You are on page 1of 11

TINJAUAN PUSTAKA

Pengaturan Pola Tanam dan Tertib Tanam (P2T3) Pola tanam adalah pengaturan penggunaan lahan pertanaman dalam kurun waktu tertentu, tanaman dalam satu areal dapat diatur menurut jenisnya. Ada pola tanam monokultur, yakni menaman tanaman sejenis pada satu areal tanam. Ada pola tanam campuran, yakni beragam tanaman ditanam pada satu areal. Ada pula pola tanam bergilir, yaitu menanam tanaman secara bergilir beberapa jenis tanaman pada waktu berbeda di aeral yang sama (Mahmudin, 2008). Menurut Purba (2008) pola tanam merupakan suatu urutan tanam pada sebidang lahan dalam satu tahun, termasuk didalamnya masa pengolahan tanah. Pelaksanaan pola tanam dari suatu daerah irigasi teknis dalam satu tahun, biasanya dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah setempat. Disamping pertimbangan untuk mendukung kebijakan pangan nasional, penentuan pola tanam tersebut juga dibuat berdasarkan faktor ketersediaan air dan aspirasi petani. Pola tanam dapat digunakan sebagai landasan untuk meningkatkan produktivitas lahan. Hanya saja dalam pengelolaannya diperlukan pemahaman kaedah teoritis dan keterampilan yang baik tentang semua faktor yang menentukan produktivitas lahan tersebut. Biasanya, pengelolaan lahan sempit untuk mendapatkan hasil/pendapatan yang optimal maka pendekatan pertanian terpadu, ramah lingkungan, dan semua hasil tanaman merupakan produk utama adalah pendekatan yang bijak (Andoko, 2008). Pola tanam juga bertujuan untuk meminimalisasi serangan hama, sehingga produktivitas hasil panen yang diinginkan dapat tercapai. Dalam pelaksanaannya, Universitas Sumatera Utara

program P2T3 didaerah-daerah sering terkendala oleh sistem sosial masyarakat yang tradisional, sehingga petani cenderung enggan merubah komoditi tanam yang sesuai dengan anjuran pemerintah. Hal ini disebabkan oleh mereka belum terlalu percaya dengan keuntungan-keuntungan yang dapat dicapai oleh inovasi baru tersebut (Sudaryanto, dkk 2002). Tertib tanam adalah kesepakatan tanam masyarakat pada penentuan waktu tanam, gilvar (giliran varians), dan (giltan) giliran tanam pada suatu lahan usaha tani yang disepakati bersama dan dituangkan dalam RDK (rencana definitif kelompok) (Hasibuan, 2008). Menurut Pramono (2010) petani sebagai pengelola usahatani dapat memilih dan mengambil keputusan terhadap usahataninya. Tujuan P2T3 sendiri secara khusus yaitu pengaturan pola tanam dan tertib tanam untuk pengendalian hama wereng batang coklat, hama tikus, serta memperoleh jadwal panen, guna mengisi persaingan pasar pada bulan tertentu. Tujuan umum dari P2T3 yaitu mendayagunakan sumber daya lahan, tenaga kerja, agroklimat, modal serta keterampilan, produksi dan produktivitas yang lebih tinggi. Menurut (Hasibuan, 2008) adapun tujuan dilaksanakanya penerapan pengaturan pola tanam dan tertib tanam (P2T3) adalah sebagai berikut : 1. Memperdayagunakan pemanfaatan air irigasi. 2. Meningkatkan kestabilan kesuburan lahan. 3. Memotong siklus hidup hama / penyakit dan organisme pengganggu tanaman (OPT). 4. Menambah peluang lapangan pekerjaan di perdesaan. 5. Mengurangi resiko gagal panen.

Universitas Sumatera Utara

6. Mengoptimalkan peningkatan produktivitas hasil tanaman. 7. Menjaga kestabilan harga jual hasil panen. 8. Membuka peluang pengembangan usaha agribisnis perdesaan. Landasan Teori Mardikanto (1988) menyebutkan, terdapat beberapa variabel pengambilan keputusan petani. Variabelvariabel tersebut antara lain adalah: 1.Sifat-sifat inovasi Ray (1998) menyebutkan terdapat lima atribut yang menandai setiap gagasan atau cara-cara baru dan diadosi dalam pengambilan keputusan, yaitu: a. Keuntungan-keuntungan relatif (relatif advantages) : yaitu apakah cara-cara atau gagasan baru ini memberikan suatu keuntungan relatif daripada inovasi sebelumnya. Sejalan dengan hal tersebut, Mardikanto (1988) menyebutkan bahwa sebenarnya keuntungan tersebut tidak hanya terbatas pada keuntungan dalam arti ekonomi, tetapi mencakup: Keuntungan teknis, yang berupa: produktivitas tinggi, ketahanan terhadap resiko kegagalan dan berbagai gangguan yang menyebabkan ketidakberhasilannya. Keuntungan ekonomis, yang berupa: biaya lebih rendah, dan atau keuntungan yang lebih tinggi. Pemanfaatan sosial-psikologis, seperti: pemenuhan kebutuhan fisiologis (pangan), kebutuhan psikologis (pengakuan/ penghargaan dari lingkungannya, kepuasan, dan rasa percaya diri), maupun kebutuhankebutuhan sosiologis (pakaian, papan, status sosial dan lain-lain).

Universitas Sumatera Utara

b. Keserasian (compatibility); yaitu apakah inovasi mempunyai sifat lebih sesuai dengan nilai yang ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan yang diperlukan penerima. c. Kerumitan (complexity); yakni apakah inovasi tersebut dirasakan rumit. Mardikanto dan Sri Sutarni (1982) menambahkan bahwa inovasi baru akan sangat mudah untuk dimengerti dan disampaikan manakala cukup sederhana, baik dalam arti mudahnya bagi komunikator maupun mudah untuk dipahami dan dipergunakan oleh komunikasinya. d. Dapat dicobakan (triability); yaitu suatu inovasi akan mudah diterima apabila dapat dicobakan dalam ukuran kecil. e. Dapat dilihat (observability); jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan mata. 2. Tipe keputusan inovasi Wayne Lamble dalam Ibrahim dkk (2003) menyatakan bahwa tingkat adopsi suatu inovasi sangat dipengaruhi oleh oleh keputusan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi. Tipe keputusan ini diklasifikasikan menjadi: a. keputusan opsional, yaitu keputusan yang dibuat seseorang dengan mengabaikan keputusan yang dilakukan orang-orang lainnya dalam suatu sistem sosial. Dalam kaitannya dengan hubungan individual antara penyuluh dengan adopter, Rejeki, dkk (1999) menambahkan bahwa penyuluh sangat berperan dalam pengambilan keputusan yang diambil secara individual. Penyuluh berperan sebagai akseleran pengambilan keputusan secara opsional.

Universitas Sumatera Utara

b. keputusan kolektif, yaitu keputusan yang dilakukan individu-individu dalam suatu sistem sosial yang telah dimufakati atau disetujui bersama. c. keputusan otoritas, yaitu keputusan yang dipaksakan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan lebih besar kepada individu lainnya. Hanafi (1987) menyatakan bahwa tipe keputusan inovasi mempengaruhi kecepatan adopsi. Secara umum kita dapat mengharapkan bahwa inovasi yang diputuskan secara otoritas akan diadopsi lebih cepat karena orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan inovasi lebih sedikit. Akan tetapi, jika bentuk keputusan itu tradisional mungkin tempo adopsinya juga lebih lambat. Keputusan opsional biasanya lebih cepat daripada keputusan kolektif, tetapi lebih lambat daripada keputusan otoritas. Barangkali yang paling lambat adalah tipe keputusan kontingen karena harus melibatkan keputusan inovasi atau lebih. 3. Saluran Komunikasi Rogers dalam Mardikanto (1988) menyatakan bahwa saluran komunikasi sebagai sesuatu melalui mana pesan dapat disampaikan dari sumber kepada penerimanya. Saluran komunikasi dapat dibedakan menjadi saluran interpersonal dan media massa. a. Saluran kumunikasi antarpribadi (interpersonal). Cangara (2009) menyebutkan, saluran komunikasi antarpribadi (interpersonal) ialah saluran yang melibatkan dua orang atau lebih secara tatap muka. Mardikanto (1988) menyebutkan bahwa saluran antarpribadi merupakan segala bentuk hubungan atau pertukaran pesan antar dua orang atau lebih secara langsung (tatap muka),

Universitas Sumatera Utara

dengan atau tanpa alat bantu yang memungkinkan semua pihak yang berkomunikasi dapat memberikan respons atau umpan balik secara langsung. b. Saluran komunikasi media massa. Rogers (1983) mendefinisikan, saluran media massa adalah alat-alat penyampai pesan yang memungkinkan sumber mencapai suatu audiens dalam jumlah besar yang dapat menembus batasan waktu dan ruang. Misalnya radio, televisi, film, surat kabar, buku, dan sebagainya. Sumber dan saluran komunikasi memberi rangsangan (informasi) kepada seseorang selama proses keputusan inovasi berlangsung. Seseorang pertama kali mengenal dan mengetahui inovasi terutama dari saluran media massa. Pada tahap persuasi, seseorang membentuk persepsinya terhadap inovasi dari saluran yang lebih dekat dan antar pribadi. Seseorang yang telah memutuskan untuk menerima inovasi (pada tahap keputusan) ada kemungkinan untuk meneruskan atau menghentikan penggunaannya (Hanafi, 1987). 4. Sistem Sosial Hal lain yang perlu dipertimbangkan juga mempengaruhi kecepatan pengadopsian suatu inovasi adalah sistem sosial, terutama norma-norma sistem. Dalam hal ini Mardikanto (1988) menyebutkan ada dua sistem soisal yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan petani yaitu : a. Tradisional. Dalam masyarakat tradisional yang masih memegang teguh apa yang mereka yakini benar. Bukan merupakan hal gampang untuk membuat suatu program inovasi dapat berjalan lancar dalam pelaksanaanya. Perlu pendekatan persuasif agar tujuan penyuluhan yang diharapkan dapat tercapai

Universitas Sumatera Utara

dengan tidak membuat sitem sosial kemasyarakatan yang sudah tertanam lama berubah (Ban dan Hawkins , 1999). b. Modern. Dalam suatu sistem modern, tempo adopsi mungkin lebih cepat karena di sini kurang ada rintangan sikap diantara para penerima, sedangkan dalam sistem yang tradisional, tempo adopsi juga lebih lambat . Adopsi inovasi di dalam masyarakat modern relatif lebih cepat dibanding dengan adopsi inovasi di dalam masyarakat yang masih tradisional. Demikian pula adopsi dalam masyarakat lokalit akan lebih lambat bila dibandingkan di dalam masyarakat kosmopolit (Mardikanto dan Sri Sutarni, 1982). 5. Kegiatan Promosi Hanafi (1987) juga menyebutkan bahwa kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh gencarnya usaha-usaha promosi yang dilakukan oleh agen pembaru. Usaha keras agen pembaru itu ditandai dengan lebih seringnya mereka berada di lapangan daripada di kantor. Mereka lebih sering mengadakan kontak dengan kliennya, terutama kontak-kontak pribadi untuk menyebarkan ide baru. Lebih banyak anggota masyarakat yang mereka hubungi, dan lebih beragam jalan yang ditempuh untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi. Sejalan dengan hal tersebut Mardikanto (1993) menambahkan bahwa semakin rajin penyuluh menawarkan inovasi, maka kecepatan adopsi suatu inovasi juga akan meningkat. Mardikanto dan Sri Sutarni (1982) menyebutkan pula bahwa semakin intensif dan seringnya intensitas atau frekuensi yang dilakukan oleh agen pembaharuan (penyuluh) setempat dan atau pihak-pihak lain yang berkompeten dengan adopsi inovasi tersebut sepeti lembaga penelitian produsen, pedagang, dan atau sumber informasi (inovasi) tersebut. Universitas Sumatera Utara

6. Urgensi Masalah Urgensi ataupun tingkat kepentingan suatu masalah mempengaruhi dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani. Petani akan mempertimbangkan keputusan mana yang akan dia ambil dikaitkan dengan urgensi masalah dalam usaha taninya (Suprapto dan Fahrianoor, 2004). Pola tanam dan tertib tanam (P2T3) merupakan tata urutan tanaman yang diusahakan pada sebidang tanah tertentu selama satu jangka waktu tertentu yang dipengaruhi oleh kondisi agroklimat, tanah, jenis tanaman, teknik budidaya dan sosial ekonomi. Pengaturan pola tanam dan tertib tanam terhadap musim yang berlangsung sangat penting untuk mengantisipasi gagal panen akibat curah hujan yang terlalu tinggi ataupun kekeringan apabila masuk musim kemarau. Selain itu dalam pelakasanan pengaturan pola tanam dan tertib tanam (P2T3) selalu di selaraskan dengan 7 komponen inovasi budidaya yaitu pengolahan tanah, pemilihan benih, penanaman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, panen, dan pasca panen. (Sinar Tani, 2001). Kerangka Pemikiran Inovasi merupakan segala sesuatu menyangkut ide-ide, cara-cara ataupun obyek yang dianggap baru bagi seseorang. Inovasi ini dapat berupa barang (bersifat fisik) dan bukan barang bersifat non-fisik. Inovasi yang bersifat fisik yang menimbulkan konsekuensi tindakan-tindakan konkret yang mudah dalam menilai keberhasilannya. Sedangkan inovasi yang bersifat non fisik menimbulkan tindakan-tindakan yang sulit menilai tingkat keberhasilannya. Disamping itu resiko akan ketidakpastian akan mempengaruhi keputusan yang akan diambil. Universitas Sumatera Utara

Dalam penyuluhan pertanian masalah tentang adopsi teknologi sering kali terjadi, hal ini dikarenakan setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda pula, serta sistem sosial masyarakat setempat yang belum tentu mau ataupun mampu menerapkan inovasi tersebut (Ibrahim dkk, 2003). Baum dan Stokes M. Tolbert (1988) menyebutkan bahwa para petani pada umumnya adalah pengambil keputusan yang rasional. Mereka menyeleksi teknologi yang paling produktif yang dapat mereka pakai, dengan sumberdaya yang tersedia untuk mereka, pengetahuan yang terakhir, dan keprihatinan mereka pada resiko. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi petani untuk tidak memanfaatkan teknologi terbaik yang tersedia. Pertama, masukan yang melekat pada teknologi baru. Kedua, teknologi tersedia di pusat penelitian, namun petani tidak diberi penyuluhan. Ketiga, kemungkinan biaya untuk membuat teknologi baru tidak terjangkau. Keempat, teknologi baru tidak cocok dengan keadaan dan situasi mereka. Peranan petani sebagai pengelola usahatani berfungsi mengambil keputusan dalam mengorganisir faktor-faktor produksi yang diketahui. Sebenarnya program P2T3 bukanlah sesuatu atau inovasi baru namun dalam penerapanya dilapangan masih banyak petani yang belum menerapkanya dengan baik, sehingga dirasa perlu untuk menganilisis faktor apa saja yang menyebabkan petani enggan menerapkan program P2T3. Dalam pengambilan keputusan dalam usahataninya apakah petani akan menerapkan program P2T3 dengan baik dan benar dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya beberapa variabel penjelas kecepatan adopsi suatu inovasi yaitu terdiri dari sifat inovasi, jenis keputusan, saluran komunikasi, sistem sosial, kegiatan promosi, serta urgensi masalah. Jika lingkungan sosial dan lingkungan Universitas Sumatera Utara

ekonomi mendukung situasi yang memungkinkan untuk bertanam padi sawah sesuai dengan anjuran P2T3, maka petani akan lebih mudah memilih bertanam padi sawah dengan pengaplikasian program P2T3. Jika pengaplikasian program P2T3 mempunyai keuntungan yang tinggi, sesuai dengan kondisi setempat, mudah dilaksanakan maka program P2T3 itu akan mudah diadopsi oleh petani. Sehingga dalam penelitian ini dapat dibuat suatu kerangka pemikiran sebagai berikut : Kerangka Pemikiran

UPAYA UNTUK MENGATASI MASALAH MASALAH PELAKSANAAN P2T3 : 1. Pengolahan Tanah 2. Pemilihan Benih 3. Penanaman 4. Pemupukan 5. Pengendalian Hama Penyakit 6. Panen 7. Pasca Panen FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN : 1. Sifat inovasi a. Keuntungan relatif b. Kesesuaian c. Dapat dicoba d. Dapat dilihat e. Kerumitan 2. Jenis Keputusan a. Opsional b. Kolektif c. Otoritas 3. Saluran Komunikasi a. Mass media b. Interpersonal 4. Sistem Sosial a. Tradisional b. Modern 5. Kegiatan Promosi 6. Urgensi Masalah Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan : : menyatakan hubungan Universitas Sumatera Utara

You might also like