You are on page 1of 9

JURNALISME DAKWAH

syadah Uncategorized December 6, 2011 JURNALISME DAKWAH

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran : 104) Ada dua metode yang sering digunakan untuk berdakwah. Pertama, berdakwah dengan lisan (bil lisan) seperti berceramah, pengajian dan sebagainya. Kedua, dengan tulisan (bil qalam) atau disebut juga dengan dakwah bittadwin. Berdakwah dengan tulisan ini bisa melalui surat kabar, majalah, buletin atau brosur. Dakwah bil qalam sekarang bisa juga lewat media elektronika seperti internet, email dan lainnya.

Jurnalisme dakwah adalah jurnalis yang bergerak dibidang informasi dan teknonologi dalam kegiatasn penerbitan tulisan yang mengabdikan diri kepada nilai agama Islam. Wartawan sebagai sosok juru dakwah di bidang pers yakni mengembangkan dakwah bil qolam. Ia menjadi kholifah Allah di dunia media massa dengan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai norma, etika dan syariat islam. Sedangkan jurnalistik dakwah masih belum banyak diminati baik di kalangan pes maupun mereka yang menekuni bidang informasi. Para jurnalis muda juga tidak tertarik dengan bidang jurnalistik dakwah ini. Di kalangan masyarakat pers bidang jurnalistik dakwah memang belum populer. Mediamedia yang muncul di era informasi ini lebih tertarik dengan bidang politik dan hiburan yang berorientasi pada komersial. Para jurnalis muda terutama yang bekerja di televisi swasta lebih suka dengan bidang jurnalistik infotaimen ketimbang jurnalistik dakwah. Namun dalam tiga tahun terakhir ini muncul beberapa penerbitan seperti tabloid, majalah dan buletin yang bernuansa islami. Sehingga para wartawan atau penulis yang bergabung dengan media-media tersebut harus menekuni bidang jurnalistik dakwah. Cara memperoleh berita juga sama dengan cara yang dilakukan oleh seorang wartawan yang bertanggung jawab dan profesional. Bedanya, seorang yang memilih profesi di bidang jurnalistik dakwah harus memahami agama Islam. Paling tidak ia harus memiliki buku-buku referensi tentang Islam. Para wartawan yang disebut juga sebagai penyambung lidah masyarakat dituntut untuk memiliki sifat-sifat kenabian yakni shidiq, amanah, tabligh, fathonah. Setidaknya ada lima peran media dakwah, baik di lingkungan kampus maupun nonkampus atau keduanya: 1. Sebagai Pendidik (Muaddib), yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami 2. Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid). Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para jurnalis Muslim. Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Kedua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu jurnalis Muslim dituntut mampu menggali melakukan investigative reporting tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia 3. Sebagai Pembaharu (Mujaddid), yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam)

4. Sebagai Pemersatu (Muwahid), yaitu harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam 5. Sebagai Pejuang (Mujahid), yaitu pejuang-pembela Islam.

http://blog.umy.ac.id/aufklarung/2011/12/06/jurnalisme-dakwah/

Karakter Jurnalistik Islami & Jurnalis Muslim


Posted on Sep 20 2010 by romeltea

Oleh ASM. Romli Jurnalistik Islami merupakan salah satu jawaban terhadap berbagai tantangan yang dihadapi umat Islam. Kita harus berupaya menjadikan jurnalistik Islami sebagai ideologi para jurnalis Muslim. Ideologi jurnalistik Islam akan mendorong munculnya ghirah, semangat, membela kepentingan Islam dan umatnya, juga menyosialisasikan nilai-nilai Islam, sekaligus mengcounter dan mem-filter derasnya arus informasi jahili dari kaum anti-Islam. Insya Allah, jurnalistik Islami ini menjadi ideologi jurnalistik jajaran redaksi dan manajemen warnaislam.com ini, mungkin tinggal poles soal bahasa jurnalistiknya. Sebagaimana saya kupas tuntas dalam buku Jurnalistik Dakwah: Visi Misi Dakwah Bil Qolam (Rosdakarya Bandung, 2003), jurnalistik Islami dapat dimaknakan sebagai suatu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam, khususnya yang menyangkut agama dan umat Islam kepada khalayak, serta berbagai pandangan dengan perspektif ajaran Islam.

Dapat juga jurnalistik Islam dimaknakan sebagai proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai- nilai Islam. Jurnalistik Islami bisa dikatakan sebagai crusade journalism, yaitu jurnalistik yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu, yakni nilai-nilai Islam. Jurnalistik Islami mengemban misi amar maruf nahyi munkar (Q.S. 3:104). Jadi, jurnalistik Islami adalah upaya dakwah Islamiyah juga. Karena jurnalistik Islami bermisi amar maruf nahyi munkar, maka ciri khas jurnalistik Islami adalah menyebarluaskan informasi tentang perintah dan larangan Allah SWT. Ia berpesan (memberikan message) dan berusaha keras untuk mempengaruhi komunikan/khalayak, agar berperilaku sesuai dengan ajaran Islam.

Jurnalistik Islami tentu saja menghindari gambar-gambar ataupun ungkapan-ungkapan pornografis, menjauhkan promosi kemaksiatan, atau hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti fitnah, pemutarbalikkan fakta, berita bohong, mendukung kemunkaran, dan sebagainya. Jurnalistik Islami harus mampu mempengaruhi khalayak agar menjauhi kemaksiatan, perilaku destruktif, dan menawarkan solusi Islami atas setiap masalah. Karena jurnalistik Islami adalah jurnalistik dakwah, setiap jurnalis (wartawan) Muslim berkewajiban menjadikan jurnalistik Islami sebagai ideologi dalam profesinya. Baik jurnalis Muslim yang bekerja pada media massa umum maupun apalagi pada media massa Islam. Karena dakwah memang merupakan kewajiban melekat dalam diri setiap Muslim. Jurnalis Muslim memang akan sulit mengemban misinya atau mematuhi ideologi jurnalistik Islami-nya, jika ia bekerja pada media massa non-Islam, atau media yang jauh dari misi Islami, karena ia kemungkinan terbawa arus dan terkena kebijakan redaksional yang tidak committed akan nilai-nilai Islam. Jurnalis Muslim adalah sosok jurudakwah (dai) di bidang pers, yakni mengemban dawah bil qolam (dakwah melalui tulisan). Ia adalah jurnalis yang terikat dengan nilai-nilai, norma, dan etika Islam. Karena jurudakwah menebarkan kebenaran Ilahi, maka jurnalis Muslim laksana penyambung lidah para nabi dan ulama. Karena itu, ia pun dituntut memiliki sifat-sifat kenabian, seperti Shidiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah. Shidiq artinya benar, yakni menginformasikan yang benar saja dan membela serta menegakkan kebenaran itu. Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam (al-Quran dan as-Sunnah). Amanah artinya terpercaya, dapat dipercaya, karenanya tidak boleh berdusta, memanipulasi atau mendistorsi fakta, dan sebagainya. Tabligh artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran, tidak menyembunyikannya. Sedangkan fathonah artinya cerdas dan berwawasan luas. Jurnalis Muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat.

Jurnalis Muslim bukan saja para wartawan yang bergama Islam dan comitted dengan ajaran agamanya, melainkan juga para cendekiawan Muslim, ulama, mubalig, dan umat Islam pada umumnya yang cakap menulis di media massa. Setidaknya ada lima peranan jurnalis Muslim, yaitu: 1. Sebagai Pendidik (Muaddib), yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Ia harus lebih menguasai ajaran Islam daru rata-rata khalayak pembaca. Lewat media massa, ia mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Ia memikul tugas mulia untuk mencegah umat Islam dari berperilaku yang menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa non-Islami yang antiIslam. 2. Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid). Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para jurnalis Muslim. Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Kedua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu jurnalis Muslim dituntut mampu menggali melakukan investigative reporting tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia. Peran Musaddid terasa relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers Barat biasanya biased (menyimpang, berat sebelah) dan distorsif, manipulatif, alias penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang tidak disukainya. Di sini, jurnalis Muslim dituntut berusaha mengikis fobi Islam (Islamophobia) yang merupakan produk propaganda pers Barat yang anti-Islam. 3. Sebagai Pembaharu (Mujaddid), yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam). Jurnalis Muslim hendaknya menjadi jurubicara para pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya (membersihkannya dari bidah, khurafat, tahayul, dan isme-isme asing non-Islami), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat. 4. Sebagai Pemersatu (Muwahid), yaitu harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi atau both side information) harus ditegakkan. Jurnalis Muslim harus membuang jauh-jauh sikap sektarian yang mengutip panangan pakar komunikasi Dr. Jalaluddin Rakhmatbaik secara ideal maupun komersial tidaklah menguntungkan. 5. Sebagai Pejuang (Mujahid), yaitu pejuang-pembela Islam. Melalui media massa, jurnalis Muslim berusaha keras membentuk pendapat umum yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif dan rahmatan lilalamin, serta menanamkan ruhul jihad di kalangan umat. Menurut Jalaluddin Rakhmat, peran kelima ini, yaitu sebagai Mujahid, sebenarnya menyimpulkan keempat peran sebelumnya. (www.romeltea.com).*

http://baticnews.com/opini/karakter-jurnalistik-islami-jurnalis-muslim

MEDIA ISLAM, MEDIA ISLAMI, DAN PERBEDAANNYA DENGAN MEDIA LAIN

Oleh Satrio Arismunandar Dalam konstelasi media yang begitu luas sekarang, ada segmen atau kategori yang dinamakan sebagai media Islam, atau ada juga yang menyebut media Islami. Sayangnya, kajian akademis tentang media Islam dan atau media Islami ini belum cukup meluas. Tulisan ini berupaya memberikan kategorisasi yang lebih jelas tentang apa itu media Islam dan atau media Islami, serta perbedaannya dengan media lain. Sebelumnya, perlu kejelasan apakah ada perbedaan antara media Islam dan media Islami. Bagi sebagian kalangan, dua sebutan itu mungkin berarti sama saja, alias tidak ada beda antara media Islam dan media Islami. Tetapi saya akan mencoba membedakan makna antara keduanya, untuk memperjelas kategorisasi bagi pengkajian lebih lanjut. Saya akan mulai dengan media Islam dulu. Kata Islam menunjukkan suatu identitas, untuk membedakan satu dengan yang lain. Orang Islam jelas tidak sama dengan orang Kristen, Hindu, Buddha, dan seterusnya. Agar bisa disebut sebagai orang Islam, orang itu minimal harus sudah mengucapkan kalimat syahadat, mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Dengan analogi semacam itu, media yang menyandang nama media Islam tentunya juga harus memiliki ciri atau syarat tertentu, yang membedakannya dengan berbagai media lain.

Persyaratan Media Islam Syarat pertama, untuk bisa disebut sebagai media Islam, media itu harus dimiliki oleh orang Islam. Atau, jika kepemilikannya bersifat kolektif (misalnya, saham perusahaan media bersangkutan sudah diperjualbelikan untuk umum di bursa efek), mayoritas saham harus dimiliki oleh orang Islam. Syarat ini sangat logis. Tentunya sangat absurd, jika media yang dimiliki orang beragama Yahudi disebut sebagai media Islam. Syarat kedua, media itu sedikit banyak harus mengemban misi dakwah, yakni misi mengagungkan agama Allah, menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam, memajukan dan mencerdaskan umat Islam, dan sebagainya. Adanya misi dakwah ini bukan berarti media itu harus semata-mata diisi dengan kumpulan kotbah agama atau kutipan ayat kitab suci Al-Quran dan hadist Nabi. Perwujudan misi dakwah bisa sangat luas. Misi mencerdaskan dan memajukan umat Islam, misalnya, bisa dilakukan dengan berbagai format media. Di sini, sudah masuk unsur kreativitas pengelola media dalam mengemas misi dakwahnya. Jadi, media Islam bebas menyajikan dan mengupas topik apa saja. Mulai dari topik yang spesifik berkaitan dengan agama, sampai topik yang terkait dengan ilmu pengetahuan, teknologi, sastra, seni-budaya, sosial-ekonomi, politik, hankam, dan lain-lain. Semua itu bisa dijadikan topik, asalkan semua itu dilandasi dengan niat dakwah. Jadi, misi media Islam bukan semata-mata komersial, bukan cuma mengejar profit sebanyak-banyaknya. Syarat ketiga, media Islam harus menerapkan aturan, etika, dan nilai-nilai ajaran Islam, dalam menjalankan bisnis perusahaan media dan aktivitas keredaksian (editorial). Islam tidak mengenal prinsip tujuan menghalalkan cara. Jika syarat kedua tadi berkaitan dengan niat (misi) dan tujuan ketika mendirikan media, maka syarat ketiga ini berkaitan dengan cara mencapai tujuan tersebut. Etika dan nilai-nilai Islam yang harus diterapkan di sini mencakup dua aspek: aspek bisnis dalam menjalankan usaha media, dan aspek yang berkaitan dengan sisi keredaksian (editorial). Dalam aspek bisnis, misalnya, media Islam tidak membabi buta dalam mencari keuntungan. Contohnya, tidak semua iklan, betapapun besar nilainya, akan diterima. Harus ada kriteria, iklan mana yang boleh atau tidak-boleh dimuat di media Islam. Media Islam akan menolak mengiklankan semua hal yang secara jelas dan tegas diharamkan oleh Islam. Jadi, tidak akan ada iklan minuman keras atau makanan yang mengandung daging babi di media Islam. Soal iklan rokok, ada yang tegas mengharamkan, ada juga yang menganggapnya makruh. Namun, apapun yang dipilih, iklan rokok juga bukan sesuatu yang dianjurkan karena dampak negatifnya pada kesehatan. Media Islam juga harus menerapkan peraturan ketenagakerjaan yang adil dan manusiawi buat para buruhnya. Jangan sampai tenaga buruh diperas seenaknya dan diupah di bawah standar upah

minimum yang layak. Sistem kerjanya juga harus memberi kesempatan karyawan untuk melaksanakan ibadah sholat, dan lain-lain. Kebebasan Pers Menurut Perspektif Islam Selanjutnya, dalam aspek keredaksian, terdapat persinggungan antara etika yang dilandasi ajaran Islam dan etika jurnalistik universal yang dianut oleh berbagai media di dalam dan luar negeri. Di Indonesia, kita kenal etika jurnalistik yang dikeluarkan organisasi profesi seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), atau gabungan sejumlah organisasi profesi, yakni KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia). Secara prinsip umum, etika jurnalistik yang berlandaskan ajaran Islam tidak berbeda dengan etika jurnalistik yang dianut AJI, PWI, dan IJTI. Etika jurnalistik yang dianut media Islam juga melarang pemberian suap, praktik amplop buat jurnalis, penyiaran kabar bohong, pemberitaan yang tidak akurat, penyalahgunaan profesi jurnalis untuk memeras narasumber, dan sebagainya. Namun, ada bedanya. Misalnya, dalam cara memandang kebebasan pers. Jurnalis di mana-mana umumnya sangat mementingkan kebebasan pers. Kebebasan pers adalah prasyarat bagi terwujudnya fungsi media untuk memberi informasi, mendidik masyarakat, menghibur, dan melakukan kritik sosial. Fungsi yang terakhir ini mencakup peran sebagai watchdog (anjing pengawas) terhadap penguasa. Jika tidak ada kebebasan pers, tentu pers hanya akan jadi alat penguasa. Tanpa kebebasan, media tidak bisa berperan dalam sistem demokrasi, di mana media sering disebut sebagai pilar keempar sesudah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, kebebasan pers itu juga bisa menjurus ke wujud yang ekstrem. Dalam penerapan kebebasan pers yang universal itu, misalnya, tiap warga negara dianggap bebas menerbitkan media apa saja, termasuk media yang mengeksploitasi seks, kekerasan, dan sebagainya sebagai bahan jualannya. Penerbitan semacam Playboy dan Popular, yang mengumbar aurat dianggap sahsah saja. Toh memang ada segmen pembaca tertentu yang menggemari dan selalu mengonsumsinya. Contoh lain, sejumlah media di Eropa Barat beberapa waktu lalu pernah memuat karikatur Nabi Muhammad SAW dalam format yang melecehkan. Hal ini mereka lakukan di bawah payung kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, yang dianggap sebagai bagian dari hak-hak asasi manusia. Terjadi kehebohan besar dan aksi protes massa di berbagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, akibat pemuatan karikatur kontroversial ini. Nah, dalam hal-hal semacam inilah terdapat perbedaan antara media Islam dan media lain. Bagi media Islam, pengertian kebebasan pers dan kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan yang liar semau-maunya, bukan kebebasan demi kebebasan itu sendiri. Melainkan, kebebasan yang luas dalam berkreasi melalui media, sebagai sarana dakwah dan wujud pengabdian kepada Allah SWT. Pelayanan kepentingan publik, yang sudah jadi kredo jurnalisme universal, adalah bagian dari

pengabdian kepada Allah SWT. Jadi, tidak ada ceritanya media Islam memuat konten yang cabul, yang mempromosikan gaya hidup homoseksualitas, yang melecehkan Nabi Muhammad SAW atau keluarganya, dan lain-lain, yang justru menjauhkan pembacanya dari ajaran Allah SWT. Media Islami Cukup jelas tentang media Islam, kini kita membahas media Islami. Kalau kata Islam menunjukkan identitas, maka kata Islami menunjukkan suatu sifat atau ciri yang merujuk ke identitas Islam. Orang Islam yang sepenuhnya patuh, tunduk pada Allah dan Rasul-Nya, dan mengimplementasikan ajaran Islam pada seluruh aspek kehidupannya, akan menunjukkan ciri-ciri Islami. Yaitu, ciri-ciri itu terlihat mulai dari caranya bergaul dengan tetangga, cara berkata-kata, cara memimpin, sampai cara memperlakukan suami/istri. Namun, ciri Islami ini mungkin tidak terwujud dalam seluruh aspek kehidupan. Misalnya, kita mungkin pernah bertemu orang yang pantang minum bir atau minuman beralkohol lain. Ia juga pantang makan daging babi, anjing, dan semua makanan yang jelas dan tegas diharamkan dalam Islam. Orang itu bahkan rajin berpuasa Senin-Kamis. Tetapi orang itu ternyata sangat kikir, tidak pernah mau berzakat atau berinfaq pada fakir miskin. Jadi, perilakunya terhadap makanan terkesan Islami, tetapi perilaku kikirnya jelas tidak Islami. Orang Islam yang sepenuhnya melaksanakan ajaran Islam, pastilah akan menunjukkan ciri-ciri Islami dalam seluruh cara hidupnya. Sebaliknya, orang yang menunjukkan ciri Islami tidak otomatis berarti orang itu adalah orang Islam. Karena, bisa jadi ciri Islami itu tidak berangkat dari ajaran Islam sebagai landasannya. Ciri-ciri itu lebih terlihat pada tampilan, pada permukaan, tetapi tampilan tidak selalu mencerminkan esensi. Dalam kasus orang yang pantang makan daging babi dan menenggak minuman beralkohol, misalnya, bisa jadi dia melakukan itu karena alasan kesehatan semata-mata (daging babi mengandung banyak lemak, sedangkan minuman beralkohol merusak ginjal). Jadi, niatnya sekadar mengikuti instruksi dokter, bukan karena untuk mematuhi ajaran Islam. Banyak orang non-Muslim bahkan berpantang daging sama sekali, menjadi vegetarian, karena pertimbangan kesehatan. Dengan analogi tersebut, dapat dikatakan bahwa media Islam itu identik atau seharusnya identik dengan media Islami. Tetapi, sebaliknya, media Islami belum tentu bisa dikategorikan sebagai media Islam, karena boleh jadi ciri Islami itu hanya pada salah satu atau sebagian aspek saja. Kalau seluruh aspeknya sudah Islami, maka barulah ia bisa disamakan dengan media Islam. Misalnya, ada sebuah media yang menolak memasang iklan minuman keras, makanan yang mengandung daging babi, dan hal-hal lain yang diharamkan dalam Islam. Dalam pemberitaannya juga menolak mempromosikan hal-hal yang terlarang dalam Islam (pornografi, seks bebas, gaya hidup homoseksual, dan sebagainya). Bisa dibilang, bahwa dalam aspek kebijakan pemasangan iklan dan aspek kebijakan redaksional, media itu Islami. Tetapi media Islami itu bukan media Islam, karena tidak dimiliki oleh orang Islam. Demikianlah sekadar sumbangan saya, dalam upaya memberi kategorisasi yang lebih jelas, untuk

membedakan antara media Islam, media Islami, dan media lainnya. Semoga kategorisasi ini bisa bermanfaat bagi pengkajian akademis lebih lanjut tentang media Islam. Depok, November 2010

* Satrio Arismunandar adalah Produser Eksekutif di Divisi News Trans TV, dosen Ilmu Komunikasi di FISIP UI dan President University, dan saat ini sedang menempuh studi S-3 Ilmu Filsafat di FIB UI. Ini adalah makalah yang dipresentasikan dalam training di Majalah sabili, Minggu, 28 November 2010 Blog: http://satrioarismunandar6.blogspot.com E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com HP : 0819 0819 9163

You might also like