You are on page 1of 20

PERSAINGAN BISNIS INDUSTRI FARMASI DI TINJAU DARI SUDUT PANDANG ETIKA

LINGKUNG BISNIS DISUSUN OLEH : KELOMPOK VII

Statement of Authorship Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya. Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan dengan jelas menggunakannya. Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme. Anggota Kelompok VII No 1 2 3 4 5 Dosen : NRP 91114305 91114312 91114314 91114330 91114331

NAMA Adriel Marcellus Enggai Nicolas Hermawan S. Andreas Iwan Hudiarto Moh. Armyn Rizal M. Ashar Pratama : Tim Dosen

Surabaya, 7 Mei 2012

Adriel Marcellus

1. Pendahuluan

a.

Etika Bisnis Etika bisnis atau Corporate ethics adalah bentuk etika terapan

atau etika profesional yang meneliti prinsip-prinsip etika dan masalah masalah moral yang muncul dalam lingkungan bisnis. Hal ini berlaku untuk semua aspek bisnis dan relevan dengan perilaku individu dan organisasi bisnis secara keseluruhan. Etika Terapan adalah bidang etika yang berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan etis dalam berbagai bidang seperti etika medis, teknis, hukum dan bisnis. Secara historikal, etika bisnis mulai mndapatkan peran pada era tahun 1980 dan 1990, baik di dalam perusahaan besar dan dalam akademisi. Misalnya, banyak website perusahaan yang lebih menekankan pada komitmen untuk mempromosikan nilai-nilai sosial non-ekonomi seperti kode etik. Dalam beberapa kasus, perusahaan telah mendefinisikan kembali nilai-nilai inti mereka dalam pertimbangan etika. Etika bisnis dapat bersifat normatif dan disiplin deskriptif. Jangkauan dan kuantitas masalah bisnis etika mencerminkan sejauh mana bisnis dianggap bertentangan dengan nilai-nilai sosial nonekonomi. Etika bisnis secara sederhana adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat. Prinsipprinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masingmasing masyarakat. Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut:

Prinsip otonomi;

adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.

Prinsip kejujuran.

Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.

Prinsip keadilan;

menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.

Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle);

menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.

Prinsip integritas moral;

terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan/orang2nya maupun perusahaannya.

b.

Problem etika dalam bisnis farmasi

Industri farmasi sebagai produsen yang menghasilkan obat-obatan bersama dengan dokter memiliki peranan besar dalam aktivitas

penyembuhan suatu penyakit. Bahkan omzet obat sangat besar yaitu 50-60% dari anggaran rumah sakit (Source: Industri Farmasi, Profit dan Etika: manajemen-rs.net/.../MRS_BAB%20XIV%20%20INDUSTRI%20FA...). Hal ini ditunjang bahwa sebagian obat tidak memiliki barang pengganti/substitusi dan harus di beli untuk kemudian dikonsumsi demi kesembuhan penyakitnya. Namun ada beberapa obat yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat maka obat tersebut di subsidi oleh pemerintah sehingga masyarakat dapat menikmati secara gratis obat tersebut. Obat-obat itu antara lain untuk imunisasi dan beberapa penyakit menular. Karena rata-rata obat tidak memiliki substitusi dan masyarakat ketika menderita suatu penyakit mau tidak mau harus membeli obat yang diresepkan oleh dokter demi kesembuhan dirinya, maka industri farmasi adalah sektor industri yang tidak/jarang terpengaruh oleh krisis perekonomian yang ada. Menurut Clarkson (1996), Industri farmasi merupakan salah satu industri yang paling menguntungkan. Industri ini menduduki rangking 4 setelah industri software, perminyakan dan makanan yang paling menguntungkan. Indstri Farmasi yang paling untung adalah yang mampu menemukan jenis obat baru yang disebut obat paten karena oleh undang-undang internasional dilindungi hak patennya tidak boleh di copy oleh industri farmasi lainnya selama 17 sampai dengan 25 tahun. Jadi penemu obat baru tersebut dapat melakukan monopoli dan harga bisa ditentukan oleh produsen tersebut. Secara diagram, menurut Reuter business Insight. Life cycle produksi obat baru dapat digambarkan sebagai berikut :

Pada fase 1, tahapan riset yang dilakukan oleh R&D hingga mendapatkan persetujuan edar obat di masyarakat membutuhkan waktu hingga 15 tahun. Hal ini dikarenakan proses pembuatan obat tersebut melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: Formulasipengujian kepada binatang pengujian kepada sekelompok kecil orang sehat pengujian kepada sekelompok orang yang lebih banyak dari tahap sebelumnya tetapi mempunyai penyakit untuk menguji kemanjuran obat terhadap penyakit tersebut pengujian kepada kelompok yang lebih banyak lagi dengan berbagai latar belakang untuk menguji kemanjuran dan keselamatan ketika mengkonsumsi obat tersebut. Oleh karena panjangnya tahap riset terhadap obat baru, maka untuk tetap memotivasi para professional peneliti obat baru, perlu diberikan stimulan yang memadai yaitu dengan memberikan hak paten untuk menjual secara eksklusif dengan jangka waktu tertentu tanpa adanya pesaing dengan jenis obat yang sama(antara 17 sampai dengan 25 tahun) sehingga keuntungan penemu obat dapat dimaksimalkan. Baru setelah lewat masa eksklusif, industri-industri lain berhak untuk meniru untuk membuat obat tersebut. Obat ini dikenal sebagai obat copy atau obat generik. Pada saat masa ekslusif telah lewat, baru harga obat dapat turun menyesuaikan dengan kondisi

pasar yang ada, sehingga masyarakat luas terutama yang tidak mampu dapat menikmati khasiat dari obat tersebut. Namun meskipun dikatakan merupakan industri yang paling menguntungkan nomor 4, persaingan di industri farmasi sangatlah ketat. Hal ini dipengaruhi oleh 3 hal yaitu a. Regulasi obat Industri obat agar bisa bertahan dalam persaingan maka harus memiliki modal yang besar. Hal ini disebabkan adanya regulasiregulasi yang ketat dalam proses pembuatan obat. Pemenuhan terhadap serangkaian regulasi yang ketat tersebut membuat industri farmasi harus mengeluarkan modal yang besar. Bila industri farmasi tidak memenuhi regulasi yang ditetapkan oleh regulator (Regulator Indonesia dibawah kendali Badan Pengawasan Obat dan Makanan/BPOM, di Amerika dibawah kendali Food and Drug Administration/FDA) maka industri farmasi tersebut tidak akan diberikan ijin edar oleh regulator yang ada di masing-masing negara. b. Hak paten Seperti penjelasan di atas, ketika industri farmasi menemukan obat baru, maka akan diberikan hak ekslusif tanpa diganggu oleh industri farmasi lainnya untuk memasarkan obatnya secara maksimal. Setelah hak paten berakhir, industri-industri farmasi lainnya bisa memproduksi obat yang sejenis yang dikenal sebagai obat generik. Karena banyaknya industri farmasi yang memproduksi produk serupa, maka timbul persaingan yang ketat. Persaingan yang ketat antara industri farmasi ini kadang-kadang menjurus ke suatu hal yang kurang beretika seperti melakukan kolusi dengan dokter, rumah sakit ataupun apotik. Kolusi ini dilakukan dengan cara melobi dokter ataupun rumah sakit untuk

meresepkan obat dengan merek industri farmasi tertentu dan bila mencapai target, maka mereka akan diberikan kompensasi yang memadai oleh industri farmasi tersebut. Kompensasi bisa mulai dari pemberian perangkat elektronik, rumah mewah, mobil mewah hingga jalan-jalan ke luar negeri bersama gratis atas biaya industri farmasi tersebut. Hal ini dapat rawan memicu dokter untuk menyalahgunakan profesi mereka demi keuntungan pribadi dengan mengabaikan hak pasien untuk medapatkan obat yang manjur dan murah. c. Sistem Distribusi Sistem distribusi obat-obatan di industri farmasi sangat unik dibandingkan industri-industri di sektor lainnya. Distribusi dilakukan dengan cara dari produsen harus melalui distributor dan tidak boleh di jual secara langsung ke konsumen. Dari distributor dengan konsep Detailing akan memasarkan obat dengan menemui dokter yang sedang praktek di rumah sakit ataupun praktik pribadi di rumah. Detailer ini akan melobi dokter untuk menggunakan obat merk tertentu dengan imbalan tertentu. Dari hal ini, maka harga obat akan susah ditekan karena biaya kompensasi untuk dokter dibebankan kepada harga obat serta industri farmasi baru sulit bertahan karena kalah dengan industri farmasi lainnya yang sudah lama exists dan memiliki jaringan yang luas dengan dokter-dokter yang ada. Karena susahnya industri farmasi baru bersaing dengan industriindustri farmasi yang telah lebih dahulu berdiri serta persaingan antara industri-industri farmasi yang telah establish membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat. Kesulitan dalam bersaing didalam industri farmasi diperkuat oleh pendapat Sudirman-salah seorang anggota GP Farmasi Indonesia yang mengatakan bahwa porsi

produksi obat terbagi menjadi 3 bagian yaitu 2 BUMN yaitu Kimia Farma dan Indo Farma masing-masing memperoleh prosentase 5%, PMA yang berjumlah 40 masing masing memperoleh 2,5% dan 200 Industri Swasta Lokal masing-masing memperoleh 0,22%. Dari data ini semakin nampak bahwa dengan ketatnya persaingan membuat tiap industri farmasi melakukan trik-trik penjualan yang menjurus kearah yang tidak sehat. Trik-trik persaingan penjualan dapat dilakukan dengan melakukan kolusi antara industri farmasi dengan dokter maupun industri farmasi dengan rumah sakit. Kolusi dengan rumah sakit dapat dilakukan dengan cara ikut terlibat dalam mensponsori seminar yang diadakan oleh rumah sakit serta memberikan bantuan dana dalam merayakan ulang tahun rumah sakit tersebut. Dibalik kegiatan itu, rumah sakit diminta menggunakan produk dari industri farmasi yang menyumbang sejumlah dana tersebut. Kolusi dengan dokter dilakukan oleh seorang medical representative (Medrep) dimana fungsi awalnya adalah melakukan edukasi obat ethical industri farmasi nya kepada rumah sakit maupun apotik. Namun fungsi itu semakin bergeser dimana Medrep juga ditugaskan oleh industri farmasi untuk melakukan pendekatan kepada dokter. Pendekatan itu dilakukan dengan tujuan agar dokter mau menggunakan obat mereka dengan cara me-resep-kan jenis obat sesuai dengan penyakit si pasien tetapi dengan merk-merk tertentu dan sebagai imbalannya bila memenuhi target dokter akan diberi sesuatu materi tertentu. Otomatis dengan aktifitas tersebut, biaya yang dikeluarkan akan diperhitungkan di dalam harga obat, sehingga harga obat semakin melambung tinggi. Bukti kolusi yang dilakukan oleh industri farmasi dan dokter ini terbukti dengan diperiksanya 50 dokter oleh IDI dan 20 orang diantaranya telah menjalani sidang (TEMPO 4 Agustus)

Kerja sama dengan apotik juga dilakukan dengan memberikan diskon dalam jumlah besar serta oleh medrep akan dibantu untuk memasarkan obat yang ditawarkan melalui jaringan dokter yang dikenalnya. Oleh medrep, dokter tersebut diminta untuk mengarahkan pasien membeli obat di apotik tertentu. Dari jaringan distribusi ini, otomatis apotik semakin diuntungkan namun lagi-lagi biaya yang dikeluarkan harus dibebankan ke harga obat sehingga harga obat semakin mahal. Kolusi lainnya adalah yang dilakukan oleh oknum dokter yang merangkap sebagai staf pengajar dan spesialis senior dimana dalam melakukan penelitian obat-obatan baru yang disponsori oleh industri farmasi tertentu, sengaja diarahkan dengan data-data yang telah disiapkan oleh industri farmasi sponsor ke arah yang menguntungkan industri farmasi tersebut. Hal ini menyimpang dari kriteria penelitian yang disebut EBM (Evidence Base Medicine). Sehingga seolah-olah, dokter tersebut menjadi seorang marketer industri farmasi tersebut.
2. Strategi Pemasaran dalam Bisnis Industri Farmasi ditinjau dari

Sudut Pandang Etika a. Perusahaan antara lain : * Bisnis ini akan meet demands of business stake holder, dimana bisnis farmasi harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan semua pihak yang terkait yang berkepentingan (stakeholders) dijamin, diperhatikan, dan dihargai. bisa dilihat juga secara jelas bagaimana prinsip-prinsip etika bisnis yang bisa berelevansi dalam interaksi bisnis dari sebuah bisnis dengan berbagai pihak terkait. Misalnya, perusahaan yang mampu farmasi yang menjalankan etika bisnis secara berkelanjutan sebenarnya akan memiliki beberapa keuntungan,

10

menyejahterahkan karyawannya, maka secara etika perusahaan ini telah bertanggung jawab dalam memperlakukan karyawan secara beretika dan akhirnya mampu menciptakan citra di masyarakat dan komunitas sebagai perusahaan yang beretika. Dan saat suatu perusahaan mampu menjaga standar standar etika di masyarakat, konsumen akan merespon hal tersebut secara positif dan mampu meningkatkan profit perusahaan. Sebagai contoh: perusahaan farmasi yang salah dalam pembuatan obat, sehingga obat yang beredar di masyarakat adalah obat yang rusak, maka peran QA dalam suatu pabrik farmasi akan melakukan penarikan barang secara keseluruhan pada no batch obat tersebut. * Dalam etika bisnis sebagai enchance business performance, dimana perusahaan yang mampu mengakomodir etika bisnis secara berkelanjutan maka akan meningkatkan kualitas karyawan, meningkatkan penjualan dan mendapatkan loyalitas konsumen. Pada bisnis farmasi yang mampu menjaga etika tidak hanya sekedar profit oriented, tapi mengutamakan patient oriented, maka dampak etika bisa dirasakan langsung oleh konsumen. * Comply with regal requirements, etika bisnis seringkali juga menjadi kebutuhan standar-standar hukum suatu perusahaan. Bisnis farmasi di Indonesia, memliki beberapa landasan diantaranya Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009, dimana perusahaan bisnis farmasi memliki batasan dalam menjalankan bisnis farmasinya, seperti larangan hukum mengedarkan narkoba, dsb. Selain itu juga masih ada berbagai peraturan etika tentang hak konsumen.

11

* Prevent or minimize harm, dimana bisnis farmasi tidak boleh melakukan kesalahan yang dapat merugikan masyarakat, berbagai pihak yang berinteraksi dengan perusahaan dan lingkungan sekitar. Misalnya limbah perushaan farmasi harus mengikuti berbagai peraturan regulator sehingga tidak mencemari dan berbahaya bagi lingkungan, karena limbah pabrik farmasi jika tidak diproses terlebih dahulu memiliki resiko merusak ekosistem lingkungan, sangat kesehatan masyarakat sehingga berdampak pada citra perusahaan menurun dan akhirnya menjadi merugikan. * Promote personal morality, dimana bisnis setiap orang memiliki persepsi dan pandangan yang berbeda beda dalam hal etika. Bisnis farmasi yang mampu menjangkau semua pemikiran tersebut maka akan dapat menjalankan etika bisnis secara maksimal. Karena jika hal ini tidak dijaga, maka tidak menutup kemungkinan karyawan akan mengundurkan diri di karenakan tidak setuju dengan persepsi etika perusahaan yang berbeda. Begitu juga dengan konsumen, bila memliki sudut pandang yang berbeda dengan perusahaan tentang etika, maka tidak menutup kemungkinan, membuat loyalitas konsumen akan menurun. b. Analisa Problem Etika di Bisnis Ada 5 nilai dalam kaitannya dengan etika yang berlaku umum yaitu : tidak membahayakan, tidak memihak/adil, jujur, menghormati hak orang lain dan melakukan tugas/tindakan secara bertanggung jawab. Berkaitan dengan 5 nilai tersebut, ada metoda penalaran etika yang dapt digunakan untuk tujuan analisa strategi pemasaran obat di tinjau dari sudut pandang etika. a. Etika Moralitas

12

Etika dari masa ke masa memiliki sudut pandang yang berbedabeda. Tetapi bila kita melihat nilai moral terbaru yaitu dari Robert Solomon (1942-2007) dimana moral yang baik adalah yang memiliki karakter jujur, percaya dan ketabahan dan dikaitkan dengan 5 nilai umum di atas, maka strategi penjualan obat-obatan farmasi yang biasanya di mana tugas penjualan di delegasikan kepada detailer, yang dilakukan dengan cara kolusi bersama dengan dokter, rumah sakit maupun apotik akan dapat menyebabkan nilai-nilai etika yang ada kemungkinan besar dilanggar. Sebagai contoh untuk nilai moral Jujur . Ketika detailer memberikan iming-iming suatu hal yang menggiurkan bagi dokter dengan syarat bisa memenuhi target pemberian resep kepada pasien dengan obat dari perusahaan tempat detailer bekerja, maka dokter pun akan berusaha mencari pembenaran bahwa pasien memang butuh obat tersebut meskipun tidak terlalu membutuhkan dan seharusnya yang dibutuhkan untuk lebih manjur adalah obat lain dengan harga yang bisa lebih murah. Serta sebagai dokter kita juga telah melanggar kepercayaan pasien karena mereka yakin bahwa kesembuhan pasien ada di tangan dokter. Walaupun dari tindakan dokter tersebut tidak membahayakan si pasien namun dokter tidak memiliki karakter kejujuran, memihak kepada detailer serta tidak memiliki tindakan bertanggung jawab dan menodai kepercayaan pasien. Hal ini yang menyebabkan kolusi antara detailer dan dokter kemungkinan besar akan menimbulkan masalah etika. Strategi-strategi yang lain dimana apabila industri farmasi membangun kedekatan dengan instansi rumah sakit, dokter dengan memberikan dukungan dalam bentuk dana untuk berbagai keperluan instansi rumah sakit maupun dokter akan sangat dekat sekali dengan perilaku yang menyimpang secara

13

etika walaupun secara bisnis hal itu tidaklah salah. Karena dengan membangun kolusi atau hubungan terlalu dekat dapat menyebabkan konflik kepentingan. Hal ini terjadi karena instansi rumah sakit ataupun dokter akan dihadapkan pada dua pilihan yaitu mendahulukan pencapaian bonus yang di janjikan oleh industri farmasi bila berhasil memenuhi target ataukah mengutamakan pasien sehingga dapat sembuh kembali dengan biaya seefisien mungkin. Dilema-dilema seperti ini yang memicu IPMG (International Pharmaceutical Manufacturers Group) menyusun buku pedoman yang mengatur tentang kode etik pemasaran produk farmasi. Namun buku pedoman ini sangat lemah sekali karena sanksinya hanya berupa sanksi moral tanpa adanya sanksi hukum yang jelas. Buku pedoman ini juga tidak akan mengurangi kolusi antara detailer dan dokter ataupun instansi rumah sakti karena strategi ini sangat susah untuk dibuktikan. b. Hak-hak Manusia Hak-hak manusia yang paling dasar adalah hak untuk hidup, aman, bebas berpendapat, kebebasan, mendapatkan informasi yang benar, menghargai sesama. Manusia adalah makhluk yang paling berharga. Sehingga dalam kasus kolusi antara detailer dan dokter yang mengarah ke deal-deal tertentu adalah tidak beretika. Karena dengan adanya deal tersebut, mereka tidak menghargai sesama dalam hal ini adalah pasien, dimana pasien berhak mendapatkan suatu obat yang benar-benar dibutuhkan mereka dengan harga paling ekonomis sehingga tidak makin memberatkan pasien yang sudah menderita karena penyakitnya. Juga ketika terjadi kolusi yang menjurus kearah negative, maka biaya yang dikeluarkan untuk memanjakan dokter otomatis akan dibebankan kepada konsumen melalui harga obat yang sangat mahal. Hal ini didukung

14

adanya peraturan Pemerintah Indonesia yang hanya mengatur batas maksimal untuk obat generik namun tidak mengatur batas harga obat paten. Celah ini dimanfaatkan oleh detailer dan dokter dengan memberikan resep obat dengan menyebutkan merek tertentu (obat tersebut merupakan obat paten) ditambah dengan ketidaktahuan konsumen bahwa ada alternatif yang lebih murah yaitu obat generik dengan kandungan bahan aktif yang sama dengan obat paten tersebut, sehingga konsumen terpaksa membeli obat dengan harga yang jauh lebih mahal. Yang dikhawatirkan adalah, ketika yang membutuhkan obat tersebut adalah masyarakat yang tidak mampu dan tidak memiliki asuransi sehingga dengan terpaksa tidak membeli obat yang diresepkan oleh dokter dan tidak berani bertanya kepada dokter karena merasa kurang percaya diri sehingga berakibat fatal/kematian pada individu tersebut, maka hal ini sungguh sangat tidak beretika karena hak manusia untuk hidup, hak untuk merasa aman dan kebebasan untuk memilih obat yang lebih murah dengan tingkat kemanjuran yang sama telah dilanggar oleh aktivitas kolusi antara detailer dan dokter tersebut. Hal ini juga melanggar hak untuk mendapatkan informasi yang sebenarbenarnya karena dokter tidak memberikan penjelasan yang sebenar-benarnya (hanya penjelasan sepotong untuk menjustifikasi bahwa obat yang diresepkan benar) mengenai obat apa yang sebenarnya perlu diminum demi kesembuhan pasien nya. c. Keadilan Dengan adanya kolusi antara detailer dan dokter dimana secara legal aspek tidak melanggar, namun dari sisi pasien akan berpotensi memperoleh kerugian, apakah hal tersebut adil bagi pasien ? Sehingga apakah bisa dikatakan kolusi tersebut beretika ? Di tinjau dari sisi individu yang berperan dalam industri obat

15

maupun mitra pemasarannya, ketika penjualan obat meningkat, maka karyawan dan pengusaha di industri obat akan semakin sejatera begitu juga dokter yang menjadi mitranya, namun di sisi yang lain, konsumen ataupun masyarakat pada umumnya akan merasakan bebannya karena harga obat juga dipengaruhi oleh budget yang dikeluarkan untuk aktivitas kolusi, sehingga semakin mahal dan dapat menyebabkan tidak terbelinya obat oleh pasien karena ketidakmampuan secara ekonomi. Sumber dari SWA mengatakan bahwa untuk aktivitas promosi dan pemasaran mengambil 10% dari penjualan dan untuk obat ethical yaitu obat yang dilarang untuk diiklankan dialokasikan sampai dengan 50% untuk aktivitas promosi dan pemasaran.
3. Analisa dan Kesimpulan

Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan diatas antara lain :
a.

Industri-industri farmasi PMA yang tergabung dalam Pharmaceuticals Manufacturer Group (IPMG)

International

membuat kode etik tentang pemasaran produk farmasi di Indonesia. Aturan-aturan yang dikeluarkan meliputi materi promosi, prosedur dan tanggung jawab perusahaan. Beberapa aturan yang diterapkan adalah dilarang memberikan uang atau sejenisnya kepada professional medis dan sponsorship dan bantuan hanya boleh diberikan kepada organisasi saja. Namun kode etik ini tidak memiliki dampak hukum, tetapi hanya memberikan sanksi moral dimana nama baik perusahaan tersebut akan tercemar di dunia internasional dan hanya berupa pemberian surat peringatan atau dikeluarkan dari keanggotaan saja. b. Pada tanggal 11 Juni 2007 di gedung Departemen Kesehatan, terjadi penandatanganan bersama mengenai etika promosi

16

obat antara Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Penandatangan kesepakatan tersebut selain dihadiri sejumlah pengusaha, pengurus IDI juga dihadiri pemerintah yang diwakili oleh Drs. Richard Panjaitan Apt., SKM, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes. Terdapat 7 poin yang disepakati yaitu beberapa di antaranya adalah : Dokter dilarang menjuruskan pasien membeli obat tertentu Dukungan indutri farmasi pada pertemuan ilmiah dokter tidak

boleh dikaitkan dengan kewajiban mempromosikan obat industri farmasi tersebut. Industri farmasi dilarang memberikan honorarium kepada Donasi pada profesi kedokteran tidak boleh dikaitkan dengan dokter penulisan resep atau penggunaan produk dari industri farmasi tertentu Namun penandatangan bersama itu sifatnya adalah hanya untuk mengingatkan saja. Tidak ada sanksi hukum yang mendukung dibelakangnya. Sanksi nya hanya secara moral saja. Dan menurut beberapa sumber majalah SWA, kesepakatan ini dibuat karena GPFI dan IDI makin gerah, sebab muncul efek domino dari terjadinya pelanggaran etika menyebabkan harga obat melambung tinggi dan ujungnya, konsumen berteriak keras selain itu juga muncul rumor bahwa kesepakatan itu dibuat hanyalah karena akhir-akhir ini, persaingan dalam memasarkan obat menjadi semakin tidak sehat, dimana mereka jor-jor an memperebutkan dokter, rumah sakit, apotik dan apoteker. Kesimpulannya adalah selama tidak adanya sanksi hukum yang mendukung terhadap cara-cara pemasaran obat, maka apabila hanya

17

mengandalkan kepedulian pemasaran yang beretika saja, maka dilapangan akan masih banyak dijumpai praktik-praktik kolusi karena dari sifat bisnis itu sendiri yaitu mencari keuntungan semaksimal mungkin demi kelangsungan dan perkembangan perusahaan. Saran dari kelompok dimana elemen inti yang diperlukan dalam membangun etika antara dokter dan perusahaan farmasi adalah: Komitmen top management dan Lini Manager di bawahnya dalam perusahaan farmasi adalah kunci dalam perusahaan dimana mereka adalah pembuat keputusan yang akan dijalankan para pegawai, dimana keputusan ini mempengaruhi tidakan pegawai, apakah pegawai akan melakukan tindakan yang melanggar etika atau tidak. Oleh karena itu moral pengambil keputusan harus dibangun sehingga dapat lebih bertanggung jawab dalam mengambil keputusankeputausan dalam perusahaan farmasi. Selain itu medical representative sebagai ujung tombak dalam pemasaran produk farmasi juga harus dibangun kepribadiannya sehingga memiliki integritas yang tinggi, berdedikasi, dan jujur. Membangun kepribadian dapat dilakukan dengan training-training mengenai moralitas serta penyampaian komitmen dan kebijakan dari pengambil keputusan dalam menjalankan bisnisnya. Making ethics juga harus melibatkan pihak regulator atau Badan POM dan Kementerian Kesehatan yang bisa melakukan Law enforcement apabila terjadi penyimpangan terhadap etika dengan sanksi yang jelas seperti menjalankan Peraturan Pemerintah 51 Pasal 24 Tahun 2009 dimana pemberian wewenang kepada apoteker untuk mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang lebih murah tetapi memiliki kemanjuran yang sama dengan persetujuan dokter dan atau pasien. Dengan adanya kolaborasi antara dokter dan apoteker diharapkan

18

dapat mengurangi pelanggaran etika yang terjadi dan masyarakat semakin diuntungkan.

19

DAFTAR PUSTAKA John R Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 6th ed. Upper Saddle River, NJ : Prentice Hall, 2009. Etika Bisnis; tuntutan dan relevansinya. DR.A. Sonny Keraf. Jakarta; Penerbit Kanisius,1998 http://bj.sisfo.net/art/artikel.php. diakses tanggal 7 april 2012 http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp. diakses tanggal 7 april 2012

20

You might also like