You are on page 1of 35

TUGAS MAKALAH INTERAKSI OBAT STUDI KASUS INTERAKSI OBAT ( TBC vs HIV )

Disusun Oleh : Evaliani Surachman (11334730)

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL JURUSAN FARMASI 2011

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dari mata kuliah Interaksi Obat. Makalah ini membahas tentang studi kasus interaksi obat, penulis berharap semoga makalah ini mendapatkan perhatian dan respon yang baik dari Ibu Dosen dan bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun bahasanya, diharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi menyempurnakan makalah ini.

Jakarta, Oktober 2011

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun obat-obatan. Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat dengan bahan-bahan lain tersebut termasuk obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat sekaligus dalam satu periode (polifarmasi ) digunakan bersama-sama. Pasien yang dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10 macam obat) karena sebagai subjek untuk lebih dari satu dokter, sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia. Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan atau merugikan. Interaksi yang menguntungkan, misalnya (1) Penicillin dengan probenesit: probenesit menghambat sekresi penilcillin di tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penicillin dalam plasma dan dengan demikian meningkatkan efektifitas dalam terapi gonore; (2) Kombinasi obat anti hipertensi: meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping: (3) Kombinasi obat anti kanker: juga meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping (4) kombinasi obat anti tuberculosis: memperlambat timbulnya resistansi kuman terhadap obat; (5) antagonisme efek toksik obat oleh antidotnya masing-masing. Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan

obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama. Mekanisme Interaksi obat Menurut jenisnya, interaksi obat dapat dibedakan menjadi : 1. Interaksi Obat dengan obat Interaksi Farmakokinetika Interaksi Farmakodinamika 2. Interaksi Obat dengan makanan Interaksi farmakokinetik Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada berbagai tahap, meliputi absorpsi, distribusi, metabolism dan ekskresi. Interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk menimbulkan efek farmakologinya. Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya A. Absorpsi Absorpsi obat tergantung pada formulasi farmasetik, pKa dan kelarutan obat dalam lemak, pH, flora usus, dan aliran darah dalam organ pencernaan. Dalam hal ini perlu dibedakan antara interaksi yang mengurangi kecepatan absorpsi dan interaksi yang mengurangi jumlah obat yang diabsorpsi. Sebagian besar interaksi yang berkaitan dengan absorpsi, tidak bermakna secara klinis dan dapat diatur dengan memisahkan waktu pemberian obat. Obat-obat yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna ke dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah

dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang larut air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif lebih cepat dari pada secara tansport pasif. Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi melewati membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat absorpsinya biasanya sempurna. Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar puncak plasma yang cepat untuk mendapatkan efek. Mekanisme interaksi akibat gangguan absorpsi antara lain : 1. Interaksi langsung Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan atau sangat dikuangi bila obat yang berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal 2 jam. 2. Perubahan pH saluran cerna Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid, akan meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam saluran cerna, misalnya aspirin. Dengan demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya. Akan tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat yang bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, sehingga mengurangi absorpsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya. Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan medium asam untuk melarutkan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidak

memungkinkan diberikan bersama antasida, obat antikolinergik, penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton (misalnya omeprazol). Jika memang dibutuhkan, sebaiknya abat-obat ini diberikan sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol. 3. Pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat, dan adsorsi Interaksi antara antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin, enoksasin, levofloksasin, lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan sparfloksasin) dan ion-ion divalent dan trivalent (misalnya ion Ca2+ , Mg2+ dan Al3+ dari antasida dan obat lain) dapat menyebabkan penurunan yang signifikan dari absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas dan efek terapetik, karena terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi ini juga sangat menurunkan aktivitas antibiotik fluorokuinolon. Efek interaksi ini dapat secara signifikan dikurangi dengan memberikan antasida beberapa jam sebelum atau setelah pemberian fluorokuinolon. Jika antasida benar-benar dibutuhkan, penyesuaian terapi, misalnya penggantian dengan obat-pbat antagonis reseptor H2 atau inhibitor pompa proton dapat dilakukan. Beberapa obat antidiare (yang mengandung atapulgit) menyerap obat-obat lain, sehingga menurunkan absorpsi. Walaupun belum ada riset ilmiah, sebaiknya interval pemakaian obat ini dengan obat lain selama mungkin. 4. obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bile acid sequestrant) Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan mencegah reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain terutama yang bersifat asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval pemakaian kolestiramin atau kolestipol dengan obat lain selama mungkin (minimal 4 jam). 5. perubahan fungsi saluran cerna (percepatan atau lambatnya pengosongan lambung, perubahan vaksularitas atau

permeabilitas mukosa saluran cerna, atau kerusakan mukosa dinding usus).

Contoh-contoh interaksi obat pada proses absorpsi dapat dilihat pada tabel berikut: Obat yang dipengaruhi Digoksin Obat yang mempengaruhi Metoklopramida Propantelin Efek interaksi Absorpsi digoksin dikurangi Absorpsi digoksin ditingkatkan (karena perubahan motilitas usus) Absorpsi dikurangi karena ikatan dengan kolestiramin

Digoksin Tiroksin Warfarin

Kolestiramin

Ketokonazo Antasida l Penghambat H2

Absorpsi ketokonazol dikurangi karena disolusi yang berkurang

Penisilamin Antasida yang Pembentukan khelat mengandung Al3+, Mg2+ , penisilamin yang kurang larut preparat besi, makanan menyebabkan berkurangnya absorpsi penislinamin Penisilin Antibiotik kuinolon Tetrasiklin Neomisin Kondisi malabsorpsi yang diinduksi neomisin

Antasida yg Terbentuknya kompleks yang mengandung Al3+,Mg2+ , sukar terabsorpsi Fe2+, Zn, susu Antasida yang Terbentuknya kompleks yang mengandung Al3+, Mg2+ , sukar terabsorpsi Fe2+, Zn, susu

Di antara mekanisme di atas, yang paling signifikan adalah pembentukan kompleks tak larut, pembentukan khelat atau bila obat terikat resin yang mengikat asam empedu. Ada juga beberapa obat yang mengubah pH saluran cerna (misalnya antasida) yang mengakibatkan perubahan bioavailabilitas obat yang signifikan.

B.

Distribusi Setelah obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke

tempat kerja di mana obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh dan atau reseptor. Selama berada di aliran darah, obat dapat terikat pada berbagai komponen darah terutama protein albumin. Obat-obat larut lemak mempunyai afinitas yang tinggi pada jaringan adiposa, sehingga obat-obat dapat tersimpan di jaringan adiposa ini. Rendahnya aliran darah ke jaringan lemak mengakibatkan jaringan ini menjadi depot untuk obatobat larut lemak. Hal ini memperpanjang efek obat. Obat-obat yang sangat larut lemak misalnya golongan fenotiazin, benzodiazepin dan barbiturat.Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai afinitas terhadap protein darah terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai afinitas untuk berikatan dengan asam--glikoprotein. Ikatan protein plasma (PPB : plasma protein binding) dinyatakan sebagai persen yang menunjukkan persen obat yang terikat. Obat yang terikat albumin secara farmakologi tidak aktif, sedangkan obat yang tidak terikat, biasa disebut fraksi bebas, aktif secara farmakologi. Bila dua atau lebih obat yang sangat kuat terikat protein digunakan bersama-sama, terjadi kompetisi pengikatan pada tempat yang sama, yang mengakibatkan terjadi penggeseran salah satu obat dari ikatan dengan protein, dan akhirnya terjadi peninggatan kadar obat bebas dalam darah. Bila satu obat tergeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, akan terjadi peningkatan kadar obat bebas yang terdistribusi melewati berbagai jaringan. Pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar obat bebas atau bentuk aktif akan lebih tinggi. Asam valproat dilaporkan menggeser fenitoin dari ikatannya dengan protein dan juga menghambat metabolisme fenitoin. Jika pasien mengkonsumsi kedua obat ini, kadar fenitoin tak terikat akan meningkat secara signifikan, menyebabkan efek samping yang lebih besar. Sebaliknya, fenitoin dapat menurunkan kadar plasma asam valproat. Terapi kombinasi kedua obat ini harus dimonitor dengan ketat serta dilakukan penyesuaian dosis.

Obat-obat yang cenderung berinteraksi pada proses distribusi adalah obat-obat yang : a. persen terikat protein tinggi ( lebih dari 90%) b. terikat pada jaringan c. mempunyai volume distribusi yang kecil d. mempunyai rasio eksresi hepatic yang rendah e. mempunyai rentang terapetik yang sempit f. mempunyai onset aksi yang cepat g. digunakan secara intravena. Obat-obat yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menggeser obat lain dari ikatan dengan protein adalah asam salisilat, fenilbutazon, sulfonamid dan anti-inflamasi nonsteroid. C. Metabolisme Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom P450 monooksigenase. Induksi enzim oleh suatu obat dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan pengurangan efek. Induksi enzim melibatkan sintesis protein, jadi efek maksimum terjadi setelah dua atau tiga minggu. Sebaliknya, inhibisi enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan peningkatan toksisitas obat lain. Waktu terjadinya reaksi akibat inhibisi enzim merupakan efek langsung, biasanya lebih cepat daripada induksi enzim. Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai reseptor, berarti obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu obat harus larut lemak. Metabolisme dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut air yang tidak aktif, yang nantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat melewati dua fase metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II. Pada metabolisme fase I, terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa, dsb. oleh enzim mikrosomal hati yang berada di endothelium, menghasilkan metabolit obat yang lebih larut dalam air. Pada metabolisme fase II, obat bereaksi dengan molekul yang larut air (misalnya asam glukuronat, sulfat, dsb) menjadi metabolit yang

tidak atau kurang aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa dapat melewati satu atau kedua fasemetabolisme di atas hingga tercapai bentuk yang larut dalam air. Sebagian besar interaksi obat yang signifikan secara klinis terjadi akibat metabolisme fase I dari pada fase II.

Mekanisme interaksi akibat gangguan metabolisme antara lain : 1. Peningkatan metabolisme Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang terlibat dalam metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital meningkatkan metabolisme warfarin sehingga menurunkan aktivitas antikoagulannya. Pada kasus ini dosis warfarin harus ditingkatkan, tapi setelah pemakaian fenobarbital dihentikan dosis warfarin harus diturunkan untuk menghindari potensi toksisitas. Sebagai alternative dapat digunakan sedative selain barbiturate, misalnya golongan benzodiazepine. Fenobarbital juga meningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti hormone steroid. Barbiturat lain dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin dan rifampisin juga menyebabkan induksi enzim. Piridoksin mempercepat dekarboksilasi levodopa menjadi metabolit aktifnya, dopamine, dalam jaringan perifer. Tidak seperti levodopa, dopamine tidak dapat melintasi sawar darah otak untuk memberikan efek antiparkinson. Pemberian karbidopa (suatu penghambat dekarboksilasi) bersama dengan levodopa, dapat mencegah gangguan aktivitas levodopa oleh piridoksin, 2. Penghambatan metabolisme Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan dampak memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang dipengaruhi. Sebagai contoh, alopurinol mengurangi produksi asam urat melalui penghambatan enzim ksantin oksidase, yang memetabolisme beberapa obat yang potensial toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin. Penghambatan ksantin oksidase

dapat secara bermakna meningkatkan efek obat-obat ini. Sehingga jika dipakai bersama alopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin harus dikurangi hingga 1/3 atau dosis biasanya. Simetidin menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat meningkatkan aksi obat-obat yang dimetabolisme melalui jalur ini (contohnya karbamazepin, fenitoin, teofilin, warfarin dan sebagian besar benzodiazepine). Simetidin tidak mempengaruhi aksi benzodiazein lorazepam, oksazepam dan temazepam, yang mengalami konjugasi glukuronida. Ranitidin mempunyai efek terhadap enzim oksidatif lebih rendah dari pada simetidin, sedangkan famotidin dan nizatidin tidak mempengaruhi jalur metabolisme oksidatif. Eritromisin dilaporkan menghambat metabolisme hepatik beberapa obat seperti karbamazepin dan teofilin sehingga meningkatkan efeknya. Obat golongan fluorokuinolon seperti siprofloksasin juga meningkatkan aktivitas teofilin, diduga melalui mekanisme yang sama. D. Ekskresi Obat dieliminasi melalui ginjal dengan filtrasi glomerulus dan sekresi tubular aktif. Jadi, obat yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal dapat mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma. Hanya sejumlah kecil obat yang cukup larut dalam air yang mendasarkan ekskresinya melalui ginjal sebagai eliminasi utamanya, yaitu obat yang tanpa lebih dulu dimetabolisme di hati. Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri renal, mula-mula dikirim ke glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul kecil yang cukup melewati membran glomerular (air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran darah kemudian melewati bagian lain dari tubulus ginjal dimana transport aktif

yang dapat memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi) untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena : a. Perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal b. perubahan pH urin c. Perubahan aliran darah ginjal Interaksi Farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang sinergistik atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik. Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan perlamaan efek farmakodinamiknya. dapat Disamping itu, kebanyakan karena interaksi itu dapat farmakodinamik diramalkan kejadiannya,

dihindarkan bila dokter mengetahui. Efek yang terjadi pada interaksi farmakodinamik yaitu : a. Sinergisme Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem organ, sel atau enzim yang sama dimana kekuatan obat pertama diperkuat oleh kekuatan obat yang kedua, karena efek farmakologisnya searah, misalnya Sulfonamid mencegah bakteri untuk mensintesa dihidrofolat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Kedua obat ini bila diberikan bersama-sama akan memiliki efek sinergistik yang kuat sebagai obat anti bakteri. Bila jumlah kekuatannya sama dengan jumlah kekuatan masingmasing obat disebut adisi atau sumasi, misalnya asetosal dan parasetamol. Bila jumlah kekuatannya lebih besar dari kekuatan masing-masing obat disebut potensiasi, misalnya, banyak diuretika

yang

menurunkan

kadar

kalium

plasma,

dan

yang

akan

memperkuat efek glikosid jantung yang mempermudah timbulnya toksisitas glikosid, kemudian Penghambat monoamin oksidase meningkatkan jumlah noradrenalin di ujung syaraf adrenergik dan karena itu memperkuat efek obat-obat seperti efedrin dan tiramin yang bekerja dengan cara melepaskan noradrenalin. b. Antagonisme Dimana kegiatan obat pertama dikurangi atau ditiadakan sama sekali oleh obat yang kedua, karena mempunyai khasiat farmakologi yang bertentangan, misalnya antagonis reseptor beta ( beta bloker) mengurangi efektifitas obat-obat bronkhodilator seperti salbutamol yang merupakan agonis beta reseptor. Hal ini dapat disebabkan karena mempunyai reseptor yang sama sehingga terjadi persaingan ( kompetitif ). Interaksi dengan makanan Setiap saat, ketika suatu makanan atau minuman mengubah efek suatu obat, perubahan tersebut dianggap sebagai interaksi obat-makanan. Interaksi seperti itu bisa terjadi. Tetapi tidak semua obat dipengaruhi oleh makanan, dan beberapa obat hanya dipengaruhi oleh makanan tertentu. Interaksi obat-makanan dapat terjadi dengan obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang dibeli bebas, produk herbal, dan suplemen diet. Meskipun beberapa interaksi mungkin berbahaya atau bahkan fatal pada kasus yang langka, interaksi yang lain bisa bermanfaat dan umumnya tidak akan menyebabkan perubahan yang berarti terhadap kesehatan anda. Salah satu cara yang paling umum terjadi, dimana makanan mempengaruhi efek obat adalah dengan mengubah cara obat tersebut diuraikan ( dimetabolisme ) oleh tubuh. Jenis protein yang disebut enzim, memetabolisme banyak obat. Pada sebagian besar obat, metabolisme adalah proses yang terjadi di dalam tubuh terhadap obat dimana obat

yang semula aktif/ berkhasiat, diubah menjadi bentuk tidak aktifnya sebelum dikeluarkan dari tubuh. Sebagian obat malah mengalami hal yang sebaliknya, yakni menjadi aktif setelah dimetabolisme, dan setelah bekerja memberikan efek terapinya, dimetabolisme lagi menjadi bentuk lain yang tidak aktif untuk selanjutnya dikeluarkan dari tubuh. Beberapa makanan dapat membuat enzim-enzim ini bekerja lebih cepat atau lebih lambat, baik dengan memperpendek atau memperpanjang waktu yang dilalui obat di dalam tubuh. Jika makanan mempercepat enzim, obat akan lebih singkat berada di dalam tubuh dan dapat menjadi kurang efekteif. Jika makanan memperlambat enzim, obat akan berada lebih lama dalam tubuh dan dapat menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki. Makanan yang mengandung zat Tyramine ( seperti bir, anggur, alpukat, beberapa jenis keju, dan berbagai daging olahan ) memperlambat kerja enzim yang memetabolisme obat penghambat MAO ( kelompok obat antidepresi ) dan dapat menyebabkan efek yang berbahaya, termasuk tekanan darah tinggi yang serius. Beberapa jenis makanan dapat mencegah obat tertentu untuk diserap ke dalam darah setelah ditelan, dan yang lain sebaliknya dapat meningkatkan penyerapan obat. Contohnya, segelas susu dengan obat antibiotik tetrasiklin, calcium yang ada dalam susu akan mengikat tertrasiklin, membentuk senyawa yang tidak mungkin dapat diserap oleh tubuh ke dalam darah. Sehingga efek yang diharapkan dari obat tetrasiklin tidak akan terjadi. Di sisi lain, meminum segelas jus citrus bersamaan dengan suplemen yang mengandung zat besi akan sangat bermanfaat karena vitamin C yang ada dalam jus akan meningkatkan penyerapan zat besi. Akhirnya, beberapa makanan benar-benar bisa mengganggu efek yang diinginkan dari obat. Contohnya, orang yang menggunakan obat pengencer darah warfarin seharusnya tidak mengkonsumsi secara bersamaan dengan makanan yang banyak mengandung vitamin K seperti brokoli, atau bayam. Vitamin K membantu pembekuan darah, sehingga melawan efek dari obat warfarin. Efek yang sebaliknya, terjadi dengan vitamin E, bawang dan bawang putih, karena bahan-bahan ini menghaslkan efek yang mirip

dengan efek warfarin. Konsumsi dalam jumlah besar dari makanan ini dapat menyebabkan efek warfarin menjadi terlalu kuat.

1.2 Permasalahan Dalam makalah ini penulis membatasi masalah dengan mengambil contoh kasus interaksi obat dengan obat lain dimana interaksi ditinjau dari efek merugikan yang ditimbulkan, dan hal tersebut tidaklah mudah mengingat Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena : a. Dokumentasinya masih sangat kurang b. Seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini mengakibatkan interaksi obat berupa peningkatan toksisitas dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi berupa penurunan efektivitas dianggap diakibatkan bertambah parahnya penyakit pasien c.Kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual, di mana populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau berpenyakit parah, dan bisa juga karena perbedaan kapasitas metabolisme antar individu. Selain itu faktor penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik). 1.3 Tujuan Mengetahui interaksi obat yang terjadi dalam studi kasus pengobatan penyakit TBC dan HIV secara bersamaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Interaksi Obat Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian

obat dengan bahan-bahan lain tersebut termasuk obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat sekaligus dalam satu periode (polifarmasi ) digunakan bersama-sama. Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama. 2.2 Pengertian TBC Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis adalah kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru / berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun. Mycobakterium tuberculosis merupakan batang aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar UV. Pada tuberculosis, basil tuberculosis menyebabkan suatu reaksi jaringan yang aneh di dalam paru-paru meliputi : penyerbuan daerah terinfeksi oleh makrofag, pembentukan dinding di sekitar lesi oleh jaringan fibrosa untuk membentuk apa yang disebut dengan tuberkel. Banyaknya area fibrosis

menyebabkan meningkatnya usaha otot pernafasan untuk ventilasi paru dan oleh karena itu menurunkan kapasitas vital, berkurangnya luas total permukaan membrane respirasi yang menyebabkan penurunan kapasitas difusi paru secara progresif, dan rasio ventilasi-perfusi yang abnormal di dalam paru-paru dapat mengurangi oksigenasi darah. 2.3 Pengertian HIV AIDS ( Acquired Immune Deficiency Syndrome ) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lainlain).Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4 + hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu. Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan ratarata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat

bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang ratarata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup. 2.4 Interaksi Obat pada Pengobatan HIV dan TBC Di beberapa negara, pasien menjalani perawatan TBC bersamaan dengan perawatan HIV. Perawatan TBC menggunakan obat anti TBC rifampicin akan mengganggu kerja obat antiretrovirus berbasis nevirapine. Obat antiretrovirus berbasis nevirapine merupakan obat yang dipakai dalam perawatan HIV yang banyak dipakai di negara berkembang karena harganya yang murah. Menurut peneliti, kedua obat ini apabila diberikan secara bersamaan akan memberikan efek toksisitas dan interaksi obat yang berlawanan. Sebelumnya juga telah diketahui bahwa terapi anti TBC berbasis rifampicin dapat mengurangi konsentrasi obat antiretrovirus efavirenz dan nevirapine dalam plasma darah, namun masih belum jelas bagaimana interaksi ini dapat mempengaruhi virus.

Gambar 1. Paru-paru manusia dan virus HIV

Dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB di Indonesia (DepKes RI 2002) disebutkan bahwa prosedur pengobatan penderita TB dengan HIV/AIDS adalah sama dengan TB tanpa HIV/AIDS. Namun beberapa penelitian telah melaporkan beberapa permasalahan yang timbul pada pengobatan TB dengan HIV/AIDS. Pengggunaan antiretrovirus pada penderita HIV/AIDS yang sedang dalam pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) dapat menimbulkan beberapa permasalahan yaitu adanya tumpang tindih toksisitas dari obat antiretrovirus dan OAT, malabsorbsi OAT, interaksi OAT dan obat antiretrovirus yang kompleks, serta adanya reaksi paradoksal. 2.4.1 Efek toksik OAT dan obat antiretrovirus yang tumpang tindih Pemakaian OAT dan obat antiretrovirus secara bersamaan dapat menyebabkan efek samping yang sering kali sulit ditentukan penyebabnya. Efek samping OAT sering didapatkan pada penderita TB dengan HIV/AIDS. Obat antiretrovirus dapat juga menimbulkan efek samping, sehingga penggunaan kedua golongan obat-obat tersebut dapat menyebabkan timbulnya efek samping yang saling tumpang tindih ( tabel 1). Untuk menghindari efek tersebut maka dilakukan penyederhanaan pengobatan dengan cara menunda pemberian antiretrovirus hingga 1-2 bulan untuk mempermudah deteksi dini efek samping OAT.

Tabel 1. Gambaran klinis efek samping obat yang tumpang tindih akibat OAT lini pertama dan obat antiretrovirus

Kemungkinan penyebab Efek samping Obat anti TB Obat-obat antiretrovirus

Skin rash

Pyrazinamide, Rifampin, INH Rifabutin,

Nevirapine, Delavirdine, Efavirenz, Abacavir Zidovudine, Ritonavir,

Mual, muntah

Pyrazinamide, Rifampin, Rifabutin, INH Pyrazinamide, Rifampin, INH Rifabutin,

Amprenavir, Indinavir Nevirapine, perbaikan setelah antiretrovirus penderita PI, respon pemberian pada dengan

Hepatitis

hepatitis virus kronik. Leukopenia, anemia Zidovudine Rifabutin, Rifampin

2.4.2 Permasalahan farmakokinetik obat dalam pengobatan TB dengan HIV/AIDS Dalam pengobatan TB dengan HIV/AIDS ada 2 permasalahan mengenai farmakokinetik obat yaitu adanya kemungkinan malabsorbsi OAT, dan adanya interaksi yang kompleks antara obat antiretrovirus dengan Rifamycins yang merupakan obat utama untuk pengobatan TB jangka pendek. Saat ini data yang mengenai kecenderungan malabsorbsi OAT pada penderita HIV/AIDS masih kontroversi. Tailer S dkk (1997), dalam penelitiannya mendapatkan bahwa konsentrasi OAT dalam serum penderita HIV/AIDS lebih rendah. Untuk mengatasi hal ini beberapa peneliti menganjurkan untuk melakukan monitoring konsentrasi OAT dalam darah.

Walaupun demikian dari beberapa penelitian mengenai efektifitas pengobatan TB pada HIV/AIDS dengan obat-obat lini pertama (Rifampisin, INH, Ethambutol, Pirazinamid) ternyata didapatkan angka cure rate 95% yang hampir menyamai respon pengobatan pada penderita TB tanpa HIV/AIDS. Data ini menunjukkan bahwa standard yang ada mengenai konsentrasi OAT dalam serum pada orang yang normal tidak dapat dipakai sebagai therapeutic ranges. Monitoring obat dianjurkan untuk dilakukan hanya pada keadaan dimana respon terapi terhadap OAT lini pertama tidak adekuat. 2.4.3 Interaksi antara obat golongan Rifamycin dengan obat antiretrovirus Saat ini regimen antiretrovirus biasanya terdiri dari 3 atau lebih obat dari dua atau tiga kelas yang berbeda yaitu nucleoside analogues, non nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs) dan protease inhibitors (PIs). Dua dari kelas ini yaitu NNRTIs dan PIs dapat berinteraksi dengan Rifamycin. Interaksi antara obat-obat antiretrovirus dan Rifamycin terjadi melalui sistem cytochrome P450-3A (CYP3A) yang terdapat pada dinding usus dan hati. Rifamycin merupakan inducer CYP3A, sehingga dapat menurunkan kadar obat-obat yang dimetabolisme oleh sistem enzim tersebut. Kekuatan induksi CYP3A obat-obat golongan Rifamycin berbeda-beda. Rifampin merupakan inducer yang paling kuat kemudian Rifapentine dengan kekuatan menengah serta Rifabutin yang paling lemah. Protease inhibitor dan NNRTI dimetabolisme oleh CYP3A sehingga kadar kedua golongan obat tersebut dalam darah akan dipengaruhi oleh Rifamycin. Delavirdine dan PI merupakan inhibitor CYP3A sehingga dapat meningkatkan kadar obat-obat yang dimetabolisme oleh sistem enzim ini. Rifabutine merupakan substrat dari CYP3A sehingga hambatan pada CYP3A akan meningkatkan kadar Rifabutin hingga mencapai kadar yang toksik. Sedangkan untuk Rifampin dan Rifapentin walaupun keduanya adalah inducer CYP3A, tetapi bukan merupakan substrat enzim tersebut,

sehingga hambatan pada CYP3A tidak akan mempengaruhi kadar kedua obat tersebut. 2.4.4 Dampak klinis interaksi antara Rifamycin dengan obat antiretrovirus Beberapa interaksi obat dari kedua golongan obat tersebut dapat menimbulkan efek yang dramatis sehingga tidak boleh digunakan secara bersama-sama. Rifampin dapat menyebabkan penurunan kadar obat PIs (kecuali Ritoravir) hingga 75-95%, sehingga menyebabkan penurunan aktifitas antivirus yang nyata dan akibatnya dapat mempercepat timbulnya resistensi terhadap PIs tersebut. Selain itu kadar Delavirdine akan menurun hingga > 90% bila diberikan bersama-sama Rifampin atau Rifabutin sehingga obat antiretrovirus tersebut tidak boleh digunakan bersama-sama dengan semua golongan Rifamycin. Sebaliknya Rifabutin bila diberikan dengan dosis standard (300 mg/hari) bersama-sama dengan PIs dapat menyebabkan peningkatan kadarnya hingga 2-4 kali lipat sehingga menyebabkan efek samping. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan modifikasi dosis Rifabutin. 2.4.5 Tatalaksana penanganan interaksi antara obat golongan Rifamycin dan obat antiretrovirus Jika penderita HIV/AIDS dengan infeksi TB memerlukan obat antiretrovirus maka untuk pengobatan tuberkulosisnya sebaiknya digunakan Rifabutin. Rifabutin dapat diberikan bersama dengan obat golongan NNRTIs (kecuali Delavirdine). Rifabutin mempunyai efektifitas yang sama dengan Rifampin untuk pengobatan tuberkulosis dengan atau tanpa HIV. Untuk menghindari toksisitas maka dosis harian Rifabutin harus dikurangi menjadi 150 mg/hari bila diberikan bersamaan dengan PI (kecuali Saquinavir). Pengobatan dengan cara DOTS sangat dianjurkan dengan pemberian Rifabutin secara intermiten. Pada pemberian Rifabutin secara intermiten yang perlu diperhatikan adalah harus dihindarkan pemberian

dosis yang tidak adekuat. Karena itu pedoman terapi yang saat ini dianjurkan adalah Rifabutin 450 600 mg bila diberikan bersama Efavirenz, dan bila diberikan 2 3 kali seminggu bersama dengan PI ( kecuali Ritonavir ) digunakan dosis 300 mg/hari. Bila diberikan bersama dengan Ritonavir maka dosisnya dikurangi menjadi 150 mg 2 kali seminggu ( tanpa Ritonavir dosis ini sebanding dengan Rifabutin 300 mg perhari ). Bila Rifabutin digunakan bersama dengan 2 obat dari golongan PI atau diberikan bersama dengan PI dan NNRTI akan terjadi interaksi obat yang lebih kompleks sehingga menimbulkan dampak yang masih harus diteliti lebih lanjut. Untuk sementara ini dosis Rifabutin yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Rekomendasi dosis Rifabutin dan antiretrovirus selama terapi kombinasi

Regimen antiretrovirus Protease inhibitor (PI) Nelfinavir, Indinavir, atau Amprenavir (+ 2 nucleoside)

Dosis Rifabutin Turun hingga 150 mg jika Rifabutin diberi tiap hari; 300 mg untuk terapi intermiten

Penyesuaian dosis antiretrovirus Nelfinavir 1250 mg tiap 12 jam Indinavir : tingkatkan sampai 1000 mg tiap 8 jam (bila perlu) Amprenavir : tetap

Saquinavir (+ 2 nucleoside) Ritonavir (+ 2 nucleoside, PI lain,dgn/atau nonnucleoside)

300 mg /hari atau intermiten Turunkan sampai 150 mg dua kali seminggu Turunkan sampai 150 mg dua

Tingkatkan sampai 1600 mg tiap 8 jam (bila perlu) _

Lopinavir/Ritonavir(+2 nucleoside dgn/atau suatu nonnucleosidereversetranscriptase inhibitor) NNRTI Efavirenz (+ 2 nucleoside)

kali seminggu

Tingkatkan Rifabutin sampai 450-600 mg, tiap hari atau dua kali seminggu

300 mg tiap hari atau Nevirapine ( + 2 nucleoside) intermiten

Nucleoside Dua atau triple nucleoside (mis. Zidovudine, Lamivudine dan Abacavir)

300 mg tiap hari atau intermiten

300 mg tiap hari atau PI + NNRTI Efavirenz /Nevirapine + PI (kec. Ritonavir) intermiten

Tingkatkan dosis Indinavir seperti diatas (bila perlu)

2.4.6 Reaksi paradoksal (Immune Restoration Syndromes) Reaksi paradoksal adalah perburukan sesaat dari gejala dan tandatanda manifestasi radiologis TB yang terjadi setelah dimulainya pengobatan TB dan bukan disebabkan oleh kegagalan terapi atau adanya proses sekunder. Reaksi paradoksal ini sudah mulai didapatkan sebelum era HIV/AIDS dan pada penderita yang imunokompeten reaksi ini diduga merupakan gambaran reaktifitas sistem imun terhadap antigen yang dilepaskan oleh kuman TB yang mati akibat OAT. Pada era pengobatan antiretrovirus yang efektif reaksi paradoksal ini sering di dapatkan dan umumnya terjadi setelah dimulainya pemberian obat antiretrovirus. Berkaitan dengan waktu timbulnya maka reaksi paradoksal pada penderita HIV ini terjadi akibat perbaikan respon imun terhadap antigen Mycobacterium. Manifestasi reaksi paradoksal dapat ringan misalnya demam atau dapat juga berat sampai menyebabkan gagal nafas akut. Gejala klinis reaksi paradoksal yang berkaitan dengan pengobatan antiretrovirus adalah demam, pembesaran kelenjar getah bening, timbul infiltrat baru atau perburukan dari infiltrat yang sudah ada sebelumnya, serositis (pleuritis perikarditis, asites), lesi kulit dan lesi desak ruang pada susunan saraf

pusat. Reaksi paradoksal dapat juga terjadi pada penderita yang belum mendapatkan obat antiretrovirus. Pada dua penelitian didapatkan bahwa persentase terjadinya reaksi paradoksal masing- masing adalah 36 % ( 12 kasus dari 33 penderita) dan 32 % ( 6 kasus dan 19 penderita) pada penderita yang mulai diterapi dengan antiretrovirus. Reaksi paradoksal tidak berkaitan dengan regimen antiretrovirus tertentu maupun gabungan obat tertentu dan umumnya terjadi pada penggunaan kombinasi antiretrovirus. Sebagian besar reaksi paradoksal terjadi pada penderita HIV yang lanjut dengan jumlah CD4 rata-rata 35 /mm3 dengan rata rata jumlah RNA 581.694 copies/ml. Faktor risiko untuk terjadinya reaksi paradoksal berkaitan dengan patogenesis perbaikan respon imun. Penderita dengan jumlah sel CD4 basal yang lebih rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya reaksi paradoksal pada SSP. Hal ini terjadi karena adanya penyebaran kuman TB akibat jumlah sel CD4 yang rendah. Supresi HIV RNA yang lebih berat berkaitan dengan peningkatan risiko reaksi paradoksal akibat perbaikan respon imun yang lebih nyata. Demikian juga dengan pemberian obat antiretrovirus yang dimulai dalam 2 bulan pertama pengobatan TB akan meningkatkan risiko reaksi tersebut. Diagnosis menyingkirkan reaksi paradoksal adanya seringkali kegagalan dibuat setelah TB, kemungkinan pengobatan

hipersensitifitas terhadap obat, serta kemungkinan adanya infeksi lain. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan tergantung dari gambaran klinis yang ada. Pemeriksaan foto toraks, kultur M.TBC, aspirasi / biopsi kelenjar getah bening dapat dilakukan sesuai indikasi. Penanganan reaksi paradoksal belum diteliti secara khusus. Reaksi ringan sampai sedang dapat diatasi dengan pemberian obat antiinflamasi nonsteroid. Bila reaksi paradoksal yang timbul cukup berat misalnya pembesaran kelenjar getah bening yang nyata sehingga menimbulkan gangguan anatomis misalnya kesulitan bernafas, menelan, lesi desak

ruang pada SSP dapat diatasi dengan pemberian steroid atau dengan menghentikan sementara obat antiretrovirus.

2.4.7 Tatalaksana pemberian obat anti tuberkulosis pada penderita HIV / AIDS Dianjurkan untuk menggunakan regimen yang mengandung Rifamycin karena waktu pemberiannya lebih singkat dan lebih dapat ditoleransi oleh penderita sehingga diharapkan kegagalan pengobatan dan kekambuhan akan lebih kecil. Strategi DOTS dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan berobat penderita. Lama pemberian OAT pada penderita TB dengan HIV/AIDS masih kontroversi. Centers of Disease Control and Prevention menganjurkan pengobatan selama 6 bulan tetapi bila gejala klinis masih ada atau bila kultur setelah 2 bulan terapi masih positif dianjurkan ditambah hingga total 9 bulan untuk menghindari terjadinya interaksi antara obat anti TB dan antiretrovirus maka pemberian obat-obat tersebut harus diatur sedemikian rupa dengan memperhatikan kondisi penderita. (gambar 1) Bila penderita dengan TB aktif baru diketahui menderita HIV maka harus ditentukan apakah pemberian antiretrovirus harus diberikan segera atau tidak. Penderita HIV stadium dini (jumlah Sel CD4 > 300/mm3 ) mempunyai risiko yang rendah untuk terjadinya perburukan HIV, maka untuk pengobatan TB dapat diberikan regimen OAT ). yang mengandung diberikan pemberian Rifampin obat-obat sementara OAT obat antiretrovirusnya ditunda sampai pengobatan infeksi TB selesai ( bila memungkinkan yang rendah Sementara sekalipun dilakukan sedapat pemeriksaan CD4 serial. Bahkan pada penderita dengan jumlah CD4 antiretrovirus mungkin/sebaiknya ditunda sampai fase inisial pengobatan TB selesai. Penundaan ini bertujuan untuk mempermudah penatalaksanaan efek samping OAT yang mungkin timbul serta untuk mengurangi kemungkinan timbulnya immune restorationsyndromes. Pengobatan TB pada penderita HIV/AIDS yang sedang dalam terapi antiretrovirus sedikit lebih kompleks. Bila obat antiretrovirus yang

diberikan ternyata efektif dalam meningkatkan jumlah sel CD4 dan mengurangi viral load maka regimen anti TB yang digunakan adalah yang mengandung Rifabutin dengan dosis yang disesuaikan ( tabel 1), dan obat antiretrovirus diteruskan. Penderita yang tidak dapat menggunakan golongan Rifamycin karena timbul efek samping maka sebagai penggantinya dapat digunakan Streptomisin. Bila antiretrovirus yang digunakan ternyata tidak efektif maka obat-obat tsb sebaiknya dihentikan dan diberikan OAT. Obat antiretrovirus diberikan lagi setelah 2 bulan pengobatan OAT. Regimen yang dipilih adalah yang mengandung Rifabutin. Bila pada fase inisial digunakan regimen yang mengandung Rifampin maka 2 minggu sebelum pemberian antiretrovirus Rifampin harus diganti dengan Rifabutin. Substitusi tersebut bertujuan agar dapat menghilangkan efek Rifampin terhadap CYP3A. Dari berbagai macam kombinasi obat antiretrovirus yang ada saat ini, pilihan yang dianjurkan adalah mengandung Nelfinavir ditambah dengan 2 golongan nukleosida karena pemberiannya adalah 2x /minggu sehingga bila terjadi interaksi obat mudah untuk diatasi. Immune restoration syndromes sering kali ditemukan dan kadangkadang manifestasinya cukup berat, karena itu pasien dan dokter harus senantiasa waspada akan kemungkinan timbulnya manisfestasi tersebut. Pasien harus segera dievaluasi setelah pemberian antiretrovirus untuk
Penderita TB aktif & mengidentifikasi dan mengatasi gejala yang Penderita TB aktif tersebut. Koordinasi yang baik baru bergerak dalam program pemberantasan antara tenaga kesehatan yangterdiagnosis HIV sebelumnya Dx HIV sudah tegak

TB dan program perduli HIV/AIDS diperlukan selama pengobatan TB dengan HIV/AIDS.(Tabel 3)

Obat anti retrovirus dapat ditunda

Obat anti retrovirus harus mulai diberikan

Obat antiretrovirus harus diberikan/ dilanjutkan

Gunakan evaluasi

rejimen

yang

mengandung

rifampisin, pemberian

Gunakan obat-obat

regimen

yang

Alternatif, regimen

gunakan yang mgd

mengandung rifabutin dan antiretrovirus

streptomisin, obat antiretrovirus dapat diberikan/diteruskan

antiretrovirus setelah 3 bulan

dapat langsung diberikan

Gambar 2. Rekomendasi strategi penanganan penderit dengan infeksi tuberculosis dan HIV/AIDS

Tabel 3. Rekomendasi tatalaksana pemberian obat-obat penderita HIV/AIDS dengan TB

antiretrovirus pada

Permasalahan Efek samping yang tumpang tindih antara

Anjuran Penanganan Tunda pemberian obat antiretrovirus hingga

OAT dan obat antiretrovirus

1-2

bulan

untuk dan

mempermudah mengatasi efek

mengidentifikasi samping OAT. Interaksi NNRTIs). antara obat-obat golongan

Gunakan Rifabutin dengan dosis yang disesuaikan. Gunakan Rifampin dengan Efavirenz atau Ritonavir (dengan dosis > 400 mg, 2 kali sehari). Komunikasi kesehatan . Tunda pemberian obat antiretrovirus bila jumlah CD4 relatif tinggi ( > 300/mm3). yang baik antara tenaga

Rifamycins dengan antiretrovirus (PIs dan

Reaksi paradoksal setelah pemberian obat antiretrovirus.

Penderita dengan jumlah sel CD4 yang rendah pemberian antiretrovirus ditunda sampai infeksi TB membaik (tunda hingga 2 bulan pengobatan OAT). Kewaspadaan penderita dan tenaga kesehatan akan gejala reaksi paradoksal. Membuat rencana evaluasi segera setelah pemberian antiretrovirus untuk mendeteksi reaksi paradoksal secara dini.

2.4.8 Pencegahan TB pada HIV/AIDS American Thoracic Society (ATS) dan Center for Disease Control and Prevention CDC) tahun 1999 menggunakan nomenklatur baru untuk kemoprofilaksis TB yang selama ini digunakan yaitu pengobatan infeksi laten TB (Latent Tuberculosis Infection/LTBI). Infeksi laten TB adalah

individu

dengan

tes

tuberkulin

positif,

sedangkan

secara

klinis,

bakteriologis dan radiologis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi TB yang aktif.Tes tuberkulin dianggap positif pada penderita AIDS bila diameter indurasi 5 mm. Pengobatan LTBI yang dianjurkan oleh ATS dan CDC (1999) terdiri dari 2 pilihan yang memberikan efektifitas yang sama yaitu INH 5 mg/kg BB (maksimal 300 mg) yang diberikan selama 9 bulan dan kombinasi Rifampin 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg) perhari + Pyrazinamide 15-20 mg/kgBB (maksimal 2 gr) perhari selama 2 bulan. Pemilihan jenis obat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keinginan penderita, risiko efek samping obat, kepatuhan berobat, kemampuan pengawasan, ada tidaknya pengobatan dengan PIs atau NNRTI serta jenis PIs/NNRTI yang digunakan. Penderita yang akan mendapatkan/dalam pengobatan dengan PIs atau NNRTIs dianjurkan untuk pemberian INH, sedangkan pemberian Rifampin merupakan kontran indikasi. Beberapa ahli menganjurkan pemberian Rifabutin (sebagai pengganti Rifampin) bersama dengan Pyrazinamide untuk pengobatan LTBI pada penderita yang mendapatkan pengobatan PI atau NNRTI. Rifabutin setengah dosis (150 mg/hari) dapat diberikan besama dengan Indinavir, Nelfinavir atau Amprenavir, sedangkan untuk Ritanovir dosis Rifabutin yang diberikan adalah seperempatnya ( misalnya 150 mg selang sehari atau 3 kali seminggu). Bila PI yang digunakan adalah Nevirapine maka Rifabutin dapat diberikan dengan dosis normal, sedangkan bila bersama dengan Efavirenz dosis Rifabutin yang diberikan harus lebih tinggi (450600 mg/hari). Penderita yang mendapatkan terapi kombinasi dengan beberapa macam PIs atau kombinasi PI dengan NNRTI maka pemberian Rifabutin tidak dianjurkan karena adanya kemungkinan interaksi obat-obat yang lebih kompleks. Untuk kemoprofilaksis yang diberikan setelah pengobatan TB dengan OAT selesai masih perlu penelitian lebih lanjut. Salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 1998 terhadap 142 penderita TB dengan HIV pasca pengobatan OAT 6 bulan menunjukan bahwa rata-rata

kekambuhan pada penderita yang mendapatkan tambahan INH 300 mg/hari selama 1 tahun ternyata lebih rendah dibandingkan dengan plasebo. Penelitian ini juga menunjukan bahwa kemoprofilaksis dengan INH pasca pengobatan TB terutama bermanfaat untuk mencegah rekurensi pada penderita dengan riwayat HIV yang simtomatik (katagori B dan C menurut CDC).Beberapa ahli bahkan INH mempertimbangkan hidup (bila mengenai pemberian kemoprofilaksis seumur

memungkinkan ) pasca terapi OAT untuk mencegah kemungkinan reaktifasi endogen maupun reinfeksi eksogen. Walaupun masih dalam perdebatan, penderita HIV dengan tes tuberkulin negatif (anergi) bila didapatkan adanya faktor risiko untuk terkena TB misalnya riwayat kontak dengan penderita TB aktif, tinggal didaerah dengan prevalensi TB yang tinggi, perlu dipertimbangkan /dianjurkan untuk mendapatkan kemoprofilasis INH.

BAB III PEMBAHASAN


Permasalahan kasus interaksi obat pada pengobatan TBC dan HIV hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus interaksi obat lainnya, baik yang sudah terdokumentasikan atau bahkan yang belum sama sekali

diketahui, mengingat obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun obat-obatan lainnya. Problema polifarmasi dalam pemberian obat dalam penanganan penyembuhan suatu penyakit tertentu menjadi hal yang belum dapat atau bahkan tidak dapat kita hindari. Ketidaktauan pasien yang awam terhadap hal ini didukung kurang optimalnya sumber daya tenaga kesehatan ( tenakes ) yang ada menjadi faktor semakin parahnya kasus interaksi obat yang terjadi, untuk kasus-kasus yang sedikit banyak telah terdokumentasikan, sangatlah penting untuk diterapkan seorang tenakes dan diketahui bersama dengan pasien untuk mendapatkan hasil akhir pengobatan yang aman dan tepat guna.

BAB IV KESIMPULAN

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari makalah studi kasus interaksi obat ini dipandang dari dua sisi, yakni tenakes dan pasien, dari sudut pandang tenakes, hendaknya semakin mengoptimalkan cakrawala dan wawasan akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam suatu pemakaian polifarmasi, mengikuti perkembangan terbaru atau bahkan turut berperan serta dalam diskusi-diskusi ilmiah akan hal yang terkait, kemudian sosialisasi terhadap pasien atau bahkan masyarakat juga tidak dapat dilupakan, karena pada akhirnya masyarakat ataupun pasien menjadi partner tenakes dalam menyukseskan setiap permasalahan dalam pengobatan dengan membekali mereka pengetahuan yang akan menjadi benteng pertama usaha pencegahan terhadap kasus interaksi obat yang mungkin ada di lingkungan sekitar mereka. Sudut pandang kedua dilihat dari sisi pasien, tak dapat dipungkiri pasien sebagai pengguna jasa tenakes memiliki hak untuk bersikap kritis, dalam artian seorang pasien diperbolehkan untuk bertanya mengenai pengobatan yang dijalaninya, termasuk obat-obatan yang harus dikonsumsi. Menyimpan setiap dokumentasi obat-obatan termasuk vitamin, jamu, makanan kesehatan, obat tanpa resep, narkoba dan lainnya yang digunakan, dalam suatu daftar pribadi misalnya, dan bawa daftar ini setiap kali kunjungan. mungkin terlihat sepele tetapi hal tersebut akan sangat berguna bila terjadi sesuatu hal dalam pengobatan maka akan lebih mudah untuk ditelusuri sehingga tidak menimbulkan pradugapraduga yang justru hanya menghantarkan pada kesalahan diagnosa.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ganiswara, G, Sulistia., dkk. 1987. Farmakologi dan Terapi Edisi 3. Bagian Farmakologi, fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2. 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-7. Jakarta Harkness Richard, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan Mathilda B.Widianto. 1989. Interaksi obat. Penerbit ITB. Bandung 4. http://www.aidsmap.com/files/file1000670.pdf 5. Aids Treatment Update Issue 88, April 2000

You might also like