You are on page 1of 11

Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial Review)

Kamis, 21 Juni 2007

Suripto Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekretariat Negara Republik Indonesia Pendahuluan Pasal 24c, ayat (1) UUD Tahun 1945 : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Reformasi di Indonesia dimulai pada tahun 1998, gerakan reformasi di samping bertujuan menuntut pengunduran diri presiden juga menuntut perubahan sistem ekonomi, sistem politik dan sistem hukum, karena sistem ekonomi yang dibangun tidak mampu menghadapi cobaan (krisis) yang terjadi, sistem politik otoriter jauh dari nilai/paham demokrasi dan sistem hukum tidak ada kejelasan walaupun dalam UUD 1945 dengan jelas bahwa Indonesia negara berdasarkan hukum. Pada acara penyampaian pidato resmi kenegaraan di depan DPR RI tanggal 15 Agustus 1998 Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatannya tanggal 21 Mei 1998, antara lain mengemukakan bahwa esensi dari gerakan reformasi nasional ini adalah koreksi terencana, melembaga, dan berkesinambungan terhadap seluruh penyimpangan yang telah terjadi dalam bidang ekonomi, politik dan hukum. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa pada tanggal 21 Mei 1998, beliau telah menyampaikan tekad untuk melaksanakan reformasi secara bertahap dan konstitusional di segala bidang. Tujuannya adalah untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi, meningkatkan kehidupan politik yang demokratis dan menegakkan hukum sebagai langkah awal gerakan reformasi sistem politik. Setelah diadakan Pemilu Tahun 1999 dan terbentuk DPR/MPR, maka MPR dalam sidang-sidangnya telah mengamandemen UUD tahun 1945 sebagai langkah awal reformasi hukum. Amandemen dilakukan secara bertahap sejak SU MPR tahun 1999 sampai sidang tahunan 2002 (sebanyak 4 kali amandemen). Amandemen UUD tahun 1945 merupakan hal yang wajar untuk menuju praktek kenegaraan yang lebih demokratis, hal ini mengingat UUD tahun 1945 mengandung kelemahan-kelemahan sehingga praktek kenegaraan di Indonesia oleh gerakan reformis dianggap kurang demokratis. Perkembangan Hak Menguji Undang-Undang (JR) Salah satu pilar negara demokrasi adalah adanya kekuasaan kehakiman (peradilan) yang mandiri untuk menjaga praktik kenegaraan kekuasaan dari kesewenang-wenangan. Keberadaan kekuasaan kehakiman (peradilan) diharapkan dapat mandiri dari pengaruh kekuasaan yang lainnya dan harus mempunyai wewenang yang jelas dalam menjalankan fungsinya, sehingga kewibawaan kelak terjaga. Perkembangan Mahkamah Konstitusi yang ada di dunia diawali dari kasus Madison versus Madbury di Amerika Serikat. Pada awalnya manfaat dari Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan keperluan untuk mengadakan pengujian terhadap konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan parlemen. Inti perdebatan dalam kasus tersebut adalah bahwa Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dipimpin John Marshall ditantang untuk melakukan pengujian (review atau toetsting) atas konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan oleh Konggres. Keputusan Madbury melawan Madison pada tahun 1803 itu sangat populer dan diyakini sebagai awal kelahiran judicial reviewdi USA. Kepala Kehakiman John Marshall berpendapat bahwa konstitusi tertulis dan pengadilan independen menyiratkan kekuasaan judicial review ada di Mahkamah Agung, hal ini berkaitan karena adanya kenyataan ketidaksesuaian antara konstitusi dan undang-undang, sehingga tidak mempunyai pilihan lain, harus memberlakukan hukum yang lebih tinggi, dan harus menganulir undang-undang yang lebih rendah. Tanggapan mengenai hal ini dapat ditemukan dari komentar R.H.S. Crossman, seorang anggota

kabinet Partai Buruh Inggris yang bertanggung jawab terhadap hukum imigrasi pada tahun 1968, yang menolak masuknya lebih kurang 100 ribu warga negara Inggris yang tinggal di Kenya ke Inggris; dia kemudian mengatakan bahwa hukum ini akan dideklarasikan tidak konstitusional di setiap negara dengan konstitusi tertulis oleh Mahkamah Agung. Praktek judicial review tidak serta-merta dilakukan oleh penguasa yang demokratis. Tiga negara dengan konstitusi tidak tertulis, serta enam negara yang mempunyai konstitusi tertulis dan pengadilan tinggi, menolak secara eksplisit adanya kekuasaanjudicial review. Negara-negara tersebut berpendapat bahwa parlemen adalah pemberi garansi tertinggi dari kosntitusi. Prinsip demokrasi merupakan suatu keputusan penting dan vital maka penyesuaian hak terhadap konstitusi seharusnya dibuat melalui perwakilan yang dipilih rakyat, tidak dibuat oleh badan pengadilan yang ditunjuk dan mewakili rakyat. Sebagai kompromi antara dua pemikiran bertentangan ini, beberapa negara mempercayakan judicial review ke pengadilan atau badan konstitusional khusus daripada ke sistem pengadilan umum, dan badan tersebut terkenal dengan nama Mahkamah Konstitusi. Konstitusi Amerika Serikat sama sekali tidak memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan upaya yang pada pokoknya bersifat mempersoalkan produk hukum yang dibuat oleh Konggres yang merupakan cabang kekuasaan legislatif. Namun kemudian terjadi perkembangan, selanjutnya timbul ide untuk membentuk Komisi Konstitusi tersendiri di luar struktur Mahkamah Agung yang sudah ada sebelumnya. Sebagai contoh kekuasaan peradilan tertinggi di USA berada di tangan Mahkamah Agung yang kekuasaannya sangat tinggi dan sangat dipercaya oleh masyarakatnya sebagai lembaga yang suci, karena keputusan-keputusannya tidak pernah mengecewakan rakyat Amerika, bahkan dapat menyelesaikan perselisihan pendapat tentang hasil Pemilu Presiden. Mahkamah Agung mengadili perselisihan pendapat tentang hasil pemilihan Presiden yang terakhir dan keputusannya menetapkan George W. Bush sebagai Presiden dan Al Gore sebagai Wakil Presiden, dan keputusan tersebut ditaati rakyat Amerika. Hak Menguji Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal ada dua macam hak menguji, yaitu : a. hak menguji formal, dan b. hak menguji material. Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, dalam proses pembuatannya melalui cara-cara sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku atau tidak. Pengujian formal terkait dengan masalah prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan itu sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum. Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji material tersebut, maka dapat diartikan bahwa : a. Hak menguji merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan terhadap UUD. b. Hak menguji terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain hak menguji yang dimiliki hakim, juga terdapat hak menguji yang dimiliki legislatif dan hak menguji yang dimiliki eksekutif. Dapat ditarik pengertian dari definisi tersebut bahwa definisi dari suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Definisi Hak Menguji (toestsingsrecht) yang dikemukakan merupakan pengujian pada negara yang menganut civil law system. Pada negara yang menganut law civil

system, hak menguji yang dimiliki hakim hanya dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan karena terhadap tindakan administrasi negara diadili oleh peradilan administrasi. Di Indonesia, tindakan administrasi negara yang berupa Keputusan Tata Usaha Negara diadili oleh PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Hak Menguji Undang-Undang di Indonesia Di Indonesia pengaturan hukum tentang judicial review menjadi suatu hal yang diperdebatkan secara serius sejak founding fathers membicarakan tentang undang-undang dasar yang akan diberlakukan apabila Indonesia telah merdeka. Apakah akan memasukkan judicial review atau tidak dalam konstitusinya. Sepanjang sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, kebebasan kekuasaan kehakiman, selalu mengalami pasang surut, artinya selalu menjadi perdebatan tergantung kondisi sosial politik yang melingkupi sistem peradilan dan kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi merupakan hal yang baru, namun mengenai sistem negara hukum, sudah sejak berdiri Indonesia menganut negara hukum. Hal ini tercantum dengan jelas dalam penjelasan UUD tahun 1945 (sebelum diamandemen) yang menyatakan antara lain bahwa Indonesia adalah negara yang berlandaskan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Sebelum amandeman, UUD tahun 1945 kewenangan kekuasaan kehakiman (peradilan) berada pada Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam pasal 24 UUD tahun 1945. Kewenangan ini yang diatur dalam peraturan perundangan yang lain yaitu Pasal 11 ayat (4) Ketetapan MPR RI No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dan/atau antar Lembaga Tinggi Negara, yang berbunyi : Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, Pasal 31 UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan dan Pasal 26 UU No 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hak menguji secara materil terhadap undang-undang merupakan suatu kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan untuk menguji apakah suatu peraturan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan ini diberikan kepada Mahkamah Agung agar peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif dan eksekutif dapat diuji apakah sesuai atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan Mahkamah Agung dalam hak menguji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibatasi hanya terhadap peraturan-peraturan di bawah undang-undang. Implementasi dari peraturan perundang-undangan tersebut dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yaitu PERMA No.1 tahun 1999 yang telah dicabut dengan PERMA No. 1 tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan PERMA No. 02 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. Prosedur/tata cara hak uji materil diatur dalam PERMA, dengan pertimbangan ketentuan-ketentuan undang-undang yang mengatur hak uji materil tersebut bersifat singkat tanpa mengatur tentang tata cara atau prosedur pelaksanaan hak uji materil. Seyogyanya hal ini diatur dalam bentuk undang-undang, karena berkaitan dengan masalah hukum acara yang berlaku di Mahkamah Agung dalam fungsi menjalankan peradilan. Pelaksanaan hak menguji undang-undang (judicial review) dalam prakteknya belum optimal karena masih mengandung kelemahan-kelemahan. Hak menguji yang menjadi wewenang Mahkamah Agung terbatas kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yang artinya tidak sepenuhnya berada di bawah kendali Mahkamah Agung, tetapi masih di bawah kendali birokrasi politik. Rumusan seperti ini merupakan cermin kondisi yang terjadi saat itu, yaitu terjadinya tarik menarik antara dua kekuatan yang berlawanan dalam pembahasan pada saat menyusun undang-undang yang pertama memuat masalah judicial review yakni Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman yaitu, antara pihak yang menghendaki Mahkamah Agung mandiri dengan kelompok yang menentang Mahkamah Agung mandiri. Mengingat kondisi sosial politik pada masa reformasi yang dinamis dan menghendaki praktek kehidupan

demokrasi yang lebih baik, maka MPR membentuk lembaga Mahkamah Konstitusi untuk menjaga agar pemerintahan berjalan seimbang, tidak sewenang-wenang, lahirlah undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Lahirnya undang-undang yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi, akan membawa konsekuensi adanya perubahan terhadap beberapa peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung. Karena beberapa kewenangan Mahkamah Agung yang ada sekarang akan dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu hak menguji undang-undang (judicial review).

Faktor-faktor yang dijadikan dasar untuk melakukan amandemen UUD tahun 1945, karena pasal-pasal yang mengatur sistem politik, sosial, budaya kurang kondusif untuk perkembangan demokrasi, dan penegakan hukum. Sistem UUD yang executive heavy, kurangnya sistem checks and balances, rumusan yang interpretable, kekosongan berbagai prinsip dan kaidah konstitusional yang mendasar, menjadi salah satu sumber kegagalan penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana dicitacitakan para pendiri bangsa dan negara. UUD tahun 1945 dianggap turut memberi andil terhadap berbagai kejadian yang tidak sejalan dengan cita-cita dasar bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD tahun 1945 itu sendiri. UUD tahun 1945 yang ditetapkan secara kilat, mengandung berbagai kekurangan dan kekosongan hukum. Salah satu pasal yang diamandemen adalah pasal 24 UUD tahun 1945 yang mengatur kewenangan lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman. Kewenangan lembaga peradilan/kekuasaan kehakiman ditambah dengan membuat aturan tentang Mahkamah Konstitusi yang antara lain mengatur wewenang untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan atau tidak dengan undang-undang dasar, yaitu Pasal 24c yang ayat (1) UUD tahun 1945 sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. Sehubungan dengan pemberian kewenangan pada Mahkamah Konstitusi tersebut, DPR dan Pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-undang ini pada intinya mengatur tentang kewenangan yang besar dan sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara, antara lain melakukan pengujian atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; menyelesaikan perselisihan kewenangan antara lembaga negara; memutuskan pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan sebagai salah satu keberhasilan kaum reformis dalam mereformasi hukum di Indonesia. Adanya Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi untuk menjamin tegaknya prinsip negara hukum modern (Moderne Democratische Rechtsstaat) dan memperkuat sistem demokrasi negara modern (modern constitutional democracy). Dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi ini diharapkan dapat terwujudnya penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik. Mengutip Afiuka Hadjar, dkk, ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu: 1. Paham Konstitusionalisme Paham Konstitusionalisme adalah suatu paham yang menganut adanya pembatasan kekuasaan. Paham ini memiliki dua esensi yaitu pertama sebagai konsep negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan melakukan kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua adalah konsep hak-hak sipil warga negara menyatakan, bahwa kebebasan warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi. 2. Sebagai Mekanisme Check and Balances Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanismecheck and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balancesmemungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka sistem kontrol yang relevan adalah sistem kontrol judicial.

3.

Penyelenggaraan Negara yang Bersih Sistem pemerintahan yang baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara yang bersih, transparan dan partisipatif.

4.

Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia Kekuasaan yang tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan semena-mena dalam penyelenggaraan negara dan tidak segan-segan melakukan pelanggaran terhadap HAM.

Di samping keempat alasan tersebut, keberadaan Mahkamah Konstitusi sejalan dengan Ketetapan MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004, bersifat integrated, rule of law, accountability, dan transparancy. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi logis dari negara yang menjamin tegaknya prinsip negara hukum dan sistem demokrasi modern, Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan jawaban dari keinginan rakyat untuk memiliki aturan undang-undang yang berpihak kepada rakyat kecil atau berpihak pada keadilan (membatasi penguasa), karena selama ini banyak sekali produk perundang-undangan yang dibentuk hanya berdasarkan kepentingan politik jangka pendek tidak mempunyai visi dan misi kedepan sehingga masyarakat tidak berdaya. Keberadaan Mahkamah Konstitusi mengakomodasikan kepentingan rakyat yang diperlakukan tidak adil dengan dibuatnya undang-undang yang bertentangan dengan UUD tahun 1945 sehingga rakyat dapat mengajukan judicial review. Masyarakat sangat antusias menyambut keberadaan lembaga ini, hal ini dapat dilihat dari

permohonan judicial review yang diajukan di Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi, terhadap undang-undang yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selalu meningkat setiap tahunnya. Pada awal tahun pelaksanaan tugasnya Mahkamah Konstitusi telah memutuskan beberapa permohonan dan yang diajukan mendapat perhatian masyarakat luas. Salah satu keputusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial reviewyang diajukan Deliar Noer dkk dan Lembaga Perjuangan dan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KRDB) yang menuntut pembatalan pasal 60 huruf g UndangUndang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang mengatur bahwa WNI bekas anggota Partai terlarang (PKI) termasuk organisasi massanya tidak mempunyai hak dipilih dalam Pemilu tahun 2004, yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:Calon anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi persyaratan: bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya. Mahkamah Konstitusi memandang pasal itu melanggar hak asasi manusia yang diatur dalam UUD tahun 1945, oleh karena itu pasal tersebut harus dicabut. Keputusan lain yang menjadi perhatian publik adalah keputusan gugatan Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang mengajukan gugatan judicial review terhadap Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan isi pasalnya ada yang saling bertentangan, di satu pihak masih mengakui keberadaan instansi terkait termasuk KPKPN, tetapi di pihak lain menempatkan KPKPN merupakan salah satu bagian dari KPK. Permohonan Ketua KPKPN ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan konsekuensinya Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tetap berlaku dan eksistensi KPKPN secara mandiri teranulir menjadi bagian dari KPK. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang tidak kalah populernya pada tahun 2006 adalah membatalkan kewenangan Pengadilan Ad Hoc dalam mengadili perkara korupsi yang penyidikannya dilakukan oleh KPK, dan pembatalan Undang-Undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi. Terlepas dari pendapat yang pro dan kontra terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, merupakan suatu realita bahwa Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya sudah dapat menyelesaikan perselisihan para pihak yang berbeda pendapat tentang suatu pasal undang-undang.

Hal ini diharapkan akan tercipta suatu kepastian hukum terhadap konflik yang terjadi di masyarakat. Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi RI Tahun 2003 s/d 2007 TAHUN SISA YANG LALU 20 11 9 72 TERIMA JUMLAH( 3+4) 24 47 36 36 9 PUTUS

KABUL
12 9 8 -

TOLAK 8 14 8 -

TIDAK DITERIMA 3 12 4 11 -

TARIK KEMBALI 1 4 2 -

2003 2004 2005 2006 2007

24 27 25 27 2

Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap pembatalan sebagian atau seluruh pasal-pasal Undang-undang yang telah dihasilkan DPR bersama Pemerintah dapat dikatakan sebagai bagian pembangunan sistem hukum terutama substansi undang-undang yang tidak boleh bertentangan dengan UUD tahun 1945. Dengan keputusan ini Undang-undang tersebut harus diperbaharui karena dianggap melanggar hak asasi manusia. Agar sesuai dengan undang-undang dasar dan dapat menampung (mengakomodasikan) kehendak masyarakat yang telah dirugikan dengan adanya undang-undang maka dalam pembentukan undang-undang, substansi yang akan diatur seharusnya mencerminkan kehendak masyarakat dan sejalan dengan amanat UUD tahun 1945. Adanya pembatalan undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi dapat menjadi pelajaran bagi DPR dan Pemerintah, tersebut agar dalam menyiapkan/membahas keadilan, tidak hanya undang-undang seyogyanya politik lebih untuk hati-hati dan memperhatikan aspek filosofis, yuridis dan sosiologis serta responsif terhadap aspirasi rakyat sehingga UU mencerminkan mempertimbangkan kepentingan kelompok/golongannya melainkan mencerminkan kehendak rakyat dan tidak ada gugatan masyarakat terhadap UU tersebut. Produk undang-undang yang responsif dan populis adalah undang-undang yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Proses pembuatan UU dimaksud seharusnya memberikan peranan yang lebih besar terhadap partisipasi sosial atau individu di dalam masyarakat. Penutup Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 24c dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 merupakan langkah awal bangsa Indonesia dalam menjalankan pembangunan sistem hukum sesuai tuntutan reformasi di bidang hukum agar praktik kenegaraan di Indonesia lebih demokratis dan adil sesuai amanat UUD 1945. Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat mengajukan JR terhadap undang-undang yang dianggap merugikan kepentingan dan bertentangan dengan undang-undang dasar. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang sudah dapat menunjukkan kinerjanya dalam menangani perselisihan pendapat antara para pihak terhadap suatu undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu semua pihak yang terlibat dalam penyiapan undang-undang, khususnya DPR dan Pemerintah seharusnya lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat dan tidak meninggalkan prinsip filosofis, yuridis dan sosiologis dalam membentuk suatu undang-undang, untuk mengurangi undang-undang yang dibuat tersebut dinilai oleh masyarakat telah merugikannya dan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga diajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Untuk menjaga kredibilitasnya, Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya mengambil keputusan dalam menguji suatu undang-undang hendaknya menghindari pengaruh dari kepentingan politik tertentu.

Bagi pemangku kepentingan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan (baik pihak pemerintah, dewan perwakilan maupun masyarakat luas) dituntut selalu meningkatkan kompetensinya. Salah satu usaha untuk itu adalah melalui pendidikan dan pelatihan legal drafting bagi pihak yang menyiapkan rancangan peraturan perundang-undangan untuk mengikutinya secara rutin dan bertahap dengan harapan kompetensi yang bersangkutan akan selalu meningkat dan terjaga dengan baik, yang akhirnya peraturan perundangundangan yang dihasilkan akan lebih baik dalam arti mengakomodasikan kepentingan semua pihak, tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan gejolak yang berarti dalam kehidupan sehari-hari.

ANALISIS PELAKSANAAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN PENGUJIAN SUATU UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR (JUDICIAL REVIEW) DI INDONESIA

A. Latar Belakang Masalah Gerakan reformasi yang dipelopori oleh pemuda dan mahasiswa di Indonesia telah membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan bernegara. Tak terkecuali dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, gerakan reformasi tersebut telah membawa perubahan yang besar dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945 sebanyak empat kali, yang ketika pada masa Orde Baru berkuasa selama hampir 32 tahun, Undang-Undang Dasar 1945 hanya dijadikan sebagai alat pemaksa kekuasaan oleh para penguasa negara pada saat itu. Dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945 sebanyak empat kali tersebut, menimbulkan perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu hasil yang jelas terlihat dengan adanya perubahan terhadap UUD 1945 adalah dengan dibentuknya sebuah lembaga negara baru yang bertugas untuk mengawal konstitusi di Indonesia, dan lembaga negara tersebut dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke IV menyatakan bahwa : Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa semua kegiatan dalam praktek ketatanegaraan harus didasarkan atas hukum, termasuk pula dalam pembuatan suatu peraturan perundangundangan. Dalam hal ini praktek ketatanegaraan tersebut harus didasarkan pada ketentuan yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan peraturan tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan dinyatakan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ; Peraturan Pemerintah ; Peraturan Presiden ; Peraturan Daerah. Dari pasal tersebut terlihat bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menduduki tempat tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga konsekuensi dari adanya tingkatan hierarkis tersebut adalah peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kemudian untuk menjamin penyusunan peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan konstitusi, maka harus dilakukan mekanisme untuk mengawasinya melalui hak menguji (toetsingsrecht). Adanya hak menguji ini dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi suatu negara, yang posisinya diletakkan dalam kedudukan yang tertinggi (supreme), artinya eksistensi dari hak menguji tersebut adalah sebagai penjamin agar materi dari konstitusi dapat diimplementasikan secara konsisten tanpa ada penyimpangan sama sekali terhadap nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam

konstitusi tersebut. Jika terdapat suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka perlu diadakan pengujian terhadap peraturan tersebut. Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pengujian suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang merupakan hasil perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai organ konstitusi, lembaga ini didesain untuk menjadi pengawal dan sekaligus menjadi penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan dimasa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan : Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dan ayat (2) yang menyatakan : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada setiap negara memiliki latar belakang yang beragam, tetapi secara umum pembentukan Mahkamah Konstitusi berawal dari suatu proses perubahan politik yang otoriter menuju demokrasi (Nimatul Huda, 2003: 222). Mahkamah Konstitusi di banyak negara ditempatkan sebagai elemen penting dalam sistem negara konstitusional modern. Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik. Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balancesyang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga negara. Mahkamah Konstitusi melalui amandemen ke-4 UUD 1945 telah menjadi salah satu pemegang kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung, dan konstitusi telah memberikan sejumlah kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah kewenangan untuk melakukan pengujian (judicial review) suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan tersebut selanjutnya diatur lebih rinci dalam UndangUndang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada tanggal 13 Agustus tahun 2003. Pengujian yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24

tahun 2003 terbatas pada pengujian apakah materi dan pembuatan suatu Undang-Undang telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Sedangkan pengujian atas peraturan lain di bawah Undang-Undang dilakukan di Mahkamah Agung dengan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1999 tentang Gugatan Uji Materiil. Judicial Review pada prinsipnya merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan Legislatif, Eksekutif, maupun Yudikatif. Pengujian oleh Hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative act) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive act) merupakan konsekuensi dianutnya prinsip check and balances dalam sistem pemisahan kekuasaan (separation of power). Sedangkan dalam sistem pembagian kekuasaan (distribution or division of power) yang tidak mengidealkan prinsip check and balances, kewenangan untuk melakukan pengujian semacam itu berada di tangan lembaga yang membuat aturan itu sendiri. Pasal 24C UUD 1945 menyatakan bahwa : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum; Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar; Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masingmasing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden; Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi; Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai Pejabat Negara; Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan UndangUndang. Dari ketentuan Pasal tersebut, Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk (BookletMahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006 : 3): Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Memutus pembubaran Partai Politik. Dan Memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum. Dan yang menjadi kewajiban Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga : (1) Telah melakukan pelanggaran hukum berupa (a) penghianatan terhadap negara, (b)

korupsi, (c) penyuapan, (d) tindak pidana berat lainnya; (2) atau perbuatan tercela, dan/atau (3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Booklet Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006 : 3). Seiring dengan perubahan UUD 1945 yang menggantikan paham supremasi MPR dengan supremasi konstitusi, maka kedudukan tertinggi dalam Negara Indonesia tidak lagi lembaga MPR tetapi UUD 1945, maka setiap lembaga negara mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak lagi dikenal istilah Lembaga Tertinggi Negara atau Lembaga Tinggi Negara (Prof. Dr. jimly Asshiddiqie, S.H., 2005 : 12). Dengan demikian, walaupun Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang tergolong baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, namun lembaga ini mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lembaga negara yang lain, yang telah ada sebelumnya seperti MPR, DPR, Presiden, MA dan lain-lain. Dengan adanya kedudukan yang sederajat antara Mahkamah Konstitusi dengan lembaga negara lain yang telah disebutkan tadi, maka hal tersebut akan mempermudah dan memperlancar pelaksanaan tugas konstitusional Mahkamah Konstitusi dalam memperkuat sistem check and balances antar cabang kekuasaan negara. Sebagai lembaga negara yang tergolong baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, masih banyak orang yang belum menyadari arti penting dari Mahkamah Konstitusi dan hanya sebagian orang saja yang mengetahui maksud dan tujuan dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang banyak dilakukan adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan pengujian suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review), tetapi hal ini belum menjadi hal yang umum bagi masyarakat, seperti mengenai bagaimana kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan pengujian suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review), dan bagaimana prosedur pelaksanaan pengujian terhadap Undang-Undang tersebut. Maka berdasarkan hal-hal tersebut penulis bermaksud untuk meneliti dan menggali lebih dalam lagi mengenai kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, khususnya kewenangan Mahkmah Konstitusi dalam melakukan pengujian suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review). B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan pengujian UndangUndang (judicial review) di Indonesia? 2. Bagaimana prosedur pelaksanaan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial

review) di Mahkamah Konstitusi?

You might also like