You are on page 1of 8

Marginalisasi Perempuan Akibat Perbedaan dan Pembagian Gender dalam Kultur, Birokrasi dan Program-program Pembangunan

Kasus diskriminasi dan ketidakadilan gender sudah sejak lama ada dan disadari masyarakat. Fenomena ketidakadilan gender muncul dalam berbagai kasus, namun saya sebutkan beberapa yang ada kaitan dengan topik di atas, yaitu dalam bidang kultur, birokrasi dan program-program pembangunan menurut Fakih (1996:11-20). Antara lain yang pertama, marginalisasi perempuan baik di rumah tangga, di tempat kerja, maupun di dalam bidang kehidupan bermasyarakat lainnya. Proses marginalisasi ini berakibat pada pemiskinan ekonomi perempuan. Kedua, subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irrasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Ketiga, pembagian kerja secara seksual yang merugikan kaum perempuan, misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik, oleh sebab itu tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki. Akibatnya perempuan terkurung dalam ruang dan wawasan yang sempit. Proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan. sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, namun ada beberapa kasus marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender tersebut. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Berbicara tentang marginalisasi perempuan akibat diskriminasi gender yang akhirnya menyebabkan kemiskinan bagi kaum perempuan sebenarnya bukan tanpa alasan. Whitehead (dikutip Cahyono dalam JP. 42 2005; 11) telah mendata bahwa lebih dari
separo penduduk miskin di negara berkembang termasuk Indonesia adalah kaum perempuan. Data dari perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa dari 1,3 miliar warga

dunia yang masuk kategori miskin, 70% nya adalah kaum perempuan. Hal ini menguatkan terjadinya feminisasi kemiskinan yakni sebuah kenyataan bahwa sebagian besar angka kemiskinan dialami oleh kaum perempuan.

Perbedaan dan pembagian gender dalam kultur Di dalam suatu negara yang masyarakatnya kental dengan nilai-nilai budaya dan terutama nilai-nilai ajaran agama Islam, merupakan suatu konsekuensi logis, apabila nilai-nilai tersebut menjadi sumber dari pembuatan berbagai hukum atau peraturan perundang-undangan. Hal ini juga berlaku terhadap nilai pembagian peran aturan lakilaki dan perempuan (baca: suami dan istri). Di dalam hukum Indonesia, terdapat sebuah undang-undang yang mengatur masalah pembagian peran ini, yakni undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, yang dalam pasalnya, antara lain pasal 31 dan 34 disebutkan, pria adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu ramah tangga. Selanjutnya, suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala kemampuannya, sementara istri wajib mengantar ramah tangga sebaik-baiknya. Disamping itu dalam kehidupan rumah tangga, perempuan/ ibu rumah tangga secara budaya diberikan peran dan tanggung jawab pada urusan domestik. Ini artinya bahwa mereka menanggung beban untuk mengurus kepentingan konsumsi keluarga sehari-hari. Dalam kondisi ekonomi keluarga yang serba kurang, maka perempuanlah yang paling merasakannya. Jika dilihat dari segi kultur, sumber dari permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan menurut Muhadjir ( 2005, 166) terletak pada budaya patriarki yaitu nilainilai yang hidup dimasyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sitem distribusi resoursis yang bias gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, ekploitasi maupun kekerasan terhadap perempuan.

Contoh kasus marginalisasi perempuan karena kultur terlihat jelas pada masyarakat Bali. Pada masyarakat Bali yang senyatanya menganut sistem kekerabatan patrilineal, budaya patriarkinya masih sangat kental. Pada sistem kekerabatan seperti ini nilai anak laki-laki lebih tinggi dari pada anak perempuan. Anak laki-laki yang karena kedudukannya selaku pemikul dharma serta sebagai pewaris dan penerus keturunan (purusa) dalam keluarga, maka mereka akan merasa lebih superior dan berkuasa. sementara perempuan ada pada posisi inferior. Hal ini pada akhirnya akan membatasi akses perempuan terhadap berbagai sumberdaya. Jadi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya bisa ditinjau dari aspek sosial budaya, agama, polilik, hukum, dan aspek lain yang melingkupi sendi kehidupan manusia. Keberadaan budaya masyarakat inilah yang harus dinetralisisir dari segala bentuk kekerasan, sub-ordinasi dan marginalisasi terhadap hak asasi dan kehendak perempuan. Sehingga nantinya dalam proses transformasi sosial akan terwujud masyarakat yang adil dan berperikemanusiaan. Perbedaan dan pembagian gender dalam birokrasi Indonesia yang menganut sistem demokrasi dalam kehidupan politik saat ini memerlukan peran serta aktif masyarakat. Partisipasi dalam kehidupan politik diharapkan akan memberikan makna demokrasi yang sesungguhnya, sehingga dapat terwujud pada realitas kehidupan politik bangsa Indonesia. Peran serta diharapkan dari seluruh kalangan dalam masyarakat baik kaum laki-laki maupun perempuan. Peran perempuan dalam aspek kehidupan birokrasi pada saat ini telah menjadi bahan kajian dan perbincangan yang berkaitan dengan gender. Pandangan gender dapat menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Hal ini berpengaruh dalam hak-hak perempuan untuk mendapatkan posisi dalam birokrasi. Namun pemerintah sebenarnya telah memperhatikan hal ini, bentuk dukungannya terlihat dari Kementerian PP yang telah menerbitkan surat edaran kepada departemen dan

LPND No.B-168/Men.PP/Dep.II/XI/2004 ke seluruh propinsi dan kabupaten tentang perlunya memperhatikan kesetaraan gender dalam rekruitmen pegawai negeri. Point dalam surat ini adalah bahwa para perempuan harus diberi peluang dan kesempatan yang sama untuk dapat duduk di tingkat eksekutif di daerah masing-masing. Kebijakan tersebut pada dasarnya adalah mengamanatkan kepada kaum perempuan untuk dapat duduk lebih banyak dalam jabatan-jabatan publik. Setelah era reformasi, sedikit demi sedikit ada secercah harapan pada perempuan untuk memasuki ruang publik dan politik sekaligus. Tergambar dalam pembahasan Undang-undang tentang Pemilihan Umum mencuat perdebatan hangat tentang bagaimana akomodasi politik perempuan dan perlindungan terhadap perempuan dalam ranah politik. Setidaknya ada pandangan umum tentang pentingnya dorongan partisipasi perempuan dalam politik yang harus tertuang dalam Undang-undang tersebut. Satu sisi dengan argumentasi representasi politik perempuan yang menyumbangkan suara lebih banyak dari laki-laki, maka perlu adanya kuota kursi bagi perempuan di lembaga legislatif, dimana tuntutannya mencapai 30 % kursi DPR/DPRD. Dari perdebatan tersebut, akomodasi yang dirumuskan kuota politik perempuan adalah 30 % dari pencalonan dewan perwakilan rakyat. Saat ini keterwakilan perempuan tidak terlalu signifikan. Hal ini disebabkan oleh banyak masalah dipandang dari berbagai sudut, yaitu : 1. Masih terjadinya marginalisasi perempuan dari sisi kultur dan kebudayaan. Dalam proses sosial di Indonesia posisi perempuan belum bergeser dari peran-peran kedua sesudah laki-laki. Walaupun patut diakui mulai mengalami pergeseran cara pandang terhadap perempuan akibat gerakan feminisme. Namun belum menjadi mainstream masyarakat. 2. Ranah konstitusi sebagai produk proses politik yang berkembang di level negara. Di Indonesia, akomodasi politik perempuan dengan representasi keterwakilan perempuan di parlemen, baru muncul dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Rumusan dalam undang-undang tersebut memang bukan hasil yang ideal yang bisa

dicapai, Karena jika hanya 30% dari kursi pencalonan DPR/DPRD bisa jadi perempuan yang benar-benar bisa menduduki kursi legislatif hanya beberapa orang saja. Apalagi dalam Undang-undang tersebut tidak diberikan pasal yang spesifik berisi tentang sanksi bagi Partai Politik yang tidak mematuhi kuota tersebut. Dengan demikian bisa jadi diabaikan dengan berbagai alasan. Apalagi dominasi politik lakilaki di Partai Politik saat ini masih kuat. 3. Dengan tidak adanya dukungan konstruksi sosial budaya masyarakat serta konstitusi, kendala yang harus dihadapi oleh perempuan untuk bisa masuk parlemen adalah skill politik perempuan yang masuk katagori rendah. Hal ini dilandasi antara lain gerakan feminisme, mainstream yang berlaku masih melakukan perjuangan lewat lembaga diluar struktur negara dan Partai Politik yaitu LSM atau Ormas Perempuan, akibatnya banyak potensi yang dimiliki oleh perempuan tidak tergarap diranah politik. Dengan tidak adanya orientasi ke Parpol akan mengurangi kemampuan perempuan dalam berpolitik secara praktis, atau dapat dikatakan masih kalah jam terbangnya apabila dibandingkan dengan laki-laki. Hal demikian akan memberikan peluang yang sangat sedikit bagi perempuan untuk mengambil kursi yang diperebutkan. Menurut saya, perempuan sah-sah saja memasuki dunia birokrasi dan duduk sejajar dengan laki-laki dalam dunia politik. Asalkan perempuan tersebut memiliki kemampuan untuk memimpin, pengalaman dan pengetahuan yang cukup, bisa mengambil keputusan dengan tepat. Namun apa yang terjadi ternyata marginalisasi, subordinasi dan ketidakadilan yang lain baik dengan alasan budaya, tafsiran agama maupun alasan yang lain sekali lagi menciptakan perempuan menjadi inferior dan tidak mendapatkan kesempatan yang baik untuk menjadi pemimpin.

Perbedaan dan pembagian gender dalam program-program pembangunan

Isu gender di Indonesia kaitannya dengan pembangunan termaktub dalam Inpres No. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional. Konsep ini adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai

kesetaraan dan keadilan gender, yang bertujuan mempersempit dan bahkan meniadakan kesenjangan gender. Salah satu perkembangan perempuan dewasa ini adalah masuknya perempuan di dunia kerja. Isu-isu di dunia kerja menjadi isu tersendiri. Perempuan berpendidikan terbatas cenderung bekerja di pabrik atau sektor informal lainnya. Banyak studi telah dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Misalnya program swa sembada pangan atau revolusi hijau (green revolution) secara otonomi telah menyingkirkan kaum perempuan dan pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka. Di Jawa misalnya, program revolusi hijau dengan memperkenalkan jenis padi unggul dan pendekatan panen dengan sistem tebang menggunakan bibit, tidak lagi memungkinkan pemanenan menggunakan ani-ani, padahal alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaum perempuan. Akibatnya banyak kaum perempuan miskin di desa termarginalkan yakni semakin miskin dan tersingkir karena tidak mendapatkan pekerjaan di sawah saat musim panen. Berarti program revolusi hijau dirancang tanpa mempertimbangkan aspek gender. Lain lagi dengan strategi WID (Women in Development) yang digunakan saat itu melihat bahwa ketimpangan gender terjadi akibat rendahnya kualitas sumber daya kaum perempuan sendiri dan hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum lelaki. Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan adalah mendidik kaum perempuan dan mengajak mereka berperan serta dalam pembangunan. Namun kenyataannya proyek-proyek peningkatan peran serta perempuan agak salah arah dan justru mengakibatkan beban yang berganda bagi perempuan tanpa hasil yang memang menguatkan kedudukan perempuan sendiri. Namun jika berbicara tentang peran perempuan dalam pembangunan sebenarnya sudah mengalami kemajuan, walaupun mungkin baru dimulai dari hal kecil di sekitar lingkungan mereka. Misalnya kaum perempuan di Indonesia telah terlibat secara aktif dan positif dalam menggerakkan roda-roda pembangunan sebagaimana tercermin dalam berbagai bentuk perkumpulan, seperti Dharma Wanita, PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia), di pos-pos Yandu maupun di lingkungan ibu-ibu PKK di seluruh tanah air. Di masa reformasi seperti sekarang ini, kaum perempuan di Indonesia seolah-

olah telah mendapatkan energi baru yang jauh lebih besar, dimana peran dan fungsi mereka di tengah-tengah masyarakat menjadi semakin terbuka lebar. Kesimpulan Pada akhirnya dalam konteks ekonomi maupun politik, kaum perempuan di Indonesia masih harus berjuang untuk mendapatkan haknya yang wajar agar dapat berdiri sejajar dengan kaum laki-laki. Bias gender, dimana tolak ukur kesempatan dan kemampuan sering dilihat dari faktor jenis kelamin dengan menempatkan posisi perempuan pada posisi yang lebih rendah, masih sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari sehingga sering menjadi salah satu hambatan bagi kaum perempuan untuk berkiprah dan berperan secara maksimal. Ada beberapa cara untuk mengatasi hal tersebut, yaitu: a. Terkait masalah kemampuan perempuan, SDM perempuan harus diasah dari waktu ke waktu. Perlu diadakan pelatihan-pelatihan peningkatan kemampuan sesuai dengan minat dari perempuan tersebut. b. Masih banyak perempuan yang menganggap dirinya hanya konco wingking bagi suaminya dan keterbatasan waktu yang harus di bagi antara keluarga dan kegiatan politik. Namun hambatan psikologis ini dapat diatasi dengan pendekatan secara pribadi dengan memberikan contoh-contoh atau bukti nyata perempuan yang telah berhasil menjadi politikus, juga sukses di dalam membina keluarga c. Pendidikan politik dapat diperoleh perempuan lewat jalur pendidikan formal maupun non-formal. Formal perlunya peningkatan studi lanjutan yang mempunyai fokus ke politik dan non-formal mengikuti pelatihan-pelatihan yang mulai sering diadakan oleh partai politik maupun LSM-LSM dan juga harus rajin membaca bukubuku kepustaan yang relevan. d. Masalah budaya di setiap daerah berbeda, tapi budaya itu dapat disikapi dengan pendekatan dan pemahaman kultur tentang suatu daerah. Jiwa daerah/budaya tersebut berbasis agamis, tentunya perempuan politik tersebut harus dapat

menyesuaikan diri terhadap lingkungan atau daerah yang diwakilimya dengan tetap menghargai pandangan-pandangan masyarakat.

Daftar Referensi

ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/.../98/97 eprints.undip.ac.id/17601/1/HERRY_TRIWANTO.pdf jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewPDFInterstitial/.../12 ejournal.unud.ac.id/.../... repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../was-feb2006-%20(1).pdf dc145.4shared.com/img/jeLPQT4x/preview.html

You might also like