You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 LATAR BELAKANG

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kefarmasian serta makin tingginya kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kesehatan, maka dituntut juga kemampuan dan kecakapan para petugas dalam rangka mengatasi permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat. Dengan demikian pada dasarnya kaitan tugas pekerjaan Farmasis dalam melangsungkan berbagai proses kefarmasian, bukannya sekedar membuat obat, melainkan juga menjamin serta meyakinkan bahwa produk kefarmasian yang diselenggarakan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses penyembuhan penyakit yang diderita pasien. Mengingat kewenangan keprofesian yang dimilikinya, maka dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan prosedur-prosedur kefarmasian demi dicapainya produk kerja yang memenuhi : syarat ilmu pengetahuan kefarmasian, sasaran jenis pekerjaan yang dilakukan serta hasil kerja akhir yang seragam, tanpa mengurangi pertimbangan keprofesian secara pribadi. (ISFI, Standar Kompetensi Farmasi Indonesia, 2004). Farmasis adalah tenaga ahli yang mempunyai kewenangan dibidang kefarmasian melalui keahlian yang diperolehnya selama pendidikan tinggi kefarmasian. Sifat kewenangan yang berlandaskan ilmu pengetahuan ini memberinya semacam otoritas dalam berbagai aspek obat atau proses kefarmasian yang tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan lainnya. Farmasi sebagai tenaga kesehatan yang dikelompokkan profesi, telah diakui secara universal. Lingkup pekerjaannya meliputi semua aspek tentang obat,

mulai penyediaan bahan baku obat dalam arti luas, membuat sediaan jadinya sampai dengan pelayanan kepada pemakai obat atau pasien. (ISFI, Standar Kompetensi Farmasi Indonesia, 2004). WHO dalam rapatnya tahun 1997, mengenalkan lahirnya asuhan kefarmasian. Dimensi pekerjaan profesi farmasis tidak kehilangan bentuk, tetap menjadi seorang ahli dalam bidang obat. Pasien menikmati layanan professional dari seorang farmasis dalam bentuk penjelasan tentang obat, sehingga pasien memahami program obatnya. Dengan demikian sebagai seorang Ahli Madya Farmasi dirasa perlu membekali diri dengan pengetahuan mengenai Apotek. Oleh sebab itu, pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan (PKL) apotek bagi siswa SMK FARMASI SENTHOSA DHARMA BOJONEGORO sangatlah perlu dilakukan dalam rangka mempersiapkan diri untuk berperan langsung dalam pengelolaan apotek sesuai fungsi dan kompetensi Ahli Madya Farmasi.

A. TUJUAN Dalam penyusunan laporan ini terdapat beberapa tujuan, yaitu : a. Untuk mengetahui gambaran umum tentang Apotek. b. Untuk mengetehui struktur organisasi di Apotek. c. Untuk mengetahui alur pengelolaan obat di Apotek.

B. MANFAAT Beberapa manfaaat yang dapat diambil, yaitu : a. Dapat mengetahui gambaran umum tentang Apotek. b. Dapat mengetehui struktur organisasi di Apotek. c. Dapat mengetahui alur pengelolaan obat di Apotek. Dapat berkomunikasi langsung dengan masyarakat dan memberi info obat

BAB TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI APOTEK


Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965 tentang Apotek pada pasal 1 menyebutkan bahwa Yang dimaksud dengan Apotek adalah suatu tempat tertentu dimana dilakukan usaha-usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian. Peraturan Pemerintah (PP) tersebut kemudian dirubah dengan keluarnya PP No. 25 tahun 1980 tentang perubahan atas PP No. 26 tahun 1965 tentang Apotek menjadi Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Menurut Permenkes No. 922 tahun 1993 menyebutkan bahwa Apotek adalah suatu tempat tertentu tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332 tahun 2002 maupun Kepmenkes No. 1027 tahun 2004 sedikit mengubah definisi diatas menjadi Apotek adalah tempat tertentu tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud sesuai dengan Ketentuan Umum Undang-undang Kesehatan No. 23 tahun 1992, meliputi pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat; pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya dan pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang terdiri atas obat, bahan obat, obat asli Indonesia (obat tradisional), bahan obat asli Indonesia (simplisia), alat kesehatan dan kosmetika. Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

2.2PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI APOTEK


Peraturan perundang-undangan perapotekan di Indonesia telah beberapa kali mengalami peruban Dimulai dengan berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) No.26 tahun 1965 tentang pengelolaan dan perizinan Apotek, kemudian disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1980, beserta petunjuk pelaksanaannya dalam Peraturan

Menteri Kesehatan No. 26. tahun 1981 dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.178 tentang ketentuan dan tata cara pengelolaan apotek. Peraturan yang terakhir berlaku sampai sekarang adalah Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002 yang memberikan beberapa keleluasaan kepada apotek untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan yang optimal. Ketentuan-ketentuan umum yang berlaku tentang perapotekan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002 adalah sebagai berikut : a. Apoteker adalah sarjana Farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker. b. Surat Izin Apotek (SIA) adalah Surat Izin yang diberikan oleh menteri kepada apoteker atau apoteker bekerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) untuk menyelenggarakan apotek disuatu tempat tertentu. c. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi Surat Izin apotek d. Apoteker pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek disamping Apoteker Pengelola Apotek dan atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. e. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan Apoteker Pengelola Apotek selama Apoteker Pengelola Apotek tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja dan tidak bertindak sebagai Apoteker Pengelola Apotek lain. f. Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan Perundang - undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai Asisten Apoteker.

g. Resep adalah Permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi, dan kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) untuk menyediakan

Dokter dan

Hewan

menyerahkan

obat bagi penderita sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. h. Sedian farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan dan kosmetika. i. Alat Kesehatan adalah Instrumen Aparatus, mesin, Implan yang mengandung obat

yang digunakan untuk mencegah,mengdiagnosis, menyembuhkan, dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta pemulihan kesehatan manusia, dan atau

membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.

2.3 TUJUAN DAN FUNGSI APOTEK Tugas dan Fungsi Apotek Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980, adalah sebagai berikut : Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. Sarana farmasi yang melakukan pengubahan bentuk dan penyerahan obat atau bahan obat. Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyalurkan obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata. Personalia Apotek Tenaga kerja yang mendukung kegiatan suatu apotek adalah sebagai berikut : Apoteker pengelola apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi surat izin apotek (SIA). Apoteker pendamping adalah apoteker yang bekerja di samping (APA) dan atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan (APA) selama (APA) tersebut tidak ada di tempat lebih dari 3 bulan secara terus menerus. Telah memiliki surat izin kerja (SIK) & tidak bertindak sebagai APA di apotek lain.

Asisten apoteker (AA) adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten apoteker dibawah pengawasan apoteker.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dinyatakan bahwa orientasi pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser dari obat ke pasien yang mengacu pada pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui agar takaran dan bentuknya atau tujuan akhirnya sesuai harapan dokter yang memberi resep bersama-sama pasiennya dan terdokumentasikannya resep dengan baik. Dengan tuntutan yang semakin luas terhadap peran apoteker dalam konsep pharmaceutical care tersebut dan maraknya berbagai pengaduan masyarakat mengenai peranan apoteker yang tidak optimal di apotek, pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah menyusun draft Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian yang saat ini sedang dalam proses penetapan Presiden menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Dalam draft RPP dinyatakan beberapa tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian, yaitu : a. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan atau menetapkan yang berkaitan dengan jasa kefarmasian dan sediaan farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan. b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan

perundangan-undangan. c. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.

2.4PERSYARATAN APOTEK
Penyelenggaraan pelayanan Apotek harus diusahakan agar lebih menjangkau masyarakat. Menurut Permenkes No.1332/Menkes/SK/X/2002, menyatakan bahwa : a) Untuk mendapatkan Izin Apotek, Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana yang memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan serta persediaan farmasi dan pebekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau pihak lain. b) Sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan lainnya diluar sediaan farmasi. pelayanan komoditi

c) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan Farmasi.

2.3 PELAYANAN DI APOTEK Pelayanan apotek berdasarkan PERMENKES No. 922/Menkes/PER/X/1993 meliputi: a. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek sesuai dengan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat. b. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis di dalam resep dengan obat paten. c. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep,Apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat. d. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien dan informasi penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat. e. Apabila apoteker menganggap bahwa resep terdapat kekeliruan atas penulisan resep yang tidak tepat, Apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep dan apabila dokter tetap pada pendiriannya, dokter wajib menyerahkan secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan. f. Salinan resep harus ditanda tangani oleh Apoteker g. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. h. Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku. i. Apoteker Pengelola Apotek, Apoteker pendamping atau Apoteker Pengganti diizinkan untuk menjual obat keras yang dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib Apotek tanpa resep. j. Apoteker Pengelola Apotek turut bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker Pendamping, Apoteker Pengganti di dalam pengelolaan apotek.

k. Pengalihan tanggung jawab kepada apoteker penngganti, wajib dilakukan serah terima resep narkotik dan obat perbekalan farmasi lainnya serta kunci-kunci tempat penyimpanan narkotik dan psikotropik dengan berita acara. l. Apotek melayani resep yang mengandung narkotika dan psikotropika. Berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal POM No. 236/E/SE/1997 disebutkan bahwa apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika walaupun resep tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali. Apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan tersebut hanya dilayani di apotek yang menyimpan resep aslinya. Salinan resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Selain melanyani resep apotek melayani pembelian obat tanpa resep yang meliputi obat- obat dari golongan obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, yang bisa diserahkan tanpa resep dokter. Oleh apoteker yang termasukOWA. Sehingga masyarakat dapat meningkatkan kemampuannya dalam melakukan pengobatan terhadap penyakit ringan maka apotek dituntun untuk memberi informasi tentang penggunaan obat yang tepat dan rasional untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal tersebut diperlukan peran pelayanan informasi obat. serta apoteker di apotek untuk memberikan

2.4 TENAGA KEFARMASIAN Mengenai tenaga kefarmasian disebutkan terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian yang meliputi Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Asisten Apoteker/ Tenaga Menengah Farmasi dan Analis Farmasi. Kewenangan apoteker antara lain melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki. Sedangkan untuk kewenangan tenaga teknis kefarmasian dinyatakan bahwa Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) mempunyai wewenang untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dibawah bimbingan dan pengawasan apoteker yang telah memiliki STRA sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya. Berdasarkan ketentuan tersebut, secara yuridis dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, asisten apoteker tetap berada dalam bimbingan dan pengawasan apoteker. Hal inilah yang dinilai kalangan profesi asisten apoteker sebagai ketentuan yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, karena pada kenyataannya asisten apoteker telah berperan sebagai apoteker dalam melayani masyarakat di apotek, termasuk pemberian informasi tentang obat yang harus dilakukan oleh apoteker. Dalam sudut pandang hukum, kewenangan tetap harus diberikan berdasarkan basik keilmuan, sehingga walaupun secara pengalaman asisten apoteker telah matang dalam pengelolaan apotek, tidak berarti menjadikannya sebagai apoteker, karena pengetahuan yang didapat memang berbeda. Hal ini menjadi dilematis, karena dalam praktik pelayanan kefarmasian, prinsip ketersediaan dan keterjangkauan tetap harus dikedepankan disamping profesionalisme mengingat farmasi sangat terkait erat dengan penentuan hidup mati manusia, bersama-sama dengan kedokteran. Ketidakhadiran apoteker selama ini di apotek telah dibantu dengan keberadaan asisten apoteker, sehingga peranan asisten apoteker juga tidak dapat dipinggirkan begitu saja demi jaminan peneriman pelayanan kefarmasian di apotek. Dalam peranan hukum untuk mengubah masyarakat, akan dijumpai suatu perbedaan antara pola-pola perilaku yang hidup dalam masyarakat dengan pola-pola yang dikehendaki oleh kaidah-kaidah hukum. Adalah suatu keadaan yang lazim, bahwa kaidah-kaidah hukum disusun dan direncanakan oleh sebagian kecil dari masyarakat yang menamakan dirinya sebagai elit masyarakat tersebut, yang mungkin berbeda kepentingan dan pola-pola

perilakunya dengan yang diatur. Lagipula suatu kaidah hukum berisikan patokan perilaku yang kelak diharapkan. Namun hal demikian akan menyebabkan tertinggaInya hukum di belakang perubahan sosial masyarakat (Soerjono Soekanto, 2004). Peranan hukum dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek, yang membuat beralihnya pengelolaan apotek dari badan usaha ke sarjana farmasi, tidak diimbangi dengan kaidah-kaidah lain yang dibutuhkan masyarakat profesi apoteker, seperti dengan pemberian reward yang memadai. Menurut ajaran aliran sociological jurisprudence, hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan sosial dan tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka yang mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal (Soedono Soekanto, 2004). Sociological jurisprudence mengkaji bagaimana norma disesuaikan dengan rasa keadilan masyarakat sehingga ditekankan pada kesebandingan hukum. Dengan demikian dalam draft RPP Pekerjaan Kefarmasian juga harus memperhatikan unsur kebutuhan sosial guna menciptakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dalam pelayanan kefarmasian. Disamping itu dalam menetapkan hukum juga harus diperhatikan pola perilaku yang sesuai, artinya dalam pembuatan hukum seharusnya terdapat pengkajian terlebih dahulu mengenai hal-hal yang terkait dengan keberlakuan dan efektifitas aturan tersebut sehingga hukum tidak tertinggal karena tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Pengaturan kewenangan dalam draft RPP Pekerjaan kefarmasian dinilai kalangan profesi asisten apoteker dapat menimbulkan dilema terkait dengan jaminan ketersediaan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat dengan praktik kefarmasian yang dibenarkan secara hukum. Sementara ketidakpatuhan apoteker untuk berada sepanjang jam buka apotek, turut didukung oleh lemahnya pengawasan pemerintah. Dalam konteks sosiologi hukum, ketidakpatuhan hukum ini terkait dengan budaya hukum yang menggambarkan kegagalan internalisasi norma dan nilai sosial dari hukum ke dalam sikap dan perilaku masyarakat. Kegagalan internalisasi norma dapat disebabkan karena

penggunaan hukum modern dalam masyarakat namun masyarakat masih mengharapkan nilai tradisional. Sebagai contoh, masyarakat masih lebih mengakui peran dokter dalam pengobatan penyakitnya, sementara penjelasan tentang obat yang harus dipakainya yang merupakan pengabdian apoteker, masih dirasakan sebagai penambahan beban proses menunggu ditebusnya resep. Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Terjadinya konflik antara nilai-nilai hukum berasal dari interaksi antara nilai-nilai tertentu dengan struktur sosial dimana nilai-nilai itu dijalankan (Satjipto Rahardjo, 2003). Dalam kondisi masyarakat majemuk, seperti Indonesia, hukum modern lebih dikedepankan, sehingga yang akan tersingkir adalah masyarakat tradisional. Namun tentunya demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, hukum harus mengadopsi nilai-nilai sosial dari semua kelompok masyarakat yang ada. Dengan demikian dalam penciptaan hukum, berbagai aspek sosial harus diperhatikan demi berlakunya hukum secara efektif., karena pada dasarnya hukum merupakan kaidah-kaidah yang ditetapkan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga sesuai dengan tujuannya, pengaturan dalam RPP Pekerjaan Kefarmasian dapat memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat di dalam penyelenggaraan praktik kefarmasian, mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian, serta memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian. 3.Pengelolaan Narkotik dan Psikotropika Pengelolaan Narkotik dan Psikotropkia di Apotek ANGGITA ditangani oleh Asisten Apoteker yang ditunjuk dan bertanggungg jawab kepada Apoteker Pengelola Apotek. Pengelolaan Narkotik dan Psikotropika di Apotek ANGGITA sebagai berikut : a.Pembelian Pembelian Narkotik menggunakan Surat Pesanan khusus Narkotik dan hanya dipesan kepada PBF Kimia Farma. Surat pesanan dibuat 4 rangkap yang telah dilegalisir di Dinas Kesehatan Propinsi serta ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek. Setiap surat pesanan Narkotik hanya berlaku untuk 1 item obat. Sedangkan untuk obat Psikotropik

menggunakan Surat Pesanan biasa dan pemesanannya boleh dilakukan ke PBF yang menyediakan obat tersebut. b.Penyimpanan Narkotk dan Pisikotropik Golongan obat Narkotika dan Psikotropika di Apotek SURYA disimpan dalam suatu lemari, dengan ketentuan obat-obat tersebut tertutup baik. c.Pengeluaran Narkotik dan Psikotropik
Pengeluaran Narkotik dan Psikotropika dilakukan atas permintaan Dokter, Apotek hanya menerima resep asli dari dokter dan tidak menerima salinan resep yang berisi Narkotik dan Psikotropika. Pengeluaran Narkotik dan Psikotropika dicatat dalam kartu stok yang meliputi nama obat, jumlah obat yang keluar dan sisa obat. Untuk salinan resep yang berisi Narkotika dan Psikotropika hanya bisa dilayani jika Apotek mempunyai atau menyimpan resep aslinya.

d.Laporan penggunaan Narkotik dan Psikotropika Laporan Narkotik dan Psikotropika dilakukan setiap bulannya dan dibuat selambatlambatnya tanggal 5 bulan berjalan. Laporan ini ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota Madya, Balai POM, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah dan sebagai Arsip. Laporan penggunaan Narkotik dan Psikotropika tersebut dibuat oleh Apoteker Pengelola Apotek. Apabila laporan tersebut tidak dibuat setiap bulannya, maka kebijakan / toleransi bahwa penggunaan Narkotika dan Psikotropika tersebut harus segera dibuat dalam waktu maksimal 3 bulan.

You might also like