You are on page 1of 18

Tugas Makalah Padi dan Jagung

BUDIDAYA TANAMAN PADI DENGAN SISTEM SURJAN DI LAHAN RAWA

Nama Kelompok : Harry Sugestiadi ( 0806132041) Adi Bambang Irawan (0806134751 ) Leo Noza Aguasta (0806134563) Hary Suranto ( 0806132058) Yoyon Andriadi (0806132075)

PRODI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU 2010

BUDIDAYA TANAMAN PADI DENGAN SISTEM SURJAN DI LAHAN RAWA

PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani utamanya petani padi baik pada lahan irigasi, tadah hujan,lahan kering, lahan rawa pasang surut dan rawa lebak. Namun sampai sekarang 60 % produksi nasional masih dipasok dari lahan-lahan subur di Pulau Jawa yang notabene adalah lahan irigasi. Sedangkan lahan-lahan di luar Jawa terutama lahan rawa lebak masih dipandang sebagai lahan marjinal, sehingga perhatian masih sangat kurang yang beraikbat pada produksi maupun kontribusnya masih kurang. Kedepan, nampaknya produksi beras nasional tidak akan cukup hanya dipasok dari lahan-lahan subur saja, mengingat perkembangan penduduk yang masih besar 1,5%, sementara pertanian pada tahun 2006 baru mencapai 0,89% untuk Pulau Jawa dan 1,91% untuk Luar Jawa. Sehingga upaya peningkatan produksi sebesar dua juta ton dalam program P2BN tentu akan sulit dicapai tanpa mengikutkan sertakan lahan rawa lebak yang punya potensi sangat besar, tetapi pemanfatannya belum optimal (Alihamsyah dan Ar-Riza, 2004). Hal tersebut akan mejadi semakin nampak jika dikaitkan dengan berbagai kendala/masalah yang dihadapi dalam tahun-tahun terakhir. Menurut Pasaribu, 2007 sedikitya ada sembilan masalah yang dihadapi: (1) Degradasi lahan dan air, luas lahan yang rusak diperkirakan sudah mencapai luas dua juta hektar akibat dari berbagai sebab, diantaranya karena salah kelola, terlanda pencemar lingkungan baik oleh penggunaan kimia pertanian yang berlebih atau buangan limbah industri, (2) Alih fungsi lahan, tingkat kecepatannya sangat merisaukan 150.000ha/th, sementara kemampuan mencetak sawah hanya 5000-6000 ha/th, (3) Fragmentasi lahan pertanian, sebagai akibat sistem budaya membagi waris termasuk luasan sawah yang sudah sempit menjadi semakin terbagi-bagi, (4) Krisis infra struktur, infra struktur merupakan komponen sistem pertanian yang amat vital untuk mendukung keberhasilan sistem pertanian yang dulaksanakan, utamanya adalah jaringan irigasi yang saat kini diperkirakan sekitar 45% jaringan yang ada dilahan irigasi pada kondisi rusak dan 68-70% jaringan saluaran air yang ada di lahan pasang surut juga rusak. Sementara program pembanguan jaringan baru maupun rehabilitasi sampai kini masih terkendala, (5) Variabilitas Iklim, pada decade terakhir ini telah terjadi perubahan iklim yang signifikan yang variabilitasnya cukup besar, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya cekaman kekeringan disuatu wilayah dan justru kebanjiran di wilayah lainnya
2

(6) Krisis SDM pertanian, untuk menghela pembangunan pertanian seperti yang diinginkan dalam program pembangunan pertanian tentu diperlukan tenaga pertanian yang handal, sementara sekitar 77% tenaga pertanian sudah pada kondisi usia tua, (7) Krisis sarana produksi, pemanfaatan teknologi masih jauh panggang dari api, adalah salah satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan memprihatinkan. (8) Krisis pembiayaan, petani pada umumnya belum mampu menerapkan teknologi bertani maju karena terbentur pembiayaan, sementara untuk sektor ini masih relatif kecil dan upaya pengayaan modal petani masih harus dilakukan terus menerus, (9) Kualitas produksi, pada era globalisasi yang tidak akan bisa dicegah maka masalah kualitas produksi akan menjadi ukuran yang harus dipenuhi agar produk pertanian kita mampu bersaing,oleh karena itu upaya kearah peningkatan kualitas perlu diprogramkan dengan baik. Kondisi yang dipaparkan di atas, memang cukup merisaukan masa depan sistem pertanian kita. Sebenarnya petani kita, utamanya petani padi lahan rawa, telah mempunyai setumpuk pengalaman yang diperoleh dari berbagai pengamatan dan kegiatan yang telah dikerjakan dalam masa yang lama dari generasi ke generasi, sehingga mempunyai kearifan dalam mengatasi berbagai masalah lingkungan, yang sering disebut sebagai kearifan ekologi maupun kearifan lokal (Soemarwoto,1982). Sehingga kearifan lokal tersebut sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi untuk menciptakan inovasi teknologi baru dalam memajukan pembangunan pertanian. Fenomena munculnya padi organik sebagai salah satu upaya pemenuhan kualitas produksi yang akhir-akhir ini mulai bergema, sebenarnya telah lama dilaksanakan oleh petani lahan rawa dan terbukti mampu mempertahankan daya dukung lahan, sehingga tidak mengalami degradasi dan tetap lestari walaupun pada rerata hasil yang belum tinggi. Keberhasilan usaha tani padi di lahan rawa sangat ditentukan oleh kondisi cuaca setempat dan wilayah sekitarnya terutama daerah hulu, yang akan berpengaruh langsung pada kondisi air rawa. Air rawa yang menyurut secara perlahan akan sangat memudahkan bagi petani untuk menentukan saat tanam yang tepat, tetapi sebaliknya air rawa yang menyurut berfluktuasi tidak teratur akibat curah hujan yang sangat fluktuatif akan menyulitkan petani dalam menentukan saat tanam yang tepat (Ar-Riza 2000). Pemilihan lokasi dan penentuan saat tanam yang tidak tepat utamanya untuk pertanaman padi surung akan membawa resiko gagal panen akibat terkena cekaman redaman air akibat air rawa yang terus meninggi. Pada budidaya musim kemarau, kondisi air rawa yang menyurut secara perlahan akan sangat memudahkan bagi petani untuk menentukan saat tanam yang tepat, tetapi sebaliknya air rawa yang menyurut berfluktuasi tidak teratur akibat curah hujan yang sangat fluktuatif akan menyulitkan petani dalam menentukan saat tanam yang tepat (Ar-Riza,2000 dan Alihamsyah dan Ar-Riza, 2004). Penentuan saat tanam yang terlambat akan membawa resiko gagal panen akibat terkena cekaman kekeringan pada saat menjelang berbunga, sedangkan saat tanam yang terlalu cepat, akan membawa resiko terendamnya bibit yang baru ditanam, akibat air rawa yang naik kembali karena curahan hujan yang masih fluktuatif. Hasil padi rintak umumnya lebih tinggi dibanding banding surung,berkisar 3-4 t/ha namun berdasar potensinya hasil tersebut masih relative rendah (Ar-Riza dan Alihamsyah, 2005).
3

Kendala utama yang dihadapi dalam budidaya padi adalah fluktuasi perubahan tinggi air rawa yang sering sangat besar dan mendadak, tidak jarang terjadi bibit yang baru ditanam tenggelam dan mati. Sehingga pemilihan lokasi dan penentuan saat tanam adalah dua hal yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan budidaya padi surung. Oleh karena kendala kendala tersebut, luas pertanaman padi relatif lebih sedikit dibanding dengan luas pertanaman padi rintak (Ar-Riza, 2000). Hasil padi urung masih relatif lebih rendah (2,0-3,0 t/ha), hal ini disebabkan kegiatan pemupukan tidak dapat dilaksanakan secara sempurna, terutama jika kondisi airnya cukup dalam. Cara pemupukan pada budidaya padi umumnya masih dilakukan dengan cara sebar metara, sehingga kesempatan memupuk hanya ada pada saat tanam, dan jika waktu tersebut terlewatkan maka kesempatan memupuk tersebut hilang, karena setelah air menjadi dalam pemupukan dengan cara sebar tidak lagi efektif (Ar-Riza 1992, Waluyo dan Supartha 1994) Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui pembudidayaan padi di lahan rawa dengan system surjan serta mengetahui bagaimana penerapan dari system tersebut agar cocok untuk di lahan rawa dan juga cocok dan berpengaruh optimal bagi perkembangan dan pertumbuhan tanaman padi

PEMBAHASAN Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Sistem surjan adalah salah satu contoh usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi tanaman di lahan rawa. Berdasarkan sistem pembuatan, surjan dapat dibagi menjadi dua cara pembuatan yaitu : (1) yang dibuat sekaligus, dan (2) yang dibuat secara bertahap (tukungan). Karena dalam pembuatan surjan sekaligus diperlukan tenaga kerja sekitar 500 HOK/ha yang tentunya memerlukan biaya yang besar, maka petani tradisional di Kalimantan banyak memilih cara bertahap dengan membuat tukungan/gundukan. Dengan dimensi awal lebar bawah 23 m, tinggi 0,5-0,6 m dan setiap musim panen dilebarkan dan ditinggikan. Apabila tanaman yang dibudidayakan cukup besar maka tukungan ini duhubungkan atau tersambung memanjang satu sama lain membentuk surjan. Untuk tanah sulfat masam potensial pengolahan tanah dan pembuatan surjan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara bertahap dan tanahnya diambil dari lapisan atas dimaksudkan untuk menghindari oksidari pirit. Sistem surjan adalah salah satu contoh usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi tanaman di lahan rawa. Di lahan pasang surut tipe luapan B dan C dapat dikembangkan penataan lahan sistem surjan, dengan dimensi lebar surjan 3-5 m, dan tinggi 0,5- 0,6 m, sedangkan tabukan
4

dibuat dengan lebar 15 m. Setiap ha lahan dapat dibuat 6-10 surjan, dan 5-9 tabukan. Untuk tipe luapan D lebih baik untuk sistem pertanian lahan kering. Untuk tanah gambut tekstur lapisan tanah dibawahnya sangat menentukan dalam pola pemanfaatan lahannya. Arah surjan disarankan memanjang timur-barat agar tanaman (padi) pada bagian tabukan mendapat penyinaran matahari yang cukup. Untuk mempertahankan bentuk dan produktivitasnya, surjan setiap musim atau setiap tahun dilibur (disiram lumpur) yang diambil dari sekitarnya. Untuk meningkatkan daya guna lahan pasang surut, dapat dikembangkan dengan tanaman padi dan non padi, tanaman padi dapat ditanam di areal sawah, sedangkan tanaman selain padi dapat ditanam di lahan keringnya. Gabungan cara pengelolaan demikian disebut dengan sistem surjan. Menurut Anwarhan (1986) dan anonim (1985) adalah sebagai berikut : (1) untuk diversifikasi tanaman (2) menjaga agar tanah tidak menjadi asam (3) mengurangi bahaya kekeringan (4) mengurangi keracunan akibat genangan (5) resiko kegagalan dapat diperkecil (6) pendapatan petani dapat ditingkatkan dan (7) cropping intensity bertambah. Penerapan sistem surjan memerlukan investasi yang lebih besar, investasi terdiri dari investasi pembuatan surjan dan investasi pembelian alat-alat seperti cangkul, parang dsb.

Sistem Surjan Sistem surjan merupakan suatu cara pengelolaan tanah dan air yang disesuaikan dengan kondisi alam setempat. Namun yang perlu diperhatikan dalam menggunakan system ini adalah penerapan pola tanam tumpang sari ( multi croping ) yang berkelanjutan dan produktif dalam waktu lama. Dengan penerapan system surjan, maka lahan akan menjadi lebih produktif karena pada lahan tersebut akan tersedia dua tatanan lahan, yaitu : (1) lahan tabukan yang tergenang (digunakan untuk menanam padi adatu digabungkan dengan budidaya ikan) (2) lahan guludukan sebagai lahan kering (digunakan untuk budidaya palawija, buah-buahan, tanaman tahunan/perkebunan) Kegiatan studi lahan di wilayah perencanaan perlu mendapat perhatian. Studi lahan tanah berkaitan dengan aspek air, tanaman dan iklim. Oleh karena itu, perencanaan dan implementasinya perlu dilakukan secara efektif dan efisien sesuai dengan karakteristiknya. Berikut ini beberapa macam lahan untuk merancang sistem surjan : >Lahan di daerah irigasi Lahan tanah yang layak untuk irigasi umumnya digunakan untuk penanaman padi dengan tekstur tanah liat, lempung liat sampai sangat liat, dengan kedalaman solum yang memadai. Lahan ini cocok untuk tanah persawahan maupun sistem surjan. Pola tanam dilakukan sesuai dengan
5

kebiasaan dan ketersediaan air irigasi Untuk lahan tanah nonirigasi atau lahan kering, irigasi berdasarkan tadah hujan, air tanah umumnya dalam, tekstur tanah lempung atau liat, dengan suatu rekayasa lahan ini dapat dibangun sistem surjan yang hanya dilakukan pada musim penghujan. >Lahan daerah banjir Di daerah cekungan atau dataran banjir, dapat dijumpai tanah lempung liat atau liat, adanya lapisan keras atau tanah alluvial, dan kondisi genangan banjir tertentu yang dapat dimanfaatkan sebagai sawah atau dapat dikelola dengan sistem surjan. >Lahan dataran rendah Dataran rendah berupa rawa di dalam pengelolaannya perlu dilakukan dengan cermat sesuai dengan prinsip pengelolaan yang tepat karena kondisi lahan yang memiliki berbagai kendala agrofisik. Genangan air di lahan dataran rendah dapat dibedakan yang dipengaruhi oleh air pasang dan yang hanya dipengaruhi oleh curah hujan. Macam-macam lahan dapat dibedakan sebagai berikut: (a) Lahan potensial Umumnya tanah alluvial mempunyai bermacam tekstur tanah dari tanah lempung, tekstur lempung liat berpasir halus, sampai tekstur liat berdebu. Dengan tanah ini dapat direncanakan pembangunan sistem surjan dengan memperhatikan tipe genangan banjir daerah setempat. (b) Lahan sulfat masam Tanah sulfat masam merupakan tanah alluvial, tetapi mempunyai lapisan yang mengandung bahan racun pirit atau lapisan sulfidik , pH rendah, kesuburan rendah, yang biasa dijumpai di lahan pertanian rawa. Untuk menata lahan dan air untuk sawah atau sistem surjan,diperlukan kajian yang teliti yaitu tipe genangan atau peluapan air setempat. Surjan berbentuk lajur-lajur tanah tinggi sebagai bedengan atau guludan, yang berselang seling dengan tanah rendah, sebagai tabukan atau parit saluran. Penampang melintang berbentuk trapesium atau empat pesegi panjang, tergantung macam tanah yang membentuknya, dan dinyatakan dalam kemiringan

Penentuan jarak antarparit surjan Ada dua macam cara untuk menentukan jarak antarparit surjan, cara pertama surjan dipandang sebagai lahan dengan irigasi parit (furrow irrigation) dan cara kedua guludan surjan sebagai lahan budi daya tanaman dikelola secara intensif dengan dukungan kecukupan air sepanjang hari. Sesuai dengan keadaan lapangan, surjan bagian bawah atau tabukan mempunyai ukuran lebih lebar dari parit surjan sempit, dari beberapa meter, 3 meter, 5 meter sampai dengan 15 meter, 12 meter sampai dengan 14 meter atau 10 meter sampai dengan 20 meter yang ditanami padi
6

sawah. Bagian atas dengan ukuran beberapa meter, 3 meter sampai dengan 6 meter, tinggi guludan 0,6 meter yang ditanami palawija seperti tanaman kacang tanah, kedele , jagung, atau tanaman sayuran Apabila ditanam pepohonan atau tanaman keras khususnya, sebaiknya arah lajur membentang timur - barat agar areal lahan mendapat sinar matahari penuh sepanjang hari.. Pada tabukan dataran rendah dianjurkan untuk membuat saluran cacing atau kemalir, yaitu saluran sedalam 20 cm yang dibuat di sekeliling petakan sawah atau tabukan dengan interval 6 meter sampai dengan 9 meter, yang berguna untuk mencuci senyawa beracun yang mengganggu tanaman terutama tanaman padi.(khususnya daerah rawa pasang surut)

Persiapan Pembuatan Irigasi Persiapan dimaksudkan agar pemberian air ke petak lahan dapat dilaksanakan sesuai rencana sebelumnya. Beberapa hal berikut agar diperhatikan dalam persiapan. (a) Jaringan yang terdiri dari bangunan dan saluran dipastikan berfungsi dengan baik dengan pemeliharaan dan perbaikan seperlunya. (b) Apabila jumlah air sedikit, pemberian air dilakukan secara giliran atau rotasi. (c) Untuk musim penghujan khususnya, saluran pembuang harus benar-benar berfungsi dengan baik, dengan pemeliharaan dan perbaikan, serta kelebihan air hujan dapat dibuang. (d) Kesiapan kegiatan operasi dan pemeliharaan yang dilkelola oleh organisasi P3A, sesuai dengan kebutuhan dan pola tanam. Tingkat teknis pemberian air Rencana pemberian air di petak surjan dan tahapan pemeliharaan yang sesuai dengan tingkatan teknis pembagian dan pemberian air, dibedakan atas tiga macam yang berikut: (a) Jaringan sederhana atau belum teknis, belum ada bangunan tersier, saluran pembawa dan pembuang belum terpisah, setiap sawah dapat mengambil air langsung dari saluran tersier, air dapat dialirkan ke petak, dan kelebihan air dapat dibuang. (b) Jaringan semiteknis, bangunan tersier sudah ada, saluran pembawa dan pembuang sudah terpisah, sekelompok sawah mempunyai satu tempat pengambilan di saluran tersier, air dapat diatur namun belum dapat diukur. (c) Jaringan teknis, bangunan tersier sudah ada, saluran pembawa dan pembuang sudah terpisah, dapat untuk rotasi baik antar sub tersier atau antar petak kuarter, air dapat diatur dan diukur. Pola tanam Perlu disusun pola pertanaman pada satu petak lahan dalam siklus satu tahun danpelaksanaan masa tanam musim penghujan atau kemarau ditetapkan dengan jadwal tanam sesuai dengan program jaringan utama. Sistem surjan berkembang di daerah irigasi di tempattempat tertentu sesuai dengan kondisi setempat yang mendukung, misalnya di Brebes dengan penanaman bawang merah, dengan irigasi sederhana, semiteknis maupun teknis Tanaman bawang
7

merah banyak diproduksi di daerah ini sebagai produk andalan, dibudidayakan dengan pola tanam sayuran atau palawija di musim kemarau dengan sistem surjan sempit, sedangkan penanaman padi dilaksanakan di musim penghujan. Kebutuhan air di petak surjan Banyaknya pemberian air yang dialirkan pada petak surjan yaitu di areal pertanaman, secara kuantitatif dapat diperkirakan atau dihitung dengan beberapa perumusan sebagai berikut. (a) Air yang digunakan tanaman atau consumptive use (CU) adalah terdiri dari transpirasi dan evaporasi atau disebut evapotranspirasi (ET). (b) Kebutuhan air adalah air yang digunakan tanaman ditambah dengan perkolasi (ET + P) (c) Kebutuhan air irigasi terdiri dari kebutuhan air dikurangi curah hujan efektif (ET + P) - Re (d) Kebutuhan air untuk areal pertanaman adalah sama dengan kebutuhan air irigasi ditambah air hilang yang tidak diperlukan dari areal pertanaman (ET + P Re + S) (e) Kebutuhan air yang diperlukan dari sumber (yang dihitung dari kebutuhan air untuk areal pertanaman) harus ditambah air yang hilang dalam saluran pembawa Penanaman Rencana diversifikasi tanaman pada surjan lebar dengan cara tumpang sari di areal lahan tabukan tanaman padi, di guludan ditanam palawija dan / atau sayuran. Pada surjan sempit dengan program tanam palawija dan atau sayuran di guludan dapat ditanam dengan intensitas tanam sesuai dengan kebiasaan dan kondisi setempat. Pada guludan dapat pula ditanam tanaman industri seperti kopi, jahe yang ditumpang sarikan dengan palawija atau sayuran.

Pelaksanaan Sistem Surjan >Alat pengerjaan tanah Beberapa peralatan tradisional yang masih umum digunakan adalah antara lain sabit , parang, cangkul, garpu, sekop, penggaruk tanah, garu kecil, dan alat pembantu lainnya seperti antara lain benang, patok kayu, palu, dan pipa plastik untuk penyipat datar. >Pembersihan lapangan

Pembersihan lapangan antara lain meliputi pembersihan sisa-sisa jerami dan rumput rumputan yang ada, pembersihan pohon-pohon besar, semak belukar dengan cara memotong atau memangkas menggunakan sabit atau parang dan sejenisnya. Tanah juga perlu dibersihkan dari batu-batu besar atau tanggul-tanggul yang masih tertinggal, dengan menggunakan cangkul. >Pengolahan tanah Perlu dibedakan pengolahan tanah kondisi kering dan basah. *Pengolahan tanah pada kondisi kering Beberapa macam pekerjaan pengolahan tanah pada kondisi kering, berupa mencangkul atau membajak, menyisir, dan membuat bedengan atau guludan. >Mencangkul atau membajak Apabila petakan tanah sempit, tanah diolah cukup dengan mencangkul saja, tetapi apabila petakan luas, pengerjaannya dapat dikerjakan dengan cara membajak dengan maksud untuk mempercepat selesainya pekerjaan. Tujuan mencangkul atau membajak adalah untuk memecah dan membalik tanah, serta memcampur tanah lapisan atas yang baik dengan lapisan di bawahnya. Cara ini dapat menambah bahan organis untuk memperkaya zat hara yang sangat dibutuhkan bagi kehipupan tanaman. >Menyisir atau menggaru Pekerjaan menyisir tanah dimaksudkan adalah untuk lebih menghancurkan dan menggemburkan tanah agar akar-akar tanaman dapat tumbuh lebih mudah masuk kedalam tanah. *Pengolahan tanah kondisi basah Untuk menghasilkan tanah yang baik bagi tanaman padi, tanah perlu dikelola dengan sebaik-baiknya, ditandai dengan tanah yang melumpur sempurna, dengan kedalaman sedalam 15 cm sampai dengan 25 cm, dengan menggunakan cangkul, bajak atau traktor. Keuntungan lain pengolahan tanah secara sempurna seperti tersebut di atas adalah dapat mengurangi atau memperlambat kehilangan air permukaan akibat rembesan atau infiltrasi sehingga genangan air permukaan dapat dipertahankan lebih lama. Caranya sama dengan pada mengerjakan pengolahan tanah secara kering.

Penerapan di Lahan Rawa/lebak Lahan rawa semakin penting peranannya dalam upaya mempertahankan swasembada beras dan mencapai swasembada bahan pangan lainnya, mengingat semakin berkurangnya lahan subur untuk area pertanian di Pulau Jawa akibat alih fungsi lahan ke perumahan dan keperluan non pertanian lainnya. Potensi lahan rawa di Indonesia mencapai 14 juta hektar, terdiri dari rawa dangkal seluas 4.166.000 ha, rawa tengahan seluas 6.076.000 ha, dan rawa dalam seluas 3.039.000 ha (Adhi, et al., dalam Rafieq, 2004). Sebagian lahan rawa ini belum dimanfaatkan untuk usaha pertanian sehingga potensi pengembangannya masih sangat besar.
9

Rawa adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun, minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan disebut lahan rawa lebak. Rawa yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton, sedangkan jika kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara laut/sungai besar disebut rawa pedalaman. Atau dapat juga diartikan dengan sawah rendahan yang tergenang secara periodik sekurang-kurangnya tiga sampai enam bulan secara kumulatif dalam setahun, dan dapat kering atau lembab tiga bulan secara komulatif dalam setahun. Rawa secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah genangannya. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4-7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Pada musim kemarau muka air tanah di lahan rawa lebak dangkal dapat mencapai > 1 meter sehingga lebih menyerupai lahan kering (upland). Lahan rawa dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2.000-3.000 mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan Bahan induk tanah rawa umumnya berupa endapan aluvial sungai, endapan marin, atau gambut yang terbentuk pada periode era Holosen, yaitu sejak 10.000 sampai 5.000 tahun silam yang jauh lebih tua jika dibandingkan dengan endapan di delta sepanjang sungai yang diperkirakan terbentuk antara 2.500-3.000 tahun silam (Prasetyo et. al., 1990; Furukawa, 1994; Neuzil, 1997). Sifat fisika tanah dari lahan rawa umumnya tergolong masih mentah, sebagian melumpur, kandungan lempung (clay) tinggi, atau gambut tebal dengan berbagai taraf kematangan dari mentah (fibrik) sampai matang (saprik). Lapisan bawah dapat berupa lapisan pirit (FeS2) yang berpotensi masam; atau pasir kuarsa yang miskin hara; sifat kimia, kesuburan, dan biologi tanah tergolong sedang sampai sangat jelek. Hidrologi atau sistem tata air kebanyakan lahan rawa sangat buruk. Ketersediaan sarana dan prasarana tata air yang mendukung belum memadai sehingga kinerja pengatusan (drainage), pelindian (leaching), dan penggelontoran (flushing) belum mampu mempercepat perkembangan tanah. Potensi pertanian di lahan rawa cukup luas dan beragam. Watak dan ekologi masingmasing lokasi dan tipologi lahan rawa merupakan faktor penentu dalam penyusunan pola tanam dan jenis komoditas yang dibudidayakan. Pola tanam dan jenis komoditas yang dikembangkan di lahan rawa dapat didasarkan pada tipologi lahan. Lahan rawa sebagian besar dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya padi yang dapat dipilah dalam pola (1) padi sawah timur (sawah rintak) dan (2) padi sawah barat (sawah surung). Sawah timur pada musim hujan tergenang sehingga hanya ditanami pada musim kemarau. Sawah timur ini umumnya ditanami padi rintak, yaitu padi sawah irigasi yang berumur pendek (high yielding variety) seperti varietas IR 42, IR 64, IR 66, cisokan, ciherang, cisanggarung, mekongga,
10

kapuas, lematang, margasari (tiga varietas terakhir merupakan padi spesifik rawa pasang surut) dengan hasil rata-rata 4-5 ton per hektar. Lahan rawa mempunyai peran penting dalam upaya mempertahankan swasembada beras dan mencapai swasembada pangan lainnya mengingat semakin berkurangnya lahan subur untuk area pertanian. Kata lebak diambil dari bahasa jawa yang berarti lembah atau tanah rendah. Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4-7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah. Pada musim kemarau muka air tanah di lahan rawa lebak dangkal dapat mencapai kurang dari satu meter sehingga menyerupai lahan kering. Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2.000-3.000 mm per tahun denga 6-7 bulan basah (bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah hujan bulanan lebih dari 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan kering adalah bulan yang mempunyai curah hujan bulanan kurang dari 200 mm). Sifat fisika tanah dari lahan rawa lebak umumnya tergolong masih mentah, sebagian melumpur, kandungan lempung tinggi, atau gambut tebal dengan berbagai taraf kematangan dari mentah sampai matang. Lapisan bawah dapat berupa lapisan pirit (FeS2) yang berpotensi masam, atau pasir kuarsa yang miskin hara, sifat kimia, kesuburan dan biologi tanah tergolong sedang sampai sangat jelek. Kegiatan Budidaya >Syarat Tumbuh Pertumbuhan tanaman padi di tanah lebak dapat berlangsung baik, asalkan memenuhi persyaratan sebagai berikut: Di musim kemarau, air tanah lebak (rawa) mengalir perlahan-lahan dan tidak dapat kering Diakhir musim kemarau, pada saat lebak kering selama 1-2 bulan, padi diusahakan mendekati tua, sebab pada saat itu sangat baik untuk proses kematangan buah padi Panen, panen harus selasai pada saat air menggenangi tanah lebak di awal musim hujan Syarat-syarat varietas padi yang di tanam di tanah lebak adalah: Varietas berumur pendek (genjah) yaitu 5-5 bulan karena sangat dipengaruhi oleh kondisi air, walaupun umur padi itu genjah tapi karena proses metabolism yang lambat maka panen padi lebak akan memakan waktu yang sangat lama.Varietas yang peka terhadap lama penyinaran. Varietas padi unggul baru maupun varietas local >Persiapan Tanam Dalam persemaian padi, hal-hal yang perlu dilaksanakan yaitu lahan (media pertanaman) harus diperhatikan waktu yang tepat yakni dengan cara melakukan pengolahan tanah pada awal musim kemarau (sekitar bulan maret/april). Karena tanah lebak bertekstur lumpur, maka
11

pengolahan tanahnya berbeda dengan pengolahan tanah padi sawah. Pada tanah lebak pengolahan tanah tersebut cukup dengan cara membersihkan tumbuhan liar saja. >Persemaian Dalam persemaian padi lebak dapat dilakukan dengan dua cara persemaian yaitu: 1. Persemaian terapung Yakni persemaian yang dilakukan diatas permukaan air dengan bantuan rakit, karena pada saat tinggi air pada tanah lebak masih diatas 40 cm. persemaian tersebut dapat dilanjutkan dengan persemaian lanjutan pada tanah lebak yang dangkal airnya. Persemaian denga cara ini dapat dilakukan dua atau tiga kali. Cara pelaksanaan 1. Mula-mula di buat persemaian berukuran 3x1 meter dengan menggunakan benih sebanyak 1 kg, yang dilakukan diatas rakit khusus untuk persemaian 2. Benih yang sebelumnya sudah dikecambahkan di tangkarkan di persemaian dengan jarak 8x10 cm, masing-masing 2-3 sendok makan, kemudian ditutup daun pisang selama satu minggu 3. Selama bibit berumur satu minggu, maka daun penutup tadi harus dibuang dan semai dibiarkan tumbuh tanpa pelindung 4. Bibit segara ditanam, apabila tinggi air ditanah lebak sudah menurun menjadi 30-40 cm dan bibit telah berumur tiga minggu 5. Apabila tinggi air di tanah lebak masih diatas 40 cm, maka bibit masih bisa dipertahankan. Akan tetapi bibit tadi harus di pindahkan pada tanah yang dangkal airnya (20-30 cm) 6. Luas persemaian kedua ialah 5 atau 6 kali luas persemaian sebelumnya dengan tujuan untuk penjarangan 7. Cara penyemaian kedua dapat dilakukan sebagai berikut: mula-mula ujung bibit dipotong, sehingga tinggi bibit menjadi 20-30 cm dan tiap rumpun ditanam 2-3 bibit kedalam penanaman (semai) 5 cm jarak tanam 15x15 cm 8. Persemaian ketiga dapat dilakukan bila bibit telah berumur 20-30 hari. Di persemain kedua tidak dapat ditanam di tanah lebak, akibat tinggi air ditanah lebak belum mencapai 30-40 cm. Caranya adalah menyiapkan tanah yang airnya dangkal seluas 5 atau 6 kali persemaian yang kedua, yakni menunggu turunnya air di tanah lebak hingga mencapai 30-40 cm
12

2. Persemaian darat Persemaian darat yaitu persemaian yang dilakukan diatas pematang (tepi sungai pekarangan atau pun di tanah rendah) Waktu penyemaian dilakukan pada bulan pebruari Keperluan benih untuk persemaian di darat adalah sebanyak 30-40 kg/ha. Dalam persemaian darat benih yang dibutuhkan lebih banyak dari persemaian terapung yang hanya diperukan 25-30 kg/ha, karena pada persemaian terapung kemungkinan rusaknya bibit pada waktu pencabutan sangat kecil dibandingkan dengan persemaian darat. Cara persemaian a. Menyiapkan tanah pekarangan, pematang pinggiran sungai atau pada bagian tanah yang rendah, untuk dibersihkan dari rerumputan b. Sebelum benih disemai, harus di rendam terlebih dahulu selama 2 malam, hal ini di maksudkan untuk perkecambahan. c. Membuat lubang sedalam 2-3 cm dengan jarak 8-10 cm, pembuatan lubang ini dapat dilakukan dengan tugal d. Setiap lubang dimasuki benih sebanyak 2-3 sendok makan e. Untuk mencegah kerusakan akibat serangan hama, hujan deras ataupun kekeringan, maka setelah benih dimasukkan kedalam lubang, kemudian lubang di tutup kembali dengan menggunakan tanah atau pun daun-daun kering. f. Untuk persemaian tahap berikutnya (persemaian kedua dan persemaian ketiga) seperti yang dilakukan pada persemaian terapung.

>Penanaman Penanaman padi dilahan sawah dapat dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kondisi genangan air yang ada. Penanaman terlebih dahulu dilakukan pada kondisi lahan yang genangan airnya sudah mulai berkurang, saat pemindahan bibit diusahakan bibit dalam kondisi masih segar untuk mengurangi terjadi stress pada tanaman. Bibit padi yang siap tanam bila bibit telah mencapai ketinggian 20-25 cm. Dengan ketinggian 20-25 cm dimaksudkan penanaman dilakukan pada waktu awal musim kemarau, atau telah berumur 20-30 hari di persemaian, jarak tanam yang digunakan dalam budidaya tanaman padi di lahan lebak 20x25 cm. Agar tanaman bisa tumbuh seperti yang di inginkan, maka dalam penanaman perlu di perhatikan hal-hal seperti berikut: 1. Umur bibit
13

Pada saat umur bibit sudah mencapai 50-90 hari dan tinggi air ditanah lebak antara 30-40 cm dengan ketinggian ini dimaksudkan penanaman dilakukan pada musim hujan, maka bibit dapat segera di tanam, yaitu sekitar bulan juni. 2. Cara memindahkan dan menanam bibit Pada saat melakukan pencabutan bibit diusahakan agar supaya akar tidak banyak yang terputus, kemudian ujung daun bibit dipotong agar tidak banyak terjadi penguapan. Dengan demikian panjang bibit menjadi sekitar 60 cm 3. Cara menanam Penanaman dilakukan dengan melubangi tempat-tempat yang akan di tanami dengan alat tugal, jarak tanamannya diatur 30x40 cm, dan setiap lubang ditanam 2-3 bibit. Penanaman padi lebak sangat dipengaruhi oleh musim sehingga penanamannya berbeda dari penanaman padi sawah karena berhubungan dengan pengairannya. 4. Pemeliharaan Pemeliharaan padi di lahan sawah lebak meliputi: Pembersihan dari gulma/tanaman liar (penyiangan I dan II) Pemeliharaan dari serangan hama seperti tikus, pengerek batang padi dan belalang Pembersihan disekitar pematang dilakukan untuk mencegah serangan dari hama tikus dan dimaksudkan tikus tidak bersarang di pematang Pemupukan tidak dilakukan pada padi lebak karena sulit untuk menentukan dosis yang dibutuhkan, dan kebutuhan untuk P sudah tersedia di alam. Dalam pemeliharaan yang perlu dilakukan adalah penyiangan, pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan dapat dilakukan hingga 3 kali, yang disinangi adalah rumput-rumputan serta tumbuhan air lainnya. Penyiangan dilakukan setiap sebulan sekali. Penyiangan pertama dimulai pada saat tanaman berumur 30 hati setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit di tanah lebak sama dengan cara-cara yang dilakukan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada system padi sawah karena hama dan peyakit pada umumnya sama >Pemupukan Disebar rata di permukaan lahan. Keadaan air sawah pada saat memupuk harus macak-macak. Pengapuran penting untuk menurunkan kemasaman tanah, terutama pada lahan sulfat masam Takaran kapur: 1 ton per hektar. Waktu pengapuran: 2 minggu sebelum tanam. >Perlindungan Tanaman
14

Hama yang banyak menyerang pertanaman padi di lahan pasang surut adalah:tikus, Orongorong, Kepinding tanah (lembing batu), Walang sangit, Wereng coklat. Sedangkan penyakit utama di lahan pasang surut adalah blas. Pengendalian hama tikus dapat dilakukan dengan: - Memelihara kebersihan lingkungan - Penanaman serempak (satu hamparan sekunder). - Pemasangan umpan beracun, - Melaksanakan gropyokan atau pengemposan menggunakan belerang. Hama orong-orong dapat dikendalikan dengan cara: - Menggenangi lahan - Merendam bibit sebelum tanam dalam larutan pestisida karbofuran (Curater 3G, Dharmafur, atau Furadan 3G). Kepinding tanah dikendalikan dengan menyemprotkan pestisida sebanyak 1 - 2 liter/ha.

Penyakit blas dikendalikan dengan: - Menyemprotkan fungisida Beam atau Fujiwan sebanyak 1 - 2 kg per hektar. - Menanam varietas yang tahan bias. - Tidak menggunakan pupuk N secara berlebihan/melebihi takaran. >Panen dan Pasca Panen Panen Panen dilakukan pada saat tanaman padi menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut: - Sebagian besar gabah (90%) sudah berwarna kuning. - Bila digigit gabah patah. Panen dapat dilakukan dengan menggunakan alat sebagai berikut: - Sabit bergerigi - Reaper
15

- Stripper. Kehilangan hasil pada saat panen dapat dihindari dengan usaha-usaha sebagai berikut: - Panen tepat waktu. - Setelah disabit langsung dirontok (paling lambat 1 hari). - Saat merontok menggunakan alas (tikar atau terpal). Pascapanen Perontokan gabah dapat dilakukan dengan cara: - Gebuk (gepyokan = istilah petani Karang Agung, Sumatera Selatan). - Menggunakan mesin/alat perontok seperti tresher dan erekan. Setelah dirontok, gabah dijemur di atas terpal atau lantai jemuran. Ketebalangabah pada saat dijemur tidak lebih dari 5 cm. Selama penjemuran, gabah dibolak balik. Lama penjemuran sekitar 2 - 3 hari dalam keadaan panas terik. Gabah yang sudah kering dibersihkan dari kotoran, gabah hampa, dan malai yang masih tersisa. Alat pembersih gabah dapat menggunakan tampah dan alat/mesin pembersih (seed cleaner). Gabah yang sudah kering dan bersih dimasukkan ke karung untuk disimpan, digiling, atau dipasarkan. PENUTUP Lahan rawa pasang surut mempunyai potensi yang besar dan berpeluang besar bagi pengembangan usaha pertanian sekaligus untuk peningkatan pendapatan petani. Potensi dan peluang tersebut dapat di aktualisasikan dengan cara melakukan kegiatan penataan lahan dan komoditas, berdasar karakteristiknya. Di Lahan pasang surut Kalimantan Selatan teknologi penataan lahan sistem surjan telah banyak diterapkan oleh petani. Penataan lahan sistem surjan berkembang cukup pesat di lahan pasang surut Kalimanatan Selatan karena selain dapat mendukung usaha pertanian diversifikasi juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Di sejumlah daerah lainnya yang mempunyai lahan rawa pasang surut, pada umumnya belum mempunyai informasi detail tentang teknologi penataan lahan sistem surjan, sehingga usaha pertaniannya masih bersifat monokultur dengan pendapatan yang masih relatif rendah.

16

Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Sistem surjan adalah salah satu contoh usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi tanaman di lahan rawa. Berdasarkan sistem pembuatan, surjan dapat dibagi menjadi dua cara pembuatan yaitu (1) yang dibuat sekaligus, dan (2) yang dibuat secara bertahap (tukungan). Sistem surjan merupakan suatu cara pengelolaan tanah dan air yang disesuaikan dengan kondisi alam setempat. Namun yang perlu diperhatikan dalam menggunakan system ini adalah penerapan pola tanam tumpang sari ( multi croping ) yang berkelanjutan dan produktif dalam waktu lama. Dengan penerapan system surjan, maka lahan akan menjadi lebih produktif karena pada lahan tersebut akan tersedia dua tatanan lahan, yaitu : (1) lahan tabukan yang tergenang (digunakan untuk menanam padi adatu digabungkan dengan budidaya ikan) (2) lahan guludukan sebagai lahan kering (digunakan untuk budidaya palawija, buah-buahan, tanaman tahunan/perkebunan).

Daftar Pustaka
Anonim, 1984. Sistem Surjan di Kabupaten Daerah Tingkat II Demak, Jawa Tengah Anwarhan dan S. Sulaiman. 1985. Pengembangan Pola Usahatani di Daerah Lahan Pasang Surut dalam rangka peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. IV no 4. Jakarta. Ar-Riza, I. 2002. Peningkatan produksi padi lebak. Makalah Seminar Nasional. Perhimpunan Agronomi Indonesia, PERAGI, tanggal 29-30 Oktober 2002 di Bogor. Balittra. 2004. Laporan Tahunan 2003. Balai Penelitian Pertanian Lahan rawa. Dinas Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 2007. Laporan Tahunan tahun 2006. Dinas pertanian Provinsi Jambi. 2006. Laporan Tahunan 2005.
17

Nazemi, D., S. Saragih dan Y. Rina. 2003. Laporan akhir proyek penelitian sumberdaya lahan rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Purwanto, S. 2006. Kebijakan Pengembangan Lahan Rawa Lebak. Dalam prosiding seminar nasional Pengelolaan Lahan Terpadu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya lahan pertanian. Balai Penelitian Pertanian Lahan rawa. Banjarbaru 28-29 Juli 2006. Rina, Y, Noorginayuwati dan S.S.Antarlina. 2006. Analisis Finansial Usahatani Jeruk pada Sistem Surjan di Lahan Pasang Surut. Sutikno,H dan Y.Rina, 2002. Kondisi sosial ekonomi petani lahan pasang surut. Dalam. Ar-Riza, Sarwani dan Alihamsyah (ed). Monograf. Pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Badan Penelitian dan Pengembangan Petanian. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa,Banjarbaru. Swamps-II. 1991. Farming Systems in Indonesias tidal swamps. Res. Highlights 1987- 1990. AARD-Swamps-II project. Jakarta. Indonesia. Widjaya Adhi, IGP., K. Nugroho, D.S. Ardi, dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai: Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan. Dalam prosiding Pertemuan Nasional Pengembangan Lahan Pertanian Pasang Surut dan Rawa . Cisarua, 3- 4 Maret 1992.

18

You might also like