You are on page 1of 11

Nama: Marcell Linggom S.

NPM: 1006789311

TUGAS KULIAH HUKUM DAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN

UNCLOS 1982 merupakan konvensi internasional yang menjadi acuan dalam pengaturan hukum laut internasional, termasuk di dalamnya pengaturan mengenai lingkungan laut. Pasal 194 Section I Part XII tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut dalam Ayat 1 menyatakan bahwa setiap negara diharuskan untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi, serta mengendalikan polusi terhadap lingkungan laut dari semua sumber pencemar, sesuai dengan kemampuan masing-masing negara. Isi Ayat 3 menjabarkan lebih lanjut empat macam penyebab polusi lingkungan laut yang harus diatasi, yaitu:
(a) the release of toxic, harmful or noxious substances, especially those which are

persistent, from land-based sources, from or through the atmosphere or by dumping;


(b) pollution from vessels, in particular measures for preventing accidents and

dealing with emergencies, ensuring the safety of operations at sea, preventing intentional and unintentional discharges, and regulating the design, construction, equipment, operation and manning of vessels;
(c) pollution from installations and devices used in exploration or exploitation of

the natural resources of the seabed and subsoil, in particular measures for preventing accidents and dealing with emergencies, ensuring the safety of operations at sea, and regulating the design, construction, equipment, operation and manning of such installations or devices;
(d) pollution from other installations and devices operating in the marine

environment, in particular measures for preventing accidents and dealing with emergencies, ensuring the safety of operations at sea, and regulating the design, construction, equipment, operation and manning of such installations or devices.

Pengaturan dalam UNCLOS 1982 tersebut memang telah mencakup seluruh tindakan yang perlu dilakukan untuk melindungi lingkungan laut, akan tetapi sifatnya masih sangat umum. Perlu ada suatu penjelasan yang lebih terperinci agar dapat dilaksanakan oleh semua negara. Penjelasan yang lebih terperinci tersebut terkandung dalam beberapa konvensi tersendiri, antara lain:
1. MARPOL Convention 73/78, mengatur tentang polusi yang disebabkan oleh

aktivitas kapal;
2. London Dumping Convention, mengatur tentang polusi yang disebabkan oleh

tindakan membuang limbah ke laut (dumping); 3. OPRC, mengatur tentang polusi akibat kegiatan di instalasi penambangan minyak lepas pantai; Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai ketiga konvensi ini, berikut resume dari beberapa artikel yang membahasnya.

1. The 1996 Protocol to the London Dumping Convention and the Brent Spar

by Elizabeth A. Kirk. Pada November 1996, dalam pertemuan khusus negara-negara peserta London Dumping Convention 1972 (selanjutnya disebut LDC), diadopsi sebuah Protokol baru. Tujuan dari Protokol ini adalah untuk melindungi lingkungan laut dari segala sumber polusi, yang dilakukan dengan menetapkan lebih banyak larangan dalam kegiatan dumping dan memperjelas ambiguitas dalam perumusannya. Protokol 1996 ini menetapkan hal-hal baru berikut:
a. Pendekatan yang relatif permisif terhadap kegiatan dumping dalam LDC,

oleh Protokol ini menjadi lebih restriktif. Protokol 1996 melarang semua tindakan dumping kecuali yang diperbolehkan dalam Annex I, dan pengecualian tersebut hanya bisa

dilakukan apabila telah mendapatkan izin untuk melakukan dumping. Artinya tindakan dumping hanya boleh dilakukan sebagai alternatif terakhir, dan jika diperbolehkan, harus memenuhi persyaratan yang sangat ketat untuk mendapatkan izin. Terkait dengan penanganan kasus Brent Spar, tampak bahwa ketentuan hukum Inggris menggunakan metode pembuangan yang efeknya seminimal mungkin terhadap lingkungan, entah dengan dumping atau dibuang di daratan. Ketentuan hukum Inggris ini sejalan dengan peraturan Protokol 1996 yang baru ini.

b. Definisi polusi telah diperbarui dan tindakan mengabaikan (abandonment)

sebagai salah satu bentuk dumping mendapat pertimbangan baru. Berbeda dengan LDC yang tidak memberikan definisi terhadap polusi, Protokol 1996 memberikan definisi yang jelas dan cakupannya luas, yaitu: the introduction into the sea as a result of human activity of things which lead to, or are likely to lead to deleterious effects on the marine environment, including deleterious effects on living resources and ecosystems. Terkait dengan tindakan mengabaikan (abandonment), LDC memungkinkan 1996 pemilik instalasi/fasilitas mengabaikan lepas pantai dapat harus melakukannya tanpa mendapatkan izin dengan alasan yang tepat. Protokol sebaliknya, tindakan (abandonment) mendapatkan izin melalui prosedur dan pemenuhan kriteria seperti juga jenis-jenis kegiatan dumping lainnya. Hukum positif Inggris juga telah mengatur mengenai tindakan mengabaikan (abandonment), terutama dalam Petroleum Act 1987 dimana sebelum melakukan tindakan mengabaikan (abandonment), harus mendapat persetujuan dari Departemen Perdagangan dan Industri Inggris.

c. Prinsip Pencemar Membayar dan Prinsip Kehati-hatian semakin dikembangkan. Protokol 1996 mengatur bahwa tindakan dumping tidak hanya dilarang karena ada bukti yang jelas atas kemungkinan timbulnya kerusakan. Dumping juga dilarang apabila tidak tersedia informasi yang memadai atas kemungkinan akibat yang timbul dari suatu proposal permohonan dumping. Sebagai contoh, apabila mengingat ketidakpastian kuantitas sisa minyak yang terdapat dalam Brent Spar serta efek yang ditimbulkan apabila dilakukan dumping ke laut dalam, maka proposal tersebut menurut Protokol 1996 akan ditolak.
d. Pengecualian terhadap larangan dumping telah dicabut, demikian juga

persyaratan dasar untuk pemberian izin melakukan dumping. Perkembangan utama dalam Protokol 1996 ini adalah daftar pertimbangan yang jauh lebih komprehensif dari LDC. Berbeda dari Annex III LDC yang hanya mempertimbangkan karakteristik fisik dari material yang akan di-dumping dengan situs tempat akan di buang semata, dalam Annex 2 Protokol 1996 juga memperhitungkan detail seperti urutan opsi manajemen limbah mana yang harus dipertimbangkan, penggunaan teknologi pengurangan limbah, dan kemungkinan modifikasi proses. Pihak berwenang dapat menolak aplikasi izin dumping jika terdapat opsi lain yang lebih ramah lingkungan. Tetapi, jika alternatif yang ada terlampau mahal atau dapat mengakibatkan resiko bagi kesehatan manusia, permohonan izin dumping dapat dikabulkan.

2. Regulation of Land-Based Marine Pollution in International Law: A Comparative Analysis Between Global and Regional Legal Frameworks by Yoshifumi Tanaka.

Polusi yang bersumber dari daratan mewakili satu-satunya penyebab polusi laut yang terpenting. Ancaman polusi yang bersumber dari daratan terhadap pencemaran laut sangat serius dikarenakan pengaruhnya terutama pada perairan pantai, yang merupakan situs dengan produktivitas biologis tinggi. Dalam konteks yang luas, polusi laut yang bersumber dari daratan merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara populasi manusi dan aktivitas industri dengan keterbatasan kapasitas lingkungan laut untuk menyerap limbah yang mereka hasilkan. Apabila memperhatikan sifat lintas batas polusi laut yang bersumber dari daratan, perlindungannya tidak mungkin dilakukan oleh satu negara saja. Dengan kata lain, kerjasama internasional untuk menangkalnya adalah suatu keharusan, meskipun sampai sekarang pengaturan mengenai polusi laut yang bersumber dari daratan lebih banyak terdapat dalam sejumlah perjanjian regional. Perjanjian regional tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam menetapkan suatu perjanjian yang bersifat internasional. Perjanjian internasional yang hendak disusun berupa kerangka kerja global dapat berlandaskan pada hukum kebiasaan internasional. Hukum kebiasaan internasional yang paling utama dalam hal ini kemungkinan adalah prinsip sic utere tuo ut alienum non laedas, dengan prinsip ini suatu negara tidak berhak untuk menggunakan atau mengizinkan penggunaan wilayah teritorialnya apabila dapat menimbulkan kerusakan pada wilayah teritorial negara lain. Prinsip Abuse of Rights juga dapat diterapkan dalam bidang ini. Prinsip ini berlaku ketika sebuah negara menggunakan haknya sedemikian rupa sehingga mengakibatkan negara lain tidak bisa menggunakan haknya sebagaimana mestinya, atau suatu negara menggunakan haknya melenceng dari tujuan pemberian hak tersebut sehingga merugikan negara lain. Dewasa ini, hanya UNCLOS 1982 yang mengatur mengenai polusi laut yang bersumber dari daratan pada tingkatan global. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 194 Ayat 1 dan Ayat 2, yang menetapkan bahwa setiap negara dituntut

mengambil langkah-langkah maksimal sesuai dengan konvensi ini guna mencegah, mengurangi, serta mengendalikan pencemaran lingkungan laut dari sumber apapun, juga menjamin setiap aktivitas dalam yurisdiksi teritorialnya tidak mengakibatkan polusi/kerusakan pada wilayah negara lain. Penyusunan kerangka kerja global untuk mengatasi polusi laut yang bersumber dari daratan akan sulit dilakukan karena setidaknya empat faktor berikut: 1. Kebutuhan mendesak akan perkembangan ekonomi; 2. Kompleksitas zat-zat, sumber-sumber, serta pelaku-pelaku yang harus diatur; 3. Divergensi ekologis dan geografis di tiap-tiap wilayah; 4. Perbedaan tingkat ekonomi dan teknologi antara negara maju dan negara berkembang. Akan tetapi, pengaturan dalam perjanjian regional juga telah cukup baik, bahkan telah ada upaya memajukan regulasi terhadap polusi laut yang bersumber dari daratan dengan beberapa langkah berikut: 1. Mengganti pendekatan daftar hitam - daftar abu-abu dengan pendekatan keseragaman; 2. Diadopsinya Prinsip Kehati-hatian;
3. Penggunaan Best Availabe Techniques (BAT) dan Best Environmental

Practice (BEP);
4. Pembentukan Environmental Impact Assessment (EIA) dan system

pengawasan;

5. Pengawasan internasional untuk menjamin penerapan efektif dari peraturan yang relevan dengan hukum internasional (dalam hal ini perjanjian regional). Peraturan regional memang telah berupaya mengatur polusi laut yang bersumber dari daratan dengan baik, bahkan melakukan upaya pengembangan yang sangat maju, tetapi tetap dipengaruhi oleh aspek-aspek perkembangan ekonomi, sosial dan politik dari tiap-tiap negara. Kesimpulannya, untuk menyusun suatu kerangka kerja global mengenai polusi laut yang bersumber dari daratan, diperlukan kajian mendalam yang patut mempertimbangkan aspek perlindungan lingkungan yang memadai, serta aspek perkembangan ekonomi-sosial-politik dari tiap-tiap negara.

3. MARPOL 73/78 and Annex I: An Assessment of its Effectiveness by Gini

Mattison. Pencemaran minyak adalah ancaman besar bagi spesies dan lingkungan laut. Konvensi yang mengatur mengenai pemulihan tumpahan minyak dari kapal tanker di lautan adalah konvensi MARPOL 73/78. The Environmental Protection Agency (EPA) membagi minyak mentah ke dalam klasifikasi berikut: Kelas A: Termasuk di dalamnya adalah sebagian besar produk minyak

sulingan. Karakteristiknya sangat cair, biasanya jernih, cepat menyebar di permukaan air atau permukaan padat, aromanya sangat tajam, sangat mudah menguap, biasanya mudah terbakar. Dapat menembus permukaan berpori seperti tanah atau pasir, namun tidak bersifat lengket dan dapat dibersihkan dengan air. Klasifikasi Kelas A ini bisa sangat mematikan bagi manusia, ikan dan hewan-hewan lain.

Kelas B: Meliputi minyak berbasis lilin menengah sampai berat.

Minyak jenis ini terasa berminyak/seperti lilin, minyak Kelas B kurang

mematikan dan melekat lebih kuat pada permukaan daripada Kelas A, meskipun dapat dibersihkan dengan banyak penyiraman. Bila terjadi kenaikan suhu, minyak kelas ini cenderung menembus ke dalam permukaan berpori dan biasanya bertahan lama. Penguapan minyak kelas ini dapat menghasilkan residu Kelas C atau Kelas D.

Kelas C: Meliputi residu bahan bakar dan minyak mentah tingkat

menengah sampai berat. Karakteristiknya lengket/menggumpal, biasanya berwarna coklat atau hitam. Penyiraman dengan air tidak membersihkan bahan ini dengan mudah, meskipun cenderung tidak menembus permukaan berpori. Kepadatan minyak Kelas C mendekati air dan biasanya bisa tenggelam. Kenaikan suhu dan penguapan dapat menghasilkan residu padat atau gumpalan minyak Kelas D. Tingkat racunnya rendah, akan tetapi hewan liar bisa terjerat atau tenggelam jika terkontaminasi. Kelas D: Meliputi minyak residu, minyak mentah berat, beberapa

minyak sangat bersifat lilin, dan sebagian minyak yang terkena dampak cuaca. Kelas D biasanya tidak mematikan, tidak menembus permukaan berpori, and umumnya berwarna hitam atau coklat gelap. Jika dipanaskan, minyak jenis ini akan meleleh dan melapisi permukaan sehingga sangat sulit dibersihkan. Dari keempat klasifikasi di atas, biasanya ada empat jenis umum minyak yang dikeluarkan dari kapal berupa tumpahan minyak: minyak mentah, Bunker C, bahan bakar diesel, dan olahan minyak ringan seperti kerosin dan bensin. Bensin dan kerosin merupakan polutan yang paling umum sekaligus paling tidak berbahaya, karena keduanya mudah mengalir dan cepat menguap. Bahan bakar diesel adalah polutan paling berbahaya dikarenakan oleh tingkat racunnya yang sangat tinggi. Diesel memang cepat menguap atau dinetralkan oleh alam dalam beberap hari, tetapi dalam jumlah besar dapat mematikan bagi populasi laut yang terkena. Mengenai minyak mentah, akibatnya berbeda-beda tergantung pada

kelasnya. Bunker C adalah bahan bakar utama yang biasa digunakan untuk mesin diesel marinir, yang secara umum tidak mematikan bagi tanaman maupun hewan. MARPOL 73/78 terbentuk setelah adanya insiden Torrey Canyon, ketika terjadi tumpahan minyak mentah sejumlah 120.000 ton di Selat Inggris dan menyebar hingga ke pantai Perancis, West Cornwall, dan Teluk Biscay. Sistematika dari MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut: 1. Annex I Regulations for the Prevention of Pollution by Oil; 2. Annex II Regulations for the Control of Pollution by Noxious Liquid Substances in Bulk; 3. Annex III Prevention of Pollution by Harmful Substances Carried by Sea in Packaged Form; 4. Annex IV Prevention of Pollution by Sewage from Ships (entry into force date 27 September 2003); 5. Annex V Prevention of Pollution by Garbage from Ships; 6. Annex VI Prevention of Air Pollution from Ships (adopted September 1997 not yet in force). Peserta MARPOL 73/78 harus menerima Annex I dan Annex II, tetapi penerimaan Annex III-VI sifatnya sukarela. Meskipun MARPOL 73/78 dapat dikatakan sebagai hukum yang reaktif, bukan hukum yang proaktif, namun masyarakat internasional mengakui efektifitasnya dalam mengurangi jumlah polusi minyak di lautan dunia.

4. Liability for Oil Pollution Damage versus Liability for Waste Management: The Polluter Pays Principle at the Rescue of the Victims by Nicolas de Sadeleer.

Anotasi dan analisa kasus tumpahan minyak kapal tanker minyak Erika tanggal 12 Desember 1999 di pantai Finistere, Perancis. Membela kepentingan korban, anotasi kasus ini menjamin penerapan yang tepat mengenai Prinsip Pencemar Membayar, yang tidak boleh dianulir melalui pembatasan atau pengecualian berdasarkanperjanjian internasional dimana European Community (EC) bukan peserta. Tanggung-gugat berantai yang diatur oleh hukum sekunder (hukum EC) merupakan pelengkap terhadap perjanjian internasional. Korban dari kerusakan ekologis dengan demikian diperbolehkan mendapat kompensasi dengan kedua dasar, yaitu hukum internasional dan hukum EC. Alasan yang dikemukakan sangat meyakinkan: sebuah kewajiban dari hukum perjanjian internasional yang belum terintegrasi dengan tata hukum EC tidak dapat menghentikan peraturan hukum sekunder untuk diterapkan dengan tujuan memberikan panduan kebijakan yang terkait dengan permasalahan.

5. Kesimpulan. Berdasarkan empat bahan bacaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengaturan rezim hukum lingkungan internasional mengenai pencemaran lingkungan laut telah berkembang sangat pesat. Meskipun demikian, pengaturan hukum lingkungan internasional ini masih membutuhkan perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut. Sebagaimana diketahui bersama, kekuatan hukum internasional masih lemah karena berbagai pertimbangan, di antaranya:
1. Hukum internasional tidak punya wewenang memaksa mutlak, dan

penyusunannya bergantung kepada kesepakatan para pihak pembuatnya. 2. Adanya aspek kepentingan negara yang meliputi bidang ekonomi, sosial, budaya, kedaulatan, politik, dan sebagainya.

3. Melibatkan aspek kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang dan negara dunia ketiga. Dengan mengesampingkan faktor-faktor tersebut, regulasi hukum lingkungan internasional untuk melindungi lingkungan laut dari pencemaran telah berkembang sangat pesat. Berbagai konvensi dan perjanjian telah dibuat untuk mengatur upaya pencegahan, pengurangan serta pengendalian pencemaran laut dari semua sumber pencemar. Sumber pencemaran laut itu sendiri meliputi:
a) Land Based Pollution (pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas di darat,

meliputi limbah industri, limbah rumah tangga, sampah, dan lain-lain); Salah satunya diatur dalam Basel Convention 1989 mengenai Pengendalian Pemindahan Limbah Berbahaya Lintas Batas dan Pembuangannya.
b) Vessels Activities (pencemaran yang bersumber dari aktivitas kapal di

lautan, misalnya sampah domestik, tumpahan bahan bakar kapal, limbah B3, sampah medis, dan lain-lain); Diatur oleh MARPOL Convention 73/78.
c) Dumping Activities (pencemaran sebagai akibat pembuangan polutan land

based dari daratan begitu saja ke lautan); Diatur oleh London Dumping Convention 1972.
d) Offshore Platform Based Pollution and Seabed Activities (pencemaran yang

terjadi di instalasi lepas pantai semisal tambang minyak, laboratorium bawah laut, atau kegiatan di dasar laut seperti instalasi pipa bawah air, dan lain-lain). Diatur oleh International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Cooperation (OPRC) 1990.

You might also like