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur , dimana baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Diskriminasi terhadap perempuan baik dalam lingkup pribadi rumah tangga dan lingkup umum menyebabkan tidak hanya kerugian terhadap individu, namun juga kerugian terhadap keadaan sosial dan ekonomi seluruh masyarakat. Berbagai ketidakadilan gender tersebut diharapkan dapat dihapuskan melalui kebijakankebijakan publik dalam semua bidang kehidupan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa diskriminasi terhadap perempuan padadasarnya tidak diperbolehkan, baik dilihat dari segi hukum internasionalmaupun hukum nasional. Dari segi hukum internasional, kebijakan gender dapat dirujuk pada konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yakni Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women (CEDAW). CEDAW ini telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Tujuan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan adalah untuk menciptakan suasana yang kondusif yang mendukung keberadaan perempuan dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang menjalankan peranannya dan dalam pemerolehan hak serta perlindungan hukum yang sama dengan laki-laki sebagai warga masyarakat. Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan berisi asas-asas dan upaya-upaya yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk membuat peraturan atau kebijakan tentang kesetaraan gender.

DAFTAR PUSTAKA Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi Perspektif Gender. Yogyakarta: CIDESINDO.

dan

Beban

Kerja

Perempuan:

Margiyanti, Lusi, Moh. Yasir Alimi (ed.), 1999, Sosialisasi Gender: Menjinakkan Takdir Mendidik Anak Secara Adil. Yogyakarta: LSPAA . Natangsa Surbakti Rasjidi, Lili, 1991, Implementasi Kebijakan Berwawasan Gender, Bandung: Remaja Rosdakarya. Sastrosoehardjo, Soehardjo, 1993, Upaya Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya. Dalam CSIS Januari 1993. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

You might also like