You are on page 1of 4

Urine Bersama-sama dengan urine dieksresikan juga air dan senyawa-senyawa yang larut dalam air.

Jumlah dan komposisi urine sangat berubah-ubah dan tergantung pemasukan bahan makanan, berat badan, usia, jenis kelamin, dan lingkungan hidp seperti temperature, kelembaban, aktivitas tubuh dan keadaan kesehatan. Karena eksresi urin dan komposisinya kebanyakan dihubungkan dengan waktu 24 jam. Seorang dewasa memproduksi 0,5-2,0 liter urine setiap hari, yang terdiri dari 90% air. Urine mempunyai suatu nilai pH yang asam (kira-kira 5,8). Tentu saja nilai pH urine dipengaruhi oleh keadaan metabolisme. Setelah makan sejumlah besar bahan makanan dari tumbuh-tumbuhan, nilai pH urine meningkat hingga di atas 7. Urine memiliki komponen organic dan anorganik. Urea, asam urat dan kreatinin merupakan beberapa komponen organic dari urine. Ion-ion seperti Na, K, Ca serta anion Cl merupakan komponen anorganik dari urine. Warna kuning pada urine, disebabkan oleh urokrom, yaitu family zat empedu, yang terbentuk dari pemecahan hemoglobin. Bila dibiarkan dalam udara terbuka, urokrom dapat teroksidasi, sehingga urine menjadi berwarna kuning tua. Pergeseran konsentrasi komponen-komponen fisiologik urine dan munculnya komponen-komponen urine yang patologik dapat membantu diagnose penyakit. (1) Dalam farmakokinetik, urin dapat digunakan sebagai salah satu objek pemeriksaan selain plasma darah, untuk penentuan beberapa parameter farmakokinetik. Urine dan Parameter Farmakokinetik Data eksresi obat lewat urine dapat dipakai untuk memperkirakan bioavailabilitas. Agar dapat diperkirakan yang sahih, obat harus dieksresi dengan jumlah yang bermakna di dalam urine dan cuplikan urine harus dikumpulkan secara lengkap. Jumlah kumulatif obat yang dieksresi dalam urine secara langsung berhubungan dengan jumlah total obat yang terabsorbsi. Di dalam percobaan, cuplikan

urinedikumpulkan secara berkala setelah pemberian produk obat. Tiap cuplikan ditetapkan kadar obat bebas dengan cara yang spesifik. Kemudian dibuat grafik yang menghubungkan kumulatif obat yang dieksresi terhadap jarak waktu pengumpulan.

Tetapan laju eliminasi, K, dapat dihitung dari data eksresi urine. Dalam penghitungan ini, laju eksresi obat dianggap sebagai orde kesatu. Ke adalah tetapan laju eksresi ginjal. Oleh karena eliminasi suatu obat biasanya dipengaruhi oleh eksresi ginjal atau metabolism (biotransformasi), maka dapat digunakan persamaan : dDu/dt = KeDB setelah diturukan maka diperoleh: K = Km + Ke Km adalah laju proses metabolisme orde kesatu dan Ke adalah laju proses eksresi orde kesatu. Laju eksresi obat lewat urine (dDu/dt) tidak dapat ditentukan melalui percobaan segera setelah pemberian obat. Dalam praktek, urine dikumpulkan pada jarak waktu tertentu dan konsentrasi obat di analisis. Kemudian laju eksresi urin rata-rata dihitung untuk tiap waktu pengumpulan. Harga dDu/dt rata-rata digambar pada suatu skala semilogaritmik terhadap waktu yang merupakan harga tengah (titik tengah) waktu pengumpulan. Faktor-faktor tertentu dapat mempersulit untuk mendapatkan data eksresi urin yang sahih. Beberapa factor tersebut adalah : 1. Suatu fraksi yang bermakna dari obat titak berubah harus dieksresi dalam urin; 2. Teknik penetapan kadar harus spesifik untuk obat tidak berubah, dan harus tidak dipengaruhi oleh metabolit-metabolit obat obat yang mempunyai struktur kimia serupa; 3. Diperlukan pengambilan cuplikan yang sering untuk mendapatkan gambaran kurva yang baik; 4. Cuplikan data urin hendaknya dikumpulkan secara berkala sampai hampir semua obat dieksresi. Suatu grafik dari kumulatif obat yang dieksresi vs waktu akan menghasilkan kurva yang mendekati asimtot pada waktu tak terhingga. Dalam praktek, diperlukan kurang lebih 7 X t eliminasi untuk mengeliminasi 99% obat. 5. Perbedaan pH urine dan volume dapat menyebabkan perbedaan laju eksresi urin yang bermakna.

Pengukuran Urine Untuk Monitoring Efek Samping pada Saluran Cerna Beberapa obat yang diberikan secara oral dapat mengiritasi lambung. Obat-obat ini dapat menyebabkan mual dan rasa sakit pada lambung, bila diberikan pada lambung yang kosong. Untuk menurunkan iritasi lambung, dalam beberapa hal, makanan atau antasida dapat diberikan bersama-sama dengan obat. Cara lain yang digunakan adalah dengan penyalutan pada sediaan atau dengan bahan pendapar. Penggunaan bahan dapar atau bahan-bahan antacid bersama aspirin dimaksudkan untuk menurunkan iritasi lambung. Bila sejumlah besar antacid atau bahan pendapar diikutkan dalam formulasi, maka pelarutan aspirin dapat terjadi dengan cepat dengan penurunan iritasi lambung. Walaupun demikian beberapa formulasi aspirin yang didapar tidak mengandung bahan pendapar yang cukup untuk membuat suatu perbedaan pelarutan dalam lambung.(2) Percobaan yang dilakukan untuk mengetahui proses pelarutan dan absorbsi asetosal dalam saluran cerna dilakukan dengan membandingkan data eksresi urin antara beberapa probandus dengan 2 perlakuan yaitu dengan pemberian asetosal peroral dan pemberian asetosal + antasida per oral. Dengan menggunakan urine pagi sebagai pembanding. Asetosal yang terhidrolisis akan menjadi asam salisilat dan asam asetat, yang kemudian masing-masing akan mengion sebagai ion-ion pembentuknya. Menurut teori, asetosal akan diabsorbsi di lambung dan usus, dengan persentase terbesar pada usus. Efek iritasi lambung dari asetosal dapat dikurangi dengan pemberian bersamaan dengan makanan atau dengan antasida.Dengan adanya penambahan antasida, maka akan mempengaruhi produksi asam lambung dan kondisi keasaman lambung, antasida pada umumnya mengandung senyawa basa yang dapat menetralkan asam lambung. Perubahan ini akan mempengaruhi jumlah asetosal yang terabsorbsi pada lambung. Dengan membandingkan data tersebut dapat diketahui secara signifikan pengaruh penambahan bahan pendapar atau antasida terhadap absorbsi asetosal pada saluran cerna. Analisa urin dilakukan dengan mengekstraksi sejumlah asetosal dari urine dan kadarnya ditetapkan secara

spektrofotometri UV-Vis. Aspirin/ Asetosal (martindale 35) :

The most common adverse effects of therapeutic doses of aspirin are gastrointestinal disturbances such as nausea, dyspepsia, and vomiting. Gastrointestinal symptoms may be minimised by giving aspirin with food. Irritation of the gastric mucosa with erosion, ulceration, haematemesis, and melaena may occur. Histamine H2-antagonists, proton pump inhibitors, and prostaglandin analogues such as misoprostol may be used in the management of aspirin-induced mucosal damage .Slight blood loss, which is often asymptomatic, may occur in about 70% of patients; it is not usually of clinical significance but may, in a few patients, cause iron-deficiency anaemia during long-term therapy. Such occult blood loss is not affected by giving aspirin with food but may be reduced by use of enteric-coated or other modified-release tablets, H2-antagonists, or high doses of antacids. Major upper gastrointestinal bleeding occurs rarely. Referensi : 1. Jan Koolman, Klaus-Heinrich Rohm, 2001, Atlas Berwarna & Teks Biokimia, Alih bahasa ; dr. Septilia Inawati Wanandi, Hipokrates, Jakarta. 2. Leon Shargel, Andrew B. C. Yu, 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi Kedua, Alih bahasa; Fasich & Siti Sjamsiah, Airlangga University Press, Surabaya. 3. Sweetman S. C., 2007, Martindale : The Complete Drug Reference 35th Edition (Electronic Version), The Pharmaceutical Press, London.

You might also like