You are on page 1of 33

PROSTITUSI..??..Why..? BAGIAN I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Industri bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan erotis, seperti misalnya prostitusi, pornografi, saluran-saluran telepon seks, panti pijat, pendamping (escorts), dan penari telanjang. Para wanita di dalam bisnis seks bekerja di berbagai macam lingkungan atau tempat, termasuk rumah bordil, bar, hotel, dan jalan-jalan. Pekerja-pekerja seks seringkali menghadapi diskriminasi dan kekerasan yang parah. Kenyataannya, bahwa banyak juga pekerja seks yang mempunyai masalah dengan adiksi, yang membuat mereka semakin rawan terhadap penganiayaan, penyakit, dan diskriminasi. Sebaiknya tidak perlu ada hukum yang melarang aktivitas prostitusi karena akan ada seseorang dipersalahkan karena aktivitas tersebut. Dan ini menjadi tidak adil dalam konteks di mana prostitusi adalah pelibatan dua orang lawan jenis untuk sebuah kesenangan seksual. Pandangan itu mungkin dapat menimbulkan kontroversi apabila dilontarkan di Indonesia karena masyarakat kita pasti menolak pandangan seperti itu. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan, sekalipun praktik prostitusi secara hukum dan agama dilarang di Indonesia, kegiatan prostitusi bawah tanah tetap saja marak di kota-kota besar di Indonesia. Tindak kriminal seksual dibagi ke dalam dua kategori: mereka yang menjadi korban dan mereka yang bukan. Dari perspektif korban, pemerkosaan orang dewasa, pemerkosaan anak-anak dan remaja, dan penyerangan seksual masuk ke dalam kategori tindak kriminal karena seseorang telah menjadi korban. Sementara itu, aktivitas seksual yang dipersiapkan melalui persetujuan kedua belah pihak, prostitusi dan pornografi, tidak ada korbannya (victim-less). Artinya, pihak yang terlibat di dalamnya menganggap tidak ada yang saling dirugikan. B. Maksud Dan Tujuan Pelacuran tidak hanya dilakukan oleh perempuan dewasa, tetapi saat ini mulai banyak anak perempuan (ABG) yang melacur dengan alasan ekonomi. Petugas Trantib beberpa kali melakukan razia terhadap pelacur jalanan yang mangkal di jalan-jalan protokol ibukota dan mengirimnya ke panti-panti sosial seperti Cipayung dan Kedoya, tetapi hal ini tidak membuat jera para pelacur, bahkan jumlahnya makin bertambah. Pelacur ini sebenarnya terpaksa melakukan pekerjaan tersebut karena keadaan dan situasi ekonomi yang berat memaksa mereka dan memang tidak ada pilihan lain dan ada juga yang terjebak germo sehingga karena takut dengan anggapan masyarakat maka sekalian saja mereka menjadi pelacur. Selain itu Pemerintah kurang serius menangani masalah pelacuran ini, terbukti razia-razia yang bertujuan untuk mengurangi pelacuran itu tidak berhasil. Walaupun pelacur, mereka adalah perempuan, mereka melakukan itu karena selama ini anggapan masyarakat terutama laki-laki menempatkan perempuan hanya sebagai pemuas atau pelayan seks saja, jadilah pelacuran tumbuh subur. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mitos keperawanan di masyarakat, padahal korban perkosaan semakin meningkat. Mereka

yang menjadi korban perkosaan dan berasal dari ekonomi lemah dengan kesempatan kerja yang kecil banyak yang akan lari ke dunia pelacuran. Kita tidak bisa menyalahkan mereka para pelacur itu karena sistem di Indonesia justru membuat perempuan terjebak dalam kepelacuran itu sendiri. Makalah ini difokuskan terhadap hukum yang membungkus kategori victim-less sebagai perbuatan seks kriminal. Apabila mengacu pada pendapat di atas, maka hukuman terhadap victim-less yang dipandang sebagai tindak kriminal sebaiknya dieliminasi dan lebih jauh aktivitas seperti itu sebaiknya didekriminalisasi (decriminalized). Persoalannya, mungkinkah dekriminalisasi prostitusi dikembangkan di Indonesia? Walaupun di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang praktik prostitusi, ada beberapa peraturan perundangan dan regulasi pemerintah yang menyentuh aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama, atau lebih populer disebut seks komersial. Sejumlah pemerintah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang pendirian lokalisasi. Dengan dasar hukum ini, aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama di antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat yang bersifat pribadi atau dipersiapkan dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Definisi ini sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini seharusnya sudah dieliminasi. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia, sebenarnya setiap orang dewasa memiliki hak melakukan apa saja yang dianggap menyenangkan bagi badan mereka. Meski demikian, sebagai bangsa yang bermoral dan beragama, perlulah kita memiliki upaya mengatasi masalah prostitusi. Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah pandangan orang tentang kegiatan seksual dengan cara menggeser paradigma prostitusi sebagai perbuatan asosial kepada kesenangan seksual (sexual pleasure). Kita tidak perlu menyentuh isu seks komersialnya karena berkaitan dengan kesenangan seksual yang menjadi hak asasi seseorang. C. Identifikasi Masalah Tumbuh suburnya praktik prostitusi di kota-kota besar di Indonesia merupakan bukti bahwa paradigma kesenangan seksual sadar atau tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat. Langkah kedua yang penting dipertimbangkan untuk dilakukan pemerintah adalah liberalisasi seks komersial tersebut. Kedua langkah itu tidak berarti Indonesia menuju pada negara yang memberi legalisasi pada praktik prostitusi, seperti halnya di Thailand dan Belanda, tetapi justru untuk mengendalikan prostitusi agar tidak merebak lebih luas dan mengurangi dampak sosial bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Persoalannya adalah apakah gagasan perubahan paradigma prostitusi dan liberalisasi prostitusi itu dapat mendorong pada masalah moral dan imoralitas seksual? Menurut hemat penulis, tampaknya tidak ada pikiran gagasan pergeseran paradigma dan liberalisasi seksual ini dapat menimbulkan konsekuensi yang merusak moral bangsa. Intinya, Indonesia tidak perlu mengatur isu seksual dengan hukum. Mungkin yang menjadi masalah besar bagi kita adalah adanya pikiran yang memaksakan kehendak agar prostitusi diberantas di Indonesia. Upaya ini yang selama ini sulit dilakukan siapa pun dan di mana pun.

Fakta lain adalah produk yang berhubungan dengan seks dapat ditemukan di mana saja dan bahwa sebagian besar orang dapat melihat produk tersebut. Jika hukum memandang aktivitas ini, yang melibatkan banyak orang, sebagai ilegal, berarti hukum ketinggalan zaman dan harus diubah dan diperbarui. Indonesia sangat mungkin melakukan penataan terhadap prostitusi. Pemerintah dapat memberikan lisensi bisnis kepada prostitusi dan menjamin mereka yang menjajakan seks untuk memperoleh pemeriksaan kesehatan fisik dan nonfisik sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Belanda. Kewajiban pemerintah adalah memberikan pelayanan kesehatan dan sosial kepada penjaja seks agar mereka terhindar dari konsekuensi keterlibatan mereka dalam kegiatan seks komersial. BAGIAN II PEMBAHASAN MASALAH A. Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah memberi pelayanan sosial seperti ini bukan hanya memproteksi hak perempuan, tetapi mencegah munculnya masalah sosial yang disebabkan prostitusi. Apabila demikian adanya, lalu apakah Indonesia perlu melegalkan prostitusi? Penulis menolak tegas gagasan legalisasi prostitusi di Indonesia, tetapi yang penulis setuju adalah bagaimana gagasan dekriminalisasi prostitusi dapat diwacanakan kepada publik dan diimplementasikan dalam regulasi pemerintah. Gagasan dekriminalisasi dimaksud adalah memandang prostitusi sebagai suatu isu moral. Jika dua orang dewasa mencapai kesepakatan menyangkut persetujuan mengenai seks, kita sebaiknya tidak memandang persetujuan mereka sebagai tindak kriminal, apa pun alasannya. Apakah kesepakatan itu melibatkan uang atau tidak. Yang perlu dicermati prostitusi dipandang dari dimensi moral, dan pada dimensi inilah pemerintah seharusnya melakukan kajian dan hasilnya didiseminasikan kepada masyarakat. Dengan ini, masyarakat akan termotivasi untuk memberdayakan norma dan nilai agama dalam mengendalikan atau menghentikan praktik prostitusi secara sistematis melalui sebuah proses jangka panjang. Lalu bagaimana sebaiknya sikap dan tindakan kita terhadap prostitusi? Hingga sekarang, belum ada seorang pun yang berhasil secara tuntas mendekriminalisasi prostitusi dan mengeliminasi semua masalah yang berkaitan dengan prostitusi. Namun, jika Pemerintah Indonesia hanya sebatas melarang kegiatan prostitusi dengan undang-undang dan regulasi lainnya, hal itu justru akan mendorong prostitusi berlangsung secara bawah tanah. Pada tahap berikutnya, prostitusi bawah tanah ini akan mendorong munculnya campur tangan organisasi kriminal terorganisasi maupun korupsi di kalangan penegak hukum, dan muncul masalah sosial lainnya. Sekarang sudah saatnya semua pihak, termasuk birokrat, peneliti, akademisi, agamawan, dan praktisi, duduk bersama dan menemukan solusi efektif untuk menyelesaikan masalah prostitusi. Kita tidak perlu menangani isu ini dengan sikap yang terlalu emosional. Wujud dari pergeseran paradigma dan liberalisasi seksual adalah munculnya kebijakan nasional yang mendorong pemerintah daerah membuat konsep pusat kesenangan seksual dengan cara mendirikan bangunan besar dan bertingkat di pusat bisnis di tengah-tengah kota. Akan lebih bijaksana karena dampak sosialnya paling kecil dibandingkan dengan membangun lokalisasi wanita tunasusila (WTS) di daerah yang bercampur baur dengan penduduk setempat.

B. Bentuk Penanganan Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan. Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka. Di wilayah DKI Jakarta misalnya, landasan kebijakan yang digunakan aparat dalam melakukan penertiban terhadap para perempuan yang dilacurkan adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta. Sementara, secara substantif peraturan ini sudah bermasalah. Pada awal proses pembuatan misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak didengar suaranya, khususnya masukan dari warga di sekitar lokasi prostitusi yang sebenarnya penting didengar karena mereka jugalah yang terkena imbas praktik prostitusi dengan segala eksesnya. Isi Perda No 11/1988 oleh banyak kalangan dipandang cenderung diskriminatif dan bias kelas, karena yang menjadi sasaran penertiban kebanyakan mereka yang beroperasi di jalan dengan alasan melanggar ketertiban umum. Sementara di diskotek, pub, klab malam eksklusif, dan hotel berbintang yang terselubung, alasan penertiban hanyalah pelanggaran jam buka tempat hiburan, dan itu pun bisa diatur. Di pihak lain, dari kelompok yang memakai bendera agama, penggerebekan dilakukan sepihak, sering tidak manusiawi, destruktif tanpa pandang bulu, bahkan cenderung main hakim sendiri. Padahal, agama mengajarkan manusia berbuat baik, termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang seharusnya justru dibimbing yang benar. Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat kantungkantung prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat, termasuk terhadap anggota keluarga korban. Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal, sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias jender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan

menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban. C. Pendekatan Kemanusiaan Pendekatan kemanusiaan terhadap masalah apa pun adalah suatu hal universal. Apalagi terhadap masalah yang sangat kental nuansa pelanggaran HAM-nya, seperti prostitusi. Selama ini pendekatan yang digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi. Untuk itu ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan militeristik, seperti yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak menyelesaikan masalah. Kalaupun dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan pendekatan kemanusiaan. Pendekatan dalam Perda No 11/1988 adalah abolisionis yang memandang perempuan yang dilacurkan sebagai kriminal, padahal dia merupakan korban mata rantai sistemik feminisasi kemiskinan dan marjinalisasi perempuan. Konsep atau pendekatan penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur HAM, termasuk dalam kurikulum pendidikan para polisi pamong praja atau aparat lain. Kedua, penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan, holistik, dan integratif. Termasuk memberi penyadaran, mulai dari pola pikir aparat, masyarakat, rohaniwan, sampai sikap dan perilaku bahwa perempuan yang dilacurkan adalah korban. Bersama-sama kita bahu-membahu mencari solusi persoalan, memberi bekal para perempuan yang dilacurkan untuk menopang ekonomi keluarga berupa kemampuan baca- tulis, keterampilan rias wajah, menyamak kulit, menjahit, wirausaha, atau inisiatif lain yang patut dihargai dan didukung. Ketiga, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah masyarakat, penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus dihentikan. Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga termin dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan. Keempat, mulai sejak kurikulum pendidikan calon petugas tramtib, penggunaan pola militeristik yang menonjolkan kekerasan harus dihapus. Yang kemudian melakukan penertiban, diharapkan bukan hanya aparat laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah proporsional. Jangan kemudian mereka hanya menjadi pelengkap, apalagi pajangan. Karena perempuan yang dilacurkan rentan pelecehan seksual, maka perlindungan saksi pelapor juga diperlukan. Kerja sama dan pengawasan ketat bersama pemerintah daerah asal dalam pemulangan juga diperlukan untuk menghindari agar tidak semata-mata menjadi proyek pemulangan saja. D. Upaya Pendekatan Keagamaan Adalah baik dan terpuji bahwa masyarakat, khususnya para pelaku dunia prostitusi, diharapkan beriman dan taqwa terhadap Tuhan. Dalam hal ini tidak perlu ada kontroversi. Percaya kepada Tuhan dan taat pada-Nya merupakan sikap manusia yang amat bagus dan aman. Namun hal ini belum tentu betul mengenai omongan tentang iman dan taqwa. Janganjangan omongan imtaq menjadi tabir asap untuk menghindar dari menyebutkan masalahmasalah konkret yang ada. Kalau iman dan taqwa hanya berarti, misalnya untuk orang Islam (Pria atau wanita), ingat kepada-NYA hanya saat sedang mengalami kesusahan, tetapi saat

senang lupa akan kodratnya sebagai Mahluk ciptaan-NYA yang harus selalu beriman dan mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan dariNYA. Jadi, seperti di mana-mana iman dan taqwa, itu hanya berguna apabila sikap-sikap yang memang diperlukan, ciri-ciri hukum, yang mau dikembangkan, dijadikan fokus secara eksplisit. Kalau tidak, kita menipu diri dan omongan tentang imtaq malah menjadi hipokrit. Iman dan taqwa harus merupakan sikap batin yang pertama-tama kelihatan dalam cara orang membawa diri terhadap orang lain: Menghormati identitasnya, tidak mengancamnya, adil, tidak menipunya, selalu membawa diri secara beradab, solidaritas nyata dengan mereka yang menderita, lintas golongan, jujur, rendah hati, mampu melihat kelemahannya sendiri. Orang macam itulah yang betul-betul beriman, betul-betul taqwa. E. Upaya Penghapusan Prostitusi Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapuskan prostitusi, tetapi tetap saja ada dan tidak dapat dihilangkan, mengingat praktek prostitusi itu telah sama tuanya dengan kehidupan manusia sendiri. sampai sekarang kebanyakan masyarakat yang menganggap dirinya suci, bersih, dan bermoral terus mengecam dan mencemooh para pelaku prostitusi itu dan berupaya untuk menghilangkannya. Upaya seperti itu adalah tidak mungkin, naif dan absurd. Namun bukan berarti dengan begitu kita semua dapat membiarkan prostitusi terus berlangsung di sekitar kita. pandangan bahwa prostitusi merupakan perilaku kotor dan tidak bermoral serta salah satu penyakit sosial adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan pula. Tapi tidak mungkin pula untuk menghapuskan prostitusi adalah juga fakta tidak terbantahkan. Karena itu, penanganan prostitusi tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral semata. Prostitusi adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik serta moral dan agama. upaya menanggulangi prostitusi hanya dengan pendekatan moral dan agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah itu. Diibaratkan, seperti memberi makanan kering kepada orang yang sedang kehausan. Pemerintah bersama seluruh masyarakat disarankan untuk menggunakan pendekatan sosial, budaya, ekonomi, politik selain moral dan agama untuk mencari penyelesaian serta menjawab persoalan prostitusi secara komprehensif. Setidaknya, upaya itu dapat menekan dan meminimalkan perilaku prostitusi yang berkembang dalam masyarakat luas dengan tidak selalu menyalahkan perempuan sebagai pelaku dan penyebab prostitusi padahal lelaki yang banyak memanfaatkannya. BAGIAN III PENUTUP A. Kesimpulan Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku prostitusi melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir demi nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan). yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.

Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dengan rendahnya pendidikan, iman dan taqwa yang lemah maka setiap orang akan melakukan apa saja demi mempertahankan kelangsungan hidupnya, termasuk MELACUR. B. Saran Apa pun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan. Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan manusia dengan Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor berdasi dan dihormati yang diam-diam memakan uang rakyat banyak. masyarakat bila digerakkan, dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu melakukan tindak pencegahan dan penanggulanggan prilaku prostitusi di lingkungannya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial terdiri dari laki-laki dan perempuan yang hidup bersama-sama di masyarakat dan berinteraksi satu sama lain karena kepentingan yang sama. Oleh karena itu, pergaulan antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat merupakan suatu yang tidak dapat di hindari. Ini merupakan sebuah realitas dan tidak dapat pula pungkiri bahwa ketika terjadi interaksi, sering kali muncul rasa suka atau senang satu sama lain. Namun naluri ini sering disalahgunakan, dengan mengatasnamakan kebebasan, hubungan laki-laki dan perempuan yang semula merupakan hubungan tolong-menolong dan kerja sama antara sesama manusia berubah menjadi hubungan jinsiyah atau hubungan kejantanan dan kebetinaan. Muncul pengertian bahwa hubungan pria dan wanita hanyalah sebatas hubungan atas dasar kecintaan yang sebenarnya untuk memuaskan hawa nafsu (seksualitas) semata. Untuk mewujudkan itu, maka diciptakanlah sarana-sarana yang dapat membangkitkan naluri seksual, melalui media masa (media cetak maupun media elektronik) yang berpengaruh terhadap munculnya naluri tersebut. Bisa dilihat bagaimana tayangan iklan, mode busana, film dan sinetron yang semuanya menggambarkan perilaku pergaulan bebas muda-mudi dan secara jelas menjurus ke arah pornografi dan pornoaksi. Sementara di masyarakat, pacaran dan segala bentuk aktivitas (seperti duduk berduaan
2

berbicara sambil berpegangan tangan, jalan berdua, berciuman dan seterusnya) di anggap merupakan hal yang biasa dan sesuai dengan trend masa kini. Sebaliknya orang yang membatasi diri dalam bergaul dianggap kuper, kuno, tidak normal dan seterusnya. Akibatnya, terjadi kerusakan akhlak dan penurunan moral yang cukup parah dan sangat memprihatinkan terjadi di dalam masyarakat. Fenomena kumpul kebo dan pelacuran juga sampai pada dunia pendidikan (munculnya istilah ayam kampus, ayam abu-abu dan ABG pelajar SLTP) hingga pada perilaku seks menyimpang (lesbian dan homo) yang merupakan gejala patologi sosial yang ada di masyarakat, menggerogoti dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan keluarga dan masyarakat. Kasus hamil diluar nikah, pelecehan seksual, aborsi, penyakit kelamin dan yang paling parah penyakit HIV/AIDS, merupakan bukti yang menunjukan bahayanya masalah ini bagi tatanan sosial dalam masyarakat. Pada masa lalu eksploitasi terhadap wanita di kenal sebagai sebuah fenomena. Seiring perkembangan pengetahuan, diketahui bahwa ada bentukbentuk pekerja wanita yang bisa dikategorikan sebagai pekerjaan yang mudah dicari dan banyak menghasilkan keuntungan yang sekaligus sebagai pekerjaan yang tercela bagi seorang wanita. Satu bentuk pekerjaan tersebut yaitu pekerjaan yang terjun dalam dunia pelacuran. Tidak bisa ditolerir tindakan yang melibatkan wanita-wanita dalam pekerjaan yang tercela ini. Mereka melakukan pekerjaan tercela ini atau terjerumus ke dunia pelacuran ini karena adanya faktor ketidakmampuan keluarga dan ketidakmampuan masyarakat
3

melindungi mereka dan lain-lain. Faktor budaya dan pemahaman agama yang sempit yang menempatkan wanita dalam posisi inferior dan pria pada posisi superior merupakan juga salah satu penyebabnya. Sayangnya persoalan ini

jarang sekali diangkat sebagai suatu prioritas utama. Hal yang sama, juga terjadi dalam hal peningkatan kesehatan terhadap wanita, maupun pekerjaan wanita. Pelacuran atau yang juga sering disebut prostitusi (berasal dari bahasa Latin pro-stituere) secara sederhana dapat diartikan membiarkan diri melakukan persundalan, perzinaan, percabulan, dan pergendakan. Pelacuran adalah penyerahan diri secara badaniah seorang wanita untuk pemuasan lakilaki siapapun yang menginginkannya dengan pembayaran. Pekerja seks komersial dan pelacuran pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, hal tersebut dapat dilihat dari pengertian pelacuran yang dikemukakan oleh Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar (1984:10-11) bahwa: Prostitusi atau pelacuran adalah suatu perbuatan seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh bayaran dari laki-laki yang datang dan wanita tersebut tidak ada pencaharian yang lain kecuali yang diperolehnya dari perhubungan sebentar-sebentar dengan banyak orang. Pelacuran adalah pekerjaan paling tua di dunia dan fungsional dalam sistem sosial masyarakat selama berabad-abad. Sebenarnya, pelacuran dan pornografi merupakan eksploitasi seksual dan komersial atas kaum perempuan, merendahkan harkat dan martabat perempuan. Ini sebenarnya justru menjadi pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Di beberapa negara, undang-undang
4

anti pelacuran telah ditetapkan, karena dianggap sebagai salah satu eksploitasi seksual dan komersial atas perempuan. Exploitation del homme par lhomme adalah satu kata yang dibenci oleh setiap orang yang cinta akan kemerdekaan, namun, tanpa disadari eksploitasi manusia atas manusia itu dilaksanakan secara bersama-sama. Laki-laki mengeksploitasi perempuan, dan perempuan mengeksploitasi rekan sejawatnya. Mengapa perempuan paling banyak dieksploitasi? Ada suatu budaya yang sengaja dihembuskan sehingga perempuan adalah merupakan sesuatu obyek yang menarik. Budaya salah kaprah dengan dibungkus modernisasi itulah yang berhembus sehingga membuat perempuan ikut mengeksploitasi rekan sejenisnya. Memang hanya laki-laki yang tidak bertanggungjawab yang melakukan ekploitasi ini, akan tetapi selanjutnya perempuanlah yang asyik mengeksploitasi dirinya sendiri. Bergantung kepada "kelas"-nya, maka para pelacur punya "daerah operasi" yang berbeda. Di antara mereka ada yang beroperasi di jalan-jalan ramai (itulah: "lubang jalan-jalan"), ada yang di kompleks lokalisasi. Ada yang menunggu panggilan di rumah tertentu (karena dipanggil itulah, maka ada istilah call girl --wanita panggilan, atau bisa juga disebut taxi girl, karena datangnya dengan berkendaraan taksi). Dan mereka melakukan itu tentu memiliki sebab atau alasan kuat yang mendorong mereka untuk tetap berkerja pada pekerjaan yang menurut sebagian orang adalah pekerjaan yang tidak baik
5

atau benar baik secara moralitas dipandang dari norma masyarakat yang berlaku dan norma agama. Pelacuran diciptakan oleh struktur masyarakat, yang mendesak kaum perempuan maupun lelaki, untuk memilih pekerjaan ini sebagai jalan keluar dari kesulitan ekonomi yang dihadapinya. Selain itu pelacuran disebabkan oleh

rendahnya pendidikan dan peluang kerja. Kemiskinan juga membuka peluang terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik secara fisik, psikis maupun seksual yang menyebabkan terjadinya cedera, perceraian, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang pada gilirannya membuat perempuan terjerumus dalam prostitusi. Belum lagi dengan merebaknya pornografi dan gaya hidup bebas yang membuat semakin banyak saja terjadi kasus kehamilan di luar nikah, dengan minimnya tingkat pendidikan sementara ia punya tanggung jawab untuk mengasuh anaknya maka menjadi PSK adalah solusi yang termudah. (http://www.pikiran-rakyat.com) Pelacuran menyimpan kompleksitas yang tidak mudah diurai dan memendam persoalan dilematis yang gawat. Tidak ada orang yang benar-benar bercita-cita dan memilih menjadi pelacur, meski juga tidak jarang yang gampang menjalani pekerjaan sebagai PSK secara sadar dan profesional karena desakan hidup yang tidak terhindarkan. Tetapi tidak gampang menemukan jawaban yang sebenarnya mengapa seseorang menjadi PSK. Menghapuskan sama sekali kegiatan para PSK seperti rencana penutupan lokalisasi atau operasi penertiban tampaknya tidak mungkin. Justru ini akan menimbulkan dampak lain dan tidak menyelesaikan masalah. Barangkali yang
6

paling mungkin adalah tindakan agar dampak negatif yang ditimbulkannya tidak meluas ke masyarakat, misalnya dampak kesehatan yaitu munculnya PMS termasuk HIV-AIDS. Untuk itu perlu dipahami latar belakang dan motivasi mereka menjadi PSK; apakah oleh faktor ekonomis, faktor psikologis, biologis, bahkan mungkin politis. Penulis mencoba meneliti permasalahan mengenai pelacuran dari sudut pandang ilmu sosial dengan lebih memfokuskan pada masalah kehidupan seorang wanita yang menggeluti pekerjaan menjadi pekerja seks komersial dan mencoba mengambil judul penelitian mengenai: Memahami Kehidupan Pekerja Seks Komersial Dalam Lingkungan Sosio-Kultural Mereka (Kajian Tentang Wanita Pekerja Seks Komersial Di Kotamadya Bandung) B. Rumusan Masalah Masalah yang akan dijadikan topik penelitian secara umum difokuskan pada kajian terhadap persoalan Memahami Kehidupan Pekerja Seks Komersial Dalam Lingkungan Sosio-Kultural Mereka (Kajian Tentang Wanita Pekerja Seks Komersial Di Kotamadya Bandung) Secara khusus masalah yang akan diteliti difokuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah keadaan lingkungan sosio-kultural PSK, yang meliputi latar belakang tingkat pendidikan, ekonomi, dan masalah-masalah yang terkait dalam kehidupan keseharian? 2. Bagaimana dan apa yang melatar belakangi pengambilan keputusan untuk memasuki pekerjaan sebagai penjaja seks?
7

3. Faktor-faktor apakah yang mendukung dan menghambat program penanggulangan masalah PSK? Penelitian ini khusus dilakukan pada kasus tertentu, yaitu para wanita pekerja seks komersial (PSK) yang berada di beberapa lingkungan jalan Kodya Bandung. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip-prinsip penelitian kualitatif, hasil-hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan pada populasi lain, tetapi

lebih ditujukan untuk menggambarkan kebenaran yang terjadi di lapangan saat ini. C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban dari permasalahan yang dikemukakan di atas, dan secara umum untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kehidupan pekerja seks komersial dalam lingkungan sosio-kultural mereka. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1. Memperoleh informasi dan data yang mendeskripsikan tentang keadaan lingkungan sosio-kultural PSK, yang meliputi latar belakang tingkat pendidikan, ekonomi, dan masalah-masalah yang terkait dalam kehidupan keseharian. 2. Mengetahui dan mendeskripsikan latar belakang pengambilan keputusan untuk memasuki pekerjaan sebagai pejaja seks. 3. Mencoba memperoleh informasi faktor-faktor yang mendukung dan menghambat penanggulangan masalah ini.
8

D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut tujuan-tujuan penelitian yang diperoleh. Manfaat-manfaat ini dapat dibagi menjadi: 1. Manfaat Teoritik Memberikan masukan-masukan (input) yang dapat memberikan pemahaman bagi orang-orang yang mengajarkan pendidikan ilmu sosial dan orang-orang yang mengkaji permasalahan sosial mengenai kompleksnya permasalahan yang menyebabkan seseorang memilih dan memutuskan suatu pekerjaan yang kadang disadarinya dapat merugikan dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya. 2. Manfaat Praktis Mencoba memberikan rekomendasi atau pertimbangan bagi praktisi pendidikan dan praktisi yang bergerak dalam bidang penanggulangan masalah-masalah sosial terutama pelacuran wanita untuk dapat menentukan kebijakan dan pengembangan suatu program yang dapat menanggulangi masalah-masalah sosial yang terjadi.

DINAMIKA KOGNISI SOSIAL PADA PELACUR TERHADAP PENYAKIT MENULAR SEKSUAL


SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh : WENY KUSUMASTUTI F 100040059 kepada

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2009


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fenomena sosial yang sudah ada sejak masa awal diciptakannya manusia adalah pelacuran, dan fenomena tersebut hingga saat ini belum bisa diatasi, bahkan secara kuantitas justru meningkat dan penyebarannya semakin merata hampir di seluruh dunia. Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri, yaitu berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas kesopanan. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berkembang dan senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi (Kartono, 2005). Walaupun banyak terjadi penolakan sosial terhadap pelacuran di sebagian besar negara Asia, pelacuran masih sangat diperlukan masyarakat dalam fungsinya sebagai kontrol sosial (Koentjoro, 1999). Bahkan menurut Bonaparte (dalam Setiawan, 2007) mengatakan bahwa pelacuran adalah suatu kebutuhan, tanpa pelacuran laki-laki akan menyerang wanita baik-baik di jalanan. Bahkan, Colemen and Cressey (dalam Koentjoro, 1999) menekankan aspek positif dari pelacuran dan setuju dengan pernyataan Bonaparte tersebut. Akan tetapi praktek pelacuran juga harus tetap dikontrol karena empat alasan, yaitu (a) ia memancing pria yang tidak tertarik pada pelacuran sebelumnya, (b) ia akan merambah ke daerah yang tidak mengenal pelacuran sebelumnya, (c) penyakit 1
2

menular akan merajalela, (d) jika rumah bordil ditutup, jumlah pelacur jalanan akan makin banyak sehingga masalah lebih serius lain akan timbul. Seseorang yang memutuskan menjadi pelacur sebenarnya bukan tujuan dalam mencari nafkah, melainkan sebagai salah satu dari upaya untuk mencapai tujuan lain yang lebih utama, karena mereka tidak pernah bercita-cita menjalani profesi sebagai penjaja seks dan mau menjalani profesinya karena berbagai faktor. Profesi PSK selama ini selalu diidentikkan dengan sekse perempuan, meski pada kenyataannya sekarang ini kaum laki-laki juga mulai merambah profesi ini. Prosentase jumlah perempuan PSK yang lebih besar menyebabkan masalah ini selalu dikaitkan dengan perempuan. Terjunnya seorang perempuan ke dalam dunia prostitusi dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Menurut Kartono (dalam Patnani, 1999) faktor utama yang mendorong seseorang berprofesi sebagai PSK adalah faktor keterbatasan ekonomi, sehingga seorang perempuan menerjuni

dunia prostitusi untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya. Faktor tersebut di atas dapat diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yahman (1999) di komplek resosialisasi Silir Surakarta, diperoleh hasil bahwa dari 12 pekerja seksual yang diamati dan diwawancarai ditemukan hampir 100 % pekerja seks tersebut menjadi pelacur karena faktor desakan ekonomi walaupun pemahaman mereka terhadap nilai-nilai moral dan etika cukup baik. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo & Siregar (dalam Yahman, 1999) di kompleks pelacuran Dolly Surabaya, menemukan bahwa dari 48 orang responden yang diwawancarai, 6 % memilih profesi sebagai pekerja seks karena alasan ekonomi. Dari jumlah tersebut 19 orang menyatakan pekerjaan yang
3

ditekuninya cepat menghasilkan uang, dan sisanya 13 orang mengaku tidak memiliki ketrampilan kerja lain sehingga terpaksa menjadi pekerja seks. Kemudian 12,5 % karena alasan psikologis, seperti patah hati, balas dendam, dipaksa untuk menikah. Sisanya 20,83 % tidak tahu kalau dijebloskan ke dalam pekerjaan sosial. Menurut Lestari (2002) penyebab pelacuran sebenarnya bukan tunggal melainkan cenderung kompleks. Seperti hubungan dalam keluarga yang tidak baik, pendidikan rendah, kemiskinan, masa depan tidak jelas, tekanan penguasa, hubungan seksual terlalu dini, pergaulan bebas, kurang penanaman nilai agama serta perasaan dendam dan benci kepada laki-laki. Kemudian Adams (dalam Lestari, 2002) juga menyatakan bahwa pelacuran disebabkan oleh penolakan dan tidak dihargai lingkungan, kemiskinan dan mudah untuk mendapatkan uang. Asumsi bahwa faktor ekonomi merupakan faktor utama yang mendorong seseorang terjun ke dalam dunia prostitusi mulai mengalami pergeseran sejalan dengan fenomena menarik dalam aktivitas ini, yaitu maraknya remaja perempuan yang berusia sangat muda, atau dikenal dengan ABG (Anak Baru Gede) (Patnani, 1999). Menurut Arivia (dalam Patnani, 1999) motif yang membuat para ABG tersebut menerjuni profesi ini yaitu adanya keinginan untuk menikmati hidup mewah tanpa harus bekerja dengan susah payah. Fenomena lain yang menarik belakangan ini adalah bentuk prostitusi yang tidak mengharapkan imbalan. Dalam kondisi ini para pekerja seks bersedia melakukan pelayanan seksual karena faktor
4

suka sama suka. Materi, dalam hal ini adalah uang, bukan lagi menjadi motivator utama. Kebebasan dan bersenang-senang adalah alasan yang selalu menjadi jawaban dalam situasi semacam ini. Semakin kompleksnya motivasi seseorang menjadi pelacur, tentunya semakin banyak pula jumlah pelacur yang ada di negara ini. Hal ini pun menjadi salah satu pemicu merebaknya penyakit kelamin. Koentjoro (1999) menyebutkan bahwa seorang pekerja seks merupakan mediator penyebaran Penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Kemudian menurut Soewarso (1988) wanita tuna susila (WTS), pekerja hotel, pelaut dan tentara yang umumnya lebih besar kemungkinannya untuk melakukan kontak seksual dengan banyak pasangan akan lebih besar resikonya untuk tertular penyakit kelamin. Penyakit kelamin sudah lama dikenal dan beberapa diantaranya sangat populer di Indonesia yaitu sifilis dan gonore. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat, banyak ditemukan penyakit-penyakit baru, sehingga istilah tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi Sexually Transmitted Diseases (STD) atau Penyakit Menular

Seksual (PMS) (Hakim, 2001). Penyakit ini disebut juga veneral, berasal dari kata venus, yaitu Dewi Cinta dari Romawi kuno. Penularan penyakit ini biasanya terjadi karena seringnya seseorang melakukan hubungan seksual dengan bergantiganti pasangan. Bisa juga melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang sebelumnya telah terjangkiti salah satu jenis penyakit ini (Dianawati, 2002).
5

Penyakit menular seksual ini jelas sangat berbahaya dan peningkatan insidens PMS ini tidak terlepas dari kaitannya dengan perilaku resiko tinggi. Perilaku resiko tinggi dalam PMS adalah perilaku yang menyebabkan seseorang mempunyai resiko besar terserang penyakit. Adapun yang tergolong kelompok resiko tinggi adalah: 1) Usia (20-34 tahun pada laki-laki, 16-24 tahun pada wanita, dan 20-24 tahun pada kedua jenis kelamin), 2) pelancong, 3) pekerja seksual atau wanita tunasusila, 4) pecandu narkotik, 5) homoseksual (Halim, 2001). Sejak ditemukan AIDS pada tahun 1981, PMS yang belum dapat disembuhkan terutama PMS yang disebabkan oleh virus mendapat perhatian besar, misalnya herpes genitalis, kondilomata akuminata, dan AIDS. WHO memperkirakan pada tahun 1999 terdapat 340 juta kasus baru PMS baru setiap tahunnya, sedangkan jumlah infeksi HIV saat ini lebih dari 33,6 juta kasus. (Halim, 2001). Penelitian menunjukkan bahwa penderita sifilis melakukan hubungan seks rata-rata sebanyak 5 pasangan seksual yang tidak diketahui asal-usulnya, sedangkan penderita gonore melakukan hubungan seks dengan rata-rata 4 pasangan seksual. Demikian juga halnya antara PMS dengan pecandu narkotik, terlihat bahwa 28 % penderita sifilis dan 73 % penderita gonore melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan seksual karena ketagihan narkotik (Halim, 2001). Berdasarkan data tersebut di atas, dapat diketahui bahwa penyakit menular seksual merupakan salah satu penyakit yang penyebarannya sangat pesat tiap
6

tahunnya. Dan salah satu mediatornya adalah profesi pelacur. Hal ini tentunya menjadi permasalahan bagi para pelacur pada khususnya dan masyarakat pada umumnya karena menurut Kartono (2005) pelacuran ini mempunyai dampak menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit. Peningkatan jumlah penderita PMS harus juga diimbangi dengan tindakan untuk mengobati karena apabila individu terjangkit penyakit menular seksual ini tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna bisa menimbulkan cacat jasmani dan rohani pada diri sendiri dan anak keturunan (Kartono, 2005). Untuk itulah pada sebagian masyarakat pada umumnya dan para pekerja seks pada khususnya memerlukan pengetahuan dan kehandalan untuk mengatasi permasalahan ini. Jadi diperlukan suatu proses berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut atau dengan kata lain dibutuhkan suatu proses kognisi sosial. Secara umum kognisi berarti kesadaran, tetapi yang dipelajari dalam psikologi kognitif adalah berbagai hal seperti sikap, ide, harapan dan sebagainya. Dengan kata lain, psikologi kognitif mempelajari bagaimana arus informasi yanng ditangkap oleh indra diproses dalam jiwa seseorang sebelum diendapkan dalam kesadaran atau diwujudkan dalam bentuk tingkah laku. Reaksi terhadap rangsang tidak selalu keluar berupa tingkah laku yang nyata (respon yang overt) akan tetapi juga bisa mengendap berupa ingatan atau diproses menjadi gejolak perasaan (gelisah, kepuasan, kekecewaan dan sebagainya) atau sikap, seperti suka dan tidak suka (Sarwono, 2000). Kognisi sosial merupakan cara-cara seseorang untuk

menginterpretasi, menganalisa, mengingat, dan menggunakan informasi mengenai dunia sosial (Baron & Byrne, dalam Suyono 2007).
7

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diambil suatu rumusan yang hendak menjadi dasar penelitian ini yaitu bagaimana dinamika kognisi sosial pada pelacur terhadap penyakit menukar seksual?. Berdasarkan rumusan masalah ini maka penulis mengadakan penelitian dengan judul Dinamika Kognisi Sosial pada Pelacur terhadap Penyakit Menular seksual. B. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dinamika kognisi sosial pada pelacur terhadap penyakit menular seksual. C. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1 Bagi Pelacur Hasil penelitian ini diharapkan dapat disosialisasikan kepada para pelacur, baik yang terorganisir maupun yang tidak, sehingga dapat memberi gambaran tentang dampak dari profesi yang dilakukannya, di mana profesi tersebut sangat rentan terkena penyakit menular seksual yang cukup berbahaya bagi diri maupun orang lain.
8

2 Bagi pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi tambahan informasi, baik secara tertulis maupun tidak, yang dapat digunakan untuk mencari solusi dari fenomena prostitusi, sekaligus mencari penanganan penyakit menular seksual. 3 Bagi peneliti dan peneliti yang lain Diharapkan bisa menambah wawasan tentang dunia prostitusi pada khususnya dan psikologi sosial pada umumnya, beserta korelasinya dengan ilmu-ilmu yang lain. Di mana permasalahan prostitusi tidak saja diungkap dengan ilmu psikologi, akan tetapi permasalahan tersebut bisa juga diungkap dengan ilmu-ilmu yang lain. Jadi hasil penelitian ini bisa menjadi tambahan data bagi peneliti lain yang juga meneliti tentang dunia prostiusi. 4 Bagi dunia psikologi, menambah khazanah keilmuan khususnya pada psikologi sosial D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang prostitusi telah banyak dilakukan oleh para ahli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjunnya seorang wanita ke dalam dunia prostitusi yaitu salah satunya karena faktor keterbatasan ekonomi ( Purnomo & Siregar, dalam Yahman , 1999 ; Kartono, 1983 ; Yahman, 1999 ). Semakin berkembangnya zaman, maka faktor keterbatasan ekonomi tersebut mengalami pergeseran, yaitu dengan adanya faktor ingin hidup mewah tanpa perlu bersusah payah, sehingga hal itulah yang membuat para ABG terjun menjadi penjual seks
9

(Patnani, 1999). Sedangkan Wirati (2002) meneliti tentang fenomena para ABG yang menjadi pejual jasa seks di Bali. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dari segi keterkaitan antara informan, yaitu pelacur dengan penyakit menular seksual, di mana penulis belum menemukan penelitian dengan tema tersebut.

Mengulas Pekerjaan Prostitusi


Prostitusi merupakan satu sisi perilaku manusia yang menurut mayoritas masyarakat sebagai tindakan a moral / tidak beradab di kalangan manusia secara normal. Akan tetapi perbuatan ini dijadikan salah satu alternatif kehidupan (life style) dengan motivasi yang berbeda-beda, karena faktor ekonomi, sosial, dan sebagainya. Akar masalah Masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial. Maka adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern yang hyper kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan kecemasan dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan eksternal sifatnya, maupun yang tersembunyi dan internal, sehingga banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum, atau berbuat semau sendiri tanpa mempedulikan gangguan kerugian yang berdampak pada orang lain. Masalah-masalah sosial tersebut dalam sosiologi disebut sebagai pathologi sosial. Pathologi sosial ialah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap sakit disebabkan oleh faktor-faktor sosial,. Disebut juga ilmu tentang penyakit masyarakat. Maka penyakit masyarakat/sosial itu adalah segenap tingkah laku manusia yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum dan adat istiadat, atau tidak terintegrasi dengan tingkah laku umum. Jelaslah, bahwa adat istiadat dan kebudayaan itu mempunyai nilai pengontrol dan nilai sanksional terhadap tingkah laku anggota masyarakatnya. Maka tingkah laku yang dianggap sebagai tidak cocok, melanggar norma dan adat istiadat, atau tidak terintegrasi dengan tingkah laku umum, dianggap sebagai masalah sosial. Orang yang dianggap kompeten menilai tingkah laku orang lain sebagai pathologi itu antara lain: pejabat, polisi, pengacara, haki, dokter, rahaniawan, dan ilmuwan di bidang sosial. Sekalipun mereka adakalanya membuat kekeliruan dalam membuat analisa penilaian terhadap gejala sosial, namun mereka itu pada umumnya dianggap mempunyai peranan menentukan dalam memastikan baik-buruknya pola tingkah laku masyarakat. Faktor-faktor penyebab adanya masalah sosial di atas di antaranya adalah politik, religius, dan sosial budaya, di samping juga faktor ekonomi. Mengenai hal ini, kaum interaksionis dengan teori interaksionalnya menyatakan, bahwa bermacam-macam faktor tadi bekerja sama, saling mempengaruhi dan saling berkaitan satu sama lain; sehingga terjadi, interplay yang dinamis, dan bisa mempengaruhi tingkah laku manusia. Kemudian terjadi perubahan tingkah laku dan perubahan sosial, sekaligus mungkin timbul perkembangan yang tidak imbang dalam kebudayaan, disharmoni atau ketidak selarasan ketidakmampuan penyesuaian diri, konflik-konflik, dan tidak adanya konsensus. Maka muncullah banyak disorganisasi, disintegrasi, dan penyimpangan tingkah laku atau perilaku pathologis. Pandangan psikologis dan psikiatris menyebutkan sebab-sebab tingkah laku pathologis dari aspek sosialnya, sehingga orang melanggar norma-norma sosial yang ada. Antara lain disebut faktor-faktor: intelegensi, ciri-ciri kepribadian, motivasi-motivasi, sikap hidup yang keliru dan internalisasi diri yang salah. Juga konflik-konflik emosional dan kecenderungan

psikoptahologis yang ada di balik tingkah laku menyimpang secara sosial itu. Para sosiolog dengan teori sosiologisnya berpendapat, bahwa penyebab dari tingkah laku sosiophatis itu adalah murni sosiologis atau sosio-psikologis. Tingkah laku sosiophatis itu ditampilkan dalam bentuk: penyimpangan tingkah laku, strukturstruktur sosial yang menyimpang, kelompok-kelompok deviasi; peranan-peranan sosial status dan interaksi simbolis yang keliru,. Jadi, mereka menekankan fakor-faktor cultural dan social yang sangat mempengaruhi struktur organisasi social, peranan, status, partisipasi social dan pendefinisian diri sendiri. Deviasi atau penyimpangan tingkah laku itu sifatnya bisa tunggal; misalnya hanya kriminil saja dan tidak alkoholik atau pecandu bahan-bahan narkotik. Namun juga bisa jamak sifatnya; misalnya seorang wanita tuna susila sekaligus kriminil. Jadi ada kombinasi dari beberapa tingkah laku menyimpang. Deviasi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : a. individu-individu dengan tingkah laku yang menjadi masalah (merugikan dan destruktif) bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri. b. Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi masalah bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain c. Individu-individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi masalah bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Sehubungan dengan lingkungan sosio cultural, deviasi tingkah laku dapat dibedakan menjadi : deviasi individual, deviasi situasional, dan deviasi sistematik. Termasuk ke dalam deviasi situsasional adalah masalah prostitusi/pelacuran. Deviasi situasional disebabkan olehpengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/social di luar individu, atau pengaruh situasi di mana pribadi yang bersangkutan menjadi bagian integral di dalamnya. Situasi tersebut memberikan pengaruh yang memaksa, sehingga individu tersebut terpaksa harus melanggar peraturan dan norma-norma umum atau hukum formal. Seorang Wanita Tuna Susila (WTS) melakukan pelacuran karena perasaan tidak puas terhadap pekerjaan yang lalu, karena upahnya tidak mencukupi untuk membeli perhiasan dan pakaian yang diinginkannya. Selayang pandang tentang Prostitusi (pelacuran) Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat, yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikannya. Pelacuran itu berasal dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan. Sedang prostitute adalah pelacur atau sundal. Dikenal pula dengan istilah Wanita Tuna Susila. Profesor W.A. Bonger dalam tulisannya Maatschap pelijke Oorzaken der Prostitutie menulis definisi sebagai berikut: Prostitusi adalah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Dalam definisi ini jelas dinyatakan adanya peristiwa penjualan diri sebagai profesiatau mata pencaharian sehari-hari, dengan jalan melakukan relasi-relasi seksual. Sarjana P.J. de Bruine Van Amstel menyatakan sebagai berikut: Prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran. Kartini Kartono mendefinisikan prostitusi sebagai bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanap kendali dengan banyak orang (promiskuitas),

disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya. Dengan kata lain pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu nafsu seks, dengan imbalan pembayaran. Kategori pelacuran antara lain: pergundikan, tante girang atau loose married woman, gadisgadis penggilan, gadis bar atau B-girls, gadis-gadis juvenile delinquat, gadis-gadis binal atau free girls, gadis-gadis taxi-girls, penggali emas atau gold-diggers, hostess atau pramuria. Dari segi ciri khas pelacur ini mempunyai beberapa tanda : a. wanita atau gigolo, b. cantik,ayu,rupawan,manis,atraktif menarik baik wajah maupun tubuhnya, c. masih muda, d. pakaiannya sangat menyolok, e. menggunakan teknik seksual yang magnetis, f.bersifat sangat mobil, g. berasal dari strata ekonomi dan strata sosial rendah, h. rata-rata memiliki intelek yang normal. Ada beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran, antara lain : 1. Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, juga tidak ada larangan terhadap orang yang melakukan relasi seks di luar pernikahan 2. adanya dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan 3. komersialisasi dari seks oleh beberapa pihak yang sengaja mengambil keuntungan 4. dekadensi moral 5. semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat manusia 6. kebudayaan eksploitasi terhadap pihak perempuan 7. ekonomi berdasarkan hukum permintaan dan penawaran 8. peperangan dan masa-masa kacau dalam suatu negeri 9. pembangunan dengan mengkonsentrasikan pada pihak laki-laki 10. perkembangan kota dan arus urbanisasi 11. bertemunya macam-macam kebudayaan asing dengan kebudayaan setempat. Selain itu ada juga motif yang melatarbelakangi adanya pelacuran, di antaranya sebagai berikut : a. kecenderungan untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. b. Adanya nafsu seks yang abnormal c. Tekanan ekonomi, seperti kemiskinan d. Aspirasi kesenangan dunia/materi yang terlampau tinggi di kalangan wanita e. Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior f. Rasa ingin tahu para remaja wanita terhadap masalah seks sehingga rela terjerumus dalam dunia pelacuran g. Pemberontakan anak gadis terhadap orang tua mereka yang terlalu menekan/membatasi h. Suka melakukan relasi seks jauh sebelum perkawinan i. Bujuk rayu kaum lelaki dengan segala mimpi-mimpi manisnya, dll Sebagai akibat dari terjadinya pelacuran akan memunculkan beberapa kejadian seperti hal berikut : a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit

b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga c. Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan d. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika e. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama f. Adanya pengeksploitasian manusia datu oleh manusia yang lainnya g. Bisa menyebabkan adanya disfungsi seksual Dari segi aktifitasnya, pelacuran dibagi kepada dua bagian : - Prostitusi terdaftar yaitu pelakunya diawasi oleh bagian vice control dari kepolisian yang dibantu dan bekerja sama dengan bagian social dan kesehatan - Prostitusi tidak terdaftar yaitu mereka yang melakukan prostitusi secara gelap dan liar, baik secara perorangan maupun kelompok. Mengaca pada realita Seperti telah disinggung di awal bahwa fenomena prostitusi baik yang terdaftar ataupun tidak- telah menjadi semacam fenomena gunung es. Berbagai bentuk sebab dan alasan menghiasi setiap tindakan yang kontra dengan budaya ini. Seperti contoh dalam fakta berikut : Di sebuah kecamatan bernama Kroya Kab. Indramayu Jawa Barat ada fenomena ketika murid Sekolah Dasar Negeri Sukamelang 3 akan menghadapi ujian kelulusan bukannya disibukkan dengan tambahan pelajaran yang lebih intensif, malahan mereka cuti sekolah hanya untuk membantu keluarganya dalam hal ekonomi untuk menambah biaya hidup. Hanya usaha yang mereka lakukan bukanlah dengan jualan makanan, barang, atau sejenisnya, tapi mereka rela dijadikan pelayan-pelayan dalam bidang esek-esek di kota-kota besar. Dengan dalih para orang tua mereka telah diberi semacam uang muka berkisar antara 2,5 juta sampai 6 juta sebagai tanda jadi dan berhak membawa puteri-puteri mereka dibawa untuk dieksploitasi. Lebih ironi lagi seandainya kita tahu bahwa ternyata yang menjadi broker-krokernya ada di antaranya yang menjadi Kepala Desa, masyarakat biasa, atau bahkan gurunya pun ikut terlibat. Lain halnya dengan kisah cerita sedih dari Jeane seorang pelacur dari Indramayu, dia terpaksa ikut terjun dalam dunia itu karena rasa sakit hati terhadap mantan pacarnya yang telah rela meninggalkannya dan menikah lagi dengan wanita lain sembari dia telah merabut keperawanan Jeane. Dia menjadi patah arang bahkan hampir prustasi, sebagai pelampiasan hidupnya ia rela menerjunkan diri menjadi PSK untuk mengurangi rasa sakitnya pada sang mantan pacar. Dalam hati kecilnya Jeane menangis dan ingin segera mengakhiri karirnya di dunia hitam tersebut, bahkan ia sempat bermimpi menjadi istri seorang ustadz. Motivasi yang lain selain alasan di atas adalah dunia tersebut dijadikan sebagai PSK yang profesional . Sehingga ia luput dari kenyataan hukum halal haram, selain itu sebagian PSK ada yang terjun karena niatan membantu orang tuanya yang semakin membaik, dan sebagainya. Sebuah Solusi Dalam hal ini ada dua jenis besar yang dapat dilakukan yaitu dengan usaha preventif dan refresif/kuratif. Usaha preventif tentunya dimaksudkan untuk kegiatan mencegah terjadinya pelacuran. Usaha tersebut antara lain :

1. Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan penyelenggaraan pelacuran 2. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan 3. Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak puber dan adolesen untuk menyalurkan kelebihan energinya 4. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita disesuaikan dengan kodrat dan bakatnya 5. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga 6. Pembentukan badan atau team koordinasi dari semua usaha penanggulangan pelacuran, yang dilakukan oleh beberapa instansi 7. Penyitaan terhadap buku-buku atau majalah-majalah cabul forno, film Biru, dll 8. Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sedang usaha refresif/kuratif dimaksudkan untuk menekan (menghapuskan, menindas) dan usaha menyembuhkan para wanita dari ke-Tuna susilaannya. Di antara usaha tersebut adalah : 1. Melalui lokalisaso yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi orang melakukan control yang ketat 2. Melalui aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila 3. Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi wanita tuna susila yang terkena razia disertai pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing 4. Pemberian suntikan dan pengobatan interval waktu yang tetap untuk menjamin kesehatan para prostitute dan lingkungannya 5. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan dunia pelacuran 6. Mengadakan pendekatan kepada pihak keluarga pelacur agar mereka mau menerima kembali wanita-wanita tuna susila tersebut untuk mengawali babak baru kehidupan mereka 7. Mencarikan pasangan hidup yang permanent untuk membawa mereka ke jalan yang benar 8. Mengikutsertakan ex WTS dalam program Trasmigrasi pemerintah di tanah air untuk pemerataan penduduk dan membuka lapangan kerja baru.

Kehidupan Prostitusi dari Segi Sosiologi Hukum Posted by Administrator on Friday Mar 25th at 3:40pm

PENDAHULUAN A. Latar belakang Prostitusi diartikan sebagai pelacur atau penjual jasa seksual atau disebut juga dengan pekerja seks komersial. Menurut istilah, prostitusi di artikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Prostitusi atau pelacuran merupakan penyakit masyarakat yang semakin marak sekarang ini dan mempunyai sejarah panjang. Sejak adanya kehidupan manusia telah diatur norma-norma perkawinan, dan sejak saat itu pula pelacuran sebagai salah satu penyimpangan dari pada norma-norma perkawinan tersebut lahir dimana tidak ada habis-habisnya yang terdapat di semua negara di dunia, tidak hanya di Indonesia. Walaupun prostitusi sudah ada sejak dulu, namun masalah prostitusi yang dulu dianggap tabu atau tidak biasa. Namun pada jaman sekarang, prostitusi oleh masyarakat Indonesia dianggap menjadi sesuatu yang biasa dan hampir ada disetiap daerah, tidak hanya di kota kota besar namun mencakup keseluruh daerah terpencil sekalipun . Norma-norma sosial jelas mengharamkan keberadaan prostitusi, bahkan sudah ada UU mengenai praktek prostitusi yang ditinjau dari segi Yuridis yang terdapat dalam KUHP yaitu mereka yang menyediakan sarana tempat persetubuhan (pasal 296 KUHP), mereka yang mencarikan pelanggan bagi pelacur (pasal 506 KUHP), dan mereka yang menjual perempuan dan laki-laki di bawah umur untuk dijadikan pelacur (pasal 297 KUHP). Dunia kesehatan juga menunjukkan dan memperingatkan bahaya penyakit kelamin yang mengerikan seperti HIV / AIDS akibat adanya pelacuran di tengah masyarakat. Meski demikian, perbuatan prostitusi masih ada, bahkan terorganisir secara profesional dan rapi, Tempat-tempat prostitusi di sediakan, di lindungi oleh hukum bahkan mendapatkan fasilitas-fasilitas tertentu. Konsumennya pun beranekaragam dari orang miskin sampai orang kaya. Dari kalangan pejabat sampai tingkat rakyat biasa pengemudi becak dan juga direktur. Secara nalar sangat sulit untuk dibayangkan ada orang yang ingin hidup untuk menjadi seorang pelacur. Meski ada sebab-sebab lain yang mendorong seseorang itu untuk melacur, namun perbuatannya itu sangatlah tidak rasional. Kebanyakan alasan mereka para pelaku prostitusi hanya ingin mendapat uang banyak dengan mudah dan dalam waktu yang singkat, ada juga karena dari keluarga broken home, keluarga berada namun kurang kasih sayang dan yang paling parah yaitu alasan karena hobi yang ia jalankan. Jadi tidak hanya kepuasaan batin saja, melainkan kepuasaan lahir dan kenikmatan sementara yang ia dapatkan dan rasakan.

Hal ini merupakan PR bagi bangsa kita untuk mencari sebab-sebab yang merongrong seseorang itu untuk berbuat melacur. Sebab-sebab terjadinya pelacuran haruslah dilihat dan dicermati dari faktor-faktor endogen (dari dalam) dan eksogen (dari luar) serta banyak sekali alasan-alasan mengapa wanita dan gadis-gadis bahkan janda-janda memasuki pekerjaan kotor dan hina ini, akan tetapi alasan ekonomi dan psikologi lah yang paling menonjol dari semua alasan yang ada. Sampai sekarang prostitusi belum bisa dihentikan secara merata oleh pemerintah, malah bahkan pemerintah seolah-olah melegalkan praktek ini. Prostitusi seperti sudah mendarah daging dan sulit untuk diputus dan dilepaskan dari para pelaku. Salah satu cara hanya dengan menekan laju praktek-praktek yang berbau prostitusi. B. Permasalahan PEMBAHASAN Dalam suatu masyarakat ada perbuatan yang ditinjau dari sudut pendirian perseorangan diperbolehkan benar-benar, sungguhpun dapat merugikan persekutuan. Hak mogok pada satu bangsa merupakan hal wajar, namun hal tersebut dapat dirasakan sebagai pelanggaran di bangsa yang lain karena dalam kewajiban kerja hal tersebut merugikan persekutuan. Contoh tersebut menggambarkan bahwa sosiologi tentang kesadaran hukum harus berhubungan rapat dengan teori tentang kejahatan sebagai peristiwa sosial, untuk dapat menentukan pendapat terhadap peristiwa kejahatan yang demikian peliknya itu sebagai kenyataan sosial . Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Dalam aspek masyarakat, perubahan yang sangat controversial yaitu dengan adanya praktek praktek prostitusi yang dipandang biasa dalam kehidupan sehari hari. Manusia sejak lahir telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa hidup bersama sama dengan orang lain. Untuk memberikan respon positif terhadap sesama manusia sebagai makhluk yang social. Suatu norma atau kaedah terbentuk sebagai hasil dari perilaku manusia itu sendiri. Tujuan adanya norma yaitu untuk membentuk pribadi manusia yang luhur, taat pada aturan dan selalu bertindak hati hati. Manusia sebagai makhluk social mempunyai daya pikir dan naluri yang kuat terhadap sesama. Dalam kehidupan social, manusia harus dipandang sebagai satuan tabiat kejiwaan yang lebih tinggi dan yang lebih sesuai yang tumbuh dari satuan biologis . Unsur unsur keharusan biologis yaitu : a) Dorongan untuk makan Penyelenggaraan makan lebih mudah dilakukan dengan kerja sama daripada oleh tindakan perseorangan. b) Dorongan untuk mempertahankan diri Pada keadaan primitif, dari pertumbuhan pertama hidup berkelompok manusia, maka dorongan untuk mempertahankan diri harus menjadi cambuk untuk bekerja sama. Juga dengan hasil bahwa kelompok yang paling besar dan paling teratur dapat mengalahkan yang lain. c) Dorongan untuk melangsungkan jenis

Teristimewa penggabungan diri secara naluri untuk pemeliharaan keturunan. Kerabat merupakan gerombolan yang akan menjadi inti dikemudian hari. Tiap tiap proses hidup diatas menunjukkan tiga macam aspek kejiwaan seperti aspek naluri, aspek kebiasaan dan aspek pikiran. Manusia merupakan makhluk yang dapat dipengaruhi oleh saran dan diliputi dengan hubungan hubungan kemanusiaan sebagai lapisan bawah kejiwaan yang merupakan dasar segala bentuk kehidupan bersama. Kewajiban ilmu jiwa social yaitu untuk memberikan penjelasan tentang fungsi pengikat kecenderungan social. Keanehan kecenderungan social yaitu perasaan yang egosentris lebih banyak tergantung dari rekan rekan social daripada yang dapat diduga semula. Sebagai contoh, rasa harga diri, yang tidak hanya dikenal oleh dorongan untuk menjadi berharga, tetapi untuk menampakkan dirinya berharga didepan orang lain. Para pelaku prostitusi telah hilang rasa harga dirinya. Meraka hanya dapat dinilai dengan uang dan didepan orang lain tidak menunjukkan rasa yang sekiranya tidak dapat dinilai dengan uang. Secara sosiologi, prostitusi merupakan perbuatan amoral yang terdapat dalam masyarakat. Para pelakunya tidak hanya dari kalangan remaja, anak dibawah umur melainkan dari kalangan ibu ibu rumah tanggapun ada. Hanya demi untuk mendapat sesuap nasi dan kesenangan sesaat mereka telah mengorbankan kehormatan, harga diri, derajat dan martabatnya didepan laki laki hidung belang. Pemerintah tiap daerah melegalkan tempat tempat prostitusi untuk menaikkan pendapatan daerah dimana secara tidak langsung pendapatan asli daerah menjadi bertambah dan disisi lain sangat menguntungkan pemda. Seperti halnya tempat lokalisasi yang terdapat disetiap daerah wisata. Pemda setempat tidak melarang para pelaku seks komersil untuk beraktifitas dan menjalankan pekerjaannya sebagai pelacur ditempat tersebut. Bahkan diberikan tempat khusus dan syarat syarat tertentu untuk dapat masuk ke area tersebut, sehingga tidak sembarang orang untuk dapat masuk ke tempat itu. Dalam hal ini, bagaimana peran pemerintah pusat dalam menanggulangi dan menutup tempat lokalisasi disetiap daerah melihat sebagian besar pendapatan daerah mengucur dari hasil tempat lokalisasi tersebut. Namun, seakan akan pemerintah pusat pun melegalkan tindakan itu, karena para konsumen yang berdatangan ke tempat tersebut berasal dari golongan pejabat atas juga. Kehidupan para pelaku prostitusi sangatlah primitive. Dilihat dari segi sosiologinya, mereka dipandang rendah oleh masyarakat sekitar, di cemooh, dihina, di usir dari tempat tinggalnya, dan lain lain sebagainya. Mereka seakan akan sebagai makhluk yang tidak bermoral dan meresahkan warga sekitar serta mencemarkan nama baik daerah tempat berasal mereka. Dilihat dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi. Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan martabat wanita. Dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja. Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya. Dari aspek kamtibmas praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-kegiatan kriminal Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan. Permasalahan Prostitusi tidak ubahnya sama dengan manusia pada umumnya, secara garis

besar prostitusi tentunya juga mempunyai suatu makna hidup. Sama halnya dengan manusia atau individu lainnya. Proses penemuan makna hidup bukanlah merupakan suatu perjalanan yang mudah bagi seorang PSK, perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan dalam hidup mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta sikap yang bagaimana yang diberikan terhadap ketentuan atau nasib yang bisa mereka rubah, yang kesemuanya itu tidak bisa lepas dari hal-hal apa saja yang diinginkan selama menjalani kehidupan. Serta kendala apa saja yang dihadapi oleh mereka dalam mencapai makna hidup. Salah satu faktor yang mempengaruhi sosiologi hukum adalah bahwa perbedaan hukum dengna kebiasaan terletak pada unsur kekuasaan resmi, yang dapat memaksakan berlakunya hukum tersebut. Selain daripada itu, hingga kini ada kecenderungan kuat dalam peneterapan hukum, untuk mempertahankan prinsip dan pola yang telah ada dalam sistem hukum. Dalam menguraiakan teori tentang masyarakat Durkheim menaruh perhatian yang besar terhadap kaedah hukum yang dihubungkannya sebagai jenis solidaritas dalam masyarakat, hukum dirumuskan sebagai kaedah yang bersanksi dimana berat ringannya tergantung pada (1) sifat pelanggaran, (2) anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya perilaku tertentu, (3) peranan sanksi tersebut dalam masyarakat . Selain daripada itu terdapat sanksi yang tujuan utamanya adalah pemulihan keadaan (seperti keadaan sebelum terjadinya pelanggaran terhadap kaedah-kaedah yang mungkin menyebabkan kegoncangan dalam masyarakat. Kaedah dengan sanksi semacam itu merupakan kaedah hukum restitutif dengan pengurangan unsur pidana yang terdapat di dalamnya. Kaedah hukum tersebut kemudian dikaitkan dengna bentuk solidaritas yang menjadi ciri masyarakat tertentu, oleh karena itu jenis kaedah hukum merupakan akibat dari bentuk solidaritas tertentu, antara lain: 1. Solidaritas mekanis yang terutama terdapat pada masyarakat sederhana yang relatif masih homogin struktur sosial dan kebudayaannya. Dalam bentuk ini warga masyarakat tergantung pada kelompoknya dan keutuhan masyarakatnya terjamin oleh hubungan antar manusia karena adanya tujuan bersama. 2. Solidaritas organik yang ditandai antara lain adanya pembagian kerja dalam masyarakat yang biasanya dijumpai pada masyarkat yang komleks dan heterogin struktur sosial dan kebudayaannya. Dalam hal ini pengembalian kedudukan seseorang yang dirugikan merupakan hal yang diprioritaskan. Dalam hal ini tujuan utama dari sosiologi hukum adalah untuk menyajikan sebanyak mungkin kondisi yang diperlukan agar hukum dapat berlaku secara efisien. Dalam suatu masyarakat terdapat sebuah gejala sosial yang ruang lingkup nya mencakup antara lain: A. Struktur sosial yang merupakan keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu a. Kelompok sosial b. Kebudayaan c. Lembaga sosial d. Stratifikasi e. Kekuasaan dan wewenang B. Proses sosial yaitu pengaruh timbal balik antara pelbagai bidang kehidupan yang

mencakup a. Interaksi sosial b. Perubahan sosial c. Maslah sosial Berdasarkan hal di atas maka dapat disusun suatu paradigma sosiologi hukum yang ruang lingkupnya adalah pengaruh timbal balik antara hukum dengna gejala sosial lainnya. Secara visuil gambarannya adalah sebagai berikut : Gejala Sosial -> Hukum -> Gejala Sosial Lain Perkembangan dari gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat berangkat dari sebuah hukum kebiasaan yang disebut dengan hukum adat. Dalam apabila hukum adat diidentikkan dengan hukum kebiasaan maka identifikasinya terutama dilakukan secara empiris atau dengan metode induktif. Andaikata titik tolaknya adalah hukum ada yang tercatat maka pengujiannyapun dilakukan secara empiris. Van Vollenhoven dan Ter Haar secara langsung maupun tidak, mengakui hal tersebut. Pendeknya tentang teori hukum adat tersebut dapat ditonjolkkan hal sebagai berikut: 1. Pengembangan ilmu hukum adat dan penelitian hukum adat (baik yang normatif maupun empiris) membuka jalan bagi tumbuhnya atau berkembangknya teori hukum yang bersifat sosiologi. 2. Studi hukum Adat merupakan suatu jembatan yang menghubungkan pendekatan yuridis murni dengna pendekatan sosiologi murni. Secara analogis adalah hubungan antara ilmu hukum pidana dengan kriminologi, yaitu ilmu penitentier 3. Hukum adat mengawali pendekatan kemampuan ke arah interaksi sosial terutama hubungan hukum yang menjadi mengendalikan sosial dan pembaharuan. Dalam hal ini peran dari sosiologi hukum adalah untuk memahami hukum dalam konteks sosial, menganalisa terhadap efektifikasi hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial maupun sebagai sarana untuk merubah masyarakat, dan mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat. Daftar Pustaka Soekanto, Soerjono, Prof. DR. SH. MA., Mengenal Sosiologi Hukum, 1989, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Bouman, P.J., DR, Sosiologi Pengertian dan Masalah, 1976, PT. Kanikus, Yogyakarta.

Prostitusi DALAM LINGKUNGAN MASYARAKAT


oleh: elangray

Pengarang : Elang Hamang Udhi

Belum dinilai Kunjungan : 31 kata:900

More About : praktek pekerjaan sosial dan prostitusi


Summarize It

Pelacuran adalah suatu masalah kehidupan yang serius, meskipun berbagai hal dilakukan untuk mengantisipasi makin berkembangnya masalah ini tetapi para konsumen dari jasa seksual selalu hadir dan mengundang adanya tanggapan dari kemauan yang telah dianggap sebagai kebutuhan ini terutama pada sebagian masyarakat pelabuhan di Kabupaten Batang. Kami melihat bahwa masalahnya bukan ada pada perkembangan penjualan jasa seksual yang kini makin nyata dan terbuka ditengah publik tetapi justru pada kebutuhan pasar akan hal ini yang semakin sulit dihilangkan. Dapat dikatakan bahwa berbagai penyebab seperti masalah ekonomi, gengsi terhadap lingkungan, ketidakpuasan dalam pernikahan dan coba-coba bagi anak muda yang belum mengenal pernikahan ditengarai menjadi penyebab meningkatnya kebutuhan akan wanita pelacur. Hal lainnya adalah karena suatu penyakit seks yang tidak terobati sehingga ada keinginan untuk melakukan hubungan seks meskipun harus membayar secara khusus dengan harga yang beragam. Sementara itu dilihat dari sisi wanita pelacur, dapat di simpulkan bahwa sebagai wanita yang berhak hidup dengan pilihannya maka jelas adalah hal yang salah jika melacur menjadi sebuah pilihan dalam hidup seperti dalam kasus Shanti dan Wendy. Tujuan yang baik dan hasil yang sesuai tujuan sekalipun bukanlah alasan untuk dapat melacurkan diri karena tindakan ini adalah tindakan bodoh dan merugikan diri sendiri serta bertentangan dengan norma agama dan adat istiadat. Akibat mungkin baik secara ekonomi seperti kasus Shanti tapi akibat jangka panjang membuktikan bahwa hal itu akan menjadi catatan kelam sepanjang hidup dan jelas sangat merugikan dalam membangun hubungan dan pergaulan. Meskipun pemerintah menyusun larangan pada hubungan yang tidak sehat namun rumah remah-remang tersedia di berbagai tempat, khususnya di area Bong Cino di lingkungan pelabuhan dan mendapat persetujuan dengan dalil hubungan harus dilakukan dengan menggunakan pengaman semisal kondom, entah apa maksudnya. Namun yang jelas semua kembali lagi pada pelaku pelacuran itu sendiri dan para konsumen dari jasa seksual itu. Kesadaran etis untuk melihat hal ini adalah hal yang sangat diperluhkan disamping berbagai pertimbangan yang hadir karena pandangan lingkungan dalam masyarakat, Agama, pemerintah dan lain halnya. Untuk menghapus kegiatan prostitusi bukanlah hal yang mudah, karena sejak jaman Nabipun yang namanya praktik prostitusi memang sudah ada. Selama manusia masih mempunyai

nafsu, selama alasan sosial masih menjadi momok apalagi di negeri ini. Prostitusi akan terus ada dimanapun tempatnya. Selama ini dalam membrantas prostitusi yang dilakukan Pemerintah hanya menimbulkan masalah baru dalam Lingkungan masyarakat. Contoh yang seperti kita dengar atau kita lihat, dalam prakteknya aparat pemerintah dengan petugas Satpol atau pihak Kepolisian hanya mengusir dan menggusur lokasi-lokasi prostitusi, dan solusi yang ada para WTS yang tertangkap hanya dikenakan tindak pidana ringan, kemudian dibawa ke dinas sosial untuk diberi ketrampilan, padahal ketrampilan yang diberikan oleh dinas sosial, padahal ketrampilan yang diberikan belum tentu dapat diterima dan diterapkan di lingkungan. Seperti pelatihan menjahit, menyulam, memasak dll. Semua itu tidak bisa mendatangkan nilai ekonomi yang dapat merubah hidup mereka menjadi benar. Dan masalah baru yang timbul, pada akhirnya mereka banyak mangkal di jalanan, prostitusi terselubung yang berada di perumahan-perumahan warga, kasus perselingkuhan di masyarakat naik, penularan HIV/AIDS menjadi tidak terpantau. Jika Pemerintah sedikit arif dalam memandang kegiatan prostitusi ini, dan semua lapisan masyarakat atau sebagian ormas menyadari dan bijak bahwa sesungguhnya setiap orang mempunyai jalan dan tujuan hidup masing-masing. Dalam mengatasi masalah prostitusi untuk 100% hilang di muka bumi ini sangat tidak mungkin. Satu-satunya solusi yang terbaik adalah pemerintah harus menyediakan lahan yang jauh dari lingkungan penduduk, kemudian segala kegiatan prostitusi harus berpusat ditempat itu, ketegasan dari aparat hukum juga perlu ditingkatkan, jika ada kegiatan prostitusi diluar tempat yang sudah ditentukan harus ditindak tegas. Adapun keuntungan yang diperoleh dari solusi tersebut, yaitu pemerintah dapat memantau kesehatan para pelaku prostitusi, penarikan pajak pendapatan dari tempat tersebut bisa lebih tinggi, karena itu juga dapat mengurangi sedikit demi sedikit para pelaku, Setiap orang pasti tidak akan mau untuk terjun dalam dunia prostitusi . apalagi wanita pelacur adalah sama kita yang berhak mendapatkan perlakuan manusiawi karena mereka juga adalah makhluk ciptaan yang mungkin saja khilaf dalam bertindak. Keberpihakan itu tidak berarti kita harus menghalalkan pelacuran, tetapi saran kami adalah kita mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan. Sekarang sudah saatnya semua pihak, termasuk birokrat, peneliti, akademisi, agamawan, dan praktisi, duduk bersama dan berusaha menemukan solusi efektif untuk menyelesaikan masalah prostitusi. Kita tidak perlu menangani isu ini dengan sikap yang terlalu emosional dan bertindak melebihi hakim seperti pada sebagian ormas yang kita tahu selama ini, tetapi sebagai manusia yang hidup dengan berbagai kebutuhan, kita akan selalu diperhadapkan dengan pilihan termasuk dalam memenuhi kebutuhan itu. Kita harus secara serius membicarakan masalah lain yang juga menentukan kasus pelacuran, misalnya dalam hal kemiskinan dan sulitnya mendapatkan pekerjaan. Pelacuran adalah sebuah tanda ketidakmampuan untuk menghadapi kerasnya hidup walau ada yang memang telah menjadikan dunia ini sebagai tempat mencari uang atau ladang usaha. Saya menyadari bahwa terkadang manusia cenderung berpikir secara cepat dalam menghadapi tekanan hidup tetapi adalah sangat tepat jika kita sebagai warga muslim juga melihat dalam kacamata iman pada pengharapan akan Allah SWT yang memelihara kita umat ciptaan-Nya dan memaksimalkan setiap potensi dan kemampuan secara aktif dalam hidup. Sebuah perkataan ora et labora jelas meganjurkan hidup bergantung pada Allah tapi juga mau bekerja sesuai kemampuan dan jelas harus halal.

Masalah prostitusi/ pelacuran atau tuna susila yang hidup, tumbuh dan berkembang di masyarakat merupakan masalah yang sangat kompleks dan rumit serta tidak dapat hilang dari permasalahan hidup manusia, karena kenyataan adanya permintaan dan penawaran. Pelacur (Wanita Tuna Susila ) kadang diistilahkan sebagai Wanita Penjaja Seks dan akhirakhir ini lebih popular dengan istilah Pekerja Seks Komersial (PSK). Meningkatnya fenomena pelacuran sejalan dengan terjadinya krisis ekonomi yang akhirnya menjadi krisis multi dimensi, sehingga meningkatkan pelacuran baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini mendorong pemerintah untuk lebih serius lagi mengembangkan program penanganan masalah pelacuran serta mencari terobosan baru, karena harus berpacu dengan pesatnya peningkatan jumlah WTS, terutama yang berasal dari kelas bawah. WTS usia muda perkembangannya tidak hanya di kota-kota besar, tetapi telah meluas sampai ke kota kecil, daerah waisata. Daerah industri baru. Kendala utama yang dihadapi dalam penanganan WTS adalah pendidikan mereka yang umumnya rendah, tidak memiliki keterampilan, keinginan mendapat uang dengan cara mudah, maraknya eksploitasi wanita, rendahnya kontrol sosial pada sebagian masyarakat, sehingga menambah kompleksnya tantangan yang harus dihadapi oleh petugas di lapangan. Masalah pelacuran atau masalah tuna susila yang hidup dan berkembang di masyarakat ini merupakan masalah nasional yang menghambat lajunya pelaksanaan pembangunan karena: Tindakan Tuna Susila merupakan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat, norma-norma serta kaidah agama dan kesusilaan serta merendahkan harga diri atau martabat bangsa Indonesia. Mempengaruhi sendi-sendi kehidupan dan penghidupan masyarakat, baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, ketertiban dan keamanan. Masalah tersebut cenderung terus meningkat serta sering kali terjadi penyimpangan di dalam kegiatan dan kehidupan masyarakat. Pengaruh negatif yang diakibatkan masalah ketunasusilaan ini sangat membahayakan kehidupan generasi muda serta sumber daya manusia sebagai harapan bangsa. Berdasarkan hal itu, masalah tuna susila merupakan masalah yang kompleks dan

multidimensional, sehingga memerlukan penanganan secara komprehensif, terpadu dan berkesinambungan, atas dasar kerjasama berbagai disiplin ilmu dan profesi, seperti pekerjaan sosial, dokter, psikolog, guru serta profesi lainnya. Selain itu kerjasama antar instansi terkait baik pemerintah maupun swasta di tingkat pusat maupun daerah, dengan ditunjang oleh organisasi sosial masyarakat. Dalam perkembangan pembangunan kesejahteraan sosial menunjukan bahwa kesadaran dan tanggungjawab sosial sebagian masyarakat mulai timbul, sehingga keinginan untuk berperan serta menangani masalah kesejahteraan sosial termasuk penanganan WTS mulai tumbuh dan berkembang melalui berbagai usaha kesejahteraan sosial. Departemen Sosial RI cq. Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, sampai saat ini hanya memiliki satu Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) dengan daya tampung 110 orang, dan jangka waktu kegiatan selama 6 bulan. Ketidakseimbangan jumlah WTS yang meningkat dari tahun ke tahun dengan keterbatasan kemampuan pemerintah untuk memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial melalui PSKW, mendorong pemerintah mencari alternatif pemecahan dalam meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi tuna susila, yaitu dengan sistem non panti. Ini dipandang sebagai penangan yang cukup efektif, efisien dan bermanfaat dengan jangka waktu kegiatan 4 bulan, yang kemudian diberikan bimbingan lanjut. PSKW Mulya Jaya Jakarta merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Departemen Sosial RI yang memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada Penyandang Masalah Tuna Susila atau Wanita Tuna Susila, antara lain melalui kegiatan pembinaan fisik, mental, sosial, mengubah sikap dan tingkah laku, pelatihan keterampilan, resosialisi dan pembinaan lanjut agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya dan mandiri dalam kehidupan bermasyarakat.

B. LANDASAN HUKUM
1. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 27 ayat 2, pasal 28 & pasal 34. 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konfensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan. 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah. 5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

6. Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 7. Undang-Undang RI. No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. 8. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Penghapusan Trafiking Perempuan dan Anak. 9. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor : 106/HUK/2009 Tentang Organisasi dan tata Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial. 10. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 20/HUK/1999 tentang Rehabilitasi Sosial Bekas Penyandang Masalah Tuna Sosial.

C. KEBIJAKAN
Kebijakan dalam pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Wanita Tuna Susila adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan dan memantapkan peranan masyarakat dalam menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang masalah sosial dengan melibatkan semua unsur dan komponen masyarakat yang didasari oleh nilai nilai swadaya, gotong royong dan kesetiakawanan sosial, sehingga upaya tersebut merupakan usaha usaha kesejahteraan sosial yang melembaga dan berkesinambungan. 2. Meningkatkan jangkauan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang lebih adil dan merata, agar setiap warga negara khususnya penyandang masalah kesejahteraan sosial berhak untuk memperoleh pelayanan yang sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas kehidupan. 3. Meningkatkan mutu pelayanan dan rehabilitasi sosial yang semakin profesional, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial. 4. Memantapkan manajemen pelayanan sosial yang dilakukan dengan penyempurnaan yang terus menerus dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi dan melaporkan serta mengkoordinasikan dan memadukan dengan sektor-sektor lain dan pemerintah daerah, sehingga pelayanan dan rehabilitasi sosial menjadi semakin berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada public.

D. VISI dan MISI


VISI

Pelayan dan Rehabilitasi Tuna Susila yang bermutu dan profesional

MISI a. Melaksanakan Pelayanan dan Rehabilitasi Tuna Susila sesuai dengan panduan yang telah ada. b. Mewujudkan keberhasilan pelayanan dan rehabilitasi Tuna Susila sesuai dengan indikator keberhasilan, pelayanan dan rehabilitasi tuna susila. c. Mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, pemerintah dan masyarakat dalam rangka meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi tuna susila.

E. SEJARAH BERDIRINYA
Tahun 1959 : Sebagai Pilot Proyek Pusat Pendidikan Wanita, merupakan proyek percontohan Depsos. Tahun 1960 : Dibuka Menteri Sosial RI Bapak H. Moelyadi Djoyomartono (Alm) dengan nama Mulya Jaya berdasarkan motto tanggal 20 Desember 1960, yaitu Wanita Mulya Negara Jaya. Tahun 1963 : Diresmikan menjadi Panti Pendidikan Wanita ( PPW ) Mulya Jaya tanggal 1 Juni 1963. Tahun 1969 : Diresmikan menjadi Pusat Pendidikan Pengajaran Kegunaan Wanita ( P3KW ) Tahun 1979 : Ditetapkan menjadi Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila ( PRWTS) Mulya Jaya dengan SK Menteri Sosial RI

No. 41/HUK/Kep/XI/1979 tanggal 1 Nopember 1979. Tahun 1994 : Ditetapkan menjadi Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mulya Jaya dengan Keputusan Menteri Sosial RI No. 14/HUK/1994 tanggal 23 April 1994. Tahun 1995 : Ditetapkan menjadi Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mulya Jaya dengan Keputusan Menteri Sosial RI No. 22/HUK/1995 tanggal 24 April 1995.

Panti Sosial Karya Wanita "Mulya Jaya" Jakarta JL. Tat Twam Asi Komplek Depsos Pasar Rebo Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Jakarta Timur, Telp (021) 8400631 Sosial email : pskw_mulyajaya@depsos.go.id Kementerian Sosial Republik Indonesia

You might also like