You are on page 1of 6

Nama NIM Kelas

: Adhia Azkapradhani : 0807268 : 7D 2008

Mata kuliah : Evaluasi BIPA

KEDWIBAHASAAN DAN DWIBAHASAWAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI Manusia tercipta sebagai makhluk sosial, sehingga dalam kehidupan sosial dibutuhkan bahasa untuk berkomunikasi. Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Menurut Bloch & Trager bahasa adalah sebuah simbol yang bersifat manasuka dan dengan sistem itu suatu kelompok sosial bekerja sama. Sedangkan bahasa menurut Sudaryono adalah sarana komunikasi efektif walaupun tidak sempurna sehingga ketidak sempurnaan bahasa sebagai sarana komunikasi menjadi salah satu sumber terjadinya kesalahpahaman. Manusia dalam mendapatkan kemahiran berbahasa dapat melalui dua hal yaitu pemerolehan dan pembelajaran. Pemerolehan bahasa pada manusia diawali dengan pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu) yang terjadi pada masa kanakkanak. Dalam pemerolehan bahasa, seseorang tidak menyengaja untuk memeroleh bahasa tersebut melaikan mendapatkannya dari lingkungannya. Sedangakan pembelajaran bahasa adalah usaha yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang untuk mempelajari bahasa lain dengan tujuan dan motivasi tertentu. Pada umumnya pemerolehan bahasa hanya tertuju pada bahasa sebagai fungsi komunikasi bukan bentuk bahasa. Sedangkan pembelajaran bahasa tertuju pada mempelajari bentuk atau struktur bahasa. Selain itu umumnya pembelajaran bahasa digunakan dalam pembelajran bahasa kedua. Manusia pada dasarnya telah dianugrahi otak yang luar biasa kemampuannya. Otak manusia terdiri dari belahan otak kanan dan belahan otak kiri, bahkan saat ini sedang dilakukan penelitian terhadap kemampuan otak bagian tengah. Setiap belahan otak manusia memiliki fungsi yang berbeda-beda. Belahan otak kiri berhubungan dengan logika, analisa, bahasa, rangkaian (sequence) dan matematika. Belahan otak kanan berkaitan dengan ritme, kreativitas, warna, imajinasi, dan dimensi. Dengan kemampuan otak yang sangat luar biasa sebenarnya manusia dapat menguasai bahasa lebih dari tiga bahasa bahkan ribuan. Sehingga tidak mengherankan apabila seorang manusia dapat menguasai dua ataupun tiga bahasa. Seseorang yang menguasai dua bahasa lazimnya disebut dengan dwibahasawan sedangkan seseorang yang menguasai tiga bahasa atau lebih sering disebut dengan multibahasawan. Kedwibahasaan atau bilingualisme diartikan beragam oleh para ahli. Pada umumnya kedwibahasaan adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan dua bahasa secara bergantian dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan

dwibahasawan merujuk pada seseorang yng berkedwibahasaan. Namun lebih lanjut lagi kedwibahasaan hanya ditujukan kepada kemampuan seseorang yang menguasai dua bahasa sekaligus dengan sangat baik. Baik itu dalam bahasa tulis maupun bahasa lisan. Selain itu penghayatan terhadap kebudayaan masyarakat bahasa kedua pun menjadi penilaian terhadap seseorang yang menggunakan dua bahasa. Namun pengertian ini tidaklah dapat dinilai mutlak. Pada situasi lain terdapat orang-orang yang dapat mengerti bahasa lain selain bahasa ibunya namun tidak dapat mengucapkannya. Sulitnya mengartikan istilah kedwibahasaan membuat para ahli melakukan penelitian guna mendapatkan pengertian yang tepat. Thiery (1978), yang merupakan salah seorang yang mempelajari mengenai latar belakang bahasa dalam International Conference Interpreters menuliskan Kedwibahasaan yang sesungguhnya adalah salah seorang yang menjadi anggota dari komunitas dua bahasa yang berbeda, namun secara kasar merupakan berasal dari tingkatan sosial dan kebudayaan yang sama. Kebanyakan dwibahasawan menggunakan kedua bahasa tersebut untuk dua tujuan yang berbeda dan situasi yang berbeda dengan alasan agar dapat menyeimbangkan penggunaan dua bahasa tersebut. Dwibahasawan seharusnya dapat mengembangkan keempat keterampilan dasar berbahasa sesuai dengan lingkungannya. Dalam sebuah penelitian yang melibatkan 30 dwibahasawan dari delapan negara berbeda dan terdiri dari tiga belas pasang bahasa yang berbeda menunjukan bahwa yang dapat menguasai keempat keterampilan dasar dari kedua bahasa yang dikuasainya hanya sejumlah 23% lalu sebanyak 50% dwibahasawan hanya menguasai keterampilan berbicara dan menyimak dan sisanya sebanya 27% hanya menguasai keterampilan membaca dan menulis. Persentase tersebut kemungkinan akan menjadi lebih rendah apabila populasi yang diteliti adalah dwibahasawan yang tidak memiliki latar belakang pendidikan bahasa. Mendeskripsikan seorang dwibahasawan merupakan usaha yang sulit dan tidak dapat hanya menggunakan satu atau dua tes kecakapan berbahasa saja. Karena sejarah dan daerah asal bahasa serta dwibahasawan menjadi saleah satu faktor penting dalam kecakapan berbahasa seseorang. William Mackey (1968,1976) telah mengemukakan sehimpunan bagan untuk menggambarkan kedwibahasaan seseorang. Pertama, ia mengemukakan satu ketentuan untuk menentkan tingkat kedwibahasaan seseorang dengan tes untuk pemahaman dan ekspresi dalam bentuk tes lisan dan tes tulis untuk masingmasing bahasa. Kedua, Mackey (1968) menganjurkan untuk menetapkan fungsi dalam masing-masing bahasa. Ia menulis Tingkat kecakapan setiap masingmasing bahasa tergantung fungsinya, yaitu dimana kedwibahasaan ini digunakan dan dalam kondisi apa bahasa tersebut digunakan. Ini semua bisa jadi fungsi eksternal atau fungsi internal. Ketiga, Mackey mengemukakan satu gambaran kemampuan kedwibahasaan untuk alternatif antara bahasa-bahasa dan sejauh mana keberhasilannya, dan kondisi tempat bahasa tersebut digunakan.

Haugen (1968) mengemukakan kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.

Beberapa ahli bahasa merumuskan kedwibahasaan menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan kecakapan berbahasa dwibahasawan dalam menggunakan kedua bahasa yang ia kuasai, fungsi dan penggunaannya dalam kehidupan seharihari. Dalam buku klasik yang berjudul Language in Contact yang terbit tahun 1953, Weinreich mengemukakan teori mengenai tiga tipe dwibahasawan: 1. Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism) Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri. 2. Kedwibahasaan Sejajar (Coordinative bilingualism) Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa samasama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa. 3. Kedwibahasaan Kompleks (Subordinative bilingualism) Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Weinreich yang mengelompokan kedwibahasaan berdasarkan kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa yang ia kuasai. Baeten Beardsmore (1985) menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimiliki oleh seseorang yang asih dalam tahap pembelajaran dalam menguasai bahasa kedua.

Berbeda dengan Weireich dan Baeten Beardsmore, Pohl mengelompokan kedwibahasaan berdasarkan status bahasa yang digunakan oleh dwibahasawan menjadi tiga tipe yaitu: 1. Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism) Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masingmasing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya. 2. Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism) Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur. 3. Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism) Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersamasama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu. Sedangkan Arsenan (1985) membagi tipe kedwibahasaan berdasarkan pada kemampuan berbahasa, maka ia mengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi dua yaitu: 1. Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) 2. Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism) Menjadi seorang dwibahasawan memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri. Kerugian yang dihadapi dwibahasawan memang cenderung sangat sedikit apabila dibandingkan dengan keuntungan yang mereka dapatkan. Kerugian menjadi dwibahasawan salah satunya adalah ketika mereka sedang menjelaskan sesuatu menggunakan bahasa kedua mereka dan melakukan kesalahan. Kesalahan yang mereka lakukan seringkali dianggap tabu apalagi bila mengingat mereka adalah orang-orang yang cakap dalam menggunakan dua bahasa. Sedangkan keuntungan mejadi dwibahasawan diantaranya adalah dapat berkomunikasi dengan beragam manusia dari masyarakat bahasa yang berbeda, kesempatan bekerja akan terbuka lebih lebar, pengetahuan akan semakin luas, dan dapat mengerti hal-hal yang tidak dimengerti oleh orang-orang yang hanya menguasai satu bahasa. Selain itu seorang dwibahasawan akan terlihat seperti memiliki dua kepribadian yang berbeda dan lebih terbuka dalam mempertimbangkan dan memikirkan sesuatu. Hal ini dikarenakan ketika seorang dwibahasawan mempelajari bahasa kedua, maka ia akan mempelajari budaya dari masyarakat

bahasa yang ia pelajari. Hal tersebutlah dwibahasawan lebih menguasai bahasa lain.

yang menyebabkan

seorang

Kedwibahasaan sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan monolingualisme. Yang membedakan antar keduanya hanyalah keuntungan-keuntungan yang didapatkan oleh seorang dwibahasawan. Untuk memahami yang dimaksud dengan kedwibahasaan lebih mendalam diperlukan penelitian yang lebih lanjut agar didapatkan pengertian yang spesifik. Oleh karena itu para ahli membagi-bagi kedwibahasaan berdasarkan kelompoknya masing-masing. Menjadi seorang dwibahasawan adalah sesuatu yang perlu disyukuri karena banyak hal yang akan kita dapatkan dari kecakapan menggunakan dua bahasa secara bergantian dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi seorang monolingualis pun bukanlah suatu kekurangan yang berarti, karena dengan usaha dan tekad yang kuat siapapun dapat menjadi serang dwibahsawan.

Daftar Pustaka
Al ghazali, Tommy. 2011. Pengertian bahasa, karakteristik bahasa, dan fungsi bahasa-kajian sosiolinguistik. [online]. Tersedia: http://dibustom.wordpress.com [desember 2011] Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosialinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Hidayatullah, Arief. 2009. Pengertian bilingualism/kedwibahasaan. [online]. http://16arief.wordpress.com [Desember 2011] Indah. _____. Pengertian dan definisi bahasa menurut para ahli.[online]. Tersedia: http://carapedia.com [desember 2011] Sofa.2008. Pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua. [online]. Tersedia: http://massofa.wordpress.com [ Desember 2011]

You might also like