You are on page 1of 16

Kumpulan Materi Bhs.

Indonesia 1
MAJAS Didalam sebuah karya sastra utamanya dalam sebuah karangan fiksi sering kita jumpai bahasa-bahasa yang imajinatif yang ditujukan untuk memperindah sebuah cerita. Itulah yang sering kita kenal dengan Gaya Bahasa atau Majas. Didalam khasanah Bahasa Indonesia, Majas dikelompokkan menjadi empat, yaitu: Majas Perbandingan Majas Pertentangan Majas Penegasan Majas Perulangan Majas Pertautan Gaya bahasa perbandingan terdiri atas beberapa gaya bahasa. Di antaranya seperti yang tertulis di bawah ini: 1. Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan, tetapi sengaja dianggap sama. Biasanya pada majas ini diterangkan oleh pemakaian kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, dan laksana. Contoh: Dua bersaudara itu seperti minyak dengan air, tidak pernah rukun. 2. Metafora adalah perbandingan yang implisit, tanpa kata pembanding seperti atau sebagai diantara dua hal yang berbeda. Contoh: Para kuli tinta mendengarkan dengan tekun penjelasan tentang kenaikan harga BBM. 3. Personifikasi atau penginsanan adalah gaya bahasa yang menggunakan sifat-sifat insani pada barang yang tidak bernyawa. Contoh: Dengarlah nyanyian pucuk-pucuk cemara. 4. Alegori adalah gaya bahasa yang memperlihatkan perbandingan yang utuh. Beberapa perbandingan membentuk satu kesatuan. Alegori merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, biasanya mengandung pendidikan dan ajaran moral. Contoh: Berhati-hatilah dalam mengemudikan bahtera kelangsungan kehidupan keluargamu, sebab lautan kehidupan ini penuh ranjau, topan yang ganas, batu karang, dan gelombang yang setiap saat dapat menghancurkleburkan. Oleh karena itu, nakhoda harus selalu seia sekata dan satutujuan agar dapat mencapai pantai bahagia dengan selamat. 5. Pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata mubazir. Contoh: Saya menyaksikan pembakaran rumah itu dengan mata kepala saya sendiri. 6. Tropen adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan membandingkan suatu pekerjaan atau perbuatan dengan kata lain yang mengandung pengertian yang sejalan dan sejajar. Contoh: Setiap malam ia menjual suaranya untuk nafkah anak dan istrinya. 7. Perifrasis adalah Gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan menguraikan sepatah kata menjadi serangkaian kata yang mengandungarti yang sama dengan kata yang digantikan itu. Contoh: Ketika matahari hilang dibalik gunung barulah ia pulang. Gaya bahasa pertentangan ini juga terdiri atas sejumlah gaya bahasa. Di bawah ini adalah gaya bahasa pertentangan yang sering dipakai. 1. Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih lebihan, atau membesar besarkan sesuatu yang dimaksud dengan tujuan memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi, memperhebat, serta meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Contoh: Teriakan para pengunjuk rasa itu membelah angkasa. 2. Litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil kecilkan, dikurangi dari kenyataan yang sebenarnya, tujuannya untuk merendahkan diri. Litotes merupakan lawan dari hiperbola. Contoh: Jakarta sebagai kota metropolitan bukan kota yang kecil dan sepi. 3, Ironi adalah gaya bahasa yang berupa sindiran halus berupa pernyataan yang maknanya bertentangan dengan makna sebenarnya. Contoh: Pagi benar engkau datang, Hen! Sekarang, baru pukul 11.00

4. Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta fakta yang ada. Contoh: Musuh sering merupakan kawan yang akrab. 5. Klimaks adalah gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makin lama makin mengandung penekanan. Contoh: Dua hari yang lalu korban kerusuhan berjumlah lima belas orang, kemarin bertambah menjadi dua puluh, sekarang terhitung sejumlah tiga puluh orang. 6. Antiklimaks merupakan gaya bahasa kebalikan dari klimaks. Dalam gaya bahasa antiklimaks, susunan ungkapannya disusun makin lama makin menurun. Contoh: Bukan hanya Kepala Sekolah dan Guru yang mengumpulkan dana untuk korban kerusuhan, para murid ikut menyumbang semampu mereka. 7. Antitesis Gaya bahasa pertentangan yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan kepaduan kata yang berlawanan arti. Contoh: Cantik atau tidak,kaya atau miskin, bukanlah suatu ukuran nilai seorang wanita. 8. Okupasi merupakan gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan bantahan, tetapi kemudian di beri penjelasan atau diakhiri kesimpulan. Contoh: Merokok itu merusak kesehatan, akan tetapi si perokokk tidak dapat menghentikan kebiasaannya.Maka muncullah pabrik-pabrik rook karena untungnya banyak. 9. Kontradiksio Intermimis merupakan gaya bahasa yang memperlihatkan pertentangan dengan penjelasan semula. Contoh: Semua murid di kelas ini hadir, kecuali si Hasan yang sedang ikut Jambore. Gaya bahasa pertautan terdiri atas beberapa gaya bahasa yaitu sebagai berikut; 1. Metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan nama cirri atau nama hal yang ditautkan dengan segala sesuatu sebagai penggantinya. Contoh: Sang Merah Putih berkibar dengan gagahnya di angkasa. 2. Sinekdoke ini terdiri atas dua gaya bahasa. a. Pars Prototo adalah gaya bahasa yang menyebutkan sebagian, tetapi yang dimaksud keseluruhan. Contoh: Setiap kepala dikenai sumbangan sebesar Rp 1. 500,00 c. Totem pro parte adalah gaya ahasa yang menyebutkan keseluruhan tetapu yang dimaksudkan sebagian. Contoh: Sekolah kami sudah dua kali mendapat juara pertama dalam lomba cerdas cermat bahasa Inggris. 3. Alusio adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa, tokoh, dan tempat yang sudah banyak dikenal oleh pembaca. Gaya bahasa ini juga tidak menggunakan peribahasa, ungkapan, atau sampiran pantun yang isinya telah diketahui oleh umum. Contoh: Jangan seperti kura kura dalam perahu. 4. Eufimisme adalah gaya bahasa yang berupa ungkapan ungkapan halus, untuk menggantikan ungkapan yang dirasa kasar, kurang sopan, atau kurang menyenangkan. Contoh: Sayang, anak setampan itu hilang akal. Gaya bahasa perulangan yang sering digunakan seperti di bawah ini. 1. Aliterasi adalah sejenis gaya bahasa yang memangaatkan pemakaian kata kata permulaan yang sama bunyi. Gaya bahasa ini biasa digunakan pada karangan fiksi yang berupa puisi. Contoh: Dara damba daku Datang dari danau 2. Asonansi adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan vocal yang sama. Biasanya dipakai dalam karya puisi atau dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau menyelamatkan keindahan. Contoh: Muka muda mudah marah tiada siaga tiada biasa jaga harga tahan harga Gaya bahasa penegasan terdiri atas beberapa gaya bahasa, antara lain: 1. Repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata atau beberapa kata berkali-kali,yang biasanya dipergunakan dalam pidato. Contoh: Kita junjung dia sebagai pemimpin,kita junjung dia sebagai pelindung.

2. Paralelisme adalah majas penegasan yang seperti repetisi tetapi dipakai dalam puisi. Contoh: Kalau kau mau, aku akan datang Jika kau menghendaki,aku akan datang Biula kau minta, aku akan datang 3. Tautologi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan kata-kata yang sama artinya untuk mempertegas arti Contoh: Saya khawatir serta was-was akan keselamatannya. 4. Simetri adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan satu kata, Kelompok kata atau kalimat yang diikuti kata, kelompok kata yang seimbang artinyan dengan kata pertama. Contoh: Kakak berjalan tergesa-gesa, sepoerti orang dikejar anjing gila. 5. Enumerasio adalah majas penegasan yang melukiskan beberapa peristiwa membentuk satu kesatuan yang dituliskan atu per satu supaya tiap-tiap peristiwa dalam keseluruhannya terlihat jelas. Contoh: Angin berhembus, laut tenang, bulan memancar lagi. 6. Rettorik adalah majas penegasan dengan menggunakan kalimat Tanya yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Contoh: Mana mungkin orang mati hidup kembali? 7. Koreksio adalah majas penegasan berupa membetulkan kembali kata-kata yang salah diucapkan, baik sengaja atau tidak sengaja. Contoh: Hari ini sakit ingatan, ehmaaf, sakit kepala maksudku. 8. Asidenton adalah majas penegasan yang menyebutkan beberapa benda, hal atau keadaan secara berurutan tanpa memakai kata penghubung. Contoh: Kemeja, sepatu, kaos kaki, dibelinya di tokok itu. 9. Polisidenton adalah majas penegasan yang menyatakan beberapa benda, orang, hal atau keadaan secara berturut-turut denganmemakai kat apenghubung. Contoh: Dia tidak tahu, tatapi tetap saja ditanyai, akibatnya dia marah-marah. 11. Ekslamasio adalah majas penegasan yang memakai kata-kata seru sebagai penegas. Contoh: Amboi, indahnya pemandangan ini! 12. Praeterito adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu dan pembaca harus menerka apa yang disembunyikan itu. Contoh: Tidak usah kau sebut namanya, aku sudah tahu siapa penyebab kegaduhan ini. 13. Interupsi adalah majas penegasan yang mempergunakan kata-kata atau bagian kalimat yang disisipkan diantara kalimat pokok untuk lebih menjelaskan dan menekankan bagian kalimat sebelumnya. Contoh: Aku, orang yang sepuluh tahun bekerja disini, belum pernah dinaikkan pangkatku. Gaya bahasa sering digunakan dalam karangan fiksi. Bahasa dalam karangan fiksi lebih bebas dari karangan nonfiksi atau ilmiah. Oleh karena itu, bahasa dalam karangan ilmiah adalah bahasa baku dan bermakna lugas. Dalam karangan fiksi gaya bahasa diperlukan untuk memperindah cerita

PERIODESASI DAN PERBEDAAN KARYA SASTRA Tahukah Anda kapan sastra muncul atau lahir di Indonesia? Jenis sastra seperti apa yang pertama ada di Indonesia? Dalam pelajaran ini, Anda akan mempelajari sejarah sastra yang ada di Indonesia. Menurut zamannya, sastra dapat dikelompokkan ke dalam beberapa periodesasi sastra. Periodesasi sastra adalah pembagian sastra dalam beberapa periode atau beberapa zaman. Penggolongan suatu karya sastra ke dalam suatu periode tertentu, tentu harus didasarkan oleh ciri-ciri tertentu. Setiap periode/angkatan sastra mempunyai ciri yang berbeda. Ciri khas sastra setiap periode/angkatan merupakan gambaran dari masyarakatnya sebab sastra merupakan hasil dari masyarakatnya. Jika masyarakat berubah, sastranyapun akan berubah. Berdasarkan pendapat itu, terjadilah penggolongan sastra atau periodisasi sastra seperti berikut.

1. Sastra Indonesia Lama (Sebelum Tahun 1920) Kesusastraan lama adalah kesusastraan yang lahir sebelum Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Kesusastraan lama lahir sekitar tahun 1500, setelah agama Islam masuk ke Indonesia sampai abad XIX. Kesusastraan Melayu pada waktu itu masih bersifat cerita lisan dari mulut ke mulut, belum berbentuk tulisan atau huruf. Orang yang bercerita dan berpantun disebut pawang. Pawang dianggap sebagai buku kesusastraan. Pawang berjasa menerapkan kesusastraan kepada rakyat sebab rakyat pada waktu itu, belum dapat membaca dan menulis. Rakyat dapat mengetahui kesusastraan jika menghadiri pertunjukan yang dilakukan oleh para pawang di daerah Melayu. Ciri-ciri kesusastraan lama adalah bahasanya masih menggunakan bahasa baku yang kaku, ceritanya masih berkisar tentang dewa-dewa, raksasa, atau dongeng yang muluk-muluk, misalnya menceritakan putri yang cantik jelita serta istana yang indah, atau cerita tentang pengembaraan seorang putra raja. Setelah agama Hindu dan Islam masuk ke Indonesia, baru kesusastraan ini ditulis dalam bentuk buku. Kesusastraan lama yang asli dapat dibagi menjadi tiga bagian. 1. Cerita yang hidup dalam masyarakat, misalnya Lebai Malang, Pak Belalang, Pak Kadok, dan Si Makbul. 2. Sejarah lama yang bersifat nasional, misalnya Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat RajaRaja Aceh, dan Silsilah Bugis. 3. Pelipur lara, misalnya Hikayat si Miskin, Hikayat Mashudul Hak, Hikayat Malin Deman, Hikayat Awang Sulung Merah Muda, dan Cerita si Umbut. Sastra lama Indonesia, selain memiliki sastra asli juga memiliki sastra yang bukan asli. Artinya, sastra yang sudah mendapat pengaruh luar, misalnya mendapat pengaruh cerita Jawa, di antaranya Hikayat Panji Semirang, Hikayat Cekel Weneng Pati, Jaran Resmi, dan Damar Wulan. Selanjutnya, sastra lama Indonesia mendapat pengaruh Hindu dan Arab Parsi. Sastra Indonesia yang dipengaruhi agama Hindu, misalnya Mahabarata, Ramayana, dan Panca Tantra. Dalam bahasa Indonesia, ketiga buku itu berudul Sri Rama, Walmiki, Kekawin, Serat Kanda, Keling, dan Tambak. Pengaruh Arab Parsi dalam sastra lama Indonesia terlihat dalam karya-karya mengenai ketatanegaraan, misalnya buku Tajussa Latin (Mahkota Raja-Raja), Bustanussalatin (Taman Raja-Raja), Lukmanul Hakim, dan Abunawas. Selain itu karya lama terlihat dalam roman sejarah, misalnya Iskandar Zulkarnaen, Amir Hamzah, dan Muh. Ali Hanafiah. Selanutnya, karya lama terlihat dalam bentuk didaktik, misalnya Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Bakhtiar (Gulam), dan Cerita 1001 Malam. Selain sastra berbentuk prosa juga ada sastra yang berbentuk puisi. Sastra lama dalam bentuk puisi di antaranya pantun, mantra, bidal, carmina, syair, gurindam, talibun, gurindam, syair masnawi, bait, rubai, kithah, gosali, dan nazam. Syair berasal dari bahasa Arab, gurindam dari bahasa Tamil. Seloka berasal dari bahasa Sanskerta. Adapun mantra, bidal, dan pantun merupakan sastra lama asli Indonesia. Jenis puisi lainnya adalah masnawi, bait, rubai, khithah, gosali, gajal, dan nazam diambil dari bahasa atau sastra Arab Parsi. Pujangga-pujangga yang terkenal penggubah syair adalah Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Pansuri, dan Raja Ali Haji. Puisi yang berasal dari Barat adalah soneta. Soneta berasal dari bahasa Italia yang terbentuk dari kata lain sono, berarti bunyi atau suara. Soneta lahir pada pertengahan abad ke-13 di Kota Florence. Dari Italia, soneta menyebar ke seluruh Eropa terutama ke Eropa Barat, di antaranya Inggris dan Belanda. Kira-kira abad ke20, soneta itu dibawa ke Indonesia oleh pemuda-pemuda yang bersekolah di Belanda. Adapun pelopor pujangga soneta Indonesia adalah Muhamad Yamin, Y.E. Tatengkeng, Rustam Efendi, Intoyo, dan Sutan Takdir Alisjahbana. 2. Sastra Indonesia Masa Kebangkitan (19201942) Perkembangan bahasa dan sastra Indonesia mulai berkembang sejalan dengan gerak bangsa yang memilikinya. Pembentukan sastra Indonesia mulai tampak dengan berdirinya gerakan nasional yang dipimpin oleh Budi Utomo (1908). Dari sini, timbullah sastra baru yang dipancarkan oleh masyarakat baru pula. Pada masa itu, keadaannya lebih dinamis dan dikuasai oleh dunia percetakan serta merupakan alam kebebasan individu. Dalam masa ini, nama pengarangnya lebih menonjol, begitu pula hasil karyanya. Hasil karyanya lebih banyak sehingga lebih memungkinkan setiap orang dapat menikmati karya para pengarangnya.

Kebangkitan ini (19201942) dikelompokkan menjadi beberap periode. a. Periode 1920 atau Masa Balai Pustaka Pada tahun 1908, pemerintah Belanda mendirikan lembaga bacaan rakyat yang bernama vollectuur dengan ketuanya Dr. G.A.J. Hajeu. Lembaga bacaan rakyat bertugas memilih karangan-karangan yang baik untuk diterbitkan sebagai bahan bacaan rakyat. Pada tahun1917, lembaga bacaan itu diubah menjadi Balai Pustaka dan yang menjadi redakturnya adalah para penulis/pengarang serta para ahli bahasa Melayu. Balai Pustaka bersedia menerbitkan buku-buku karya sastrawan Indonesia. Akan tetapi, agar dapat diterbitkan, dengan syarat-syarat. Misalnya, karangan itu tidak boleh mengandung unsur-unsur yang menentang pemerintah. Tidak boleh menyinggung perasaan golongan tertentu dalam masyarakat; dan harus bebas/netral dari agama. Kedudukan Balai Pustaka semakin besar, walaupun kebebasan para pengarang di belakang. Akan tetapi, di lain pihak, para pengarang diberi jalan untuk mengarang lebih baik sehingga bakat mereka terpupuk. Masyarakat diberi kebebasan untuk menikmati buku-buku terbitan. Dalam hal ini akibatnya pengetahuan masyarakat bertambah. Namun, setelah adanya nota Rinkes, pengarang tidak diberi kebebasan untuk menulis; beberapa buku disensor; begitu pula karangan asli bangsa Indonesia banyak yang diubah. Buku-buku karya sastra yang sempat terbit pada masa Balai Pustak, di antaranya: 1) Azab dan Sengsara, Si Jamin dan Si Johan, dan Binasa karena Gadis Priangan karya Merari Siregar; 2) Siti Nurbaya, Anak dan Kemenakan, Pulau Sumbawa, dan Lahami karya Abdul Muis; 3) Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh, Surapati, dan Robert Anak Surapati karya Abdul Muis; 4) Hulubalang Raja, Katak Hendak Menjadi Lembu, Salah Pilih, Cobaan, Karena Mertua, Mutiara, Apa Dayaku karena Aku Perempuan, Cinta Tanah Air, Neraka Dunia, Pengalaman Masa Kecil, dan Korban karena Percintaan karya Nur St. Iskandar; 5) Darah Muda dan Asmarajaya karya Jamaludin/Adinegoro; 6) Di Bawah Lindungan Kabah, Karena Fitnah, Merantau ke Deli, Tuan Direktur, Terusir, Keadilan Ilahi, Tenggelamnya Kapal van Der Wijck, Lembaga Hidup, Revolusi Agama, Ayahku, Adat Minangkabau, Negara Islam, Empat Bulan di Amerika, dan Kenang-Kenangan Hidup Menghadapi Revolusi karya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). 7) Kalau Tak Untung dan Pengaruh Keadaan karya Selasih/Sariamin/Seleguri; 8) Kawan Bergelut, Percobaan Setia, Pandangan dalam Dunia Anak-anak, Kasih Tak Terlerai, Mencari Pencuri Anak Perawan, dan Tebusan Darah karya Suman Hasibuan; 9) Teman Duduk, Muda Teruna, Berebut Uang Satu Milyun, Pengalaman di Tanah Irak, dan Kehilafan Hakim karya Mohamad Kasim; 10) Si Dul Anak Betawi, Pertolongan Dukun, Si Cebol Merindukan Bulan, dan Desa/Cita-cita Mustafa karya Aman Datuk Majoindo; 11) Sengsara Membawa Nikmat, Tidak Membalas Guna, dan Memutuskan Pertalian karya Tulis St. Sati. Pada awalnya, pengarang Balai Pustaka didominasi oleh orang Sumatra. Akan tetapi, setelah Sumpah Pemuda tahun 1928, muncul pengarang-pengarang dari daerah. Salah satu ikrar Sumpah Pemuda adalah menunjunjung tinggi bahasa Indonesia. Dengan diresmikannya bahasa Indonesia menjadi bahasa Nusantara di Indonesia, bermunculan pengarang-pengarang dari pulau-pulau lainnya. Nama-nama mereka adalah sebagai berikut. 1) A.A. Panji Tisna atau I. Gusti Panji Tisna dari Bali. Karyanya I Swasta Setahun di Bedahulu; Sukreni Gadis Bali; Ni Rawit Ceti Penjual Orang; Dewi Karuna; dan I Made Widiadi; 2) M.R. Dayoh dari Minahasa Sulawesi Utara, karyanya Syair untuk ASIB; Pahlawan Minahasa, Putra Budiman; dan Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol; 3) Paulus Supit dari Minahasa Sulawesi Utara, karyanya Kasih Ibu; 4) L. Wairata dari Seram Maluku karyanya Cinta dan Kewajiban 5) Haji Oeng Muntu dari Sulawesi Selatan. Karyanya Pembalasan dan Karena Kerendahan Budi; 6) Sutomo Johar Arifin dari Jawa karyanya Andang Teruna. b. Periode 1993 (Pujangga Baru) Pada masa ini, Belanda banyak mengeluarkan peraturan yang terutama pembatasan dalam karangankaraangan yang ditulis orang Indonesia. Hal ini Belanda merasa takut disebabkan oleh bangsa Indonesia bangkit untuk perjuangan kemerdekaan. Selama ini, sudah tampak gejala-gejala adanya rasa nasionalisme yang disebabkan oleh karya sastra yang berbau politik yang menimbulkan semangat perjuangan. Karya sastra yang berisi pendidikan telah mampu mencerdaskan masyarakat pribumi. Dengan semangat yang gigih, bangsa Indonesia, khususnya para pengarang secara diam-diam, mendirikan organisasi baru yang diberi nama Pujangga Baru. Nama itu diambil dari nama majalah yang mereka

terbitkan pada tanggal 29 juli 1933. Penerbitan majalah Pujangga Baru itu dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sanusi Pane. Hasil karya dan pengarang Angkatan Pujangga Baru adalah sebagai berikut. 1) Bentuk puisi, di antaranya: a) Rindu Dendam karya Y.E. Tatengkeng (1934); b) Tebaran Mega karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936); c) Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah (1937); d) Jiwa Berjiwa karya Armijn Pane (1939); e) Gamelan Jiwa karya Armijn Pane (1940); f) Buah Rindu karya Amir Hamzah (1941). 2) Bentuk prosa, di antaranya: a) Tak Putus Dirundung Malang karya Sutan Takdir Alisjahbana (1929); b) Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisjahbana 1932; c) Mencari Pencuri Anak Perawan karya Suman Hasibuan (1932); d) Pertemuan Jodoh karya Abdul Muis (1933); e) Kalau Tak Untung karya Selasih (1933); f) Kehilangan Mestika karya Hamidah (1935); g) Bergelimang Dosa karya A. Damhuri (1935); h) Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936); i) Sukreni Gadis Bali karya I. Panji Tisna (1938); j) Neraka Dunia karya Sutan Iskandar (1937); k) Lenggang Kencana karya Armijn Pane (1937); l) Di Bawah Lindungan Kabah karya HAMKA (1938); m) Tenggelamnya Kapal van Der Wijck karya HAMKA (1938) n) Belenggu karya Armijn Pane (1940); o) Andang Teruna karya S.D. Arifin (1941); p) Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana (1941). c. Periode 1942 (Zaman Jepang) Karya sastra pada masa ini dapat dibedakan atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah karya sastra dan pengarangnya yang resmi berada di bawah naungan Pusat Kebudayaan Jepang. Mereka menulis sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh Pusat Kebudayaan Jepang. kelompok kedua adalah kelompok yang tidak mau berkompromi dengan Pusat Kebudayaan Jepang. Akan tetapi, mereka mencari jalan baru untuk mengatakan sesuatu. Cara yang mereka lakukan diupayakan tidak berbahaya, tetapi cita-cita terlaksana. Melalui cara ini, banyak karya sastra yang bersifat simbolik. Pengarang-pengarang dan karya-karyanya yang timbul pada masa Jepang ini adalah: 1) Usmar Ismail karyanya Kita Berjuang, Diserang Rasa Merdeka, Api, Citra, dan Liburan Seniman; 2) Rosihan Anwar karyanya berupa puisi yang berjudul Lukisan kepada Prajurit; 3) Maria Amin karyanya Tinjaulah Dunia Sana, Dengarlah Keluhan Pohon Mangga, dan Penuh Rahasia. 3. Sastra Indonesia Masa Perkembangan (1945Sekarang) Pada masa ini, Indonesia sudah merdeka sehingga tidak bergantung lagi kepada bangsa lain. Situasi ini tentunya berpengaruh terhadap perkembangan karya sastra pada masa itu. a. Periode 1945 Pengarang yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia merdeka pada waktu itu adalah Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Usmar Ismail dan lain-lain. Rosihan Anwar memberikan nama kepada mereka sebagai pengarang Angkatan 45. Penamaan ini dimuat dalam majalah Siasat. Sastrawan yang menjadi pelopor dalam bidang puisi pada periode ini ialah Chairil Anwar. Adapun pelopor dalam bidang prosa adalah Idrus. Karya sastra Angkatan 45 mempunyai ciri-ciri tertentu, misalnya bentuknya agak bebas dan isinya menampilkan suatu realita. Pujangga yang karyanya menjadi penghubung dalam masa ini adalah Armijn Pane dan El Hakim. Karya-karya Angkatan 45 dipengaruhi pujangga-pujangga Belanda dan dunia, misalnya Rusia, Italia, Prancis, dan Amerika. Karya sastra dan pengarang Angkatan 45, di antaranya: 1) Chairil Anwar karyanya Kerikil Tajam, dan Deru Campur Debu; 2) Idrus karyanya Surabaya dan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma;

3) Asrul Sani karyanya Tiga Menguak Takdir, bentuk cerpennya: Panen, Bola Lampu; Museum; Perumahan bagi Fadrija Navari, Si Penyair Belum Pulang, Sahabat Saya Cordiza, Beri Aku Rumah, Surat dari Ibu, Elang Laut, dan Orang dalam Perahu; 4) Usmar Ismail karyanya Permintaan Terakhir (cerpen), Asoka Mala Dewi (cerpen), Puntung Berasap (kumpulan sajak), Sedih dan Gembira (kumpulan drama), Mutiara dari Nusa Laut (drama), Tempat yang Kosong, Mekar Melati, Pesanku (sandiwara radio), dan Ayahku Pulang (sandiwara saduran). b. Periode 1950 Periode ini merupakan kelanjutan dari Angkatan 45 dengan ciri-ciri sebagai berikut. 1) Pusat kegiatan sastra telah meluas ke seluruh pelosok Indonesia tidak hanya terpusat di Jakarta atau Yogyakarta; 2) Kebudayaan daerah lebih banyak diungkapkan demi mencapai perwujudan sastra nasional Indonesia; 3) Nilai keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan pada kekuasaan asing, tetapi kepada peleburan antara ilmu dan pengetahuan asing berdasarkan perasaan dan ukuran nasional. Pengarang yang dimasukkan ke dalam periode ini, adalah: 1) Toto Sudarto Bachtiar karyanya Suara (kumpulan sajak) (19501955) dan Etsa (1958); 2) Ajip Rosidi karyanya Tahun-Tahun Kematian (1955), Di Tengah Keluarga (1956), Sebuah Rumah buat Hari Tua (1957), Perjalanan Penganten (1958), Pesta (kumpulan sajak) (1956), Ketemu di Jalan (1956), Cari Muatan (1959), dan Tinjauan tentang Cerita Pendek Indonesia (1959); 3) Trisnoyuwono karyanya Laki-laki dan Mesiu (1959) serta Angin Laut (1958). c. Periode 1966 Ada dua peristiwa yang penting di Indonesia, yakni peristiwa 1945 dan peristiwa 1966. Peristiwa 1945 merupakan momentumnya kemerdekaan. Hal sebagaimana dilontarkan penyair Chairil Anwar yang berontak terhadap penjajahan Jepang pada 1943. Ia melahirkan puisi yang berisi semangat aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang. Adapun peristiwa 1966 momentumnya menegakkan keadilan. Beberapa pengarang Angakatan 66 dan karyanya adalah sebagai berikut: 1) Mohamad Ali karyanya 58 Tragedi, Siksa dan Bayangan; Persetujuan dengan Iblis, Kubur Tak Bertanda, serta Hitam atas Putih; 2) Toto Sudarto Bahtiar karyanya Suara dan Etsa; 3) Alexander Leo karyanya Orang yang Kembali; 4) Nh. Dini karyanya Dua Dunia; Hati yang Damai; dan Pada Sebuah Kapal. 4. Karya yang Mendapatkan Penghargaan Dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia, ada sejumlah karya sastra pernah mendapatkan penghargaan. Beberapa penghargaan sastra di antaranya Sastra Nasional BMKN, Hadiah Sastra Yamin, dan hadiah tahunan pemerintah. BMKN adalah singkatan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Lembaga ini pernah memberikan hadiah kepada sastrawan Indonesia yang menghasilkan karya sastra bermutu. Beberapa karya dan pengarang yang pernah mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN antara lain: Jalan Tak Ada Ujung (novel, Mochtar Lubis, 1953), Laki-Laki dan Mesiu (cerpen, Trisnoyuwono, 1960), Tjerita dari Blora (cerpen, Pramoedya Ananta Toer, 1953), Perempuan (kumpulan cerpen, Mochtar Lubis, 1956), Pulang (novel, Toha Mochtar, 1960), Tandus (kumpulan puisi, S. Rukiah, 1953), Priangan si Jelita (puisi, Ramadhan K.H., 1960), TitikTitik Hitam (drama, Nasyah Djamin, 1960), Saat yang Genting (drama, Utuy Tatang Sontani, 1960), Merah Semua Merah (drama, Mh. Rustandi Kartakusumah, 1960). Pada 1964, Yayasan Yamin memberikan penghargaan kepada orang Indonesia yang berhasil pada 1963 dalam bidang sastra. Sastrawan yang penah mendapat penghargaan Hadiah Sastra Yamin: Pagar Kawat Berduri (Trisnoyuwono), Daerah Tak Bertuan (Toha Mochtar), Orang-Orang Baru dari Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer), dan Mereka Akan Bangkit (Bur Rasuanto, tetapi ia menolak hadiah tersebut). Sejak tahun 1969, pemerintah Republik Indonesia juga memberikan penghargaan kepada seniman dan ilmuwan yang dianggap berjasa. Di bidang sastra, karya sastra yang pernah mendapat penghargaan, antara lain: Siti Nurbaya (roman, Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (roman, Abdul Muis, 1928), Belenggu (novel, Armijn Pane, 1940), Atheis (novel, Achdiat K. Miharja, 1949), Harimau! Harimau! (novel, Mochtar Lubis), Madah Kelana (puisi, Sanusi Pane, 1931), Nyanyi Sunyi (puisi, Chairil Anwar, 1949), dan Deru Campur Debu (puisi, Chairil Anwar, 1949).

Kumpulan Materi Bahasa Indonesia 2


TEKNIK BERPIDATO Seorang pecinta tulisan saya di sebuah rubrik koran lokal melontarkan pertanyaan bagaimana mengatasi grogi pada saat bicara di depan umum (publik)? Meski ia sudah mempersiapkannya sebaik mungkin tetap saja grogi. Masalah grogi adalah masalah yang dialami oleh siapa saja yang sedang belajar bicara di depan publik (selanjutnya saya sebut bicara). Keterampilan ini adalah keterampilan proses, sebuah keterampilan yang tidak datang seketika. Artinya, bila ingin mengusainya diperlukan banyak berlatih dan berlatih. Untuk mengupas masalah grogi dan cara mengatasinya saya akan menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama saya menggunakan pendekatan neurologisyakni bagaimana pikiran kita mencerna keberadaan publik (audience); dan pendekatan kedua adalah pendekatan praktis yakni bagaimana kiat-kiat praktis menghadapi grogi. Setidaknya, dua pendekatan itu sudah saya praktikkan dalam hidup saya. Saya dulu yang pemalu luar biasa (bayangkan dulu saya tidak berani bilang Kiripada saat naik bus/angkutan umum. Takut/malu kalau banyak orang yang nengok ke arah saya). Kini saya sudah terbiasa bicara di depan publik, bahkan menjadi pembicara publik dan motivator yang dibayar. Baik, selanjutnya saya jelaskan pendekatan pertama, kenapa secara neurologis(syaraf otak) seseorang bisa menjadi grogi. Seseorang menjadi grogi atau bahkan sebaliknya menjadi senang bila di depan publik itu sangat tergantung bagaimana syaraf otak merespon atau menanggapi sesuatu yang berada di luar, yaitu dalam hal ini audience (publik). Perilaku (grogi, takut, senang dan lain-lain) merupakan hasil dari respon pikiran kita. Kalau kita merespon/menanggapi sesuatu di luar adalah sesuatuyang menakutkan, maka pikiran (syaraf) segera mengolahnya menjadi sebuah ketakutan. Sebaliknya, kalau kita meresponnya sesuatu yang menyenangkan, maka semua sel-sel dan jutaan syaraf segera mengolahnya menjadi hal yangmenyenangkan. Lebih kongkritnya begini. Kalau Anda membayangkan jeruk nipis (sesuatu yangberada di luar Anda) terasa kecut, maka syaraf otak segera membayangkannya rasa kecut itu. Bahkan dengan hanya membayangkan saja air liur bisa keluar sebagai respon terhadapnya. Sebaliknya, kalau Anda membayangkan buah anggur yang segar, baru keluar dari kulkas, syaraf otak segera membayangkannya buah manis yang menyegarkan. Begitulah cara pikiran kita bekerja, atau meresponnya. Bila Anda menanggapinya dengan negatif maka pikiran bekerja dengan cara negatif, milyaran sel syaraf bekerja untuk memperkuat respon negatif Anda. Bila Anda meresponnya dengan cara positif, maka seluruh jaringan syaraf bekerja sekuat tenaga untuk memperkuat respon positif Anda. Audience (publik) bukanlah buah jeruk nispis yang kecut atau buah angguryang manis menyegarkan. Audience adalah sesutau yang netral sifatnya.Manis dan kecut-nya, arau menakutkan (yang membuat Anda grogi) ataumenyenangkan sangat tergantung bagaimana Anda meresponnya. Ketika Anda meresponnya sebagai seuatu yang menakutkan syaraf otak segera bekerja dengan cara yang negatif. Hasilnya mejadi negatif. Syaraf otak segera bekerja untuk menemukan sejumlah alasan negatif untuk meyakinkan bahwa audience itu menakutkan. Alasan-alasan yang ditemukan oleh pikiran negatif berupa: 1) audience terlalu banyak dan banyak orang yang sudah pintar bicara, maka saya kurang pede; 2) audience akan meneriaki huuuuuuu..? bila saya salah; 3) audience akan mempergunjingkan saya bila saya salah; 4) saya akan malu bila apa yang saya sampaikan tidak menarik; 5) saya akan malu bila saya salah dalam bicara nanti dan; 6) masih banyak alasan negatif yang mengantarkan Anda menjadi semakin tidak percaya diri atau grogi. Hasilnya, keringat dingin keluar, gemetar, bicara tidak lancar dan salah-salah terus selama bicara. Pada saat seperti itu, pikiran sibuk memikirkan audience yang menakutkan ketimbang memimikirkan materi yang sedang di sampaikan. Akan menjadi berbeda hasilnya bila Anda meresponnya secara positif. Pikran Anda akan segera mencarikan sejumlah alasan positif yang menguatkanAnda tampil lebih percaya diri. Anda akan tampil lebih percaya diri bila memandang audience sebagai: 1) sekelompok manusia yang sedang memberikan kesempatan baik pada Anda untuk bicara; 2) mereka tidak akan menghukum bila Anda keliru; 3) keliru dalam berlatih bicara adalah hal yang wajar yang dialami oleh setiap orang; 4) mereka juga belum tentu memiliki keberanian untuk bicara; 5) kalau pun ia diberi kesempatan bicara ia pasti melakukan kesalahanseperti Anda; 6) dalam sejarah belum ada audience yang mencemooh pembicara bila dalam menyampaikannya secara

santun dan; 7) ini adalah kesempatan terbaik untuk berlatih bicara. Dengan kata lain, audiene bukan menjadi beban pikiran selama Anda bicara. Bila perlu Anda cuek-bebek (tapi sopan) selama bicara. Ketika Anda telah mengusai audience dengan cara respon positif sepertitersebut di atas, pikiran Anda tinggal fokus pada materi. Perlu dicatat bahwa mengapa seorang pembicara grogi karena pikirannya selamabicara sibuk memikirkan audiencenya yang dianggap menakutkan. Menakutkan atau tidaknya sangat tergantung bagaimana pikiran kita menafsirkannya.Bila menafsirkannya sebagai hal yang tidak menakutkan, maka pikiran akan lancar, fokus pada topik, bicara pun lancar tanpa beban grogi. Semua yang saya jelaskan di atas adalah mengunakan pendekatan neurologis. Selanjutnya saya menggunakan pendekatan praktis dalam mengatasi grogi. Sebelum saya memberikan tips bagaimana cara mengatsi grogi saat pidato perlu saya ingatkan kembali bahwa keterampilan bicara (pidato) adalah keterampilan proses. Tidak ada orang yang langsung menjadi ahli bicara. Semuanya diawali dari malu, gemetar dengan keringat dingin, grogi dan sejuta rasa lainnya. Jangankan bagi yang belum pernah pengalaman, seorang yang sudah pengalaman pun kadang- kadang masih dihinggapi rasa kurang pede dan grogi. Jadi kalau menuggu sampai tidak ada rasa grogi, dibutuhkan waktu dan jam terbang yang lama. Butuh proses. Cara-cara berikut ini adalah cara praktis yang saya gunakan bagaimanamengatasi grogi. 1. Tingkatkan rasa percaya diri (pede). Kalau kita pede, keberanian meningkat, tetapi kalau belum apa-apa sudah takut dulu, rasa pede mengecil. Akibatnya sudah grogi dulu sebelum bicara. Untuk bisa meningkatkan rasa pede, coba sebelum Anda bicara, Anda membayangkan seorang tokoh pintar bicara yang menjadi idola Anda. Setelah membayangkan secara jelas, anggap saja dia merasuk dalam jiwa Anda yang membantu Anda pada saat bicara. Anggap saja dia yang bicara, tapi bukan Anda. 2. Berani bicara kapan dan dimana saja bila ada kesempatan tampil didepan umum. Jangan takut salah dan takut ditertawakan, bicara dan bicaralah.Kalau Anda tidak pernah mencobanya, maka tidak pernah punya pengalaman. Jangan berpikir, benar-salah, bagus-tidak, mutu-tidak, selama bicara. Pokoknya, Anda sedang uji nyali, berani atau tidak. Ketika Anda berani mencobanya, berarti nyali Anda hebat. Semakin sering Anda lakukan, semakin kuat nyalinya dan tidak takut lagi. Pokoknya Anda harus berani malu. 3. Mulailah dari kelompok kecil. Berlatihlah bicara pada kelompok-kelompok kecil dulu seperti karang taruna, kelompok belajar, pertemuan RT/RW. Bicaralah sebisanya dan jangan buang kesempatan. Yang seperti ini sudah saya lakukan, saya mulai dari kelompok belajar, panitia seminar, dan acara-acara pengajian. Lama-kelamaan saya biasa. Ingat Anda bisa karena biasa. 4. Tulis dulu sebagai persiapan. Sebelum bicara, alangkah baiknya ditulis dulu topik dan urutan penyampaiannya. Sebab, tanpa ditulis dulu, biasanya lupa saat bicara dan menjadikan materinya tidak runtut. Ada dua cara dalam menulis, menulis lengkap kemudian tinggal membaca atau tulis pokok-pokonya saja. Bila Anda menulis lengkap akan sangat membantu Anda bicara, tetapi keburukannya membosankan. Apalagi intonasi bacanya jelek.Yang baik adalah pokok- pokok saja, kemudian Anda menguraiakannya saat bicara, tetapi keburukannya, Anda bisa lupa tentang datailnya. 5. Akan lebih baik kalau memiliki kebiasaan menulis. Menulis apa saja,cerita, artikel, surat atau catatan harian. Catatan harian akan sangatmembantu. Kenapa menulis? Karena dengan menulis adalah cara efektif untukmembuat sebuah bangunan logika, sebuah bangunan yang masuk akal. Bila Anda terbiasa menuliskan topik-topik yang masuk akal, maka akan membantu pada saat bicara. Tinggal memanggil ulang saja. 6. Perbanyak membaca. Orang bicara atau menulis, tidak lepas dari kegiatan membaca. Dengan banyak membaca menjadi banyak pengetetahuan yang dapat dijadikan acuan pada saat bicara atau menulis. Kebuntuan dalam bicara terjadi karena tidak saja grogi tetepi juga karena terbatasnya acuan(informasi) yang dimilikinya. 7. Janganlah menjadi pendiam saat ada diskusi atau debat. Bicaralah, jangan pikirkan Anda menang atau kalah dalam berdebat, tetapijadikannlah media debat menjadi media pembelajaran dalam mengasahketerampilan bicara. Juga, biasakanlah berdsiskusi, jangan hanya menjadi pendengar yang baik (diam saja) tapi Anda harus menjadi pembicara yang baik. 8. Rajin mengevaluasi diri sehabis bicara. Karena berbicara merupakan keterampilan proses, maka sebaiknya rajin mengevaluasi diri setiap saat sehabis bicara. Seringkali (pengalaman saya) saya merasa tidak puas dengan hasil akhir bicara. Selalu ada saja kekurangannya, banyak topik yang lupa tidak tersampaikan. Kekurangan ini harus menjadi catatan untuk tampil lebih baik pada kesempatan mendatang.

9. Komitmen untuk terus berlatih. Tiada sukses tanpa latihan terus menerus. Tiada juara tanpa banyak latihan. Tiada bicara tanpa grogi bila hanya tampil (berlatih) satu atau dua kali saja. Bicaralah saat adakesempatan bicara, karena keterampilan berbicara hanya dapat diperoleh dengan berbicara bukan dengan cara belajar tentang. Satu ons praktik bicara lebih baik dari pada satu ton teori berbicara. Selamat mencoba.

CARA BERDEKLAMASI Seperti telah dijelaskan bahawa berdeklamasi itu membawakan pantun, syair dan sajak atau puisi. Kemudian apakah cukup hanya asal membawakan sahaja? Tentu tidak! Berdeklamasi, selain kita mengucapkan sesuatu, haruslah pula memenuhi syarat-syarat lainnya. Apakah syarat-syarat itu? Sebelum kita berdeklamasi, kita harus memilih dulu pantun, syair, sajak apa, yang rasanya baik untuk dideklamasikan. Terserah kepada keinginan masing-masing. Yang penting pilihlah sajak atau puisi, pantun atau syair yang memiliki isi yang baik dan bentuk yang indah dideklamasikan. Mengenai hal isi tentunya dapat minta nasihat, petunjuk dan bimbingan daripada mereka yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan atau ahli dalam bidang deklamasi. Kalau kita sudah memilih sebuah puisi misalnya, tentu saja boleh lebih dari sebuah. Hal ini sering terjadi dalam sayembara yang dikira harus terdiri puisi wajib dan puisi pilihan. Nah, sesudah itu, lalu apa lagi yang harus kita perbuat? Maka tidak boleh tidak harus mentafsirnya terlebih dahulu. MENAFSIR PUISI Apakah puisi yang kita pilih itu berunsur kepahlawanan, keberanian, kesedihan, kemarahan, kesenangan, pujian dan lain-lain? Kalau puisi yang kita pilih itu mengandung kepahlawanan, keberanian dan kegagahan, maka kitapun harus mendeklamasikan puisi tersebut dengan perasaan dan laku perbuatan, yang menunjukkan seorang pahlawan, seorang yang gagah berani. Kita harus dapat melukiskan kepada orang lain, bagaimana kehebatan dan kegagahan kapal udara itu. Bagaimana harus mngucapkan kata-kata yang seram dan menakutkan. Sebaliknya kalau saja puisi yang kita pilih itu mengadung kesedihan, sewaktu kita berdeklamasi haruslah betul-betul dalam suasana yang sedih dan memilukan, bahkan harus bisa membuat orang menangis bagi orang yang mendengar dan melihat kita sedih, ketika dideklamasikan menjadi sebuah puisi yang gembira, bersukaria atau sebaliknya. Tentu saja hal-hal seperti itu harus dijaga benar-benar. Kerana itu, harus berhatihati, teliti, tenang dan sungguh-sungguh dalam menafsir sebuah puisi. Bacalah seluruh puisi itu berulang-ulang sampai kita mengerti betul apa-apa yang dikandung dan dimaksud oleh puisi tersebut. Juga kata-kata yang sukar dan tanda-tanda baca yang kurang jelas harus difahami benarbenar, Jika sudah dimengerti dan diselami isi puisi itu, barulah kita meningkat ke soal yang lebih lanjut. MEMPELAJARI ISI UNTUK MENDEKLAMASI PUISI Cara mengucapkan puisi itu tak boleh seenaknya saja, tapi harus tunduk kepada aturan-aturannya: di mana harus ditekankan atau dipercepatkan, di mana harus dikeraskan, harus berhenti, dimana harus dilambatkan atau dilunakkan, di mana harus diucapkan biasa dan sebagainya. Jadi, bila kita mendeklamasikan puisi itu harus supaya menarik, maka harus dipakai tanda-tanda tersendiri: - Diucapkan biasa saja / Berhenti sebentar untuk bernafas/biasanya pada koma atau di tengah baris // Berhenti agak lama/biasanya koma di akhir baris yang masih berhubungan artinya dengan baris berikutnya /// Berhenti lama sekali biasanya pada titik baris terakhir atau pada penghabis san puisi ^ Suara perlahan sekali seperti berbisik ^^ Suara perlahan sahaja ^^^ Suara keras sekali seperti berteriak V Tekanan kata pendek sekali VV Tekanan kata agak pendek VVV Tekan kata agak panjang VVVV Tekan kata agak panjang sekali ____/ Tekanan suara meninggi ____ Tekanan suara agak merendah \ Cara meletakkan tanda-tanda tersebut pada setiap kata masing-masing orang berbeda tergantung kepada

kemahuannya sendiri-sendiri. Dari sinilah kita dapat menilai: siapa orang yang mahir dan pandai berdeklamasi. Demikianlah, setelah tanda-tanda itu kita letakkan dengan baik dan dalam meletakkannya jangan asal meletakkan saja, tapi harus memakai perasaan dan pertimbangan, seperti halnya kalau kita membaca berita: ada koma, ada titik, tanda-tandanya, titik koma dan lain-lain. Kalau tanda-tanda itu sudah diletakkan dengan baik, barulah kita baca puisi tersebut berulang-ulang sesuai dengan irama dan aturan tanda itu. Dengan sendirinya kalau kita sudah lancar benar, tekanan-tekanan, iramairama dan gayanya takkan terlupa lagi selama kita berdeklamasi. PUISI HARUS DIHAFAL Mendeklamasi itu ialah membawakan puisi yang dihafal. Memang ada juga orang berdeklamasi puisi di atas kertas saja. Cara seperti itu kurang enak kecuali jika untuk siaran pembacaan puisi di radio atau rakaman. Tetapi deklamasi itu selalu saja didengar dan ditonton orang. Mana mungkin para penonton akan senang, melihat kita berdeklamasi kalau muka kita tertunduk melulu terus menerus kala mendeklamasikan puisi itu. Tentu saja membosankan bukan? Makanya sebaik mungkin deklamator harus menghafal puisi yang mahu dideklamasi itu. Caranya ulangilah puisi itu berkali-kali tanpa mempergunakan teks, sebab jika tidak demikian di saat kita telah naik pentas, kata-kata dalam puisi itu tak teringat atau terputus-putus. Betapa lucunya seorang deklamator, ketika dengan gaya yang sudah cukup menarik di atas panggung, di muka penonton yang ramai, tiba-tiba ia lupa pada kalimat-kalimat dalam puisi. Ia seperti terhenti, terpukau, mau bersuara tak tentu apa yang harus diucapkan. Mau mengingat-ingat secara khusuk terlalu lama. Menyaksikan keadaan demikian itu sudah tentu para penonton akan kecewa. Bagi sideklamator sendiri akan mendapat malu. Oleh kerana itu dihafalkanlah puisi itu sebaik-baiknya sampai terasa lancar sekali. Setelah dirasakan yakin, bahawa sebuah puisi telah sanggup dibaca di luar kepala, barulah berlatih mempergunakan mimik atau action Cara menghafal tentu saja dengan cara mengingatnya sebaris demi sebaris dan kemudian serangkap demi serangkap disamping berusaha untuk mengerti setiap kata/ayat yang dicatatkan kerana hal itu menjadi jelasnya maksud dan tujuan isi puisi itu. DEKLAMASI BUKAN UCAPAN SEMATA Deklamasi bukan ucapan semata. Deklamasi harus disertai gerak-gerak muka, kalau perlu dengan gerak seluruh anggota badan atau seluruh tubuh, tetapi yang paling penting sekali ialah gerak-gerak muka. Dengan ucapan-ucapan yang baik dan teratur, diserta dengan gerak geri muka nescaya akan bertambah menarik, apa lagi kalau ditonton. Dari gerak geri muka itu penonton dapat merasakan dan menyaksikan mengertikan puisi yang dideklamasikan itu. Apakah puisi itu mengandung kesedihan, kemarahan, kegembiraan dan lain-lain. Hanya saja dalam melakukan gerak geri itu jangan sampai berlebih-lebihan seperti wayang orang yang bergerak ke sana ke mari, sehingga mengelikan sekali. Berdeklamasi secara wajar, tertib dan mengesankan. CARA MENGHAKIMI Untuk mudahnya bagi seorang deklamator/deklamatris melengkapi dirinya dalam mempersiapkan kesempurnaan berdeklamasi, maka seorang calon harus mengetahui pula hal-hal yang menjadi penilaian hakim dalam suatu sayembara deklamasi. Yang menjadi penilaian hakim terhadap pembawa puisi atau deklamator meliputi bidang-bidang seperti berikut: A. PENAMPILAN/PERFORMANCE Sewaktu pembawa puisi itu muncul di atas pentas, haruslah diperhatikan lebih dahulu hal pakaian yang dikenakannya. Kerapian memakai pakaian, keserasian warna dan sebagainya akan menambahkan angka bagi si pembawa puisi. Tentu saja penilaian pakaian ini bukan terletak pada segi mewah tidaknya pakaian itu, tetapi dalam hal kepantasan serta keserasiannya. Kerana itu, perhatikanlah pakaian lebih dahulu sebelum tampil di atas pentas. Hindarikan diri dari kecerobohan serta ketidakrapian berdandan. B. INTONASI/TEKANAN KATA DEMI KATA Baris demi baris dalam puisi, sudah tentu tidak sama cara memberikan tekanannya. Ini bergantung kepada kesanggupan dipembawa puisi menafsirkan tiap-tiap kata dalam hubungannya dengan kata lainnya. Sehingga ia menimbulkan suatu pengungkapan isi kalimat yang tepat. Kesanggupan sipembawa puisi memberikan tekanan-tekanan yang sesuai pada tiap kata yang menciptakan lagi kalimat pada baris-baris puisi, akan memudahkan mencapai angka tertinggi dalam segi intonasi.

C. EKSPRESI/KESAN WAJAH Kemampuan sipembawa puisi dalam menemukan erti dan tafsiran yang tepat dari kata demi kata pada tiap baris kemudian pada kelompok bait demi bait puisi akan terlihat pada kesan air muka atau wajahnya sendiri. Ada kalanya seorang pembawa puisi tidak menghayati isi dan jiwa tiap baris puisi dalam sebuah bait, sehingga antara kalimat yang diucapkan dan airmuka yang diperlihatkan tampak saling bertentangan. Jadi, penghayatan itu sangat penting dan ia harus dipancarkan pada sinar wajah si pembawa puisi. Misalnya sebuah bait dalam puisi yang bernada sedih haruslah digambarkan oleh sipembawa puisi itu melalui airmukanya yang sedih dan bermuram durja. D. APRESIASI/PENGERTIAN PUISI Seorang pembawa puisi akan dinilai mempunyai pengertian terhadap sesuatu puisi, manakala ia sanggup mengucapkan kata demi kata pada tiap baris puisi disertai kesan yang terlihat pada airmukanya. Jika tidak berhasil, dikatakannya sipembawa puisi itu belum mempunyai apresiasi atau apresiasinya terhadap puisi itu agak kurang. Dalam istilah umumnya apresiasi diterjemah lebih jauh lagi sebagai penghayatan. Seorang pendeklamator yang baik/ia harus menghayati makna dan isi puisi yang mahu dideklamasikan dan tanpa menghayatinya, maka sudah tentu persembahannya bakal hambar, lesu dan tak bertenaga. E. MIMIK/ACTION Mimik atau action dalam sebuah deklamasi puisi sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan suasana pembacaan puisi. Seorang pembawa puisi yang berhasil ia akan mengemukan sesuatu action atau mimik itu sesuai dengan perkembangan kata demi kata dalam tiap baris dan tidak bertentangan dengan jiwa dan isi kata-kata kalimat dalam puisi. Terjadinya kontradiksi antara apresiasi dan action menimbulkan kesan yang mungkin bisa menjadi bahan tertawaan penonton, Hal ini harus dipelajari sebaik-baiknya oleh sipembawa puisi. Tanpa hal itu, ia tak mungkin bisa mndapatkan angka terbaik dalam pembawaan puisi. Sebagi contoh: ketika dipembawa sajak menyebut dilangit tinggi ada bulan tetapi mimik kedua belah tangan menjurus ke bumi, Hal ini akan menimbulkan bahan tertawaan bagi penonton, mana mungkin ada bulan di bumi, tentu hal itu tidak mungkin sama sekali. Betapapun bulan selalu ada di langit. Inilah yang dimaksud betapa pentingnya pembawa sajak menguasai apresiasi puisi, sehingga dapat menciptakan mimik yang sesuai dengan keadaan isi dan jiwa puisi itu..

HAMBATAN MEMBACA DAN CARA MENGATASINYA Ada beberapa hambatan yang sering dijumpai pada orang-orang tertentu di dalam membaca sehingga orang tersebut tidak bisa membaca secara cepat dan efisien. Hambatan-hambatan ini banyak berkaitan dengan kebiasaan membaca yang dipraktekkan sejak masa kecil dan terbawa-bawa sampai dewasa. Beberapa hambatan tersebut di antaranya adalah: 1. Membaca Bersuara Membaca bersuara artinya mengucapkan setiap kata yang dibaca, baik keras maupun lunak. Untuk mengetahui apakah kita membaca bersuara atau tidak, letakkan tangan di leher pada sat membaca. Bila ada getaran di leher berarti kita mengeluarkan suara. Ada orang yang membaca dengan melafalkan kata demi kata yang dibaca. Mungkin orang tersebut kurang puas jika kata-kata yang dibaca itu tidak diucapkan. Cara membaca seperti ini selain akan mengganggu orang lain, juga akan memperlambat pembacaan. Lambat karena kata demi kata dibaca atau satu demi satu. Di samping itu, pembaca akan) mudah lelah karena mengucapkan kata demi kata yang dibaca itu me-ngeluarkan banyak energi. (bandingkan de-ngan orang yang sedang mengajar di depan kelas, atau yang sedang berpidato). Untuk mengatasi ini dapat dilakukan dua cara. Pertama dengan merapatkan bibir ketika membaca; dan kedua, dengan menguyah permen karet. 2. Menggerakkan Bibir Ada lagi yang membaca dengan menggerakkan bibir. Bibirnya komat-kamit meng-ikuti bunyi huruf di dalam teks bacaan. Cara membaca sepeti ini selain kurang enak di pandang mata (karena bibir terus komat-kamit) juga kurang cepat dan efisien karena si pembaca pada dasarnya membaca kata demi kata (bahkan huruf demi huruf) yang ada di dalam teks bacaan. Cara membaca dengan komat-kamit juga bisa membuat bibir cepat lelah, rahang

atas dan bawah pegal, dan pada akhirnya mempengaruhi daya tahan baca. Lakukan hal-hal berikut ini untuk mengatasi hambatan membaca dengan gerakan bibir: 1. Rapatkan bibir kuat-kuat, tekankan lidah ke langit-langit mulut. 2. Kunyahlah permen karet. 3. Ambil pensil atau sesuatu yang lain yang cukup ringan, lalu jepit dengan kedua bibir (bukan gigi), usahakan 4. pensil itu tidak bergerak. 5. Ucapkan berulang-ulang, satu, dua, tiga atau tu, wa, ga. 6. Bersiullah dengan tanpa mengeluarkan suara. 3. Menunjuk Kata Sebagian lagi ada yang membaca de-ngan menunjuk-nunjuk teks yang sedang dibacanya dengan jari atau alat tulis. Cara membaca seperti ini juga kurang cepat dan efesien karena si pembaca melakukan pembacaan kata demi kata. Di samping itu, cara membaca dengan menunjuk-nunjuk ini juga bisa membuat tangan cepat lelah dan pada akhirnya bisa mempengaruhi daya tahan baca. Untuk mengatasi hambatan ini bisa dilakukan dua cara berikut. Pertama dengan memasukan tangan yang suka menunjuk-nunjuk itu ditugaskan memegang buku yang sedang dibaca (sekaligus jari telunjuk dan jempol ditugaskan untuk menyiapkan dan membuka `halaman berikut yang akan dibaca). 4. Menggerakkan Kepala Kebiasaan membaca dengan menggerakkan kepala merupakan bawaan sejak kecil. Gerakan ini sangat menghambat kecepatan membaca. Seharusnya kita cukup menggerakkan bola mata pada saat membaca. Mata kita mempunyai kemampuan melihat beberapa objek benda dalam satu keumpulan. Demikian juga dalam membaca, kita mampu melihat beberapa kelompok kata sekaligus sehingga untuk melihat kata yang berdekatan kita tidak perlu menggerakkan kepala, tetapi cukup dengan menggerakkan mata. Untuk mencegah adanya gerakan kepala pada saat membaca, lakukan hal-hal berikut ini. 1. Letakkan telunjuk jari ke pipi dan sandarkan siku tangan ke meja selama membaca. Apabila terasa tangan terdesak oleh gerakan kepala, maka hentikanlah gerakan kepala Anda. 2. Peganglah dagu seperti memegang jenggot dan bila kepala bergerak, segera hentikan. 3. Letakkan ujung jari telunjuk di hidung. Bila terasa kepada Anda bergerak, segerak hentikan. 5. Regresi Regresi artinya kembali ke belakang atau melihat kembali kata yang telah terlewati, padahal seharusnya dalam membaca mata terus bergerak ke depan atau ke kanan dan tidak kembali ke kata di sebelah kiri. Hal ini sangat menghambat kecepatan membaca. Regreasi tidak membuat pemahaman kita menjadi lebih baik akan tetapi justru bisa menjadi kacau. Keinginan melihat ke belakang antara lain karena kurang percaya diri, merasa kurang tepat menangkap arti, merasa kehilangan sesuatu, atau salah baca pada sebuah kata. Untuk mengatasi regresi dapat ditempuh cara berikut ini. 1. Tanamkan kepercayaan diri. Jangan berusaha mengerti setiap kata atau kalimat di paragraf itu. Jangan terpaku pada detail. Teruslah membaca tanpa tergoda untuk kembali ke belakang. 2. Hadapi bahan bacaan. Apa yang sedang Anda baca, bacalah terus dan yang sudah tertinggal, tinggalkan saja. Teruskan membaca dan perhatikan apa yang sedang Anda hadapi. 3. Terus saja baca hingga kalimat selesai. Apa yang Anda rasa tertinggal nanti akan Anda temui lagi. Teruslah membaca, maka Anda akan mengetahui bahwa Anda benar-benar tidak kehilangan sesuatu.

Kumpulan materi Bahasa Indonesia 3


KARANGAN NARASI DALAM Eksposisi (lihat Eksposisi dan Dekripsi, Keraf, hal. 66) telah dikemukakan, bahwa untuk menyajikan suatu analisa proses dapat pula dipergunakan teknik narasi. Narasi semacam ini dinamakan narasi eksposisi atau narasi teknis, karena sasaran yang ingin dicapai adalah ketepatan informasi mengenai suatu peristiwa yang dideskripsikan. Jadi, sasarannya sama dengan eksposisi, yaitu memperluas pengetahuan orang. Narasi semacam ini dianggap sebagai suatu metode dalam eksposisi, seperti halnya dengan metode klasifikasi, metode definisi, dan lain sebagainya. Di samping narasi ekspositoris, terdapat juga narasi yang lain yang disebut narasi sugeftif, sejajar dengan pembedaan antara deskripsi ekspositoris dan deskripsi sugestif. Seperti halnya dengan deskripsi sugestif yang ingin mencapai atau menciptakan sebuah kesan kepada para pembaca atau pendengar, maka narasi sugestif juga ingin menciptakan kesan pada para pembaca atau pendengar mengenai obyek narasi. Hal itu berarti, narasi sugestif berusaha untuk memberi suatu maksud tertentu, menyampaikan suatu amanat terselubung kepada para pembaca atau pendengar. Tetapi pembedaan antara narasi sugestif dan narasi ekspositoris di suatu pihak, dan perbandingannya dengan deskripsi sugestif dan deskripsi ekspositoris di pihak lain, belum memberi jawaban pada kita apa sebenarnya narasi itu. Bila deskripsi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan sejelas-jelasnya suatu obyek sehingga obyek itu seolah olah berada di depan mata kepal pembaca, maka narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Sebab itu, unsur yang paling penting pada sebuah narasi adalah unsur perbuatan atau tindakan . Tetapi kalau narasi hanya menyampaikan kepada pembaca suatu kejadian atau peristiwa, maka tampak bahwa narasi sulit dibedakan dari deskripsi, karena suatu peristiwa atau suatu proses dapat juga disajikan dengan mempergunakan metode deskripsi. Sebab itu, mesti ada unsur lain yang harus diperhitungkan , yaitu unsur waktu. Dengan demikian pengertian narasi itu mencakup dua unsur dasar, yaitu perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Apa yang telah terjadi tidak lain daripada tindak-tanduk yang dilakukan oleh orang-orang atau tokoh-tokoh dalam suatu rangkaian waktu. Bila deskripsi menggambarkan suatu obyek secara statis, maka narasi mengisahkan suatu kehidupan yang dinamis dalam suatu rangkaian waktu. Berdasarkan uraian di atas narasi dapat dibatasi sebagai suatu bentuk rencana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu satuan waktu. Atau dapat juga dirumuskan dengan cara lain: narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang terjadi. Narasi berusaha menjawab pertanyaan Apa yang telah terjadi? Tetapi, seperti sudah dikemukakan di atas, antara kisah dan kisah selalu terdapat perbedaan, minimal yang menyangkut tujuan atau sasarannya. Ada narasi yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca, agar pengetahuannya bertambah luas, yaitu narasi eksposotoris. Tetapi di samping itu ada juga narasi yang disusun dan disajikan sekian macam, sehingga kita mampu menimbulkan daya khayal para pembaca. Ia berusaha menyampaikan sebuah makna kepada para pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya. Narasi semacam ini adalah narasi sugestif. Dan antara kedua ekstrim ini terjalinlah bermacammacam narasi dengan tingkat informasi yang semakin berkurang menuju tingkat daya khayal yang semakin bertambah.

ALINEA 1. PENGERTIAN Alinea bukanlah suatu pembagian secara konvensional dari suatu bab yang terdiri atas kalimat-kalimat. Alinea tidak lain adalah suatu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat. Alinea merupakan himpunan yang bertalian dalam suatu rangkaian untuk membentuk sebuah gagasan. Oleh karena itu, pembentukan sebuah alinea sekurang-kurangnya mempunyai tujuan : 1) Memudahkan pengertian dan pemahaman dengan menceraikan suatu tema dari tema yang lain 2) Meningkatkan konsentrasi terhadap tema alinea dengan memisahkan dan menegaskan perhatian secara wajar dan formal pada akhir kalimat 2. SYARAT-SYARAT PEMBENTUKAN ALINEA Alinea yang baik dan efektif harus memenuhi syarat berikut :

1) Kesatuan : Semua kalimat yang mendukun alinea itu secara bersama-sama mendukung satu ide 2) Koherensi : Kekompakan hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain yang membentuk alinea tersebut 3) Pengembangan : Pengembangan ide/gagasan dengan menggunakan kalimat-kalimat pendukung 4) Efektif : Disusun dengan menggunakan kalimat efektif sehingga ide bias diuraikan dengan tepat 3. HUBUNGAN ANTAR KALIMAT Seperti yang terdapat pada uraian di atas, kalimat-kalimat pembentuk alinea harus mengandung informasi yang saling berkaitan dengan kalimat lain. Hubungan antar kalimat dalam alinea bisaditandai dengan berbagai dengan penanda hubungan. Sifat hubungan tersebut bias bersifat : a. Eksplisit 1. Kata ganti tunjuk Contoh : Saya ingin punya sepeda. Barang itu sudah lama kuimpikan. 2. Kata ganti orang Contoh : Saya membenci Tika. Ia sangat egois. 3. Kata perngkai Contoh : Ibu tidak berangkat. Padahal beliau harus memimpin rapat. Implisit Contoh : Saya suka makan tape, saudara-saudara saya suka makan durian. Disamping keterangan tentang sarana penghubung antarkalimat di atas, di bawah ini akan disampaikan contoh makna hubungan antara lain : 1. Hubungan perlawanan Walaupun hidupnya sengsara, mereka tetap tabah. 2. Hubungan perbandinag Hidupnya hanya untuk burung seolah-olah tak ada yang bisa memalingkannya dari sangkar burung di rumahnya. 4. POLA PENGEMBANGAN ALINEA Berdasarkan letak kalimat utamanya, alinea terbagi menjadi : a. Alinea deduktif : Kalimat utamanya terdapat pada bagian awal kalimat b. Alinea induktif : Kalimat utamanya terdapat pada bagian akhir kalimat c. Alinea campuran : Kalimat utamanya terletak di awal dan ditegaskan kembali pada bagian akhir d. Alinea diskriptif : Kalimat utama yang tersirat pada seluruh kalimat di paragraph tersebut

PERUBAHAN MAKNA 1. Pengertian Dalam perkembangan penggunaannya, kata sering mengalami perubahan makna. Perubahan tersebut terjadi karena pergeseran konotasi, rentang masa penggunaan, jarak, dan lain-lain. Namun yang jelas, perubahanperubahan tersebut ada bermacam-macam yaitu: menyempit, meluas, amelioratif, peyoratif, dan asosiasi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan penjelasan dibawah ini : 2. Macam-macam Perubahan Makna a. menyempit/spesialisasi Kata yang tergolog kedalam perubahan makna ini adalah kata yang pada awal penggunaannya bisa dipakai untuk berbagai hal umum, tetapi penggunaannya saat ini hanya terbatas untuk satu keadaan saja. Contoh : Sastra dulu dipakai untuk pengertian tulisan dalma arti luas atau umum, sedangkan sekarang hanya dimaknakan dengan tulisan yang berbau seni. Begitu pula kata sarjana (dulu orang yang pandai, berilmu tinggi, sekarang bermakna lulusan perguruan tinggi). b. meluas/generalisasi Penggunaan kata ini berkebalikan dengan pengertian menyempit. Contoh : Petani dulu dipai untuk seseorang yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari mengerjakan sawah, tetapi sekarang kata tersebut dipakai untuk keadaan yang lebih luas. Penggunaan pengertian petani ikan, petani tambak, petani lele merupakan bukti bahwa kata petani meluas penggunaannya.

c. amelioratif Pada awalnya, kata ini memiliki makna kurang baik, kurang positif, tidak menguntungkan, akan tetapi, pada akhirnya mengandung pengertian makna yang baik, positif, dan menguntungkan. Contoh : Wanita, pramunikmat, dan warakawuri merupakan kata-kata yang dipakai untuk lebih menghaluskan, menyopankan pengertian yang terkandung dalam kata-kata tersebut. d. peyoratif Makna kata sekarang mengalami penurunan nilai rasa kata daripada makna kata pada awal pemakaiannya. Contoh : Kawin, gerombolan, oknum, dan perempuan terasa memiliki konotasi menurun atau negatif. e. asosiasi Yang tegolong kedalam perubahan makna ini adalah kata-kata dengan makna-makna yang muncul karena persamaan sifat. Sering kita mendengar kalimat hati-hati dengan tukang catut itu. Tukang catut dalam kalimat diatas tergolong kata-kata dengan makna asosiatif. Begitu pula dengan kata kacamata dalam : menurut kacamata saya, perbuatan anda tidak benar f. sinestesia Perubahan makna terjadi karena pertukaran tanggapan antara dua indera, misalnya dari indera pengecap ke indera penglihatan. Contoh: Gadis itu berwajah manis. Kata manis mengandung makna enak, biasanya dirasakan oleh alat pengecap, berubah menjadi bagus, dirasakan oleh indera penglihatan. Demikian juga kata panas, kasar, sejuk, dan sebagainya.

You might also like