You are on page 1of 55

contoh skripsi hukum

dengan 134 komentar TANGGUNG JAWAB KONSULTAN DALAM PEMBUATAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN DAN AKIBAT HUKUMNYA LOGO UMP Paper ini merupakan tugas akhir Program Sarjana Hukum OLEH : BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan upaya sadar dan terencana dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumber daya, guna mencapai tujuan pembangunan yakni meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pembangunan tersebut dari masa ke masa terus berlanjut dan berkesinambungan serta selalu ditingkatkan pelaksanaannya, guna memenuhi dan meningkatkan kebutuhan penduduk tersebut berjalan seiring dengan semakin meningkatnya jumlah pertumbuhan penduduk. Pelaksanaan pembangunan sebagai kegiatan yang berkesinambungan dan selalu meningkat seiring dengan baik dan meningkaatnya jumlah dan kebutuhan penduduk, menarik serta mengundang resiko pencemaran dan perusakan yang disebabkanoleh tekanan kebutuhan pembangunan terhadap sumber daya alam, tekanan yang semakin besar tersebut ada dan dapat mengganggu, merusak struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan. Untuk mencegah kemerosotan lingkungan dan sumber daya alam dengan maksud agar lingkungan dan sumber daya alam tersebut tetap terpelihara keberadaan dan kemampuan dalam mendukung berlanjutnya pembangunan, maka setiap aktivitas pembangunan haruslah dilandasi oleh dasar-dasar pertimbangan pelestarian dan sumber daya alam tersebut. (Husin, 1992 : 1). Keinginan untuk mempengaruhi pengaruh negatif dan resiko pada tingkat yang mungkin (Risk Assesment) dan mengelola resikonya (Risk Management) melalui mekanisme dan system hokum lingkungan dalam apa yang disebut sebagai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). (Silalahi, 11995 : 1). Analisis Dampak lingkungan yang sering disebut ANDAL, lahir denga diundangkannya lingkungan hidup di Amerika Serikat yaitu National Environmental Policy Act (NEPA) pada tahun 1969 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1970. Pasal 102 ayat (1) (c) dalam undang-undang ini menyatakan, semua usulan legislasi dan aktivitas pemerintah federal yang besar yang diperkirakan akan mempunyai daampak penting terhadap lingkungan harus disertai laporan mengenai Environmental Impact Assesment ( Analisa Dampak Lingkungan) tentang usulan tersebut. NEPA 1969 merupakn suatu reaksi terhadap kerusaakan lingkungan oleh aktivitas manusia yang semakin meningkat, antara lain tercemarnya lingkungan oleh pestisida serta limbah industri daan transpor. Rusaknya habitat tumbuhan dan hewan langka, serta rendahnya nilai estetika alam. (Suparni, 1994 : 89). Berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Pokok Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997 tentang kewajiban Membuat Analisis Mengenai Damoak Lingkungan (AMDAL) terhadap setiap rencana yang diperkirakan mempunyai Dampak penting terhadap lingkungan hidup, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. (UU No. 23 Tahun 1997,1997). Dalam waktu empat tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 telah diteliti berbagai aspek untuk penetapan criteria daamapak kegiatan dari lingkunganlingkungan social Budaya. Karena dianggap Peraturan Pemerintah belum memadai, maka kebijakan pemerintah dalam menyikapi pelaksanaan dan penegakkan undang-undang No. 23 Tahun 1997 dikeluarkanlah Peraaturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 yang mencabut

Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993. Alasan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1999 diantaranya beberapa persoalan yang bermunculan pada tingkat pelaksanaan termasuk kurang dipahaminya ketentuan-ketentuan hukum dasarnya menurut Undangundang Lingkungan Hidup Tahun 1997 serta implikasi aspek-aspek teknis dan ilmu ilmiah pada penerapan hukumnya, sehingga menjadi kendala menegakkan ketentuan-ketentuan tersebut, terutama pada kegiatan yang menggunakan bahan-bahan kimia yang bersifat toksis, dan dampak lingkungan penting lainnya. Atas pertimbangan di atas, mengalami kondisi untuk segera dikembangkan lebih lanjut ketentuan hukumnya sesuai dengan perkembangan baru, masalah-masalah yang belum terakomodasi oleh ketentuan-ketentuan yang dianggap mengandung kelemahan-kelemahan tertentu, seperti keterkaitan AMDAL denga perizinan, mekanisme keterkaitan AMDAL dan masyarakat sebagai pelaksana peran serta rakyat dalam proses pengambilan keputusan, dan metode pengumpulan informasi yang mampu memberikan identifikasi terhadap berbagai pengaruh dan dampak lingkungan. Ini berarti dalam hal perencanaan proyek pusat, komisi daerah telah dilibatkan, yang akan menjamin keterpaduan vertical. Landasan Hukum kebijaksanaan lingkungan secara umum di Indonesia dinyatakan sejak Repelita II yang diatur dalam TAP MPR No. IV Tahun 1973 tentang GBHN yang berbunyi sebagai berikut : Dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan menyeluruh dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang. Kurang dipahminya proses AMDAL dalam system perizinan menyebabkan studi AMDAL sering kali dianggap memperlambat diperolehnya izin kegiatan. Oleh karena itu, penguasaan hukum yang mengatur dan menerbitkan masalah lingkungan dalam pembangunan wajib kita menguasai pula ilmu-ilmu lain yang relevan, misalnya ekonomi, sosial budaya, planologi, hidrologi, kimia dan biologi. Pendekatan interdisipliner ilmu demikian dapat dan berkembang. Meningkatkan kegiatan pembangunan, akan membawa perkembangan baru atas pengertian bahaya, kerugian daan lingkungan tercemar terhadap aspek kesehatan dan lingkunga salah satu Instrumen Hukum yang dikembangkan dan mengatasi ini adalah AMDAL. AMDAL sebagai studi ilmiah dianggap mempunyai kemampuan untuk melakuka prediksi dan identifikasi itu terhadap kemungkinan timbulnya dampak lingkungan. Dalam proses AMDAL ini analisis mengenai masalah dilakukan yang berdasarkan pendekatan antar berbagai disiplin ilmu dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmiah pula untuk menerangkan hubungaan kausal masalah lingkungan dan cara pemecahaannya. Dengan demikian, dalam perkembangan baru ini, hokum disamping untuk menjaga ketertiban, sarana pembaharuan masyarakat juga dianggap mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan masalah-masalah lingkunga yang mungkin timbul daaan tata cara memecahkannya. Suatu perkembangan hukum yang dipengaruhinya oleh metode dan prinsip ilmu. Untuk melakukan analisis secara demikian, Undang-undang Lingkungan Hidup Tahun 1982 dan peraturan Pemerintah tentaang AMDAL akan dijadikan acuan utama dalam keseluruhan proses pengujiaan masalah dan sarana pemecahaannya. Atas dasar pemikiran diatas, analisis masalah hukum tentang AMDAL pertama-tama akan membantu memberikan uraian keterkaitan perundang-undangan dan pelaksanaan AMDAL dengan Undang-undang atau ketentuan hokum sektoral untuk memperoleh persamaan persepsi dan penafsiran atas hokum yang mengatur pelaksanaan AMDAL dilihat dari penyusunan, penilaian, dan pengambilan keputusan. Kedua, pengaruh dari kualifikasi AMDAL oleh perangkat aparatur pemerintah yang memiliki criteria keahlian khusus dalam proses AMDAL sebagai penanggung jawab utama. Status AMDAL dalam proses pengambilan keputusan sebagai Significant Agency Expertise yang memegang yurisdiksi kewenangan dan merupakan ruang lingkupnya yang lebih utama dalam masalah hukum yang timbul di kemudian hari. Dalam pengertian diatas, ditegaskan bahwa aparat pemerintah (agency) barulah dapat dikualifisir dan mempunyai Primary Jurisdiction yang memberikan kedudukan hukum yang

istimewa baginya untuk memutuskan apa yang menurut aparatur pemerintah paling menguntungkan berdasarkan keahliannya yang khusus, karena itu kedudukan ini memberikan dasar hukum yang kuat baginya untuk menetapkan pilihan yang terbaik dan bersifat final. Di dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluaan Negara (GBHN) mengamanatkan bahwa : Penelitian, pengendalian dan pemanfaatan ssumber daya alam serta pembinaan lingkungan hidup perlu ditingkatkan dengan menggunakan cara yang tepat sehingga mengurangi dampak yang penting yang merugikan lingkungan hidup serta mempertahankan mutu dan kelestariannya kemampuan sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga pembangunan dapat berlangsung dengan berkesinambungan. Untuk menciptakan suatu pembangunan yang berkesinambungan, faktor lingkungan hidup menjadi perhatian yang utama, sebab pada hakekatnya adalah : (Suparni, 1992 : 36) Gangguan terhadap keseimbangan lingkungan yaitu sadar manusia untuk mengubah keseimbangan lingkungan dari tingkat kualitas yang lebih tinggi. Dalam hal ini harus menjaga agar lingkungan tetap mampu untuk mendukung tingkat hidup pada kualitas yang lebih tinggi. Oleh karena itu pembangunan yang memungkinkan timbulnya dampak penting terhadap lingkungan harus dibuat analisis mengenai dampak lingkungan, misalnya pembangunan pabrik pupuk, pembangunan pabrik tapioka, dan lain-lain. Kewajiban membuat analisis mengenai dampak lingkungan dapat kita lihat pada Pasal 15 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 yang isinya Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 15 diatas maka pemerintah berhasil menetapkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang analisis mengenai dampak lingkungan. Peraturan Pemerintah ini merupakan tonggaak sejarah yang amat penting dalam rangka pembangunan berwawasan lingkungan. Mengenai masalah analisis mengenai dampak lingkungan adalah menyangkut masalah orang banyak, maka peranan pihak yang berkepentingan yaitu pemrakarsa, aparatur pemerintah, dan masyarakat sangat penting. Oleh karena itu untuk menegakkan analisis mengenai dampak lingkungan ini harus ada kerjasama yang baik antara aparatur pemerintah dan pihak yang terkait. Untuk itu Menteri Negara Kependudukan dan Lingkuyngan Hidup telah mengeluarkan beberapa keputusan sebagai realisasi dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 yang isinya merupakan pedoman bagi para konsultan yang akan membuat analisis mengenai dampak lingkungan. Oleh karena itu seorang konsultan tidak boleh menyimpang dari ketentuan diatas. Dalam membuat data, seorang pemrakarsa proyekharus mengetahui apakah proyek yang akan didirikannya itu wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan, jadi disini keadaan dari lokasi proyek harus jelas. Secara yuridis, analisis mengenai dampak lingkunga dibutuhkan hanya terhadap kegiatan pembangunan yang berdampak penting, mengenai ada atau tidaknya dampak penting itu tidak mudah diukur dengan barometer tertentu. Sebab formulasi hukum tidak secar jelas memberikan batas baik secara kuantitatif maupun kualitatif tentang apa yang merupakan dampak yang penting. Secar yuridis hanya menyatakan dampak penting itu berupa perubahan lingkungan yaitu yang sangat mendasar bersumber dari suatu kegiatan. Contoh dampak itu paling tidak menyangkut hidup orang banyak antara lain menyangkut alam, flora dan fauna dan sebagainya yang dapat terganggu akibat langsung terhadap polusi udara, air dan darat. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka terhadap usaha yang menimbulkan dampak penting, wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Oleh sebab itu bagi proyek yang mempunyai dampak penting banyak sekali sekali yang meminta pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan sehingga mendorong munculnya pihak pihak yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, akibatnya studi analisi mengenai dampak lingkungan hanya formalitas saja, yang tidak dilaksanakan berdasarkan prosedure yang telah ditentukan oleh Undang-undang.

Berdasarkan uraian di atas, maka akibat mengenai analisis mengenai dampak lingkungan dianggap formalitas saja, banyak sekali terdapat data fiktif yaitu data yang diperolehdari hasil data konsssultan saja atau bisa juga dari hasil pemikiran yang dibuat oleh konssultan itu dapat saja karena kesengajaan atau karena kelalaiannya sehingga dat yang sebenarnya harus dicantumkan ke dalam analisi mengenai dampak lingkungan tidak dibuatnya secar tepat, akibatnya setelah terjadi dampak penting terhadap lingkungan maka diketahui segala kesalahanya. Untuk itulah maka setiap konsultan harus bertanggung jawab atas semua data yang dibuatnya sehingga konsultan harus hati-hati dalam membuat analisis mengenai dampak lingkungan. Tanggung jawab ini menyangkut ganti rugi apabila konsultan itu melakukan kesalahan dalam membuat data analisis. Didalam Kitaab Undang-Undaang Hukum Perdata mengenai tanggung jawab ini diatur dalam pasal 1801 dan pasal 1803 Kitab Undaang-Undang Hukum Perdata : Si kuasa tidak saja bertanggung jawab tentang perbuatan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tapi juga tentang kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya. Namun itu tanggung jawab tentang kelalaian bagi seseorang yang dengan Cuma-Cuma menerima kuasa adalah tidak begitu berat seperti yang dapat diminta dari seseorang yang untuk itu menerima upah. Disisi lain Pasal 1803 KUH Perdata berbunyi : Si Kuasa bertanggung jawab untuk oraang yang telah ditunjuk olehnya sebagai penggantinya 1. Jika ia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya. 2. Jika kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa sebab penyebutaan seoraang tertentu. Sedangkan oraang yang dipilih itu ternyata tidak cakap atau tidak mampu. Si pemberi kuasa senantiasa dianggap telah memberikan kekuasaan kepada si kuasa untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya untuk pengurusan benda-benda yang terletak diluar wilayah daripada yang ditempat tingfgal si pemberi kuasa. Dalam segala hal, si pemberi kuasa dapat secara langsung menurut orang yang ditunjuk oleh si kuaasaa sebagaai penggantinya itu. Dari uraian diatas jelas bahwa tanggung jawab konsultan sangat besar, untuk itulah penulis mengambil judul TANGGUNG JAWAB KONSULTAN DALAM PEMBUATAN ANALISI MENGENAI DAAMPAK LINGKUNGAN DAAN AAKIBAT HUKUMNYA B. PERMASALAHAN Bertitik tolak dari uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah: 1. Apa saja kewajiban-kewajiban konsultan yang harus dipenuhinya dalam menyusun AMDAL ? 2. Sejauh mana taanggung jawab konsultan terhadap analisis tersebut ? C. Ruang Lingkup Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dan menyeluruh tentang penelitian ini, perlu pembatasan masalah ini dengan menitik beratkan pada tanggung jawab konsultan dalam perjanjian pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan yang sesuai dengan Pasal 1801 dan Pasal 1803 KUH Perdata dan tidak menutup kemungkinan berkaitan dengan hal-hal lain yang lebih relevan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pengetahuan penulis selama ini, serta menambah informasi bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan bidang hukum pada umumnya. Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi seseorang yang ingin terjun ke dunia konsultan analisis mengenai dampak lingkungan sehingga dapat melaksanakan dan menegakkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. D. Tujuan dan kegunaan penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara menyeluruh mempunyai tujuan untuk : - Menganalisis sekitar hak dan kewajiban konsultan yangmembidangi penyusunan dokumen AMDAL. - Mengaanalisis sampai sejauh mana batas tanggung jawab konsultan AMDAL

2. Kegunaan Penelitian Secara teoritis kegunaan penelitian ini akan berguna untuk perkembangan ilmu pengetaahuaan dalam Hukum Lingkungan khususnya yang berhubungan dengan konsssultan AMDAL. Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini daapat merupaklaan rekomendasi/pemikiran/konsep/saran untuk digunakan para pihak yang berkepentingan, baik bagi praktisi, akademisi ataupun aparat penegak hukum. E. Metode Penelitian Sejalan dengan ruang lingkup dan permasalahan dalam penelitian yang bersifat eksploratoris sebagi landasan utama dan tolak ukur dalam penyusunan maka dilakukan penelitian lapangan melalui wawancara denga para konsultan dan penelitian kepustakaan dengan cara pengumpulan data-data dan teori yang ada melaui kepustakaan, sehingga penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis (empiris) bersifat eksploiratoris yang tidak bermaksud menguji suatu hipotesa. Selanjutnya teknik pengumpulan dapat dilakukan melaui: 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research ) Penelitian kepustaakaan dalam rangka memperoleh data skunder yaitu bahn hukum primer misalnya Peraturan Pengganti Undang-Undang serta bahan hukum sekunder seperti buku buku (literatur). 2. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan dalam rangka memperoleh data primer maka penulis melakukan penelitian langsung Program Penelitian Lingkungan Hiddup (PPLH) dengan cara wawancara kepada para konsultan dan pihak-pihak terkait. Setelah data-data kepustakaan dan lapangan didapat, maka terhadap data tersebut selanjutnya dilakukan dengan cara Content Analisys terhadap data tekstular dan menetapkan metode kualitatif terhadap dat yang diperoleh dari lapangan, yang kemudian penulis konstruksikan dalam suatu kesimpulan pada bagian akhir dari penelitian ini. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL) A. Pengertian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 1. Sebelum keluar Perauraan Pemerintah No. 27 Taahun 1999 Menurut Fola S. Ebisemiju (1993) bahwa Analisis Mengenai Dampak Lingkungaan atau Environmental Impact Assesment (EIA) muncul sebagai jawaban atas keprihatinan tentang daampak negaatif dari kegiatan manusia khususnya pencemaran lingkungan akibat dari kegiatan industri pada tahun 1960-an. Sejak itu, AMDAL tetap menjadi alat utama untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan manajemen yang bersih lingkungan dan selalu melekat pada tujuan pembangunan yang berkelanjutan. (Ebisemiju dalam Soemartono, 1996 : 158) Menurut Munn (1974) definisi umum tenyang Amdal itu adalah : Analisis Mengenaai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah suatu kegiatan (studi) yang dilakukaan untuk meng identifikasi, memprediksi, menginterpretasikan dan mengkomunikasikan pengaruh suatu rencana kegiatan terhadap lingkungan Dari definisi secara akademis ini kemudian dirumuskan definisi hukum dalam perundangundangan, antara lain : a. Menurut Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 Pasal 1 ayat 1 (pelaksaanaan Pasal 16 Undaang-undang Lingkungan Hidup Tahun 1982) merumuskan sebagai berikut : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. (Ebisemiju dalam Silalahi, 1995 : 23). b. Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 yang menyatakan sebagai berikut : Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah hasil studi mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. (Fandeli, 1995 : 34). Pada dasarnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah keseluruhan dokumen studi kelayakan lingkungan yang terdiri dari kerangka acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan

(ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL). Dari pengertian tersebut Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) hanya merupakan salah satu dokumen dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Untuk menghilangkan kemungkinan pencemaran, keseluruhan yang terdapat dalam AMDAL harus dilaksanakan secara cermat sesuai dengan situasi dan kondisi yang sebenarnya. (Soemartono, 1996). Jadi istilah AMDAL dibedakan dengan ANDAL, yaitu AMDAL merupakan keseluruhan proses yang meliputi kelima buah dokumen, yaitu Penyajian Informasi Lingkungan (PIL), Kerangka Acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL). Sedangkan ANDAL yaitu Analisis Dampak Lingkungan merupakan salah satu dokumen yang dibuat dalam proses tersebut. (Suparni, 1994 : 94). Prinsip Dalam Penerapan dan Tata Laksana Amdal 1. Prinsip Dalam Penerapan AMDAL Dalam Peraturan penerapan AMDAL tercermin beberapa prinsip yang dianut, yaitu sebagai berikut : a. Suatu rencana kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup dapat dilaksanakan setelah dipertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan hidup. Dalam prinsip ini mengandung pengertian bahwa dampak lingkungan yang harus dipertimbangkan mencakup semua aspek lingkungan, baik biofisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya yang relevan denga rencana kegiatan yang akan dilaksanakan. Untuk mempertimbangkan dampak rencana kegiatan dalam lingkungan hidup diperlukan pengaturan mengenai prosedur administratif. Dalam Kaitan dengan prosedur administratif tersebut, prosedur AMDAL diintegrasikan kedalam prosedur administratif yang ada, yaitu prosedur perizinan yang berlaku bagi rencana kegiatan yang bersangkutan. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 5 PP No. 51 Tahun 1993 yang menyatakan : Keputusan tentang pemberian izin terhadap rencana kegiatan oleh instansi yang berwenang dibidang perizinan untuk jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 hanya dapat diberikan setelah adanya persetujuan atas rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan oleh instansi yang bertanggung jawab. b. AMDAL merupakan instrumen pengambilan keputusan dan merupakan bagian dari perencanaan Sebagai instrumen pengambilan keputusan, AMDAL dapat memperluas wawasan pengambilan keputusan sehingga dapat diambil keputusan yang paling optimal dari berbagai alternatif yang tersedia. Sebagai konsekwensi kewajiban setiap orang untuk memelihara lingkungan hidup, termasuk pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan perusakan lingkungan, maka menjadi kewajiban pemrakarsa untuk memikul biaya pencegahan dan penanggulangan dampak negatif yang ditimbulkan oleh pelaksanaan rencana kegiatannya. c. Kriterian dan prosedur untuk menentukan apakah suatu rencana kegiatan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup harus secara jelas dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Seorang pemrakarsa memerlukan kepastian bahwa untuk rencana kegiatan yang akan dilaksanakannya itu perlu atau tidak perlu dilengkapi dengan AMDAL. Kepastian ini diperlukan berkenaan dengan perbedaan prosedur yang harus ditempuh oleh pemrakarsa. Pengaturan dalam peraturan perundang-undangan mempunyai konsekwensi bahwa kriteria dan prosedur itu mengikat baik bagi pemrakarsa yang akan melaksanakan kegiatan maupun instansi yang bertanggung jawab dalam menilai dan mengambil keputusan atas AMDAL. Tidak di taatinya kriteria dan prosedur tersebut dapat menjadi dasar gugagatan terhadap keputusan pemberian ijin pelaksanaan rencana kegiatan oleh pihak yang dirugikan haknya. Sedangkan bagi pihak instansi yang berwenang tidak ditaatinya kriteria dan prosedur tersebut merupakan dasar bagi instansi yang berwenang untuk menolak permononan izin bagi izin pelaksanaan kegiatan. d. Prosedur AMDAL harus mencakup tata cara penilaian yang tidak memihak. Prinsip ini berarti :

Pertama: bahwa semua aspek lingkungan dan berbagai kepentingan yang terkait harus didudukan secara serasi dan dipertimbangkan secara imbang. Kedua: bahwa semua pihak yang berkepentingan dan terkait dengan pelaksanaan rencana kegiatan harus diberi hak dan kesempatan yang sama dalam proses penilaian substansi AMDAL. Ketiga : Pengambilan keputusan harus didasarkan pada cara yang menjamin objektifitas. e. AMDAL bersifat terbuka, kecuali yang menyangkut rahasia negara. Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban untuk memelihara lingkungan hidup, termasuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Hak dan kewajiban ini dapat terlaksana secara baik kalau subjek pendukung hak dan kewajiban berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Hal tersebut berarti pula, bahwa hak dan kewajiban itu mempunyai hak akses terhadap keadaan dan kondisi lingkungan hidup. f. Keputusan tentang AMDAL harus dilakukan secara tertulis dengan mengemukakan pertimbangan pengambilan keputusan. Keputusan tertulis memberikan jaminan kepastian mengenai substansi keputusan tersebut. Jaminan kepastian ini penting bagi : 1) Pemrakarsa : dengan keputusan tertulis dia mengetahui secara pasti tentang syarat dan kewajiban yang harus dia penuhi dalam rangka pelaksanaan rencana kegiatannya, dan apabila keputusan ini bersifat merugikan kepentingannya keputusan itu dapat dipakai sebagai dasar untuk mengajukan banding atau gugatan tata usaha negara. 2) Pejabat : yang mengeluarkan keputusan itu : keputusan itu menjadi pegangan untuk menilai apakah pemrakarsa menaati syarat dan kewajiban yang ditetapkan dalam keputusan, maka keputusan itu menjadi dasar untuk diambilnya tindakan hukum administratif terhadap pemrakarsa. 3) Penegak hukum : keputusan tertulis itu dapat menjadi sumber untuk mengetahui pelanggaran yang dilakukan si pemrakarsa, dan bahan dalam rangka penyidikan perkara pidana. 4) Warga masyarakat : keputusan itu dapat dipakai sebagai dasar gugatan apabila pelanggaran yang dilakukan pemrakarsa terhadap keputusan itu menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. g. Pelaksanaan rencana kegiatan yang AMDAL-nya telah disetujui harus dipantau. Pemantauan perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi akibat dilaksanakan rencana kegiatan. Hasil pemantauan perubahan lingkungan dan evaluasi hasilnya merupakan bahan masukan bagi penyusunan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, baik nasional maupun internasional. h. Penerapan AMDAL dilaksanakan dalam rangka kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang dirumuskan secara jelas. AMDAL merupakan suatu instrumen kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang tertuju ke arah tercapainya suatu tujuan, yaitu tetap terpeliharanya kemampuan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Karena itu, AMDAL harus selalu mengacu kepada kebijaksanaan nasional. i. Untuk menerapkan AMDAL sangat tergantung kepada aparat-aparat yang memadai. Keberhasilan penerapan AMDAL sangat bergantung kepada kemampuan aparat pelaksanaannya, baik aparat administrasi, pemerintah maupun penyusun AMDAL. (Suparni, 1994 : 107) 2. Tata Laksana Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Tata laksana AMDAL dalam garis besarnya adalah sebagai berikut : a. Pemrakarsa rencana kegiatan mengajukan penyajian informasi Lingkungan (PIL) kepada instansi yang bertanggung jawab. PIL tersebut dibuat berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh mentri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup. Instaansi yang bertanggung jawab adlah instansi yang berwenang memberi keputusan tentang rencana pelaksanaan kegiatan. b. Apabila lokasi sebagaimana tercantum dalam PIL dinilai tidak tepat, maka instansi yang bertanggung jawab menolak lokasi tersebut dan memberi petunjuk tentang kemungkinan lokasi lain dengan kewajiban bagi pemrakarsa untuk membuat PIL yang baru. Apabila suatu

lokasi dapat menimbulkan perbenturan kepentingan antar sektor maka instansi yang bertanggung jawab mengadakan konsultasi dengan menteri atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan. c. Apabila hasil penelitian PIL menentukan bahwa perlu dibuatkan ANDAL, berhubung dengan adanya dampak penting rencana kegiatan terhadap lingkungan, baik dilingkungan geofisik maupun lingkungan sosial budaya, maka pemrakarsa bersama-sama instansi yang bertanggung jawab membuat Kerangka Acuan (KA) bagi penyusunan ANDAL. d. Apabila ANDAL tidak perlu dibuat untuk suatu rencana kegiatan, berhubung tidak ada dampak penting, maka pemrakarsa diwajibkan untuk membuat Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) bagi kegiatan tersebut. e. Apabila dari semua sudaah diketahui bahwa akan ada dampak penting maka tidak perlu dibuat PIL terlebih dahulu akan tetapi dapat langsung menyusun (KA) bagi pembuat ANDAL. f. ANDAL merupakan komponen studi kelayakan rencana kegiatan sehingga dengan demikian terdapat tiga studi kelayakan dalam perencanaan pembangunan. g. Pedoman umum penyusunan ANDAL ditetapkan oleh Menteri dan pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi kegiatan yang bersangkutan berdasarkan penyusunan ANDAL yang dibuat oleh Menteri KLH. h. Apabila ANDAL menyimpulkan bahwa dampak negatif yang tidak dapat ditanggulangi ilmu dan teknologi lebih besar dibandingkan dengan dampak positifnya, maka instansi yang bertanggung jawab memutuskan untuk menolak rencana kegiatan yang bersangkutan. Terhadap penolakan ini, pemrakarsa dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang lebih tinggi dan instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 14 hari sejak diterimanya penolakan itu. i. Apabila ANDAL disetujui, maka pemrakarsa menyusun RKL dan RPL dengan menggunakan pedoman penyusunan RKL dan RPL yang du\ibuat oleh Menteri KLH atau Departemen yang bertanggung jawab. j. Keputusan persetujuan ANDAL dinyatakan kadaluarsa apabila rencana kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak ditetapkannyakeputusan tersebut. Pemrakarsa wajib mengajukan kembali permohonan persetujuan atas ANDAL. k. Keputusan persetujuan ANDAL dinyatakan gugur, apabila terjadi perubahan lingkungan yang sangat mendasar akibat peristiwa alam atau karena kegiatan lain, sebelum rencana kegiatan dilaksanakan. (Fandeli, 1995 : Pedoman dan Analisa Data dalam Penyusunan AMDAL Timbulnya perbedaan penafsiran dan tolak ukur penilaian atas kriteria atau baku lingkungan disebabkan perbedaan menjabarkan pedoman dan perbedaan metode yang digunakan untuk memperoleh data, mengidentifikasi dan menganalisa data. Padahal salah satu hal penting sdalam AMDAL adalah Consistency dan Simplicy, sehingga baik pedoman maupun metodologi penyusunan AMDAL oleh konsultan harus memperhatikan konsisten sehingga tidak menimbulkan penafsiran-penafsiran yang berubah-ubah atau berbeda-beda secara yuridis. Pedoman dan metodologi ini juga harus menyajikan prosedur penyusunan dan penilaian yang mudah dan sederhana dalam praktek. (Silalahi, 1995 : 31) Beberapa ketentuan hukum dalam proses AMDAL yang bertalian dengan pedoman ini , antara lain : 1. Masalah Penapisan (Screening) dalam Proses AMDAL Penapisan merupakan terjemahan dari sreening. Kata Screen berarti menapis atau menyaring. Screening atau penapisan merupakan kata benda yang berarti sesuatu hal dari hasil hasil kegiatan menapis. Dalam Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) penapisan adalah suatu proses untuk pengambilan keputusan. (Fandeli, 1995 : 68) Pada hakekatnya lingkup penapisan dapat bersifat nasional yang tercermin pada kebijaksanaan sektoral. Hal ini didasarkan pada Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986. Sementara itu lingkup penapisan dalam proses program dan proyek tercermin pada Pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986. Lingkup penapisan yang paling rendah adalah dalam menyusun AMDAL untuk menentukan aktivitas yang menimbulkan dampak komponen lingkungan yang terkena dampak dan teknologi untuk menanggulangi dampak, sehingga dengan demikian penapisan harus dilakukan terhadap kegiatan proyek dan

terhadap AMDAL-nya sendiri. (Fandeli, 1995 : 68) Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 tentang AMDAL, PIL adalah sebagai salah satu alat penapisan terutama untuk menilai tepat tidaknya lokasi rencana kegiatan (Pasl 9), perlu tidaknya membuat ADL (Pasal 11) dan dalam hal terdapatnya keraguan tentang ada tidaknya dampak penting. Jelaslah disini diperlukan panduan yang jelas untuk menyusun daftar parameter kunci untuk mengetahui matriks identifikasi dampak penting pada lingkungan. (Silalahi, 1995:32). Jadi penapisan itu bertujuan untuk memilih rencana-rencana pembangunan mana yang harus dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Langkah itu sangat penting bagi pemrakarsa untuk dapat mengetahui sendiri mungkin apakah proyeknya itu akan terkena AMDAL. Hal ini berkenaan dengan rencana anggaran biaya dan waktu. (Soemarwoto, 1997:76). Penapisan dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan pada tahapan awal digunakan untuk menentukan suatu proyek memerlukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau tidak; dan bagi proyek-proyek yang memerlukan AMDAL, apakah langsung menyusun ANDAL (dokumen 3) atau kita harus melewati PIL yang merupakan Penapisan Tingkat Pertama (PP No. 29 Tahun 1986 dan Kep. Men. KLH No. 50/1987). Namun menurut PP No. 51 Tahun 1993 dan Kep. Men. KLH No. 11 Tahun 1994 tidak ada penapisan dengan PIL. (Fandeli, 1995 : 68). 2. Pelingkupan Dalam Proses AMDAL Pelingkupan (scoping) atau pembatasan-pembatasan ruang lingkup pelaksanaan ANDAL. Pembatasan ruang lingkup tertentu atau memfokuskan ANDAL pada komponen-komponen lingkungan tertentu atau memfokuskan ANDAL pada komponen-komponen lingkungan tertentu sangat diperlukan. Maksudnya diperlukan agar ANDAL menghasilkan data dan informasi lingkungan yang relevan sesuai dengan rencana kegiatan / proyek-proyek yang bersangkutan. (Husein, 1992 : 48). Pelingkupan (scoping) memgang peranan yang sangat penting di dalam menentukan data yang harus dikumpulkan yang diperlukan untuk menyusun garis besar. Setiap kali data akan dikumpulkan haruslah ditanyakan perlukah data tersebut untuk mengambil keputusan?. Dengan demikian apabila Pelingkupan telah dijalankan dengan baik, penelitian menjadi terfokus, data yang dikumpulkan hanya terbatas pada yang diperlukan saja, dan biaya, tenaga dan waktu dapat digunakan secar efektif dan efisien. (Fandeli, 1995 : 107). Pelingkupan dalam studi ANDAL dilaksanakan mengingat maksud dan tujuan serta kegunaan hasil studi. Pembatasan ruang lingkup ANDAL tersebut perlu pula disesuaikan dengan pedoman yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam Lampiran II Keputusan MENKLH Nomor : KEP-50/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan, ditetapkan ruang lingkup studi ANDAL sebagai berikut : a. Batas Wilayah Studi Batas wlayah studi ditentukan dengan memperhatikan batas proyek, batas ekologis, batas administrasi, dan batas teknis. b. Komponen lingkungan yang telah ditelaah Komponen lingkungan yang harus dicakup dalam studi adalah komponen lingkungan biogesik, sosial ekonomi dan sosial budaya. c. Rencana Kegiatan yang harus ditelaah dampaknya Uraian rencana kegiatan dan komponen kegiatannya serta dampak yang ditimbulkan. Kegunaan Pelingkupan (Scoping) adalah untuk kepentingan : a. Identifikasi dampak penting atau masalah utam dari suatu proyek. b. Menetapkan komponen-komponen lingkungan yang akan terkena dampak nyata. c. Menetapkan strategi penelitian pada komponen lingkungan yang akan terkena dampak. d. Menetapkan parameter atau indikator dari komponen lingkungan yang akan diukur. e. Efisiensi waktu studi AMDAL. f. Efisiensi biaya studi AMDAL. g. Komponen-komponen yang ditetapkan sedikit-dikitnya atau sama sekali tidak terkena dampak lingkungan tidak akan dievaluasi lagi. Dengan pelingkupan (scoping) maka waktu, biaya dan tenaga untuk studi AMDAL dapat lebih

efisien, tanpa banyak terbuang untuk meneliti, menganalisa dan memprediksi dampak terhadap komponen lingkungan yang tidak terkena dampak. AMDAL Sebagai Prasyarat Dalam Sistem Perizinan Di Indonesia dinamakan sebagai Een Vergunningenland (Negara Perizinan), karena sedemikian banyaknya jenis perizinan di negara kita. Jenis perizinan yang erat hubungannya dengan pengelolaan lingkunggan hidup antara lain : - Izin usaha yang diatur dalam Ordonansi Gangguan (Hinder Ordonantie) Stbl. 1926 No. 226, - Izin Mendirikan Banggunan (IMB), - Izin yang berkaitan dengan Pengendalian Pencemaran Air (PP No. 29 Tahun 1990), - Izin yang berkaitan dengan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU No. 5 Tahun 1990), - Izin yang berkaitan dengan Perlindungan Hutan (PP No. 28 Tahun 1985), - Dan lain-lain (Lotulung, 1993 :86). Ditinjau dari segi perizinan AMDAL, maka AMDAL untuk kegiatan industri harus melihat beberapa aspek perizinan antara lain : 1. AMDAL Dalam Sistem Perizinan (Umum) Dalam Pasal 6 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dinyatakan sebagai berikut : Setiap orang yang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Jadi kewajiban tersebut dicantumkan dalam setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Dengan mengacu ketentuan perizinan yang diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup Tahun 1997 di atas, maka Oasal 5 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 ini menyatakan tentang keputusan pemberian izin terhadap rencana-rencana kegiatan oleh instansi yang berwenang di bidang-bidang perizinan untuk jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat diberikan setelah adanya keputusan persetujuan atas RKL dan RPL oleh instansi yang bertanggung jawab. Keputusan persetujuan atas RKL danRPL yang baru dapat diberikan apabila terjadi rencana kegiatan tersebut tidak memerlukan ANDAL, atau memerlukan AMDAL yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab. Jadi dengan demikian keputusan pemberian izin baru akan diberikan oleh instansi yang berwenang. Apabila rencana kegiatan tersebut dalam tahap perencanaan dan operasionalnya tidak mencemari atau merusak lingkungan hidup . (Husein, 1992 : 206) 2. AMDAL Dalam Sistem Perizinan (Sektoral) Apabila AMDAL telah dipahami sebagai salah satu syarat perizinan dalam setiap rencana kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting pada lingkungan, maka keterkaitannya dengan proses perizinan sektoral, sesuai dengan ketentuan peralihan dalam Pasal 49 Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup Tahun 1997, AMDAL harus diartikan sebagai salah satu persyaratan tambahan untuk memperoleh izin, sesuai dengan Pasal 11 (Ayat 1) Hinder Ordonantie (HO) yang menyatakan bahwa : Pejabat yang memberikan izin itu dapat mengenakan syarat baru kepada pemegang izin itu, jika menurut pendapatnya memang memerlukan Sesuai dengan Pasal 6 dan Pasal 15 Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup itu bukan saja syarat baru menurut pajabat yang hidup bukan saja syarat baru menurut pajabat yang menberi izin, tetapi sudah merupakan sistem perizinan dalam sistem hukum lingkungan Indonesia berdasarkan Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup Tahun 1997. Dengan ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 51 Thun 1993 tentang AMDAL atau Peraturan Pemerintah tentang AMDAL, sebagai pelaksana Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup Tahun 1997 yang mengakui berlakunya ketentuan sektoral yang berhubungan dengan lingkungan, apabila tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, Pasal 5 AMDAL Tahun 1986 yang mengatur mengenai syarat-syarat perizinan terkait pula dengan sistem HO. Karena itu, keharusan mempertimbangkan gangguan dalam arti HO harus ditafsirkan sebagai meliputi pula Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang harus dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan, sebagai syarat baru menurut Pasal 11 (Ayat 1) di atas. Terhadap kegiatan yang sudah ada, sesuai dengan ketentuan peralihan Pasal 38 dan 39 AMDAL diwajibkan

membuat studi mengenai evaluasi dempak lingkungan atau SEMDAL. Yang menarik dari ketentuan hukum berdasarkan Hinder Ordonantie (HO) sebagaimana diuraikan di atas, meskopun ketentuan hukum ini dibuat sebelum ilmu dan teknologi berkembang seperti sekarang adalah tersedianya peluang yang luas untuk mengembangkan syarat-syarat perizinan, seperti diatur dalam Pasal 7 HO yang berbunyi : Apabila dengan persyaratan-persyaratan dapat diusahakan hilangnya keberatan-keberatan dengan bahaya kerugian atau gangguan, maka izin itu diberikan dengan bersyarat. Hal ini memperlihatkan terbukanya peluang untuk memberikan persyaratan baru atas dasar pertimbanagn atau keberatan tentang kemungkinan terjadinya bahaya, kerugian atau gangguan. Untuk menghindarinya terjadinya bahaya, kerugian atau gangguan, maka pembuat Undangundang akan memperlihatkan pula tersedianyan ancaman pidana terhadap setiap orang yang melakukan kegiatan yang berlawanan dengan syarat perizinan (aspek preventif). Hal ini diatur dalam Pasal 15 Ho, yang menyatakan bahwa : Pemilik, pemegang Bezit, pemakai atau pengurus tempat kerja sebagai tersebut dalam pasal 1 dihukum : a. Dengan hukuman selam-lamanya dua bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus gulden, jika ia mendirikan atau menjalankan tanpa izin yang dikehendaki atau jika ia berlaku berlawanan dengan alasan untuk kepentingan ketertiban, keselamatan atau kesehatan umum (Pasal 2 dan 3). b. Dengan hukuman kurungan selam-lamanya dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya dua ratus lima puluh gulden, jika ia berbuat berlawanan dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Untuk melaksanakan tindaka tersebut di atas, pejabat yang berwenang dapat mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan, termasuk wewenang memasuki tempat-tempat kerja walupun tanpa izin yang mendiami atau mempergunakan tempat kerja tersebut .. (Pasal 16 HO) dan mencabut izin (Pasal 18). Hal ini diperkuat pula oleh ketentuan hukum dalam Pasal 33 PP No. 20 Tahun 1990. Dengan adanya ketentuan ini, tindakan hukum yang dapat dikenakan pada setiap orang yang tidak melaksanakan AMDAL yang diatur oleh hukum administrasi, disamping memberikan wewenang untuk mencabut izin, menutup dan menyegel mesin-mesin atau tindakan lain untuk mencegah terjadinya akibat selanjutnya, terhadap perbuatan ini dapat juga dikenakan denda dan pidana kurungan, meskipun belum terbukti adanya pencemaran dalam arti hukum. Dengan disahkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian, selanjutnya disebut Undang-undang Pokok Tahun 1984, yang menetapkan keterkaitan undang-undang ini dengan Undang-undang Lingkungan Hidup Tahun 1997 syarat-syarat perizinan sebagaimana diatur dalam Pasal 13, 14 dan 15 berlaku pula bagi proses perizinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 AMDAAL Tahun 1993. Setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 1 dan Pasal 14 ayat 1 Undang-undang Pokok Tahun 1984, dipidana selama-lamanya 5 tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh juta rupiah dengan hukuman tambahan pencabutan izin usaha . (Silalahi, 1995 :36) Kriteria Kegiatan yang Diwajibkan Membuat AMDAL Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993, yang dimaksud dangan AMDAAL adalah merupakan hasil studi mengenai dampak penting suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Hasil studi ini terdiri dari beberapa dokumen. Atas dasar dokumen ini kebijaksanaan dipertimbangkan dan diambil. Didalam menghasilkan dokumen, perlu dibuat tata laksana. Tata laksana ini merupakan suatu prosedur. Panjang dan pendeknya prosedur tergantung dari proyek pembangunan yang dilaksanakan (Fandeli, 1995 : 34). Semenjak berlakunya PP No. 51 Tahun 1993, maka KEP/14?MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sebagai peraturan yang menyusun AMDAL. Dengan dikeluarkannya KEP-14/MENLH/3/1994, maka kriteria yang diwajibkan dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) itu harus memperhatikan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan

(RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). (Silalahi, 1995 : 140) Untuk mengetahui secara luas tentang kriteria kegiatan tersebut, maka keempat kegiatan tersebut haruslah diuraikan terlebih dahulu. I. KERANGKA ACUAN a. Pengertian Kerangka Acuan adalah ruang lingkup studi Analisis Dampak Lingkungan yang merupakan hasil pelingkupan (PP No.51/1993) b. Tujuan Penyusunan KA-ANDAL adalah untuk : 1. Merumuskan lingkup dan ruang studi ANDAL 2. Mengarahkan studi ANDAL agar berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan biaya, tenaga dan waktu yang tersedia (Soemaetono, 1996 : 164) c. Fungsi Dokumen KA-ANDAL : 1. Sebagai rujukan bagi pemrakarsa, instansi yang bertanggung jawab yang membidangi rencana usaha atau kegiatan, dan penyusunan studi ANDAL tentang lingkup dan kedalaman studi ANDAL yang akan dilakukan. 2. Sebagai salah satu bahan rujukan bagi penilaian dokumen ANDAL untuk mengevaluasi hasil studi ANDAL d. Manfaat Kerangka Acuan : 1. Kerangka Acuan menggambarkan ruang lingkup sesuatu pekerjaan yang disepakatinya bersama oleh pihak yang berkepentingan. Dengan disepakatinya ruang lingkup pekerjaan tersebut maka semua pihak yang akan berpegang pada KA tersebut, baik dalam proses pelaksanaan pekerjaan maupun dalam evaluasinya, yang dimaksud semua pihak dalam hal ini adalah pihak pemrakarsa, konsultan penyusun, komisi AMDAL, tim teknis dan instansi teknis yang bertanggung jawab. 2. Bahwa KA harus disusun dan disepakati bersama oleh semua pihak yang berkepentingan, yaitu : pemrakarsa. Instansi yang bertanggung jawab/komisi maupun calon penyusun ANDAL yang dimaksud untuk mmmempercepat proses penyelesaiannya. 3. Dasar pertimbangan perlunya KA-ANDAAL disusun adalah : a) Keanekaaragaman ANDAL bertujuan untuk menduga kemungkinan seperti tercantum di bawah ini. Terjadinya dampak dari sesuatu rencana kegiatan terhadap lingkungan, baik pada tahap pra konstruksi, maupun pasca konstruksi keanekaragaman faktor lingkungan , faktor manusia dam lain sebagainya. Kemungkinan timbulnyadampak lingkungan akan berbeda-beda pula. Dengan demikian, KA diberikan untuk memberikan arahan tntang komponen kegiatan manakah yang harus ditelaah, dan dokumen lingkungan manakah yang perlu diamati selama penyusunan ANDAAL. b) Keterbatasan Sumberdaya Pelaksanaan ANDAL seringkali dihadapkan pada keterbatasan sumber daya seperti waktu, dana, tenaga dan lain-lain sebagainya. KA memberikan keterbatasan tentang bagaimana menyesuaikan tujuan dan hasil yang ingin dicapai dalam keterbatasan sumberdaya tersebut tanpa mengurangi mutu ANDAL. Dalam KA ditonjolkan upaya untuk menuyusun prioritas yang harus diutamakan agar tujuan ANDAL dapat terpenuhi meskipun sumberdaya terbatas. c) Efisien Pengumpulan data dan informasi untuk kepentingan Andal perlu dibatasi pada faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan kebutuhan. Dengan cara ini maka ANDAL dapat dilaksanakan dengan efisien. e. Hubungan Penyusunan KA dengan Pemakai ANDAL Dalam penyusunan KA perlu dipahami bahwa pemakai hasil ANDAL adalah para pengambil keputusan, perencanaan dan pengelolaan rencana kegiatan bersangkutan. Dengan demikian maka studi ini harus lebih ditekankan pada pendugaan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut terhadap lingkungan dan usaha penanganannya ditinjau dari segi teknologi, ekonomi dan lingkungan secara komprehensif. (Fandeli, 1995 : 42). II. ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN (ANDAL) Pengertian Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) adalah telaah secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana atau kegiatan (Pasal 1 PP No. 51 Tahun 1993).

Pedoman umum penyusunan dokumen ANDAL berfungsi sebagai acuan bagi penyususnan Pedoman Teknis Penyusunan ANDAL, atau sebagai dasar penyususnan ANDAL bilamana Pedoman Teknis Penyusunan ANDAL usaha atau kegiatan yang bersangkutan belum tentu diterapkan. (Semartono, 1996 : 173). Penyusunan Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) perlu disusun sedemikian rupa sehingga dapat : 1. Langsung mengemukakan masukan penting yang bermanfat bagi pengambilan keputusan, perencanaan dan pengelolaan rencana usaha atau kegiatan; 2. Mudah dipahami isinya oleh semua pihak, termasuk masyarakat, dan mudah disarikan isinya bagi pemuatan dalam media masa, bila dipandang bperlu. 3. Memuat uraian singkat tentang : a. Rencana kegiatan atau usaha dengan berbagai kemungkinan dampak pentingnya. Baik pada tahap pra konstruksi, kontruksi maupun pasca kontruksi. b. Keterangan mengenai kemungkinan adanya kesenjangan data informasi serta berbagai kekurangan dan keterbatasan, yang dihadapi selama menyusun ANDAL. c. Hal lain yang dipandang sangat perlu untuk melengkapi ringkasan Fungsi dan pedoman umum penyusunan Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), antara lain : 1. Pedoman Umum Penyusunan ANDAL digunakan sebagai salah satu acuan bagi penyusunann Pedoman Teknis Penyusunan ANDAL atau sebagai dasar penyusunan ANDAL bilamana Pedoman Teknis Penyusunan ANDAL usaha-usaha atau kegiatan yang bersangkutan belum ditetapkan. 2. Pdoman Umum Penyusunan ANDAL berlaku pula bagi keperluan penyusunan AMDAL Kegiatan Terpadu/Multisektor,AMDAL Kawasan dan AMDAL Regional. (Silalahi, 1995 : 157). Dalam Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) ada 5 (lima) tahapan kegiatan utama yang akan dilaksanakan sebagai berikut : A. Pengumpulan Data dan Informasi tentang : a. Komponen rencana kegiatan b. Komponene rona lingkunagan awal Ad.a. Komponen rencana kegiatan Data yang dikumpulkan adalah data tentang berbagai aktivitas rencana kegiatan baik pada pra kontruksi, kontruksi maupun pasca kontruksi. Pemilihan data yang dikumpulkan tersebut harus mengutamakan data yang berkaitan langsung dengan berbagai dampak yang mungkin akan timbul apabila rencana kegiatan tersebut akan dilaksanakan nantinya. Ad.b. Komponen rona lingkungan awal Data yang dikumpulkan terutama komponen lingkungan (biogeofisik, sosial ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat), yang akan mengalami dampak akibat rencana kegiatan maupun yang dapat mempengaruhi terhadap rencana kegiatan tersebut. B. Proyeksi Perubahan Rona Lingkungan Awal Rona lingkungan awal merupakan kondisi lingkungan sesuai hasil analisis data lingkungan yang dikumpulkan sebelum ada kegiatan. Rona lingkungan awal ini akan mengalami perubahan akibat adanya rencana kegiatan apabila telah dilaksanakan nantinya. Besarnya perubahan lingkungan ini perlu diketahui menurut ruang dan waktu bagi kepentingan evaluasi maupun penanganan. C. Evaluasi Dampak Pnring Pada tahap evaluasi dampak penting ini, uraian yang disajikan meliputi hal-hal berikut ini : a. Evaluasi dampak penting yang bersifat holistik terhadap seluruh dampak yang diperkirakan. Misal, dampak positif maupun dampak negatif dianalisis sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan pengaruh mempengaruhi sehingga akan diketahui pertimbangannya. b. Hubungan sebab akibat antara rencana kegiatan dengan rona lingkungan. Setiap rencana kegiatan apabila telah dilaksanakan akan menimbulkan dampak yang berbeda pada rona lingkungan yang berbeda. c. Ciri dampak penting Pada bagian ini yang perlu dikemukakan adalah sifat-sifat sesuatu dampak. d. Luas penyebaran dampak penting

Sesuatu dampak mungkin akan mengenai sesuatu daerah yang sempit atau mungkin akan sangat luas. e. Cara pendektan dalam penanganan dampak Hal ini memuat cara penanganan dampak yang mungkin akan terjadi, baik dari segi ekonomi, teknologi maupun instansi. Dari segi ekonomi misalnya dengan bantuan, untuk menangguangi masalah lingkungan. Dari segi teknologi adalah dengan cara membatasi, mengisolasi atau menetralisasi terhadap bahan berbahaya dan bahan beracun. Dari segi instansi misalnya dengan mmmemperluas sistem pengelolaan agar hal yang menyangkutan penanggulangan masalah lingkungan dengan jalan merangsang kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan pengawasan dan lain sebagainya. D. Alternatif Pengelolaan dan Pemantauan lingkungan Uraian ini akan memuat hal-hal sebagai berikut : a. Komponen lingkungan terkena dampak, sumber dampak, tolak ukur dan bobot dampak untuk kepentingan pengelolaan maupun pemantauan lingkungan. b. Metode pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang mencakup faktor biogeofisik-kimia, sosial ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat. c. Saat pengelolaan dan pemantauan lingkungan akan dilaksanakan frekwensi kekerapannya menurut ruang dan waktu. d. Pelaksanaan yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan. (Fandeli, 1995 : 47). III. Rencana Pengelolaan Lingkungan Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) merupakan dokumen yang memuat upayaupaya mencegah, mengendalikan dan menanggulangi dampak penting lingkungan yang bersifat negatif dan meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai akibat dari suatu rencana usaha atau kegiatan. Dalam pengertian tersebut upaya pengelolaan lingkungan mencakup empat kelompok aktivitas antara lain : a. Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk menghindari atau mencegah dampak negatif lingkungan melalui pemilihan atas alternatif, tata letak lokasi dan rencana bangun proyek. b. Pengelolan lingkungan yang bertujuan untuk menanggulangi, meminimalisasi atau mengendalikan dampak negatif baik yang timbul di saat usaha atau kegiatan beroperasi, maupun hingga saat usaha atau kegiatan terakhir. c. Pengelolaan lingkungan yang bersifat meningkatkan dampak posityif sehingga dampak tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar baik kepada pemrakarsa maupun pihak lain terutama masyarakat yang turut menikmati dampak positif tersebut. d. Pengelolaan memberikan pertimbangan ekonomi lingkungan sebagai dasar untuk memberikan kompensasi atas sumber daya tidak dapat pulih, hilang atau rusak sebagai akibat usaha atau kegiatan. (Silalahi, 1995 : 173). Mengingat dokumen AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan, maka dokumen RKL hanya akan bersifat memberikan pokok-pokok arahan, prinsip-prinsip atau persyaratan untuk mencegah/mengendalikan dampak. Namun demikianlah apabila dipandang perlu dapat dilengakapi dengan acuan literatur tentang rancangan bangunan untuk mencegah/penanggulangan dampak. (Soemartono, 1996 : 175). Setelah dikeluarkannya PP No. 51 Tahun 1993 dokumen AMDAL bersamaan dengan dokumen ANDAL. Didalam dokumen ANDAL memang tercantum pula adanya materi RKL, namun bersifat arahan dan garis besar. Untuk membuat RKL dapat dilaksanakan dengan pengumpulan data di lapangan RKL didasarkan pada adanya dampak penting yang timbul. RKL yang akan dilaksanakan disusun dengan pendekatan teknologi, ekonomi dan institusional. Sesuai dengan prosedur penyusunan dokumen ANDAL, RKL yang bersamaan sesuai PP No. 51 Tahun 1993 dan Kep. Men LH No. 14/3/1994 maka penyusunan RKL tidak perlu melakukan studi ke lapangan. (Fandeli, 1995 : 49) RKL berfungsi sebagai pedoman dalam menanggulangi dampak. Dengan demikian RKL dapat mengikat semua pihak untuk ikut membantu menanggulangi kemungkinan terjadinya dampak negatif dalam pembangunan. Dalam RKL dapat dikemukakan instansi yang bertindak sebagai

koordinator, dan instansi lainnya yang bertindak sebagai pengawas dan pelaksana. (Fandeli, 1995 : 49) IV. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Yang dimaksud dengan pemantauan adalah pengukuran berdasarkan waktu atau suatu pengukuran yang berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu. Sehingga pengertian dari pemantauan lingkungan adalah pengulangan pengukuran pada komponen-komponen atau parameter lingkungan pada waktu-waktu tertentu. Pemantauan dampak lingkungan dapat pula diartikan sebagai berikut : pemantauan dampak lingkungan adalah pengulangan pengukuran pada komponen atau parameter lingkungan untuk mengetahui adanya perubahan lingkungan karena adanya pengaruh dari luar yaitu aktivitas proyek. (Husein, 1992 : 121). Pemantauan lingkungan dapat digunakan untuk memahami fenomena-fenomena yang terjadi pada tingkatan, mulai dari tingkat proyek sampai ke tingkat kawasan atau bahkan regional; tergantung pada skala keacuhan pada masalah yang dihadapi. Disamping skala keacuhan, ada 2 kata kunci yang membedakan pemantauan merupakan suatu kegiatan yang berorientasi pada data sistematik, berulang dan terencana. (Soemartono, 1996 : 178) Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan dokumen rencana pemantauan lingkungan, antara lain adalah : a. Komponen/parameter lingkungan yang dipantau hanyalah yang mengalami perubahan mendasar, atau terkena dampak penting. Dengan demikian tidak seluruh komponen lingkungan yang harus dipantau; hal-hal yang dipandang tidak penting atau tidak relevan tidak perlu dipandang. b. Uraian tentang keterkaitan yang akan dijalin antara dokumen ANDAL, RKL dan RPL. Aspekaspek yang dipantau perlu memperhatikan benar dampak penting yang dinyatakan dalam ANDAL, dan sifat pengelolaan dampal lingkungan yang dirumuskan dalam dokumen RKL. c. Pemantauan dapat dilakukan pada sumber penyebab dampak dan atau terhadap komponen lingkungan yang terkena dampak. d. Pemantauan lingkungan harus layak secara ekonomi walau aspek-aspek yang akan dipantau telah dibatasi pada hal-hal yang penting saja, namun biaya yang dikeluarkan untuk pemantauan perlu diperhatikan mengingat kegiatan pemantauan senantiasa berlangsung sepnjang usia, usaha atau kegiatan. e. Rencana pengumpulan dan analisis data serta aspek-aspek yang akan dipantau, mencakup hal : 1. Jenis data yang dikumpulkan 2. Lokasi pemantauan 3. Frekwensi dan jangka waktu pemantauan 4. Metode pengumpulan data f. Dokumen RPL perlu memuat kelembagaan pemantauan lingkungan, yang dimaksud disini adalah instansi yang bertanggung jawab sebagai penyandang dana pemantauan, pelaksanaan pemantauan, penggunaan hasil pemantauan dan pengawasan kegiatan pemantauan. (Silalahi, 1995 : 185) Akibat Hukum Jika Suatu Perusahaan Tidak Melaksanakan Amdal Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Lingkungan Hidup yang menegaskan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sisi lain dari hak ini adalah kewajiban setiap orang untuk memelihara lingkunga hidup dan mencegah serta menaggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Kewajiban setiap orang tersebut adalah tidak terlepas dari kedudukannya sebagai anggota masyarakat yang mencerminkan harkat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. (Suparni, 1994 : 166). Jadi penegakan didalam hukum lingkungan itu harus diatur segala bentuk pelanggaran maupun kejahatan bagi pelaku baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum dengan upaya pencegahan (preventif) maupun penindakan (represif). Untuk tindakan represif ini ada beberapa jenis instrumen yang dapat diterapkan dan penerapannya tergantung dari

keperluannya, sebagai pertimbangan lain melihat dampak yang ditimbulkan, yaitu : Administratif, Perdata dan Pidana. (Subagyo, 1992 : 81). Aspek Perdata Dalam Penegakan Hukum Perdata Penggunaan instrumen hukum perdata dalam menyelasaikan sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup, pada hakekatnya memperluas upaya penegakan hukum dari berbagai peraturan perundang-undangan, sebab : Pertama : Dengan melalui hukum perdata dapat dipaksakan ketaatan pada norma-norma hukum lingkungan baik yang bersifat hukum privat maupun hukum publik, misalnya : wewenang hukum perdata untuk menjatuhkan putusan yang berisi perintah atau larangan (Verbod of Gebod) terhadap seorang yang telah bertindak secara bertentangan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam suatu Verguning (surat izin) yang berkaitan dengan masalah lingkunga hidup. Kedua : Hukum perdata dapat memberikan penentuan norma-norma (Nomstelling) dalam masalah lingkungan hidup, misalnya : melalui putusan hakim perdata dapat dirumuskan norma-norma tentang tindakan yang cermat yang seharusnyadiharapkan dari seseorang dalam hubungan masyarakat. Ketiga : Hukum perdata memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atas pencemaran lingkungan terhadap pihak yang menyebabkan timbulnya pencemaran tersebut, yang biasanya dilakukan melalui gugatan perbuatan melawan hukum. Mengenai aspek keperdataan perlu dibedakan antara penerapan hukum perdata oleh instansi yang berwenang melaksanakan kebijaksanaan lingkungan dan penerapan hukum perdata untuk melaksanakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan. (Suparni, 1994 : 173). Dengan demikian tujuan pembangunan penegakan hukum lingkungan melalui penerapan kaedah-kaedah hukum perdata adalah terutama untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap alam lingkungan maupun si korban yang menderita kerugian sebagai akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. (Lotulung, 1993 : 2). Ganti kerugian dan pemulihan ini diatur dalam Pasal 20 UU Lingkungan Hidup Yang berbunyi sebagai berikut : (1) Barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memikiul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar hanya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (2) Tata cara pengaduan oleh penderita, tata cara penelitian oleh tim tentang bentuk, jenis dan besarnya kerugian serta tata cara penuntutan ganti kerugian diatur dengan peraturan perundang-undangan. (3) Barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memikul tanggung jawab membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada negara. (4) Tata cara penetapan dan pembayaran biaya pemulihan lingkungan hidup diatur dengan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 20 ini menyatakan bahwa : Ayat (1) : Kerugian merupakan konsekwensi setiap orang untuk melestarikan kemampuan lingkungan guna menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Ayat (2) : Bentuk dan jenis kerugian akibat perusakan dan pencemaran akan menentukan besarnya kerugian. Penelitian tentang bentuk, jenis dan besarnya kerugian dilakukan oleh tim yang dibentuk pemerintah. Penelitian meliputi bidang ekologi, medis, sosial budaya dan lain-lain yang diperlukan. Tim yang terdiri dari pihak penderita atau kuasanya, dan unsur pemerintah dibentuk untuk tiap-tiap kasus. Bilamana tidak tercapai kata sepakat dalam batas waktu tertentu, maka penyelesaiannya diatur melalui Pengadilan Negeri. Ayat (3) : Disamping kewajiban membayar gani kerugian sebagaimana tersebut dalam penjelasan ayat (2), perusak dan atau pencemar lingkungan hidup berkewajiban juga membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada negara untuk keperluan pemulihan. Tim yang dimaksud dalam penjelasan ayat (2) dapat pula diserahi tugas untuk menetapkan besarnya biaya

pemulihan lingkungan hidup. Ayat (4) : Cukup jelas Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 20 UU Lingkungan hidup ini menunjukkan dua hal, yaitu ganti kerugian kepada penderita dan biaya pemulihan lingkungan yang telah rusak/tercemar yang perlu dibayar kepada negara. 1. Ganti Kerugian Kepada Penderita Pasal 20 ayat (1) menganut prinsip pencemaran membayar (Polluter Pays Principle). Prinsip tersebut merupakan azas yang dianut dan diterapkan secara konsekwen sebagai salah satu kebijakan lingkungan dan jalan keluar bagi kasus pencemaran. Pasal 20 ayat (2) menentukan tentang berbagai cara yang perlu diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pertama-tama adalah mengenai tata cara pengaduan oleh penderita. Hal ini penting sekali diatur, karena dalam banyak hal penderita ini adalah rakyat biasa yang kurang mengetahui bagaimana mempergunakan haknya untuk meminta ganti rugi karena penderitaan yang mereka alami sebagai akibat perusakan dan atau pencemaran. ( Harjosomantri, 1993 : 352). 2. Biaya Pemulihan Lingkungan Pembayaran ganti kerugian kepada penderita tidak membebaskan si perusak dan atau pencemar dari kewajibannya untuk membayar biaya pemulihan lingkungan yang telah rusak dan atau telah tercemar oleh perbuatan itu. Kewajiban inidiatur dalam Pasal 20 ayat (3) UU Lingkungan Hidup. Biaya ini dibayar kepada negara karena negaralah yang mempunyai kemampuan dengan fasilitas yang ada padany untuk melakukan upaya pemulihan lingkungan yang telah rusak dan atau tercemar itu. (Suparni, 1994 : 176). Didalam Pasal 20 ayat (4) yang telah menyatakan tentang perlunya diatur dengan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penetapan dan pembayaran biaya pemulihan tersebut. Dalam hubungan ini, hasil penelitian oleh tim sebagaimana disebut dalam Pasal 20 ayat (2), dapat dimanfaatkan untuk keperluan penetapan biaya pemulihan. (Hardjosoemantri, 1993 : 353). 3. Azas Tanggung Jawab Mutlak Dalam hubungan dengan penyelesaian ganti kerugian ketentuan yang dipakai adalah sebagaimana tertera dalam Pasal 1243 dan Pasal 1365 KUH Perdata : Pasal 1234 KUH Perdata : Penggantian biaya kerugian dan bunga karena tak terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang,setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika suatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tengang waktu yang telah dilampauinya Pasal 1365 KUH Perdata : Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena selahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut Prinsip yang digunakan kedua pasal tersebut adalah Liability Based on Fault dengan nbeban pembuktian yang memberatkan penderita. Ia baru akan memperoleh ganti kerugian apabila ia berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tergugat. Kesalahan disini merupakanunsur yang menentukan pertanggung jawaban, yang berati bila tidak adanya bukti kesalahan, tidak ada kewajiban memberi ganti kerugian. Dalam hal menurut ganti kerugian berhubung dengan penderitaan akibat kerusakan dan atau pencemaran, pasal yang dapat digunakan adalah pasal 1365 KUH Perdata. (Suparni, 1994 : 177). Dalam kaitan dengan pembuktian perlu dikemukakan Pasal 1865 KUH Perdata yang menyatakan : Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas nama,ia mendasarkan sesuatu hak, kewajiban membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain diwajibkanjuga membuktikan peristiwaperistiwa itu.

Rudiger Lummert Mengemukakan, bahwa dengan berkembangnya industrialisasi yang menghasilkan resiko yang bertambah besar serta makin rumitnya hubungan sebab-akibat, maka teori hukum telah menghasilkan konsep Resiko dan meninggalkan konsep Kesalahan. Konsep tanggung jawab mutlak diartikan terutama sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama tanggung jawab mutlak adalah tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya kesalahan. Berdasarkan prinsip pencemar membayar dan azas tanggung jawab mutlak ini, dikembangkanlah di dalam ilmu hukum prosedur tentang pembuktian yang oleh Krier disebut Shifting(or Alleviating) of Burden of Proofs. Dengan adanya pembalikan beban pembuktian tidak merupakan halangan bagi penderita atau pencipta Lingkungan baik dan sehat untuk berperkara di depan pengadilan sebagai penggugat, karena adalah tanggung jawab dari tergugat untuk membuktikan bahwa kegiatan-kegiatannya yang mengandung resiko tudak mempunyai akibat-akibat yang berbahaya atau menimbulkan gangguan (pencemaran atau perusakan). Dengan demikian, maka dalam perkara lingkungan seseorang bertanggung jawab atas akibat kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ia membuktikan bahwa ia tidak dapat dipersalahkan. Azas tanggung jawab mutlak telah dimasukkan dalam UU Lingkungan hidup,yaitu dalam Pasal 21 yang berbunyi : Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam peraturan perundangundangan yang bersangkutan. Penjelasannya adalah sebagai berikut : Azas tanggung jawab mutlak dikenakan secara selektif atas kasus yang akan ditetapkan berdasrkan peraturan perundang-undangan yang dapat menentukan jenis dan kategori kegiatan yang akan terkena oleh ketentuan-ketentuan termaksud. (Hardjosoemantri, 1993 : 358). Aspek Administrasi Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Pemrakarsa yang tidak melakukan AMDAL dapat dikenakan ketentuan hukum yang dalam sistem perizinan, misalnya Pasal 11 ayat (1) HO (Hinder Ordonantie) tentang keharusan memenuhi syarat-syarat baru dalam sistem perizinan dikembangkan dengan memperhatikan Pasal5 AMDAL 93, Pasal 12 ayat (1) Ho tentang wewenang membuat izin oleh instansi yang berwenang dikaitkan dalam Pasal 33 Bab Pengawasan dan Pemantauan, Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, dan Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 26, sebagai akibat tidak dilaksanakannya Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1985 tentang Perindustrian. Tanggung jawab konsultan AMDAL sebagai akibat tidak dipenuhinya persyaratan kualifikasi penyusunan AMDAAL dapat ditelusuri berdasarkan Pasal 30 PP AMDAL-86 (dijadikan bagian dari Pasal 20 AMDAL-93) dan ketentuan undang-undang lain yang relevan dengan tugas konsulat. Pejabat yang mengambil keputusan atau pejabat lain yang melakukan tugas pengawasan atas pelaksanaan AMDAL dapat diancam dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). (Silalahi, 1995 : 50). Aspek/saran administratif dapat bersifat preventif dan bertujuan menegakkan peraturan perundang-undangan. Upaya penegakan hukum dapat ditetapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan perizinan, baku mutu lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL), dan sebagainya. Sarana administratif dapat ditegakkan dengan kemudahan-kemudahan terutama di bidang keuangan, seperti keringanan bea masuk alat-alat pencegahan pencemaran dan kredit bank untuk biaya pengelolaan lingkungan dan sebagainya. (Suparni, 1994 : 166). Jadi penegakan hukim preventif berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan atas peraturan tanpa kejadian-kejadian langsung yang menyangkut kejadian konkrit yang menimbulkan dugaan keras bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Upaya ini dapat dilakukan dengan penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat

pengawasan. (Silalahi, 1995 : 51). Aspek/sarana administratif dapat bersifat represif oleh pengusaha terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan lingkungan administratif pada dasarnya bertujuan untuk mengakhiri secara langsung keadaan terlarang itu. Sanksi administratif terutama mempunyai fungsi instrumental (Een Instrumentele Functie), yaitu penanggulangan dan pengendalian perbuatan terlarang. Disamping itu sanksi administrasi terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut. Beberapa jenis sarana penegakan huum administrasi adalah sebagai berikut : 1. Penyerasian peraturan (Harmonisering) 2. Tindakan paksa (Bestuursdwang) 3. Uang paksa (Publiekrechtelijk Dwangsom) 4. Penutupan tempat usaha (Sluiting Van Een Inrichting) 5. Penghentian kegiatan mesin perusahaan (Buitengebruiksteling Van Een Toestel) 6. Pencabutan izin melalui proses : teguran, paksaan, kepolisian, penutupan dan uang paksa Kewajiban setiap orang seperti tersebut dalam Pasal 5 UU Lingkungan Hidup secara lebih khusus diatur dalam ketentuan Pasal 7 UU Lingkungan Hidup, menurut ketentuan ini setiap orang yang menjalankansuatu bidang usaha wajib memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Kewajiban tersebut harus dicantumkan pada setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab. Denga adanya kewajiban tersebut yang dijadikan salah satu syarat dalam pemberian izin, maka penyelanggaran bidang usaha senantiasa terikat guna melakukan tindakan pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Pelanggaran kewajiban yang tercantum dalam izin berakibat dikenakannya sanksi administrastif, dapt berupa peringatan kepada pemegang izin, penghentian sementara kegiatan atau pencabutan izin. (Suparni, 1994 : 167). Jadi dalam rangka penjatuhan sanksi administratif terhadap pencemaran lingkungan masih terdapat perbedaan pendapat, yang disebabkan oleh alasan-alasan non yuridis antara lain terhadap akibat penutupan perusahaan yang dikaitkan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibatnya terjadi pengangguran. Kendala-kendala/hambatan inilah yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum lingkungan dari aspek hukum administratif. Peraturan perundang-undangan lingkungan yang mengadung prosedur administratif dalam proses pengambilan keputusan administratif negara adalah : a) Ordonantie Gangguan (HO) Stbll. 1926 No. 226, Pasal 5 ayat (3) Menyantumkan bahwa setiap orang berhak dalam waktu satu sebulan menyerahkan atau menyatakan keberatannya terhadap pemberian izin tempat usaha. Namun dalam praktek peran serta yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) HO ini tidak pernah dimanfaatkan oleh yang berkepentingan. b) Peraturan Pemerintah N0. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL Pasal 22 ayat (1) PP AMDAL mengatur tentang kewajiban membuat AMDAL setiap rencana kegiatan oleh instansi yang bertanggung jawab. Sedangkan dalam ayat (2) ditetapkan bahwa dokumen AMDAL bersifat terbuka untuk umum, selanjutnya ayat (3) mencantumkan bahwa Sifat Keterbukaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilaksanakan dalam bentuk peran serta masyarakat mengemukakan saran dan pemikirannya secara lisan dan/atau tertulis kepada komisi. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 22 ayat (1) dinyatakan bahwa pengumuman rencana kegiatan dapat dilakukan melalui media masa dan/atau papan pengumuman di instansi yang bertanggung jawab. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menyampaikan saran dan pemikirannya. Namun dari aspel hukum lingkungan administarttif, ketentuan Pasal 22 ayat (3) tersebut masih perlu dirinci lebih lanjut dalam bentuk prosedur peran serta masyarakat, karene pPAsal 22 PP AMDAAAL tidak mengatur secara jelas dan rinci prosedur peran serta masyarakat tersebut. c) Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

Salah satu upaya pencegahan pencemaran lingkungan diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Perindustrian yang menetapkan bahwa Setiap pendirian usaha industri baru maupun setiap perluasan wajib memperoleh izin usaha industri, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1987 tentang Izin Usaha Industri Dari pembahasan tentang aspek hukum administrasi dalam rangka penegakan hukum lingkungan nampak bahwa bidang hukum administrasi belum sepenuhnya mendapat pembahasan dan pengembangan antara lain seperti : peraturan pelaksanaan mengenai pencemaran lingkungan dalam berbagai instrumen hukum seperti AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), baku mutu lungkungan, perizinan lingkungan, sebagai kelemahan yang memerlukan penyempurnaan. (Silalahi, 1995 : 53). Aspek Pidana Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Pelaksanaan Studi AMDAL berhubungan pula dengan aspek hukum pidana. Karena pelaksanaan studi ini dengan cara yang tidak sebagaiman mestinya, misalnya karena pertimbangan untuk menghemat waktu, biaya dan tenaga akan tetapi kemudian ternyata kegiatan itu menimbulkan pencemaran dan atau perusakan, dapat menyebabkan kasus yang diselesaikan melalui proses pengadilan pidana. Untuk memahami sejauh mana kaitan studi AMDAL dengan hukum pidana, perlu diketengahkan konsep-konsep hukum pidana yang meliputi : perumusan tindak pidana (delik) lingkungan, bentuk kesalahan pelaku dalam tindak pidana lingkungan dan pertanggungjawaban pidananya. (Husein, 1992 : 225). Menurut Andi Hamzah, pengertian Delik Formil adalah delik yang semata-mata melakukan perbuatan tertentu, diancam dengan pidana, seperti pada Pasal 160 (menghasut), Pasal 362 (Pencurian),. Sedangkan delik materiil adalh delik yang dengan terjadinya akibat yang tidak dikehendaki undang-undang, maka terciptalah delik, misalnya pembunuhan ada akibat matinya korban. Bila dikaitkan dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal 22 UU Lingkungan Hidup, maka dapat ditafsirkan bahwa delik ini adalah Delik Materiil, yaitu akibatnya lingkungan hidup menjadi rusak. (Silalahi, 1995 : 59). Menyangkut masalah siapa yang menjadi subyek tindak pidana lingkungan dapat dilihat dari isi Pasal 22 UU Lingkungan Hidup yang dirumuskan dalam kata-kata barang siapa yang lebih cenderung menunjuk pada subjek hukum orang perorang, sebab tidak secara tegas menyebutkan subjek hukum. Apabila disimak lebih lanjut pada kutipan kalimat .Rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam Undang-undang ini atau Undang-undang lain.. Maka subjek tindak pidana lingkungan dapat pula berupa badan hukum, misalnya pada Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undangundang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan dan sebagainya. Dari isi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ketentuan pidana Pasal 22 UU Lingkungan hidup berlaku pula pada badan hukum yang melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan hidup. (Silalahi, 1995 : 59). UU Lingkungan Hidup hanya menggariskan pokok-pokok pengelolaan lingkungan menurut garis besarnya, disamping itu merumuskan pula tindak tindak pidana (delik) lingkungan berupa pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Pengaturan tindak pidana lingkungan tersebut bersifat substansial. Dalam UU Lingkungan Hidup terdapat ketentuan prosedural, yang mengatur tata cara penanganan suatu kasus tindak pidana lingkungan. Karena ketentuan-ketentuan prosedural tersebut tidak terdapat dalam UU Lingkungan Hidup, maka ketentuan-ketentuan prosedural terdapat dalam Uu N0. 8 Tahun 1982 (KUHAP) yabg harus dipergunakan. Khusus mengenai pembuktian, diatur dalam Pasal 183 sampai 189 KUHAP. Pembuktian tindak pidana lingkungan tidak dapat dipersamakan dengan pembuktian tindak pidana lainnya. Di dalam pembuktian tindak pidana lingkungan melalui pendekatan terpadu lintas disiplin dan diperlukan kemampuan menterjemahkan fakta-fakta hukum. 2. Setelah Berlakunya Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Konsep dasar analisis mengenai dampak lingkungan dapat dilihat dari pengertian di bawah ini : 1. Beberapa perumusan yaitu : a. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidupa adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang

diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelanggaraan usaha dan/atau kegiatan. (Pasal 1 angka 21) b. Prof. Otto Soemarwoto Analisis Mengenai Dampak Lingkungan diartikan sebagai suatu aktivitas ilmiah, terapan yang ditujukan mengidentifikasikan, menafsirkan dan memberi informasi tentang dampak yang akan ditimbulkan oleh aktivitas pembangunan terhadap kehidupan manusia dalam ekosistem yang bermanfaat bagi perjuangan hidup manusia. c. Prof. I. Soerinegara Idealnya pendugaan pengaruh terhadap lingkungan harus dilakukan pada waktu sebelum ada proyek pada waktu berjalan , pada waktu proyek selesai dan beberapa waktu sesudah proyek selesai, jadi pendugaan atau analisis pengaruh terhadap lingkungan adalah suatu kegiatan monitoring terus-menerus. d. Prof. Menadjad Darusaputra Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah suatu studi yang mempelajari pengaruh dari suatu kegiatan manusia, khususnya suatu proyek terhadap lingkungan secara utuh dan menyeluruh baik pengaruh yang positif maupun negatif dengan tujuan untuk terakhirnya memperkecil pengaruh negatifnya dan memperbesar pengaruf positifnya terhadap lingkungan. (Abdurrahman, 1986 : 81-81) 2. Menurut Ir. Kaslan A. Thohir Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah cara pengukuran dampak lingkungan proyek atau pengukuran perbedaan kondisi lingkungan yang diperkirakan akan tanpa adanya proyek dan yang diperkirakan akan adanya proyek. (Thohir, 1985 : 288) 3. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi prosrs pengambilan keputusan tentang penyelenggaran usaha dan/atau kegiatan. (Pasal 1 angka 1) Disamping beberapa pengertian di atas dalam Anlisis Mengenai Dampak Liungkungan merupakan keseluruhan proyek yang meliputi penyusunan berturut-turut : 1. Penyajian Informasi Lingkungan (PIL) 2. Kerangka Acuan (KA) bagi penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan 3. Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) 4. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) 5. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). (Suparni, 1992 : 95) Dari pengertian di atas dapt kita simpulkan dua hal, yaitu : 1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Merupakan bagian dari proses percanaan dan intsrumennya dari pengambilan keputusan. 2. Tidak semua rencana kegiatan itu wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hanyalah rencana kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup. (Suparni, 1992 : 95) 1. Dampak Lingkungan Menurut Otto Soemareoto dampak adalah : Suatu kegiatan atau perubahab yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik, maupun biologi, misalnya senburan asap beracun dari kawah gunung Dieng adalah aktivitas alam yang bersifat kimia, gempa bumi adalaha aktivitas fisik, dan pertumbuhan eceng gondok merupakan aktivitas biologi. Aktivitas dapat pula dilakukan manusia, misalnya pembangunan sebuah pelabuhan dan penyemprotan dengan pestisida. Dalam konteks Analisis Mengenai Dampak Lingkungan , penelitian dampak dilakukan karena adanya rencana aktivitas manusia dalam pembangunan. (Soemarwoto, 1990 : 43) Dampak pembangunan menjadi masalah karena perubahan yang disebabkan pembangunan selalu lebih luas dari pada yang menjadi sasaran pembangunan yang diharapkan . Di samping iti pembangunan juga menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Dampak penting itu dapat kita lihat dari penjelasan Pasal 15 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 jo Pasal 5 ayat

(1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999, yaitu : a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak; b. Luas wilayah penyebaran dampak; c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak; e. Sifat kumulatif dampak; f. Berbalik (reversible) atau tidak berbalik (irrreversible) dampak. Berdasarkan tingkat perkembangan ilmu dan teknologi diidentifikasikan ada sembilan perkembangan kategori kegiatan yang mempunyai potensi menimbulkan dampak lingkungan hidup. Kategori tersebut dapat kita lihat pada Pasal 3 ayat (1) dari penjelasan Peraturan Pemerintah N0. 27 Tahun 1999, yaitu ; 1. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, misalnya pembuatan jalan, bendungan/dam, jalan kereta api dan pembukaan hutan; 2. Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbarui maupun yang tak terbarui, misalnya kegiatan pertambangan dan eksploitasi hutan; 3. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya, misalnya pemanfaatan tanah yang tidak diikuti dengan usaha konservasi dan penggunaan energi yang tidak diikuti dengan teknologi yang dapat mengefisienkan pemakaiannya. 4. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya, misalnya kegiatan yang menimbulkan perubahan atau pergeseran struktur tata nilai, pandangan dan/atau cara hidup masyarakat setempat; 5. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya, misalnya kegiatan yang proses dan hasilnya menimbulkan pencemaran, kerusakan kawasan konservasi alam, atau pencemaran benda cagar budaya; 6. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik, misalnya introduksi suatu jenis tumbuhan baru atau jasad renik (mikro organisme) yang dapat menimbulkan jenis penyakit baru terhadap tanaman, introduksi suatu jenis hewan baru dapat mempengaruhi kehidupan hewan yang telah ada; 7. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati, misalnya penggunaan bahan hayati dan non hayati mencakup pula pengertian perubahan; 8. Penerapan teknologi untuk mempengaruhi lingkungan hidup, misalnya penerapan teknologi yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan; 9. Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara. Mengenai daya dukung lingkungan dapat dilihat pada Pasal 1 angka 8 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 yaitu daya dukung lingkunga hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung peri kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sedangkan mengenai baku mutu lingkungan disebutkan dalam Pasal 1 Angka 11 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup , zat energi, atau komponen yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Kedua pasal itu menentukan jika terjadi pencemaran, sebagai batas tolak ukur dari suatu akibat pembangunan. Selain menimbulkan dampak fisik pembangunan juga menimbulkan dampak nonfisik yaitu sosial budaya dan kesehatan masyarakat. Untukitulah seharusnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan menyangkut ketiga aspek tersebut diatas. Diintegrasikan ketiga aspek tadi kedalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan lebih menguntungkan daripada dipisahkan. Dengan demikian bagi pemrakarsa proyek harus memakai ketiga dampak tersebut agar dalam pelaksanaanya nanti tidak menimbulkan kerugian bagi proyeknya. 2. Pihak-pihak yang berkepentingan Pihak-pihak yang berkepentingan atau terkait dalam analisis mengenai dampak lingkungan sangat penting sekali. Sebab para pihak inilah yang akan menentukan pelaksanaan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Oleh karena itu peranan para pihak sangat

berpengaruh berhasil tidaknya pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Ada tiga Aspek yang berkepentingan didalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yaitu: 1. Pemrakarsa 2. Aparatur Pemerintah 3. Masyarakat Ad. 1. Pemrakarsa Menurut Peraturan pemerintah No. 27 Tahun 1999 Pasal 1 angka 7, menentukan pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Adapun yang dimaksudkan dengan orang adalah adalah orang seorang , kelompok orang, atau badan-badan hukum, sedangkan yang dimaksud dengan badan yaitu meliputi badan-badan pemerintahan dan badan usaha milik negara. Rumusan pengertian yang demikian memberikan penegasanbahwa Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 berlaku terhadap rencana kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadaap negara maupun swasta. Ad.2. Aparatur Pemerintah Aparatur pemerintah yang berkepentingan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dapat dibedakan antara instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan. Yang dimaksudkan dengan instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa kewenangan ditingkat pusat berada pada kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan ditingkat daerah pada Gubernur (Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999). Sedangkan instansi yang membidangi usaha dana atau kegiatan adalah instansi yang membina secara teknis usaha dan atau kegiatan dimaksud. Untuk menilai dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dibentuk komisi, yaitu komisi pusat dan komisi daerah. Komisi pusat dibentuk oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen yang membidangi usaha atau kegiatan yang bersangkutan, sedangkan komisi daerah dibentuk oleh gubernur Kepala Daerah Tingkat I (Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999) Tugas menilai yang dilakukan oleh komisi pusat meliputi dan menetapkan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dari rencana kegiatan yang dibiayai oleh : 1. Anggaran Pendapat dan Belanja Negara sejauh mengenai kegiatan yang bersangkutan. 2. Swasta, yang izin usaha dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di tingkat pusat (Suparni, 1992 : 104). Sedangkan tugas menilai yang dilakukan oleh komisi daerah meliputi menilai dan menetapkan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan rencana kegiatan yang dibiayai oleh : 1. Angaran Pendapat dan Belanja Negara 2. Angaran Pendapat dan Belanja Negara, apabila penyelenggaraan rencana kegiatan tersebut diserahkan kepada daerah. 3. Swasta, yang izin usahanya dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di tingkat daerah. (Suparni, 1992 : 107). Dalam penyelenggaraan tugasnya, baik komisi pusat maupun daerah masing-masing dibantu oleh tim teknis yang terdiri dari lulisan kursur atau pakar pembantuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Ad.3. Masyarakat Dilaksanakannya suatu rencana kegiatan dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan biofisik dan lingkungan sosial. Adanya dampak sosial yang ditimbulkan oleh pelaksanaan suatu kegiatan mempunyai arti semakin pentingnya peran serta masyarakat, dalam kaitannya dengan pelaksanaan keggiatan tersebut. Karena itu warga masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban perlu diikutsertakan dalam proses penelitian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Diikutsertakannya warga masyarakat dalam menyampaikan pendapat dan saran, maka dapt dicapai suatu keputusan yang optimal. Diikutsertakannya warga masyarakat akan memperbesar kesediaan masyarakat menerima keputusan dan pada gilirannya akan

memperkecil kemungkinan timbulnya sengketa lingkungan. Diikutsertakannya warga masyarakat hendaknya dilakukan sejak awal perencanaan suatu kegiatan proyek tertentu. 3. Metode Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Menurut Otto Soemarwoto dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan terdiri dari : 1. Penapisan 2. Pelingkupan 3. Prakiraan dan Evaluasi Dampak 4. Pengelolaan Lingkungan 5. Pelaporan (Soemarwoto, 1990 : 91-99) Setiap langkah-langkah itu memiliki tijian yang ingin dicapai. Masing-masing tujuan itu walaupun baik untik suatu tujuan tertentu, tetapi belum tentu sesuai untuk tujuan lain. Ad.1. Penapisan Tujuan penapisan adalah untuk memilih rencana pembangunan yang harus dilengkapi dengan Anlisis Mengenai Dampak Lingkungan. Metode yang dipakai dalam hal ini adalah : 1. Metode Penapisan Bertahap Dalam metide ini dilakukan secara bertahap, dalam beberapa langkah yaitu dengan daftar positif dan penyajian informasi lingkungan. 2. Metode Penapisan Satu Langkah Dalam metode ini hanya melihat daftar positif proyek sebagai kriteria. Apbila proyek mempunyai dampak, maka dibuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, jika tidak maka tidak perlu dibuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Ad.2. Pelingkupan Tujuan pelingkupan adalah untuk membatasi penelitian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan pada dampak pentinga saja. Metode yang sesuai dengan pelingkupan adalah metode identifikasi hal penting. Metode ini diperoleh melalui telaah uraian proyek dan penelitian lapangan di daerah proyek, telaah literatur dan wawancara secara kuesioner, partisipasi observasi dan metode delphi yaitu konferensi jarak hauh dengan menggunakan kuisioner dengan para ahli analisis mengenai lingkungan. Ad.3. Prakiraan dan Evaluasi Dampak Prakiraan dapat ditentukan dari sebelum suatu perusahaan didirikan dan sesudah perusahaan didirikan. Hal ini menyangkut dampak positif dan negatif. Metode yang sesuai dengan prakiraan dampak yaitu : 1. Metode informal dilakukan berdasarkan pengalaman 2. Metode formal dilakukan dengan menggunakan : a. Model prakiraan cepat yaitu dengan mengambil data yang sudah tersedia oleh badan lain. b. Model matematika dengan mengambil model yang khusus dikembangkan dalam penelitian analisis dampak lingkungan, misalnya dengan komputer. c. Model fisik dilakukan dengan menggunakan skala tertentu. d. Model eksperimen yaitu dengan cara melakukan eksperimen di lapangan atau di laboratarium. Sedangkan untuk metode Evaluasi Dampak dapat dilakukan dengan cara : 1. Metode informal yaitu dengan memberi nilai verbal, misalnya kecil, sedang atau besar. 2. Metode formal terbagi dua, yaitu : a. Metode pembobotan yaitu setiap kegiatan untuk mencari data diberi data tertentu. b. Metode ekonomi yaitu metode yang diterapkan pada dampak yang mempunyai nilai uang. Ad. 4. Pengelolaan Lingkungan Metode yang sesuai dengan pengelolaan lingkungan adalah metode prakiraan atau dikembangkan sesuai dengan kaidah bidang yang bersangkutan. Ad.5. Pelaporan Hasil penelitian di atas pada akhirnya dibuat hasil penelitian dalam bentuk laporan. Suatu tuntutan dalam membuat penulisan laporan adalah untuk membuat bagian dalam berbagai bidang menjadi satu kesimpulan, karena itu dalam laporan ini terdapat multi disiplin dalam pembuatan laporan penelitian. 3. Kadaluarsa dan Batalnya Keputusan Aanalisis Mengenai Dampak Lingkungan

1. Kadaluarsa keputusan persetujuan Anlisis Mengenai Dampak Lingkungan. Menurut Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 adalah : (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan dinyatakan kadaluarsa atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini, apabila renmcana dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahunsejak diterbitkannya keputusan kelayakan tersebut. (2) Apabila keputusan kelayakan lingkungan hidup dinyatakan kadaluarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka untuk melaksanakan rencana usaha dan/atau kegiatannya, pemrakarsa wajib mengajukan kembali permohonan persetujuan atas analisis dampak lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang bertanggung jawab. (3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) instansi yang bertanggung jawab memutuskan : a. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang pernah disetujui dapat sepenuhnya dipergunakan kembali; atau b. Pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai dengan Ketentuan Peraturan Pemerintah ini. 2. Batalnya Keputusan Persetujuan Analisis Dampak Lingkungan Menurut Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999, yaitu : Menurut Pasal 25 PP No. 27 Tahun 1999 adalah : (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa memindahkan lokasi usaha dan/atau kegiatannya. (2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan di lokasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) pemrakarsa wajib membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Menurut Pasal 26 PP No. 27 Tahun 1999 adalah : (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa mengubah desain dan/atau bahan penolong. (2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemrakarsa wajib membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Menurut Pasal 27 PP No. 27 Tahun 1999 adalah : (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat mandasar sebagai akibat peristiwa alam atau karena akibat lain sebelum dan pada waktu usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan. (2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) pemrakarsa wajib membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup baru sesaui dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Jadi jelas untuk dinyatakan batalnya keputusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, apabila : 1. Pemrakarsa memindahkan lokasi usaha dan/atau kegiatannya; 2. Pemrakarsa mengubah desain dan/atau proses dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan penolong; 3. Terjadinya peribahan lingkungan hidup yang sangat mendasar sebagai akibat peristiwa alam atau karena akibat lain sebelum dan pada waktu usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan. Oleh karena itu perubahan lingkungan ini menyangkut perubahan positif atau perubahan negatif bagi kegiatan pembangunan. B. Dasar Hukum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Di Indonesia dasar hukum untuk melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalh Ketentuan Pasal 16 Undang-undang No. 4 Tahun 1982 yang pelaksanaannya

diatur pada Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Adapun rumusan Pasal 16 Undang-undang No. 4 Tahun 1982 yang isinya sebagai berikut : Setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 tersebut di atas maka telah ditetapkan lima Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup pada tanggal 4 Juni 1987, sehari menjelang efektif berlakunya Peraturan Pemerintah N0. 29 Tahun 1986. Adapun keputusan-keputusan sebagai berikut : 1. KEP-49/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman Penentuan Dampak Penting, 2. KEP-50/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, 3. KEP-51/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman Penyusunan Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan, 4. KEP-52/MENKLH/6/1987 tentang Batas Waktu Penyusunan Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan, 5. KEP-53//MENKLH/6/1987 tentang Pedoman Susunan Keanggotaan dan Tata Kerja Komisi. Peraturan perudang-undangan tersebut di atas sekarang tidak berlaku lagi semenjak dikeluarkannya Undang-undang yang baru berupa Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pedoman Lingkungan Hidup. Demikian juga halnya dengan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 telah dicabut dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan pada tanggal 23 Oktober 1993. Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 telah ditetapkan enam (6) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada tanggal 19 Maret 1994 dan satu keputusan Kepala BAPEDAAAl pada tanggal 18 Maret 1994. Adapun Keenam Keputusan Menteri Neegara Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut : 1. KEP-10/MENKLH/3/1994 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. KEP-49 sampai dengan KEP-53 tersebut di atas. 2. KEP/11/MENKLH/6/1994 tentang Jenis Usaha dan Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. 3. KEP-12/MENKLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan. 4. KEP-13/MENKLH/3/1994 tentang Pedoman Susunan Keanggotaan dan Tata Kerja Komisi AMDAL. 5. KEP-14/MENKLH/3/1994 tentang Pedoman Upaya Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. 6. KEP-15/MENKLH/3/1994 tentang Pembentukan Komisis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Terpadu. Dengan sdiundangkannya Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maka perlu dilakukan penyesuaian terhadapPeraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 tentang Amdal, oleh karena itu Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993 dicabur, dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 yang mulai berlaku efektif tanggal 18 Nopember 2000. C. Prinsip-prinsip Dalam Pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Dalam penerapannya analsisi mengenai dampak lingkungan tercermin dalam beberapa prinsip yang dianut : a. Suatu rencana kegiatan yang diperkirakan akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup dapat dilaksanakannya setelah dipertimbangkannya dampak terhadap lingkungan hidup. b. Analisis mengenai dampak lingkungan merupakan bagian dari proses perencanaan. c. Kriteria dan prosedur untuk menentukan apakah suatu rencana kegiatan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan secara jelas dirumuskan dalam peraturan perundang-

undangan. d. Prosedur mengenai dampak lingkungan harus mencakup tata cara penelitian yang tidak memihak. e. Analisis mengenai dampak lingkungan bersifat terbuka kecuali yang menyangkut rahasia negara. f. Keputusan tentang analisis mengenai dampak penting terhadap lingkungan harus dilakukan secara tertulis dengan mengemukakan pertimbangan pengambilan suatu keputusan, hal ini berguna untuk adanya kepastian hukum. g. Pelaksanaan rencana kegiatan analisis mengenai dampak lingkungan telah disetujui harus dipandang atau dipantau terus menerus. h. Penerapan analisis mengenai dampak lingkunagn dilakukan dalam rangka kebijakan nasional, pengelolaan lingkungan hidup yang dirumuskan secara jelas. i. Untuk menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan diperlukan aparat memadai sehingga di dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kesalahan. (Suparni, 1992 : 113). 1. Efektifitas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Seperti kita ketahui bahwa pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan dewasa ini belum dapat kita terapkan sebagai alat perencanaan, bahwa dokumen formal saja yakin sebagai atau sekedar untuk memenuhi ketentuan undang-undang saja. Beberapa sebab tidak dipergunakannya laporan-laporan analisis mengenai dampak lingkungan adalah : a. Analisis mengenai dampak lingkungan yang dilakukan terlambat sehungga tidak dapat lagi memberikan masukan untuk pengambilan suatu keputusan. b. Tidak adanya pemantauan, baik itu pemantauan terhadap pelaksanaan proyek maupun pada tahap operasional proyek. c. Disalahgunakannya analisis mengenai dampak lingkungan untuk membenarkannya diadakannya proyek sehingga membuat tenaga kerja dan biaya yang dikeluarkan menjadi mubazir. (Soemarwoto, 1990 : 78-79) Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menaikan efektifitas analisis mengenai dampak lingkungan adalah : a. Menumbuhkan pengertian di kalangan yang akan merencanakan dan pemrakarsa proyek bahwa analisis mengenai dampak lingkungan bukanlah alat-alat untuk mengahambat pembangunan, melainkan sebaliknya analisis dampak lingkungan adalah untuk menyempurnakan perencanaan pembangunan. b. Sebagian besar laporan analisis dampak lingkungan mengandung banyak sekali data-data tetapi masih banyak diantaranya tidak relevan dengan masalah yang dipelajari. c. Agar perencanaan pembangunan dan pelaksanaan proyek dapat menggunakan hasil telaah analisis dampak lingkungan haruslah ditulis dengan jelas dan dengan bahasa yang dapat dimengertioleh perencanaan dan pelaksanaan tersebut. d. Rekomendasi yang diberikan haruslah spesifik dan jelas sehingga para perencanaan dapat menggunakannya. e. Persyaratan proyek yang tertera dalam laporan analisis dampak lingkungan yang telah disetujui haruslah menjadi bagian integral izin pelaksanaan proyek dan mempunyai kekuatan yang sama seperti yang termuat dalam rancangan rekayasa yang telah disetujui oleh badan yang bersangkutan . f. Adanya kemampuan pada badan pemerintah yang berwenang untuk memeriksa laporan analisis dampak lingkungan, jika perlu dengan bantuan pakar. (Soemarwoto, 1990 : 79-80). 2. Akibat Pembuatan Analisis Dampak Lingkungan Seperti kita ketahui bahwa adanya pembuatan analisis dampak lingkungan karena adanya perjanjian antara konsultan dengan pemrakarsa atau pemilik proyek. Disini pihak konsultan bertugas untuk membuat atau menyusun analisis dampak lingkungan, sedangkan pemilik proyek sebagai pihak yang mempunyai rencan kegiatan pembuatan analisis dampak lingkungan sehubungan dengan proyek tersebut mempunyai dampak penting terhadap lingkungan. Dalam membuat analisis dampak lingkungan seorang konsultan harus bertanggung jawab atas semua data yang dibuatnya, baik karena kesengajaan atau kelalaiannya. (Pasal 1830

BW). Apabhila seorang konsultan telah melakukan kesalahan di atas maka dikatakan konsultan telah melakukan prestasi yang bukan seharusnya ia lakukan. Hal ini di dalam hukum perjanjian dinamakan ingkar janji (wanprestasi). Disini konsultan tidak membuat data yang sebanarnya akibatnya akan menimbulakan data fiktifd. Terhadap data yang sedemikian seorang konsultan harus bertanggung jawab dan memikul atas semua kerugian dari pemilik proyek. Berdasarkan uraian kerugian atas seorang konsultan harus mengganti semua kerugianj atas perbuatan baik itu karena kesengajaan atau karena kelalaian sehungga pemilik proyek dapat dibenarkan menurut hukum myang berlaku atas tuntutan ganti ruginya. TANGGUNG JAWAB KONSULTAN DALAM PEMBUATAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN DAN AKIBAT HUKUMNYA LOGO UMP Paper ini merupakan tugas akhir Program Sarjana Hukum OLEH : BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan upaya sadar dan terencana dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumber daya, guna mencapai tujuan pembangunan yakni meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pembangunan tersebut dari masa ke masa terus berlanjut dan berkesinambungan serta selalu ditingkatkan pelaksanaannya, guna memenuhi dan meningkatkan kebutuhan penduduk tersebut berjalan seiring dengan semakin meningkatnya jumlah pertumbuhan penduduk. Pelaksanaan pembangunan sebagai kegiatan yang berkesinambungan dan selalu meningkat seiring dengan baik dan meningkaatnya jumlah dan kebutuhan penduduk, menarik serta mengundang resiko pencemaran dan perusakan yang disebabkanoleh tekanan kebutuhan pembangunan terhadap sumber daya alam, tekanan yang semakin besar tersebut ada dan dapat mengganggu, merusak struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan. Untuk mencegah kemerosotan lingkungan dan sumber daya alam dengan maksud agar lingkungan dan sumber daya alam tersebut tetap terpelihara keberadaan dan kemampuan dalam mendukung berlanjutnya pembangunan, maka setiap aktivitas pembangunan haruslah dilandasi oleh dasar-dasar pertimbangan pelestarian dan sumber daya alam tersebut. (Husin, 1992 : 1). Keinginan untuk mempengaruhi pengaruh negatif dan resiko pada tingkat yang mungkin (Risk Assesment) dan mengelola resikonya (Risk Management) melalui mekanisme dan system hokum lingkungan dalam apa yang disebut sebagai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). (Silalahi, 11995 : 1). Analisis Dampak lingkungan yang sering disebut ANDAL, lahir denga diundangkannya lingkungan hidup di Amerika Serikat yaitu National Environmental Policy Act (NEPA) pada tahun 1969 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1970. Pasal 102 ayat (1) (c) dalam undang-undang ini menyatakan, semua usulan legislasi dan aktivitas pemerintah federal yang besar yang diperkirakan akan mempunyai daampak penting terhadap lingkungan harus disertai laporan mengenai Environmental Impact Assesment ( Analisa Dampak Lingkungan) tentang usulan tersebut. NEPA 1969 merupakn suatu reaksi terhadap kerusaakan lingkungan oleh aktivitas manusia yang semakin meningkat, antara lain tercemarnya lingkungan oleh pestisida serta limbah industri daan transpor. Rusaknya habitat tumbuhan dan hewan langka, serta rendahnya nilai estetika alam. (Suparni, 1994 : 89). Berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Pokok Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997 tentang kewajiban Membuat Analisis Mengenai Damoak Lingkungan (AMDAL) terhadap setiap rencana yang diperkirakan mempunyai Dampak penting terhadap lingkungan hidup, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No.

51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. (UU No. 23 Tahun 1997,1997). Dalam waktu empat tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 telah diteliti berbagai aspek untuk penetapan criteria daamapak kegiatan dari lingkunganlingkungan social Budaya. Karena dianggap Peraturan Pemerintah belum memadai, maka kebijakan pemerintah dalam menyikapi pelaksanaan dan penegakkan undang-undang No. 23 Tahun 1997 dikeluarkanlah Peraaturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 yang mencabut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993. Alasan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1999 diantaranya beberapa persoalan yang bermunculan pada tingkat pelaksanaan termasuk kurang dipahaminya ketentuan-ketentuan hukum dasarnya menurut Undangundang Lingkungan Hidup Tahun 1997 serta implikasi aspek-aspek teknis dan ilmu ilmiah pada penerapan hukumnya, sehingga menjadi kendala menegakkan ketentuan-ketentuan tersebut, terutama pada kegiatan yang menggunakan bahan-bahan kimia yang bersifat toksis, dan dampak lingkungan penting lainnya. Atas pertimbangan di atas, mengalami kondisi untuk segera dikembangkan lebih lanjut ketentuan hukumnya sesuai dengan perkembangan baru, masalah-masalah yang belum terakomodasi oleh ketentuan-ketentuan yang dianggap mengandung kelemahan-kelemahan tertentu, seperti keterkaitan AMDAL denga perizinan, mekanisme keterkaitan AMDAL dan masyarakat sebagai pelaksana peran serta rakyat dalam proses pengambilan keputusan, dan metode pengumpulan informasi yang mampu memberikan identifikasi terhadap berbagai pengaruh dan dampak lingkungan. Ini berarti dalam hal perencanaan proyek pusat, komisi daerah telah dilibatkan, yang akan menjamin keterpaduan vertical. Landasan Hukum kebijaksanaan lingkungan secara umum di Indonesia dinyatakan sejak Repelita II yang diatur dalam TAP MPR No. IV Tahun 1973 tentang GBHN yang berbunyi sebagai berikut : Dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan menyeluruh dan dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang. Kurang dipahminya proses AMDAL dalam system perizinan menyebabkan studi AMDAL sering kali dianggap memperlambat diperolehnya izin kegiatan. Oleh karena itu, penguasaan hukum yang mengatur dan menerbitkan masalah lingkungan dalam pembangunan wajib kita menguasai pula ilmu-ilmu lain yang relevan, misalnya ekonomi, sosial budaya, planologi, hidrologi, kimia dan biologi. Pendekatan interdisipliner ilmu demikian dapat dan berkembang. Meningkatkan kegiatan pembangunan, akan membawa perkembangan baru atas pengertian bahaya, kerugian daan lingkungan tercemar terhadap aspek kesehatan dan lingkunga salah satu Instrumen Hukum yang dikembangkan dan mengatasi ini adalah AMDAL. AMDAL sebagai studi ilmiah dianggap mempunyai kemampuan untuk melakuka prediksi dan identifikasi itu terhadap kemungkinan timbulnya dampak lingkungan. Dalam proses AMDAL ini analisis mengenai masalah dilakukan yang berdasarkan pendekatan antar berbagai disiplin ilmu dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmiah pula untuk menerangkan hubungaan kausal masalah lingkungan dan cara pemecahaannya. Dengan demikian, dalam perkembangan baru ini, hokum disamping untuk menjaga ketertiban, sarana pembaharuan masyarakat juga dianggap mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan masalah-masalah lingkunga yang mungkin timbul daaan tata cara memecahkannya. Suatu perkembangan hukum yang dipengaruhinya oleh metode dan prinsip ilmu. Untuk melakukan analisis secara demikian, Undang-undang Lingkungan Hidup Tahun 1982 dan peraturan Pemerintah tentaang AMDAL akan dijadikan acuan utama dalam keseluruhan proses pengujiaan masalah dan sarana pemecahaannya. Atas dasar pemikiran diatas, analisis masalah hukum tentang AMDAL pertama-tama akan membantu memberikan uraian keterkaitan perundang-undangan dan pelaksanaan AMDAL dengan Undang-undang atau ketentuan hokum sektoral untuk memperoleh persamaan persepsi dan penafsiran atas hokum yang mengatur pelaksanaan AMDAL dilihat dari penyusunan, penilaian, dan pengambilan keputusan. Kedua, pengaruh dari kualifikasi AMDAL

oleh perangkat aparatur pemerintah yang memiliki criteria keahlian khusus dalam proses AMDAL sebagai penanggung jawab utama. Status AMDAL dalam proses pengambilan keputusan sebagai Significant Agency Expertise yang memegang yurisdiksi kewenangan dan merupakan ruang lingkupnya yang lebih utama dalam masalah hukum yang timbul di kemudian hari. Dalam pengertian diatas, ditegaskan bahwa aparat pemerintah (agency) barulah dapat dikualifisir dan mempunyai Primary Jurisdiction yang memberikan kedudukan hukum yang istimewa baginya untuk memutuskan apa yang menurut aparatur pemerintah paling menguntungkan berdasarkan keahliannya yang khusus, karena itu kedudukan ini memberikan dasar hukum yang kuat baginya untuk menetapkan pilihan yang terbaik dan bersifat final. Di dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluaan Negara (GBHN) mengamanatkan bahwa : Penelitian, pengendalian dan pemanfaatan ssumber daya alam serta pembinaan lingkungan hidup perlu ditingkatkan dengan menggunakan cara yang tepat sehingga mengurangi dampak yang penting yang merugikan lingkungan hidup serta mempertahankan mutu dan kelestariannya kemampuan sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga pembangunan dapat berlangsung dengan berkesinambungan. Untuk menciptakan suatu pembangunan yang berkesinambungan, faktor lingkungan hidup menjadi perhatian yang utama, sebab pada hakekatnya adalah : (Suparni, 1992 : 36) Gangguan terhadap keseimbangan lingkungan yaitu sadar manusia untuk mengubah keseimbangan lingkungan dari tingkat kualitas yang lebih tinggi. Dalam hal ini harus menjaga agar lingkungan tetap mampu untuk mendukung tingkat hidup pada kualitas yang lebih tinggi. Oleh karena itu pembangunan yang memungkinkan timbulnya dampak penting terhadap lingkungan harus dibuat analisis mengenai dampak lingkungan, misalnya pembangunan pabrik pupuk, pembangunan pabrik tapioka, dan lain-lain. Kewajiban membuat analisis mengenai dampak lingkungan dapat kita lihat pada Pasal 15 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 yang isinya Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 15 diatas maka pemerintah berhasil menetapkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang analisis mengenai dampak lingkungan. Peraturan Pemerintah ini merupakan tonggaak sejarah yang amat penting dalam rangka pembangunan berwawasan lingkungan. Mengenai masalah analisis mengenai dampak lingkungan adalah menyangkut masalah orang banyak, maka peranan pihak yang berkepentingan yaitu pemrakarsa, aparatur pemerintah, dan masyarakat sangat penting. Oleh karena itu untuk menegakkan analisis mengenai dampak lingkungan ini harus ada kerjasama yang baik antara aparatur pemerintah dan pihak yang terkait. Untuk itu Menteri Negara Kependudukan dan Lingkuyngan Hidup telah mengeluarkan beberapa keputusan sebagai realisasi dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 yang isinya merupakan pedoman bagi para konsultan yang akan membuat analisis mengenai dampak lingkungan. Oleh karena itu seorang konsultan tidak boleh menyimpang dari ketentuan diatas. Dalam membuat data, seorang pemrakarsa proyekharus mengetahui apakah proyek yang akan didirikannya itu wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan, jadi disini keadaan dari lokasi proyek harus jelas. Secara yuridis, analisis mengenai dampak lingkunga dibutuhkan hanya terhadap kegiatan pembangunan yang berdampak penting, mengenai ada atau tidaknya dampak penting itu tidak mudah diukur dengan barometer tertentu. Sebab formulasi hukum tidak secar jelas memberikan batas baik secara kuantitatif maupun kualitatif tentang apa yang merupakan dampak yang penting. Secar yuridis hanya menyatakan dampak penting itu berupa perubahan lingkungan yaitu yang sangat mendasar bersumber dari suatu kegiatan. Contoh dampak itu paling tidak menyangkut hidup orang banyak antara lain menyangkut alam, flora dan fauna dan sebagainya yang dapat terganggu akibat langsung terhadap polusi udara, air dan darat.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka terhadap usaha yang menimbulkan dampak penting, wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Oleh sebab itu bagi proyek yang mempunyai dampak penting banyak sekali sekali yang meminta pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan sehingga mendorong munculnya pihak pihak yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, akibatnya studi analisi mengenai dampak lingkungan hanya formalitas saja, yang tidak dilaksanakan berdasarkan prosedure yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Berdasarkan uraian di atas, maka akibat mengenai analisis mengenai dampak lingkungan dianggap formalitas saja, banyak sekali terdapat data fiktif yaitu data yang diperolehdari hasil data konsssultan saja atau bisa juga dari hasil pemikiran yang dibuat oleh konssultan itu dapat saja karena kesengajaan atau karena kelalaiannya sehingga dat yang sebenarnya harus dicantumkan ke dalam analisi mengenai dampak lingkungan tidak dibuatnya secar tepat, akibatnya setelah terjadi dampak penting terhadap lingkungan maka diketahui segala kesalahanya. Untuk itulah maka setiap konsultan harus bertanggung jawab atas semua data yang dibuatnya sehingga konsultan harus hati-hati dalam membuat analisis mengenai dampak lingkungan. Tanggung jawab ini menyangkut ganti rugi apabila konsultan itu melakukan kesalahan dalam membuat data analisis. Didalam Kitaab Undang-Undaang Hukum Perdata mengenai tanggung jawab ini diatur dalam pasal 1801 dan pasal 1803 Kitab Undaang-Undang Hukum Perdata : Si kuasa tidak saja bertanggung jawab tentang perbuatan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tapi juga tentang kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya. Namun itu tanggung jawab tentang kelalaian bagi seseorang yang dengan Cuma-Cuma menerima kuasa adalah tidak begitu berat seperti yang dapat diminta dari seseorang yang untuk itu menerima upah. Disisi lain Pasal 1803 KUH Perdata berbunyi : Si Kuasa bertanggung jawab untuk oraang yang telah ditunjuk olehnya sebagai penggantinya 1. Jika ia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya. 2. Jika kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa sebab penyebutaan seoraang tertentu. Sedangkan oraang yang dipilih itu ternyata tidak cakap atau tidak mampu. Si pemberi kuasa senantiasa dianggap telah memberikan kekuasaan kepada si kuasa untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya untuk pengurusan benda-benda yang terletak diluar wilayah daripada yang ditempat tingfgal si pemberi kuasa. Dalam segala hal, si pemberi kuasa dapat secara langsung menurut orang yang ditunjuk oleh si kuaasaa sebagaai penggantinya itu. Dari uraian diatas jelas bahwa tanggung jawab konsultan sangat besar, untuk itulah penulis mengambil judul TANGGUNG JAWAB KONSULTAN DALAM PEMBUATAN ANALISI MENGENAI DAAMPAK LINGKUNGAN DAAN AAKIBAT HUKUMNYA B. PERMASALAHAN Bertitik tolak dari uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah: 1. Apa saja kewajiban-kewajiban konsultan yang harus dipenuhinya dalam menyusun AMDAL ? 2. Sejauh mana taanggung jawab konsultan terhadap analisis tersebut ? C. Ruang Lingkup Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dan menyeluruh tentang penelitian ini, perlu pembatasan masalah ini dengan menitik beratkan pada tanggung jawab konsultan dalam perjanjian pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan yang sesuai dengan Pasal 1801 dan Pasal 1803 KUH Perdata dan tidak menutup kemungkinan berkaitan dengan hal-hal lain yang lebih relevan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pengetahuan penulis selama ini, serta menambah informasi bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan bidang hukum pada umumnya. Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi seseorang yang ingin terjun ke dunia konsultan analisis mengenai dampak lingkungan sehingga dapat

melaksanakan dan menegakkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. D. Tujuan dan kegunaan penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara menyeluruh mempunyai tujuan untuk : - Menganalisis sekitar hak dan kewajiban konsultan yangmembidangi penyusunan dokumen AMDAL. - Mengaanalisis sampai sejauh mana batas tanggung jawab konsultan AMDAL 2. Kegunaan Penelitian Secara teoritis kegunaan penelitian ini akan berguna untuk perkembangan ilmu pengetaahuaan dalam Hukum Lingkungan khususnya yang berhubungan dengan konsssultan AMDAL. Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini daapat merupaklaan rekomendasi/pemikiran/konsep/saran untuk digunakan para pihak yang berkepentingan, baik bagi praktisi, akademisi ataupun aparat penegak hukum. E. Metode Penelitian Sejalan dengan ruang lingkup dan permasalahan dalam penelitian yang bersifat eksploratoris sebagi landasan utama dan tolak ukur dalam penyusunan maka dilakukan penelitian lapangan melalui wawancara denga para konsultan dan penelitian kepustakaan dengan cara pengumpulan data-data dan teori yang ada melaui kepustakaan, sehingga penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis (empiris) bersifat eksploiratoris yang tidak bermaksud menguji suatu hipotesa. Selanjutnya teknik pengumpulan dapat dilakukan melaui: 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research ) Penelitian kepustaakaan dalam rangka memperoleh data skunder yaitu bahn hukum primer misalnya Peraturan Pengganti Undang-Undang serta bahan hukum sekunder seperti buku buku (literatur). 2. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan dalam rangka memperoleh data primer maka penulis melakukan penelitian langsung Program Penelitian Lingkungan Hiddup (PPLH) dengan cara wawancara kepada para konsultan dan pihak-pihak terkait. Setelah data-data kepustakaan dan lapangan didapat, maka terhadap data tersebut selanjutnya dilakukan dengan cara Content Analisys terhadap data tekstular dan menetapkan metode kualitatif terhadap dat yang diperoleh dari lapangan, yang kemudian penulis konstruksikan dalam suatu kesimpulan pada bagian akhir dari penelitian ini. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL) A. Pengertian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 1. Sebelum keluar Perauraan Pemerintah No. 27 Taahun 1999 Menurut Fola S. Ebisemiju (1993) bahwa Analisis Mengenai Dampak Lingkungaan atau Environmental Impact Assesment (EIA) muncul sebagai jawaban atas keprihatinan tentang daampak negaatif dari kegiatan manusia khususnya pencemaran lingkungan akibat dari kegiatan industri pada tahun 1960-an. Sejak itu, AMDAL tetap menjadi alat utama untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan manajemen yang bersih lingkungan dan selalu melekat pada tujuan pembangunan yang berkelanjutan. (Ebisemiju dalam Soemartono, 1996 : 158) Menurut Munn (1974) definisi umum tenyang Amdal itu adalah : Analisis Mengenaai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah suatu kegiatan (studi) yang dilakukaan untuk meng identifikasi, memprediksi, menginterpretasikan dan mengkomunikasikan pengaruh suatu rencana kegiatan terhadap lingkungan Dari definisi secara akademis ini kemudian dirumuskan definisi hukum dalam perundangundangan, antara lain : a. Menurut Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 Pasal 1 ayat 1 (pelaksaanaan Pasal 16 Undaang-undang Lingkungan Hidup Tahun 1982) merumuskan sebagai berikut : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah hasil studi mengenai dampak suatu

kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. (Ebisemiju dalam Silalahi, 1995 : 23). b. Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 yang menyatakan sebagai berikut : Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah hasil studi mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. (Fandeli, 1995 : 34). Pada dasarnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah keseluruhan dokumen studi kelayakan lingkungan yang terdiri dari kerangka acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL). Dari pengertian tersebut Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) hanya merupakan salah satu dokumen dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Untuk menghilangkan kemungkinan pencemaran, keseluruhan yang terdapat dalam AMDAL harus dilaksanakan secara cermat sesuai dengan situasi dan kondisi yang sebenarnya. (Soemartono, 1996). Jadi istilah AMDAL dibedakan dengan ANDAL, yaitu AMDAL merupakan keseluruhan proses yang meliputi kelima buah dokumen, yaitu Penyajian Informasi Lingkungan (PIL), Kerangka Acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL). Sedangkan ANDAL yaitu Analisis Dampak Lingkungan merupakan salah satu dokumen yang dibuat dalam proses tersebut. (Suparni, 1994 : 94). Prinsip Dalam Penerapan dan Tata Laksana Amdal 1. Prinsip Dalam Penerapan AMDAL Dalam Peraturan penerapan AMDAL tercermin beberapa prinsip yang dianut, yaitu sebagai berikut : a. Suatu rencana kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup dapat dilaksanakan setelah dipertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan hidup. Dalam prinsip ini mengandung pengertian bahwa dampak lingkungan yang harus dipertimbangkan mencakup semua aspek lingkungan, baik biofisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya yang relevan denga rencana kegiatan yang akan dilaksanakan. Untuk mempertimbangkan dampak rencana kegiatan dalam lingkungan hidup diperlukan pengaturan mengenai prosedur administratif. Dalam Kaitan dengan prosedur administratif tersebut, prosedur AMDAL diintegrasikan kedalam prosedur administratif yang ada, yaitu prosedur perizinan yang berlaku bagi rencana kegiatan yang bersangkutan. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 5 PP No. 51 Tahun 1993 yang menyatakan : Keputusan tentang pemberian izin terhadap rencana kegiatan oleh instansi yang berwenang dibidang perizinan untuk jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 hanya dapat diberikan setelah adanya persetujuan atas rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan oleh instansi yang bertanggung jawab. b. AMDAL merupakan instrumen pengambilan keputusan dan merupakan bagian dari perencanaan Sebagai instrumen pengambilan keputusan, AMDAL dapat memperluas wawasan pengambilan keputusan sehingga dapat diambil keputusan yang paling optimal dari berbagai alternatif yang tersedia. Sebagai konsekwensi kewajiban setiap orang untuk memelihara lingkungan hidup, termasuk pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan perusakan lingkungan, maka menjadi kewajiban pemrakarsa untuk memikul biaya pencegahan dan penanggulangan dampak negatif yang ditimbulkan oleh pelaksanaan rencana kegiatannya. c. Kriterian dan prosedur untuk menentukan apakah suatu rencana kegiatan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup harus secara jelas dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Seorang pemrakarsa memerlukan kepastian bahwa untuk rencana kegiatan yang akan dilaksanakannya itu perlu atau tidak perlu dilengkapi dengan AMDAL. Kepastian ini diperlukan berkenaan dengan perbedaan prosedur yang harus ditempuh oleh pemrakarsa. Pengaturan dalam peraturan perundang-undangan mempunyai konsekwensi bahwa kriteria dan prosedur itu mengikat baik bagi pemrakarsa yang akan melaksanakan kegiatan maupun instansi yang

bertanggung jawab dalam menilai dan mengambil keputusan atas AMDAL. Tidak di taatinya kriteria dan prosedur tersebut dapat menjadi dasar gugagatan terhadap keputusan pemberian ijin pelaksanaan rencana kegiatan oleh pihak yang dirugikan haknya. Sedangkan bagi pihak instansi yang berwenang tidak ditaatinya kriteria dan prosedur tersebut merupakan dasar bagi instansi yang berwenang untuk menolak permononan izin bagi izin pelaksanaan kegiatan. d. Prosedur AMDAL harus mencakup tata cara penilaian yang tidak memihak. Prinsip ini berarti : Pertama: bahwa semua aspek lingkungan dan berbagai kepentingan yang terkait harus didudukan secara serasi dan dipertimbangkan secara imbang. Kedua: bahwa semua pihak yang berkepentingan dan terkait dengan pelaksanaan rencana kegiatan harus diberi hak dan kesempatan yang sama dalam proses penilaian substansi AMDAL. Ketiga : Pengambilan keputusan harus didasarkan pada cara yang menjamin objektifitas. e. AMDAL bersifat terbuka, kecuali yang menyangkut rahasia negara. Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban untuk memelihara lingkungan hidup, termasuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Hak dan kewajiban ini dapat terlaksana secara baik kalau subjek pendukung hak dan kewajiban berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Hal tersebut berarti pula, bahwa hak dan kewajiban itu mempunyai hak akses terhadap keadaan dan kondisi lingkungan hidup. f. Keputusan tentang AMDAL harus dilakukan secara tertulis dengan mengemukakan pertimbangan pengambilan keputusan. Keputusan tertulis memberikan jaminan kepastian mengenai substansi keputusan tersebut. Jaminan kepastian ini penting bagi : 1) Pemrakarsa : dengan keputusan tertulis dia mengetahui secara pasti tentang syarat dan kewajiban yang harus dia penuhi dalam rangka pelaksanaan rencana kegiatannya, dan apabila keputusan ini bersifat merugikan kepentingannya keputusan itu dapat dipakai sebagai dasar untuk mengajukan banding atau gugatan tata usaha negara. 2) Pejabat : yang mengeluarkan keputusan itu : keputusan itu menjadi pegangan untuk menilai apakah pemrakarsa menaati syarat dan kewajiban yang ditetapkan dalam keputusan, maka keputusan itu menjadi dasar untuk diambilnya tindakan hukum administratif terhadap pemrakarsa. 3) Penegak hukum : keputusan tertulis itu dapat menjadi sumber untuk mengetahui pelanggaran yang dilakukan si pemrakarsa, dan bahan dalam rangka penyidikan perkara pidana. 4) Warga masyarakat : keputusan itu dapat dipakai sebagai dasar gugatan apabila pelanggaran yang dilakukan pemrakarsa terhadap keputusan itu menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. g. Pelaksanaan rencana kegiatan yang AMDAL-nya telah disetujui harus dipantau. Pemantauan perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi akibat dilaksanakan rencana kegiatan. Hasil pemantauan perubahan lingkungan dan evaluasi hasilnya merupakan bahan masukan bagi penyusunan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, baik nasional maupun internasional. h. Penerapan AMDAL dilaksanakan dalam rangka kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang dirumuskan secara jelas. AMDAL merupakan suatu instrumen kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang tertuju ke arah tercapainya suatu tujuan, yaitu tetap terpeliharanya kemampuan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Karena itu, AMDAL harus selalu mengacu kepada kebijaksanaan nasional. i. Untuk menerapkan AMDAL sangat tergantung kepada aparat-aparat yang memadai. Keberhasilan penerapan AMDAL sangat bergantung kepada kemampuan aparat pelaksanaannya, baik aparat administrasi, pemerintah maupun penyusun AMDAL. (Suparni, 1994 : 107)

2. Tata Laksana Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Tata laksana AMDAL dalam garis besarnya adalah sebagai berikut : a. Pemrakarsa rencana kegiatan mengajukan penyajian informasi Lingkungan (PIL) kepada instansi yang bertanggung jawab. PIL tersebut dibuat berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh mentri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup. Instaansi yang bertanggung jawab adlah instansi yang berwenang memberi keputusan tentang rencana pelaksanaan kegiatan. b. Apabila lokasi sebagaimana tercantum dalam PIL dinilai tidak tepat, maka instansi yang bertanggung jawab menolak lokasi tersebut dan memberi petunjuk tentang kemungkinan lokasi lain dengan kewajiban bagi pemrakarsa untuk membuat PIL yang baru. Apabila suatu lokasi dapat menimbulkan perbenturan kepentingan antar sektor maka instansi yang bertanggung jawab mengadakan konsultasi dengan menteri atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan. c. Apabila hasil penelitian PIL menentukan bahwa perlu dibuatkan ANDAL, berhubung dengan adanya dampak penting rencana kegiatan terhadap lingkungan, baik dilingkungan geofisik maupun lingkungan sosial budaya, maka pemrakarsa bersama-sama instansi yang bertanggung jawab membuat Kerangka Acuan (KA) bagi penyusunan ANDAL. d. Apabila ANDAL tidak perlu dibuat untuk suatu rencana kegiatan, berhubung tidak ada dampak penting, maka pemrakarsa diwajibkan untuk membuat Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) bagi kegiatan tersebut. e. Apabila dari semua sudaah diketahui bahwa akan ada dampak penting maka tidak perlu dibuat PIL terlebih dahulu akan tetapi dapat langsung menyusun (KA) bagi pembuat ANDAL. f. ANDAL merupakan komponen studi kelayakan rencana kegiatan sehingga dengan demikian terdapat tiga studi kelayakan dalam perencanaan pembangunan. g. Pedoman umum penyusunan ANDAL ditetapkan oleh Menteri dan pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi kegiatan yang bersangkutan berdasarkan penyusunan ANDAL yang dibuat oleh Menteri KLH. h. Apabila ANDAL menyimpulkan bahwa dampak negatif yang tidak dapat ditanggulangi ilmu dan teknologi lebih besar dibandingkan dengan dampak positifnya, maka instansi yang bertanggung jawab memutuskan untuk menolak rencana kegiatan yang bersangkutan. Terhadap penolakan ini, pemrakarsa dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang lebih tinggi dan instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 14 hari sejak diterimanya penolakan itu. i. Apabila ANDAL disetujui, maka pemrakarsa menyusun RKL dan RPL dengan menggunakan pedoman penyusunan RKL dan RPL yang du\ibuat oleh Menteri KLH atau Departemen yang bertanggung jawab. j. Keputusan persetujuan ANDAL dinyatakan kadaluarsa apabila rencana kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak ditetapkannyakeputusan tersebut. Pemrakarsa wajib mengajukan kembali permohonan persetujuan atas ANDAL. k. Keputusan persetujuan ANDAL dinyatakan gugur, apabila terjadi perubahan lingkungan yang sangat mendasar akibat peristiwa alam atau karena kegiatan lain, sebelum rencana kegiatan dilaksanakan. (Fandeli, 1995 : Pedoman dan Analisa Data dalam Penyusunan AMDAL Timbulnya perbedaan penafsiran dan tolak ukur penilaian atas kriteria atau baku lingkungan disebabkan perbedaan menjabarkan pedoman dan perbedaan metode yang digunakan untuk memperoleh data, mengidentifikasi dan menganalisa data. Padahal salah satu hal penting sdalam AMDAL adalah Consistency dan Simplicy, sehingga baik pedoman maupun metodologi penyusunan AMDAL oleh konsultan harus memperhatikan konsisten sehingga tidak menimbulkan penafsiran-penafsiran yang berubah-ubah atau berbeda-beda secara yuridis. Pedoman dan metodologi ini juga harus menyajikan prosedur penyusunan dan penilaian yang mudah dan sederhana dalam praktek. (Silalahi, 1995 : 31) Beberapa ketentuan hukum dalam proses AMDAL yang bertalian dengan pedoman ini , antara lain : 1. Masalah Penapisan (Screening) dalam Proses AMDAL Penapisan merupakan terjemahan dari sreening. Kata Screen berarti menapis atau menyaring. Screening atau penapisan merupakan kata benda yang berarti sesuatu hal dari hasil hasil

kegiatan menapis. Dalam Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) penapisan adalah suatu proses untuk pengambilan keputusan. (Fandeli, 1995 : 68) Pada hakekatnya lingkup penapisan dapat bersifat nasional yang tercermin pada kebijaksanaan sektoral. Hal ini didasarkan pada Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986. Sementara itu lingkup penapisan dalam proses program dan proyek tercermin pada Pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986. Lingkup penapisan yang paling rendah adalah dalam menyusun AMDAL untuk menentukan aktivitas yang menimbulkan dampak komponen lingkungan yang terkena dampak dan teknologi untuk menanggulangi dampak, sehingga dengan demikian penapisan harus dilakukan terhadap kegiatan proyek dan terhadap AMDAL-nya sendiri. (Fandeli, 1995 : 68) Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 tentang AMDAL, PIL adalah sebagai salah satu alat penapisan terutama untuk menilai tepat tidaknya lokasi rencana kegiatan (Pasl 9), perlu tidaknya membuat ADL (Pasal 11) dan dalam hal terdapatnya keraguan tentang ada tidaknya dampak penting. Jelaslah disini diperlukan panduan yang jelas untuk menyusun daftar parameter kunci untuk mengetahui matriks identifikasi dampak penting pada lingkungan. (Silalahi, 1995:32). Jadi penapisan itu bertujuan untuk memilih rencana-rencana pembangunan mana yang harus dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Langkah itu sangat penting bagi pemrakarsa untuk dapat mengetahui sendiri mungkin apakah proyeknya itu akan terkena AMDAL. Hal ini berkenaan dengan rencana anggaran biaya dan waktu. (Soemarwoto, 1997:76). Penapisan dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan pada tahapan awal digunakan untuk menentukan suatu proyek memerlukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau tidak; dan bagi proyek-proyek yang memerlukan AMDAL, apakah langsung menyusun ANDAL (dokumen 3) atau kita harus melewati PIL yang merupakan Penapisan Tingkat Pertama (PP No. 29 Tahun 1986 dan Kep. Men. KLH No. 50/1987). Namun menurut PP No. 51 Tahun 1993 dan Kep. Men. KLH No. 11 Tahun 1994 tidak ada penapisan dengan PIL. (Fandeli, 1995 : 68). 2. Pelingkupan Dalam Proses AMDAL Pelingkupan (scoping) atau pembatasan-pembatasan ruang lingkup pelaksanaan ANDAL. Pembatasan ruang lingkup tertentu atau memfokuskan ANDAL pada komponen-komponen lingkungan tertentu atau memfokuskan ANDAL pada komponen-komponen lingkungan tertentu sangat diperlukan. Maksudnya diperlukan agar ANDAL menghasilkan data dan informasi lingkungan yang relevan sesuai dengan rencana kegiatan / proyek-proyek yang bersangkutan. (Husein, 1992 : 48). Pelingkupan (scoping) memgang peranan yang sangat penting di dalam menentukan data yang harus dikumpulkan yang diperlukan untuk menyusun garis besar. Setiap kali data akan dikumpulkan haruslah ditanyakan perlukah data tersebut untuk mengambil keputusan?. Dengan demikian apabila Pelingkupan telah dijalankan dengan baik, penelitian menjadi terfokus, data yang dikumpulkan hanya terbatas pada yang diperlukan saja, dan biaya, tenaga dan waktu dapat digunakan secar efektif dan efisien. (Fandeli, 1995 : 107). Pelingkupan dalam studi ANDAL dilaksanakan mengingat maksud dan tujuan serta kegunaan hasil studi. Pembatasan ruang lingkup ANDAL tersebut perlu pula disesuaikan dengan pedoman yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam Lampiran II Keputusan MENKLH Nomor : KEP-50/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan, ditetapkan ruang lingkup studi ANDAL sebagai berikut : a. Batas Wilayah Studi Batas wlayah studi ditentukan dengan memperhatikan batas proyek, batas ekologis, batas administrasi, dan batas teknis. b. Komponen lingkungan yang telah ditelaah Komponen lingkungan yang harus dicakup dalam studi adalah komponen lingkungan biogesik, sosial ekonomi dan sosial budaya. c. Rencana Kegiatan yang harus ditelaah dampaknya Uraian rencana kegiatan dan komponen kegiatannya serta dampak yang ditimbulkan. Kegunaan Pelingkupan (Scoping) adalah untuk kepentingan :

a. Identifikasi dampak penting atau masalah utam dari suatu proyek. b. Menetapkan komponen-komponen lingkungan yang akan terkena dampak nyata. c. Menetapkan strategi penelitian pada komponen lingkungan yang akan terkena dampak. d. Menetapkan parameter atau indikator dari komponen lingkungan yang akan diukur. e. Efisiensi waktu studi AMDAL. f. Efisiensi biaya studi AMDAL. g. Komponen-komponen yang ditetapkan sedikit-dikitnya atau sama sekali tidak terkena dampak lingkungan tidak akan dievaluasi lagi. Dengan pelingkupan (scoping) maka waktu, biaya dan tenaga untuk studi AMDAL dapat lebih efisien, tanpa banyak terbuang untuk meneliti, menganalisa dan memprediksi dampak terhadap komponen lingkungan yang tidak terkena dampak. AMDAL Sebagai Prasyarat Dalam Sistem Perizinan Di Indonesia dinamakan sebagai Een Vergunningenland (Negara Perizinan), karena sedemikian banyaknya jenis perizinan di negara kita. Jenis perizinan yang erat hubungannya dengan pengelolaan lingkunggan hidup antara lain : - Izin usaha yang diatur dalam Ordonansi Gangguan (Hinder Ordonantie) Stbl. 1926 No. 226, - Izin Mendirikan Banggunan (IMB), - Izin yang berkaitan dengan Pengendalian Pencemaran Air (PP No. 29 Tahun 1990), - Izin yang berkaitan dengan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU No. 5 Tahun 1990), - Izin yang berkaitan dengan Perlindungan Hutan (PP No. 28 Tahun 1985), - Dan lain-lain (Lotulung, 1993 :86). Ditinjau dari segi perizinan AMDAL, maka AMDAL untuk kegiatan industri harus melihat beberapa aspek perizinan antara lain : 1. AMDAL Dalam Sistem Perizinan (Umum) Dalam Pasal 6 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dinyatakan sebagai berikut : Setiap orang yang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Jadi kewajiban tersebut dicantumkan dalam setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Dengan mengacu ketentuan perizinan yang diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup Tahun 1997 di atas, maka Oasal 5 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 ini menyatakan tentang keputusan pemberian izin terhadap rencana-rencana kegiatan oleh instansi yang berwenang di bidang-bidang perizinan untuk jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat diberikan setelah adanya keputusan persetujuan atas RKL dan RPL oleh instansi yang bertanggung jawab. Keputusan persetujuan atas RKL danRPL yang baru dapat diberikan apabila terjadi rencana kegiatan tersebut tidak memerlukan ANDAL, atau memerlukan AMDAL yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab. Jadi dengan demikian keputusan pemberian izin baru akan diberikan oleh instansi yang berwenang. Apabila rencana kegiatan tersebut dalam tahap perencanaan dan operasionalnya tidak mencemari atau merusak lingkungan hidup . (Husein, 1992 : 206) 2. AMDAL Dalam Sistem Perizinan (Sektoral) Apabila AMDAL telah dipahami sebagai salah satu syarat perizinan dalam setiap rencana kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting pada lingkungan, maka keterkaitannya dengan proses perizinan sektoral, sesuai dengan ketentuan peralihan dalam Pasal 49 Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup Tahun 1997, AMDAL harus diartikan sebagai salah satu persyaratan tambahan untuk memperoleh izin, sesuai dengan Pasal 11 (Ayat 1) Hinder Ordonantie (HO) yang menyatakan bahwa : Pejabat yang memberikan izin itu dapat mengenakan syarat baru kepada pemegang izin itu, jika menurut pendapatnya memang memerlukan Sesuai dengan Pasal 6 dan Pasal 15 Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup itu bukan saja syarat baru menurut pajabat yang hidup bukan saja syarat baru menurut pajabat yang menberi izin, tetapi sudah merupakan sistem perizinan dalam sistem hukum lingkungan Indonesia berdasarkan Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup Tahun 1997.

Dengan ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 51 Thun 1993 tentang AMDAL atau Peraturan Pemerintah tentang AMDAL, sebagai pelaksana Undang-undang Pokok Lingkungan Hidup Tahun 1997 yang mengakui berlakunya ketentuan sektoral yang berhubungan dengan lingkungan, apabila tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, Pasal 5 AMDAL Tahun 1986 yang mengatur mengenai syarat-syarat perizinan terkait pula dengan sistem HO. Karena itu, keharusan mempertimbangkan gangguan dalam arti HO harus ditafsirkan sebagai meliputi pula Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang harus dilakukan oleh penanggung jawab kegiatan, sebagai syarat baru menurut Pasal 11 (Ayat 1) di atas. Terhadap kegiatan yang sudah ada, sesuai dengan ketentuan peralihan Pasal 38 dan 39 AMDAL diwajibkan membuat studi mengenai evaluasi dempak lingkungan atau SEMDAL. Yang menarik dari ketentuan hukum berdasarkan Hinder Ordonantie (HO) sebagaimana diuraikan di atas, meskopun ketentuan hukum ini dibuat sebelum ilmu dan teknologi berkembang seperti sekarang adalah tersedianya peluang yang luas untuk mengembangkan syarat-syarat perizinan, seperti diatur dalam Pasal 7 HO yang berbunyi : Apabila dengan persyaratan-persyaratan dapat diusahakan hilangnya keberatan-keberatan dengan bahaya kerugian atau gangguan, maka izin itu diberikan dengan bersyarat. Hal ini memperlihatkan terbukanya peluang untuk memberikan persyaratan baru atas dasar pertimbanagn atau keberatan tentang kemungkinan terjadinya bahaya, kerugian atau gangguan. Untuk menghindarinya terjadinya bahaya, kerugian atau gangguan, maka pembuat Undangundang akan memperlihatkan pula tersedianyan ancaman pidana terhadap setiap orang yang melakukan kegiatan yang berlawanan dengan syarat perizinan (aspek preventif). Hal ini diatur dalam Pasal 15 Ho, yang menyatakan bahwa : Pemilik, pemegang Bezit, pemakai atau pengurus tempat kerja sebagai tersebut dalam pasal 1 dihukum : a. Dengan hukuman selam-lamanya dua bulan atau denda sebanyak-banyaknya lima ratus gulden, jika ia mendirikan atau menjalankan tanpa izin yang dikehendaki atau jika ia berlaku berlawanan dengan alasan untuk kepentingan ketertiban, keselamatan atau kesehatan umum (Pasal 2 dan 3). b. Dengan hukuman kurungan selam-lamanya dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya dua ratus lima puluh gulden, jika ia berbuat berlawanan dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Untuk melaksanakan tindaka tersebut di atas, pejabat yang berwenang dapat mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan, termasuk wewenang memasuki tempat-tempat kerja walupun tanpa izin yang mendiami atau mempergunakan tempat kerja tersebut .. (Pasal 16 HO) dan mencabut izin (Pasal 18). Hal ini diperkuat pula oleh ketentuan hukum dalam Pasal 33 PP No. 20 Tahun 1990. Dengan adanya ketentuan ini, tindakan hukum yang dapat dikenakan pada setiap orang yang tidak melaksanakan AMDAL yang diatur oleh hukum administrasi, disamping memberikan wewenang untuk mencabut izin, menutup dan menyegel mesin-mesin atau tindakan lain untuk mencegah terjadinya akibat selanjutnya, terhadap perbuatan ini dapat juga dikenakan denda dan pidana kurungan, meskipun belum terbukti adanya pencemaran dalam arti hukum. Dengan disahkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian, selanjutnya disebut Undang-undang Pokok Tahun 1984, yang menetapkan keterkaitan undang-undang ini dengan Undang-undang Lingkungan Hidup Tahun 1997 syarat-syarat perizinan sebagaimana diatur dalam Pasal 13, 14 dan 15 berlaku pula bagi proses perizinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 AMDAAL Tahun 1993. Setiap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 1 dan Pasal 14 ayat 1 Undang-undang Pokok Tahun 1984, dipidana selama-lamanya 5 tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh juta rupiah dengan hukuman tambahan pencabutan izin usaha . (Silalahi, 1995 :36) Kriteria Kegiatan yang Diwajibkan Membuat AMDAL Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993, yang dimaksud dangan AMDAAL adalah merupakan hasil studi mengenai dampak penting suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Hasil studi ini terdiri

dari beberapa dokumen. Atas dasar dokumen ini kebijaksanaan dipertimbangkan dan diambil. Didalam menghasilkan dokumen, perlu dibuat tata laksana. Tata laksana ini merupakan suatu prosedur. Panjang dan pendeknya prosedur tergantung dari proyek pembangunan yang dilaksanakan (Fandeli, 1995 : 34). Semenjak berlakunya PP No. 51 Tahun 1993, maka KEP/14?MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sebagai peraturan yang menyusun AMDAL. Dengan dikeluarkannya KEP-14/MENLH/3/1994, maka kriteria yang diwajibkan dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) itu harus memperhatikan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). (Silalahi, 1995 : 140) Untuk mengetahui secara luas tentang kriteria kegiatan tersebut, maka keempat kegiatan tersebut haruslah diuraikan terlebih dahulu. I. KERANGKA ACUAN a. Pengertian Kerangka Acuan adalah ruang lingkup studi Analisis Dampak Lingkungan yang merupakan hasil pelingkupan (PP No.51/1993) b. Tujuan Penyusunan KA-ANDAL adalah untuk : 1. Merumuskan lingkup dan ruang studi ANDAL 2. Mengarahkan studi ANDAL agar berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan biaya, tenaga dan waktu yang tersedia (Soemaetono, 1996 : 164) c. Fungsi Dokumen KA-ANDAL : 1. Sebagai rujukan bagi pemrakarsa, instansi yang bertanggung jawab yang membidangi rencana usaha atau kegiatan, dan penyusunan studi ANDAL tentang lingkup dan kedalaman studi ANDAL yang akan dilakukan. 2. Sebagai salah satu bahan rujukan bagi penilaian dokumen ANDAL untuk mengevaluasi hasil studi ANDAL d. Manfaat Kerangka Acuan : 1. Kerangka Acuan menggambarkan ruang lingkup sesuatu pekerjaan yang disepakatinya bersama oleh pihak yang berkepentingan. Dengan disepakatinya ruang lingkup pekerjaan tersebut maka semua pihak yang akan berpegang pada KA tersebut, baik dalam proses pelaksanaan pekerjaan maupun dalam evaluasinya, yang dimaksud semua pihak dalam hal ini adalah pihak pemrakarsa, konsultan penyusun, komisi AMDAL, tim teknis dan instansi teknis yang bertanggung jawab. 2. Bahwa KA harus disusun dan disepakati bersama oleh semua pihak yang berkepentingan, yaitu : pemrakarsa. Instansi yang bertanggung jawab/komisi maupun calon penyusun ANDAL yang dimaksud untuk mmmempercepat proses penyelesaiannya. 3. Dasar pertimbangan perlunya KA-ANDAAL disusun adalah : a) Keanekaaragaman ANDAL bertujuan untuk menduga kemungkinan seperti tercantum di bawah ini. Terjadinya dampak dari sesuatu rencana kegiatan terhadap lingkungan, baik pada tahap pra konstruksi, maupun pasca konstruksi keanekaragaman faktor lingkungan , faktor manusia dam lain sebagainya. Kemungkinan timbulnyadampak lingkungan akan berbeda-beda pula. Dengan demikian, KA diberikan untuk memberikan arahan tntang komponen kegiatan manakah yang harus ditelaah, dan dokumen lingkungan manakah yang perlu diamati selama penyusunan ANDAAL. b) Keterbatasan Sumberdaya Pelaksanaan ANDAL seringkali dihadapkan pada keterbatasan sumber daya seperti waktu, dana, tenaga dan lain-lain sebagainya. KA memberikan keterbatasan tentang bagaimana menyesuaikan tujuan dan hasil yang ingin dicapai dalam keterbatasan sumberdaya tersebut tanpa mengurangi mutu ANDAL. Dalam KA ditonjolkan upaya untuk menuyusun prioritas yang harus diutamakan agar tujuan ANDAL dapat terpenuhi meskipun sumberdaya terbatas. c) Efisien Pengumpulan data dan informasi untuk kepentingan Andal perlu dibatasi pada faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan kebutuhan. Dengan cara ini maka ANDAL dapat dilaksanakan dengan efisien.

e. Hubungan Penyusunan KA dengan Pemakai ANDAL Dalam penyusunan KA perlu dipahami bahwa pemakai hasil ANDAL adalah para pengambil keputusan, perencanaan dan pengelolaan rencana kegiatan bersangkutan. Dengan demikian maka studi ini harus lebih ditekankan pada pendugaan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut terhadap lingkungan dan usaha penanganannya ditinjau dari segi teknologi, ekonomi dan lingkungan secara komprehensif. (Fandeli, 1995 : 42). II. ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN (ANDAL) Pengertian Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) adalah telaah secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana atau kegiatan (Pasal 1 PP No. 51 Tahun 1993). Pedoman umum penyusunan dokumen ANDAL berfungsi sebagai acuan bagi penyususnan Pedoman Teknis Penyusunan ANDAL, atau sebagai dasar penyususnan ANDAL bilamana Pedoman Teknis Penyusunan ANDAL usaha atau kegiatan yang bersangkutan belum tentu diterapkan. (Semartono, 1996 : 173). Penyusunan Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) perlu disusun sedemikian rupa sehingga dapat : 1. Langsung mengemukakan masukan penting yang bermanfat bagi pengambilan keputusan, perencanaan dan pengelolaan rencana usaha atau kegiatan; 2. Mudah dipahami isinya oleh semua pihak, termasuk masyarakat, dan mudah disarikan isinya bagi pemuatan dalam media masa, bila dipandang bperlu. 3. Memuat uraian singkat tentang : a. Rencana kegiatan atau usaha dengan berbagai kemungkinan dampak pentingnya. Baik pada tahap pra konstruksi, kontruksi maupun pasca kontruksi. b. Keterangan mengenai kemungkinan adanya kesenjangan data informasi serta berbagai kekurangan dan keterbatasan, yang dihadapi selama menyusun ANDAL. c. Hal lain yang dipandang sangat perlu untuk melengkapi ringkasan Fungsi dan pedoman umum penyusunan Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), antara lain : 1. Pedoman Umum Penyusunan ANDAL digunakan sebagai salah satu acuan bagi penyusunann Pedoman Teknis Penyusunan ANDAL atau sebagai dasar penyusunan ANDAL bilamana Pedoman Teknis Penyusunan ANDAL usaha-usaha atau kegiatan yang bersangkutan belum ditetapkan. 2. Pdoman Umum Penyusunan ANDAL berlaku pula bagi keperluan penyusunan AMDAL Kegiatan Terpadu/Multisektor,AMDAL Kawasan dan AMDAL Regional. (Silalahi, 1995 : 157). Dalam Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) ada 5 (lima) tahapan kegiatan utama yang akan dilaksanakan sebagai berikut : A. Pengumpulan Data dan Informasi tentang : a. Komponen rencana kegiatan b. Komponene rona lingkunagan awal Ad.a. Komponen rencana kegiatan Data yang dikumpulkan adalah data tentang berbagai aktivitas rencana kegiatan baik pada pra kontruksi, kontruksi maupun pasca kontruksi. Pemilihan data yang dikumpulkan tersebut harus mengutamakan data yang berkaitan langsung dengan berbagai dampak yang mungkin akan timbul apabila rencana kegiatan tersebut akan dilaksanakan nantinya. Ad.b. Komponen rona lingkungan awal Data yang dikumpulkan terutama komponen lingkungan (biogeofisik, sosial ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat), yang akan mengalami dampak akibat rencana kegiatan maupun yang dapat mempengaruhi terhadap rencana kegiatan tersebut. B. Proyeksi Perubahan Rona Lingkungan Awal Rona lingkungan awal merupakan kondisi lingkungan sesuai hasil analisis data lingkungan yang dikumpulkan sebelum ada kegiatan. Rona lingkungan awal ini akan mengalami perubahan akibat adanya rencana kegiatan apabila telah dilaksanakan nantinya. Besarnya perubahan lingkungan ini perlu diketahui menurut ruang dan waktu bagi kepentingan evaluasi maupun penanganan. C. Evaluasi Dampak Pnring Pada tahap evaluasi dampak penting ini, uraian yang disajikan meliputi hal-hal berikut ini :

a. Evaluasi dampak penting yang bersifat holistik terhadap seluruh dampak yang diperkirakan. Misal, dampak positif maupun dampak negatif dianalisis sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan pengaruh mempengaruhi sehingga akan diketahui pertimbangannya. b. Hubungan sebab akibat antara rencana kegiatan dengan rona lingkungan. Setiap rencana kegiatan apabila telah dilaksanakan akan menimbulkan dampak yang berbeda pada rona lingkungan yang berbeda. c. Ciri dampak penting Pada bagian ini yang perlu dikemukakan adalah sifat-sifat sesuatu dampak. d. Luas penyebaran dampak penting Sesuatu dampak mungkin akan mengenai sesuatu daerah yang sempit atau mungkin akan sangat luas. e. Cara pendektan dalam penanganan dampak Hal ini memuat cara penanganan dampak yang mungkin akan terjadi, baik dari segi ekonomi, teknologi maupun instansi. Dari segi ekonomi misalnya dengan bantuan, untuk menangguangi masalah lingkungan. Dari segi teknologi adalah dengan cara membatasi, mengisolasi atau menetralisasi terhadap bahan berbahaya dan bahan beracun. Dari segi instansi misalnya dengan mmmemperluas sistem pengelolaan agar hal yang menyangkutan penanggulangan masalah lingkungan dengan jalan merangsang kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan pengawasan dan lain sebagainya. D. Alternatif Pengelolaan dan Pemantauan lingkungan Uraian ini akan memuat hal-hal sebagai berikut : a. Komponen lingkungan terkena dampak, sumber dampak, tolak ukur dan bobot dampak untuk kepentingan pengelolaan maupun pemantauan lingkungan. b. Metode pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang mencakup faktor biogeofisik-kimia, sosial ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat. c. Saat pengelolaan dan pemantauan lingkungan akan dilaksanakan frekwensi kekerapannya menurut ruang dan waktu. d. Pelaksanaan yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan. (Fandeli, 1995 : 47). III. Rencana Pengelolaan Lingkungan Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) merupakan dokumen yang memuat upayaupaya mencegah, mengendalikan dan menanggulangi dampak penting lingkungan yang bersifat negatif dan meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai akibat dari suatu rencana usaha atau kegiatan. Dalam pengertian tersebut upaya pengelolaan lingkungan mencakup empat kelompok aktivitas antara lain : a. Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk menghindari atau mencegah dampak negatif lingkungan melalui pemilihan atas alternatif, tata letak lokasi dan rencana bangun proyek. b. Pengelolan lingkungan yang bertujuan untuk menanggulangi, meminimalisasi atau mengendalikan dampak negatif baik yang timbul di saat usaha atau kegiatan beroperasi, maupun hingga saat usaha atau kegiatan terakhir. c. Pengelolaan lingkungan yang bersifat meningkatkan dampak posityif sehingga dampak tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar baik kepada pemrakarsa maupun pihak lain terutama masyarakat yang turut menikmati dampak positif tersebut. d. Pengelolaan memberikan pertimbangan ekonomi lingkungan sebagai dasar untuk memberikan kompensasi atas sumber daya tidak dapat pulih, hilang atau rusak sebagai akibat usaha atau kegiatan. (Silalahi, 1995 : 173). Mengingat dokumen AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan, maka dokumen RKL hanya akan bersifat memberikan pokok-pokok arahan, prinsip-prinsip atau persyaratan untuk mencegah/mengendalikan dampak. Namun demikianlah apabila dipandang perlu dapat dilengakapi dengan acuan literatur tentang rancangan bangunan untuk mencegah/penanggulangan dampak. (Soemartono, 1996 : 175). Setelah dikeluarkannya PP No. 51 Tahun 1993 dokumen AMDAL bersamaan dengan dokumen ANDAL. Didalam dokumen ANDAL memang tercantum pula adanya materi RKL, namun bersifat arahan dan garis besar.

Untuk membuat RKL dapat dilaksanakan dengan pengumpulan data di lapangan RKL didasarkan pada adanya dampak penting yang timbul. RKL yang akan dilaksanakan disusun dengan pendekatan teknologi, ekonomi dan institusional. Sesuai dengan prosedur penyusunan dokumen ANDAL, RKL yang bersamaan sesuai PP No. 51 Tahun 1993 dan Kep. Men LH No. 14/3/1994 maka penyusunan RKL tidak perlu melakukan studi ke lapangan. (Fandeli, 1995 : 49) RKL berfungsi sebagai pedoman dalam menanggulangi dampak. Dengan demikian RKL dapat mengikat semua pihak untuk ikut membantu menanggulangi kemungkinan terjadinya dampak negatif dalam pembangunan. Dalam RKL dapat dikemukakan instansi yang bertindak sebagai koordinator, dan instansi lainnya yang bertindak sebagai pengawas dan pelaksana. (Fandeli, 1995 : 49) IV. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Yang dimaksud dengan pemantauan adalah pengukuran berdasarkan waktu atau suatu pengukuran yang berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu. Sehingga pengertian dari pemantauan lingkungan adalah pengulangan pengukuran pada komponen-komponen atau parameter lingkungan pada waktu-waktu tertentu. Pemantauan dampak lingkungan dapat pula diartikan sebagai berikut : pemantauan dampak lingkungan adalah pengulangan pengukuran pada komponen atau parameter lingkungan untuk mengetahui adanya perubahan lingkungan karena adanya pengaruh dari luar yaitu aktivitas proyek. (Husein, 1992 : 121). Pemantauan lingkungan dapat digunakan untuk memahami fenomena-fenomena yang terjadi pada tingkatan, mulai dari tingkat proyek sampai ke tingkat kawasan atau bahkan regional; tergantung pada skala keacuhan pada masalah yang dihadapi. Disamping skala keacuhan, ada 2 kata kunci yang membedakan pemantauan merupakan suatu kegiatan yang berorientasi pada data sistematik, berulang dan terencana. (Soemartono, 1996 : 178) Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan dokumen rencana pemantauan lingkungan, antara lain adalah : a. Komponen/parameter lingkungan yang dipantau hanyalah yang mengalami perubahan mendasar, atau terkena dampak penting. Dengan demikian tidak seluruh komponen lingkungan yang harus dipantau; hal-hal yang dipandang tidak penting atau tidak relevan tidak perlu dipandang. b. Uraian tentang keterkaitan yang akan dijalin antara dokumen ANDAL, RKL dan RPL. Aspekaspek yang dipantau perlu memperhatikan benar dampak penting yang dinyatakan dalam ANDAL, dan sifat pengelolaan dampal lingkungan yang dirumuskan dalam dokumen RKL. c. Pemantauan dapat dilakukan pada sumber penyebab dampak dan atau terhadap komponen lingkungan yang terkena dampak. d. Pemantauan lingkungan harus layak secara ekonomi walau aspek-aspek yang akan dipantau telah dibatasi pada hal-hal yang penting saja, namun biaya yang dikeluarkan untuk pemantauan perlu diperhatikan mengingat kegiatan pemantauan senantiasa berlangsung sepnjang usia, usaha atau kegiatan. e. Rencana pengumpulan dan analisis data serta aspek-aspek yang akan dipantau, mencakup hal : 1. Jenis data yang dikumpulkan 2. Lokasi pemantauan 3. Frekwensi dan jangka waktu pemantauan 4. Metode pengumpulan data f. Dokumen RPL perlu memuat kelembagaan pemantauan lingkungan, yang dimaksud disini adalah instansi yang bertanggung jawab sebagai penyandang dana pemantauan, pelaksanaan pemantauan, penggunaan hasil pemantauan dan pengawasan kegiatan pemantauan. (Silalahi, 1995 : 185) Akibat Hukum Jika Suatu Perusahaan Tidak Melaksanakan Amdal Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Lingkungan Hidup yang menegaskan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sisi lain dari hak ini adalah kewajiban setiap

orang untuk memelihara lingkunga hidup dan mencegah serta menaggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Kewajiban setiap orang tersebut adalah tidak terlepas dari kedudukannya sebagai anggota masyarakat yang mencerminkan harkat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. (Suparni, 1994 : 166). Jadi penegakan didalam hukum lingkungan itu harus diatur segala bentuk pelanggaran maupun kejahatan bagi pelaku baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum dengan upaya pencegahan (preventif) maupun penindakan (represif). Untuk tindakan represif ini ada beberapa jenis instrumen yang dapat diterapkan dan penerapannya tergantung dari keperluannya, sebagai pertimbangan lain melihat dampak yang ditimbulkan, yaitu : Administratif, Perdata dan Pidana. (Subagyo, 1992 : 81). Aspek Perdata Dalam Penegakan Hukum Perdata Penggunaan instrumen hukum perdata dalam menyelasaikan sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup, pada hakekatnya memperluas upaya penegakan hukum dari berbagai peraturan perundang-undangan, sebab : Pertama : Dengan melalui hukum perdata dapat dipaksakan ketaatan pada norma-norma hukum lingkungan baik yang bersifat hukum privat maupun hukum publik, misalnya : wewenang hukum perdata untuk menjatuhkan putusan yang berisi perintah atau larangan (Verbod of Gebod) terhadap seorang yang telah bertindak secara bertentangan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam suatu Verguning (surat izin) yang berkaitan dengan masalah lingkunga hidup. Kedua : Hukum perdata dapat memberikan penentuan norma-norma (Nomstelling) dalam masalah lingkungan hidup, misalnya : melalui putusan hakim perdata dapat dirumuskan norma-norma tentang tindakan yang cermat yang seharusnyadiharapkan dari seseorang dalam hubungan masyarakat. Ketiga : Hukum perdata memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atas pencemaran lingkungan terhadap pihak yang menyebabkan timbulnya pencemaran tersebut, yang biasanya dilakukan melalui gugatan perbuatan melawan hukum. Mengenai aspek keperdataan perlu dibedakan antara penerapan hukum perdata oleh instansi yang berwenang melaksanakan kebijaksanaan lingkungan dan penerapan hukum perdata untuk melaksanakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan. (Suparni, 1994 : 173). Dengan demikian tujuan pembangunan penegakan hukum lingkungan melalui penerapan kaedah-kaedah hukum perdata adalah terutama untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap alam lingkungan maupun si korban yang menderita kerugian sebagai akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. (Lotulung, 1993 : 2). Ganti kerugian dan pemulihan ini diatur dalam Pasal 20 UU Lingkungan Hidup Yang berbunyi sebagai berikut : (1) Barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memikiul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar hanya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (2) Tata cara pengaduan oleh penderita, tata cara penelitian oleh tim tentang bentuk, jenis dan besarnya kerugian serta tata cara penuntutan ganti kerugian diatur dengan peraturan perundang-undangan. (3) Barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memikul tanggung jawab membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada negara. (4) Tata cara penetapan dan pembayaran biaya pemulihan lingkungan hidup diatur dengan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 20 ini menyatakan bahwa : Ayat (1) : Kerugian merupakan konsekwensi setiap orang untuk melestarikan kemampuan lingkungan guna menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Ayat (2) : Bentuk dan jenis kerugian akibat perusakan dan pencemaran akan menentukan besarnya kerugian. Penelitian tentang bentuk, jenis dan besarnya kerugian dilakukan oleh tim yang dibentuk pemerintah. Penelitian meliputi bidang ekologi, medis, sosial budaya dan lain-lain

yang diperlukan. Tim yang terdiri dari pihak penderita atau kuasanya, dan unsur pemerintah dibentuk untuk tiap-tiap kasus. Bilamana tidak tercapai kata sepakat dalam batas waktu tertentu, maka penyelesaiannya diatur melalui Pengadilan Negeri. Ayat (3) : Disamping kewajiban membayar gani kerugian sebagaimana tersebut dalam penjelasan ayat (2), perusak dan atau pencemar lingkungan hidup berkewajiban juga membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada negara untuk keperluan pemulihan. Tim yang dimaksud dalam penjelasan ayat (2) dapat pula diserahi tugas untuk menetapkan besarnya biaya pemulihan lingkungan hidup. Ayat (4) : Cukup jelas Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 20 UU Lingkungan hidup ini menunjukkan dua hal, yaitu ganti kerugian kepada penderita dan biaya pemulihan lingkungan yang telah rusak/tercemar yang perlu dibayar kepada negara. 1. Ganti Kerugian Kepada Penderita Pasal 20 ayat (1) menganut prinsip pencemaran membayar (Polluter Pays Principle). Prinsip tersebut merupakan azas yang dianut dan diterapkan secara konsekwen sebagai salah satu kebijakan lingkungan dan jalan keluar bagi kasus pencemaran. Pasal 20 ayat (2) menentukan tentang berbagai cara yang perlu diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pertama-tama adalah mengenai tata cara pengaduan oleh penderita. Hal ini penting sekali diatur, karena dalam banyak hal penderita ini adalah rakyat biasa yang kurang mengetahui bagaimana mempergunakan haknya untuk meminta ganti rugi karena penderitaan yang mereka alami sebagai akibat perusakan dan atau pencemaran. ( Harjosomantri, 1993 : 352). 2. Biaya Pemulihan Lingkungan Pembayaran ganti kerugian kepada penderita tidak membebaskan si perusak dan atau pencemar dari kewajibannya untuk membayar biaya pemulihan lingkungan yang telah rusak dan atau telah tercemar oleh perbuatan itu. Kewajiban inidiatur dalam Pasal 20 ayat (3) UU Lingkungan Hidup. Biaya ini dibayar kepada negara karena negaralah yang mempunyai kemampuan dengan fasilitas yang ada padany untuk melakukan upaya pemulihan lingkungan yang telah rusak dan atau tercemar itu. (Suparni, 1994 : 176). Didalam Pasal 20 ayat (4) yang telah menyatakan tentang perlunya diatur dengan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penetapan dan pembayaran biaya pemulihan tersebut. Dalam hubungan ini, hasil penelitian oleh tim sebagaimana disebut dalam Pasal 20 ayat (2), dapat dimanfaatkan untuk keperluan penetapan biaya pemulihan. (Hardjosoemantri, 1993 : 353). 3. Azas Tanggung Jawab Mutlak Dalam hubungan dengan penyelesaian ganti kerugian ketentuan yang dipakai adalah sebagaimana tertera dalam Pasal 1243 dan Pasal 1365 KUH Perdata : Pasal 1234 KUH Perdata : Penggantian biaya kerugian dan bunga karena tak terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang,setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika suatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tengang waktu yang telah dilampauinya Pasal 1365 KUH Perdata : Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena selahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut Prinsip yang digunakan kedua pasal tersebut adalah Liability Based on Fault dengan nbeban pembuktian yang memberatkan penderita. Ia baru akan memperoleh ganti kerugian apabila ia berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tergugat. Kesalahan disini merupakanunsur yang menentukan pertanggung jawaban, yang berati bila tidak adanya bukti kesalahan, tidak ada kewajiban memberi ganti kerugian. Dalam hal menurut ganti kerugian berhubung dengan penderitaan akibat kerusakan dan atau pencemaran, pasal yang dapat

digunakan adalah pasal 1365 KUH Perdata. (Suparni, 1994 : 177). Dalam kaitan dengan pembuktian perlu dikemukakan Pasal 1865 KUH Perdata yang menyatakan : Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas nama,ia mendasarkan sesuatu hak, kewajiban membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain diwajibkanjuga membuktikan peristiwaperistiwa itu. Rudiger Lummert Mengemukakan, bahwa dengan berkembangnya industrialisasi yang menghasilkan resiko yang bertambah besar serta makin rumitnya hubungan sebab-akibat, maka teori hukum telah menghasilkan konsep Resiko dan meninggalkan konsep Kesalahan. Konsep tanggung jawab mutlak diartikan terutama sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama tanggung jawab mutlak adalah tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya kesalahan. Berdasarkan prinsip pencemar membayar dan azas tanggung jawab mutlak ini, dikembangkanlah di dalam ilmu hukum prosedur tentang pembuktian yang oleh Krier disebut Shifting(or Alleviating) of Burden of Proofs. Dengan adanya pembalikan beban pembuktian tidak merupakan halangan bagi penderita atau pencipta Lingkungan baik dan sehat untuk berperkara di depan pengadilan sebagai penggugat, karena adalah tanggung jawab dari tergugat untuk membuktikan bahwa kegiatan-kegiatannya yang mengandung resiko tudak mempunyai akibat-akibat yang berbahaya atau menimbulkan gangguan (pencemaran atau perusakan). Dengan demikian, maka dalam perkara lingkungan seseorang bertanggung jawab atas akibat kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ia membuktikan bahwa ia tidak dapat dipersalahkan. Azas tanggung jawab mutlak telah dimasukkan dalam UU Lingkungan hidup,yaitu dalam Pasal 21 yang berbunyi : Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam peraturan perundangundangan yang bersangkutan. Penjelasannya adalah sebagai berikut : Azas tanggung jawab mutlak dikenakan secara selektif atas kasus yang akan ditetapkan berdasrkan peraturan perundang-undangan yang dapat menentukan jenis dan kategori kegiatan yang akan terkena oleh ketentuan-ketentuan termaksud. (Hardjosoemantri, 1993 : 358). Aspek Administrasi Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Pemrakarsa yang tidak melakukan AMDAL dapat dikenakan ketentuan hukum yang dalam sistem perizinan, misalnya Pasal 11 ayat (1) HO (Hinder Ordonantie) tentang keharusan memenuhi syarat-syarat baru dalam sistem perizinan dikembangkan dengan memperhatikan Pasal5 AMDAL 93, Pasal 12 ayat (1) Ho tentang wewenang membuat izin oleh instansi yang berwenang dikaitkan dalam Pasal 33 Bab Pengawasan dan Pemantauan, Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, dan Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 26, sebagai akibat tidak dilaksanakannya Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1985 tentang Perindustrian. Tanggung jawab konsultan AMDAL sebagai akibat tidak dipenuhinya persyaratan kualifikasi penyusunan AMDAAL dapat ditelusuri berdasarkan Pasal 30 PP AMDAL-86 (dijadikan bagian dari Pasal 20 AMDAL-93) dan ketentuan undang-undang lain yang relevan dengan tugas konsulat. Pejabat yang mengambil keputusan atau pejabat lain yang melakukan tugas pengawasan atas pelaksanaan AMDAL dapat diancam dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). (Silalahi, 1995 : 50). Aspek/saran administratif dapat bersifat preventif dan bertujuan menegakkan peraturan perundang-undangan. Upaya penegakan hukum dapat ditetapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan perizinan, baku mutu lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL), dan sebagainya.

Sarana administratif dapat ditegakkan dengan kemudahan-kemudahan terutama di bidang keuangan, seperti keringanan bea masuk alat-alat pencegahan pencemaran dan kredit bank untuk biaya pengelolaan lingkungan dan sebagainya. (Suparni, 1994 : 166). Jadi penegakan hukim preventif berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan atas peraturan tanpa kejadian-kejadian langsung yang menyangkut kejadian konkrit yang menimbulkan dugaan keras bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Upaya ini dapat dilakukan dengan penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan. (Silalahi, 1995 : 51). Aspek/sarana administratif dapat bersifat represif oleh pengusaha terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan lingkungan administratif pada dasarnya bertujuan untuk mengakhiri secara langsung keadaan terlarang itu. Sanksi administratif terutama mempunyai fungsi instrumental (Een Instrumentele Functie), yaitu penanggulangan dan pengendalian perbuatan terlarang. Disamping itu sanksi administrasi terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut. Beberapa jenis sarana penegakan huum administrasi adalah sebagai berikut : 1. Penyerasian peraturan (Harmonisering) 2. Tindakan paksa (Bestuursdwang) 3. Uang paksa (Publiekrechtelijk Dwangsom) 4. Penutupan tempat usaha (Sluiting Van Een Inrichting) 5. Penghentian kegiatan mesin perusahaan (Buitengebruiksteling Van Een Toestel) 6. Pencabutan izin melalui proses : teguran, paksaan, kepolisian, penutupan dan uang paksa Kewajiban setiap orang seperti tersebut dalam Pasal 5 UU Lingkungan Hidup secara lebih khusus diatur dalam ketentuan Pasal 7 UU Lingkungan Hidup, menurut ketentuan ini setiap orang yang menjalankansuatu bidang usaha wajib memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Kewajiban tersebut harus dicantumkan pada setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab. Denga adanya kewajiban tersebut yang dijadikan salah satu syarat dalam pemberian izin, maka penyelanggaran bidang usaha senantiasa terikat guna melakukan tindakan pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Pelanggaran kewajiban yang tercantum dalam izin berakibat dikenakannya sanksi administrastif, dapt berupa peringatan kepada pemegang izin, penghentian sementara kegiatan atau pencabutan izin. (Suparni, 1994 : 167). Jadi dalam rangka penjatuhan sanksi administratif terhadap pencemaran lingkungan masih terdapat perbedaan pendapat, yang disebabkan oleh alasan-alasan non yuridis antara lain terhadap akibat penutupan perusahaan yang dikaitkan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibatnya terjadi pengangguran. Kendala-kendala/hambatan inilah yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum lingkungan dari aspek hukum administratif. Peraturan perundang-undangan lingkungan yang mengadung prosedur administratif dalam proses pengambilan keputusan administratif negara adalah : a) Ordonantie Gangguan (HO) Stbll. 1926 No. 226, Pasal 5 ayat (3) Menyantumkan bahwa setiap orang berhak dalam waktu satu sebulan menyerahkan atau menyatakan keberatannya terhadap pemberian izin tempat usaha. Namun dalam praktek peran serta yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) HO ini tidak pernah dimanfaatkan oleh yang berkepentingan. b) Peraturan Pemerintah N0. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL Pasal 22 ayat (1) PP AMDAL mengatur tentang kewajiban membuat AMDAL setiap rencana kegiatan oleh instansi yang bertanggung jawab. Sedangkan dalam ayat (2) ditetapkan bahwa dokumen AMDAL bersifat terbuka untuk umum, selanjutnya ayat (3) mencantumkan bahwa Sifat Keterbukaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilaksanakan dalam bentuk peran serta masyarakat mengemukakan saran dan pemikirannya secara lisan dan/atau tertulis kepada komisi. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 22 ayat (1) dinyatakan bahwa pengumuman rencana kegiatan dapat dilakukan melalui media masa dan/atau papan pengumuman di instansi yang

bertanggung jawab. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menyampaikan saran dan pemikirannya. Namun dari aspel hukum lingkungan administarttif, ketentuan Pasal 22 ayat (3) tersebut masih perlu dirinci lebih lanjut dalam bentuk prosedur peran serta masyarakat, karene pPAsal 22 PP AMDAAAL tidak mengatur secara jelas dan rinci prosedur peran serta masyarakat tersebut. c) Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian Salah satu upaya pencegahan pencemaran lingkungan diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU Perindustrian yang menetapkan bahwa Setiap pendirian usaha industri baru maupun setiap perluasan wajib memperoleh izin usaha industri, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1987 tentang Izin Usaha Industri Dari pembahasan tentang aspek hukum administrasi dalam rangka penegakan hukum lingkungan nampak bahwa bidang hukum administrasi belum sepenuhnya mendapat pembahasan dan pengembangan antara lain seperti : peraturan pelaksanaan mengenai pencemaran lingkungan dalam berbagai instrumen hukum seperti AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), baku mutu lungkungan, perizinan lingkungan, sebagai kelemahan yang memerlukan penyempurnaan. (Silalahi, 1995 : 53). Aspek Pidana Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Pelaksanaan Studi AMDAL berhubungan pula dengan aspek hukum pidana. Karena pelaksanaan studi ini dengan cara yang tidak sebagaiman mestinya, misalnya karena pertimbangan untuk menghemat waktu, biaya dan tenaga akan tetapi kemudian ternyata kegiatan itu menimbulkan pencemaran dan atau perusakan, dapat menyebabkan kasus yang diselesaikan melalui proses pengadilan pidana. Untuk memahami sejauh mana kaitan studi AMDAL dengan hukum pidana, perlu diketengahkan konsep-konsep hukum pidana yang meliputi : perumusan tindak pidana (delik) lingkungan, bentuk kesalahan pelaku dalam tindak pidana lingkungan dan pertanggungjawaban pidananya. (Husein, 1992 : 225). Menurut Andi Hamzah, pengertian Delik Formil adalah delik yang semata-mata melakukan perbuatan tertentu, diancam dengan pidana, seperti pada Pasal 160 (menghasut), Pasal 362 (Pencurian),. Sedangkan delik materiil adalh delik yang dengan terjadinya akibat yang tidak dikehendaki undang-undang, maka terciptalah delik, misalnya pembunuhan ada akibat matinya korban. Bila dikaitkan dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal 22 UU Lingkungan Hidup, maka dapat ditafsirkan bahwa delik ini adalah Delik Materiil, yaitu akibatnya lingkungan hidup menjadi rusak. (Silalahi, 1995 : 59). Menyangkut masalah siapa yang menjadi subyek tindak pidana lingkungan dapat dilihat dari isi Pasal 22 UU Lingkungan Hidup yang dirumuskan dalam kata-kata barang siapa yang lebih cenderung menunjuk pada subjek hukum orang perorang, sebab tidak secara tegas menyebutkan subjek hukum. Apabila disimak lebih lanjut pada kutipan kalimat .Rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam Undang-undang ini atau Undang-undang lain.. Maka subjek tindak pidana lingkungan dapat pula berupa badan hukum, misalnya pada Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undangundang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan dan sebagainya. Dari isi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ketentuan pidana Pasal 22 UU Lingkungan hidup berlaku pula pada badan hukum yang melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan hidup. (Silalahi, 1995 : 59). UU Lingkungan Hidup hanya menggariskan pokok-pokok pengelolaan lingkungan menurut garis besarnya, disamping itu merumuskan pula tindak tindak pidana (delik) lingkungan berupa pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Pengaturan tindak pidana lingkungan tersebut bersifat substansial. Dalam UU Lingkungan Hidup terdapat ketentuan prosedural, yang mengatur tata cara penanganan suatu kasus tindak pidana lingkungan. Karena ketentuan-ketentuan prosedural tersebut tidak terdapat dalam UU Lingkungan Hidup, maka ketentuan-ketentuan prosedural terdapat dalam Uu N0. 8 Tahun 1982 (KUHAP) yabg harus dipergunakan. Khusus mengenai pembuktian, diatur dalam Pasal 183 sampai 189 KUHAP. Pembuktian tindak pidana lingkungan tidak dapat dipersamakan dengan pembuktian tindak pidana lainnya. Di dalam pembuktian tindak pidana lingkungan melalui pendekatan terpadu lintas disiplin dan diperlukan kemampuan menterjemahkan fakta-fakta hukum.

2. Setelah Berlakunya Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Konsep dasar analisis mengenai dampak lingkungan dapat dilihat dari pengertian di bawah ini : 1. Beberapa perumusan yaitu : a. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidupa adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelanggaraan usaha dan/atau kegiatan. (Pasal 1 angka 21) b. Prof. Otto Soemarwoto Analisis Mengenai Dampak Lingkungan diartikan sebagai suatu aktivitas ilmiah, terapan yang ditujukan mengidentifikasikan, menafsirkan dan memberi informasi tentang dampak yang akan ditimbulkan oleh aktivitas pembangunan terhadap kehidupan manusia dalam ekosistem yang bermanfaat bagi perjuangan hidup manusia. c. Prof. I. Soerinegara Idealnya pendugaan pengaruh terhadap lingkungan harus dilakukan pada waktu sebelum ada proyek pada waktu berjalan , pada waktu proyek selesai dan beberapa waktu sesudah proyek selesai, jadi pendugaan atau analisis pengaruh terhadap lingkungan adalah suatu kegiatan monitoring terus-menerus. d. Prof. Menadjad Darusaputra Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah suatu studi yang mempelajari pengaruh dari suatu kegiatan manusia, khususnya suatu proyek terhadap lingkungan secara utuh dan menyeluruh baik pengaruh yang positif maupun negatif dengan tujuan untuk terakhirnya memperkecil pengaruh negatifnya dan memperbesar pengaruf positifnya terhadap lingkungan. (Abdurrahman, 1986 : 81-81) 2. Menurut Ir. Kaslan A. Thohir Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah cara pengukuran dampak lingkungan proyek atau pengukuran perbedaan kondisi lingkungan yang diperkirakan akan tanpa adanya proyek dan yang diperkirakan akan adanya proyek. (Thohir, 1985 : 288) 3. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi prosrs pengambilan keputusan tentang penyelenggaran usaha dan/atau kegiatan. (Pasal 1 angka 1) Disamping beberapa pengertian di atas dalam Anlisis Mengenai Dampak Liungkungan merupakan keseluruhan proyek yang meliputi penyusunan berturut-turut : 1. Penyajian Informasi Lingkungan (PIL) 2. Kerangka Acuan (KA) bagi penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan 3. Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) 4. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) 5. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). (Suparni, 1992 : 95) Dari pengertian di atas dapt kita simpulkan dua hal, yaitu : 1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Merupakan bagian dari proses percanaan dan intsrumennya dari pengambilan keputusan. 2. Tidak semua rencana kegiatan itu wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hanyalah rencana kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup. (Suparni, 1992 : 95) 1. Dampak Lingkungan Menurut Otto Soemareoto dampak adalah : Suatu kegiatan atau perubahab yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik, maupun biologi, misalnya senburan asap beracun dari kawah gunung Dieng adalah aktivitas alam yang bersifat kimia, gempa bumi adalaha aktivitas fisik, dan pertumbuhan eceng gondok merupakan aktivitas biologi. Aktivitas dapat pula dilakukan manusia, misalnya pembangunan sebuah pelabuhan dan penyemprotan dengan

pestisida. Dalam konteks Analisis Mengenai Dampak Lingkungan , penelitian dampak dilakukan karena adanya rencana aktivitas manusia dalam pembangunan. (Soemarwoto, 1990 : 43) Dampak pembangunan menjadi masalah karena perubahan yang disebabkan pembangunan selalu lebih luas dari pada yang menjadi sasaran pembangunan yang diharapkan . Di samping iti pembangunan juga menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Dampak penting itu dapat kita lihat dari penjelasan Pasal 15 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 jo Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999, yaitu : a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak; b. Luas wilayah penyebaran dampak; c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak; e. Sifat kumulatif dampak; f. Berbalik (reversible) atau tidak berbalik (irrreversible) dampak. Berdasarkan tingkat perkembangan ilmu dan teknologi diidentifikasikan ada sembilan perkembangan kategori kegiatan yang mempunyai potensi menimbulkan dampak lingkungan hidup. Kategori tersebut dapat kita lihat pada Pasal 3 ayat (1) dari penjelasan Peraturan Pemerintah N0. 27 Tahun 1999, yaitu ; 1. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, misalnya pembuatan jalan, bendungan/dam, jalan kereta api dan pembukaan hutan; 2. Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbarui maupun yang tak terbarui, misalnya kegiatan pertambangan dan eksploitasi hutan; 3. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya, misalnya pemanfaatan tanah yang tidak diikuti dengan usaha konservasi dan penggunaan energi yang tidak diikuti dengan teknologi yang dapat mengefisienkan pemakaiannya. 4. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya, misalnya kegiatan yang menimbulkan perubahan atau pergeseran struktur tata nilai, pandangan dan/atau cara hidup masyarakat setempat; 5. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya, misalnya kegiatan yang proses dan hasilnya menimbulkan pencemaran, kerusakan kawasan konservasi alam, atau pencemaran benda cagar budaya; 6. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik, misalnya introduksi suatu jenis tumbuhan baru atau jasad renik (mikro organisme) yang dapat menimbulkan jenis penyakit baru terhadap tanaman, introduksi suatu jenis hewan baru dapat mempengaruhi kehidupan hewan yang telah ada; 7. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati, misalnya penggunaan bahan hayati dan non hayati mencakup pula pengertian perubahan; 8. Penerapan teknologi untuk mempengaruhi lingkungan hidup, misalnya penerapan teknologi yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan; 9. Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara. Mengenai daya dukung lingkungan dapat dilihat pada Pasal 1 angka 8 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 yaitu daya dukung lingkunga hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung peri kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sedangkan mengenai baku mutu lingkungan disebutkan dalam Pasal 1 Angka 11 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup , zat energi, atau komponen yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Kedua pasal itu menentukan jika terjadi pencemaran, sebagai batas tolak ukur dari suatu akibat pembangunan. Selain menimbulkan dampak fisik pembangunan juga menimbulkan dampak nonfisik yaitu sosial budaya dan kesehatan masyarakat. Untukitulah seharusnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan menyangkut ketiga aspek tersebut diatas. Diintegrasikan ketiga aspek tadi

kedalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan lebih menguntungkan daripada dipisahkan. Dengan demikian bagi pemrakarsa proyek harus memakai ketiga dampak tersebut agar dalam pelaksanaanya nanti tidak menimbulkan kerugian bagi proyeknya. 2. Pihak-pihak yang berkepentingan Pihak-pihak yang berkepentingan atau terkait dalam analisis mengenai dampak lingkungan sangat penting sekali. Sebab para pihak inilah yang akan menentukan pelaksanaan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Oleh karena itu peranan para pihak sangat berpengaruh berhasil tidaknya pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Ada tiga Aspek yang berkepentingan didalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yaitu: 1. Pemrakarsa 2. Aparatur Pemerintah 3. Masyarakat Ad. 1. Pemrakarsa Menurut Peraturan pemerintah No. 27 Tahun 1999 Pasal 1 angka 7, menentukan pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Adapun yang dimaksudkan dengan orang adalah adalah orang seorang , kelompok orang, atau badan-badan hukum, sedangkan yang dimaksud dengan badan yaitu meliputi badan-badan pemerintahan dan badan usaha milik negara. Rumusan pengertian yang demikian memberikan penegasanbahwa Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 berlaku terhadap rencana kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadaap negara maupun swasta. Ad.2. Aparatur Pemerintah Aparatur pemerintah yang berkepentingan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dapat dibedakan antara instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan. Yang dimaksudkan dengan instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa kewenangan ditingkat pusat berada pada kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan ditingkat daerah pada Gubernur (Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999). Sedangkan instansi yang membidangi usaha dana atau kegiatan adalah instansi yang membina secara teknis usaha dan atau kegiatan dimaksud. Untuk menilai dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dibentuk komisi, yaitu komisi pusat dan komisi daerah. Komisi pusat dibentuk oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen yang membidangi usaha atau kegiatan yang bersangkutan, sedangkan komisi daerah dibentuk oleh gubernur Kepala Daerah Tingkat I (Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999) Tugas menilai yang dilakukan oleh komisi pusat meliputi dan menetapkan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dari rencana kegiatan yang dibiayai oleh : 1. Anggaran Pendapat dan Belanja Negara sejauh mengenai kegiatan yang bersangkutan. 2. Swasta, yang izin usaha dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di tingkat pusat (Suparni, 1992 : 104). Sedangkan tugas menilai yang dilakukan oleh komisi daerah meliputi menilai dan menetapkan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan rencana kegiatan yang dibiayai oleh : 1. Angaran Pendapat dan Belanja Negara 2. Angaran Pendapat dan Belanja Negara, apabila penyelenggaraan rencana kegiatan tersebut diserahkan kepada daerah. 3. Swasta, yang izin usahanya dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di tingkat daerah. (Suparni, 1992 : 107). Dalam penyelenggaraan tugasnya, baik komisi pusat maupun daerah masing-masing dibantu oleh tim teknis yang terdiri dari lulisan kursur atau pakar pembantuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Ad.3. Masyarakat Dilaksanakannya suatu rencana kegiatan dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan biofisik dan lingkungan sosial. Adanya dampak sosial yang ditimbulkan oleh

pelaksanaan suatu kegiatan mempunyai arti semakin pentingnya peran serta masyarakat, dalam kaitannya dengan pelaksanaan keggiatan tersebut. Karena itu warga masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban perlu diikutsertakan dalam proses penelitian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Diikutsertakannya warga masyarakat dalam menyampaikan pendapat dan saran, maka dapt dicapai suatu keputusan yang optimal. Diikutsertakannya warga masyarakat akan memperbesar kesediaan masyarakat menerima keputusan dan pada gilirannya akan memperkecil kemungkinan timbulnya sengketa lingkungan. Diikutsertakannya warga masyarakat hendaknya dilakukan sejak awal perencanaan suatu kegiatan proyek tertentu. 3. Metode Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Menurut Otto Soemarwoto dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan terdiri dari : 1. Penapisan 2. Pelingkupan 3. Prakiraan dan Evaluasi Dampak 4. Pengelolaan Lingkungan 5. Pelaporan (Soemarwoto, 1990 : 91-99) Setiap langkah-langkah itu memiliki tijian yang ingin dicapai. Masing-masing tujuan itu walaupun baik untik suatu tujuan tertentu, tetapi belum tentu sesuai untuk tujuan lain. Ad.1. Penapisan Tujuan penapisan adalah untuk memilih rencana pembangunan yang harus dilengkapi dengan Anlisis Mengenai Dampak Lingkungan. Metode yang dipakai dalam hal ini adalah : 1. Metode Penapisan Bertahap Dalam metide ini dilakukan secara bertahap, dalam beberapa langkah yaitu dengan daftar positif dan penyajian informasi lingkungan. 2. Metode Penapisan Satu Langkah Dalam metode ini hanya melihat daftar positif proyek sebagai kriteria. Apbila proyek mempunyai dampak, maka dibuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, jika tidak maka tidak perlu dibuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Ad.2. Pelingkupan Tujuan pelingkupan adalah untuk membatasi penelitian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan pada dampak pentinga saja. Metode yang sesuai dengan pelingkupan adalah metode identifikasi hal penting. Metode ini diperoleh melalui telaah uraian proyek dan penelitian lapangan di daerah proyek, telaah literatur dan wawancara secara kuesioner, partisipasi observasi dan metode delphi yaitu konferensi jarak hauh dengan menggunakan kuisioner dengan para ahli analisis mengenai lingkungan. Ad.3. Prakiraan dan Evaluasi Dampak Prakiraan dapat ditentukan dari sebelum suatu perusahaan didirikan dan sesudah perusahaan didirikan. Hal ini menyangkut dampak positif dan negatif. Metode yang sesuai dengan prakiraan dampak yaitu : 1. Metode informal dilakukan berdasarkan pengalaman 2. Metode formal dilakukan dengan menggunakan : a. Model prakiraan cepat yaitu dengan mengambil data yang sudah tersedia oleh badan lain. b. Model matematika dengan mengambil model yang khusus dikembangkan dalam penelitian analisis dampak lingkungan, misalnya dengan komputer. c. Model fisik dilakukan dengan menggunakan skala tertentu. d. Model eksperimen yaitu dengan cara melakukan eksperimen di lapangan atau di laboratarium. Sedangkan untuk metode Evaluasi Dampak dapat dilakukan dengan cara : 1. Metode informal yaitu dengan memberi nilai verbal, misalnya kecil, sedang atau besar. 2. Metode formal terbagi dua, yaitu : a. Metode pembobotan yaitu setiap kegiatan untuk mencari data diberi data tertentu. b. Metode ekonomi yaitu metode yang diterapkan pada dampak yang mempunyai nilai uang. Ad. 4. Pengelolaan Lingkungan

Metode yang sesuai dengan pengelolaan lingkungan adalah metode prakiraan atau dikembangkan sesuai dengan kaidah bidang yang bersangkutan. Ad.5. Pelaporan Hasil penelitian di atas pada akhirnya dibuat hasil penelitian dalam bentuk laporan. Suatu tuntutan dalam membuat penulisan laporan adalah untuk membuat bagian dalam berbagai bidang menjadi satu kesimpulan, karena itu dalam laporan ini terdapat multi disiplin dalam pembuatan laporan penelitian. 3. Kadaluarsa dan Batalnya Keputusan Aanalisis Mengenai Dampak Lingkungan 1. Kadaluarsa keputusan persetujuan Anlisis Mengenai Dampak Lingkungan. Menurut Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 adalah : (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan dinyatakan kadaluarsa atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini, apabila renmcana dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahunsejak diterbitkannya keputusan kelayakan tersebut. (2) Apabila keputusan kelayakan lingkungan hidup dinyatakan kadaluarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka untuk melaksanakan rencana usaha dan/atau kegiatannya, pemrakarsa wajib mengajukan kembali permohonan persetujuan atas analisis dampak lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang bertanggung jawab. (3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) instansi yang bertanggung jawab memutuskan : a. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang pernah disetujui dapat sepenuhnya dipergunakan kembali; atau b. Pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai dengan Ketentuan Peraturan Pemerintah ini. 2. Batalnya Keputusan Persetujuan Analisis Dampak Lingkungan Menurut Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999, yaitu : Menurut Pasal 25 PP No. 27 Tahun 1999 adalah : (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa memindahkan lokasi usaha dan/atau kegiatannya. (2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan di lokasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) pemrakarsa wajib membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Menurut Pasal 26 PP No. 27 Tahun 1999 adalah : (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa mengubah desain dan/atau bahan penolong. (2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemrakarsa wajib membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Menurut Pasal 27 PP No. 27 Tahun 1999 adalah : (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat mandasar sebagai akibat peristiwa alam atau karena akibat lain sebelum dan pada waktu usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan. (2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) pemrakarsa wajib membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup baru sesaui dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Jadi jelas untuk dinyatakan batalnya keputusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, apabila : 1. Pemrakarsa memindahkan lokasi usaha dan/atau kegiatannya; 2. Pemrakarsa mengubah desain dan/atau proses dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan penolong;

3. Terjadinya peribahan lingkungan hidup yang sangat mendasar sebagai akibat peristiwa alam atau karena akibat lain sebelum dan pada waktu usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan. Oleh karena itu perubahan lingkungan ini menyangkut perubahan positif atau perubahan negatif bagi kegiatan pembangunan. B. Dasar Hukum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Di Indonesia dasar hukum untuk melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalh Ketentuan Pasal 16 Undang-undang No. 4 Tahun 1982 yang pelaksanaannya diatur pada Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Adapun rumusan Pasal 16 Undang-undang No. 4 Tahun 1982 yang isinya sebagai berikut : Setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 tersebut di atas maka telah ditetapkan lima Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup pada tanggal 4 Juni 1987, sehari menjelang efektif berlakunya Peraturan Pemerintah N0. 29 Tahun 1986. Adapun keputusan-keputusan sebagai berikut : 1. KEP-49/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman Penentuan Dampak Penting, 2. KEP-50/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, 3. KEP-51/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman Penyusunan Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan, 4. KEP-52/MENKLH/6/1987 tentang Batas Waktu Penyusunan Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan, 5. KEP-53//MENKLH/6/1987 tentang Pedoman Susunan Keanggotaan dan Tata Kerja Komisi. Peraturan perudang-undangan tersebut di atas sekarang tidak berlaku lagi semenjak dikeluarkannya Undang-undang yang baru berupa Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pedoman Lingkungan Hidup. Demikian juga halnya dengan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 telah dicabut dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan pada tanggal 23 Oktober 1993. Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 telah ditetapkan enam (6) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada tanggal 19 Maret 1994 dan satu keputusan Kepala BAPEDAAAl pada tanggal 18 Maret 1994. Adapun Keenam Keputusan Menteri Neegara Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut : 1. KEP-10/MENKLH/3/1994 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. KEP-49 sampai dengan KEP-53 tersebut di atas. 2. KEP/11/MENKLH/6/1994 tentang Jenis Usaha dan Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. 3. KEP-12/MENKLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan. 4. KEP-13/MENKLH/3/1994 tentang Pedoman Susunan Keanggotaan dan Tata Kerja Komisi AMDAL. 5. KEP-14/MENKLH/3/1994 tentang Pedoman Upaya Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. 6. KEP-15/MENKLH/3/1994 tentang Pembentukan Komisis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Terpadu. Dengan sdiundangkannya Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maka perlu dilakukan penyesuaian terhadapPeraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 tentang Amdal, oleh karena itu Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1993 dicabur, dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 yang mulai berlaku efektif tanggal 18 Nopember 2000. C. Prinsip-prinsip Dalam Pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Dalam penerapannya analsisi mengenai dampak lingkungan tercermin dalam beberapa prinsip yang dianut : a. Suatu rencana kegiatan yang diperkirakan akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup dapat dilaksanakannya setelah dipertimbangkannya dampak terhadap lingkungan hidup. b. Analisis mengenai dampak lingkungan merupakan bagian dari proses perencanaan. c. Kriteria dan prosedur untuk menentukan apakah suatu rencana kegiatan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan secara jelas dirumuskan dalam peraturan perundangundangan. d. Prosedur mengenai dampak lingkungan harus mencakup tata cara penelitian yang tidak memihak. e. Analisis mengenai dampak lingkungan bersifat terbuka kecuali yang menyangkut rahasia negara. f. Keputusan tentang analisis mengenai dampak penting terhadap lingkungan harus dilakukan secara tertulis dengan mengemukakan pertimbangan pengambilan suatu keputusan, hal ini berguna untuk adanya kepastian hukum. g. Pelaksanaan rencana kegiatan analisis mengenai dampak lingkungan telah disetujui harus dipandang atau dipantau terus menerus. h. Penerapan analisis mengenai dampak lingkunagn dilakukan dalam rangka kebijakan nasional, pengelolaan lingkungan hidup yang dirumuskan secara jelas. i. Untuk menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan diperlukan aparat memadai sehingga di dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kesalahan. (Suparni, 1992 : 113). 1. Efektifitas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Seperti kita ketahui bahwa pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan dewasa ini belum dapat kita terapkan sebagai alat perencanaan, bahwa dokumen formal saja yakin sebagai atau sekedar untuk memenuhi ketentuan undang-undang saja. Beberapa sebab tidak dipergunakannya laporan-laporan analisis mengenai dampak lingkungan adalah : a. Analisis mengenai dampak lingkungan yang dilakukan terlambat sehungga tidak dapat lagi memberikan masukan untuk pengambilan suatu keputusan. b. Tidak adanya pemantauan, baik itu pemantauan terhadap pelaksanaan proyek maupun pada tahap operasional proyek. c. Disalahgunakannya analisis mengenai dampak lingkungan untuk membenarkannya diadakannya proyek sehingga membuat tenaga kerja dan biaya yang dikeluarkan menjadi mubazir. (Soemarwoto, 1990 : 78-79) Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menaikan efektifitas analisis mengenai dampak lingkungan adalah : a. Menumbuhkan pengertian di kalangan yang akan merencanakan dan pemrakarsa proyek bahwa analisis mengenai dampak lingkungan bukanlah alat-alat untuk mengahambat pembangunan, melainkan sebaliknya analisis dampak lingkungan adalah untuk menyempurnakan perencanaan pembangunan. b. Sebagian besar laporan analisis dampak lingkungan mengandung banyak sekali data-data tetapi masih banyak diantaranya tidak relevan dengan masalah yang dipelajari. c. Agar perencanaan pembangunan dan pelaksanaan proyek dapat menggunakan hasil telaah analisis dampak lingkungan haruslah ditulis dengan jelas dan dengan bahasa yang dapat dimengertioleh perencanaan dan pelaksanaan tersebut. d. Rekomendasi yang diberikan haruslah spesifik dan jelas sehingga para perencanaan dapat menggunakannya. e. Persyaratan proyek yang tertera dalam laporan analisis dampak lingkungan yang telah disetujui haruslah menjadi bagian integral izin pelaksanaan proyek dan mempunyai kekuatan yang sama seperti yang termuat dalam rancangan rekayasa yang telah disetujui oleh badan yang bersangkutan . f. Adanya kemampuan pada badan pemerintah yang berwenang untuk memeriksa laporan analisis dampak lingkungan, jika perlu dengan bantuan pakar. (Soemarwoto, 1990 : 79-80). 2. Akibat Pembuatan Analisis Dampak Lingkungan

Seperti kita ketahui bahwa adanya pembuatan analisis dampak lingkungan karena adanya perjanjian antara konsultan dengan pemrakarsa atau pemilik proyek. Disini pihak konsultan bertugas untuk membuat atau menyusun analisis dampak lingkungan, sedangkan pemilik proyek sebagai pihak yang mempunyai rencan kegiatan pembuatan analisis dampak lingkungan sehubungan dengan proyek tersebut mempunyai dampak penting terhadap lingkungan. Dalam membuat analisis dampak lingkungan seorang konsultan harus bertanggung jawab atas semua data yang dibuatnya, baik karena kesengajaan atau kelalaiannya. (Pasal 1830 BW). Apabhila seorang konsultan telah melakukan kesalahan di atas maka dikatakan konsultan telah melakukan prestasi yang bukan seharusnya ia lakukan. Hal ini di dalam hukum perjanjian dinamakan ingkar janji (wanprestasi). Disini konsultan tidak membuat data yang sebanarnya akibatnya akan menimbulakan data fiktifd. Terhadap data yang sedemikian seorang konsultan harus bertanggung jawab dan memikul atas semua kerugian dari pemilik proyek. Berdasarkan uraian kerugian atas seorang konsultan harus mengganti semua kerugianj atas perbuatan baik itu karena kesengajaan atau karena kelalaian sehungga pemilik proyek dapat dibenarkan menurut hukum myang berlaku atas tuntutan ganti ruginya

You might also like