You are on page 1of 23

Manusia: Basyar, Insan, dan al-Nas

Hanya orang-orang yang mampu membuat dirinya sebagai manusia saja yang akan dibangkitkan dalam rupa manusia Imam Khomeini Iftitah: apakah aku adalah manusia ? Pernahkah kita bertanya Apakah saya adalah `manusia` ? Pertanyaan ini aneh dan janggal. Namun, persis jawaban dari pertanyaan inilah yang kerap keliru. Akal sehat (common-sense) manusia sudah terlanjur menganggap bahwa seseorang menjadi manusia disebabkan oleh bentuk fisik-biologisnya. Pertanyaan yang muncul apakah manusia fisik-biologis tersebut adalah manusia dalam arti yang sebenarnya (hakiki)? Ternyata, mengutip pemikiran Ali Shariati, ada tiga kategori manusia, yakni basyar, insan dan alnas. Kategori basyar dan insan terkait dengan kualitas manusia. Karakteristik yang membedakan dua kategori manusia ini adalah kemampuan untuk melepaskan dari dari empat penjara manusia, yakni penjara alam, sejarah, masyarakat dan diri. Sedangkan kategori al-nas, secara sederhana, berarti manusia secara umum, rakyat atau massa. Tidak berhubungan dengan kualitas kemanusiaan. Penjelasan di bawah ini banyak mengutip pemikiran Ali Shariati. Manusia: Basyar, Insan, dan al-Nas 1. Basyar : Manusia Sekedar Ada (Being) Basyar adalah makhluk yang sekedar ada (being). Artinya, manusia dalam kategori basyar adalah makhluk statis, tidak mengalami perubahan, berkaki dua yang berjalan tegak di muka bumi. Oleh karenanya, manusia memiliki definisi yang sama sepanjang zaman, terlepas dari ruang dan waktunya.(Shariati, Man and Islam: 64). Singkatnya, basyar adalah manusia dalam arti fisisbiologis. Manusia dilihat sudut fisik tidaklah jauh berbeda dengan hewan. Manusia bisa makan, minum, tidur, sakit dan mati. Begitu pula hewan. Bahkan, bila manusia dan hewan dibandingkan dari segi perbuatan nistanya, maka manusia lebih inferior dari hewan (dalam arti bisa lebih jahat dan kejam) Perbuatan-perbuatan rendah manusia tak pernah berubah, hanya instrumennya saja yang berubah. Shariati menjelaskan bahwa penguasa masa lalu, seperti Gengis Khan, dengan penguasa modern tidaklah berbeda dari segi kebuasannya. Perbedaannya hanya terletak pada instrumen dan argumentasinya saja. Penguasa masa lalu memiliki senjata-senjata sederhana, dan mereka pun tak segan memproklamirkan bahwa mereka sengaja membunuh. Sementara itu, penguasa modern mempunyai senjata-senjata super-canggih untuk membunuh, dan mereka melakukan pembunuhan atas nama kedamaian. Shariati menilai bahwa dewasa ini kejahatan, kepalsuan, kelancungan,

pembunuhan, sadisme, dan kekejaman lebih banyak, lebih dahsyat dari pada masa lalu. Tendensi negatif manusia itu merupakan representasi dari manusia dalam arti basyar. (Shariati, 1982: 6768) Manusia tipe basyar belum mampu melepaskan diri dari penjara-penjara manusia (the prisons of man), terutama penjara natural-instingtualnya. 2. Insan : Manusia Menjadi (Becoming) Insan berarti manusia dalam arti yang sebenarnya. Insan tidak menunjuk pada manusia biologis. Insan lebih terkait dengan kualitas luhur kemanusiaan. Ali Shariati menyatakan bahwa,tidak semua manusia adalah insan, namun mereka mempunyai potensialitas untuk mencapai tingkatan kemanusiaan yang lebih tinggi. (Shariati, 1982: 62) Bila basyar bermakna makhluk yang sekedar ada (being), maka insan berbeda. Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming). Ia terus-menerus maju menuju ke kesempurnaan. Karakter menjadi ini membedakan manusia dengan fenomena lain di alam. Shariati memberi contoh: Sebagai contoh, semut dan serangga lainnya tidak pernah dapat melampaui keadaannya; ia menggali lubang dengan cara yang sama sebagaimana ia melakukanya 15 juta tahun yang lampau di Afrika. Tidak usah memandang di mana, kapan dan bagaimana, semut selalu dalam keadaan yang sama, pasti dan tidak dapat berubah-rubah. (Shariati, 1982: 64) Dalam QS. Al-Baqarah ayat 156 menjelaskan tentang azas yang menunjuk pada evolusi tanpa henti manusia ke arah Yang Tanpa Batas. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun Bagi Shariati, kata ilaihi berarti kepada-Nya, bukan di dalam-Nya. Menurut Shariati, inilah gagasan pokok tentang menjadi, yakni bergeraknya manusia secara permanen ke arah Tuhan, ke arah kesempurnaan ideal. Tuhan bukanlah titik beku dimana sesuatu mengarah. Tuhan adalah Yang Tanpa Batas, Yang Maha Abadi, dan Yang Maha Mutlak. Oleh karena itu, bergeraknya manusia ke arah-Nya berarti gerakan manusia terus-menerus tanpa henti ke arah tahap-tahap evolusi dan kesempurnaan. Inilah yang dimaksud Shariati sebagai manusia dalam keadaannya yang menjadi. (Shariati, 1982: 68-69). Insan memiliki tiga sifat pokok, yaitu kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas. (Shariati, 1982: 69) Pertama, kesadaran diri. Kesadaran diri merupakan pengalaman tentang kualitas dan esensi dirinya, dunia dan hubungan antara dirinya dan dunia serta alam. Makin tinggi kesadaran akan tiga unsur tersebut, makin cepat manusia bergerak ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi dari proses menjadinya. (Shariati, 1982: 71) Kesadaran itu membuat manusia bisa mengambil jarak dengan diri dan alam sehingga manusia tertuntun untuk mencipta sesuatu yang bukan alam. Kedua, kemauan bebas. Kemauan bebas tampak dalam kebebasan memilih. Menurut Shariati, insan bebas memilih. Pilihannya bisa saja bertentangan dengan insting naturalnya, masyarakatnya, atau dorongan-dorongan psikologisnya. (Shariati, 1982: 71-72) Kebebasan memungkinkan manusia untuk melakukan evolusi ke tingkat tertinggi kemanusiaannya menerobos sekat-sekat alam, masyarakat, sejarah dan egonya. Ketiga, kreativitas atau daya cipta. Potensi kreatif insan

memungkinkannya menjadi makhluk yang mampu mencipta benda, barang dan alat, dari yang paling kecil sampai yang kolosal, karya-karya industri dan seni yang tak disediakan alam. Penciptaan dan pembuatan barang tersebut dilakukan insan karena alam tak menyediakan semua yang dibutuhkannya. (Shariati, 1982: 72-73) Wujud kongkrit tiga sifat insan tersebut adalah ilmu. Ilmu membebaskan manusia dari kerangkeng alam, sejarah dan masyarakat. Dengan ilmu, insan mengetahui hukum-hukum yang berlaku di alam, masyarakat dan sejarah. Sehingga, insan kuasa untuk lolos dari tiga penjara tersebut bahkan sekaligus mampu merekayasa ketiga determinan itu. Sementara itu, penjara terakhir manusia, yakni penjara ego (diri), tidak dilawan dengan ilmu, tapi dengan cinta. Cinta memiliki kekuatan yang mendorong manusia untuk menolak, memberontak, dan mengorbankan diri demi suatu citacita atau orang lain. (Shariati, 1982: 99) Jadi, secara singkat, manusia menjadi (insan) berevolusi ke Yang Tak Terhingga, ke kesempurnaan berbekal tiga sifat dasariahnya. Tiga sifat, yang bentuk nyatanya adalah ilmu, adalah instrumen pembebasan manusia dari tiga penjara manusia, yaitu penjara alam, sejarah dan masyarakat. Sedangkan, penjara terakhir (ego) dilawan dengan cinta kasih. Kemerdekaan dari kolonialisasi empat determinan itu mengantar manusia ke puncak kesempurnaan kemanusiaannya. Secara unik, Shariati mensimbolkan pembebasan insan dari empat kekuatan determinan tersebut dengan simbol keluarnya manusia (Adam) dari firdaus (paradise atau the Garden of Eden). Saat di firdaus, manusia dilarang memakan buah oleh Tuhan. Shariati memaknai buah tersebut sebagai simbol kesadaran (consciousness). Manusia memakan buah tersebut. Jelas, manusia adalah pemberontak yang melawan kehendak Tuhan. Tapi, Shariati, secara kreatif, menafsirkan simbolisasi ini dengan berpendapat bahwa kehendak Tuhan itu adalah empat kekuatan, empat ikatan, empat rantai yang mengikat manusia. Ketika seseorang mencapai kesadarannya (memakan buah), maka ia terbebas dari determinasi kehendak Tuhan tersebut. (Shariati, 1979: 17-18). Jadi, manusia mencapai kualitas insan bila ia mampu melepaskan diri dari empat determinan, yang disimbolisasikan sebagai kehendak Tuhan. 3. Al-Nas : Massa Kategori al-nas berbeda dengan dua konsep manusia lainya (basyar dan insan). Menurut Shariati, kedua istilah terdahulu terkait dengan nilai-nilai moral yang terkandung dalam diri manusia. Sedangkan al-nas tidak berhubungan dengan kualitas kemanusiaan. Terminologi al-nas digunakan Shariati dalam dua pengertian, yaitu: Pertama, al-nas sebagai kutub sosial. Al-nas merupakan penjelmaan esensi kutub positif (Habil) masyarakat (masyarakat yang tertindas). Mereka adalah yang dikuasai dan ditindas oleh kutub Qabil (penguasa politik, para kapitalis dan agamawan bejat). Allah, bagi Shariati, berpihak pada al-nas. Hingga tak aneh, dalam penggunaannya, kata al-nas bisa ditukar dengan kata Allah dan sebaliknya. Menurut Shariati, posisi unik al-nas ini disebabkan karena al-Quran dialamatkan secara khusus untuk alnas. Al-nas adalah wakil-wakil Allah dan keluarga-Nya. (Shariati, 1979: 116-117) Dan, posisi penting al-nas ini menempatkannya sebagai faktor penentu revolusi sosial. Al-nas yang sadar akan dirinya serta tanggung jawab sosialnya akan mendorong masyarakat menuju revolusi sosial. Kedua, al-nas sebagai massa (mass) atau rakyat (people). Shariati berpendapat bahwa sinonim yang paling mirip untuk mewakili kata al-nas adalah kata massa. Menurutnya, dalam

terminologi sosiologi, massa terdiri dari segenap rakyat yang merupakan kesatuan tanpa menghiraukan perbedaan kelas ataupun sifat yang terdapat dalam kalangan mereka. Jadi, bagi Shariati, al-nas adalah massa. Massa adalah rakyat itu sendiri, tanpa menunjuk kepada kelas atau bentuk sosial tertentu. (Shariati, 1979: 49) Akhir al-Kalam Manusia adalah masalah puncak bagi manusia, pekik Battista Mondin. Bagaimana supaya kita mampu mengenal apakah diri kita adalah basyar, insan atau hanya sekedar al-nas? Rene Descartes menyarankan kita mulai untuk berfikir tentang siapa Aku. Meister Eckhardt mengusulkan dengan pernyataannya, barangsiapa hendak jelas dengan dirinya sendiri dan ingin bersuara lantang, dia harus memilki satu hal : kesepian batin. Mempertanyakan diri kita adalah satu langkah dalam proses meng-insan-kan diri kita. Jadi, manusia belum menjadi manusia saat terlahir dari rahim ibunya. Ia tidak otomatis menjadi manusia. Manusia harus membuat dirinya menjadi manusia. Manusia itu mau menjadi manusia atau tidak, bergantung kepada dirinya sendiri. Manusia harus mengembangkan sifatsifat kemanusiaannya. Yang membedakan nilai seorang manusia yang satu dari manusia yang lain adalah sejauhmana seseorang mengembangkan nilai kemanusiaannya. Murtadha Muthahhari berpendapat, yang mengembangkan sifat kemanusiaan manusia adalah iman dan amal shalih. (Muthahhari, 1991: 79) Inilah insan sejati itu. Wa Allah-u alam bi al-shawab-i Definisi Khilafah/Khalifah Posted by: saif1924 on: Mei 8, 2009

In: tErkiNi Comment!

Pengertian Bahasa Khilafah Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fiil madhi khalafa, berarti : menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390). Makna khilafah menurut Ibrahim Anis (1972) adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jaa`a badahu fa-shaara makaanahu) (Al-Mujam Al-Wasith, I/251). Dalam kitab Mujam Maqayis Al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-azham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199). Imam Al-Qalqasyandi mengatakan, menurut tradisi umum istilah khilafah kemudian digunakan untuk menyebut kepemimpinan agung (az-zaamah al-uzhma), yaitu kekuasaan umum atas seluruh

umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, dan pemikulan tugas-tugas mereka (Al-Qalqasyandi, Ma`atsir Al-Inafah fi Maalim Al-Khilafah, I/8-9). Pengertian Syari Khilafah Dalam pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah) (AlBaghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226). Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang Khilafah atau Imamah. Dengan demikian, walaupun secara literal tak ada satu pun ayat Al-Qur`an yang menyebut kata ad-dawlah al-islamiyah (negara Islam), bukan berarti dalam Islam tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Para ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul Islam (Lihat Dr. Sulaiman Ath-Thamawi, As-Sulthat Ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh AlIslami wa Adillatuhu, IX/823). Hanya saja, para ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda ketika memandang kedudukan Khilafah (manshib Al-Khilafah). Sebagian ulama memandang Khilafah sebagai penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi), yakni sebagai institusi yang menjalankan urusan politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan (as-sulthan) dan sistem pemerintahan (nizham alhukm). Sementara sebagian lainnya memandang Khilafah sebagai penampakan agama (al-mazhhar ad-dini), yakni institusi yang menjalankan urusan agama. Maksudnya, menjalankan urusan di luar bidang kekuasaan atau sistem pemerintahan, misalnya pelaksanaan muamalah (seperti perdagangan), al-ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga, seperti nikah), dan ibadah-ibadah mahdhah. Ada pula yang berusaha menghimpun dua penampakan ini. Adanya perbedaan sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa para ulama tidak menyepakati satu definisi untuk Khilafah (Al-Khalidi, 1980:227). Sebenarnya banyak sekali definisi Khilafah yang telah dirumuskan oleh oleh para ulama. Berikut ini akan disebutkan beberapa saja definisi Khilafah yang telah dihimpun oleh Al-Khalidi (1980), Ali Belhaj (1991), dan Al-Baghdadi (1995) : Pertama, menurut Imam Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), Imamah ditetapkan bagi pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 3). Kedua, menurut Imam Al-Juwayni (w. 478 H/1085 M), Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Ghiyats Al-Umam, hal. 15). Ketiga, menurut Imam Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah Al-Thawali, hal.225).

Keempat, menurut Adhuddin Al-Iji (w. 756 H/1355 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah ammah) dalam urusan-urusan dunia dan agama, dan lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama (Iadah Al-Khilafah, hal. 32). Kelima, menurut At-Taftazani (w. 791 H/1389 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti dari Nabi SAW dalam penegakan agama, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib ditaati oleh seluruh umat (Lihat Al-Iji, Al-Mawaqif, III/603; Lihat juga Rasyid Ridha, Al-Khilafah, hal. 10). Keenam, menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M), Khilafah adalah pengembanan seluruh [urusan umat] sesuai dengan kehendak pandangan syariah dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka baik ukhrawiyah, maupun duniawiyah yang kembali kepada kemaslahatan ukhrawiyah (Al-Muqaddimah, hal. 166 & 190). Ketujuh, menurut Al-Qalqasyandi (w. 821 H/1418 M), Khilafah adalah kekuasaan umum (wilayah ammah) atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Ma`atsir Al-Inafah fi Maalim Al-Khilafah, I/8). Kedelapan, menurut Al-Kamal ibn Al-Humam (w. 861 H/1457 M), Khilafah adalah otoritas (istihqaq) pengaturan umum atas kaum muslimin (Al-Musamirah fi Syarh Al-Musayirah, hal. 141). Kesembilan, menurut Imam Ar-Ramli (w. 1004 H/1596 M), khalifah adalah al-imam al-azham (imam besar), yang berkedudukan sebagai pengganti kenabian, dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, VII/289). Kesepuluh, menurut Syah Waliyullah Ad-Dahlawi (w. 1176 H/1763 M), Khilafah adalah kepemimpinan umum (riyasah ammah) untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmuilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihadmelaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud sebagai pengganti (niyabah) dari Nabi SAW (dikutip oleh Shadiq Hasan Khan dalam Iklil Al-Karamah fi Tibyan Maqashid Al-Imamah, hal. 23). Kesebelas, menurut Syaikh Al-Bajuri (w. 1177 H/1764 M), Khilafah adalah pengganti (niyabah) dari Nabi SAW dalam umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin (Tuhfah Al-Murid Ala Jauhar At-Tauhid, II/45). Keduabelas, menurut Muhammad Bakhit Al-Muthii (w. 1354 H/1935 M), seorang Syaikh AlAzhar, Imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan dunia dan agama (Iadah AlKhilafah, hal. 33). Ketigabelas, menurut Mustafa Shabri (w. 1373 H/1953 M), seorang Syaikhul Islam pada masa Daulah Utsmaniyah, Khilafah adalah pengganti dari Nabi SAW dalam pelaksanaan apa yang dibawa Nabi SAW berupa hukum-hukum syariah Islam (Mawqif Al-Aql wa Al-Ilm wa Al-Alim, IV/363).

Keempatbelas, menurut Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi SAW (Tarikh Al-Islam, I/350). Analisis Definisi Dari keempatbelas definisi yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat sebetulnya ada 3 (tiga) kategori definisi, yaitu : Pertama, definisi yang lebih menekankan pada penampakan agama (al-mazh-har ad-dini). Jadi, Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam dalam pelaksanaan urusan agama. Misalnya definisi Al-Iji. Meskipun Al-Iji menyatakan bahwa Khilafah mengatur urusan-urusan dunia dan urusan agama, namun pada akhir kalimat, beliau menyatakan,Khilafah lebih utama disebut sebagai pengganti dari Rasulullah dalam penegakan agama. Kedua, definisi yang lebih menekankan pada penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Di sini Khilafah lebih dipahami sebagai manifestasi ajaran Islam berupa pelaksanaan urusan politik atau sistem pemerintahan, yang umumnya diungkapkan ulama dengan terminologi urusan dunia (umuur ad-dunya). Misalnya definisi Al-Qalqasyandi. Beliau hanya menyinggung Khilafah sebagai kekuasaan umum (wilayah ammah) atas seluruh umat, tanpa mengkaitkannya dengan fungsi Khilafah untuk mengatur urusan agama. Ketiga, definisi yang berusaha menggabungkan penampakan agama (al-mazh-har ad-dini) dan penampakan politik (al-mazh-har as-siyasi). Misalnya definisi Khilafah menurut Imam AlMawardi yang disebutnya sebagai pengganti kenabian dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia. Dengan menelaah seluruh definisi tersebut secara mendalam, akan kita dapati bahwa secara global berbagai definisi tersebut lebih berupa deskripsi realitas Khilafah dalam dataran empirik (praktik) misalnya adanya dikotomi wilayah urusan dunia dan urusan agama daripada sebuah definisi yang bersifat syari, yang diturunkan dari nash-nash syari. Selain itu, definisi-definisi tersebut kurang mencakup (ghayru jaamiah). Sebab definisi Khilafah seharusnya menggunakan redaksi yang tepat yang bisa mencakup hakikat Khilafah dan keseluruhan fungsi Khilafah, bukan dengan redaksi yang lebih bersifat deskriptif dan lebih memberikan contoh-contoh, yang sesungguhnya malah menyempitkan definisi. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah bertugas menghidupkan ilmuilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, melaksanakan jihad, melaksanakan peradilan (qadha`), menegakkan hudud, dan seterusnya. Bukankah definisi ini menjadi terlalu rinci yang malah dapat menyulitkan kita menangkap hakikat Khilafah? Juga bukan dengan redaksi yang terlalu umum yang cakupannya justru sangat luas. Misalnya ungkapan bahwa Khilafah mengatur umumnya kemaslahatan-kemaslahatan kaum muslimin. Atau bahwa Khilafah mengatur kemaslahatan-kemaslahatan duniawiyah dan ukhrawiyah. Bukankah ini ungkapan yang sangat luas jangkauannya? Sesungguhnya, untuk menetapkan sebuah definisi, sepatutnya kita perlu memahami lebih dahulu, apakah ia definisi syari (at-tarif asy-syari) atau definisi non-syari (at-tarif ghayr asy-syari) (Zallum, 1985:51). Definisi syari merupakan definisi yang digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, semisal definisi sholat dan zakat. Sedang definisi non-syari merupakan definisi yang tidak digunakan dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, tetapi digunakan dalam disiplin

ilmu tertentu atau kalangan ilmuwan tertentu, semisal definisi isim, fiil, dan harf (dalam ilmu Nahwu-Sharaf). Contoh lainnya misalkan definisi akal, masyarakat, kebangkitan, ideologi (mabda`), dustur (UUD), qanun (UU), hadharah (peradaban), madaniyah (benda sarana kehidupan), dan sebagainya Jika definisinya berupa definisi non-syari, maka dasar perumusannya bertolak dari realitas (alwaqi), bukan dari nash-nash syara. Baik ia realitas empirik yang dapat diindera atau realitas berupa kosep-konsep yang dapat dijangkau faktanya dalam benak. Sedang jika definisinya berupa definisi syari, maka dasar perumusannya wajib bertolak dari nash-nash syara Al-Qur`an dan AsSunnah, bukan dari realitas. Mengapa? Sebab, menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, definisi syari sesungguhnya adalah hukum syari, yang wajib diistimbath dari nash-nash syari (AySyakhshiyyah Al-Islamiyah, III/438-442; Al-Malumat li Asy-Syabab, hal. 1-3). Jadi, perumusan definisi syari, misalnya definisi sholat, zakat, haji, jihad, dan semisalnya, wajib merujuk pada nash-nash syari yang berkaitan dengannya. Apakah definisi Khilafah (atau Imamah) merupakan definisi syari? Jawabannya, ya. Sebab nashnash syari, khususnya hadits-hadits Nabi SAW, telah menggunakan lafazh-lafazh khalifah dan imam yang masih satu akar kata dengan kata Khilafah/Imamah. Misalnya hadits Nabi, Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (Shahih Muslim, no. 1853). Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya telah mengumpulkan hadits-hadits tentang Khilafah dalam Kitab Al-Ahkam. Sedang Imam Muslim dalam Shahihnya telah mengumpulkannya dalam Kitab Al-Imarah (Ali Belhaj, 1991:15). Jelaslah, bahwa untuk mendefinisikan Khilafah, wajiblah kita memperhatikan berbagai nash-nash ini yang berkaitan dengan Khilafah. Dengan menelaah nash-nash hadits tersebut, dan tentunya nash-nash Al-Qur`an, akan kita jumpai bahwa definisi Khilafah dapat dicari rujukannya pada 2 (dua) kelompok nash, yaitu : Kelompok Pertama, nash-nash yang menerangkan hakikat Khilafah sebagai sebuah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia. Kelompok Kedua, nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yaitu : (1) tugas menerapkan seluruh hukum-hukum syariah Islam, (2) tugas mengemban dakwah Islam di luar tapal batas negara ke seluruh bangsa dan umat dengan jalan jihad fi sabilillah Nash kelompok pertama, misalnya nash hadits,Maka Imam yang [memimpin] atas manusia adalah [bagaikan} seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya). (Shahih Muslim, XII/213; Sunan Abu Dawud, no. 2928, III/342-343; Sunan At-Tirmidzi, no. 1705, IV/308). Ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah sebuah kepemimpinan (ri`asah/qiyadah/imarah). Adapun yang menunjukkan bahwa Khilafah bersifat umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, misalnya hadits Nabi yang mengharamkan adanya lebih dari satu khalifah bagi kaum muslimin seperti telah disebut sebelumnya (Shahih Muslim no. 1853). Ini berarti, seluruh kaum muslimin di dunia hanya boleh dipimpin seorang khalifah saja, tak boleh lebih. Dan kesatuan Khilafah untuk seluruh kaum muslimin di dunia sesungguhnya telah disepakati oleh empat imam madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafii, dan Imam Ahmad, rahimahumullah (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-

Arbaah, V/308; Muhammad ibn Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf AlA`immah, hal. 208). Nash kelompok kedua, adalah nash-nash yang menjelaskan tugas-tugas khalifah, yang secara lebih rinci terdiri dari dua tugas berikut : Pertama, tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu muslim (QS Al-Baqarah:188, QS An-Nisaa`:58), mengumpulkan dan membagikan zakat (QS At-Taubah:103), menegakkan hudud (QS AlBaqarah:179), menjaga akhlaq (QS Al-Isra`:32), menjamin masyarakat dapat menegakkan syiarsyiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (QS Al-Hajj:32), dan seterusnya. Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk berjihad (QS Al-Baqarah:216), menjaga tapal batas negara (QS AlAnfaal:60), memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (QS Al-Anfaal:61; QS Muhammad:35). Berdasarkan dua kelompok nash inilah, dapat dirumuskan definisi Khilafah secara lebih mendalam dan lebih tepat. Jadi, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Definisi inilah yang telah dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1398 H/1977 M) dalam kitab-kitabnya, misalnya kitab Al-Khilafah (hal. 1), kitab Muqaddimah Ad-Dustur (bab Khilafah) hal. 128, dan kitab Asy-Syakshiyyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 9. Menurut beliau juga, istilah Khilafah dan Imamah dalam hadits-hadits shahih maknanya sama saja menurut pengertian syari (al-madlul asy-syari). Definisi inilah yang beliau tawarkan kepada seluruh kaum muslimin di dunia, agar mereka sudi kiranya untuk mengambilnya dan kemudian memperjuangkannya supaya menjadi realitas di muka bumi, menggantikan sistem kehidupan sekuler yang kufur saat ini. Pada saat itulah, orang-orang beriman akan merasa gembira dengan datangnya pertolongan Allah. Dan yang demikian itu, sungguh, tidaklah sulit bagi Allah Azza wa Jalla. wassalam Muhammad Sidik Aljaw
Fariz Kata Ibadah sebenarnya dari kata ibadah dan ubudiyat (pengabdian). Begitu pula kata abdun terkandung di dalamnya yang artinya adalah ghulam (hamba). Abdun artinya adalah dia yang segala sesuatu bukan lagi menjadi miliknya. Dalam pengertian inilah di dalam Alquran kata abdun digunakan untuk manusia. Dan dikarenakan ia adalah hamba maka gambaran keadaannya adalah, jangan mengambil apa-apa di rumah, yakni dalam proses pembentukan dirinya ia tidak ada peran dan tidak pula untuk kelanggengannya ia mempunyai campur tangan dalam upayanya. Semuanya semata-mata karena ihsan Allah taala atas manusia dan semata-mata hasil ciptaan-Nya sajalah maka manusia dianugerahi bentuk sebagai wujud cuptaan sehingga terlahirlah ia sebagai hamba-Nya) Ingatlah, bahwa ia tidak mempunyai apa-apa yang menjadi milik dirinya, sebab difinisi dari abdun ialah yang tidak memiliki apa-apa, setelah itu diberikan kepemilikan sementara kepadanya. Kemudian kepadanya dituntut untuk meninggalkan miliknya tersebut dengan senang hati, itulah arti ibadah. Ada pun maksud yang mulia dari ibadah tiada lain adalah hendaknya kepada manusia diajarkan bahwa ia datang di dunia ini dengan tangan kosong, kemudian tangannya jadi terisi banyak, ia memperoleh banyak barang-barang, ia menjadi banyak hubungan ikatan dengan macam-macam barang. Namun sekarang dia melakukan pemutusan hubungan dengan benda-benda duniwi tersebut bukan dengan paksaan atau dengan perantaraan maut, melainkan ia dengan sendirinya mendatangkan maut atas dirinya lalu ia mempersembahkannya kepada Allah taala. Walaupun itu tidak seluruhnya, sebagian pun sudah

mencukupi. Kalaupun tidak untuk masa yang panjang, ambillah untuk sementara waktu saja, sehingga iradah (keinginan) kita bergabung serta menyatu dalam pengabdian kita. Itulah yang dinamakan ibadah. Jadi itulah perbedaan ibadah dengan ubudiyat. Di dalam ubudiyat seberapa jauh sikap dan persembahan dari si hamba semuanya itu tercakup dalam kata itu, sedangkan ibadah seorang hamba tuhan adalah perhubungan yang melepaskan segala yang menjadi miliknya dan semua itu diserahkn kepada Allah taala dengan dada yang lapang. Jalinlah perhubungan dengannya itu menjadi sangat khusus, hubungannya dengan dunia sudah terputus dan menjadi dingin, segalanya sudah diserahkan kembali kepada Allah taala dan Dia dijadikan sebagai pusat segala dambaan.

http://d3ndri.wordpress.com/2010/06/12/manusia-basyar-insan-dan-al-nas/

1. Basyar Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya nampak jelas, dan berbeda dengan kulit makhluk yang lain. Dengan demikian istilah basyar merupakan gambaran manusia secara materi yang dapat dilihat, memakan sesuatu, berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia dalam pengertian ini disebutkan di dalam al-Quran sebanyak 35 kali dalam berbagai surat. Diantaranya terdapat dalam surat al-Abiya: 2-3, alkahfi: 110, Ibrahim: 10, hud: 26, al-Mukminun: 24 dan 33, as-Syuara: 93, yasin: 15, Al-Isra: 93 dan lain-lain. Dalam ayat-ayat tersebut terlihat bahwa manusia dalam arti basyar adalah manusia dengan sifat-sifat kematerianya. 2. An-Nas Dalam al-Quran manusia dalam pengertian an-nas disebutkan sebanyak 240 kali dengan keterangan yang jelas menunjukan pada jenis keturunan Nabi Adam as. Diantaranya terdapat dalam surat al-hujurat: 13, 3. Al-Ins/al-Insan Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak lawan dari binatang liar, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang alQuran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu (berguncang). Kitab suci al-Quran seperti yang ditulis Bint as-Syathi dalam al-quran wa Qadhaya al-Insan sering kali memperhadapkan insane dengan jin/jan. jin adalah makhluk halus yang tidak tampak, sedangkan manusia adalah makhluk yang nyata lagi ramah. Kata insan, digunakan al-quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara satu dengan yang lainya akibat perbedaan fisik, mental, intelektual dan juga spiritual. 4. Duriyat Adam/Bani Adam

Al-Quran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam, yang oleh mayoritas ulama dinamai manusia pertama. Yang disampaikanya dalam konteks ini hanya (1) bahan awal manusia adalah tanah, (2) bahan tersebut adalah disempurnakan, (3) setelah proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepadanya ruh ilahi [QS Al-Hijr, 15: 28-29; Shad, 38: 71-72]. Ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama, Al-Quran menunjuk kepada sang pencipta dengan menggunkan pengganti nama berbentuk tunggal:

)71:) ( )
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. (QS Shad, 38: 71) )75 :)

()

Allah berfirman: Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang Telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?. (QS Shad, 38: 75).

Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunkan bentuk jamak. Hal ini dapat dilihat dalam QS at-Tin: 4.

)4:) ( )
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .(QS. AtTin: 4).

Hal ini untuk menunjukan perbedaan proses kejadian manusia secara umum dan kejadian Adam AS. Penciptaan manusia secara umum, melalui proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya, yaitu bapak dan ibu. Keterlibatan bapak dan ibu mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan psikis anak, sedangkan dalam penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk ibu dan bapak.

Jadilah orang pertama yang menyukai tulisan ini Apakah anda menyukai tulisan ini ?
http://ummgl.blogdetik.com/2010/05/06/4-istilah-tentang-manusia-dalam-al-quran/

Sabtu, 10 April 2010


Konsep manusia sebagai basyar, insan, abdun dan khalifah Dalam al-Qur'an, ada tiga kata yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia, yaitu kata insan, kata basyar dan kata Bani Adam. Kata insan dalam al-Qur'an dipakai untuk manusia yang tunggal, sama seperti ins. Sedangkan untuk jamaaknya dipakai kata an-nas, unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai untuk tunggal dan jamak. Kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa, maka dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjuk suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran penalaran [Musa Asy'arie, 1992 : 22]. Kata insan digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan [M.Quraish Shihab, 1996 : 280]. Kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjuk adanya kaitan dengan kesadaran diri. Untuk itu, apabila manusia lupa terhadap seseuatu hal, disebabkan karena kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Maka dalam kehidupan agama, jika seseorang lupa sesuatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi hal ini berbeda dengan seseorang yang sengaja lupa terhadap sesuatu kewajiban. Sedangkan kata insan untuk penyebutan manusia yang terambil dari akar kata al-uns atau anisa yang berarti jinak dan harmonis, (Musa Asy'arie, 1996 : 20) karena manusia pada dasarnya dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar baik secara sosial maupun alamiah. Kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk baik laki-laki ataupun perempuan, baik satu ataupun banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang berarti kulit. "Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain". Al-Qur'an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna [dual] untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriyahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan bahwa "Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu [QS. al-Kahf (18): 110]. Di sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menggunakan

kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan kedewasaan. Firman allah [QS.al-Rum (3) : 20] "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya [Allah] menciptakan kamu dari tanah, ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran". Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezki [M.Quraish Shihab,1996 : 279]. Penggunaan kata basyar di sini "dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab. Dan karena itupula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar [perhatikan QS al-Hijr (15) : 28], yang menggunakan kata basyar, dan QS. al-Baqarah (2) : 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitahuan Allah kepada malaikat tentang manusia [M.Quraish Shihab,1996 : 280]. Musa Asy'arie [1996 : 21], mengatakan bahwa manusia dalam pengertian basyar tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan. Sedangkan manusia dalam pengertian insan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya tergantung pada kebudayaan, pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap hidupnya. Untuk itu, pemakaian kedua kata insan dan basyar untuk menyebut manusia mempunyai pengertian yang berbeda. Insan dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedangkan basyar dipakai untuk menunjukkan pada dimensi alamiahnya, yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, makan, minum dan mati. Dari pengertian insan dan basyar, manusia merupakan makhluk yang dibekali Allah dengan potensi fisik maupun psihis yang memiliki potensi untuk berkembang. AlQur'an berulangkali mengangkat derajat manusia dan berulangkali pula merendahkan derajat manusia. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat. Allah juga menetapkan bahwa manusia dijadikanNya sebagai makhluk yang paling sempurna keadaannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain [Q.S.95 :4]. Allah sendirilah yang menciptakan manusia yang proporsional [adil] susunannya [Q.S.82:7]. Abdurrahman An-Nahlawi [1995], mengatakan manusia menurut pandangan Islam meliputi : [1] Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan, artinya Islam tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti binatang, benda mati atau makhluk lainnya [QS..al-Isro: 70 dan al-Hajj : 65]. [2] Manusia sebagai makhluk istimewa dan terpili. Salah satu anugrah Allah yang diberikan kepada manusia adalah menjadikan manusia mampu membedakan kebaikan dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan. Ke dalam naluri manusia, Allah menanamkan kesiapan dan kehendak untuk melakukan kebaikan atau keburukan sehingga manusia mampu memilih jalan yang menjerumuskannya pada

kebinasaan. Dengan jelas Allah menyebutkan bahwa dalam hidupnya, manusia harus berupaya menyucikan, mengembangkan dan meninggalkan diri agar manusia terangkat dalam keutamaan [Q.S.as-Syam: 7-10]. [3] Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan untuk belajar, dalam surat al-Alaq : 3 dan 5, Allah telah menganugrahi manusia sarana untuk belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati. Dengan kelengkapan sarana belajar tersebut, Allah selalu bertanya kepada manusia dalan firman-Nya "afala ta'kilun", afala tata fakkarun", dan lain-lain pertanyaan Allah kepada manusia yang menunjukkan manusia mempunyai potensi untuk belajar. Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifahNya di muka bumi, serta sebagai makhluk semi-samawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat-sifat : mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, lagit dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan psikis mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya [Rif'at Syauqi Nawawi, 2000 : 11]. Selain itu, al-Qur'an juga menyebutkan sifat-sifat kelemahan dari manusia. Manusia banyak dicela, manusia dinyatakan luar biasa keji dan bodoh. Qur'an mencela manusia disebabkan kelalaian manusia akan kemanusiaannya, kesalahan manusia dalam mempersepsi dirinya, dan kebodohan manusia dalam memanfaatkan potensi fitrahnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Manusia dicela karena kebanyakan dari mereka tidak mau melihat kebelakang (al'aqiba), tidak mau memahami atau tidak mencoba untuk memahami tujuan hidup jangka panjang sebagai makhluk yang diberi dan bersedia menerima amanah. Manusia tidak mampu memikul amanah yang diberikan Allah kepadanya, maka manusia bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan dan binatang buas sekalipun - derajat manusia direndahkan Firman Allah QS. al-Ahzab : 72 : "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gununggunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatirkan menghianatinya, dan dipukullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh". Selanjutnya dalam firman Allah : QS. at-Tiin (95) : 5-6 : "Kemudian Kami [Allah] kembalikan dia [manusia] ke kondisi paling rendah", kecuali mereka yang beriman kepada Allah dan beramal saleh". Selain itu al-Qur'an juga mengingat manusia yang tidak menggunakan potensi hati, potensi mata, potensi telinga, untuk melihat dan mengamati tanda-tanda kekuasaan Allah. Pernyataan ini ditegaskan dalam firman Allah QS. al-A'raf : 179 sebagai berikut : "Sesungguhnya Kami Jadikan untuk [isi neraka Jahanam] kebanyakan dari jin dan

manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami [ayatayat Allah] dan mereka mempunyai mata [tetapi] tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga [tetapi] tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai". Untuk itu, manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling canggih, mampu menggunakan potensi yang dimilikinya dengan baik, yaitu mengaktualisasikan potensi iman kepada Allah, menguasai ilmu pengetahuan, dan melakukan aktivitas amal saleh, maka manusia akan menjadi makhluk yang paling mulia dan makhluk yang berkualitas di muka bumi ini seseuai dengan rekayasa fitrahnya. A. Pendahuluan Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asyari, Filsafat Islam, 1999) Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan masnusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia

menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan mahluk alami, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritus suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005) Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya danketurunnya, sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi mnurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas I dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hnya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal.(Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999). Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang

mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu

mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah.(Musa Asyari, Filsafat Islam, 1999) Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, 2002). Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , kan tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan

eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asyari, Filsafat Islam, 1999) B. Hakekat manusia Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut

tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001) Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asyari, Filsafat Islam, 1999) Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004) Manusia dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah adam dapat diredusir menjadi rumus; Ruh Tuhan + Lempung Busuk Manusia

Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (humain masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. Lempung busuk merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan yang tak terbatas. Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung busuk. Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab. Manusia yang ideal menurut Ali Syariati adalah manusia yang telah mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya adalah ruh Tuhan.(Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001) Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh Ali Syariati bahwa esensi manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan

memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna. Bagan Esensi dan Eksistensi Manusia No Eksistensi Esensi KesadaranBasic HumanKebutuhan manusia Fitrah (Basic HumanValues (BasicDasar (Basic Drives) Islamic Human Needs) Values) 1 2 3 Al Insan Al Basyar Abdullah Rasa ingin tahu Rasa lapar, haus, dingin Intelektual Biologis Intelektual Biologis Spiritual

Sara ingin berterimakasihSpiritual dan bersykur kepada tuhan Rasa tahan sendiri danSosial menderita dalam kesepian

An-Nas

Sosial

Khalifah filButuh keamanan,Estetika ardli ketertiban, kedamaian, kemakmuran, keadilan dan keindahan lingkungan Manusia yang melakukan refleksi menyadari

Estetika

bahwa

ia

mahluk

yang

berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar, abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.

C. Kedudukan dan peran manusia Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syariah. Maqasid asy-syariah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syariah. D. Tujuan hidup manusia
Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur mteri yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia.

Perjumpaan manusi dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia menaiki tangga miraj memasuki cahayaNya yang merupakan cahaya kreatifitas abadi. (Musa Asyari, Filsafat Islam, 1999) Proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj, Yazid al Bustami Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan berteumnya dengan Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga miraj menuju nafs Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia. Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam. http://simplelove01diaz.blogspot.com/2010/04/konsep-manusia-sebagai-basyarinsan.html

You might also like