You are on page 1of 46

Penyakit Crohn Definition : Penyakit Crohn (Enteritis Regionalis, Ileitis Granulomatosa, Ileokolitis) adalah peradangan menahun pada dinding

usus. Penyakit ini mengenai seluruh ketebalan dinding usus. Kebanyakan terjadi pada bagian terendah dari usus halus (ileum) dan usus besar, namun dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan bahkan kulit sekitar anus. Cause : Penyebab penyakit Crohn tidak diketahui. Penelitian memusatkan perhatian pada tiga kemungkinan penyebabnya, yaitu: - Kelainan fungsi sistim pertahanan tubuh - Infeksi - Makanan. Sign & Symptoms : Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah diare menahun, nyeri kram perut, demam, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan atau rasa penuh pada perut bagian bawah, lebih sering di sisi kanan. Komplikasi yang sering terjadi dari peradangan ini adalah penyumbatan usus, saluran penghubung yang abnormal (fistula) dan kantong berisi nanah (abses). Fistula bisa menghubungkan dua bagian usus yang berbeda. Fistula juga bisa menghubungkan usus dengan kandung kemih atau usus dengan permukaan kulit, terutama kulit di sekitar anus. Adanya lobang pada usus halus (perforasi usus halus) merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Jika mengenai usus besar, sering terjadi perdarahan rektum. Setelah beberapa tahun, resiko menderita kanker usus besar meningkat. Sekitar sepertiga penderita penyakit Crohn memiliki masalah di sekitar anus, terutama fistula dan lecet (fissura) pada lapisan selaput lendir anus. Penyalit Crohn dihubungkan dengan kelainan tertentu pada bagian tubuh lainnya, seperti batu empedu, kelainan penyerapan zat gizi dan penumpukan amiloid (amiloidosis). Bila penyakit Crohn menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita juga bisa mengalami : - peradangan sendi (artritis) - peradangan bagian putih mata (episkleritis) - luka terbuka di mulut (stomatitis aftosa) - nodul kulit yang meradang pada tangan dan kaki (eritema nodosum) dan - luka biru-merah di kulit yang bernanah (pioderma gangrenosum).

Jika penyakit Crohn tidak menyebabkan timbulnya gejala-gejala saluran pencernaan, penderita masih bisa mengalami : - peradangan pada tulang belakang (spondilitis ankilosa) - peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis) - peradangan di dalam mata (uveitis) dan - peradangan pada saluran empedu (kolangitis sklerosis primer). Pada anak-anak, gejala-gejala saluran pencernaan seperti sakit perut dan diare sering bukan merupakan gejala utama dan bisa tidak muncul sama sekali. Gejala utamanya mungkin berupa peradangan sendi, demam, anemia atau pertumbuhan yang lambat. Pola umum dari penyakit Crohn Gejala-gejala penyakit Crohn pada setiap penderitanya berbeda, tetapi ada 4 pola yang umum terjadi, yaitu : 1. Peradangan : nyeri dan nyeri tekan di perut bawah sebelah kanan 2. Penyumbatan usus akut yang berulang, yang menyebabkan kejang dan nyeri hebat di dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan muntah-muntah 3. Peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun, yang menyebabkan kurang gizi dan kelemahan menahun 4. Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi nanah (abses), yang sering menyebabkan demam, adanya massa dalam perut yang terasa nyeri dan penurunan berat badan.

Diagnose : Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kram perut yang terasa nyeri dan diare berulang, terutama pada penderita yang juga memiliki peradangan pada sendi, mata dan kulit. Tidak ada pemeriksaan khusus untuk mendeteksi penyakit Crohn, namun pemeriksaan darah bisa menunjukan adanya: - anemia - peningkatan abnormal dari jumlah sel darah putih - kadar albumin yang rendah - tanda-tanda peradangan lainnya. Barium enema bisa menunjukkan gambaran yang khas untuk penyakit Crohn pada usus besar. Jika masih belum pasti, bisa dilakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) dan biopsi untuk memperkuat diagnosis. CT scan bisa memperlihatkan perubahan di dinding usus dan menemukan adanya abses, namun

tidak digunakan secara rutin sebagai pemeriksaan diagnostik awal. PENGOBATAN Pengobatan ditujukan untuk membantu mengurangi peradangan dan meringankan gejalanya. Kram dan diare bisa diatasi dengan obat-obat antikolinergik, difenoksilat, loperamide, opium yang dilarutkan dalam alkohol dan codein. Obat-obat ini diberikan per-oral (melalui mulut) dan sebaiknya diminum sebelum makan. Untuk membantu mencegah iritasi anus, diberikan metilselulosa atau preparat psillium, yang akan melunakkan tinja. Sering diberikan antibiotik berspektrum luas. Antibiotik metronidazole bisa membantu mengurangi gejala penyakit Crohn, terutama jika mengenai usus besar atau menyebabkan terjadinya abses dan fistula sekitar anus. Penggunaan metronidazole jangka panjang dapat merusak saraf, menyebabkan perasaan tertusuk jarum pada lengan dan tungkai. Efek samping ini biasanya menghilang ketika obatnya dihentikan, tapi penyakit Crohn sering kambuh kembali setelah obat ini dihentikan. Sulfasalazine obat lainnya dapat menekan peradangan ringan, terutama pada usus besar. Tetapi obat-obat ini kurang efektif pada penyakit Crohn yang kambuh secara tiba-tiba dan berat. Kortikosteroid (misalnya prednisone), bisa menurunkan demam dan mengurangi diare, menyembuhkan sakit perut dan memperbaiki nafsu makan dan menimbulkan perasaan enak. Tetapi penggunaan kortikosteroid jangka panjang memiliki efek samping yang serius. Biasanya dosis tinggi dipakai untuk menyembuhkan peradangan berat dan gejalanya, kemudian dosisnya diturunkan dan obatnya dihentikan sesegera mungkin. Obat-obatan seperti azatioprin dan mercaptopurine, yang merubah kerja dari sistim kekebalan tubuh, efektif untuk penyakit Crohn yang tidak memberikan respon terhadap obat-obatan lain dan terutama digunakan untuk mempertahankan waktu remisi (bebas gejala) yang panjang. Obat ini mengubah keadaan penderita secara keseluruhan, menurunkan kebutuhan akan kortikosteroid dan sering menyembuhkan fistula.Tetapi obat ini sering tidak memberikan keuntungan selama 3-6 bulan dan bisa menyebabkan efek samping yang serius. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan terjadinya alergi, peradangan pankreas (pankreatitis) dan penurunan jumlah sel darah putih. Formula diet yang ketat, dimana masing-masing komponen gizinya diukur dengan tepat, bisa memperbaiki penyumbatan usus atau fistula, minimal untuk waktu yang singkat dan juga dapat membantu pertumbuhan anak-anak. Diet ini bisa dicoba sebelum pembedahan atau bersamaan dengan pembedahan. Kadang-kadang zat makanan diberikan melalui infus, untuk mengkompensasi penyerapan yang buruk, yang sering terjadi pada penyakit Crohn. Bila usus tersumbat atau bila abses atau fistula tidak menyembuh, mungkin dibutuhkan pembedahan.

Pembedahan untuk mengangkat bagian usus yang terkena dapat meringankan gejala namun tidak menyembuhkan penyakitnya. Peradangan cenderung kambuh di daerah sambungan usus yang tertinggal. Pada hampir 50% kasus, diperlukan pembedahan kedua. Karena itu, pembedahan dilakukan hanya bila timbul komplikasi atau terjadi kegagalan terapi dengan obat. PROGNOSIS Beberapa penderita sembuh total setelah suatu serangan yang mengenai usus halus. Tetapi penyakit Crohn biasanya muncul lagi dengan selang waktu tidak teratur sepanjang hidup penderita. Kekambuhan ini bisa bersifat ringan atau berat, bisa sebentar atau lama. Mengapa gejalanya datang dan pergi dan apa yang memicu episode baru atau yang menentukan keganasannya tidak diketahui. Peradangan cenderung berulang pada daerah usus yang sama, namun bisa menyebar pada daerah lain setelah daerah yang pernah terkena diangkat melalui pembedahan. Penyakit Crohn biasanya tidak berakibat fatal. Tetapi beberapa penderita meninggal karena kanker saluran pencernaan yang timbul pada penyakit Crohn yang menahun.

FAKULTAS KEDOKTERAN 2006 BAB I PENDAHULUAN Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi traktus gastrointestinal , yaitu Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa. Kedua kelainan tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal yang beragam dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepato-bilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh kembang, maka klinisi harus memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD. Penyakit Crohn pertama kali dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 sebagai ileitis regional. Saat ini, penyakit Crohn diketahui sebagai suatu proses inflamasi kronis transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum. Wilks dan Moxon telah lebih dari satu abad mengenal Kolitis Ulserativa sebagai proses inflamasi idiopatik yang bersifat kronis dan hilang timbul serta terbatas pada mukosa kolon dan rektum. Proses inflamasi yang terjadi pada Kolitis Ulserativa relatif homogen pada mukosa yang dimulai pada rektum dan melibatkan kolon kearah proksimal. Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa merupakan 2 kelainan yang berbeda, akan tetapi memiliki banyak kesamaan gejala klinis dan histopatologi. Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa telah dikenal selama satu setengah abad namun proses inflamasi kronis yang terjadi menimbulkan kerusakan usus dan sampai saat ini masih merupakan suatu misteri. Pada referat ini akan dibahas mengenai etiologi, patologi, epidemiologi, gejala klinis, komplikasi, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ETIOLOGI Sampai saat ini etiologi Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa belum jelas. Namun diduga penyakit ini disebabkan oleh. multifaktor, yang meliputi genetik, pengaruh lingkungan, integritas

mukosa, dan faktor imunologis Beberapa faktor pencetus seperti infeksi, toksin dapat memicu proses inflamasi dan akan menyebabkan disregulasi respon imunologi mukosa traktus gastrointestinal pada individu yang rentan. PATOGENESIS Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah: A. Faktor Genetik Penderita IBD mempunyai faktor predisposisi genetik. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa 25% penderita IBD memiliki riwayat keluarga dengan IBD. (penulis lain 10-25%). Pada kembar monozigot peluang untuk Penyakit Crohn sekitar 42%-58% dan peluang untuk Kolitis Ulserativa sekitar 6%-17%. Sampai saat ini telah ditemukan beberapa kelainan kromosom yang berhubungan dengan Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa atau keduanya. Kromosom 16 (gen IBDI) atau gen CARD15 berhubungan dengan Penyakit Crohn. Perinuclear antinetrophil antibody (pANCA) ditemukan pada 70% penderita Kolitis Ulserativa. Kromosom 5 (5q31), 6 (6p21 dan 19p) sering ditemukan pada penderita IBD. B. Faktor Lingkungan Beberapa agen infeksius diduga sebagai penyebab IBD. Akan tetapi, isolasi agen infeksius dari jaringan IBD tidak dapat membuktikan hubungan antara agen infeksius sebagai etiologi IBD karena pada IBD sering disertai koloni bakteri oportunistik pada mukosa yang mengalami inflamasi. Selain itu pemberian antibiotika tidak mempengaruhi perjalanan penyakit IBD. Sampai ini belum ada data mengenai transmisi secara epidemik agen infeksius pada IBD. Faktor lingkungan lain yang diduga pencetus IBD adalah stres psikososial, faktor makanan, seperti pajanan susu sapi atau food additives, asupan serat kurang dan zat toksin lingkungan. C. Faktor Imunologi Kelainan respon kekebalan telah diduga mempunyai peranan dalam patogenesis IBD. Pada IBD, setelah pajanan primer oleh antigen, sistem kekebalan akan mengalami kelainan regulasi yang bersifat menetap dan bertindak sebagai lingkaran setan yang mengakibatkan proses inflamasi. Sel T helper/CD4+ mempunyai peran penting dalam kelainan regulasi sistem kekebalan pada IBD. Sel Th1 menghasilkan interleukin (IL)-2,interferon (INF)-g, dan tumor necrosis factor (TNF)-a yang merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel Th1 dan sitokin yang dihasilkan akan merangsang aktivasi makrofag dan pembentukan granuloma, merupakan gambaran histologi yang sering ditemukan pada Penyakit Crohn.. Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan sitokin seperti IL-4. IL-5, Il-6 dan Il-10, akan merangsang antibody-mediated immune respons. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan oleh aktivasi antibodi dan komplemen lebih sering ditemukan pada Kolitis Ulserativa.

Beberapa penelitian telah membuktikan kelainan autoimun dengan adanya antibodi,immunecomplex complement atau aktifitas limfosit terhadap mukosa kolon, namun semua fenomena ini tidak berlangsung secara konsisten dan tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit. Selain itu, adanya kerusakan sel mukosa tanpa disertai adanya agen eksogen spesifik, dan respon terhadap pemberian kortikosteroid dan obat imunosupresif mendukung kemungkinan mekanisme kelainan kekebalan. Pada Kolitis Ulserativa ternyata berhubungan dengan prevalens atopi keluarga, dan umumnya disertai dengan kelainan ekstraintestinal seperti eritema nodusum, artritis, dan uveitis. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum dapat dibuktikan apakah kelainan kekebalan tersebut mempunyai peranan primer atau sekunder pada patogenesis IBD. Diduga, kelainan kekebalan poligenik, yang menjelaskan manifestasi klinis yang beragam pada IBD. Sistem kekebalan humoral lokal saluran gastrointestinal pada IBD diduga mempunyai kelainan. Pada periode neonatus, defisiensi immunoglobulin A (IgA) sekretori atau fungsi barier mukosa yang imatur akan menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein di lumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi peningkatan pajanan terhadap makromolekul dan sensitasi sistem kekebalan saluran pencernaan terhadap antigen, bakteri atau alergen makanan dan perubahan sekresi dan komposisi mukus. Pendapat lain mengatakan bahwa local gut associated lymphoid tissue mengalami sensitasi terhadap antigen, kemudian membentuk tahapan/dasar yang kemudian hari teraktivasi oleh pajanan cross-reacting antigents melalui respon imunantibody-dependent cell-mediated. D. Integritas Epitel Kelainan barier epitel mukosa akan menyebabkan peningkatan pajanan antigen terhadap sistem kekebalan traktus gastrointestinal diduga sebagai faktor inisial pada IBD. Pada Penyakit Crohn dijumpai adanya gangguan integritas mukosa yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap protein-protein dilumen usus yang bersifat antigenik, sehingga terjadi perubahan sekresi dan komposisi mukus. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan antibodi spesifik terhadap protein susu sapi, produk-produk bakteri enterik, dan protein luminal pada penderita Penyakit Crohn. PATOLOGI Inflamasi pada Penyakit Crohn ditandai dengan karakteristik area inflamasi diskret, ulserasi fokal, aphtae, atau striktur disertai area mukosa yang normal (skip area). Jika mengenai kolon, sering mengenai kolon ascendens dan jika mengenai daerah anal sering timbul skin tags, fisura anal, abses serta fistula dan terjadi pada 25% penderita Penyakit Crohn. Pada Penyakit Crohn terjadi proses inflamasi transmural yang dapat meluas keseluruh lapisan dinding traktus gastrointestinal dan menyebabkan fibrosis, adhesistriktur, dan fistula. Perubahan pada mukosa traktus gastrointestinal berupa kriptitis, dan/atau distorsi striktur kripta. Granuloma nonkaseosus pada lamina propria atau submukosa dapat ditemukan pada lebih dari 50%

penderita. Ditemukannya fibrosis dan proliferasi histiosit di submukosa spesifik untuk Penyakit Crohn, walaupun perubahan mukosa tersebut dapat terjadi pada penyakit inflamasi usus yang lain. Pada Kolitis Ulserativa, proses inflamasi terbatas pada lapisan mukosa rektum dan kolon. Inflamasi terbatas pada mukosa dan dan secara kontinyu sepanjang kolon dengan berbagai macam derajat ulserasi, perdarahan, edema, dan regenerasi epitel. Selain itu pada Kolitis Ulserativa, terjadi kriptitis, abses kripta, dan terjadi distorsi kripta serta hilangnya sel goblet. Kelainan pada rektum hampir terjadi pada seluruh penderita Kolitis Ulserativa. Inflamsai dapat terjadi sampai daerah sekum dan mungkin terjadi pada ileum terminal (backwash ileitis). Pada Kolitis Ulserativa yang berat, setelah epitel mukosa dihancurkan, proses inflamasi melibatkan daerah submukosa selanjutnya ke bawah menuju daerah muskularis daerah yang terlibat akan membentuk jaringan pulau-pulau yang dinamakan Pseudopolyps. Penebalan dan fibrosis dari dinding usus besar sangat jarang terjadi, namun dapat terjadi pemendekan kolon dan striktur fokal dikolon pada penyakit yang berlangsung lama. Tidak terjadi pembentukan granuloma dan fibrosis.

Gambar. Inflammatory Bowel Disease EPIDEMIOLOGI. Insidens IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara berkembang. Di Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000 populasi/tahun dan 2,3 kasus baru Kolitis Ulserativa pada kelompok usia 10-19 tahun. Secara umum, prevalens IBD hampir sama angka kejadiannya pada laki-laki dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, didaerah urban, dan terutama bangsa Yahudi, akan tetapi laki-laki mempunyai insidens 20% lebih tinggi pada Penyakit Crohn. Puncak onset usia IBD bersifat bimodal, dan kasus paling sering terjadi pada usia dekade ke-2 dan ke-3. Pada anak, Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia 10-16 tahun, dan sekitar 25% kasus baru di populasi berusia <20> Pada populasi anak, penelitian epidemiologi pospektif dan retrospektif telah dilakukan di beberapa negara dalam 10 tahun terakhir. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa insidens

Penyakit Crohn 0,2-5,9 per 100.000 anak/tahun, dan insidens Kolitis Ulserativa 0,5-3,2 per 100.000 anak/tahun. GEJALA KLINIS Gejala klinis IBD pada anak berbeda dibanding dewasa. Pada anak, gejala klinis yang sering dikeluhkan adalah nyeri perut. Selain itu beberapa gejala klinis gastrointestinal yang sering ditemukan adalah diare, perdarahan rektum, massa abdomen dan kelainan perianal. Onset klinis IBD dapat terjadi perlahan (insidious), dengan gejala klinis tidak spesifik gastrointestinal atau gejala ekstraintestinal seperti gagal tumbuh. Hal ini sering menyebabkan terlambat diagnosis atau diagnosis yang tidak tepat. Gagal tumbuh terjadi pada 10-40% penderita IBD. Gambaran klinis IBD pada anak tegantung dari lokasi dan luasnsya proses inflamasi traktus gastrointestinal, gejala klinis ekstrainterstinal, dan akibat penyakit pada tumbuh kembang harus dipertimbangkan dalam evaluasi diagnosis. Gambaran gejala klinis IBD pada anak dan dewasa seperti tabel dibawah ini. Gejala Klinis Kolitis Ulserativa Penyakit Crohn Anak Dewasa Anak Dewasa Nyeri perut 71% 33-53% 62-95% 60% Diare 67% 37-80% 66-77% 60-100% Perdarahan Rektum 52% 80-90% 80-92% 20% Penurunan berat Badan 39% 43% 22-83% 34% Demam 12% 27% 14-60% 26-51% Gagal tumbuh 6% 30-33% Artritis 16% 13% 15-25% 4-7% Tabel Gambaran klinis IBD Pada Penyakit Crohn diare, nyeri perut (sering dirasakan setelah makan), kram periumbilikal, demam, dan penurunan berat badan adalah gejala klinis yang paling umum dan menandakan adanya inflamasi di usus halus. Perdarahan rektum terjadi jika mengenai kolon. Gejala klinis ekstraintestinal atau gagal tumbuh mungkin sebagai gejala awal dari Penyakit Crohn. Diare yang terjadi terutama disebabkan oleh malabsorbsi akibat inflamasi pada mukosa, obstruksi parsial yang menyebabkan stasis dan pertumbuhan berlebih dari bakteri, atau dengan adanya fistula enteroenteral atau enterokolika. Diduga prevalens malabsorbsi pada anak dengan penyakit Crohn sekitar 17% terhadap laktosa, 29% terhadap lemak, 70% terhadap protein. Diare berdarah yang menandakan keterlibatan kolon, biasanya disertai nyeri perut dan urgensi untuk defekasi karena terjadi peningkatan kecepatantransit di kolon dan distensi dari bagian kolon yang mengalami inflamasi. Pada umumnya gejala klinis Kolitis Ulserativa berupa diare, peradarahan rektum, nyeri perut, tenesmus ani dan tinja berdarah yang terjadi secara perlahan (insidious) tanpa disertai gejala sistemik, berat badan turun, atau hipoalbuminemia. Sekitar 30% anak dengan gejala sistemik dan

disertai diare berdarah, kram, urgensi anoreksi, penurunan berat badan dan demam. Sebagian dari anak dengan derajat berat akan mengalami kolektomi karena tidak berespon terhadap terapi medikamentosa. Gejala ekstraintestinal pada IBD terjadi pada 25-35% penderita. Gejala Klinis ekstraintestinal yang sering terjadi berupa: Tempat Manifestasi Kulit Eritema nodusum, pioderma gangrenosum Hati Infiltrasi lemak, sclerosing cholangitis, hepatitis kronis, Tulang kolelitiasis Sendi Osteopenia, aseptik nekrosis Mata Artritis, ankylosing spondilitis, sakro-ilitis Ginjal/urologi Uveitis, episkleritis, kerastitis Hematologi Nefrolitiasis, hidronefrosis obstruktif, fistula enterovesikal, Vaskular glomerulonefritis Pankreas Anemia (defisiensi zat besi, folat, vitamin B12) Lain-lain Tromboflebitis, vaskulitis, trombosis vena portal Pankreatitis Gagal tumbuh, terlambat maturasi seksual

Gambar. Gejala Klinis Ekstra intestinal pada IBD Gejala ekstraintestinal tersebut terbagi menjadi 4 kelompok: Kelompok 1 : Secara langsung berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus gastrointestinal, biasanya respon pada terapi kelainan gastrointestinal (seperti demam dan anemia) Kelompok 2 : Tidak berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus gastrointestinal (seperti sclerosis cholangitis) Kelompok 3 : Akibat dari kelainan traktus gastrointestinal (seperti obstruksi uretra) Kelompok 4 : Timbul akibat dari terapi (seperti drug-induced pancreatitis) Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah,peripheral form (10% penderita) umumnya mengenai sendi besar (lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, sendi siku) dan biasanya berhubungan dengan inflamasi kolon yang aktif. Yang kedua,

adalah bentuk aksial berupa ankylosing spondilitis atau sakroilitis. Bentuk aksial jarang terjadi pada anak. Gambaran ekstraintestinal yang dapat timbul sebagai gejala awal dan petunjuk pada Penyakit Crohn adalah kelainan perianal, stomatitis, eritema nodusum, eritema sendi besar, uveitis, dan jari tabuh serta gagal tumbuh. Kelainan perianal lebih sering terjadi pada penyakit Crohn dibanding Kolitis Ulserativa berupa skin tags, abses perianal, atau fisura dan fistula yang tidak nyeri. Artritis dapat terjadi pada 11% kasus dan bersifat monoartikular terutama pada lutut dan pergelangan kaki atau poliartritis migran tanpa disertai kerusakan sendi atau deformitas. Artritis sering terjadi pada penderita dengan kelainan kolon dan cenderung berhubungan dengan aktifitas penyakit. Eritema nodusum terjadi pada 5% kasus dan berhubungan dengan aktivitas penyakitterutama inflamasi pada kolon. Uveitis yang terjadi berupa simtomatik pada 3% anak dan asimtomatik pada 30% anak. Gagal tumbuh terjadi pada 87% anak, dan disertai dengan osteoporosis serta gangguan maturasi seksual. Seperti halnya pada penyakit Crohn, pada Kolitis Ulserativa terjadi gejala klinis ekstraintestinal. Gejala ekstraintestinal yan sering dijumpai seperti artritis sendi besar, lesi kulit pioderma gangrenosum atau eritema nodusum (lebih sering pada Penyakit Crohn) dan gagal tumbuh. Selain itu, insidens kelainan hepatobilier pada Kolitis Ulserativa mencapai 5-10% dan kelainan yang sering ditemukan adalah sclerosing cholangitis. Derajat berat gejala klinis Penyakit Crohn terbagi 3 kriteria yaitu: Ringan-sedang Dapat mentoleransi diet secara oral tanpa dehidrasi, demam, nyeri perut, massa abdomen, obstruksi, atau penurunan berat badan >10% Sedang-berat Tidak respon terhadap terapi derajat ringan-sedang atau gejala demam menetap, penurunan berat badan yang tidak signifikan, nyeri perut, mual dan muntah intermiten (tanpa adanya obstruksi), atau anemia yang signifikan. Berat-fulminan Gejala klinis yang persisten meskipun telah mendapat kortikosteroid, atau penderita dengan demam tinggi, muntah persisten, obstruksi intestinal, kaheksia atau abses intra abdominal. Pada Kolitis Ulserativa, setidaknya terdapat 4 bentuk gejala dan tanda klinis yang berhubungan dengan derajat peradangan mukosa dan gangguan sistemik. Prodromal (<5%) Kegagalan pertumbuhan, artropati, eritema nodusum, occult fecal blood. Peningkatan LED, nyeri perut tidak khas, atau perubahan pola defekasi. Ringan (50-60%) Diare, perdarahan rektum ringan, nyeri perut, tidak ada gangguan sistemik Sedang (30%)

Diare berdarah, kram, urgensi, abdominal tenderness Gangguan sistemik: anoreksia, penurunan berat badan, panas badan, anemia ringan Berat (10%) Defekasi berdarah >6x/hari, abdominal tenderness dengan atau tanpa distensi, takikardia, panas badan, penurunan berat badan, anemia yang signifikan, lekositosis dan hipoalbuminemia KOMPLIKASI Inflamasi transmural dari lapisan mukosa hingga serosa merupakan penyebab komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, sehingga terjadi adhesi, striktur, dan abses, yang meningkatkan resiko obstruksi serta pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan fistula. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa keganasan, malnutrisi dan gagal tumbuh. Fistula dapat terjadi enterokutan, enteroenteral, enterokolika, perirektal, labial, enterovaginal, dan enterovesikal. Komplikasi Kolitis Ulserativa yang mengancam jiwa adalah megakolon toksik dan merupakan kasus kegawatan medis dan kegawatan bedah. Anak dengan megakolon toksik mempunyai risiko tinggi untuk perforasi kolon, sepsis akibat bakteri gram negatif dan perdarahan masif. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi berupa striktur dan keganasan. DIAGNOSIS Diagnosis penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi, gambaran mukosa dengan endoskopi, dan histopatologi. A. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik Anamnesis yang lengkap tentang gejala gastrointestinal, gejala sistemik, riwayat keluarga, gagal tumbuh, adanya keterlambatan perkembangan dan kematangan seksual serta manifestasi ekstraintestinal. Pemeriksaan fisik tanda-tanda dehidrasi, status nutrisi dan gejala ekstraintestinal. Adanya hipotensi ortostatik, takikardia, distensi abdomen dan adanya massa merupakan indikasi parahnya penyakit dan memerlukan perawatan. B. Pemeriksaan Laboratorium Sampai saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk IBD. Pemeriksaan laboratorium dapat membantu dalam menilai keberhasilan pengobatan, petanda inflamasi, petanda gejala klinis ekstraintestinal dan status nutrisi. Pemeriksaan feses rutin dan biakan mikroorganisme feses dilakukan untuk eksklusi penyakit infeksi Dua petanda antibodi spesifik IBD telah diketahui antibodi tersebut adalahperinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (pANCA) dan antibodi antisaccharomyces cervisiae (ASCA). Antibodi pANCA ditemukan pada 80% Kolitis Ulserativa dan 45% pada Penyakit Crohn. Sedangkan antibodi ASCA ditemukan pada 60-70% Penyakit Crohn dan 14% pada Kolitis Ulserativa. Pada 2 penelitian seroepidemiologi menunjukkan bahwa kombinasi

pANCA positif dan ASCA negatif mempunyai prediksi positif Kolitis Ulserativa sebesar 8892%. Sedangkan kombinasi pANCA negatif dan ASCA positif mempunyai nilai prediksi positif Penyakit Crohn 95-96%. C. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi abdomen posisi tegak dan terlentang untuk mengevaluasi dilatasi kolon dan eksklusi obstruksi yang berhubungan dengan ileus, obstruksi, pneumoperitonium karena perforasi. Barium enema dapat menilai karakteristik dan luas kelainan kolon, akan tetapi tidak boleh dilakukan pada penyakit akut (active disease), yaitu kolitis aktif karena dapat menyebabkan dilatasi toksik. Pada kolitis ringan dan sedang tanpa distensi abdomen, barium enema dengan double contrast dapat mendeteksi kelainan mukosa berupa karakteristik lesi, deformitas sekum, kelainan segmental/seluruh kolon. Pemeriksaan barium enema dapat menentukan adanya pemendekan vili, hilangnya haustrae, pseudopoli, striktur dan spasme pada IBD. Pemeriksaan radiologi traktus gastrointestinal atas dengan follow trough sampai dengan usus halus dapat menentukan ada/tidaknya kelainan pada usus halus. Pada Penyakit Crohn, ileum terminal tampak rigid, konstriksi, dan nodular dengan deformitas akibat proses inflamasi transmural. Pada Kolitis Ulserativa dapat ditemukan backwash-ileitis, berupa gambaran mukosa yang menghilang dan ileum terminal dilatasi tanpa disertai penebalan dinding. Selain itu, tidak ditemukan kelainan lain dari usus halus pada Kolitis Ulserativa. Kelainan yang dapat dilihat pada pemeriksaan barium enema dengan double contrastkolon penderita IBD adalah. Gambaran stove-pipe

Gambaran rectal sparing Gambaran thumbprinting Gambaran skip lesion Gambaran string sign Gambaran collar button Pemeriksaan lain yang dapat membantu adalah ultrasonografi dan CT scan. Pemeriksaan

tersebut terutama untuk menentukan adanya abses intra abdomen.

D. Pemeriksaan Endoskopi

Kolonoskopi secara visual langsung mukosa dengan biopsi mukosa pada kolon dan ileum termminal merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik pada IBD. Kontraindikasi kolonoskopi pada kolitis yang berat, karena resiko perforasi, perdarahan dan menginduksi megakolon toksik. Kelainan mukosa pada Penyakit Crohn berupa lesi diskret atau aphthae pada mukosa dengan eksudat sentral dan eritema dan gambaran cobblestone-like appearance. Diantara daerah lesi terdapat daerah mukosa yang normal (skip area). Pada Kolitis Ulserativa, kelainan mukosa difus dan kontinyu dengan edema, eritema, dan erosi mukosa serta pseudopolyp. Kolonoskopi pada penderita IBD dapat digunakan untuk tindakan terapi. Tindakan yang sering dilakukan berupa dilatasi striktur pada Penyakit Crohn dan injeksi intralesi kortikosteroid (triamnisolon 5 mg pada 4 kuadran) dapat membantu untuk mencegah pembentukan striktur berulang.

DIAGNOSIS BANDING Gejala klinis dan ektraintestinal yang beragam menyebabkan diagnosis Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa sulit ditegakkan. Beberapa kelainan yang menyerupai IBD adalahChronic inflamatory-like intestinal disorder seperti enterokolitis karena infeksi(bakteri dan parasit, kelainan sistem imunitas (seperti gastroenteritis eosinofilik), kelainan vaskular (seperti vaskulitis sistemik, Henoch-Scholein Purpura, sindrom hemolitik-uremik) dan kolitis Hisrchsprung serta limfoma intestinal, serta keganasan. PENATALAKSANAAN Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah komplikasi dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memeperbaiki status nutrisi dan kualitas hidup. Konsultasi ke bagian Gizi dilakukan karena gagal tumbuh sering terjadi pada penderita IBD. Tujuan dari dukungan nutrisi adalah pemulihan hemostasis metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti ongoing losses; kecukupan energi, protein dan mineral untuk keseimbangan positif nitrogen dan penyembuhan. Sampai saat belum diketahui zat makanan tertentu yang menyebabkan aktivasi IBD. Pemberian nutrisi enteral mungkin mempengaruhi proses inflamasi pada Penyakit Crohn, tetapi tidak mempunyai penranan dalam proses inflamasi pada Kolitis Ulserativa.

A. Terapi Medikamentosa Medikamentosa yang digunakan untuk induksi remisi, mempertahankan remisi, mencegah dan mengurangi relaps adalah: 1. Aminosalisilat (ASA), terutama untuk mempertahankan remisi. Dosis tinggi digunakan untuk induksi remisi. Sulfasalasin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis, dapat ditingkatkan sampai 75 mg/kg Mesalamin, dosis 30-50 mg/kg/hari dalam2-4 dosis (maksimal 3,2g/hari) Olsalazin, dosis 30 mg/kg/hari dalam 2 dosis 2. Kortikosteroid, untuk induksi remisi. Tidak berperan dalam mempertahankan remisi. Prednison, dosis: 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal atau dosis terbagi Metilprednisolon, dosis: 2 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis 3. Imunomodulator, digunakan untuk induksi dan mempertahankan remisi. Azathioprine, dosis: 2-2,5 mg/kg/hari dosis tunggal 6-Mercatopurin, dosis: 1,5 mg/kg/hari dosis tunggal 4. Anti-tumor necrosis factor untuk induksi remisi infliximab merupakan antibodi monoklonal anti-TNF-alfa. Infliximab, dosis: 5 mg/kg dilarutkan dengan 250 ml NaCl fisiologis secara intravena. Infliximab dosis tunggal untuk Penyakit Crohn derajat moderat-berat atau pada fistula dengan dosis 5mg/kg dalam 2 jam 3 kali pada minggu 0, 2, dan 6, sering diikuti pemberian setiap 8 minggu.Data penggunaan infliximab pada Kolitis Ulserativa tidak sebaik pada Penyakit Crohn. 5. Antibiotika Metronidazole, dosis: 30-50 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Metronidazole diberikan pada kelainan perianal Penyakit Crohn Terapi medikamentosa pada Kolitis Ulserativa tergantung dari derajat berat dan luasnya inflamasi. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk mengendalikan proses inflamasi, menghilangkan gejala klinis, mencegah komplikasi, dan mencegah relaps, serta mempersiapkan untuk tindakan bedah karena 20% penderita akan mengalami tindakan bedah. Luasnya inflamasi terbagi menjadi 2 tipe yaitu: Tipe distal, inflamasi terbatas pada kolon dibawah fleksura llienalis dan dapat dicapai dengan terapi topikal Tipe ekstensif, inflamasi meluas kearah proksimal dari fleksura lienalis dan memerlukan terapi sistemik Pada Penyakit Crohn sampai saat ini belum ada terapi definitif, penatalaksanaan umumnya terdiri dari terapi medikamentosa dan dukungan nutrisi. Sampai saat

ini, belum ada regimen medikamentosa yang dapat mempengaruhi outcome jangka panjang Penyakit Crohn.Oleh karena itu, medika mentosa digunakan untuk serangan eksaserbasi dan mengurangi frekuensi serangan eksaserbasi. B.Terapi Bedah Pendekatan terapi bedah pada IBD tergantung dari jenis dan berat penyakit. Tujuan terapi bedah pada Kolitis Ulserativa dan Penyakit Crohn berbeda. Karena kelainan Kolitis Ulserativa terbatas pada kolon, maka total kolektomi merupakan terapi definitif. Akan tetapi, pada Penyakit Crohn dimana kelainan traktus gastrointestinal dapat terjadi mulai dari mulut sampai anus, saat ini belum ada terapi bedah definitif. Indikasi bedah Penyakit Crohn adalah: Obstruksi traktus gastrointestinal Fistula Abses Perdarahan yang tidak terkontrol Megakolon toksik Perforasi Penyakit fulminan yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa Gagal tumbuh dengan kelainan mukosa traktus gastrointestinal yang terbatas (localized disease) Indikasi bedah untuk Kolitis Ulserativa adalah: Megakolon toksik Perdarahan yang masif/tidak terkontrol Perforasi Prolonged corticostreoid dependent Komplikasi akibat kortikosteroid pada penyakit kronis aktif Gagal tumbuh setelah mendapat dukungan nutrisi Displasia epitel dan resiko tinggi keganasan Penyakit yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa Striktur C.Peran Probiotik dan Prebiotik Peranan probiotik dan prebiotik pada IBD masih belum jelas. Akhir-akhir ini banyak penelitian pemberian probiotik dan prebiotik pada penderita IBD. Probiotik dapat mengubah flora traktus gastrointestinal dengan mekanisme kompetitif, menghasilkan zat antimikroba, atau mempengaruhi respon kekebalan lokal. Ada juga yang mengatakan bahwa interaksi probiotik dengan sel epitel dapat mempercepatpenyembuhan proses inflamasi. Efek

prebiotik dapat ditingkatkan dengan pemberian prebiotik yang dapat merangsang pertumbuhan probiotik Pada anak, penelitian probiotik pada IBD menunjukkan bahwa pemberianLactobacillus casei strain GG pada Penyakit Crohn meningkatkan respons kekebalan IgA traktus gastrointestinal. Penelitian lain menunjukkan bahwa probiotik dapat memperbaiki gejala kllinis dan permeabilitas traktus gastrointestinal pada pada penyakit Crohn. Penelitian pemberian prebiotik dan probiotik (sinbiotik) pada penderita Kolitis Ulserativa mempercepat perbaikan gejala klinis. PROGNOSIS Inflamatory bowel disease ditandai dengan periode eksaserbasi dan remisi. Sebagian besar anak (70%) dengan Kolitis Ulserativa mengalami remisi dalam 3 bulan setelah terapi inisial dan kurang lebih 50% remisi dalam 2 tahun. Koletomi dalam 5 tahun setelah diagnosis terjadi pada 26% kasus derajat berat dibanding 10% kasus derajat ringan. Anak dengan proktitis, 70% akan mengalami penyakit lebih ekstensif dikemudian hari. Hanya 1% anak dengan penyakit Crohn tidak mengalami relaps setelah didiagnosis dan terapi inisial. Anak dengan ileokolitis cenderung untuk mengalami respon buruk terhadap terapi medikamentosa. Sekitar 70% anak dengan Penyakit Crohn akan mengalami tindakan bedah dalam 10-20 tahun setelah diagnosis. Selain itu, pada IBD cenderung untuk terjadi keganasan pada kolorektal. Resiko keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis Ulserativa. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk adenokarsinoma adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun) dan luas colitis (pankolitis > left-sided colitis > proktitis). BAB III KESIMPULAN Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan 2 jenis kelainan idiopatik yang berkaitan dengan inflamasi traktus gastrointestinal , yaitu Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa. Kedua kelainan tersebut harus dibedakan dengan kelainan yang mirip seperti infeksi, alergi dan keganasan. Karena IBD sering berhubungan dengan gejala klinis ekstraintestinal yang beragam dan mencakup berbagai organ seperti kulit, muskuloskeletal, hepato-bilier, mata, ginjal hematokrit dan gangguan tumbuh kembang, maka klinisi harus memperhatikan kelainan tersebut sebagai bagian dari gejala klinis IBD. Sampai saat ini etiologi Penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa belum jelas. Beberapa faktor predisposisi terjadinya IBD adalah: Penderita IBD mempunyai faktor predisposisi genetik, faktor Lingkungan (stres psikososial, faktor makanan, seperti pajanan susu sapi atau pengawet makanan, asupan serat kurang dan zat toksin lingkungan), faktor imunologi, integritas epitel.

Insidens IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara berkembang. Di Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000 populasi/tahun dan 2,3 kasus baru Kolitis Ulserativa pada kelompok usia 10-19 tahun. Secara umum, prevalens IBD hampir sama angka kejadiannya pada laki-laki dan perempuan, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, didaerah urban, dan terutama bangsa Yahudi, akan tetapi laki-laki mempunyai insidens 20% lebih tinggi pada Penyakit Crohn. . Pada ana k, Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia 10-16 tahun, dan sekitar 25% kasus baru di populasi berusia <20> Gejala klinis IBD pada anak berbeda dibanding dewasa. Pada anak, gejala klinis yang sering dikeluhkan adalah nyeri perut. Selain itu beberapa gejala klinis gastrointestinal yang sering ditemukan adalah diare, perdarahan rektum, massa abdomen dan kelainan perianal Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah,peripheral form (10% penderita) umumnya mengenai sendi besar (lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, sendi siku) dan biasanya berhubungan dengan inflamasi kolon yang aktif. Yang kedua, adalah bentuk aksial berupa ankylosing spondilitis atau sakroilitis. Bentuk aksial jarang terjadi pada anak. Inflamasi transmural dari lapisan mukosa hingga serosa merupakan penyebab komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, komplikasi Kolitis Ulserativa yang mengancam jiwa adalah megakolon toksik dan merupakan kasus kegawatan medis dan kegawatan bedah Diagnosis penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativa berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi, gambaran mukosa dengan endoskopi, dan histopatologi. Tujuan terapi pada IBD adalah mengurangi proses inflamasi, mencegah komplikasi dan mencegah relaps atau perburukan penyakit, memeperbaiki status nutrisi dan kualitas hidup. Konsultasi ke bagian Gizi dilakukan karena gagal tumbuh sering terjadi pada penderita IBD. Tujuan dari dukungan nutrisi adalah pemulihan hemostasis metabolisme dengan koreksi defisit nutrien dan mengganti ongoing losses; kecukupan energi, protein dan mineral untuk keseimbangan positif nitrogen dan penyembuhan Resiko keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis Ulserativa. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk adenokarsinoma adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun) dan luas colitis (pankolitis > left-sided colitis > proktitis).

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM GASTROINTESTINAL KOLITIS ULSERATIF DAN APENDISITIS BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kolitis ulseratif masuk dalam kategori Inflammatory Bowel Disease (IBD)/penyakit inflamasi usus karena penyakit ini merupakan penyakit yang belum diketahui penyebabnya dengan prevalensi berkisar 10 - 20 x, terjadi pada usia muda (umur 25 30 tahun) wanita dan pria sama tetapi ada perbedaan dalam geografis dan sosial ekonomi tinggi. Dari berbagai data kepustakaan didapatkan insiden Kolitis ulseratif di Indonesia belum jelas tetapi bertitik tolak pada data endoskopi di sub bagian gastroentologi RSU PN (M Jakarta diperoleh gambaran bahwa terdapat 20 kasus Kolitis ulseratif dari 700 pemeriksaan kolonoskopi atas berbagai indikasi (tahun 1991 1995) sedangkan tahun 1996 dari 72 kasus didapatkan kasus Kolitis ulseratif 18. Data di masyarakat mungkin lebih tinggi daripada data yang ada di RS, mengingat sarana endoskopi belum tersedia merata di pusat pelayanan kesehatan di Indonesia. Dengan mengetahui data di atas dapat diketahui bahwa dari tahun ke tahun prevalensi Kolitis ulseratif meningkat. Apendisitis merupakan kasus GI terbanyak pada bedah emergensi insiden tinggi di negara maju (diet rendah serat) terutama umur 10 30 tahun dan laki-laki lebih banyak daripada wanita. Apendisitis adalah radang apendiks yang disebabkan oleh obstruksi atas pasase infeksi di mana jarang ditemukan pada: Anak: apendiks pendek, lumen lebar, bentuk kerucut (peroksimal lebar, distal menyempit). Orang tua: lumen mengecil/fibrotik.

1 B. TUJUAN 1. Tujuan Umum Untuk mengurangi angka kesakitan dan meningkatkan derajat kesehatan. 2. Tujuan Khusus a. Memperoleh gambaran mengenai penyakit Kolitis ulseratif dan Apendisitis b. Mampu mengidentifikasi kasus gangguan sistem pencernaan khususnya Kolitis ulseratif dan Apendisitis sehingga dapat mengatasi masalah keperawatan yang terjadi. c. Mampu mengenali pengkajian sampai evaluasi yang sering terjadi pada klien dengan Kolitis ulseratif dan Apendisitis. C. KEGUNAAN PENULISAN Dalam penulisan makalah ini, penulis mengharapkan agar hasil makalah ini dapat dipergunakan sebagai: 1. Kegunaan Ilmiah Sebagai bahan bacaan Sebagai salah satu tugas akademik 2. Kegunaan Praktis Manfaat bagi tenaga perawat dalam penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan Kolitis ulseratif dan Apendisitis.

2 BAB II TINJAUAN TEORI 1. Kolitis ulseratif I. DEFINISI Kolitis ulseratif merupakan penyakit radang kolon nonspesifik yang umumnya berlangsung lama disertai masa remisi dan eksasorbasi yang berganti-ganti. II. ETIOLOGI Etiologi belum diketahui faktor genetik tampaknya berperanan dalam etiologi. Otoimunitas berperanan dalam patogenesis. III. GAMBARAN KLINIS Terdapat tiga tipe klinis: 1. Kolitis ulseratif akut fulminan ditandai oleh awitan mendadak disertai diare berdarah, nausea, muntah-muntah yang hebat, demam prognosis jelek dan sering terjadi komplikasi mengakolon toksik. 2. Kolitis ulseratif kronik intermitten (rekuren) Timbulnya cenderung pelan-lean selama berbulan-bulan sampai bertahuntahun. Bentuk ringan penyakit ditandai oleh serangan singkat yang terjadi dengan interval berbulan-bulan sampai bertahun-tahun dan berlangsung 1 3 bulan. Mungkin hanya terdapat sedikit atau tidak ada demam diare mungkin ringan, perdarahan ringan dan intermiten biasanya hanya colon bagian distal yang terserang. 3. Kolitis ulseratif kronik kontinyu. Demam dan gejala-gejala sistemik dapat timbul pada bentuk yang lebih berat dan serangan berlangsung 3 atau 4 bulan pada keadaan ini penderita diare terus-menerus colon yang terserang cenderung lebih luas. Defekasi lebih dari 6 x sehari disertai banyak darah dan mucus nyeri kolik hebat.

3 IV. PATOFISIOLOGI PENYIMPANGAN KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

Faktor genetik saluran cerna

Reaksi inflamasi di lapisan dan dinding usus

Pembengkakan

Ulserasi Infeksi kuman

Mengeluarkan toksin

Lesi pada Meningkatnya

Permeabilitas mukosa usus

motilitas usus meningkat

Pembentukan Gangguan Kesempatan Sekresi air dan abses nutrisi kurang absorbsi << elektrolit

dari kebutuhan Gangguan eliminasi BAB Abses pecah

Diare Gangguan

Metabolisme

air dan elektrolit Iritasi pada

Potensial kehilangan di usus mukosa Gangguan cairan dan integritas elektrolit Isi rongga

kulit usus >> Nyeri Intoleransi

aktivitas Gangguan Dehidrasi Volume cairan kurang

istirahat tidur dari kebutuhan Tukak tersebar

Stadium lanjut Tahap kronik Informasi Konsentrasi kurang CES meningkat Terjadi Faktor

Tidak Tekanan perdarahan yang psikologis menggunakan osmotik terus-menerus sumber menurun

Resti anemia Pengulangan Salah CES menurun dalam periode persepsi waktu Shock Kecemasan Kurang Gangguan Pengetahuan perfusi

jaringan Keterangan: Faktor genetik berpengaruh pada saluran pencernaan terjadi reaksi inflamasi di lapisan dan di dinding usus sehingga terjadi pembengkakan dan ulsarasi

4 sehingga menimbulkan kuman untuk berkembang biak dan mengeluarkan toksin sehingga motilitas usus dan permeabilitas meningkat menyebabkan absorbsi kurang dan terjadi diare sehingga dapat timbul masalah keperawatan seperti Nutrisi kurang dari kebutuhan karena terjadinya diare dan absorbsi yang kurang. Gangguan eliminasi BAB: diare Potensial terjadi gangguan integritas kulit; perianal Gangguan istirahat tidur Gangguan aktivitas akibat diare dan rasa nyeri. Diare yang terus-menerus menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit tubuh sehingga masuk dalam tahap dehidrasi sehingga timbul masalah keperawatan volume cairan kurang dari kebutuhan. Terjadinya dehidrasi menyebabkan konsentrasi CES meningkat, tekanan osmotik menurun sehingga CES menurun yang dapat menimbulkan syok sehingga timbul masalah keperawatan gangguan perfusi jaringan. Dari ulserasi menimbulkan lesi pada mukosa, terbentuk abses dan pecah. Timbul iritasi mukosa menyebabkan nyeri. Dari iritasi yang berkelanjutan menimbulkan tukak yang meluas sehingga terjadi perdarahan yang terus-menerus, timbul masalah keperawatan resiko tinggi anemia. Tukak yang meluas dan ada pengobatan masuk dalam tahap kronik menimbulkan gangguan psikologis sehingga timbul masalah keperawatan kecemasan dan dapat juga disebabkan oleh kurang pengetahuan. V. PENGOBATAN Tidak ada pengobatan spesifik untuk Kolitis ulseratif, tujuan terapi adalah mengatasi peradangan, mempertahankan status gizi penderita, meringankan gejala dan mencegah infeksi.

5 Misalnya: sulfonamide, diit rendah residu tinggi protein, tingtura opium dan paregonik Bila tindakan medis tidak berhasil, maka dilakukan kolektomi total dan pembuatan ileotomi permanen. VI. KOMPLIKASI Bersifat lokal atau sistemik Fistula dan fisura abses rectal Dilatasi toksik atau megakolon Perforasi usus Karsinoma kolon

6 BAB III ASKEP PADA KLIEN DENGAN KOLITIS ULSERATIF I. PENGKAJIAN/PENGUMPULAN DATA A. Data Biografi: Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan B. Data Dasar Pengkajian Klien 1. Aktivitas/istirahat Gejala: Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah Insomnia, tidak tidur semalaman karena diare Merasa gelisah dan ansietas Pembatasan aktivitas/kerja sehubungan dengan efek proses penyakit. 2. Sirkulasi Tanda: Takikardia Crospons terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi, dan nyeri Kemerahan area akimonsis (kekurangan vitamin K) TD: hipotensi, termasuk postural Kulit/membran mukosa, turgor buruk, kering, lidah pecah

(dehidrasi/malnutrisi) 3. Integritas ego Gejala: Ansietas, ketakutan, emosi, kesal, misalnya perasaan tak berdaya/tak ada harapan Faktor stress akut/kronis, misalnya hubungan dengan keluarga/pekerjaan, pengobatan yang mahal Faktor budaya peningkatan prevalensi dari populasi Yahudi

7 Tanda: Menolak, perhatian menyempit, depresi. 4. Eliminasi Gejala: Tekstur feses bervariasi dari bentuk lunak sampai batu atau berair Episode diare berdarah tak dapat diperkirakan, hingga timbul, sering tak dapat dikontrol (sebanyak 20 30 kali defekasi/hari) Perasaan dorongan/kram (temosmus), defekasi berdarah/pus/ mukosa dengan atau tanpa keluar feses. Perdarahan per rectal Riwayat batu ginjal (dehidrasi) Tanda: Menurunnya bising usus, tak ada peristoltik atau adanya peristoltik yang dapat dilihat. Hemosoid, fisura anal (25 %), fisura perianal Oliguria. 5. Makanan/cairan Gejala: Anoreksia, mual/muntah

Penurunan berat badan Tidak toleran terhadap diet/sensitif misalnya buah segar/sayur Produk susu makanan berlemak. Tanda: Penurunan lemak subkutan/massa otot Kelemahan tonus otot dan turgor kulit buruk Membran mukosa pucat, luka, inflamasi rongga mulut

8 6. Higiene Tanda: Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri Stomatitis menunjukkan kekurangan vitamin Bau badan 7. Nyeri/kenyamanan Gejala: Nyeri/nyeri tekan pada kwadran kiri bawah (mungkin hilang dengan defekasi) Titik nyeri berpindah, nyeri tekan (arthritis) Nyeri mata, fotofobia (iritis) Tanda: Nyeri tekan abdomen/distensi 8. Keamanan Gejala: Riwayat lupus eritoma tous, anemia hemolitik, vaskulitis,. Arthritis (memperburuk gejala dengan eksoserbasi penyakit usus) Peningkatan suhu 39,6 40 C (eksoserbasi akut)

Penglihatan kabur Alergi terhadap makanan/produk susu (mengeluarkan histamine ke dalam usus dan mempunyai efek inflamasi) Tanda: Lesi kulit mungkin ada misalnya: eritoma nodusum (meningkat), nyeri, kemerahan dan membengkak pada tangan, muka, plodeima gangrionosa (lesi tekan purulen/lepuh dengan batas keunguan) Ankilosa spondilitis Uveitis, kongjutivitis/iritis.

9 9. Seksualitas Gejala: frekuensi menurun/menghindari aktivitas seksual 10. Interaksi sosial Gejala: Masalah hubungan/peran sehubungan dengan kondisi Ketidakmampuan aktif dalam sosial Pemeriksaan Diagnostik Contoh feses (pemeriksaan digunakan dalam diagnosa awal dan selama kemajuan penyakit): terutama mengandung mukosa, darah, pus dan organisme usus khususnya entomoeba histolytica. Protosigmoi doskopi: memperlihatkan ulkus, edema, hiperermia, dan inflamasi (akibat infeksi sekunder mukosa dan submukosa). Area yang menurun fungsinya dan perdarahan karena nekrosis dan ulkus terjadi pada 35 % bagian ini. Sitologi dan biopsy rectal membedakan antara pasien infeksi dan karsinoma. Perubahan neoplastik dapat dideteksi, juga karakter infiltrat inflamasi yang disebut abses lapisan bawah. Enema bartum, dapat dilakukan setelah pemeriksaan visualisasi dilakukan, meskipun jarang dilakukan selama akut, tahap kambuh, karena dapat membuat kondisi eksasorbasi. Kolonoskopi: mengidentigikasi adosi, perubahan lumen dinding, menunjukkan obstruksi usus. Kadar besi serum: rendah karena kehilangan darah.

Masa protromlain: memanjang pada kasus berat karena gangguan faktor VII dan X disebabkan oleh kekurangan vitamin K. ESR: meningkat karena beratnya penyakit Trombosis: dapat terjadi karena proses penyakit inflamasi. Elektrolit: penurunan kalium dan magnesium umum pada penyakit berat.

You might also like