You are on page 1of 17

MAKALAH PERTUMBUHAN EKONOMI CHINA

Untuk memenuhi tugas Makroekonomi

Kelompok 2 2V Akuntansi

1. Albina Langun Gupita 2. Anom Kurniawan 3. Ardianto 4. Argya Diptya Darpita

(05) (06) (07) (08)

PROGRAM DIPLOMA KEUANGAN SPESIALISASI AKUNTANSI PEMERINTAHAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA 2010

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jika kita melihat perkembangan ekonomi dunia akhir-akhir ini, pasti kita sudah tidak asing dengan sepak terjang negara Cina yang kian memukau. Saat ini, Cina merupakan salah satu negara dengan cadangan devisa dengan jumlah yang sangat tinggi. Nilai aset berupa nilai tukar devisa yang dimiliki Negeri Tirai Bambu tersebut itu kini berkisar pada US$ 2,5 triliun lebih, dan hampir 70% cadangan devisa yang dimiliki Cina berdenominasi dolar AS. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya banyaknya investor yang mempercayakan investasinya di negara Cina. Hal ini pula yang menyebabkan para pengamat ekonomi memprediksi Cina akan menjadi negara dengan ekonomi terkuat pada tahun 2020, menggusur posisi AS. Berangkat dari situ, kami tertarik untuk menyusun makalah berjudul Pertumbuhan Ekonomi China.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perekonomian modern negara Cina? 2. Apa saja faktor-faktor pendukung pertumbuhan ekonomi negara Cina? 3. Bagaimana perekonomian negara Cina di masa mendatang?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui sejarah perekonomian modern negara Cina. 2. Mengetahui faktor-faktor pendukung pertumbuhan ekonomi negara Cina. 3. Memprediksi perekonomian negara Cina di masa mendatang.

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pertumbuhan Ekonomi Cina

Pertumbuhan ekonomi di negara Cina yang luar biasa tentu saja tidak turun secara tiba-tiba dari langit, atau hanya keberuntungan negara tersebut semata. Membengkaknya cadangan devisa yang mereka miliki adalah hasil dari kebijakan ekonomi terencana yang mulai dirintis oleh pemimpin legendaries mereka, Deng Xiaoping. Deng Xiaoping mengawali Reformasi Ekonomi China , yang dimulai Desember 1978. Tujuan dari reformasi ekonomi ini adalah untuk mengubah perekonomian Cina yang stagnan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat China.

2.1.1 Perekonomian China Sebelum Reformasi Sebelum reformasi ekonomi , China dipimpin oleh Mao Zedong , yang merupakan pemimpin pertama Republik Rakyat China. Seperti dituturkan pakar ekonomi-politik Gregory Albo, inti strategi pembangunan Cina di masa Mao, mirip dengan strategi yang dilaksanakan oleh Uni Sovyet: alat-alat produksi dinasionalisasi sebagai milik negara, perencanaan komando terpusat,

pembangunan industri-industri berat, perlindungan keamanan tanpa hak-hak politik buruh dan petani, penindasan terhadap level konsumsi buruh dan petani untuk memaksimalkan potensi kelebihan ekonomi, dan konversi kelebihan ekonomi ke dalam investasi tingkat tinggi di bidang manufaktur, dan industri. Albo melanjutkan, dengan jumlah populasi petani yang sangat besar, kolektivisasi pertanian dan sistem komune pedesaan menjadi komponen sentral

pembangunan Cina.

Hasil dari kebijakan ini, tak bisa dipandang enteng. Ekonom Martin HartLandsberg dan Paul Burkett, menulis, antara tahun 1953 hingga berakhirnya era Mao, output industri Cina meningkat rata-rata 11 persen per tahun; walaupun sempat terinterupsi pada masa revolusi kebudayaan (1966-1976), produksi industri tetap meningkat rata-rata di atas sepuluh persen. Dengan pengecualian bantuan yang kecil dari Uni Sovyet pada dekade 1950an, pencapaian ini diraih tanpa ketergantungan terhadap investasi asing. Di bidang pertanian, sebagai dampak dari penerapan sistem komune pedesaan, petani Cina memperoleh kecukupan di bidang pangan. Bahkan, dibanding dengan negara-negara berkembang lainnya, produksi sektor pertanian Cina lebih baik. Sebagai contoh, dibandingkan dengan India, pada 1977, pertumbuhan pangan Cina mencapai 30 sampai 40 persen per kapita, padahal luas tanah yang bisa dimanfaatkan kurang dari 14 persen, sementara distribusi pangannya jauh lebih merata dengan jumlah penduduk yang dua kali lebih besar dari India. Di sektor kesehatan, tingkat kematian dini menurun drastis dan tingkat harapan hidup meningkat pesat, meninggalkan negara-negara berpendapatan rendah lainnya di belakangnya; di sektor perumahan dan jaminan sosial, rakyat, terutama petani, tak perlu khawatir. Kemiskinan massal (dengan pengecualian masa Lompatan Jauh ke Depan ) berhasil dienyahkan. Adapun di bidang pendidikan, pemerintah membangun sarana pendidikan massal, dan petani Cina memiliki akses yang sangat luas terhadap pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Di bawah Mao, polarisasi sosial yang ekstrim antara si kaya dan si miskin, yang menjadi gambaran abadi struktur sosial pra-revolusi 1949, melenyap. Tak heran jika Harry Magdoff dan John Bellamy Foster, menyimpulkan, pada akhir 1970-an, Cina sukses membangun struktur masyarakat yang paling egaliter di

dunia dalam pengertian distribusi pendapatan dan pemenuhan akan kebutuhan dasar. Hal tersebut bukan berarti pembangunan di bawah Mao tidak bermasalah. Ada dua soal utama penyebabnya: pertama, sistem politik yang tertutup, yang tidak akomodatif terhadap aspirasi dari bawah, menyebabkan tersumbatnya inovasi-inovasi baru sesuai dengan perkembangan masyarakat. Benar bahwa pemerintah sanggup menyediakan kebutuhan dasar tapi, hal tersebut tidak cukup untuk meredam dinamika dalam masyarakat. Misalnya, ketika ketidakpuasan yang meluas terhadap kinerja ekonomi, politik, dan sosial yang berujung pada insiden Tiananmen pada 1976, dihadapi dengan keras oleh pemerintah. Penyebab kedua, yang berkoinsidensi dengan kebijakan politik yang tertutup, adalah situasi politik Perang Dingin saat itu. Sebagai sebuah rezim yang menantang dominasi rezim kapitalis, Cina menerima resiko pemboikotan dan isolasi ekonomi terhadap perdagangan luar negerinya. Kondisi inilah yang memaksa Mao meluncurkan kebijakan Lompatan Jauh ke Depan untuk memobilisasi sumber daya internal guna memenuhi kebutuhannya. Di samping itu, isolasi dan boikot tersebut, memunculkan perdebatan luas di kalangan internal partai menyangkut jalan pembangunan Cina yakni, antara mereka yang disebut kelompok kiri/leftist dengan para pejalan kapitalis/capitalist roader. Masalah-masalah inilah yang kemudian berimbas pada kinerja ekonomi, menjelang berakhirnya era Mao. Dan ketika Mao wafat, dan Deng Xiaoping, yang merupakan tokoh sentral capitalist roader menjadi pemimpin tertinggi, ia menganggap semua kesulitan ekonomi tersebut disebabkan oleh kebijakan salah yang ditempuh Mao.

2.1.2 Era Reformasi Ekonomi Deng, yang secara publik tetap mengaku berkomitmen terhadap sosialisme, dengan segera meluncurkan kebijakan yang disebutnya Sosialisme Pasar. Pada kesempatan lain, ia menyebut kebijakannya sebagai Sosialisme dengan karateristik Cina. Melalui kebijakan ini, ia berpendapat Cina akan sanggup keluar dari kungkungan keterbelakangan dan kemelarataan yang menimpanya. Apapun namanya, dalam Third Plenum Partai Komunis Cina, pada Desember 1979, dicapai keputusan untuk menggunakan kekuatan pasar dalam menggerakkan mesin ekonomi. Untuk itu, ada tiga kebijakan utama yang dicanangkannya, di masa-masa awal kepemimpinannya. Pertama, mempromosikan pada awal 1979, pasar di kota-kota tertentu pemerintah kerja.

sosialisme

guna

menciptakan

pasar

Pertimbangannya, tanpa kebebasan untuk mengalokasikan sumberdaya kerja manajer tidak akan sanggup bertindak rasional dalam merestrukturisasi produksi guna merespon sinyal yang dipancarkan oleh pasar. Pasar kerja, juga memungkinkan manajemen untuk melakukan efisiensi dan produktivitas ekonomi. Kebijakan ini tentu saja mensyaratkan pemerintah untuk melemahkan dan membungkam kekuatan serikat pekerja yang, merupakan warisan rezim Mao. Upaya penghancuran kekuatan serikat ini, berlanjut pada 1983, ketika pemerintah memutuskan agar perusahaan negara menggaji buruh baru di atas basis kontrak, tanpa jaminan kerja dan kesejahteraan yang selama ini dinikmati oleh buruh perusahaan negara. Hasilnya, pada akhir 1987, perusahaan negara Cina (Chinas state-owned enterprise/SOEs), telah menggaji 7.51 juta buruh kontrak, sekitar 8 persen dari buruh industrial. Pada tahun yang sama, sekitar 6 juta buruh perusahaan negara berhadapan dengan reformasi tenaga kerja, dimana hasilnya mereka menjadi buruh kontrak.

Sektor

swasta

juga

diharuskan

untuk

menjalankan

reformasi

ketenagakerjaan ini, sebagai bagian dari proses reformasi. Sebelumnya, perusahaan swasta dibatasi hanya boleh mempekerjakan kurang dari tujuh anggota keluarga. Namun, ketentuan ini kemudian dihapus pada 1987, dan hasilnya pekerja di sektor swasta meningkat dari 240 ribu pada akhir 1970an menjadi 1.1 juta pada 1981 dan 3.4 juta pada 1984. Langkah kedua, yang ditempuh rezim Deng adalah meneken kebijakan pintu terbuka pada 1979. Berbekal kebijakan ini, pemerintah kemudian menetapkan empat zona khusus ekonomi di sepanjang pesisir selatan provinsi Guangdong dan Fujian, bagi investor asing. Deng berargumen, kehadiran investor asing akan membantu menciptakan lapangan pekerjaan baru dan membawa masuk teknologi baru, sekaligus menjadi sekolah tempat belajar tentang bagaimana mengoperasikan ekonomi pasar. Kebijakan ini kemudian disusul dengan serangkaian kebijakan lain pada 1983 untuk merangsang lebih banyak investasi asing langsung masuk, dengan cara menghapuskan pembatasanpembatasan yang membatasi investor asing untuk melakukan usaha bersama dengan investor domestik, dan juga untuk memuluskan jalan bagi kepemilikan investor asing. Langkah ketiga, dalam proses awal reformasi ekonomi ini adalah perintah agar dibubarkannya sistem produksi kolektif, pada September 1980.

Dekolektivisasi ini diikuti oleh sejumlah langkah seperti, dibentuknya sistem produksi berbasis rumah tangga sebagai ganti sistem produksi berbasis kolektif. Hasilnya, pada 1983 hampir 98 persen dari seluruh petani rumah tangga beroperasi menurut logika sistem baru ini, dimana lahan-lahan kolektif dimanfaatkan untuk memproduksi barang-barang yang dijual di pasar. Aturan baru ini kemudian disusul dengan regulasi pada 1983-1984, dimana para pemilik lahan kontrak diharuskan untuk menggunakan buruh upahan (wage workers) untuk produksi dan atau menyewakan lahannya kepada petani.

2.1.3 China di Masa Sekarang Pertumbuhan ekonomi China sejak reformasi ekonomi terus meningkat, melebihi Macan Asia Timur, yaitu Hongkong, Singapore, Korea Selatan, dan Taiwan. Para ekonom memperkirakan Produk Domestik Bruto China tumbuh sebesar 9,5 persen per tahun dari 1978 hingga 2005. Sejak awal reformasi yang dilakukan Deng Xiaoping, PDB China telah meningkat sepuluh kali lipat.

Pertumbuhan Produk Domestik Bruto China 1960 2009 Sumber : Bank Dunia

Kini,di bawah pimpinan Hu Jintao, Cina terlihat bergerak ke arah yang lebih terbuka dan reform-oriented. Para pengamat menilai pemerintah lebih egaliter dan banyak membuat kebijakan yang populis. Pemerintah meningkatkan subsisdi dan memperhatikan sector kesehatan, menghentikan privatisasi, dan mengadopsi kebijakan moneter longgar.

2.2 Faktor-Faktor Pendukung Pertumbuhan Ekonomi Cina

2.2.1 Perubahan cara berpikir

Perubahan cara berpikir masyarakat China setelah transformasi ekonomi yang dilakukan Deng Xiao Ping tahun 1978 merupakan tahapan penting dari keberhasilan ekonomi China sekarang. Perubahan pola pikir masyarakat China yang penting di antaranya adalah menjadi kaya merupakan hak kaum sosialis dan kemiskinan bukan bagian dari sosialisme. Oleh karena itu, tahun 1980, saat China mengembangkan wilayah Shenzhen sebagai Kawasan Ekonomi Khusus. 2.2.2 Penanganan Korupsi Sama seperti di Indonesia, China pun sebelumnya memiliki penyakit kronis, yakni praktik korupsi. Namun, hal itu secara perlahan bisa diatasi dengan memberikan shock therapy melalui penerapan hukuman mati bagi koruptor berat. Cara lain yang ditempuh China, adalah dengan menempatkan para pejabat pemerintah yang sudah lama dan berpotensi melakukan korupsi ke posisi yang tinggi, tetapi tidak strategis. Posisinya, kemudian digantikan oleh orang-orang muda yang energik dan inovatif. 2.2.3 Reformasi Ekonomi Sejak reformasi ekonomi tahun 1997, China mengalami kemajuan pesat. Dari negara yang relatif miskin, China mampu menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata dua digit per tahun dan terpesat di dunia. Selain menjadi eksportir terbesar, China juga menjadi raksasa ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat dengan total produk domestik bruto (PDB) nominal 5,7 triliun dollar AS sampai Oktober 2010. China juga memiliki cadangan devisa terbesar di dunia, yakni 2,65 triliun dollar AS atau sekitar 30 persen dari total cadangan devisa dunia. Padahal, tahun 2007, cadangan devisanya masih 1,53 triliun dollar AS.

Industrialisasi di China telah berhasil mengentaskan orang miskin secara signifikan, sementara pendapatan per kapita rata-rata penduduk China saat ini 3.800 dollar AS dengan jumlah penduduk 1,3 miliar jiwa. Sedangkan pendapatan per kapita rata-rata penduduk Indonesia saat ini 3.000 dollar AS dengan jumlah penduduk 238 juta jiwa, sementara cadangan devisa 91,8 miliar dollar AS. Proses modernisasi di China terus berlangsung hingga saat ini, bahkan ketika sebagian besar negara di dunia dilanda krisis keuangan global pada tahun 2008-2009, pertumbuhan ekonomi China tercatat paling tinggi, yakni 8,7 persen. Saat ini pertumbuhan ekonomi China sudah mencapai 11 persen. Selama 17 tahun terakhir, China merupakan negara penerima investasi asing langsung (FDI) terbesar di dunia. Tahun 2009, jumlah FDI di China 96 miliar dollar AS. FDI dimaksimalkan pemanfaatannya untuk menopang strategi pengembangan masing-masing wilayah provinsi/daerah khusus dengan penekanan pada produksi dan ekspor, dimulai dari pesisir pantai timur, dan secara bertahap menjangkau wilayah tengah dan barat yang secara ekonomi masih tertinggal. Kunci keberhasilan pembangunan ekonomi China paling tidak karena tiga aspek. Pertama, visi dan perencanaan pembangunan jangka panjang yang solid melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan. Kedua, strategi pengembangan pengetahuan dasar. Ketiga, kemajuan ekonomi China antara lain karena ditopang birokrasi yang kuat dan efektif yang dimotori Partai Komunis China (PKC). Selain itu, produktivitas sumber daya manusia di China sangat tinggi yang berakar pada nilai-nilai utama bangsa China yang menekankan pada ketekunan, kerajinan, hemat, inovatif, disiplin yang tinggi, serta peran warga negara asing keturunan China (huakio). Hal itu semua menjadi faktor pendukung yang sangat positif majunya pembangunan China. Sistem politik dan Pemerintah China lebih mengedepankan state capitalism ketimbang market capitalism yang dilandasi secara kuat oleh semangat pragmatisme dalam mewujudkan tujuan pembangunannya.

Sedangkan negara atau pemerintah serta PKC sangat dominan dalam pengembangan, pengalokasian, serta pengelolaan sumber-sumber alam dan keuangan dalam kegiatan perekonomian nasional ataupun internasional. BUMN China merupakan tulang punggung berbagai aktivitas ekonomi tersebut. Di China, produk komoditas utama tetap diproteksi negara meskipun ada tuntutan agar patuh pada ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 2.2.4 Penerapan Rencana Pembangunan Lima Tahun Sejak tahun 1953-1957, China telah merumuskan strategi pembangunan lima tahunan. Di China, strategi pembangunan selalu dibahas, dievaluasi, dan diperkokoh setiap tahun dalam Kongres Nasional Partai Komunis dengan memerhatikan dinamika dan tantangan perkembangan domestik dan dunia. Tahun 2010, merupakan akhir dari pelaksanaan Repelita ke-11 China. Repelita itu dijalankan dengan tetap bertumpu dan diarahkan pada pencapaian visi dan tujuan pembangunan tahun 2050 di mana China sudah harus menjadi negara maju. Perencanaan pembangunan nasional China tak bisa dilepaskan dari peran Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi (National Development and Reform Commission/NDRC). NDRC adalah lembaga superministry yang diberi kewenangan menjabarkan visi, misi, dan kebijakan PKC ke dalam perencanaan pembangunan nasional sekaligus memberikan petunjuk/arah bagi berbagai program dan strategi pembangunan ekonomi China, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang. Perencanaan dan program kementeriankementerian lain serta pemerintah daerah harus mengacu pada perencanaan NDRC tersebut.Hal tersebut juga ditopang kebijakan penempatan para pejabat PKC (komisaris) di beberapa jenjang manajemen, baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah, BUMN, ataupun universitas pemerintah. Hal itu dilakukan untuk menjamin dan mengawasi visi dan program pembangunan nasional agar tidak menyimpang dari garis grand strategy nasional.

2.3 Masa Depan Perekonomian China dan Hambatannya Untuk prediksi jangka pendek mengenai perekonomian China yang pada tahun 2010 berhasil mencapai perkembangan ekonomi sebesar 10%, para pengamat ekonomi memprediksikan bahwa tahun ini diperkirakan China justru akan mengalami penurunan pada tahun ini. Tahun 2011, China justru diprediksikan melemah hingga pada tingkat 9%. Hal ini dikarenakan perkembangan ekonomi Negara-negara lain yang pada tahun ini menguat kembali. Tetapi dengan prediksi 9% ini, China diprediksikan tetaplah 3 kali lebih kuat dibandingkan Amerika Serikat dan 6 kali lebih kuat dibandikan Negaranegara Eropa. Namun jika menilik lagi bagaimana perekonomian China yang sangat membaik jika dibandingkan dengan Negara-negara lain, banyak pengamat menilai sebentar lagi Cina akan menjadi salah satu negara adidaya dunia, yang bahkan bisa mengancam AS, terutama dari segi ekonomi. Berbagai proyeksi menunjukkan bahwa China dapat menjadi ekonomi terbesar di dunia secepatnya pada awal 2020 dan kemungkinan mempunyai berbagai langkah mendahului Amerika Serikat pada 2030. Pada tahun 2020, banyak pihak yang memprediksikan bahwa gelar Negara adidaya yang selama ini disandang oleh Amerika Serikat akan segera berpindah pada China. Selain itu di tengah kelesuan ekonomi dunia, China justru muncul sebagai Negara dengan pertumbuhan ekonominya yang terbesar. Yuan sebagai mata uang China diprediksi makin cemerlang pada tahun ini. Nilai tukar Yuan diprediksikan menguat sebanyak 3% terhadap Dollar Amerika. Apresiasi Yuan ini, mendorong manfaat ekonomi bagi rakyat China sendiri. Misalnya dari sisi impor, kenaikan Yuan ini akan menguntungkan bagi industry lokal China yang sebagian bahan bakunya masih mengandalkan bahan-bahan yang diimpor. Dengan kondisi seperti ini, industri China akan semakin berkembang pesat karena murahnya bahan baku impor. Akan tetapi penguatan nilai Yuan ini juga berpotensi timbulnya perang dagang terbuka di dunia yang menjadi salah satu ancaman besar bagi ekonomi China, yang tentu saja akan membawa pengaruh kepada

China secara langsung. Nilai Yuan yang sangat tinggi ini selalu membuat para petinggi dunia yang lain memaksa China untuk merevaluasi nilai mata uangnya. Jika China tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan nilai mata uangnya ini, tentu akan menimbulkan aksi semacam balas dendam dari Negara-negara lain. Aksi saling menurunkan masing-masing nilai mata uangnya ini tentu akan berpotensi menimbulkan adanya inflasi yang berpengaruh buruk bagi Negaranegara di seluruh dunia termasuk China. Jadi jika China terus menerus berkeras hati dengan tetap mempertahankan Yuannya pada level yang begitu tinggi, hal ini justru bisa saja menimbulkan inflasi yang akan menimbulkan kerugian bagi China sendiri. Selain prediksi-prediksi positif mengenai perekonomian China, akhir-akhir ini muncul beberapa pengamat yang kritis terhadap apa yang terjadi di Cina dan memanfaatkan data-data ekonomi yang lebih detail guna menemukan kelemahan-kelemahan yang dapat mengancam perekonomian China. Ini diwakili sebuah buku yang amat kontroversial, tulisan Gordon Chang, The Coming Collapse of China. Buku ini menunjukkan sederetan masalah yang dihadapi Cina saat ini, yang semua ini akan mendorong keruntuhan Cina. Yang pertama diangkat adalah terjadinya suasana tidak puas terhadap rezim yang berkuasa sekarang, baik di kalangan petani maupun di kalangan buruh. Dicatatkan kasus-kasus yang tersebar di seluruh Cina, petani-petani yang marah terhadap kader-kader di desa. Sedemikian marah sehingga petani-petani itu tidak ragu-ragu untuk menyerang, memukul, bahkan membakar kantorkantor pejabat desa. Ini terjadi hampir setiap minggu di seluruh Cina. Ketidakpuasan serupa juga muncul di kalangan buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja di kota. Memang, privatisasi perusahaan milik negara masih jauh dari selesai, tetapi dari sejumlah perusahaan yang telah mengalami privatisasi, buruh-buruh benar marah dan mengadakan aksi-aksi destruktif seperti para petani. Mereka menuduh pemerintah hanya mementingkan para kapitalis, kelompok yang semestinya dilawan Partai Komunis Cina, partai yang

berkuasa kini. Demonstrasi yang disusul kerusuhan marak di hampir semua kota di seluruh Cina. Belum lagi bila menghitung angka pengangguran, baik di desa maupun di kota. Karena itu, munculnya ketidakpuasan yang merata di seluruh Cina saat ini sungguh mudah dipahami. Data kedua yang jauh lebih mendasar adalah fakta bahwa bank-bank Cina saat ini dalam keadaan insolvent. Ini yang amat berbahaya bagi ekonomi Cina secara keseluruhan. Persoalan dengan bank-bank di Cina (semua milik negara) adalah, bank-bank ini dikuras untuk menutup kerugian yang diderita perusahaanperusahan milik negara yang berjumlah sekitar 300.000 di seluruh Cina. Menurut sebuah analis, lebih dari 50 persen perusahaan milik negara itu ada dalam keadaan bangkrut. Mengingat begitu besar dampak sosial yang ditimbulkan oleh kebangkrutan perusahaan milik negara, Pemerintah Cina tidak mempunyai pilihan lebih baik selain menuangkan uang ke perusahaan-perusahaan itu, berapa pun yang diminta. Pemerintah lebih memilih stabilitas politik ketimbang membiarkan perusahaan itu bangkrut atau diprivatisasi. Karena itu, pertanyaan kritis yang sering dilemparkan oleh Gordon Chang dan kawankawannya adalah sejauh mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini dapat dipertahankan dengan situasi perbankan yang amburadul seperti itu. Sulit untuk tetap memprediksikan bahwa ekonomi Cina akan terustumbuh dengan angka tujuh persen pertahun. Pendapat penulis dalam buku tersebut sejajar dengan yang dikemukakan oleh laporan World Bank yang ditulis tahun 1997, berjudul, China 2020. Laporan yang sarat dengan angka statistik ini mula-mula menggambarkan prestasi ekonomi Cina yang luar biasa. Misalnya, untuk melipatduakan income percapita, Cina hanya membutuhkan waktu sembilan tahun (1978-1987), sementara Inggris membutuhkan 100 tahun, Amerika Serikat 47 tahun, Jepang 34 tahun, dan Korea Selatan 11 tahun. Namun, World Bank cepat memberi peringatan adanya enam masalah besar yang menghadang Cina saat ini, yaitu transisi yang tidak lengkap, lingkungan yang rusak, tak ada sumber pendapatan yang tetap, melebarnya

jurang kaya dan miskin, tidak cukup persediaan makan, dan sengketa perdagangan dengan negara-negara lain. Enam masalah itu sebenarnya tidak khas Cina, banyak negara sedang berkembang juga menghadapi masalah-masalah itu. Ada masalah lain yang sifatnya jangka panjang, dan ini menyangkut hal-hal yang sifatnya mendasar. Dikatakan, tahun 2020 Cina akan mengalami kekurangan tanah, modal maupun buruh terdidik. Belum lagi masalah-masalah berat yang muncul bila nanti Cina benar-benar telah terintegrasi dengan sistem perdagangan internasional di bawah WTO. Dari bahasan yang amat singkat ini tampak, bahwa yang terjadi saat ini di Cina sebenarnya lebih kompleks dan rumit daripada yang tampak dari luar. World Bank condong mengambil pelajaran dari pengalaman Brasil dan Meksiko yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi antara tahun 1950-1980, lalu jatuh pada dekade berikutnya. Bila tidak hati-hati, Cina akan mengalami hal serupa, dan hal ini tidak akan ditolerir oleh rakyat yang selama ini selalu diberi mimpi-mimpi akan masa depan gemilang.

BAB III KESIMPULAN

1. Sejarah perekonomian modern negara China bermula dari pimpinan Mao Zedong, kemudian Reformasi Ekonomi China yang dipimpin oleh Deng Xiaoping. Reformasi ekonomi ini membawa dampak besar bagi

perkembangan ekonomi China. 2. Faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan ekonomi di China antara lain perubahan pola pikir, penanganan korupsi yang baik, reformasi ekonomi, dan pelaksanaan rencana pembangunan lima tahun yang konsisten. 3. China diprediksi akan tetap menjadi salah satu negara dengan perekonomian yang baik, namun tentu saja banyak hambatan yang harus dilalui dan diatasi dalam mencapai tujuan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
http://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_economic_reform
http://www.kompas.com Warta Ekonomi Edisi 22 Tahun XXII http://google.com

You might also like