You are on page 1of 26

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Bayi yang lahir dengan keadaan sehat serta memiliki anggota tubuh yang lengkap dan sempurna merupakan harapan dari seorang Ibu dan seluruh keluarga. Namun terkadang pada beberapa keadaan tertentu didapati bayi yang lahir kurang sempurna karena mengalami kelainan bentuk anggota tubuh. Salah satu kelainan adalah kelainan bawaan pada kaki yang sering dijumpai pada bayi yaitu kaki bengkok atau CTEV(Congenital Talipes Equino Varus). CTEV adalah salah satu anomali ortopedik kongenital yang sudah lama dideskripsikan oleh Hippocrates pada tahun 400 SM (Miedzybrodzka, 2002). Frekuensi clubfoot dari populasi umum adalah 1:700 sampai 1:1000 kelahiran hidup dimana anak laki-laki dua kali lebih sering daripada perempuan. Berdasarkan data, 35% terjadi pada kembar monozigot dan hanya 3% pada kembar dizigot. Ini menunjukkan adanya peranan faktor genetika. Insidensi pada laki-laki 65% kasus, sedangkan pada perempuan 30-40% kasus. Pada pasien pengambilan cairan amnion, deformitas ekstrimitas bawah kirakira mencapai 1-1,4% kasus. Sedangkan pada ibu yang mengalami pecah ketuban kira-kira terdapat 15% kasus. Epidemiologi CTEV terbanyak pada kasus-kasus amniotik. 1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian CTEV dan amputasi? 2. Bagaimana pathofisiologi CTEV? 3. Bagaimana evaluasi diagnostic dari CTEV? 4. Bagaimana management therapeutic dari CTEV dan amputasi? 5. Bagaiman prognosis dari CTEV dan amputasi? 6. Bagaimana perawatan CTEV dan amputasi?

1.3 TUJUAN

1.3.1

TUJUAN UMUM a. Agar mahasiswa mengetahui tinjauan terori CTEV dan amputasi serta asuhan keperawatannya dan untuk memenuhi tugas Keperawatan Anak II pada semester VI.

1.3.2

TUJUAN KHUSUS
a. Mengetahui pengertian CTEV dan amputasi

b. Mengetahui pathofisiologi CTEV c. Mengetahui evaluasi diagnostik d. Mengetahui management therapeutic e. Mengetahui prognosis
f. Mengetahui bagaimana perawatan CTEV dan amputasi

BAB 2

TINJAUAN TEORI CTEV


2.1 PENGERTIAN Menurut Donna Wong (1995), Clubfoot adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah/bengkok dari keadaan atau posisi normal. Beberapa dari deformitas kaki termasuk deformitas ankle disebut dengan talipes yang berasal dari kata talus (yang artinya ankle) dan pes (yang berarti kaki). Deformitas kaki dan ankle dipilah tergantung dari posisi kelainan ankle dan kaki. Deformitas talipes diantaranya: a) Talipes varus : inversi atau membengkok ke dalam b) Talipes valgus : eversi atau membengkok ke luar c) Talipes equinus : plantar fleksi dimana jari-jari lebih rendanh daripada tumit d) Talipes calcaneus : dorsofleksi dimana jari-jari lebih tinggi daripada tumit Clubfeet yang terbanyak merupakan kombinasi dari beberapa posisi dan angka kejadian yang paling tinggi adalah tipe talipes equinovarus (TEV) dimana kaki posisinya melengkung kebawah dan kedalam dengan berbagai tingkat keparahan. Unilateral clubfoot lebih umum terjadi dibandingkan tipe bilateral dan dapat terjadi sebagai kelainan yang berhubungan dengan sindroma lain seperti aberasi kromosomal, artrogriposis (imobilitas umum dari Frekuensi clubfoot dari populasi umum adalah 1 : 700 sampai 1 : 1000 kelahiran hidup dimana anak laki-laki dua kali lebih sering daripada perempuan. Berdasarkan data, 35% terjadi pada kembar monozigot dan hanya 3% pada kembar dizigot. Ini menunjukkan adanya peranan faktor genetika. Menurut Chris Brooker alih bahasa oleh Estu Tiar, (2008), talepes ekuinofarus ditandai oleh tumit yang tertarik ke atas, kaki mengalami inverse, tibia mengalami aduksi (dalam posisi ekuinovarus). Penanganannya biasanya mencakup manipulasi, penggunaan bidai dalam posisi yang diinginkan atau dalam bebrapa kasus ditangani dengan intervensi bedah. 2.2 PATHOFISIOLOGI persendian), cerebral palsy atau spina bifida.

Penyebab pasti dari clubfoot sampai sekarang belum diketahui. Beberapa ahli mengatakan bahwa kelainan ini timbul karena posisi abnormal atau pergerakan yang terbatas dalam rahim. Ahli lain mengatakan bahwa kelainan terjadi karena perkembangan embryonic yang abnormal yaitu saat perkembangan kaki ke arah fleksi dan eversi pada bulan ke-7 kehamilan. Pertumbuhan yang terganggu pada fase tersebut akan menimbulkan deformitas dimana dipengaruhi pula oleh tekanan intrauterine. 2.3 PATHWAY

2.4 MANIFESTASI KLINIS Bentuk kongenital kaki pekuk, yang merupakan sekitar 75% dari semua kasus, ditandai dengan: 1. Tidak adanya kelainan kongenital lain 2. Berbagai kekakuan kaki 3. Atrofi betis ringan 4. Hiploplasia tibia, fibula, dan tulang-tulang kaki ringan Kelainan ini terjadi lebih sering pada anak laki-laki (2:1) dan bilateral pada 50% kasus. Kemingkinan terjadinya deformitas secra acak dalah 1:1.000 kelahiran, tetapi pada keluarga yang terkena mungkin sekitar 3% pada saudara kandung, dan 20-30% pada anak dari orang tua yang terkena. Pemeriksaan pada bayi laki kaki pekuk menunjukkan equines kaki belakang, varus kaki belakang dan kaki tengah, adduksi kaki depan, dan berbagai kekauan. Semua temuan ini adalah akibat dislokasi medial sendi talonavikuler. Pada anak yang lebih tua, atrofi betis dan kaki lebih nyata daripada bayi, tanpa memandang seberapa baik kaki terkoreksi dan fungsionalnya. Temuan ini adalah karena aspek-aspeketiologi kaki pekuk, bukan metode pengobatannya (A. Samin Wahab, 2000). 2.5 EVALUASI DIAGNOSTIK Deformitas ini dapat dideteksi secara dini pada saat prenatal dengan ultrasonography atau terdeteksi saat kelahiran beserta ultrasonoghraphy 4 dimensi. 2.6 MANAGEMENT THERAPEUTIK Pertumbuhan yang cepat selama periode infant memungkinkan untuk penanganan remodelling. Treatment dimulai saat kelainan didapatkan dan terdiri dari tiga tahapan yaitu : 1) koreksi dari deformitas, 2) mempertahankan koreksi sampai keseimbangan otot normal tercapai, 3) observasi dan follow up untuk mencegah kembalinya deformitas.

Koreksi dari CTEV adalah dengan manipulasi dan aplikasi dari serial cast yang dimulai dari sejak lahir dan dilanjutkan sampai tujuan koreksi tercapai. Koreksi ini ditunjang juga dengan latihan stretching dari struktur sisi medial kaki dan latihan kontraksi dari struktur yang lemah pada sisi lateral. Manipulasi dan pemakaian cast ini diulangi secara teratur (dari beberapa hari sampai 1-2 bulan dengan interval 1-2 bulan) untuk mengakomodir pertumbuhan yang cepat pada periode ini. Jika manipulasi ini tidak efektif, dilakukan koreksi bedah untuk memperbaiki struktur yang berlebihan, memperpanjang atau transplant tendon. Kemudian ektremitas tersebut akan di cast sampai tujuan koreksi tercapai. 2.7 PROGNOSIS Beberapa kasus menunjukkan respon yang positif terhadap penanganan, sedangkan beberapa kasus lain menunjukkan respon yang lama atau tidak berespon samasekali terhadap treatmen. Orangtua harus diberikan informasi bahwa hasil dari treatmen tidak selalu dapat diprediksi dan tergantung pada tingkat keparahan dari deformitas, umur anak saat intervensi, perkembangan tulang, otot dan syaraf. Fungsi kaki jangka panjang setelah treatmen secara umum baik tetapi hasil study menunjukkan bahwa koreksi saat dewasa akan menunjukkan kaki yang 10% lebih kecil dari biasanya (Aronson & Puskarich, 1990). 2.8 PERAWATAN Asuhan keperawatan pada anak dengan koreksi non bedah sama dengan perawatan pada anak dengan anak dengan penggunaan cast. Anak memerlukan waktu yang lama pada koreksi ini, sehingga perawatan harus meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Observasi kulit dan sirkulasi merupakan bagian penting pada pemakaian cast. Orangtua juga harus mendapatkan informasi yang cukup tentang diagnosis, penanganan yang lama dan pentingnya penggantian cast secara teratur untuk menunjang penyembuhan.

Tugas perawat antara lain meminta pada dokter bedah untuk memberikan penjelasan dan intruksi yang adekuat pada orang tua, memberikan support emosional, mengajari orang tua tentang perawatan cast (termasuk observasi terhadap komplikasi), dan menganjurkan orangtua untuk memfasilitasi tumbuh kembang normal pada anak walaupun ada batasan karena deformitas atau therapi yang lama. Perawatan cast meliputi : a) Biarkan cast terbuka sampai kering b) Posisikan ektremitas yang dibalut pada posisi elevasi dengan diganjal bantal pada hari pertama atau sesuai intruksi c) Observasi ekteremitas untuk melihat adanya bengkak, perubahan warna kulit dan laporkan bila ada perubahan yang abnormal d) Cek pergerakan dan sensasi pada ektremitas secara teratur, observasi adanya rasa nyeri
e) Batasi aktivitas berat pada hari-hari pertama tetapi anjurkan untuk melatih

otot-otot secara ringan, gerakkan sendi diatas dan dibawah cast secara teratur f) Anjurkan istirahat yang lebih banyak pada hari-hari pertama untuk mencegah injury g) Jangan biarkan anak memasukkan sesuatu ke dalam cast, jauhkan bendabenda kecil yang bisa dimasukkan ke dalam cast oleh anak h) Rasa gatal dapat dukurangi dengan ice pack, amati integritas kulit pada tepi cast dan kolaborasikan bila gatal-gatal semakin berat i) Intruksikan pada klien atau keluarga untuk tidak mengenai cast dengan air (berenang, berendam)
j) Bila klien mengalami inkontinensia, lindungi cast dengan plester waterproof

atau plasic.

BAB 3 TINJAUAN TEORI AMPUTASI


3.1 PENGERTIAN Amputasi berasal dari kata amputare yang kurang lebih diartikan pancung. Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi. Kegiatan amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti sistem integumen, sistem persyarafan, sistem muskuloskeletal dan sisten cardiovaskuler. Labih lanjut ia dapat menimbulkan masalah psikologis bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas. 3.2 PENYEBAB Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi : 1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki. 2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki. 3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.

4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya. 5. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.
6. Deformitas organ.

3.3 JENIS AMPUTASI Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :


1. Amputasi selektif/terencana

Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir
2. Amputasi akibat trauma

Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.
3. Amputasi darurat

Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas. Jenis amputasi yang dikenal adalah :
1. Amputasi terbuka

Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang. Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan persiapan untuk penggunaan protese ( mungkin ).

Berdasarkan pada gambaran prosedur tindakan pada klien yang mengalami amputasi maka perawat memberikan asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan kompetensinya.
2. Amputasi tertutup.

3.4 TINGKATAN AMPUTASI

1. Ekstremitas atas Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi, berpakaian dan aktivitas yang lainnya yang melibatkan tangan. 2. Ekstremitas bawah Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari jari-jari kaki yang menimbulkan seminimal mungkin kemampuannya. Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi dua letak amputasi yaitu : a. Amputasi dibawah lutut (below knee amputation). Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic limb dan inschemic limb. b. Amputasi diatas lutut Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien dengan penyakit vaskuler perifer. 3. Nekrosis Pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu terapi konservatif, bila tidak berhasil dilakukan reamputasi dengan level yang lebih tinggi. 4. Kontraktur Kontraktur sendi dapat dicegah dengan mengatur letak stump amputasi serta melakukan latihan sedini mungkin. Terjadinya kontraktur sendi karena sendi terlalu lama diistirahatkan atau tidak di gerakkan. 5. Neuroma

10

Terjadi pada ujung-ujung saraf yang dipotong terlalu rendah sehingga melengket dengan kulit ujung stump. Hal ini dapat dicegah dengan memotong saraf lebih proximal dari stump sehingga tertanam di dalam otot. 6. Phantom sensation Hampir selalu terjadi dimana penderita merasakan masih utuhnya ekstremitas tersebut disertai rasa nyeri. Hal ini dapat diatasi dengan obatobatan, stimulasi terhadap saraf dan juga dengan cara kombinasi.
3.5 PENATALAKSANAAN AMPUTASI

Amputasi dianggap selesai setelah dipasang prostesis yang baik dan berfungsi. Ada 2 cara perawatan post amputasi yaitu : 1. Rigid dressing Yaitu dengan menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar operasi. Pada waktu memasang harus direncanakan apakah penderita harus immobilisasi atau tidak. Bila tidak diperlukan pemasangan segera dengan memperhatikan jangan sampai menyebabkan konstriksi stump dan memasang balutan pada ujung stump serta tempat-tempat tulang yang menonjol. Keuntungan cara ini bisa mencegah oedema, mengurangi nyeri dan mempercepat posisi berdiri. Setelah pemasangan rigid dressing bisa dilanjutkan dengan mobilisasi segera, mobilisasi setelah 7 10 hari post operasi setelah luka sembuh, setelah 2 3 minggu, setelah stump sembuh dan mature. Namun untuk mobilisasi dengan rigid dressing ini dipertimbangkan juga faktor usia, kekuatan, kecerdasan penderita, tersedianya perawat yang terampil, therapist dan prosthetist serta kerelaan dan kemauan dokter bedah untuk melakukan supervisi program perawatan. Rigid dressing dibuka pada hari ke 7 10 post operasi untuk melihat luka operasi atau bila ditemukan cast yang kendor atau tanda-tanda infeksi lokal atau sistemik. 2. Soft dressing Yaitu bila ujung stump dirawat secara konvensional, maka digunakan pembalut steril yang rapi dan semua tulang yang menonjol dipasang bantalan yang cukup. Harus diperhatikan penggunaan elastik verban jangan sampai menyebabkan konstriksi pada stump. Ujung stump dielevasi dengan

11

meninggikan kaki tempat tidur, melakukan elevasi dengan mengganjal bantal pada stump tidak baik sebab akan menyebabkan fleksi kontraktur. Biasanya luka diganti balutan dan drain dicabut setelah 48 jam. Ujung stump ditekan sedikit dengan soft dressing dan pasien diizinkan secepat mungkin untuk berdiri setelah kondisinya mengizinkan. Biasanya jahitan dibuka pada hari ke 10 14 post operasi. Pada amputasi diatas lutut, penderita diperingatkan untuk tidak meletakkan bantal dibawah stump, hal ini perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya kontraktur. 3.6 DAMPAK MASALAH TERHADAP SISTEM TUBUH 1. Kecepatan metabolism Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga menurunkan kecepatan metabolisme basal. 2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar keruang interstitial pada bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis. 3. Sistem respirasi a. Penurunan kapasitas paru Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi otot intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa. b. Perubahan perfusi setempat Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka

12

akan terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan atau infeksi) terjadi hipoksia. c. Mekanisme batuk tidak efektif Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental dan mengganggu gerakan siliaris normal. 4. Sistem Kardiovaskuler a. Peningkatan denyut nadi Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin dan mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering dijumpai pada pasien dengan immobilisasi. b. Penurunan cardiac reserve Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan isi sekuncup. c. Orthostatik Hipotensi Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana anterior dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakan pusing pada saat bangun tidur serta dapat juga merasakan pingsan. 5. Sistem Muskuloskeletal
a. Penurunan kekuatan otot

Dengan

adanya

immobilisasi

dan

gangguan

sistem

vaskuler

memungkinkan suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan, demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme akan terganggu sehingga menjadikan kelelahan otot. b. Atropi otot

13

Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan paralisis otot. c. Kontraktur sendi Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya keterbatasan gerak.
d. Osteoporosis

Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan persenyawaan organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis dan tulang menjadi keropos. 6. Sistem Pencernaan a. Anoreksia Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta penurunan kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya nafsu makan. b. Konstipasi Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan spincter anus menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat dalam colon, menjadikan faeces lebih keras dan orang sulit buang air besar. 7. Sistem perkemihan Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya gravitasi, pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat menyebabkan:
a. Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk

batu ginjal.
b. Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang

biaknya kuman dan dapat menyebabkan ISK. 8. Sistem integument Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah

14

dan nutrisi ke jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit dimasase untuk meningkatkan suplai darah.

BAB 4 TEORI ASUHAN KEPERAWATAN CTEV


4.1 PENGKAJIAN a. Pengumpulan Data Identitas : Nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, Tgl. MRS, diagnosa medis. b. Keluhan Utama Merupakan keluhan yang paling mengganggu ketidaknyamanan dalam aktivitas atau yang mengganggu saat ini c. Riwayat Penyakit Sekarang Klien tidak bisa berlajan dengan sempurna karena terdapat kelainan pada kaki depan (forefoot). d. Riwayat Penyakit Dahulu Klien dengan penyakit CTEV merupakan penyakit yang dibawa sejak lahir. e. Riwayat Penyakit Keluarga Mengenai gambaran kesehatan keluarga adanya riwayat keturunan dari orang tua. f. Riwayat Psikososial Siapa yang mengasuh klien bagaimana hubungan dengan keluarga, teman sebaya. g. Riwayat Kehamilan Meliputi prenatal, natal dan post natal.
h. Riwayat Imunisasi Dasar Dan Tambahan

Meliputi imunisasi : BCG, DPT, Hepatitis dan Polio i. Riwayat Tumbuh Kembang Pada klien CTEV biasanya mengalami keterlambatan dalam berjalan.

15

Pola-pola Fungsi Kesehatan Gordon 1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Pola hidup orang atau klien yang menderita CTEV dalam menjaga kebersihan diri, perawatan dan tatalaksana hidup sehat sedikit mengalami gangguan karena kondisi fisiknya.
2. Pola nutrisi dan metabolisme

Tidak ada gangguan pada pola ini. 3. Pola eliminasi Pola BAB dan BAK pada klien dengan CTEV tidak mengalami gangguan. 4. Pola istirahat dan tidur Klien dengan CTEV pada pola ini tidak mengalami gangguan. 5. Pola aktifitas dan latihan Klien biasanya mengalami keterbatasan aktivitas karena kelainan fisik pada kaki depan (forefoot). 6. Pola persepsi dan konsep diri Bagaimana persepsi klien terhadap tindakan operasi yang akan dilakukan serta biasanya klien menarik diri karena malu dengan penyakitnya. 7. Pola sensori dan kognitif Mengenai pengtahuan klien dan keluarga terhadap penyakit yang diderita klien 8. Pola reproduksi seksual Apakah selama sakit terdapat gangguan / tidak yang berhubungan dengan reproduksi sosial. 9. Pola hubungan dan peran Biasanya klien dengan CTEV menarik diri karena keadaan penyakitnya yang diderita. 10. Pola penanggulangan stress Keluarga perlu memeberikan dukungan dan semangat hidup bagi klien. 11. Pola tata nilai dan kepercayaan

16

Keluaga dan klien selalu optimis dan berdoa agar penyakitnya dapat sembuh. Pemeriksaan Fisik 1. Sistem pernafasan Tidak mengalami gangguan 2. Sistem kadiovaskuler Tidak ditemukan adanya kelainan 3. Sistem neurologis Tidak mengalami gangguan 4. Sistem gastrointestinal Tidak mengalami gangguan 5. Sistem uronenital Tidak mengalami kelainan / gangguan 6. Sistem musculoskeletal Adanya keterbatasan aktivitas karena bentuk kaki yang abnormal, adanya keterlambatan berjalan. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan DL
b. Foto AP dan lateral femur sampai kaki

4.2 DIAGNOSA Pre Op 1. Cemas berhubungan dengan tindakan pembedahan (operasi) Post Op 1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka operasi 2. Gangguan aktivitas berhubungan adanya luka operasi 3. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan diri 4.3 PERENCANAAN Pre Operasi

17

Diagnosa I: Cemas berhubungan dengan akan dilakukan pembedahan (operasi) Tujuan : Cemas berkurang Kriteria Hasil: a. Klien tidak bingung b. Klien tampak rileks Rencana Tindakan : 1. Lakukan pendekatan secara terapeutik R/ Memberikan kesungguhan dalam hal membantu dan menjalin hubungan saling percaya
2.

Berikan

penjelasan

mengenai

penyebab

penyakitnya

R/ Membantu klien untuk mengerti cara pencegahan dan perawatan


3.

Dorong klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaannya Anjurkan klien dan keluarga untuk berdoa sesuai dengan

R/ Mengajak diskusi untuk berdiskusi masalah yang dihadapi


4.

keyakinannya R/ Agar klie merasa tenang dan percaya diri Post Operasi Diagnosa II: Nyeri berhubungan dengan adanya luka operasi Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang dalam waktu 2 x 24 jam Kriteria Hasil :
a. Perasaan nyeri berkurang

b. Klien tampak tenang c. Skala nyeri berubah dengan tanda vital normal Rencana Tindakan : 1. 2. 3. 4. Jelaskan pada pasien tentang penyebab nyeri Kaji tingkat nyeri Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi Observasi TTV R/ Klien mengerti akan proses terjadinya atau timbulnya nyeri R/ Mengetahui tingkat nyeri R/ Mengurangi rasa nyeri

18

R/ Mengetahui keadaan umum klien


5.

Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian terapi analgesik

R/ Mempercepat penyembuhan 4.4 IMPLEMENTASI Adalah mengolah dan mewujudkan dari rencana tindakan keperawatan, meliputi tindakan yang telah direncanakan oleh perawat, melaksanakan anjuran dokter dengan ketentuan rumah sakit. (Nasrul Effendy, 1995) 4.5 EVALUASI Merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan dilakuan dengan cara melibatkan pasien dan sesama tenaga kesehatan. (Nasrul Effendy, 1995).

19

BAB 5 ASUHAN KEPERAWATAN AMPUTASI


5.1 Pra Operasi 1. Pengkajian a. Monitor status neurovaskuler kedua ekstremitas b. Observasi daerah yang akan dibedah c. Observasi tanda vital d. Kaji perasaan dan pengetahuan tentang amputasi dan dampaknya pada gaya hidup e. Diskusikan dengan klien tentang perubahan body image yang akan terjadi, tentang kehilangan dan berduka 2. Diagnosa Keperawatan dan Perencanaannya a. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit, cedera Tujuan Nyeri berkurang sampai hilang Kriteria Hasil
a) Skala nyeri 0-3 b) Ekspresi wajah tenang c) Tidak gelisah d) Vital sign normal

Tindakan 1) Kaji nyeri klien (kualitas, daerah/area, keparahan dengan skala nyeri, waktu)
2) Ajarkan teknik relaksasi

3) Berikan kesempatan pada klien untuk istirahat 4) Berikan posisi nyaman


5) Kolaborasi pemberian pereda nyeri optimal b. Ansietas

berhubungan

dengan

pengetahuan

tentang

prosedur

pembedahan Tujuan Ansietas berkurang sampai hilang

20

Kriteria hasil:
a) Klien melaporkan ansietas berkurang / hilang b) klien memahami tentang prosedur pembedahan

c) klien tenang Tindakan


1) Berikan kesempatan pada klien untuk mengekspresikan rasa

takut dan cemasnya


2) Bantu klien untuk mengungkapkan perasaanya pada orang

terdekat
3) Kurangi stimulus yang berlebihan , misal : kurangi kontak

dengan orang lain


4) Berikan ketentraman hati dengan menunjukkan sikap tenang,

empati dan mensuplai koping yang efektif dari klien


5) Anjurkan klien untuk melatih kekuatan otot,

Latihan berjalan
Latihan lengan dengan trapeze

Latihan kontraksi gluteal Latihan otot quadriceps 6) Dukung dokter agar bersedian menjelaskan prosedur operasi dan sensasi phantom limb pada post operasi
7) Kolaborasi pemebrian obat bila ada indikasi

5.2 Post Operasi 1. Pengkajian a. Kaji nyeri (sensai phantom limb) b. Kaji vital sign (tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan) c. Kaji tipe balutan dan plester penekan d. Kaji jumlah perdarahan, warna pada drainage, ada atau tidaknya drainage e. Kaji posisi stump
f. Kaji infeksi jaringan, kontraktur dan deformitas abduksi

21

2. Diagnosa Keperawatan dan Perencanaannya

a. Tujuan

Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan

dengan perdarahan / hemoragi pasca operasi Tidak kekurangan volume cairan Kriteria hasil
a) vital sign normal

b) tidak ada tanda dan gejala dehidrasi. Tindakan


1) Monitor TTV (tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan)

2) Kaji intake dan output cairan


3) Kaji pasien selama 24 jam pertama periode pasca operaaaasi

untuk indikator perdarahan dan ancaman syok


4) Inspeksi balutan bedah untuk melihat perdarahan 5) Monitor jumlah dan karakter drainage

6) Kolaborasi pemberian cairan parenteral.


b.

Nyeri berhubungan dengan sensasi fantom limb, insisi bedah

sekunder terhadap amputasi Tujuan Nyeri berkurangan Kriteria hasil


a) Skala nyeri 0-3 b) Ekspresi wajah rilek, tidak merintih c) Vital sign normal

Tindakan
1) Jelaskan pada klien bahwa sensasi ini sering timbul dari

bagian yang diamputasi


2) Kaji tingkat nyeri (kualitas, daerah/area, keparahan dengan

skala nyeri, waktu) 3) Ajarkan teknik relaksasi 4) Berikan posisi nyaman 5) Kolaborasi pemberian pereda nyeri optimal

22

c.

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kehilangan

ekstremitas Tujuan Konsep diri positif Kriteria hasil


a) Pasien menerima

perubahan fisik

Tindakan 1) Dorong klien untuk melihat dan menyentuh puntung serta mengekspresikan perasaannya tentang amputasi
2) Tunjukkan sikap penerimaan dan empati pada klien 3) Libatkan klien dalam perawatan, misal : pada penggantian

pakaian
4) Kolaborasi dengan psikolog.

d. Tujuan

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan

cara berdiri sekunder terhadap amputasi ekstremitas bawah Mobilitas fisik normal Kriteria hasil
a) Klien dapat menunjukkan penggunaan teknik penguatan

otot, untuk meningkatka mobilisasi Tindakan 1) Beritahu klien tentang kesulitan dalam adaptasi cara berdiri akibat amputasi 2) Beritahu klien tentang cara mencegah perubahan, cara berdiri dengan penguatan otot gluteus dan abdomen saat berdiri 3) Sebelum ambulasi, pastikan ekstremitas atas klien mempunyai kekuatan yang diperlukan untuk alat bantu 4) Diskusikan dan demonstrasikan cara menggunakan alat bantu 5) Bantu klien untuk menggunakan alat bantu.

23

BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan Clubfoot adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah/bengkok dari keadaan atau posisi normal. Beberapa dari deformitas kaki termasuk deformitas ankle disebut dengan talipes yang berasal dari kata talus (yang artinya ankle) dan pes (yang berarti kaki). Deformitas kaki dan ankle dipilah tergantung dari posisi kelainan ankle dan kaki. Deformitas talipes diantaranya: a. Talipes varus : inversi atau membengkok ke dalam b. Talipes valgus : eversi atau membengkok ke luar c. Talipes equinus : plantar fleksi dimana jari-jari lebih rendanh daripada tumit d. Talipes calcaneus : dorsofleksi dimana jari-jari lebih tinggi daripada tumit Talepes ekuinofarus ditandai oleh tumit yang tertarik ke atas, kaki mengalami inverse, tibia mengalami aduksi (dalam posisi ekuinovarus). Penanganannya biasanya mencakup manipulasi, penggunaan bidai dalam posisi yang diinginkan atau dalam bebrapa kasus ditangani dengan intervensi bedah. Kegiatan amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti sistem integumen, sistem persyarafan, sistem muskuloskeletal dan sisten cardiovaskuler. Labih lanjut ia dapat menimbulkan masalah psikologis bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas. Jenis amputasi yang dikenal adalah : 1. Amputasi terbuka

24

2. Amputasi tertutup Amputasi dianggap selesai setelah dipasang prostesis yang baik dan berfungsi. Ada 2 cara perawatan post amputasi yaitu : a. Rigid dressing b. Soft dressing 6.2 Saran Kita sebagai seorang perawat harus bisa meyakinkan kepada orang tua yang mempunyai anak yang menderita CTEV dan amputasi, sehingga orang tua dengan anak yang menderita kelainan tersebut tidak kehilangan konsep diri.

25

DAFTAR PUSTAKA

Asep

Setiawan,

et

all,

Asuhan

Keperawatan

Klien

Gangguan

Sistem

Muskuloskeletal. Chris Brooker. (2008). Ensiklopedia Keperawtan alih Bahasa Oleh Estu Tiar. Jakarta : EGC Doengoes, Marilynn. E,.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC. Engram, Barbara. (1990). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta : EGC Richard E. Behrma, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Alih Bahasa A. Samik Wahab Edisi 15. Jakarta : ECG R. Sjamsuhidayat dan Wim de jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC Swearingan, Pamela. L (2001). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC

26

You might also like