You are on page 1of 8

KONSEP DASAR PPnBM

PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan PPN. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan terhadap : 1. 2. penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.

Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun fihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP mewah dilunasi oleh importir berbarengan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 Impor. Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM 1. 2. 3. 4. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi; perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah; perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; perlu untuk mengamankan penerimaan negara;

Pengertian BKP Mewah 1. 2. 3. 4. 5. bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.

Pengertian Menghasilkan PPnBM dikenakan pada saat Pengusaha yang menghasilan BKP Mewah menyerahkan kepada fihak lain. Termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah sebagai berikut ; 1. 2. 3. 4. 5. merakit : menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga, dan sebagainya; memasak : mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain atau tidak; mencampur : mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain; mengemas : menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang melindunginya dari kerusakan dan atau untuk meningkatkan pemasarannya; membotolkan : memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;

Tarif, Kelompok dan Jenis BKP Mewah Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang PPN, ditentukan : 1. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).

2. 3. 4.

Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen). Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Peraturan Pemerintah yang mengatur pengelompokan BKP yang tergolong mewah ini adalah PP Nomor 145 Tahun 2000 yang kemudian mengalami beberapa perubahan dengan PP Nomor 60Tahun 2001, PP Nomor 7 Tahun 2002, PP Nomor 6 Tahun 2003, PP Nomor 43 Tahun 2003, PP Nomor 55 Tahun 2004, PP Nomor 41 Tahun 2005 dan PP Nomor 12 Tahun 2006. Adapun Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur jenis barang yang dikenakan PPnBM adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 570/KMK.04/2000, 381/KMK.03/2001, 141/KMK.03/2002, 39/KMK.03/2003 dan Peraturan MenteriKeuangan Nomor 620/PMK.03/2004.

KARAKTERISTI, LATAR BELAKANG DAN MEKANISME PENGENAAN PPnBM


A. KARAKTERISTIK PPnBM a. PPnBM merupakan pungutan tambahan disamping PPN b. PPnBM hanya dipungut satu kali yaitu pada saat impor BKP yang tergolong mewah, atau atas penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh PKP Pabrikan dari BKP yang tergolong mewah tersebut c. PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN d. Apabila Eksportir mengekspor BKP yang tergolong mewah, PPnBM yang dibayar pada saat perolehannya dapat diminta kembali B. LATAR BELAKANG PENGENAAN PPNBM 1. PPN berdampak regresif, yaitu semakin tinggi kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul. Untuk mengurangi regresivitas ini, terhadap konsumen yang mengkonsumsi BKP yang tergolong mewah dikenakan beban pajak tambahan yaitu PPnBM. 2. Konsumsi BKP yang tergolong mewah bersifat kontraproduktif. Hal ini merupakan upaya untuk mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak produktif dalam masyarakat. 3. Produsen kecil dan tradisional menghadapi saingan berat dari komoditi impor. Dengan motivasi ini, pengenaan PPnBM dimaksudkan untuk melindungi produsen kecil dan tradisional atau untuk tujuan proteksi 4. Tuntutan peningkatan penerimaan negara dari tahun ke tahun

Subjek Pajak Pertambahan Nilai


A. Pengusaha
Dalam pasal 1 angka 14 UU PPN : Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Pengertian orang pribadi dirasa cukup jelas, sedangkan pengertian badan dalam pasal 1 angka 13 UU PPN adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Untuk memperjelas ruang lingkup dari arti pengusaha maka perhatikan ilustrasi ini: Dika seorang mahasiswa mendapatkan kiriman DVD Player dari saudaranya yang berada di Singapura. Berdasarkan pasal 1 ayat 9 Dika mengimpor DVD Player, tetapi berdasarkan pasal 1 ayat 14 Dika bukan seorang pengusaha di bidang impor karena kegiatan yang dilakukan tidak berhubungan dengan pekerjaan atau usahanya. Arry, Seorang pengusaha di bidang jual beli barang elektronik. Ia mengimpor televisi secara berkala dari Cina. Berdasarkan uraian tersebut Arry bisa dikatakan seorang pengusaha karena ia melakukan impor berkaitan dengan pegerjaan atau kegiatan usahanya. Dengan demikian, Pengusaha Kena Pajak bisa terdiri dari Orang Pribadi atau Badan. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap.

B. Pengusaha Kena Pajak


Pengusaha Kena Pajak (disingkat PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini. Demikian definisi PKP berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2009. Dengan kata lain PKP adalah Pengusaha yang usahanya adalah memperdagangkan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. Apabila Pengusaha tersebut memperdagangkan atau melakukan penyerahan barang yang tidak kena pajak atau jasa yang tidak kena pajak, maka Pengusaha tersebut adalah bukan Pengusaha Kena Pajak.
Yang dimaksud penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini adalah penyerahan Barang dan/atau Jasa sesuai pasal 4 UU PPN. Termasuk dalam kelompok PKP adalah pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf f UU PPN, serta bentuk kerjasama operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 143 tahun 2000. Lebih rinci lagi, penyerahan BKP dan/atau JKP dimaksud meliputi : a. b. c. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; dan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

Pengertian PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN itu kemudian disempurnakan lagi di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 143 tahun 2000, yaitu termasuk di dalam pengertian PKP adalah Pengusaha yang sejak semula bermaksud mengadakan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP atau ekspor BKP. Terdapat pengecualian untuk pengusaha kecil sesuai dengan pasal 3A ayat 1 UU PPN yang berbunyi Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. Sehingga kepada pengusaha kecil diberikan kebebasan memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak atau tidak. Jika memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, maka wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 3A ayat 1 UU PPN. Pengusaha kecil adalah pengusaha yang memenuhi kriteria sesuai dengan yang diatur dalam KMK no.571/KMK.03/2003 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.

C. Bukan Pengusaha Kena Pajak


Subjek PPN yang bukan PKP adalah orang atau badan yang mengimpor BKP, memanfaatkan jasa atau BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean, dan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha dimaksud dalam Pasal 4 huruf b (mengimpor Barang Kena Pajak), huruf d (memanfaatkan Barang Kena Pajak tak berwujud), dan huruf e (memanfaatkan Jasa Kena Pajak) dalam UU PPN tidak berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.

D. Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), sebagaimana diatur dalam PMK NOMOR 68/PMK.03/2010. Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya. Bagi pengusaha orang pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku adalah tahun kalender. Pengusaha kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya. Namun, apabila pengusaha kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak maka pengusaha kecil tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya. Apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) maka Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilakukan paling lama akhir

bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan tidak dipenuhi pengusaha, Direktur Jenderal Pajak dapat mengukuhkan pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak, terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya. Dalam hal pengusaha telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

E. Joint Operation
Pasal 2 ayat 2 PP 143/2000 secara tersirat menetapkan bahwa bentuk usaha Joint Operation setelah 1 Januari 1995, perlakuan terhadap konsorsium, joint operation, dan joint venture ditegaskan dalam Surat Edaran nomor S-349/PJ.321/1990 dan nomor S-263/PJ.42/1991 yang intinya bahwa pengusaha dengan bentuk usaha semacam itu termasuk PKP. Kutipannya : a. Apabila dalam transaksi dengan pihak lain, secara nyata dilakukan atas nama JO, maka JO harus dikukuhkan sebagai PKP. Untuk itu JO harus mendaftarkan diri sebagai PKP. b. Apabila seluruh transaksi dengan pihak lain tersebut secara nyata dilakukan masing masing anggota JO, maka yang dikukuhkan sebagai PKP hanyalah anggota JO tersebut saja. c. Dalam hal JO menunjuk leader, maka apabila atas jasa yang diberikan oleh leader kepada anggota diterima pembayaran, maka atas pembayaran itu terutang PPN. d. Penyerahan JKP dari anggota JO atau konsorsium dalam kedudukannya sebagai subkontraktor kepada konsorsium, merupakan penyerahan kena pajak.

PENGERTIAN PPN MASUKAN DAN KELUARAN


PPN Masukan = Pajak Pertambahan Nilai akibat terjadinya pembelian PPN Keluaran = Pajak Pertambahan Nilai akibat terjadinya penjualan Intinya kyk gini, lbih lengkap tambahin kata2 aja :D

You might also like