You are on page 1of 4

DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF MODERNISASI Dampak Positif a.

. Perubahasan Tata Nilai dan Sikap Adanya modernisasi dalm budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional. b. Berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi Dengan berkembangnya IPTEK masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas. c. Tingkat Kehidupan yang Lebih Baik Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan

transportasi yang canggih merupakan salah satu uasaha mengurangi pengangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dampak Negatif a. Pola Hidup Konsumtif Perkembangan industri yang cepat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik mengkonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada. b. Sikap Individualistik Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial. c. Gaya Hidup Kebarat-baratan Tidak semua budaya baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lai-lain. d. Kesenjangan Sosial Apabila ada suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan

memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial. AGAMA, MODERNITAS DAN KEBUDAYAAN Modernitas dan Kebudayaan merupakan rekayasa manusia terhadap potensi manusiawi dan potensi alam dalam rangka mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ujung tombak kebudayaan yang dipandang menentukan jalannya sejarah telah mengalami lompatan-lompatan yang menakjubkan. Kemajuan itu mencakup hampir semua aspek kehidupan manusia, sehingga kita sering mendengar istlilah teknologisasi kehidupan dan masyarakat teknologi. Jasa teknologi sudah menyatu dalam membentuk kepribadian di atas juga mengakibatkan berbagai perubahan. Pada dasa warsa 90-an seperti dikatakan John Neisbitt dan Patricia Aburdence dalam Megatren-nya, terjadi perubahan yang jauh berbeda dibanding dasa warsa sebelumnya. Penemuan mikrochip misalnya, telah mendorong perkembangan teknologi komputer mikro yang meluas.

Perkembangan teknologi demikian merupakan kekuatan yang memungkinkan diperolehnya informasi tentang berbagai fenomena yang tejadi hampir di seluruh pelosok dunia dalam waktu singkat dan hanya dengan memijat tombol. Ada sebuah kekhawatiran bahwa agama akan kehilangan kontrolnya atas manusia, dengan semakin majunya zaman. Artinya, tarik menarik antara doktrin agama dan nilai-nilai kebudayaan harus dapat dijelaskan secara konkret. Kekuatan moril (yang merupakan ajaran agama) tidak boleh sirna dengan adanya laju modernisasi yang hampir tidak terkendali itu. Contoh konkret adalah apa yang telah dihasilkan oleh Paman Sam dalam memproduksi senjata nuklir. Ini mengindikasikan bahwa kebudayaan bisa menjadi ancaman nomer wahid yang menghadang manusia. Ternyata mansusia bisa mencipatkan kreasi yang destruktif dan mengancam eksistensi manusia lainnya.

Kecenderungan moderninitas dan posisi agama sebagaimana telah diuraikan digambarkan Soedjatmiko (1991) bagaikan perahu kecil yang terkena gelombang besar. Semua penumpangnya harus bersama-sama berusaha supaya selamat dari ancaman gelombang yang siap menenggelamkan. Kita tidak perlu bertanya kepada penumpang lain agamanya apa, mazhabnya apa, dari suku dan keturunan apa dan lain sebagainya. Kita sama-sama manusia dan sama-sama ingin menyelamatkan diri dan sama-sama dalam proses mencari kebenaran. Karena itu, yang penting adalah berlomba-lomba memberikan alternatif atas persoalan yang dihadapi atau berlomba-lomba dalam kebajikan. Apa yang dihadapi manusia dalam modernitas kebudayaan dengan kemajuan iptek tersebut di atas adalah masalah keselamatan manusia dan nilainilai kemanusiaan itu sendiri beserta kerusakan bumi dan kehancuran makna kemanusiaan. Karena itu, pernyataan filosof Perancis Andrew Malrauk (Ulumul Quran, No. 2, 1989) dan antisipasi John Neisbit (1990) bahwa abad 21 merupakan abad kebangkitan agama milenium baru (The Age of Religion), dapat menjadi kenyataan jika para pemimpin agama mampu mewarnai kebudayaan dan para pelaku kebudayaan yang sedang dan akan berkembang tersebut dengan nilainilai agama dan paradigma kemanusiaan (Tobroni dan Syamsul Arifin: 24). Jika kita tilit lebih detail pernyataan Andrew Malrauk dan John Nesibit di atas, mengindikasikan bahwa agama harus memiliki good bargaining di pentas dunia modern. Artinya, moral dan doktrin agama harus mampu memberikan jalan terang dan warna dalam kehidupan manusia. Bagian terpenting dari proses bargaining tersebut adalah peran aktif dari para pemuka agama yang nota bene dinilai sebagai man behind the gun dari roda perjalan hidup manusia modern. Jika tidak, nialinilai dan ajaran agama yang dianggap sebagai kontrol sosial akan ikut lebur dan terbawa arus modernitas. Dengan demikian, agama dapat dikatakan sebagai institusi sosial dan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Adalah hal yang sangat mengerikan jika sampai modernitas maupun moderniasai

menghilangkan peranan agama. Ini akan kembali kepada zaman krisis agama yang pernah terjadi di Eropa pada abad ke-19. Memang, krisis agama yang terjadi di Eropa di abad ke-19 bukan persoalan baru bagi disiplin sosiologi. Karena pada dasarnya, sosiologi awalnya terbentuk di ranah filsafat dan teologi; misalnya, kita akan sangat tergantung pada pengaruh argumen-argumen karya Hegel (Plant, 1973) dan Feuerbach (Galloway, 1974) yang terdapat dalam sikap Marx menghadapi agama (Ling, 1980; Miranda, 1980) [Bryan S. Turner, 2003: 70]. Dengan adanya krisis agama ini, kita akan kembali mengingat apa yang pernah disuarakan oleh Nietzsche dalam ungkapan profetisnya Tuhan telah mati. Yang jelas, apa yang dikatakan oleh Nietzsche tentang kematian Tuhan bukan berarti menolak eksistensi Tuhan itu sendiri. Itu hanya ekspresi penegasan bahwa Tuhan tidak lagi bisa jadi Tuhan. Nietzsche tidak menyatakan pra pengandaian kaum supranaturalis salah atau bahwa agama tidak lebih dari sekedar ilusi belaka. Kita harus memahami bahwa teologi kematian Tuhan sebagai penegasan bahwa kepercayaan akan adanya Tuhan dan seluruh aspek kehidupan yang dikaitkan dengan kepercayaan tersebut, tidak lagi menjadi pilihan mutlak (Bryan S. Turner: 72). Di Indonesia; umpamanya, gelagat dari pengaruh modernitas dan modernisai yang kebablasan tampak kentara. Bebasnya dalam memproduksi filmfilm yang berbau seks kian berani. Bahaya hilangnya peran agama perlu mendapat perhatian dan sorotan khusus dan ekstra. Kebudayaan yang destruktif (terutama pada golongan remaja/pemuda) harus benar-benar bisa dikekang dan

dikendalikan. Agama dalam sudut yang berbeda dengan titik pandang Karl Marx, penulis berpendapat bahwa agama harus menjadi candu masyarakat. Candu yang membuat manusia tergila-gila kepada agama; yang diimplementasikan dalam upaya-upaya manusia untuk mengadopsi nilai-nilanya yang dijadikan sebagai kontrol kehidupannya. Sehingga, manusia tidak teralienasi oleh akibat dari modernitas dan modernisasi yang tidak mengindahkan rambu-rambu agama.

You might also like