You are on page 1of 9

Tugas Mata Kuliah Dasar-Dasar Komunikasi Pemasaran

Analisis SWOT Sutera Sengkang

Disusun Oleh : Andi Mohammad Mentarifajar Anis (E 311 09 259)

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Tahun 2012

Sutera Sengkang

Sengkang yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Wajo letaknya kurang lebih 250 km dari Makassar Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan sejak dulu dikenal sebagai kota niaga karena masyarakatnya yang sangat piawai dalam berdagang. Disamping dikenal sebagai kota niaga, Sarung Sutera menjadikan ibukota Kabupaten Wajo semakin akrab ditelinga dan hati orangorang yang pernah berkunjung ke kota ini, kelembutan dan kehalusan tenunan sarung sutera Sengkang sudah sedemikian dikenal bahkan hingga kemancanegara. Menengok ke masa yang lalu, aktivitas masyarakat Wajo dalam mengelola persuteraan sudah dilakukan secara turun temurun baik diusahakan sebagai kegiatan sampingan maupun dikelola dalam skala industri rumah tangga bahkan sampai industri menegah. Hampir disetiap kecamatan di daerah ini ditemukan kegiatan persuteraan dimulai dari kegiatan proses hulu sampai ke hilir, kegiatan pemeliharaan ulat sutera hingga proses pemintalah menjadi benang yang kemudian ditenun menjadi selembar kain sutera. Dalam bahasa lokal (Bugis) sutera disebut dengan "Sabbe", dimana dalam proses pembuatan benang sutera menjadi kain sarung sutera masyarakat pada umumnya masih menggunakan peralatan tenun tradisional yaitu alat tenun gedogan dengan berbagai macam motif yang diproduksi seperti motif, diantaranya "Balo Tettong" (bergaris atau tegak), motif "Makkalu" (melingkar), motif "mallobang" (berkotak kosong), motif "Balo Renni" (berkotak kecil). sobbi'-sobbi', bunga lare', bori' kaca, remaja, cobbo', tunrung majang, bunga caggellung, sobbi' subhana, parabola, unga barelle. Selain itu ada juga diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan "Wennang Sau" (lusi) timbul serta motif "Bali Are" dengan sisipan benang tambahan yang mirip dengan kain Damas. Melihat Potensi perkembangan sutera di Wajo, pada tahun 1965 seorang tokoh perempuan yang juga seorang bangsawan "Ranreng Tua" Wajo yaitu Datu Hj. Muddariyah Petta Balla'sari memprakarsai dan memperkenalkan alat tenun baru dari Thailand yang mampu memproduksi sutera asli (semacam Thai Silk) dalam skala besar. Beliau juga mendatangkan seorang ahli pertenunan dari Thailand untuk mengajarkan penggunaan alat tenun tersebut kepada masyarakat setempat sekaligus menularkan berbagai ilmu pertenunan sehingga mampu menghasilkan produksi sutera yang berkualitas tinggi. Berawal dari prakarsa inilah sehingga memacu ketekunan dan membuka wawasan kreativitas masyarakat dan pengrajin yang lain untuk mengembangkan kegiatan persuteraan di Kabupaten Wajo.

Pengembangan Persuteraan Kegiatan pengembangan persuteraan di Kabupaten Wajo dapat ditemui disemua Kecamatan yang ada namun khusus dalam pengembangan persuteraan alam dan produksi benang sutera terkonsentrasi di Kecamatan Sabbangparu dan daerah pengembangannya tersebar di Kecamatan Pammana, Kecamatan Tempe, Kecamatan Bola, Kecamatan Gilireng, dan Kecamatan Majauleng. Sedangkan sentra industri penenunan sutera terdapat di Kecamatan Tanasitolo dan daerah pengembangannya tersebar di Kecamatan Tempe, Kecamatan Majauleng, dan Kecamatan Pammana. Kegiatan pengembangan persuteraan baik Industri Hulu yang meliputi persuteraan alam dengan penanaman Tanaman Murbey, Pemeliharaan Ulat Sutera (Bombyx mori, sp), dan produksi kokon serta Industri Hilir yang meliputi pemintalan benang sutera, pertenunan kain sutera, hingga pengembangan deversifikasi produk asal sutera dapat di jumpai di Kabupaten Wajo. Latar belakang orang Wajo yang dikenal memiliki jiwa enterpreneurship yang tinggi berdampak pada tingginya motivasi mereka untuk mengembangkan komoditas sutera dengan berkreasi dan selalu mencara inovasi baru serta menciptakan berbagai macam produk asal sutera bahkan menjalin hubungan kerjasama dengan pengusaha-pengusaha Pertekstilan dari Pulau Jawa termasuk designer-designer ternama Indonesia.

Pengembangan Tanaman Murbey Tanaman Murbey (Morus, sp) adalah tanaman yang merupakan tanaman utaman dalam pemeliharaan ulat sutera sehingga keberadaan mutlak dibutuhkan dalam kegiatan persuteraan alam pemeliharaan ulat sutera. Penanaman Murbey yang sentra pengembangannya ditemui di Kecamatan Sabbangparu, Kecamatan Gilireng dan Kecamatan Takkalalla hingga saat menempati luas lahan sekitar 240 hektar menggunakan sistem penanaman berupa pertanaman murni, pertanaman tumpang sari, dan tanaman pekarangan. Jika diasumsikan produksi 140 ton daun murbey per hektar maka lahan Tanaman Murbey di Kabupaten Wajo potensi produksinya bisa mencapai 33.600 ton daun Murbey dan dapat memenuhi pemeliharaan 48.000 box telur ulat sutera. Adapun Jenis Species Tanaman Murbey yang dikembangkan meliputi Morus nigra, Morus cathayana, Morus alba, Morus multicaulis, Kanva dan S 54. Tanaman Murbey di Kabupaten Wajo untuk jangka waktu yang akan datang dibutuhkan pemikiran untuk dikembangkan bukan hanya terbatas sebagai bahan manakan ulat sutera

tetapi jauh lagi dilakukan deversifikasi penggunaannya sebagai Tanaman Biofarmaka atau campuran bahan kosmetik, karena berdasarkan penelitian yang ada (Mien Kaomini) menyatakan bahwa Murbey mengandung banyak bioaktif, daun mudanya dapat dibuat sayur sehat yang berkhasiat menurunkan tekanan darah tinggi, memperbanyak ASI, mempertajam penglihatan, dan baik untuk pencernaan. Sedangkan buahnya bermanfaat untuk memperkuat ginjal, meningkatkan sirkulasi darah, mengatasi sembelit, dan orang Tiongkok percaya bahwa buah Murbey dapat mempertajam pendengaran. Disamping itu kulit pohon Murbey dapat diracik sebagai obat astma, muka bengkak, dan batuk serta akar pohon Murbey dapat direbus sebagai penawar demam.

Produksi Kokon Kokon adalah produk hasil pemeliharaan ulat sutera. Keberhasilan pemeliharaan ulat sutera dapat dilihat dari jumlah dan kualitas kokon yang dihasilkan. Hingga saat ini produksi kokon yang mampu dihasilkan oleh pemeliharan ulat sutera di Kabupaten Wajo berkisar dari 18-40 kg per box, atau sekitar 416.771 kg kokon pertahun. Namun tantangan yang masih terjadi adalah mutu produk hasil kokok yang ada masih tergolong rendah yang berdampak pada rendahnya harga jualnya sehingga berpengaruh terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani pemelihara ulat sutera. Walaupun demikian hampir semua produk hasil tersebut masih terserap oleh pasar disebabkan karena tingginya permintaan pasar. Oleh karena itu input teknologi yang lebih maju dan pengembangan kapasitas petani dan kelembagaannya perlu mendapat perhatian demi meningkatkan produksi dan kualitas kokon yang dihasilkan dimasa yang akan datang.

Industri Pemintalan Sutera Industri pemintalan sutera di Kabupaten Wajo berkembang dalam beberapa tingkatan bila dilihat dari operasionalnya yaitu menggunakan alat reeling dengan sistem manual, semi mekanis, dan semi otomatis. Setidaknya terdapat 91 orang pengrajin yang menggeluti usaha ini dengan mempekerjakan sekitar 822 orang tenaga kerja. Dengan menggunakan alat mesin pemintal sebanyak 274 unit mereka mampu menghasilkan benang sutera mentah belum siap tenun sebanyak 6.389 kg pertahun, dan selanjutnya benang sutera tersebut harus melalui proses penggintiran (twisting) lagi untuk mendapatkan benang sutera twist tenun. Kondisi inilah yang memberikan pilihan kepada pengusaha pengrajin pertenunan sutera untuk menggunakan benang sutera dari daerah lain seperti dari Kabupaten Enrekang, Kabupaten Minahasa, bahkan menggunakan benang sutera import yang sudah ada walaupun

dengan harga yang lebih mahal demi memenuhi tuntutan kualitas permintaan pangsa pasar yang ada. Memperhatikan kondisi industri pemintalan sutera ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo merespon dengan mendatangkan peralatan laboratorium 1 unit pada tahun 2005 dan alat mesin pemintalan otomatis sebanyak 6 unit pada tahun 2008 dimana pada saat ini telah dimanfaatkan denga baik oleh pengusaha pengrajin sutera sehingga mampu memperbaiki dan meningkatkan mutu benang sutera yang dihasilkan. Peralatan lain yang diadakan pemerintah adalah alat mesin finishing sutera 1 unit, namun belum dipergunakan secara optimal yang disebabkan karena pengoperasionalan mesin ini membutuhkan keahlian khusus dan biaya yang tidak sedikit sehingga dalam jangka waktu yang akan datang dibutuhkan pelatihan personal dan tambahan modal operasional bagi pengusaha pengrajin sutera yang memiliki minat dan komitmen yang kuat untuk pengembangan sutera di Kabupaten Wajo.

Industri Pertenunan Sutera Industri pertenunan sutera merupakan kegiatan yg paling banyak di geluti oleh pelaku persuteraan di Kabupaten Wajo, Hal ini di latar belakangi oleh prodik kain setera yang di hasilkan mempunyai nilai kegunaan yang di padukan dengan nilai estetika budaya setempat. Perpaduan nilai tersebut menghasilkan kerakteristik yang tersendiri yang mencirikan produk kain sutera khususnya sarung khas Sengkang ( lipa sabbe to sengkang = sarung sutera Sengkang). Dalam perkembangannya pengrajin pertenunan Sutera bukan saja menghasilkan kain sarung tetapi sudah mampu memproduksi produk kain lain seperti kain motif teksture dalam bentuk kain puth dan warna, maupun kain yang di tenun dengan memadukan benang Sutera dengan bahan serat lainnya sehingga memberikan banyak pilihan bagi para peminat produk sutera. Dalam proses produksinya pengrajin lebih banyak menggunakan alat pertenunan tradisional alat tenun bukan mesin (ATBM) dan pengembangannya, Namun melalui teknik inovasi dan kerja keras yang di miliki pengrajin mampu menghasilkan Produk yang berkualitas tinggi bahkan memiliki nilai di bandingkan dengan produk mesin dan alat pertenunan moderen.

Alat Tenun Gedogan Alat tenun gedogan adalah alat tenun tradisional sederhana yang di gerakkan oleh tangan. Alat ini tersebar di pelosok di pedesaan di Kabupaten Wajo dan biasanya di gunakan secara

turun menurun oleh para ibu-ibu rumah tangga dan para gadis desa. Hasil dari alat tenun gedogan lebih banyak dalam bentuk kerajinan tenun sutera (lipa' sabbe) yang di kenal dengan kerajinan tenun Sutera rumah tangga. Bertahannya alat ini hingga sekarang di Bumi Lamakdukelleng Kabupaten Wajo, karena orang Wajo meneladani kepiawaian mereka mempertahankan tradisi secara dinamis yakni membuka diri ke arah perubahan tetap menjaga ciri khas Bugis Wajo, mereka bersedia mengadopsi inovasi teknis yang di anggap berguna, dengan di landasi ketekunan dan pantang menyerah dengan perhatikan perkembangan pasar dan permintaan konsumen . Beberapa corak motif dan khas Wajo dan sarung sutera yang di hasilkan seperti : Bali are, Balo Renni, Balo kette, cora subbi lobang, mappagiling, dan pucuk si kadang.

Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) adalah semua bentuk perlatan yang dapat membuat kain tenun di gerakkan oleh tenaga mesin melainkan di gerakkan secara manual dengan tenaga manusia. ATBM di sebut juga alat tenun model TIB berasal dari kata Testile Inrichting Bandung, karena lembaga inilah yang mula-mula menciptakan alat tenun ini di Indonesia sejak tahun 1912 . ATBM pertama kali masuk dan di pergunakan di Kabupaten Wajo pada tahun 1950an dimana pada awalnya hanya memproduksi kain sarung samarinda. Seajak tahun 1980an mulai memproduksi sarung sutera dengan motif balo tettong hingga dalam perkembangan selanjutnya ATBM bukan saja memproduksi kain sutera tetapi lebih di kembangkan dengan memproduksi kain motif testure polos, selendang, perlengkapan bahan pakian, asesoris rumah tangga,hotel,kantor dan sebagainya berdasarkan permintaan pasar dan konsumen. ATBM yang di lengkapi dengan 3 jenis alat berdasarkan penggerak gun yang di gunakan dapat di memproduksi berbagai motif kain, yaitu : ATBM Roll/Kerek (roda gila)yang di lengkapi dua pedal dan satu Roll dapat menghasilkan kain dengan motif anyaman polos / plat dan turunannya. ATBM dobbi, menghasilkan kain dengan motif anyaman plat, keper, satin dan turunannya serta kain berlapis. ATBM jakart/Jacquard, menghasilkan kain dengan motif anyaman plat, keper, satin dan turunan serta jenis kain berlapis dengan variasi yang lebih komplit di bandingkan ATBM dobbi.

Analisis SWOT

1. Strengthness (Kekuatan) a. Hampir seluruh warga di kota Sengkang menggeluti kerajinan sutra. Mereka pun melakukan proses pemeliharaan ulat sutra di rumah-rumah. Bahkan hingga menanam murbei di halaman mereka sebagai pakan ulat sutera. b. Sutera Sengkang memiliki berbagai macam motif dan hingga kini para perajin lokal terus membuat motif-motif baru. c. Tenun, bagi masyarakat bugis bukan semata mata pencaharian, melainkan bagaimana menjaga budaya yang diwariskan nenek moyang untuk menghargai alam dan mahakarya. Tenun sutera sudah dijadikan warisan turun-temurun yang harus dikuasai anak beranak sehingga masih tetap eksis sampai saat ini. d. Sutera sudah menjadi slogan dan motivasi bagi masyarakat Wajo, yang berarti Sejahtera, Ulet, Tenteram, Ramah dan Aman. Hal tersebut sudah mengakar di masyarakat Wajo. Itulah yang membuat mengapa masyarakat Wajo tidak melupakan warisan nenek moyangnya. e. Sutera tidak hanya dijual di daerah Sulawesi, tetapi juga banyak diminati kalangan industri tekstil dari Pulau Jawa dan Sumatra. Sedang pasar mancanegara yang dilayani selama ini melalui perantaraan Pemkab. Wajo, di antaranya Cina, Hong Kong, Malaysia, Taiwan dan Korea. f. Dibanding dengan kain lainnya, kain sutera asli memiliki keunggulan tersendiri, karena bisa bertahan sampai puluhan tahun. Maka tidak salah, jika sarung sutera sering dijadikan cenderamata khas, khususnya bagi pejabat-pejabat di Sulsel saat menerima tamu penting baik dari dalam maupun luar negeri.

2. Weakness (Kelemahan) a. Proses pengerjaan sutera sengkang cukup panjang, karena melalui beberapa tahapan dari penanaman murbei, pemeliharaan ulat sutera, pengolahan benang sutera setelah itu, baru dilakukan proses pewarnaan pencelupan, kemudian dilakukan pemintalan hingga proses akhir penenunan. b. Perajin lokal masih menggunakan alat tenun gedogan dan ATBM, sehingga menyebabkan produksi sutera sengkang dalam sebulan masih bisa dihitung jari. c. Petani ulat sutra yang perlahan menghilang sehingga menyebabkan minimnya pasokan benang sutra. Bibit ulat sutra (kokon) sudah sejak lama sulit diperoleh

sehingga peternak kokon tidak bisa memproduksi benang sutra dalam jumlah besar. d. Minimnya SDM, SDA, dan SDT perajin lokal menyebabkan produksi sutera sengkang lambat. e. Masih belum berjalannya dengan baik organisasi yang menghimpun pengusaha persuteraan khususnya di Sulawesi Selatan. f. Belum adanya klasifikasi harga terhadap produk sehingga dapat menimbulkan persepsi yang keliru terhadap produk sutera yang di hasilkan.

3. Opportunity (Kesempatan) a. Bermunculan upaya yang dilakukan oleh stakeholder persuteraan yang ada baik pengrajin atau pengusaha persuteraan maupun instansi pemerintah dan lembaga pemberdayan lainnya untuk berkomitmen dalam mengutamakan kepentingan persuteraan dan nama baik Kabupaten sebagai daerah penghasil produk sutera yang berkualitas. b. Pengembangan komoditas sutera sengkang di Sulsel tersebut terus dipacu dengan pola one village one product (OVOP). Program pengembangan produk unggulan melalui OVOP adalah salah satu model kegiatan penjabaran kebijakan pemerintah sesuai Inpres Nomor 6 Tahun 2007, tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. c. Menarik perhatian para investor untuk melakukan kerja sama atau menjalin kemitraan dengan para pelaku kegiatan persuteraan (perajin lokal) di Kabupaten Wajo. Dengan masuknya investor khusunya investor lokal mampu meningkatkan modal usaha para perajin lokal sehingga berdampak positif pada produksi sutera sengkang. d. Jiwa enterpreneurship yang tinggi dimiliki masyarakat Wajo, mampu memberikan motivasi yang tinggi kepada mereka untuk mengembangkan komoditas sutera dengan berkreasi, sehingga para perajin lokal mampu membuat inovasi baru untuk menciptakan berbagai macam produk asal sutera bahkan menjalin hubungan kerjasama dengan pengusaha-pengusaha Pertekstilan dari Pulau Jawa termasuk designer-designer ternama Indonesia.

4. Threat (Ancaman) a. Belum tertatanya dengan baik pemasaran produk sutera utamanya dalam pemasaran luar daerah dan pulau Jawa sehingga sering menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Umumnya para perajin lokal hanya memasarkan sutera itu pasar-pasar tradisional. Selebihnya, tak ada pilihan lain, sutera itu dijual dengan harga murah kepada pengusaha lokal. Para pengusaha itu yang kemudian mengeruk keuntungan besar dengan mamasarkannya ke mancanegara. b. Benang sutera lokal mulai tersisihkan sejak kehadiran benang sutera pabrikan (viskos) dan benang sutera impor (India, Masres, Hongkong). Hal ini dikarenakan produksi benang lokal sangat minim, benang pabrikan dan impor itu harganya lebih murah, hasil tenunnya juga lebih cepat. Harga per kg sebesar Rp 650.000,-. Satu kg bisa menghasilkan sampai 30 meter kain dan per meternya dihargai Rp 80.000,-. c. Belum adanya upaya maksimal dalam perlindungan hak cipta utamanya kreasi motif dan design yang mengakibatkan kerugian bagi pengrajin yang berorientasi terhadap bidang tersebut. d. Para pengusaha asing bisa menguasai pasar domestik dan Mancanegara. Hal ini disebabkan karena beberapa pengusaha lokal belum bisa mengembangkan usahanya lebih luas karena kekurangan dana disebabkan karena tingkat keyakinan perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya unuk mendanai kegiatan persuteraan masih rendah. e. Masih ada beberapa pengusaha atau pengrajin yang belum konsistensi mempertahankan kualitas produk yang di hasilkan dan hal-hal lain yang biasa di jumpai oleh pengusaha atau pengrajin di bidang lainnya.

You might also like