You are on page 1of 6

Filsafat Kontemporer di Barat dan Islam Membincang terma filsafat, di dunia Islam, baru berucap A, bahkan belum apa-apa

statement negatif istilah kafir, zindiq dan musyrik merupakan konsekuensi logis yang secara sadar harus kita terima dengan penuh lapang dada. Mungkin tidak semua-selamanya, namun paradigma ini masih mayoritas sampai sekarang. Apalagi, jika sudah masuk dan bersentuhan dengan terma-terma asing (baca;Barat), entahlah ada anggapan apa? Darah menetes mungkin salah satu solusi. Di dunia lain, Barat, filsafat adalah menu utama masyarakat, nutrisi penting dalam menentukan langkah maju. Hal ini lebih dikarenakan, paradigma berfikir mereka terbuka terhadap peradaban luar, dengan pra-syarat rasional khususnya filsafat. Oleh karena itu, di sana filsafat mampu tumbuhberkembang dengan suburnya. Perkembangan ini bisa kita lihat dengan kasat mata; menjamurnya aliran-aliran filsafat: strukturaslisme, post-strukturalisme, semiotika, feminis, modernitas sampai post-modernitas. Selain itu, kemajuan teknologi, stabilitas politik, ekonomi dan keamanan sudah merupakan bukti konkrit. Terlepas dari sisi spiritual bagaimana?

Pada makalah sederhana ini, penulis akan berusaha mendeskripsikan filsafat kontemporer di Barat dan Islam. Memaparkan secara deskriptif beberapa aliran/sekte filsafat dan filsuf-filsuf, serta pemikirannya. Bagaimana imbas hal ini terhadap Islam di era kontemporer, masa kebangkitan? Dengan harapan deskripsi sederhana ini dijadikan sebagai motivasi ke arah pembaharuan, sebuah proses yang terus berjalan dan berjalan Filsafat Barat di Era Modern-Kontemporer Apakah itu filsafat? Apa batasan modern-kontemporer? Pertanyaan sederhana ini pasti muncul serta-merta, ketika membincang subterma ini. Filsafat, secara etimologi merupakan kata serapan dari Yunani, Philoshopia, yang berarti Philo adalah Cinta, sedangkan shopia berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi dapat kita tarik konklusi, cinta pada kebijaksanaan ilmu pengetahuan itulah filsafat. Namun, ketika kita tilik dari segi praktisnya, berarti alam pikiran atau alam berfikir, berfilsafat artinya berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sedang kata kontemporer sendiri mempunyai korelasi sangat erat dengan modern. Dua kata yang tidak mempunyai penggalan masa secara pasti. komtemporer adalah semasa, pada masa yang sama dan kekinian . Semenatara modern adalah kini yang sudah lewat, tapi bersifat relevansif hingga sekarang. Karena tidak ada kepermanenan dalam era kontemperer, modern yang telah lewat dari kekinian tidak bisa disebut kontemporer. Dalam hubungannya dengan filsafat barat, istilah modern-kontemporer, bertitik tolak dari kritik Immanuel Kant (1724-1804 M.) terhadap pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Dialah filsuf pertama yang secara sistematis telah melakukan kritik atas pengetahuan, dia hendak juga meninggalkan penggunaan akal secara dogmatis tanpa kritis. Dengan imbas terjadi dikotomi antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Dengan ini ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dengan terbuka-bebas sesuai fungsionalnya tanpa harus pulang pada sang induk, filsafat. Demikian halnya filsafat, tumbuhberkembang dengan sangat cepat serta mengalami pergeseran dan modifikasi. Hingga sekarang kita

bisa melihat dengan mata telanjang warna-warni aliran-aliran filsafat di Barat, yang dominan pengaruhnya untuk rujukan primer, guna melanjutkan masyarakat mereka itu. Pada era moderndilewati bangsa Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu bangsa Barat hidup dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa aliran pemikiran yang dominan yang semarak. Namun, penulis hanya memaparkan tiga aliran dari semuanya. Pertama, tipologi strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat sebagai sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan suatu kenyataan sosial yang menyeluruh., atau pada landasan epistemologi (canguilhen) akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural fenomena ini, baik ciri differensial atau pun relasional. Oleh sebab itu, sejarah ilmu tidak lagi merupakan ungkapan pemikiran; akan tetapi, melalui suatu konfigurasi epistemologis, sejarah membangun kerangka intelektual dengan maksud memaham pemikiran ini. Selain itu, perubahan empiris masa kini dari masyarakat atau individu bisa mengubah makna masa lalu. Masa lalu tidak bisa dipahami melalui pengertian yang dimilikinya sendiri sebab di era sekarang, masa lalu itu dipahami dengan menggunakan pengertian-pengertian masa sekarang. Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental. Menurut Foucault, di sisi lain, pemikir berkarakter rendah hati dan low profil ini sangat memiliki pengaruh pada pendekatan struktural terhadap sejarah, marxisme dan psikoanalis. Selanjutnya, bapak psikoanalis, Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan hipotesanya yang amat mengerikan. Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat frued hanya sebagai ateis, materialis dan pan-sexualis. Meskipun begitu, dunia berhutang atas kecermelangannya dalam menemukan psikoanalis melalui analisis terhadap gejala-gejala, yang sampai pada saat itu (masa hidup frued), dianggap sebagai hal yang teranalis seperti mimpi dan selip lidah (igau). Selain para pemikir di atas, masih dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.), dan masih banyak lagi tokoh structuralis lainnya. Tipologi kedua, Post-Strukturalisme. Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan Sausure akan pra-anggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini. Tentang Yang lain dan hubungan antara subjek dan objek, mendapat posisi tersendiri dalam poststrukturalisme yang notabene-nya terwarisi oleh konsep Nietzche (1844-1900 M.) sebagai salah satu orang yang mewakili tipologi post-structural, seorang filsuf destruktif. Dengan bangga ia menyebut filsafatnya sebagai filsafat destruktif. Seolah orang yang sedang kesurupan. Nietzche mengkritik

habis hampir semua relief-relief kebudayaan barat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika selama bertahun-tahun orang bersikap sinis terhadap tulisan-tulisan Nietzche. Dengan menawarkan beberapa konsep idealisme; nihilisme, kehendak untuk berkuasa, ubermenech dan kembalinya segala sesuatu, bagi Nietzche, prinsip yang diusulkan sebagai suatu kebenaran koheren dan mendasar, beraneka ragam fakta serta penampilannya adalah bersifat idealis. Dalam tataran skema menurut Nietzche, segala sesuatu-baik dalam bentuk redaksionisme suatu esensi maupun teleologi- tujuan akan bermuatkan sebentuk idealisme. Selanjutnya adalah Michel Foucault (1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang pada masanya. Foucault juga seorang Nietzchean dan Fruedian. Tidak berselang jauh darinya adalah Jacques Derida (1930-2003 M.). Seorang filsuf asal al-Jazair dan pemikir garda depan tentang kajian-kajian filsafat dekonstruktif. Melalui karya magnum opus-nya, of gramatology atau dalam versi arab berjudul fi Ilmi al-Kitabah. George Batailk, Roland Barthes, Uberto Uco dan banyak lagi filsuf-filsuf post-strukturalis yang tidak mungkin penulis sebutkan secara detail pada kesempatan ini. Tipologi ketiga, post-marxisme. Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda. Mereka menggunakan Marx untuk untuk mengembangkan sebuah strategi kritik yang sebenarnya bersifat emansipatoris, tepatnya di tujukan kepada kapitalisme modern. Dalam hal ini, Marx dipresentasikan dengan lebih elegan, bahkan sesekali mereka mengecam tanpa santun kepada pendahulunya itu. Mereka menganggap bahwa marxisme awal telah gagal, kacau balau, menafsirkan Rasionalitas Sistem dan Rasionalitas aksi, sebagai bukti konkrit tidak selarasnya antar sistem dan kehidupan. Post-marxisme menerima dengan sadar keterlibatan politik Marx, tetapi menolak mentah-mentah penekanan Marx bahwa ekonomi adalah yang paling menentukan untuk suatu kesejahteraan. Statement ini, menurut mereka sudah tidak relevan, harus dikembangkan lebih jauh-luas secara konkrit melalui stabilitas politik, ekonomi, keamanan dan sosial-budaya dengan merujuk pada ruh emansipatoris di dalamnya. Langkah praktisi yang mereka tempuh adalah dengan merumuskan unsur-unsur normatif, seperti: teori bahasa, dengan penuh harap terbentuknya komunikasi yang standar minimal. Maka, komunikasi harus tak terdistorsi dan secara bebas diungkapkan, sehingga dapat mencapai kesepakatan; kesepakatan yang mensyaratkan pengenalan antarsubjektif. Oleh sebab itu, bila komunikasi secara sistematis tidak berhasil, maka yang terjadi adalah bentuk bahasa yang sakit. Selanjutnya, yakni evolusi masyarakat yang dimaksudkan untuk memberikan landasan suatu kerangka normatif, demi realisasi minat emansipatoris. Tidak absah suatu negara ketika tidak mampu melindungi rakyatnya dari krisis; ekonomi, politik, dan nonsens dalam men-suport atau memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Obsesi kebebasan, kemanusian dan solusi problematika atas kapitalisme modern adalah keniscayaan. Hak-hak manusia di suatu negara harus lebih diutamakan, selain itu perjuangan untuk menyelamatkan manusia agar mereka tak tersingkir di mata hukum. Hal ini dengan konsekuensi prasyarat bahwa setiap individu harus berkewarganegaraan, karena hilangnya kewarganegaraan berarti

hilang status legalitas, status legalitas terhadap semua hak dan kewajiban. Post-Marxisme juga sangat melaknat dan membuang jauh ke tong sampah sistem pemerintahan yang totalitarianisme, apalagi sampai despostis. Para filsuf yang mempunyai kecenderungan berfikir post-Marxisme adalah para pemikir seperti Hannah Arendt, Jurgen Habermas dan Theodor Adorno. Modenisasi Pemikiran Arab-Islam Filsafat di dunia Islam merupakan benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari budaya asing. Namun sangat disayangkan tak pernah bernafas panjang. Di dunia Islam timur, filsafat lenyap atas jasa Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali, dengan kitabnya Tahafut al-falasifah. Sedang di dunia Islam barat, matinya filsafat setelah wafatnya Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filssafat paripatetik. Setelah ini, filsafat secara geografis berpindah ke Negri para Mullah, Iran, dengan corak gnostik-nya sebagai akibat dari pengaruh metafisika Yunani dan Hindu. Maka kita bisa mengenal Ibn Arabim, al-Hallaj, dan Suhrawardi al-Maqtul sebagai pendekar filsafat gnostik Persia ternama. Kemudian Islam mengalami masa skolastik (kegelapan) yang berlangsung kurang lebih dua abad. Masa gelap, masa yang melelahkan. Bak se-ekor Harimau yang terjaga dari pulas, Islam terbangun dengan infasi Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 M, dengan disusul berdirinya negri-negri independen yang mengatasnamakan Nasionalisme. Sementara dinasti Ottoman sebagai representasi kekuatan Islam kala itu, telah dilumpuhkan dan digerogoti luar-dalam. Disisi yang lain, datangnya Napoleon merupakan titik tolak pembaharuan pemikiran Arab-Islam. Kedatangan kolonialis-imperalis disambut dengan mesra oleh Muhammad Ali Pasha seperti kala itu untuk bekerja sama, khususnya dalam perdagangan. Merasa kurang, guna membangun negaranya, maka pemerintah Mesir menetapkan kebijakan untuk mengutus delegasi ke Perancis untuk mempelajari kemajuan Barat, kemudian ditransformasikan ke Mesir. Rihlah Ilmiah inilah yang akhirya menjadi titik tolak kemajuan Arab-Islam, khususnya Mesir. Baik dari segi fisik (bangunan dan tata kota), maupun keamanan, ekonomi dan keilmuan. Rifaat at-Tahthawi adalah salah satu delegasi yang dikirim ke Perancis. Sepulang dari Paris, dengan bekal yang diperoleh, Rifaat berdiri mengusung bendera modernisasi di tanah seribu menara. Ini diawali dengan penerjemahan secara gencar literature-literatur barat yang berpusat di madrasah Alsin . Selain itu, rifaat juga membuka sekolah-sekolah dengan system baru, tanpa biaya alias gratis. Terobosan baru pun ia lakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah bagi para perempuan (Madaris li al-banat). Tak lama kemudian jumlah sekolah atau madrasah meningkat secara drastis di seluruh saentro Mesir, gairah intelektual meningkat. Hasil praktisi ini digambarkan secara apik lewat bukunya al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin sebagai pegangan generasi muda Mesir dalam menekuni dunia pendidikan. Salih majdi, salah satu anak didik rifaat, berasumsi bahwa kitab ini secara resmi beredar setelah wafatnya rifaat yang kemudian dilanjutkan oleh sang putra mahkota, Ali Fahmi Rifaat. Namun, realita membuktikan bahwa karya tersebut terbit satu bulan sebelum wafatnya rifaat.

Tidak berpaut jenjang waktu lama, muncullah para pemikir rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-

Afghani dan Muhammad Abduh. Duet maut antara guru dan murid ini melahirkan pendapat prokontra di kalangan khalayak. Meski demikian, pegaruh mereka sudah terlampau luas dan semarak. Mereka sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan. Dengan piranti modern dan prasyarat rasional, mereka mengangankan sebuah agama/tradisi yang hidup dan relevan seiring dengan kontinuitas nan selalu mengirinya, (Iadah al-bunyat min jadid). Tidak senada dengan perspektif mayoritas ulama (kaum tradisionalis) yang lebih mendambakan pernyataan ulang atas kebesaran tradisi masa lampau. Menurut kaum tradisionalis, bahwa semua permasalahan dan segala problematika yang ada telah dibahas secara tuntas oleh para pendahulu. Selanjutnya, secara umum pemikiran Arab-Islam dapat digolongkan dalam dua mainstrem besar. Yakni, mereka yang pro-barat dan mereka yang kontra/ antipati terhadap metodologi Barat dimana yang pertama berwarnakan dua tipologi khusus, sementara untuk yang kedua hanya ada satu tipologi yang disebut ideal-totalistik. Pertama, pro-Barat. Pada tataran ini, reformis-dekonstruktif adalah sebuah tipologi pemikiran yang merupakan presentasi nyata dari mereka yang terinklinasi secara sadar oleh filsafat barat sebagai kerangka metodologi pendekatan mereka. Cendekiawan semisal Muhammad Arkoun, Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zaid termasuk dalam golongan ini dimana filsafat poststrukturalis Barat merupakan pangkal kembalinya pemikiran mereka. Selain itu, reformisrekonstruktif juga acapkali di kategorikan dalam golongan ini sebagai akibat dari kecenderungan metodologis mereka terhadap Barat. Namun di satu sisi lain, masih menjadikan turas sebagai pijakan pergerakan mereka dalam modernisasi. Rifaat al-Tohthowy, al-Afghani, Muhammad Abduh, dan alkawakibi adalah sebagian dari mereka yang mewakili tipologi pemikiran ini. Kedua, kontra/anti Barat. al-awdah ila al-manba merupakan jargon yang mereka serukan sebagai acuan pergerakan mereka. Bahwa Islam adalah agama, budaya sekaligus peradaban yang telah mencakup tatanan social, politik dan ekonomi telah mengantar mereka untuk mencapai kegemilangan yang tempoe doeloe sempat ditorehkan oleh Nabi dan para sahabat. Hal inilah yang memberikan asumsi bahwa barat tak ubahnya momok, dan apa yang telah digapai oleh modernitas pun (sains dan teknologi) tak lupa mereka nisbatkan sebagai hasil masa gemilang yang kemudian melegitimasi kebenaran mereka menerima menerima modernitas. Para cendekiawan yang memiliki kecenderungan ideal-totalistik ini dapat kita temukan dalam diri M. Ghozali, Sayyid Qutb, Anwar Jundi, serta Said Hawwa yang berorientasikan pada gerakan islam politik. Isu kontemporer Transnasionalisme juga mungkin digolongkan pada aliran ini.

Epilog. Gerak radikal pemikiran barat yang menyematkan Immanuel kant sebagai puncak modernisasi

filsafat menorehkan berbagai macam pertimbangan humanis-rasionalis yang semena-mena tidak boleh dialienasikan, apalagi dinilai sebagai wujud kolonialisme modern atas dunia Islam. Feminisme, rasionalisme dan modernisme adalah fakta perjuangan cendekiawan muslim yang berupaya mengeluarkan khazanah pemikiran Islam dari stagnansi masa skolastik dimana agama, lapukan sejarah dan literatur keilmuan telah menjadi Tuhan, masuk dalam ranah untouchable. Ironis, jika pertarungan ideologi yang digambarkan oleh al-Jabiri atas dunia Arab-Islam masih saja dipahami secara literal dan melahirkan sikap antipati terhadap perkembangan pemikiran Barat. Angan mitologis atau mistisisme yang telah menghantui modernisme Islam sudah selayaknya dihancurlantakkan lalu menaruh sikap inklusif sebagai jembatan pembaharuan. Makalah ditulis oleh: Ronny Giat Brahmanto

You might also like