You are on page 1of 47

Universitas Terbuka Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi ________________________________________________________________________

SUPLEMEN WEB ADMINISTRASI KEUANGAN (ADPU 4333)

Oleh Enceng

Lembar Persetujuan Suplemen Web

Mata Kuliah Kode Matakuliah Penulis

: Administrasi Keuangan : ADPU 4333 : Drs. Enceng, M.Si

Naskah Suplemen Web ini telah diperiksa dan disetujui oleh: Penelaah Materi Kajur Ilmu Administrasi

Dra. Harmanti, M.Si NIP. 131599237

Drs. Darmanto, M.Ed NIP. 131600357

Tinjauan Matakuliah
Matakuliah Administrasi Keuangan (ADPU 4333) pada dasarnya membahas tentang keuangan dari berbagai aspek yakni dari aspek konseptual, sistem, aspek kerja APBN, aspek anatomi APBN, kebijakan fiskal dan moneter serta kebijakan keuangan daerah, nasional dan internasional. Secara rinci materi matakuliah ini meliputi: Modul 1 : ADMINISTRASI KEUANGAN Kegiatan Belajar 1 : Pengertian dan Hakikat Konsep Ilmu Administrasi Kegiatan Belajar 2 : Pengertian dan Ruang Lingkup Administrasi Negara Kegiatan Belajar 3 : Konsep Dasar dan Ruang Lingkup Adm. Keuangan Modul 2 : ADMINISTRASI KEUANGAN DAN ANGGARAN NEGARA SEBAGAI SUATU SISTEM Kegiatan Belajar 1 : Sistem Administrasi Keuangan dan Anggaran Keuangan Kegiatan Belajar 2 Modul 3 : : Administrasi Keuangan sebagai suatu Sub sistem Kebijakan Negara KEBIJAKSANAAN KEUANGAN NEGARA DAN APBN (Suplemen) Kegiatan Belajar 1 Kegiatan Belajar 2 Modul 4 : : APBN : Prinsip dan Perhitungannya : Anggaran : Pengertian ,Anatomi dan Sistem (1)

PENERIMAAN DAN PENGELUARAN NEGARA Kegiatan Belajar 1 : Sumber-Sumber Penerimaan Negara Kegiatan Belajar 2 : Penerimaan Negara Republik Indonesia pada APBN 1998/1999 Kegiatan Belajar 3 : Pengeluaran Negara Kegiatan Belajar 4 : Pengeluaran Negara Republik Indonesia pada APBN 1998/1999

Modul 5 :

KEBIJAKSANAAN KEUANGAN NEGARA Kegiatan Belajar 1 : Kebijaksanaan Fiskal Kegiatan Belajar 2 : Kebijaksanaan Moneter

Modul 6 :

KEBIJAKSANAAN KEUANGAN INTERNASIONAL DAN PINJAMAN NEGARA

Kegiatan Belajar 1 : Kebijaksanaan Keuangan Internasional Kegiatan Belajar 2 : Pinjaman Negara Modul 7 : UTANG LUAR NEGERI DAN PPBS (PLANNING,PROGRAMMING, BUDGETING SYSTEM) ( Suplemen) Kegiatan Belajar 1 : Utang Luar Negeri Kegiatan Belajar 2 : Pengertian dan Ruang Lingkup PPBS Kegiatan Belajar 3 : Siklus dan Karakteristik PPBS (2) Modul 8 : KEUANGAN DAERAH DAN APBD (Revisi) (3) Kegiatan Belajar 1 : Pengertian Daerah dan Keuangan Daerah Kegiatan Belajar 2 : Penyusunan APBD (8) Kegiatan Belajar 3 : Pelaksanaan dan Pengawasan APBD Kegiatan Belajar 4 : Penetapan APBD Modul 9 : KEUANGAN DESA DAN ANGGARAN PENERIMAANPENGELUARAN KEUANGAN DESA (APPKD) (Revisi) (9) Kegiatan Belajar 1 : Sumber-Sumber Pendapatan Desa Kegiatan Belajar 2 : Proses Penyusunan Anggaran Desa Kegiatan belajar 3 : Struktur dan Mekanisme Anggaran Desa

Sistem Anggaran Sektor Publik (1)

Reformasi sektor publik salah satunya ditandai oleh munculnya era New Public Managemen t(NPM) yang telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja (performance budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS). Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki karakteristik umum sebagai berikut: Komprehensif/komparatif Terintegrasi dan lintas departemen Proses pengambilan keputusan yang rasional Berjangka panjang Spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas Analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost) Berorientasi input, output, dan outcome (value for money), bukan sekedar input. Adanya pengawasan kinerja. Tabel 1. Menyajikan perbedaan mendasar antara anggaran tradisional dengan anggaran era new public management. ANGGARAN TRADISIONAL Sentralistis Berorientasi pada input NEW PUBLIC MANAGEMENT Desentralisasi & devolved management Berorientasi pada input, output, dan outcome (value for money) Tidak terkait dengan perencanaan Utuh dan komprehensif dengan perencanaan jangka panjang jangka panjang Line-item dan incrementalism Berdasarkan sasaran dan target kinerja Batasan departemen yang kaku Lintas departemen (rigid department) (cross department) Menggunakan aturan klasik: Zero-Base Budgeting, Planning Programming Budgeting System Vote accounting Prinsip anggaran bruto Sistematik dan rasional Bersifat tahunan Bottom-up budgeting

Traditional budget didominasi oleh penyusunan anggaran yang bersifat line-item dan incrementalism, yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. Hal ini seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil dan kepentingan masyarakat. Performance budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientsi pada kepentingan publik. Latihan : Anggaran Berbasis Kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang dihasilkan. Prinsip anggaran dalam rangka good governance menurut Abdul Halim adalah transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran serta efisiensi dan efektivitas anggaran. Bagaimanakah proses penyusunan anggaran dengan menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja! Petunjuk Jawaban Latihan : Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, Anda harus ingat prinsip anggaran dalam pemerintahan yang baik. Prinsip-prinsip itu dapat Anda gunakan sebagai acuan dalam proses penyusunan anggaran berbasis kinerja.

Siklus Anggaran (2) Secara singkat tahapan dalam proses perencanaan dan penyusunan APBN dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, tahap pendahuluan. Tahap ini diawali dengan persiapan rancangan APBN oleh pemerintah, antara lain meliputi penentuan asumsi dasar APBN, perkiraan penerimaan dan pengeluaran, skala prioritas dan penyusunan budget exercise. Pada tahapan ini juga diadakan rapat komisi antara masing-masing komisi dengan mitra kerjanya (departemen/lembaga teknis). Tahapan ini diakhiri dengan proses finalisasi penyusunan RAPBN oleh pemerintah. Kedua, tahap pengajuan, pembahasan, dan penetapan APBN. Tahapan dimulai dengan pidato presiden sebagai pengantar RUU APBN dan Nota Keuangan. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan baik antara menteri keuangan dan Panitia Anggaran DPR, maupun antara komisi-komisi dengan departemen/lembaga teknis terkait. Hasil dari pembahasan ini adalah UU APBN, yang di dalamnya memuat satuan anggaran (dulu satuan 3, sekarang analog dengan anggaran satuan kerja di departemen dan lembaga) sebagai bagian tak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Satuan anggaran adalah dokumen anggaran yang menetapkan alokasi dana per departemen/lembaga, sektor, subsektor, program dan proyek/kegiatan. Untuk membiayai tugas umum pemerintahan dan pembangunan, departemen/lembaga mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) kepada Depkeu dan Bappenas untuk kemudian dibahas menjadi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan diverifikasi sebelum proses pembayaran. Proses ini harus diselesaikan dari Oktober sampai Desember. Dalam pelaksanaan APBN dibuat petunjuk berupa keputusan presiden (kepres) sebagai Pedoman Pelaksanaan APBN. Dalam melaksanakan pembayaran, kepala kantor/pemimpin proyek di masing-masing kementerian dan lembaga mengajukan Surat Permintaan Pembayaran kepada Kantor Wilayah Perbendaharaan Negara (KPPN). Tahap ketiga, pengawasan APBN. Fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dilakukan oleh pengawas fungsional baik eksternal (seperti BPK) maupun internal pemerintah (seperti Inspektorat Jenderal Departemen). Sebelum tahun anggaran berakhir sekitar bulan November, pemerintah dalam hal ini Menkeu membuat laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan melaporkannya

dalam bentuk Rancangan Perhitungan Anggaran Negara (RUU PAN), yang paling lambat lima belas bulan setelah berakhirnya pelaksanaan APBN tahun anggaran bersangkutan. Laporan ini disusun atas dasar realisasi yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Apabila hasil pemeriksaan perhitungan dan pertanggungjawaban pelaksanaan yang dituangkan dalam RUU PAN disetujui oleh BPK, maka RUU PAN tersebut diajukan ke DPR guna mendapat pengesahan oleh DPR menjadi UU Perhitungan Anggaran Negara (UU PAN) tahun anggaran berkenaan. Pengelolaan APBN sejak dari disahkannya UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara mengalami perubahan dalam proses penganggaran, dari sejak perencanaan hingga ke pelaksanaan anggaran. Latihan : Proses penganggaran APBN yang baru mengalami perubahan mulai dari perencanaan hingga ke pelaksanaan anggaran. Jelaskan aspek-aspek apa sajakah yang mengalami perubahan secara signifikan! Petunjuk Jawaban Latihan : Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, Anda harus mencermati proses penyusunan anggaran mulai dari tahap pendahuluan, pengajuan, pembahasan dan penetapan anggaran serta pengawasan anggaran.

Keuangan Daerah (3) Keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah harus mempunyai sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonominya. Kapasitas keuangan pemerintah daerah akan menentukan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi-fungsinya seperti melaksanakan fungsi pelayanan masyarakat (public service function), melaksanakan fungsi pembangunan (development function) dan perlindungan masyarakat (protective function). Rendahnya kemampuan keuangan daerah akan menimbulkan siklus efek negatif antara lain rendahnya tingkat pelayanan masyarakat yang pada gilirannya akan mengundang campur tangan pusat atau bahkan dalam bentuk ekstrim menyebabkan dialihkannya sebagian fungsi-fungsi pemerintah daerah ke tingkat pemerintahan yang lebih atas ataupun kepada instansi vertikal (unit dekonsentrasi). Kemampuan keuangan daerah ditentukan oleh ketersediaan sumber-sumber pajak (tax objects) dan tingkat hasil (buoyancy) dari objek tersebut. Tingkat hasil pajak ditentukan oleh sejauhmana sumber pajak (tax bases) responsif terhadap kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi objek pengeluaran, seperti inflasi, pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berkorelasi dengan tingkat pelayanan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Di samping itu, sumber-sumber pendapatan potensial yang dimiliki oleh daerah akan menentukan tingkat kemampuan keuangannya. Setiap daerah mempunyai potensi pendapatan yang berbeda karena perbedaan kondisi ekonomi,sumber daya alam, besaran wilayah, tingkat pengangguran, dan besaran penduduk (Davey,1989:41). Berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, maka penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah. Daerah harus memiliki hak untuk mendapatkan

sumber keuangan yang antara lain berupa : kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintahan yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah, sedangkan pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;penerimaan Pinjaman Daerah;Dana Cadangan Daerah; dan hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan, sedangkan belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pendapatan Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah;Dana Perimbangan; dan Lain-lain Pendapatan (4)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) (4) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari Pajak Daerah;Retribusi Daerah; hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah (meliputi hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;jasa giro;pendapatan bunga;keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah). Dalam upaya meningkatkan PAD, Daerah dilarang menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor, contoh retribusi izin masuk kota, pajak dan retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah lain. DANA PERIMBANGAN Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Jumlah Dana Perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN. Dana Perimbangan terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh. LAIN-LAIN PENDAPATAN Lain-lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana Darurat. Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah yang mengalami bencana nasional,

peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvabilitas (daerah yang mengalami krisis keuangan berkepanjangan). PINJAMAN DAERAH Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatip bagi keuangan daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu, pinjaman daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi pinjaman daerah yang diatur dalam undang-undang. Obligasi Daerah Daerah juga dimungkinkan untuk menertibkan Obligasi Daerah dengan persyaratan tertentu, serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan memenuhi ketentuan nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang mendapatkan persetujuan Pemerintah. Segala bentuk akibat dan resiko yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sepenuhnya. Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Latihan : 1. Inventarisirlah Pendapatan Asli Daerah kabupaten/kota tempat tinggal Anda khususnya pajak dan retribusi daerah! 2. Apakah pemungutan pajak dan retribusi daerah pada daerah kabupaten/kota tempat tinggal Anda telah sesuai dengan prinsip-prinsip perpajakan yang baik? Jelaskan! Petunjuk Jawaban Latihan : Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, Anda harus menelusuri pajak daerah dan retribusi daerah apa sajakah yang dipungut pada daerah kabupaten/kota Anda. Kemudian cermati prinsip-prinsip perpajakan yang baik. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (5) Keuangan Daerah haruslah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-

undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah secara mendasar berubah sejak kehadiran peraturan perundang-undangan tentang perimbangan keuangan pusat- daerah. Selain memperoleh anggaran yang lebih besar, pemerintah daerah diberi kebebasan untuk menggunakannya berdasarkan pedoman umum yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Pemberian anggaran yang lebih besar kepada pemerintah daerah tersebut harus diimbangi dengan pembaharuan manajemen keuangannya. Pemerintah daerah tidak hanya dituntut mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran melainkan juga akuntabilitasnya. Berkaitan dengan manajemen keuangan daerah, Tadao Chino (dalam Campo dan Tommasi,1999) mengemukakan bahwa diantara berbagai pengembangan area sektor pemerintah, penguatan manajemen keuangan khususnya manajemen pengeluaran publik merupakan sesuatu yang utama. Tantangannya adalah meningkatkan disiplin fiskal, membawa sumber-sumber alokasi pada jalur skala prioritas pembangunan, menciptakan dan mendorong lingkungan yang kondusif bagi manajer keuangan publik serta melindungi proses-proses yang sedang berjalan. Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 ditegaskan bahwa pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, diatur sebagai berikut: a. Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (6) b. Penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), baik kewenangan Pusat yang didekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka tugas pembantuan(7) DANA DESENTRALISASI (6)

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Oleh karena itu, APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah. APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan distribusi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Semua Penerimaan dan Pengeluaran Daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD (8) . Surplus APBD dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran Daerah tahun anggaran berikutnya. Penggunaan surplus APBD untuk membentuk Dana Cadangan atau penyertaan dalam Perusahaan Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPRD. Latihan : 1. Mengapa dana desentralisasi dicantumkan dalam APBD? 2. Mengapa dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dicantumkan dalam APBN? Petunjuk Jawaban Latihan : Untuk menjawab pertanyaan pada latihan ini, Anda harus mencermati apa yang dimaksud dengan dana desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Anda pun harus ingat bagaimana mekanisme penyerahan dana desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. DANA DEKONSENTRASI (7)

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah. Dana Dekonsentrasi merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga Pendanaan dalam rangka Dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang Pemerintah melalui kementerian negara/lembaga kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah. Pengaturan Dana Dekonsentrasi bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yng dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah. Dengan demikian, pelaksanaan pelimpahan wewenang didanai oleh Pemerintah yang disesuaikan dengan wewenang yang dilimpahkan. Kegiatan Dekonsentrasi di Daerah dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah yang ditetapkan oleh gubernur. Gubernur memberitahukan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi di Daerah kepada DPRD. Rencana kerja dan anggaran tersebut diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD. Pendanaan dalam rangka Dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat nonfisik antara lain koordinasi perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dari penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Tugas Pembantuan dan Desentralisasi. DANA TUGAS PEMBANTUAN Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga. Pendanaan dalam rangka Tugas Pembantuan dilaksanakan setelah adanya penugasan Pemerintah melalui kementerian negara/lembaga kepada Kepala Daerah. Pengaturan dana Tugas Pembantuan bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang ditugaskan kepada daerah. Dengan demikian, pelaksanaan Tugas Pembantuan didanai oleh Pemerintah sesuai dengan penugasan yang diberikan. Kegiatan Tugas Pembantuan di Daerah dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh gubernur, bupati, atau walikota. Kepala Daerah

memberitahukan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Tugas Pembantuan kepada DPRD. Rencana kerja dan anggaran diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD. Pendanaan dalam rangka tugas pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat fisik. Penatausahaan Keuangan dalam pelaksanaan Tugas Pembantuan dilakukan secara terpisah Latihan : 1. Bagaimanakah dampak dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan bagi pembangunan daerah? Jelaskan! 2. Bagaimanakah dampak dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan bagi kemampuan fiskal daerah? Jelaskan! Petunjuk Jawaban Latihan : Untuk menjawab pertanyaan ini, Anda harus ingat asal dan mekanisme pemberian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Di samping itu, Anda pun harus ingat tentang kondisi keuangan daerah baik daerah provinsi mapun kabupaten/kota. dari penatausahaan Keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi dan Desentralisasi.

Proses Penyusunan APBD (8)

APBD adalah rencana anggaran tahunan daerah dalam bentuk peraturan daerah. APBD merupakan instrumen utama untuk melaksanakan kebijakan dalam satu tahun anggaran. Dalam penyusunannya, melibatkan berbagai pihak yang berkompeten. Perbedaan substansial antara era sebelum otonomi dengan era otonomi daerah dalam hal penyusunan APBD adalah bahwa pada era sebelumnya dominasi eksekutif sangat besar dan hampirhampir menafikan peran DPRD dan masyarakat sedangkan pada era otonomi daerah penyusunan APBD harus mengedepankan partisipasi dan akuntabilitas publik. Karena APBD merupakan operasionalisasi dari berbagai kebijakan,maka harus mencerminkan suatu kesatuan sistem perencanaan yang sistematis dan dapat dianalasis keterkaitannya dengan dokumen-dokumen perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Prinsip penyusunan APBD harus mengedepankan prinsip-prinsip good governance, sebagaimana dikemukakan Saragih (2003 : 120) bahwa prinsip- prinsip dasar pengelolaan keuangan publik adalah akuntabilitas, transparansi, responsivitas, efektif, efisien dan partisipatif. Untuk menterjemahkan prinsip-prinsip tersebut, perlu disusun alur perencanaan anggaran. Mekanisme penyusunan anggaran daerah dengan mekanisme penjaringan aspirasi dapat dilihat pada gambar berikut :

G M e k a n is m e

a m P

b a r

1 A n g g a r a n D a e r a h

e n y u s u n a n

r a h d a n p e m P e m e r in t a h

b in a a n a t a s a n

d a r i

e n s t r a d a

a t a

is t o r is

M A T o k o h O r m a s e r g u r u

Y A R m a s y , A s o a n T in

A a s i g

K r a a s g i

A T k a t , L S M i P r o f e s i, d a n la in - la in

T I M

L I

P o k o k - p o k o k P ik ir a n D P R D

A P E M D A

r a h & K e b ija k a n U m u m A P B D

T I M

L I

T I M E K

A S

N E

G G A R K U T I F

t r a t e g i & A P B D

r io r it a s

P A

A N I T I A D H O C

u r a t

d a r a n

F o r u m R e n c a n a P r o g r a m / K e g ia t a n

a r g a

M A

e m o r a n d a n g g a r a n

n it

e r ja

e n s t r a

N A

I T I A L E G I S N G G A R A N

L A

T I F

Sumber : Mardiasmo,2002

Latihan : 1. Jelaskan proses penyusunan APBD pada daerah kabupaten/kota tempat tinggal Anda! 2. Apakah proses penyusunan APBD tersebut telah sesuai dengan prinsip pengelolaan keuangan daerah? Jelaskan! Petunjuk Jawaban Latihan : Untuk menjawab pertanyaan sebagaimana tersebut di atas, Anda harus mencermati proses penyusunan APBD dan prinsip pengelolaan keuangan daerah.

KEUANGAN DESA (9) Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut menimbulkan pendapatan, belanja dan pengelolaan keuangan desa. Sumber pendapatan desa terdiri atas pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, bantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, hibah dan sumbangan dari pihak ketiga. Pendapatan asli desa meliputi hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota adalah bantuan yang bersumber dari APBN,APBD provinsi, APBD kabupaten/kota yang disalurkan melalui kas desa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa. Sedangkan sumbangan dari pihak ketiga dapat berbentuk hadiah, donasi, wakaf dan/atau lain-lain sumbangan serta pemberian sumbangan tersebut tidak mengurangi kewajiban pihak penyumbang. Belanja desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Pengelolaan keuangan desa dilakukan oleh kepala desa yang dituangkan dalam peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa. Pedoman pengelolaan keuangan desa ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Badan usaha milik desa dapat melakukan pinjaman sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Desa dapat mengadakan kerjasama untuk kepentingan desa yang diatur dengan keputusan bersama dan dilaporkan kepada bupati/walikota melalui camat. Kerjasama antar desa dan desa dengan pihak ketiga dilakukan sesuai dengan kewenangannya dan peraturan perundang-undangan. Untuk pelaksanaan kerjasama tersebut dapat dibentuk badan kerjasama. Latihan : 1. Jelaskan hak dan kewajiban desa dalam bidang keuangan!

2. tinggal Anda!

Jelaskan proses penyusunan anggaran desa pada desa tempat

Petunjuk Jawaban Latihan : Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Anda harus ingat sumber-sumber pendapatan desa dan cermati bagaimana pemerintah desa tempat Anda tinggal menyusun anggarannya.

Daftar Pustaka Cohen, John M and Stephen B Peterson .(1999). Administrative DecentralizationStrategies for Developing Countries, Kumarian Press,Connecticut USA Diharna.(2002). Reformasi Pemerintahan Daerah Republik Indonesia, Bandung Douglas,Patricia.(1998). Government and Non Profit Organization, Prentice Hall,New York. Koswara.(2000). Teori Pemerintahan Daerah,IIP, Jakarta Mardiasmo.(2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.Andi,Yogyakarta. Osborne,David and Peter Plastrik.(1996). Bunishing Bureucracy The Five Strategis for Reinventing Government.Addison Weshley Publishing Company, New York. Supriatna, Tjahya.(2000). Legitimasi dan Akuntabilitas Manajemen Publik.Aksara Baru, Jakarta. _______________.(2001). Akuntabilitas Pemerintahan dalam Administrasi Publik. Indra Prahasta,Bandung Suwandi,Made.(2002). Konsepsi dasar Otonomi daerah di Indonesia.Jakarta Shah,Anwar.(1997). Balance,Accountability and Responsiveness; Lessons about Decentralization, World Bank, washington DC,USA Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintahan daerah .

Kelebihan dan kekurangan Perubahan tersebut dilakukan karena dalam proses penganggaran yang selama ini berlaku dinilai mempunyai beberapa kelemahan, antara lain, pertama, kurang terkaitnya antara kebijakan, perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaannya. Kedua, penganggaran yang berhorizon satu tahun. Ketiga, penganggaran yang berdasarkan masukan (inputs). Keempat, terpisahnya penyusunan anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Di lain pihak, perencanaan dan proses penganggaran APBN yang baru tersebut dalam pelaksanaannya masih mengandung beberapa permasalahan dan kekurangan. Pertama, jajaran pemerintah, khususnya Depkeu yang terlibat dan Panitia Anggaran DPR praktis bekerja hampir sepanjang tahun, mulai Maret hingga Oktober, untuk membahas dan mengesahkan APBN. Mekanisme birokrasi kepemerintahan di tingkat eksekutif dan jadwal serta tata tertib persidangan di DPR sering tidak sejalan. Kedua, persetujuan DPR atas APBN sampai ke jenis belanja, organisasi, dan fungsi memang bertujuan baik dan ideal untuk disiplin anggaran. Namun, sering kali menyulitkan kedua belah pihak karena kedalaman materi dan waktu yang mendesak sering kali memerlukan kompromi- kompromi. Ketergantungan eksekutif sebagai perencana dan pelaksana anggaran dengan legislatif sebagai pemegang kendali budget menjadi sangat tinggi sehingga mengurangi fleksibilitas eksekutif dalam kebijakan fiskal. Ketiga, di pihak eksekutif, khususnya departemen dan lembaga pengguna anggaran yang saat ini belum terbiasa dengan disiplin anggaran, cenderung resisten dengan sistem yang mengharuskan akuntabilitas tinggi. Akibatnya keterlambatan pencairan terjadi dan program pembangunan terkorbankan. Keempat, keterlambatan juga terjadi karena masih terjadi dalam beberapa kasus tumpang tindih pekerjaan penyusunan dan verifikasi DIPA dan RKAKL di Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Depkeu. Dalam tahap perencanaan anggaran, reformasi yang dilakukan adalah perubahan anggaran dual budgeting system (DBS) menjadi unified budgeting system (UBS). DBS yang selama ini dikenal adalah berupa pemisahan antara belanja rutin dan belanja

pembangunan. Adapun UBS (penganggaran terpadu) adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintah dengan prinsip efisiensi alokasi dana. Selain perubahan dalam siklus perencanaan, reformasi di bidang keuangan negara juga berdampak positif terhadap siklus ketiga dari APBN, yaitu pelaksanaan anggaran. Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pengguna anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya. Dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dapat dipungut oleh Propinsi dan Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut : a. Jenis pajak daerah propinsi terdiri dari : 1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air 3. Pajak bahan Bakar Kendaraan Bermotor 4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan PKB dan BBNKB kendaraan dan kendaraan di atas air sedikitnya 30% diserahkan kepada Kota dan Kabupaten di Propinsi yang bersangkutan. Sedangkan Pajak Bahan Bakar dan Pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, sedikitnya 70% diserahkan kepada Kabupaten/Kota. b. Jenis pajak daerah Kabupaten/Kota terdiri dari : 1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Reklame 5. Pajak Penerangan Jalan 6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 7. Pajak Parkir Hasil Pajak kabupaten sedikitnya 10% diserahkan kepada Desa di lingkungan Kabupaten dan diatur dalam Perda Kabupaten yang bersangkutan.

Jenis pajak Kabupaten/Kota harus memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. Bersifat Pajak bukan Retribusi Obyek pajak terletak di Daerah yang bersangkutan dengan mobilitas yang Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi atau Pusat Potensinya memadai Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatip Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat Menjaga kelestarian lingkungan Retribusi daerah terdiri dari tiga kelompok retribusi yaitu : Jasa Umum Jasa Usaha Perijinan tertentu Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum, Jasa Usaha dan Perijinan tertentu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan beberapa kriteria, namun Daerah melalui Perda dapat menetapkan jenis Retribusi selain ketiga kelompok di atas sepanjang masuk dalam domain otonomi Daerah dan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Adapaun kriteria Retribusi adalah sebagai berikut : a. Retribusi Jasa Umum 1. Bersifat bukan pajak dan bukan masuk jasa usaha atau perijinan tertentu 2. Merupakan kewenangan Daerah 3. Memberikan manfaat khusus bagi yang membayar retribusi tersebut 4. Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi 5. Tidak bertentangan dengan kebijakan nasional 6. Dapat dipungut secara efektif dan efisien sebagai sumber PAD potensial 7. Pemungutan retribusi memungkinkan jasa tersebut diberikan dengan pelayanan berkualitas. b. Retrribusi Jasa Usaha : 1. Bersifat bukan pajak dan bukan masuk retribusi jasa umum atau perijinan tertentu

rendah dan hanya melayani masyarakat di Daerah yang bersangkutan. umum.

2. Jasanya bersifat komersial c. Retribusi Perijinan Tertentu : 2. 3. 4. Merupakan domain otonomi Daerah Untuk melindungi kepentingan umum Dampak biaya yang ditimbulkan dari pemberian ijin tersebut cukup besar dan Untuk menilai sejauhmana sistem perpajakan daerah atau suatu pajak daerah tertentu sudah baik atau tidak, dapat digunakan prinsip-prinsip pajak daerah yang baik (the four canons of taxation dari Adam Smith) untuk kriteria pengukurnya. The four canons of taxation adalah sebagai berikut : 1. Kecukupan (Adequecy) Hasil penerimaan dari suatu jenis pajak haruslah cukup memadai untuk membiayai suatu pengeluaran tertentu terutama pajak-pajak yang bersifat earmarked. PKB sebagai contoh, haruslah mampu untuk membiayai hal-hal yang berkaitan dengan jalan raya dan varibel-variabel pendukungnya (lampu jalan, tanda jalan, pemeliharaan jalan dan sebagainya). 2. Keadilan (Equity) Pajak harus bersifat adil bagi masyarakat wajib pajak. Dikenal ada dua variant keadilan (equity) yaitu horizontal equity dan vertikal equity. Horizontal equity mensyaratkan bahwa wajib pajak yang berada dalam keadaan ekonomi yang sama harus membayar beban pajak yang sama juga. Vertikal equity mensyaratkan bahwa wajib pajak yang berbeda keadaan ekonominya harus membayar pajak dengan jumlah yang berbeda juga. 3. Efisiensi Ekonomi (Economic Efficiency) Pajak Daerah jangan sampai menyebabkan inefisiensi ekonomi. Pungutan pajak jangan sampai mengakibatkan orang tidak mau menabung atau merubah pola konsumsinya. 4. Dapat diterima secara politis dan secara Administratif mampu dilaksanakan (Political Acceptability and Administrative Feasibility) Pajak secara politis harus diterima oleh masyarakat terutama para wajib pajak. Secara administratif, pajak harus dapat diadministrasikan secara baik. Contoh pajak radio sering sulit untuk administrasinya terutama radio yang sudah tua, terpencil letak wajib

layak dibiayai dengan retribusi perijinan.

pajaknya,

atau

bahkan

ada

di

mobil-mobil

sehingga

akan

sangat

sulit

mengadministrasikannya. 1). Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB dibagi antara daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan Pemerintah. Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah dengan rincian sebagai berikut: a). 16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi; b). 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota; dan c). 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan. Bagian Pemerintah dari penerimaan PBB sebesar 10% (sepuluh persen) dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut: a). 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota; dan b). 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu. Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80% (delapan puluh persen) dengan rincian sebagai berikut: a). 16% (enam belas persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi; dan b). 64% (enam puluh empat persen) untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota. Bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB sebesar 20% (dua puluh persen) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota.

Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB dan BPHTB dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 yang merupakan bagian Daerah adalah sebesar 20% (dua puluh persen).Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh tersebut dibagi antara Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 dibagi dengan imbangan 60% (enam puluh persen) untuk kabupaten/kota dan 40% (empat puluh persen) untuk provinsi. Penyaluran Dana Bagi Hasil dilaksanakan secara triwulanan. 2). Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: a). kehutanan; Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. Dana Bagi Hasil dari penerimaan IHPH yang menjadi bagian Daerah dibagi dengan rincian 16% (enam belas persen) untuk provinsi; dan 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil. Dana Bagi Hasil dari penerimaan PSDH yang menjadi bagian Daerah dibagi dengan rincian 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan 32% (tiga puluh dua persen) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah yang digunakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional; dan 40% (empat puluh persen) untuk Daerah yang digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil. b). pertambangan umum; Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.

Penerimaan Pertambangan Umum terdiri atas Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent); dan Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti). Land-rent adalah seluruh penerimaan iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi, atau eksploatasi pada suatu wilayah kuasa pertambangan. Royalti adalah iuran produksi yang diterima negara dalam hal pemegang kuasa pertambangan. Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Tetap (Land-rent) yang menjadi bagian Daerah dibagi dengan rincian: 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil. Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti) yang menjadi bagian Daerah dibagi dengan rincian: 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.Bagian kabupaten/kota dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. c). perikanan; Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota. Penerimaan Perikanan terdiri atas: Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan. Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara sektor perikanan dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada kabupaten/kota di seluruh Indonesia. d). pertambangan minyak bumi; Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah; dan 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah. e). pertambangan gas bumi; Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah; dan 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk Daerah. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagikan ke Daerah adalah Penerimaan Negara dari sumber daya alam Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi sebesar 15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi sebesar 30% (tiga puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: 6% (enam persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan. Bagian kabupaten/kota dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebesar 0,5% (setengah persen) dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Dana Bagi Hasil sebesar 0,5 % (setengah persen) tersebut dibagi masing-masing dengan rincian sebagai berikut: 0,1% (satu persepuluh persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/ kota penghasil; dan 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Bagian kabupaten/kota dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. f). pertambangan panas bumi. Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah. Penerimaan Negara dari Pertambangan Panas Bumi merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terdiri atas Setoran Bagian Pemerintah;

Iuran tetap dan iuran produksi. Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pertambangan Panas Bumi yang dibagikan kepada Daerah dibagi dengan rincian: 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Bagian kabupaten/kota dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Pemerintah menetapkan alokasi Dana Bagi Hasil yang berasal dari sumber daya alam sesuai dengan penetapan dasar perhitungan dan daerah penghasil. Dana Bagi Hasil yang merupakan bagian Daerah disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan. Realisasi penyaluran Dana Bagi Hasil yang berasal dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan. Jika Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi melebihi 130% (seratus tiga puluh persen), maka penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN Perubahan. 1. Dana Bagi Hasil; Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Pengaturan DBH dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah merupakan penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat pengaturan mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak penghasilan (PPh) pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH. Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Untuk mempermudah pemahaman Anda tentang Dana Bagi Hasil , perhatikanlah tabel berikut:

Dana Bagi Hasil Sumber DBH


PBB BPHTB PPH Ps 25 & 29 wajib pajak orang pribadi dlm negeri & ps 21 Kehutanan a.Iuran HPH b.ProvisiSDH 20% 16% 16% 64% 32% 32% c. Dana Reboisasi Pertambangan Umum Land-rent b. Royalti 20% 16% 16% 64% 32% 32% Kab/Kot penghasil Kab/Kot lain se-provinsi 60% 40% Kab/Kot penghasil Kab/Kot lain se-provinsi

Pemerintah Pusat
10 % 20% 80%

Provinsi
16,2% 16% 8%

Kabupaten/Kota
64,8% 64% 12%

Keterangan
9% biaya pungut

Perikanan

20%

80%

Seluruh kab/kot

Pertambangan minyak bumi

84,5%

3%

6% 6%

Kab/Kot penghasil Kab/Kot lain se-provinsi Utk menambah anggaran pend.dasar

0,1%

0,4%

Pertambangan Gas bumi

69,5%

6%

12% 12%

Kab/Kot Penghasil Kab/kot lain seprovinsi Utk menambah anggaran pend.dasar Kab/Kot Penghasil Kab/kot lain seprovinsi

0,1%

0,4%

Pertambangan Panas Bumi

20%

16%

32% 32%

2. Dana Alokasi Umum Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU) didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan Keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DAU dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas dasar besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar

akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. Pendapatan dalam negeri neto adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah. Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum, seperti penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Setiap kebutuhan pendanaan diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan Daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil. Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal diperoleh dari lembaga statistik pemerintah dan/atau lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah kabupaten/ kota. Bobot daerah kabupaten/kota merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah kabupaten/kota. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar, contoh : kebutuhan fiskal = Rp. 100 miliar, Kapasitas fiskal = Rp. 100 miliar, Alokasi dasar = Rp. 50 miliar. Celah fiskal = kebutuhan fiskal kapasitas fiskal (Rp 100 miliar Rp 100 miliar = Rp 0 miliar). Dau= alokasi dasar, maka total DAU = Rp 50 miliar.

Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal, contoh : kebutuhan fiskal = Rp 100 miliar, kapasitas fiskal = Rp 125 miliar, Alokasi dasar = Rp 50 miliar. Celah fiskal = Rp 100 miliar Rp 125 miliar = Rp 25 miliar (negatif). DAU = alokasi dasar + celah fiskal, maka total DAU = Rp 50 miliar + Rp 25 miliar = Rp 25 miliar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar, tidak menerima DAU, Contoh : kebutuhan fiskal Rp 100 miliar, kapasitas fiskal = Rp 175 miliar, alokasi dasar = Rp 50 miliar. Celah fiskal = Rp 100 miliar Rp 175 miliar = Rp 75 miliar (negatif). DAU = celah fiskal + alokasi dasar, maka total DAU = Rp 75 miliar + Rp 50 miliar = Rp -25 miliar atau disesuaikan menjadi Rp 0 (nol). Pemerintah merumuskan formula dan penghitungan dengan memperhatikan pertimbangan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Hasil penghitungan DAU per provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu perdua belas) dari DAU Daerah yang bersangkutan. Penyaluran DAU dilaksanakan sebelum bulan bersangkutan. 3. Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana kebutuhan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah. Kegiatan khusus tersebut sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai

kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja pegawai. Kemampuan keuangan daerah = penerimaan umum APBD belanja pegawai daerah. Penerimaan umum = PAD + DAU + (DBHDBHDR). Belanja pegawai daerah = belanja PNSD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah. Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian Negara/departemen teknis. Kriteria teknis antara lain meliputi standar kualitas/kuantitas konstruksi serta perkiraan manfaat lokal dan nasional yang menjadi indikator dalam perhitungan teknis. Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping tersebut dianggarkan dalam APBD. Namun demikian, Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping yaitu daerah yang selisih antara penerimaan umum APBD dan belanja pegawainya sama dengan nol atau negatif. Lain-lain pendapatan Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah kepada Daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui Pemerintah. Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara Pemerintah Daerah dan pemberi hibah. Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian. Tata cara pemberian, penerimaan, dan penggunaan hibah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Presiden. Pemerintah dapat mengalokasikan Dana Darurat pada Daerah yang dinyatakan mengalami krisis solvabilitas. Krisis solvatbilitas adalah krisis keuangan berkepanjangan yang dialami oleh daerah selama 2 (dua) tahun anggaran dan tidak dapat diatasi melalui APBD. Daerah dinyatakan mengalami krisis solvabilitas berdasarkan evaluasi Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Krisis solvabilitas ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pinjaman daerah

Dalam undang-undang Nomor 33 tahun 2004 ditegaskan bahwa daerah dilarang melakukan pinjaman langsung ke luar negeri. Pinjaman yang bersumber dari luar negeri hanya dapat dilakukan melalui Pemerintah dengan mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal dalam kebijakan fiskal dan moneter oleh Pemerintah. Di lain pihak, pinjaman daerah tidak hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang menghasilkan penerimaan, tetapi juga dapat untuk membiayai proyek pembangunan prasarana dasar masyarakat walaupun tidak menghasilkan penerimaan. Selain itu, dilakukan pembatasan pinjaman dalam rangka pengendalian defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman pemerintah daerah. Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif pinjaman tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan. Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah secara keseluruhan selambat-lambatnya bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya. Pengendalian batas maksimal kumulatif Pinjaman Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi administratif berupa penundaan dan/atau pemotongan atas penyaluran Dana Perimbangan oleh Menteri Keuangan. Dana perimbangan yang dapat dilakukan penundaan penyaluran dan/atau pemotongan adalah dana bagi hasil dan dana alokasi umum. a). Sumber Pinjaman Pinjaman Daerah bersumber dari: 1). Pemerintah; Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah diberikan melalui Menteri Keuangan. Pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah berasal dari APBN atau pinjaman luar negeri pemerintah yang diteruspinjamkan kepada daerah. 2). Pemerintah Daerah lain; 3). lembaga Keuangan bank; 4). lembaga Keuangan bukan bank; 5). masyarakat.

Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat berupa Obligasi Daerah diterbitkan melalui pasar modal. Yang dimaksud masyarakat dalam kaitan ini adalah orang pribadi dan/atau badan yang melakukan investasi di pasar modal. b). Jenis dan Jangka Waktu Pinjaman Jenis Pinjaman terdiri atas : 1). Pinjaman Jangka Pendek; Pinjaman Jangka Pendek merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Pinjaman Jangka Pendek dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas. 2). Pinjaman Jangka Menengah; Pinjaman Jangka Menengah merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan. Pinjaman Jangka Menengah dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan 3). Pinjaman Jangka Panjang. Pinjaman Jangka Panjang merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun - tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan. Pinjaman Jangka Panjang dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan. Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang wajib mendapatkan persetujuan DPRD. Dalam melakukan pinjaman, Daerah wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut 1). jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Yang dimaksud penerimaan umum APBD tahun sebelumnya adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana

pinjaman lama dan penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu. 2). rasio kemampuan Keuangan Daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan oleh Pemerintah. Rasio kemampuan keuangan daerah dihitung berdasarkan perbandingan antara PAD, dana bagi hasil, dana alokasi umum setelah dikurangi belanja wajib dibagi dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga, dan biaya lain yang jatuh tempo. Belanja wajib dalam kaitan ini adalah belanja pegawai dan belanja anggota DPRD. 3). tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah. c). Prosedur Pinjaman Daerah Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah yang dananya berasal dari luar negeri. Pinjaman kepada Pemerintah Daerah dilakukan melalui perjanjian penerusan pinjaman kepada Pemerintah Daerah. Perjanjian penerusan pinjaman dilakukan antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah. Perjanjian penerusan pinjaman dapat dinyatakan dalam mata uang Rupiah atau mata uang asing. d). Pelaporan Pinjaman Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Pemerintah setiap semester dalam tahun anggaran berjalan. Dalam hal Daerah tidak menyampaikan laporan, Pemerintah dapat menunda penyaluran Dana Perimbangan. Seluruh kewajiban Pinjaman Daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada Pemerintah, kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara yang menjadi hak Daerah tersebut. Obligasi daerah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dalam mata uang Rupiah di pasar modal domestik. Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal Obligasi Daerah pada saat diterbitkan. Hasil penjualan Obligasi Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Penerimaan dari investasi sektor publik digunakan untuk membiayai kewajiban bunga dan pokok Obligasi Daerah terkait dan sisanya disetorkan ke kas Daerah. Jika

Pemerintah Daerah menerbitkan Obligasi Daerah, Kepala Daerah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPRD dan Pemerintah. Penerbitan Obligasi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Setiap Obligasi Daerah sekurang-kurangnya mencantumkan: a. nilai nominal; b. tanggal jatuh tempo; c. tanggal pembayaran bunga; d. tingkat bunga (kupon); e. frekuensi pembayaran bunga; f. cara perhitungan pembayaran bunga; g. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo; dan h. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan. Persetujuan DPRD mengenai penerbitan Obligasi Daerah meliputi pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan Obligasi Daerah. Pemerintah Daerah wajib membayar bunga dan pokok setiap Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo. Dana untuk membayar bunga dan pokok disediakan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Jika pembayaran bunga melebihi perkiraan dana, Kepala Daerah melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada DPRD dalam pembahasan Perubahan APBD. Pengelolaan Obligasi Daerah diselenggarakan oleh Kepala Daerah.Pengelolaan Obligasi Daerah sekurang-kurangnya meliputi: a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah termasuk kebijakan pengendalian risiko; b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio Pinjaman Daerah; c. penerbitan Obligasi Daerah; d. penjualan Obligasi Daerah melalui lelang; e. pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo; f. pelunasan pada saat jatuh tempo; dan g. pertanggungjawaban. Dana desentralisasi

APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan anggaran pembiayaan. Anggaran pendapatan berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan. Anggaran belanja diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Rincian belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga teknis daerah. Rincian belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri atas layanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata,budaya,agama,pendidikan, serta perlindungan sosial. Rincian belanja daerah menurut jenis belanja antara lain terdiri atas belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial. Anggaran pembiayaan terdiri atas penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) kepada DPRD selambat-lambatnya bulan Juni tahun berjalan. RKPD adalah dokumen perencanaan daerah provinsi, kabupaten, dan kota untuk periode 1 (satu) tahun. DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati, Pemerintah Daerah dan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah. Rencana kerja SKPD merupakan dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun. Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD) tahun berikutnya. RKA SKPD adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan rencana strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran, serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya. Rencana kerja SKPD disusun dengan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. RKA SKPD disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun. RKA SKPD disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola Keuangan Daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya. Kepala Daerah

mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD disertai penjelasan dan dokumendokumen pendukungnya kepada DPRD. DPRD bersama dengan Pemerintah Daerah membahas Rancangan APBD yang disampaikan dalam rangka mendapatkan persetujuan. Rancangan APBD yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah dituangkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Semua Penerimaan Daerah wajib disetor seluruhnya tepat waktu ke Rekening Kas Umum Daerah. Pengeluaran atas beban APBD dalam satu tahun anggaran hanya dapat dilaksanakan setelah APBD tahun anggaran yang bersangkutan ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Jika Peraturan Daerah tentang APBD tidak disetujui DPRD, maka untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar realisasi APBD tahun anggaran sebelumnya. Kepala SKPD menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk SKPD yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. Pengguna anggaran melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan. Pengguna anggaran berhak untuk menguji, membebankan pada mata anggaran yang disediakan, dan memerintahkan pembayaran tagihan atas beban APBD. Yang dimaksud Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah. Pembayaran atas tagihan yang dibebankan APBD dilakukan oleh bendahara umum Daerah. Pembayaran atas tagihan yang dibebankan APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima. Daerah dapat membentuk Dana Cadangan guna mendanai kebutuhan yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dana Cadangan tersebut dapat bersumber dari penyisihan atas penerimaan APBD kecuali dari DAK, Pinjaman Daerah, dan penerimaan lain yang penggunaan-nya dibatasi untuk pengeluaran tertentu. Penggunaan Dana Cadangan dalam satu tahun anggaran menjadi penerimaan pembiayaan APBD dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Dana Cadangan ditempatkan pada rekening tersendiri dalam Rekening Kas Umum Daerah. Bila Dana Cadangan belum digunakan sesuai dengan peruntukannya, maka dana tersebut dapat ditempatkan dalam portofolio yang memberikan hasil tetap dengan risiko rendah. Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain atas dasar prinsip saling menguntungkan.Kerjasama dengan pihak lain (antar daerah,antara

pemerintah daerah dengan BUMD, antara pemerintah daerah dengan swasta) dilakukan manakala pemerintah daerah memiliki keterbatasan dana dalam menyediakan fasilitas layanan umum. Kerja sama dengan pihak lain ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Anggaran yang timbul akibat dari kerja sama dicantumkan dalam APBD. Dalam keadaan darurat, Pemerintah Daerah dapat melakukan belanja dari APBD yang belum tersedia anggarannya.Belanja tersebut diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. Perubahan APBD ditetapkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran. Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa. Keadaan luar biasa adalah keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran dalam APBD mengalami kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50% (lima puluh persen). Persentase 50 %( lima puluh persen) merupakan selisih kenaikan antara pendapatan dan belanja dalam APBD. Pemerintah Daerah menyampaikan rancangan Peraturan Daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan Keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran. Pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah. Laporan Keuangan tersebut setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD (realisasi pendapatan dan belanja serta penjelasan prestasi kerja SKPD), Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri laporan Keuangan Perusahaan Daerah. Bentuk dan isi Laporan Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntasi Pemerintahan. Pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara. Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD. Jumlah kumulatif defisit tidak melebihi 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan. Menteri Keuangan menetapkan kriteria defisit APBD dan batas maksimal defisit APBD masing-masing Daerah setiap tahun anggaran (pada bulan Agustus). Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi berupa

penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan. Dalam hal APBD (8) diperkirakan defisit, pembiayaan defisit bersumber dari: a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA); b. Dana Cadangan; c. Penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. Pinjaman Daerah. Pengawasan Dana Desentralisasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pemeriksaan Dana Desentralisasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara. Pemeriksaan keuangan daerah meliputi PAD,dana perimbangan, lain-lain pendapatan, pinjaman daerah, dan belanja daerah. Pemeriksaan keuangan daerah dilaksanakan secara tahunan dan pada akhir masa jabatan kepala daerah dan DPRD. Dana dekonsentrasi SKPD menyelenggarakan penatausahaan uang/barang dalam rangka Dekonsentrasi secara tertib sesuai dengan peraturan perundang-undangan. SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada gubernur. Gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada menteri negara/ pimpinan lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang. Menteri negara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi secara nasional kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Semua barang yang diperoleh dari Dana Dekonsentrasi menjadi barang milik Negara. Barang milik Negara tersebut dapat dihibahkan kepada Daerah. Barang milik Negara yang dihibahkan kepada Daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh Daerah. Sedangkan barang milik Negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib dikelola dan ditatausahakan wewenang. Pengawasan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pemeriksaan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dana tugas pembantuan oleh kementerian negara/lembaga yang memberikan pelimpahan

SKPD menyelenggarakan penatausahaan uang/barang dalam rangka Tugas Pembantuan secara tertib sesuai dengan peraturan perundang-undangan. SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan kepada Gubernur, bupati, atau walikota. Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan kepada menteri negara/pimpinan lembaga yang menugaskan. Menteri negara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan secara nasional kepada Presiden sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Semua barang yang diperoleh dari Dana Tugas Pembantuan menjadi barang milik Negara. Barang milik Negara tersebut dapat dihibahkan kepada Daerah. Barang milik Negara yang dihibahkan kepada Daerah dikelola dan ditatausahakan oleh Daerah. Barang milik Negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh kementerian negara/lembaga yang memberikan penugasan. Pengawasan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan. Pemeriksaan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pengadministrasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilakukan melalui mekanisme APBN, sedangkan pengadministrasian dana desentralisasi mengikuti mekanisme APBD. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan daerah dapat dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka pendanaan penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dibiayai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan Pusat yang dikonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka tugas pembantuan. Dana desentralisasi Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan Penerimaan dan Pengeluaran Daerah. Setiap pejabat dilarang melakukan

tindakan yang berakibat pada pengeluaran atas beban APBD, jika anggaran untuk mendanai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia. Semua Pengeluaran Daerah, termasuk subsidi, hibah, dan bantuan keuangan lainnya yang sesuai dengan program Pemerintah Daerah didanai melalui APBD. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan Keuangan Daerah. Jika APBD diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Jika APBD diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD (8) Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN, yang meliputi masa 1 (satu) tahun mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Dana Tugas Pembantuan disalurkan melalui Rekening Kas Umum Negara. Pada setiap awal tahun anggaran Kepala Daerah menetapkan Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai pelaksana kegiatan Tugas Pembantuan. Apabila terdapat sisa anggaran lebih atas pelaksanaan Tugas Pembantuan, sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN. Jika terdapat saldo kas atas pelaksanaan Tugas Pembantuan, saldo tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara. Apabila pelaksanaan Tugas Pembantuan menghasilkan penerimaan, maka penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN yang harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara sesuai ketentuan yang berlaku. Dana Dekonsentrasi disalurkan melalui Rekening Kas Umum Negara.Pada setiap awal tahun anggaran gubernur menetapkan Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai pelaksana kegiatan Dekonsentrasi. Bila terdapat sisa anggaran lebih atas pelaksanaan Dekonsentrasi, sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN.Bila terdapat saldo kas atas pelaksanaan Dekonsentrasi, saldo tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara. Bila pelaksanaan Dekonsentrasi menghasilkan penerimaan, maka penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN dan disetor ke Rekening Kas Umum Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, harus melibatkan DPRD dan masyarakat secara aktif. Untuk itu, perlu dibuat aturan main antara ketiga pihak sehingga hak dan kewajibannya jelas. Dalam kaitan dengan hal ini, Mardiasmo (2002: 156) mengemukakan bahwa proses perencanaan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja pada dasarnya melibatkan tiga elemen yang

saling terkait dan terintegrasi. Ketiga elemen tersebut adalah masyarakat, DPRD dan Pemerintah Daerah. Dari sisi aturan, maka mekanisme penyusunan anggaran khususnya APBD diatur dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UndangUndang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dari berbagai peraturan tersebut, Proses penyusunan anggaran dimulai dengan nota kesepakatan tentang kebijakan umum APBD (KU) antara eksekutif dan DPRD. Karena berbentuk kesepakatan, maka peran eksekutif dan DPRD adalah sama, dalam arti baik eksekutif maupun DPRD harus sama-sama mencari sumber dan data-data untuk menyusun kebijakan umum. Penyusunan kebijakan umum didasarkan kepada rencana strategis (Renstra) yang telah ditetapkan melalui peraturan daerah sebagai master plan kebijakan suatu pemerintahan dalam periode tertentu. Karena Renstra merupakan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah, maka seharusnya pada saat penyusunannya sudah melalui mekanisme public hearing dan partisipasi publik. Menurut Mardiasmo (2002 : 129) terdapat beberapa tahap dalam menyusun arah dan kebijakan umum APBD, strategi dan prioritas APBD, yaitu : a.melakukan proses scanning lingkungan dan assesment untuk menentukan posisi dan kebutuhan daerah untuk tahun tersebut. Mekanisme scanning adalah melalui penjaringan aspirasi masyarakat ; b.berdasarkan dokumen hasil need assesment dari penjaringan aspirasi masyarakat, DPRD mempersiapkan draft arah dan kebijakan umum APBD serta strategi dan prioritas APBD; c.DPRD meminta bahan masukan dari pemerintah daerah tentang berbagai aspirasi yang diperoleh dari rapat koordinasi pembangunan, hasil evaluasi dan analisis kondisi eksisting sebelum membuat kesepakatan dengan pemerintah daerah; d.Membuat kesepakatan antara DPRD dan pemerintah daerah. Kesepakatan tersebut menghasilkan arah dan kebijakan umum APBD, strategi dan prioritas APBD. Dalam menentukan arah dan kebijakan umum anggaran

daerah,DPRD melakukan penjaringan aspirasi masyarakat sehingga dapat diperoleh informasi tentang kebutuhan nyata masyarakat sebagai asupan dalam penyusunan pokokpokok pikiran DPRD. Tujuan penjaringan aspirasi masyarakat adalah untuk mengeksploitasi data/informasi dari masyarakat, mendeskripsikan aspirasi masyarakat serta memaparkan aspirasi masyarakat.

Penjaringan aspirasi masyarakat dapat juga dilakukan untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat dan harus direspon oleh pemerintah sebagai salah satu bentuk responsivitas dan akuntabilitas pemerintah daerah terhadap publik. Penjaringan aspirasi tersebut dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai metode, baik aktif maupun pasif. Penjaringan secara aktif antara lain melalui musyawarah pembangunan kelurahan, diskusi UDKP, dan musyawarah perencanaan pembangunan. Pejaringan secara pasif antara lain dapat dilakukan melalui dialog interaktif melalui radio atau media masa lain. Kebijakan umum APBD juga harus mempertimbangkan kebijakan pemerintah pusat karena kebijakan pemerintah pusat seperti dana perimbangan akan mempengaruhi performance APBD. Berdasarkan kebijakan umum APBD, pemerintah daerah menyusun prioritas dan plafon APBD sebagai landasan operasional masing-masing unit kerja dalam menyusun kegiatannya. Urgensi prioritas dan plafon adalah karena keterbatasan anggaran dan diperlukan adanya program dan kegiatan yang tepat untuk mencapai kebijakan yang telah ditentukan. Operasionalisasi kebijakan umum, prioritas dan plafon adalah dalam bentuk rencana anggaran satuan kerja (RASK). RASK merupakan dokumen yang paling operasional dalam proses penyusunan APBD. Dalam sistim anggaran kinerja, kebijakan dioperasionalkan dalam bentuk kegiatan dilengkapi dengan indikator kinerja, seperti input, output, outcome, benefit, dan impact yang kemudian dilengkapi dengan tolok ukur kinerja dan target kinerjanya. RASK digunakan sebagai dasar untuk menyusun rancangan APBD. Peran DPRD sangat penting dalam proses pembahasan RAPBD yang pada intinya merupakan pembahasan RASK baik dari sisi pendapatan, belanja maupun pembiayaan. Pada tahap pembahasan RASK, DPRD dituntut untuk tidak sekedar berwacana dalam tataran normatif kebijakan, tetapi yang lebih penting adalah aspek teknis kebijakan karena aspek inilah yang dapat dinilai efektivitas dan efisiensinya. Pada tahap pembahasan RASK, DPRD juga dapat melakukan pengawasan awal untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya inefisiensi anggaran. Pada tahap pembahasan RASK ini juga dapat terjadi perubahan angka baik pada sisi pendapatan, belanja maupun pembiayaan.

You might also like