You are on page 1of 16

Apa yang dimaksud dengan Surat Tagihan Pajak (STP)?

Pengertian STP ( Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 ) - STP adalah surat yang digunakan untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. - Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak. - Fungsi STP : 1. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak, 2. Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda. 3. Sarana untuk menagih pajak. Apa yang menyebabkan dikeluarkannya STP? Sebab Dikeluarkannya STP : (Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007) - Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar . - Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung. - Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga. - Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. - Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak. SURAT TAGIHAN PAJAK ( Pasal 14 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 1) Sanksi Administrasi apakah yang dikenakan terkait dengan Surat Tagihan Pajak (STP)? Sanksi Administrasi STP : Sanksi administrasi berupa denda Rp 50.000 ,- jika Wajib Pajak tidak atau terlambat penyampaian SPT Masa dan Rp 100.000,- jika tidak atau terlambat menyampaikan SPT Tahunan. Sanksi administrasi berupa denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak dalam hal Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP atau Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha te1ah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak. Sanksi administrasi berupa bunga dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPTnya, dimana hasil pembetulan tersebut menyatakan kurang bayar.

Sanksi administrasi berupa bunga apabila Wajib Pajak terlambat/ tidak membayar pajak yang sudah jatuh tempo pembayarannya. 2) Bagaimana cara penghitungan Sanksi Administrasi atas STP? Contoh Penghitungan Sanksi Administrasi atas STP : Hasil penelitian Surat Pemberitahuan : Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2001 yang disampaikan tanggal 31 Maret 2002 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar Rp 2.000.000,-. Atas kekurangan Pajak Penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak tanggal 14 Juni 2002 dengan penghitungan sebagai berikut: Kekurangan bayar pajak Penghasilan Bunga = 3 x 2% x Rp 2.000.000,Rp 2.000.000,Rp 120.000,-(-)

- Jumlah yang harus dibayar Rp 2.120.000,Dalam Hal Pajak Dibayar Setelah Tanggal Jatuh Tempo : - Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan tahun 2001 diterbitkan tanggal 18 September

2002 (misalnya jatuh tempo tanggal 17 Oktober 2002) sebagai berikut : PPh terutang Kredit pajak Yang masih harus dibayar Rp 100.000.000,Nihil Rp 100.000.000,-

Wajib Pajak membayar tanggal 30 0ktober 1996 sebesar Rp 100.000.000,-. STP diterbitkan dengan penghitungan bunga sebagai berikut : Pajak yang terlambat dibayar sebesar Rp 100.000.000,Bunga 1 bulan = 1x 2% x Rp 100.000.000,- = Rp 2.000.000,-

- PPN yang masih harus dibayar masa April 2001 sebesar Rp 500.000.000,- dibayar tanggal 21 Juni 2001, misalnya jatuh tempo tanggal 15 Mei 2001. Bunga terutang dalam STP dihitung 2 bulan = 2 x 2% x Rp 500.000.000,- = Rp 20.000.000,PPh Pasa1 23 yang terutang bulan Oktober 2001 sebesar Rp 100.000.000,- disetor tanggal 15 Desember 2001, misa1nya jatuh tempo tangga1 10 November 2001. Bunga terutang dalam STP dihitung 2 bu1an = 2 x 2% x Rp 100.000.000,- = Rp 4.000.000,Dalam hal pajak dibayar sebagian tepat waktu dan sebagian setelah tanggal jatuh tempo. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan tahun 1995 diterbitkan tanggal 18 September 2001 (misa1nya jatuh tempo tanggal 17 Oktober 2001) sebagai berikut: - Pajak Penghasilan terutang - Kredit pajak - Yang masih harus dibayar Wajib Pajak Membayar: - Tanggal 15 Oktober 2001 - Tangga1 30 Oktober 2001 Rp 60.000.000,Rp 40.000.000,Rp 100.000.000,Nihil Rp l00.000.000,-

Surat Tagihan Pajak diterbitkan dengan penghitungan bunga sebagai berikut : - Pajak yang terlambat dibayar sebesar - Bunga 1 x 2% x Rp 40.000.000,Rp 40.000.000,Rp 800.000,-

I. Kewajiban Bendaharawan Bendaharawan wajib memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas pembayaran penghasilan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.

II. Penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21 Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur .

Tatacara Penghitungan : 1. Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap adalah Penghasilan Kena Pajak

2. Menghitung Penghasilan Kena Pajak Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan: a. Biaya jabatan*), sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan; b. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Penghasilan Kena Pajak bagi penerima pensiun berkala adalah sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan: - Biaya Pensiun

3. Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-250/PMK. 03/2008, besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap ditetapkan sebesar 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 6.000.000,00 setahun atau Rp 500.000,00 sebulan.

Sedangkan besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi penerima pensiun berkala ditetapkan sebesar 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 2.400.000,00 setahun atau Rp 200.000,00 sebulan

4. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah bagi: Wajib Pajak :Rp 15.840.000, Tambahan status kawin :Rp 1.320.000, Istri Bekerja :Rp 15.840.000, Tambahan tanggungan : Rp 1.320.000,- (Maksimal 3)

Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender. Kecuali bagi pegawai yang baru dating dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender, ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan.

PTKP bagi Karyawati Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri; b. Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya (apabila ada).

Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendahrendahnya kecamatan yang menyatakan suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

5. Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Pegawai Tetap tarif PPh Pasal 21 adalah berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak, yaitu: Penghasilan s.d Rp 50.000.000, tarif 5% Penghasilan s.d Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000, tarif 15%

Penghasilan Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000, tarif 25% Penghasilan di atas Rp 500.000.000, tarif 30%

6. Ketentuan Penghitungan PPh Pasal 21 1. Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak,kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas); b. Dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur, maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh salama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.

2. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak adalah: a. Atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana anka 1 huruf a dibagi 12 (dua belas): b. Atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang, atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud angka 1 huruf b dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan teratur

III. Tarif PPh Pasal 21 bagi yang tidak Mempunyai NPWP i. Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. ii. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar 120 % (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. iii. Pemotongan PPh Pasal 21 hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final. iv. Dalam hal penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada huruf (a), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulanbulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

IV.Saat Terutang PPh Pasal 21 PPh Pasal 21 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan. PPh Pasal 21 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa pajak. Saat terutang untuk setiap masa pajak adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

IV. Bukti Pemotongan Atas pemotongan PPh Pasal 21 Bendaharawan wajib membuat: - Formulir 1721-A2 atas pemotongan PPh Pasal 21 selama satu tahun, paling lambat 2 bulan setelah berakhirnya tahun pajak, untuk PNS/TNI/POLRI, dan Pejabat Negara. - Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (form F.1.1.33.01), setiap terjadi pemotongan PPh atas upah/honor/komisi/imbalan lainnya termasuk kepada tenaga ahli, untuk pegawai tidak tetap - Bukti Pemotongan PPh pasal 21 Final (form F.1.1.33.02), setiap terjadi pemotongan PPh untuk penghasilan berupa honor/imbalan yang berasal dari APBN/D yang dibayarkan kepada PNS/TNI/POLRI/Pejabat Negara dan uang pesangon dan tebusan pensiun yang dibayar sekaligus. Bukti-bukti pemotongan tersebut dipergunakan oleh penerima penghasilan sebagai kredit pajak dalam melaporkan penghasilan dan pajak terutang ke dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi masing-masing.

V. Penyetoran PPh Pasal 21

Atas pemotongan PPh Pasal 21 yang telah dilakukan, Bendaharawan Pemerintah wajib menyetor PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut ke bank persepsi dan Kantor Pos paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Apabila Bendaharawan Pemerintah terlambat menyetor dikenakan sanksi adminsitrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan (UU KUP Pasal 14).

VI. Pelaporan PPh Pasal 21 Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Wajib Pajak Bendaharwan wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 setiap bulan ke KPP selambatlambatnya tanggal 20 bulan berikutnya. Apabila dalam bulan yang bersangkutan tidak terdapat pemotongan PPh Pasal 21, Bendaharawan tetap wajib melaporkan SPT Masa tersebut ke KPP. Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda (Pasal 7 UU KUP) sebesar Rp. 100.000,-

Links to this post Tatacara Penghitungan PPh Pesangon - 2009 . 0 Komentar Labels: pph ps 21 DASAR HUKUM Peraturan Pemerintah No Peraturan Menteri Keuangan No 16/PMK.03/2010

68

tahun

2009

PENGERTIAN 1. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. 2. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 3. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun. 4. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan. 5. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang dituniuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja. 6. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.

SIFAT 1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final. 2. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender 3. Dalam hal terdapat bagian penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1)

huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan Misalkan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00. Penerima penghasilan sebagaimana contoh diatas yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar 120% x 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 3.000.000,00. 4. Pajak Penghasilan Pasal 21 (seperti yg disebutkan dalam nomor 3) yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.

TARIF PPh PASAL 21 UANG PESANGON Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut : a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); c. sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); d. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah). Contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang Pesangon dengan jumlah Rp 175.000.000,00. Penghasilan bruto Rp 175.000.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang : 0% x Rp50.000.000,00 5% x Rp50.000.000,00 15% x Rp75.000.000,00 = = = RP 0,00 Rp 2.500.000,00 Rp 11.250.000,00 (+) ______________ Rp13.750.000,00 Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya : a. Bulan Desember 2009 b. Bulan April 2010 = = Rp 50.000.000,00 Rp 125.000.000.00 (+) _______________ Jumlah Rp 175.000.000,00

Perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai satu kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000.00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong : Bulan Desember 2009: Jumlah penghasilan bruto Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang : 0% x Rp50.000.000.00 = Rp 0,00 Rp 50.000.000,00

Bulan April 2010: Jumlah penghasilan bruto Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang : 5% x Rp 50.000.000.00 15% x Rp75.000.000.00 = = Rp 2.500.000,00 Rp 11.250.000,00 (+) ______________ Jumlah Rp 13.750.000,00 Rp 125.000.000,00

Jumlah seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp 0,00 + Rp 13.750.000,00 = Rp 13.750.000,00

TARIF PPh PASAL 21 UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, ATAU JAMINAN HARI TUA Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut: a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah); b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Contoh perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp 150.000.000,00 adalah: Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus Rp 150.000.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang: 0% x Rp 50.0000.000,00 5% x Rp 100.000.000,00 = = Rp 0,00 Rp 5.000.000,00 _____________ Jumlah = Rp 5.000.000,00

Dalam hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya : Bulan Desember 2009 sebesar Bulan Februari 2010 sebesar Rp 50.000.000,00 Rp 100.000.000,00 _______________ Jumlah Rp 150.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut: Bulan Desember 2009: = Rp 0,00 0% x Rp50.000.000,00 Bulan Februari 2010: = Rp 5.000.000,00 5% x Rp 100.000.000,00 _____________ Jumlah = Rp 5.000.000,00

TATACARA PEMOTONGAN 1. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua. 2. Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua 3. Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan kewajiban memberikan bukti pemotongan tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0%(nol persen).

PENGALIHAN PEMBAYARAN 1. Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja. 2. Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat pengalihan Uang Pesangon 3. Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon. Pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal21 atas pengalihan Uang Pesangon tersebut. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon dilakukan oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai 4. Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun vang dibayarkan secara sekaligus. Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup

BERLAKU Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 16 Nopember 2009 Pada saat Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2009 ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

DOWNLOAD Bukti Potong Final klik disini Links to this post PPh Pasal 21 atas Pesangon 2009 : PP-68/2009 dan PMK-16/PMK.03/2010 . 2 Komentar Labels: PMK-16/PMK.03/2010, PP-68 Tahun 2009, pph ps 21 DASAR HUKUM Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2009 Peraturan Menteri Keuangan

Nomor

16/PMK.03/2010

PENGERTIAN

1. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. 2. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 3. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun. 4. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan. 5. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang dituniuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja. 6. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.

SIFAT 1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final. 2. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender 3. Dalam hal terdapat bagian penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan Misalkan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00. Penerima penghasilan sebagaimana contoh diatas yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar 120% x 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 3.000.000,00. 4. Pajak Penghasilan Pasal 21 (seperti yg disebutkan dalam nomor 3) yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.

TARIF PPh PASAL 21 UANG PESANGON Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut : a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); c. sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); d. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah). Contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang Pesangon dengan jumlah Rp 175.000.000,00. Penghasilan bruto Rp 175.000.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang : 0% x Rp50.000.000,00 = RP 0,00

5% x Rp50.000.000,00 15% x Rp75.000.000,00

= =

Rp 2.500.000,00 Rp 11.250.000,00 (+) ______________ Rp13.750.000,00

Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya : a. Bulan Desember 2009 b. Bulan April 2010 = = Rp 50.000.000,00 Rp 125.000.000.00 (+) _______________ Jumlah Rp 175.000.000,00

Perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai satu kesatuan, yaitu sebesar Rp 175.000.000.00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong : Bulan Desember 2009: Jumlah penghasilan bruto Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang : 0% x Rp50.000.000.00 Bulan April 2010: Jumlah penghasilan bruto Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang : 5% x Rp 50.000.000.00 15% x Rp75.000.000.00 = = Rp 2.500.000,00 Rp 11.250.000,00 (+) ______________ Jumlah Rp 13.750.000,00 Rp 125.000.000,00 = Rp 0,00 Rp 50.000.000,00

Jumlah seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp 0,00 + Rp 13.750.000,00 = Rp 13.750.000,00

TARIF PPh PASAL 21 UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, ATAU JAMINAN HARI TUA Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut: a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah); b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Contoh perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp 150.000.000,00 adalah: Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus Rp 150.000.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang:

0% x Rp 50.0000.000,00 5% x Rp 100.000.000,00

= =

Rp 0,00 Rp 5.000.000,00 _____________

Jumlah

Rp 5.000.000,00

Dalam hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya : Bulan Desember 2009 sebesar Bulan Februari 2010 sebesar Rp 50.000.000,00 Rp 100.000.000,00 _______________ Jumlah Rp 150.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut: Bulan Desember 2009: = Rp 0,00 0% x Rp50.000.000,00 Bulan Februari 2010: = Rp 5.000.000,00 5% x Rp 100.000.000,00 _____________ Jumlah = Rp 5.000.000,00

TATACARA PEMOTONGAN 1. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua. 2. Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua 3. Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan kewajiban memberikan bukti pemotongan tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0%(nol persen).

PENGALIHAN PEMBAYARAN 1. Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja. 2. Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dialihkan oleh pemberi kerja kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat pengalihan Uang Pesangon 3. Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon. Pemberi kerja tidak melakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal21 atas pengalihan Uang Pesangon tersebut. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon dilakukan oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai 4. Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun vang dibayarkan secara sekaligus.

Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup

BERLAKU Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 16 Nopember 2009 Pada saat Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2009 ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

BATAS WAKTU PALING LAMBAT PENYETORAN PAJAK DAN PELAPORAN SPT MASA Dulu, sebelum adanya undang-undang perpajakan yang baru yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk menyetorkan pajaknya adalah paling lambat tanggal 10 atau 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Dan untuk pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa, Wajib Pajak harus menyampaikannya ke kantor pelayanan pajak (KPP) tempat Wajib pajak terdaftar paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir. Di mana ada ketentuan lanjutannya berupa dalam hal tanggal jatuh tempo penyetorannya bertepatan dengan hari libur maka pembayarannya dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dan dalam hal tanggal jatuh pelaporan SPT Masa bertepatan dengan hari libur maka pelaporannya wajib disampaikan kepada KPP paling lambat satu hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo. Misalnya SPT Masa PPN masa pajak Pebruari 2006 yang batas penyampaiannya paling lambat tanggal 20 Maret 2006, karena tanggal tersebut adalah hari libur maka tanggal jatuh temponya maju menjadi tanggal 19 Maret 2006. Jikalau tanggal 19 tersebut juga adalah hari libur maka tanggal 18 maret 2006 itulah yang menjadi tanggal jatuh tempo. Bila lewat dari tanggal tersebut maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50.000,00. Kini mulai tanggal 01 Januari 2008 maka ketentuan di atas berubah dengan telah dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak. Ohya, perlu saya beritahu terlebih dahulu bahwa yang berubah adalah pada masalah tanggal jatuh tempo pelaporan yang bertepatan dengan hari libur. Sedangkan untuk tanggal jatuh tempo penyetoran yang bertepatan dengan hari libur masih sama dengan ketentuan sebelumnya.

Berdasarkan peraturan menteri keuangan (PMK) tersebut maka batas akhir pelaporan yang bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari nasional, pelaporannya dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Ya, kini Wajib Pajak diberikan kelonggaran hari dan kesempatan yang panjang dalam penyampaian SPT Masanya. Tentu ada alasan yang mendasari dari dikeluarkannya PMK ini, yang menurut saya adalah sebagai berikut: 1. Secara formal tentunya adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan yang diamanahkan dalam Undang-undang KUP, di mana dalam undang-undang tersebut pemerintah dalam hal ini menteri keuangan diberikan kewenangan untuk memberikan penjelasan sebuah ketentuan secara lebih rinci lagi; 2. Mengimbangi adanya kewajiban yang lebih besar yang dibebankan kepada Wajib Pajak yaitu berupa pengenaan denda 10 kali lipat bagi Wajib Pajak yang terlambat dalam menyampaikan SPT Masa PPN. Sehingga diharapkan dengan adanya keluasan batas waktu penyampaian SPT Masa tersebut tidak ada lagi Wajib Pajak yang terlambat dalam penyampaiannya; 3. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa cuti bersama mengakibatkan banyaknya hari libur, dan yang seringnya terjadi bertepatan dengan batas waktu penyetoran pajak atau pelaporan SPT Masa sehingga Direktur Jenderal Pajak meluncurkan peraturan secara kasuistik yang memberikan kesempatan perpanjangan waktu penyetoran pajak dan penyampaian SPT Masa. Daripada dalam tahun yang sama berkali-kali dikeluarkan peraturan tersebut maka lebih baik kalau masalah cuti bersama yang bertepatan dengan batas waktu paling lambat penyetoran pajak dan pelaporan SPT Masa dimasukkan secara permanen dalam peraturan ini. Akan saya sebutkan di sini ketentuan dalam PMK ini yang mengatur hari libur yang bertepatan dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan pelaporan. Pasal 3 (1) Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. (2) Hari libur nasional sebagaimana dimaksud ayat (1) termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 8 (1) Surat Pemberitahuan Masa atau laporan hasil pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak, Pemotong Pajak atau Pemungut Pajak terdaftar dan/atau dikukuhkan.

(2) Dalam hal batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. (3) Hari libur nasional sebagaimana dimaksud ayat (1) termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Kalau kita perhatikan baik-baik peraturan di atas tepatnya pada Pasal 8 ayat (3) maka akan ada yang mengganjal. Walaupun terlihat sepele namun seharusnya kesalahan itu tidak perlu dilakukan. Saya menulis pasal-pasal di atas asli dan tanpa diubah sedikitpun dari salinan PMK yang aslinya dan terdapat tanda tangan pejabat Departemen Keuangannya dan yang saya unduh dari situs internal (intranet) Direktorat Jenderal Pajak. Dalam pasal itu seharusnya tertulis ".sebagaimana dimaksud ayat (2)" bukan ".sebagaimana dimaksud ayat (1)". Karena penyebutan hari libur nasional dalam Pasal 8 ini ada di ayat (2) bukan ayat (1). Jadi saya menyangka si pengetik naskah PMK ini asal copas (copy paste) dari ketentuan Pasal 3. Kemudian kita beralih pada pertanyaan lanjutan yang muncul yaitu bagaimana dengan di daerah yang sedang menyelenggarakan PILKADA yang bertepatan dengan batas waktu paling lambat penyetoran pajak atau pelaporan SPT? Kalau di daerah tersebut sudah dinyatakan hari pencoblosan diberlakukan sebagai hari libur maka kiranya dapat dipersamakan di sini bahwa batas waktu penyetoran dan pelaporannya juga adalah pada hari kerja berikutnya. Namun untuk lebih dapat dipastikan kiranya Wajib Pajak harus bertanya kepada Kantor Pelayanan Pajak yang berada di wilayah yang sedang menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah tersebut agar Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi karena terlambat menyetor pajak atau melaporkan SPT masanya. Lalu bagaimana dengan batas waktu penyetoran dan pelaporan SPT Tahunan yang bertepatan dengan hari libur? Saya tidak akan membahasnya di sini dan Insya Allah akan saya bahas di tulisan lain karena perlu pembahasan panjang. Berikut tabel batas waktu penyetoran dan pelaporan masa dari masing-masing jenis pajak. Tabel Batas Waktu Penyetoran Pajak dan Pelaporan SPT Masa No. 1 Jenis Pajak PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh pemotong pajak 2 PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh WP 3 PPh Pasal 15 yang dipotong oleh pemotong pajak 4 PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri oleh WP 5 PPh Pasal 21 yang dipotong Penyetoran ke Bank/Pos Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya Paling lama tanggal 10 bulan Pelaporan ke KPP Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir Paling lama 20 hari setelah

oleh pemotong pajak 6 PPh Pasal 23 dan 26 yang dipotong oleh pemotong pajak 7 PPh Pasal 25

berikutnya Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya

Masa Pajak berakhir Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir

PPh Pasal 22, PPN, atau PPN & PPnBM atas Impor PPh Pasal 22, PPN, atau PPN & PPnBM atas Impor dalam hal Bea Masuk Dibebaskan

Dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk Dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor Harus disetor dalam jangka waktu 1 hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya Laporan mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya Paling lama 14 hari setelah Masa Pajak berakhir Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir

PPh Pasal 22, PPN, atau PPN & PPnBM atas Impor yang dipungut oleh Ditjen BC

10

PPh Pasal 22 yang dipungut Bendahara

11

PPh Pasal 22 atas penyerahan BBM, gas, dan pelumas, kepada penyalur/agen industry yang dipungut oleh WP Badan yang bergerak dalam bidang produksi BBM, gas, dan pelumas

12

PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai pemungut pajak

Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya

Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir

13

PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu masa pajak

Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya Paling lama tanggal 7 bulan berikutnya

Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir Paling lama 14 hari setelah Masa Pajak berakhir

14

PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh bendahara pemerintah atau instansi pemerintah yang ditunjuk

15

PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain bendahara pemerintah atau instansi pemerintah yang ditunjuk

Paling lama tanggal 15 bulan berikutnya

Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir

16

PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sesuai Pasal 3 ayat (3b) UU KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu SPT Masa

Paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir

Paling lama 20 hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir

17

Pembayaran Masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sesuai Pasal 3 ayat (3b) UU KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu SPT Masa

Paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masingmasing jenis pajak

Paling lama 20 hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir

Sumber: Pasal 2 dan Pasal 7 PMK No.184/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 Demikian apa yang saya sampaikan. Semoga bermanfaat. Bila bermanfaat, sebarkan artikel ini dengan mencantumkan sumbernya. Bila tidak buang saja ke tong sampah. Masyarakatkan konsultasi pajak secara gratis. Bila ada yang kurang jelas sila untuk bertanya. Karena konsultasi di sini adalah gratis khusus untuk Anda sebagai Wajib Pajak. Riza Almanfaluthi

You might also like