You are on page 1of 46

ii

DAFTAR ISI



Halaman

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
A. LATAR BELAKANG ........................................................................................ 1
B. PERUMUSAN MASALAH ............................................................................... 3
C. TUJUAN PENELITIAN .................................................................................... 4
D. MANFAAT PENELITIAN ................................................................................ 4
E. RUANG LINGKUP ........................................................................................... 4
F. METODE PENELITIAN ................................................................................... 5
1. Desk Riset ...................................................................................................... 5
2. Observasi Lapangan ....................................................................................... 5
G. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 5
1. Tinjauan Umum tentang Koperasi Indonesia .................................................. 5
2. Gambaran Umum Keberadaan Badan Usaha Koperasi di Jawa Timur ............ 13
3. Tinjauan Umum tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) ....................... 18
4. Gambaran Umum Keberadaan Badan Usaha Milik Desa di Jawa Timur ......... 25
H. ANALISIS PERAN ANTARA KOPERASI DENGAN BUMDes
DALAM RANGKA PENGUATAN PEREKONOMIAN DESA ........................ 30
I. KEMUNGKINAN TERJADINYA BENTURAN OPERASIONAL ATAS
KEBERADAAN KEDUA LEMBAGA ANTARA KOPERASI DENGAN BUMDES 36
J. KESIMPULAN .................................................................................................. 40
K. SARAN .............................................................................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 42
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................... 44

1
A. LATAR BELAKANG
Koperasi sebagai lembaga di mana orang-orang yang memiliki kepentingan relatif
homogen, berhimpun untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dalam pelaksanaan
kegiatannya, koperasi dilandasi oleh nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mencirikannya
sebagai lembaga ekonomi yang sarat dengan nilai etika bisnis. Nilai-nilai yang terkandung
dalam koperasi, seperti menolong diri sendiri (self help), percaya pada diri sendiri (self
reliance), dan kebersamaan (cooperation) akan melahirkan efek sinergis. Efek ini akan
menjadi suatu kekuatan yang sangat ampuh bagi koperasi untuk mampu bersaing dengan para
pelaku ekonomi lainnya. Konsepsi demikian mendudukkan koperasi sebagai badan usaha
yang cukup strategis bagi anggotanya dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomis yang pada
gilirannya berdampak pada masyarakat secara luas.
Pada era Orde Baru (Orba), pembangunan koperasi sangat signifikan. Diwarnai oleh
kesuksesan gerakan para petani di pedesaan yang tergabung dalam Koperasi Unit Desa
(KUD). Koperasi tampil sebagai lokomotif perekonomian desa, antara lain dalam penyaluran
sarana produksi pertanian (saprotan), prosesing hasil pertanian hingga kegiatan pemasaran ke
Bulog dan pasaran umum. Selain itu, koperasi juga telah mulai aktif dalam bidang usaha
peternakan, perikanan, jasa distribusi/konsumen, dan simpan pinjam/perkreditan. Kegiatan
koperasi tersebut sudah diterima keberadaannya oleh masyarakat sebagai gerakan ekonomi
rakyat dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur.
Berdasarkan fenomena yang terjadi selama ini, sudah banyak jumlah koperasi yang
berdiri utamanya di pedesaan. Misalnya, KUD dan Kopersi Simpan Pinjam (KSP) yang
mampu memposisikan diri sebagai lembaga dalam program pengadaan pangan nasional serta
pengelolaan dan penyaluran keuangan kepada masyarakat. Pendirian koperasi di desa
umumnya disambut baik oleh warga dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian

2
desa. Menurut data statistik perkoprasian 2007
1
menunjukkan bahwa tahun 2006 jumlah
koperasi mencapai 141.326 unit meningkat sebesar 4,71% dari tahun 2005 sejumlah 134.963
unit (www.depkop.go.id). Kondisi ini menggambarkan keberadaan koperasi setidaknya
diharapkan mampu menumbuhkan posisi tawar (bergaining position) rakyat terhadap pasar.
Di tengah-tengah persaingan global yang lebih kompetitif, banyak sekali pelaku
ekonomi yang ikut berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan desa. Salah
satunya program yang sedang gencar dipromosikan oleh Departemen Dalam Negeri adalah
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai penggerak perekonomian desa. BUMDes
sebagai lembaga berbentuk badan hukum yang menaungi berbagai unit usaha desa, meliputi
usaha sektor moneter (keuangan) sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan sektor riil.
Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan
kuat program pemerintah, telah dijalankan dalam waktu lama dan tidak mudah keluar dari
kungkungan pengalaman tersebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market
program menjadi sumber pertumbuhan koperasi, maka dengan lahirnya BUMDes sebagai
badan usaha desa menjadi tantangan baru dalam persaingan usaha yang lebih kompetitif
terutama KUD dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) sebagai unit keuangan desa.
Selama ini, aktifitas keberadaan BUMDes lebih banyak bergerak dalam pendanaan
penyaluran kredit kepada masyarakat desa. Kegiatan ini, sama halnya dengan yang dilakukan
oleh koperasi melalui KSP-nya. Padahal menurut peraturan perundang-undangan keuangan,
lembaga yang berhak melakukan pengelolaan keuangan dalam hal ini adalah mengumpulkan
dan menyalurkan dana kepada masyarakat adalah perbankan dan koperasi. Sebagai contoh
BUMDes di Kabupaten Trenggalek yang bergerak dalam simpan pinjam yang sebenarnya
bertentangan dengan sistem perekonomian. Kondisi ini mengidentifikasikan bahwa aktifitas
BUMDes seolah-olah mengambil alih peran usaha koperasi yang sudah sejak lama berjalan.

1
Lihat lampiran 1. tentang perkembangan koperasi per propinsi seluruh indonesia tahun 2005 s/d 2006.

3
Adanya suatu sinergi kesamaan jiwa koperasi member base dan self help yang juga dimiliki
oleh BUMDes dikhawatirkan akan menimbulkan benturan dan persaingan tidak sehat dalam
pelaksanaannya yang dapat menghambat laju perkembangan perekonomian desa sendiri.
Berdasarkan kondisi permasalahan di atas, membuat masyarakat menjadi bingung
tentang peran keberadaan koperasi dan BUMDes. Hal ini dikarenakan kedua badan usaha
tersebut sama-sama merupakan lembaga pemerintah yang memiliki kesamaan tujuan untuk
gerakan penguatan perekonomian desa. Akibatnya, timbul kekhawatiran masyarakat yang
memungkinkan adanya benturan operasional di lapangan baik dari sisi produsen (suplay)
maupun konsumen (demand). Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan lembaga yang baik
serta pentingnya dilakukan suatu kajian tentang studi komparatif keberadaan koperasi dengan
BUMDes dalam rangka penguatan perekonomian desa. Harapannya nanti agar tidak terjadi
ketimpangan antara koperasi dengan BUMDes, sehingga kedua lembaga tersebut dapat
berjalan dengan karakteristik dan jiwa masing-masing yang intinya bermuara pada
kesejahteraan masyarakat desa.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut.
1. Bagaimanakah peran koperasi dengan BUMDes dalam rangka penguatan perekonomian
desa?
2. Bagaimanakah kemungkinan terjadinya benturan operasional atas keberadaan kedua
lembaga antara koperasi dengan BUMDes?




4
C. TUJUAN PENELITIAN
Sepadan dengan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini memiliki
tujuansebagai berikut.
1. Mengidentifikasi dan menganalisis perbandingan peran keberadaan antara koperasi
dengan BUMDes dalam rangka penguatan perekonomian desa; dan
2. Menganalisis kemungkinan terjadinya benturan operasional atas keberadaan kedua
lembaga antara koperasi dengan BUMDes

D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari hasil kajian studi komparatif keberadaan koperasi dan BUMDes dalam
rangka penguatan perekonomian desa memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Menumbuhkan persamaan persepsi atau pemahaman diantara stake holder tentang
keberadaan koperasi dan BUMDes; dan
2. Menjadi bahan rumusan kebijakan bagi pemerintah baik pusat maupun pemerintah daerah
dalam mengatur dan mengelola lembaga usaha penguatan ekonomi masyarakat desa.


E. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup kajian ini meliputi beberapa aspek antara lain:
1. Identifikasi jenis usaha yang dijalankan koperasi dan BUMDes di beberapa kabupaten di
Jawa Timur; dan
2. Analisis keberadaan antara koperasi dengan BUMDes mengenai aktifitas usahanya yang
ada di beberapa kabupaten di Jawa Timur.




5
F. METODE PENELITIAN
1. Desk Riset
Kajian penelitian ini dilakukan melalui serangkaian kegiatan berupa studi pustaka,
laporan-laporan studi terdahulu, serta diskusi dengan temu pakar dan para pemangku
kepentingan. Desk reset ini dimaksudkan untuk mengetahui dan mengacu kepada konsep-
konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat desa melalui koperasi dan BUMDes yang
diambil dari hasil penelitian terdahulu serta dari beberapa buku teks.

2. Observasi Lapangan
Observasi lapangan dilaksanakan untuk melihat praktik-praktik pemberdayaan
koperasi dan BUMDes yang telah beroperasi di beberapa daerah di Jawa Timur. Dalam hal
ini, penulis terlebih dahulu mengumpulkan data untuk kemudian melakukan analisis
pembahasan atas permasalahan yang telah dirumuskan pada bab sebelumnya.

G. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Umum tentang Koperasi Indonesia
a. Definisi Koperasi
Secara umum koperasi dipahami sebagai perkumpulan orang yang secara sukarela
mempersatukan diri untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi mereka,
melalui pembentukan sebuah perusahaan yang dikelola secara demokratis. Terdapat dua
unsur yang paling berkaitan satu sama lain dalam koperasi setidak-tidaknya. Unsur pertama
adalah unsur ekonomi, sedangkan unsur kedua adalah unsur sosial. Sebagai suatu bentuk
perusahaan, koperasi berusaha memperjuangkan pemenuhan kebutuhan ekonomi para
anggotanya secara efisien. Sedangkan sebagai perkumpulan orang, koperasi memiliki watak
sosial.

6
Keuntungan bukanlah tujuan utama koperasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung
Hatta (1954), yang lebih diutamakan dalam koperasi adalah peningkatan kesejahteraan
ekonomi para anggotanya. Agar Koperasi tidak menyimpang dari tujuan itu, pembentukan
dan pengelolaan koperasi harus dilakukan secara demokratis. Pada saat pembentukannya,
koperasi harus dibentuk berdasarkan kesukarelaan dan kemauan bersama dari para pendirinya
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasar atas azas kekeluargaan.

b. Landasan, Asas, dan Tujuan Koperasi
1) Landasan koperasi
Landasan koperasi Indonesia adalah pedoman dalam menentukan arah, tujuan,
peran, serta kedudukan koperasi terhadap pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Sebagaimana
dinyatakan dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Pokok-pokok
Perkoperasian, koperasi di Indonesia mempunyai landasan sebagai berikut:
a) Landasan Idiil
Sesuai dengan Bab II UU No. 25 tahun 1992, landasan idiil koperasi Indonesia
adalah Pancasila. Penempatan Pancasila sebagai landasan koperasi Indonesia ini
didasarkan atas pertimbangan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup dan ideologi
bangsa Indonesia. Pancasila merupakan jiwa dan semangat bangsa Indonesia dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, serta merupakan nilai-nilai luhur yang ingin
diwujudkan oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan sehariharinya.
b) Landasan Strukturil
Sesuai dengan Bab II UU No. 25/1992 menempatkan UUD 1945 sebagai landasan
strukturil koperasi Indonesia. Sebagaimana yang termuat dalam ayat 1 pasal 33 UUD
1945 dengan tegas menggariskan bahwa perekonomian yang hendak disusun di

7
Indonesia adalah suatu perekonomian "usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan." Maksud dari "usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan" dalam
ayat 1 pasal 33 UUD 1945 itu adalah koperasi. Artinya, semangat usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan itu pada mulanya adalah semangat koperasi.
2) Asas koperasi
UU No. 25/1992, pasal 2, menetapkan kekeluargaan sebagai asas koperasi. Di satu
pihak, hal itu sejalan dengan penegasan ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya
sebagaimana telah dikemukakan di atas. Sejauh bentuk-bentuk perusahaan lainnya tidak
dibangun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, semangat kekeluargaan
ini merupakan pembeda utama antara koperasi dengan bentuk-bentuk perusahaan lainnya.
3) Tujuan koperasi
Dalam UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian pasal 3 disebutkan bahwa, koperasi
bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya, serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional, dalam rangka me-
wujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD
1945. Berdasarkan bunyi pasal 3 UU No. 25/1992 itu, dapat disaksikan bahwa tujuan
koperasi Indonesia dalam garis besarnya meliputi tiga hal sebagai berikut.
a) Untuk memajukan kesejahteraan anggotanya;
b) Untuk memajukan kesejahteraan masyarakat; dan
c) Turut Serta membangun tatanan perekonomian nasional.
Dari ketiga tujuan tersebut, mudah dimengerti bila koperasi mendapat kedudukan yang
sangat terhormat dalam perekonomian Indonesia. la tidak hanya merupakan satu-satunya
bentuk perusahaan yang secara konstitusional dinyatakan sesuai dengan susunan per-
ekonomian yang hendak dibangun di negeri ini, tapi juga dinyatakan sebagai sokoguru
perekonomian nasional.

8
c. Prinsip-Prinsip Koperasi Indonesia
Prinsip-prinsip koperasi (cooperative principles) adalah ketentuan-ketentuan pokok
yang berlaku dalam koperasi dan dijadikan sebagai pedoman kerja koperasi. Lebih jauh,
prinsip-prinsip tersebut merupakan "rules of the game" dalam kehidupan koperasi. Pada
dasarnya, prinsip-prinsip koperasi sekaligus merupakan jati diri atau ciri khas koperasi
tersebut. Adanya prinsip koperasi ini menjadikan watak koperasi sebagai badan usaha
berbeda dengan badan usaha lain.
Prinsip-prinsip koperasi menurut UU No. 25 tahun 1992 dan yang berlaku saat ini di
Indonesia adalah sebagai berikut.
1) Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa,
seseorang tidak boleh dipaksa untuk menjadi anggota koperasi, namun harus berdasar atas
kesadaran sendiri. Setiap orang yang akan menjadi anggota harus menyadari bahwa,
koperasi akan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya. Dengan
keyakinan tersebut, maka partisipasi aktif setiap anggota terhadap organisasi dan usaha
koperasi akan timbul.
2) Pengelolaan dilakukan secara demokrasi. Prinsip pengelolaan secara demokratis
didasarkan pada kesamaan hak suara bagi setiap anggota dalam pengelolaan koperasi. Pe-
milihan para pengelola koperasi dilaksanakan pada saat rapat anggota. Para pengelola
koperasi berasal dari para anggota koperasi itu sendiri.
3) Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dilakukan secara adil sesuai dengan besarnya jasa
usaha masing-masing anggota. Setiap anggota yang memberikan partisipasi aktif dalam
usaha koperasi akan mendapat bagian sisa hasil usaha yang lebih besar dari pada anggota
yang pasif. Anggota yang menggunakan jasa koperasi akan membayar nilai jasa tersebut
terhadap koperasi, dan nilai jasa yang diperoleh dari anggota tersebut akan
diperhitungkan pada saat pembagian SHU.

9
4) Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal. Anggota adalah pemilik koperasi,
sekaligus sebagai pemodal dan pelanggan. Simpanan yang disetorkan oleh anggota
kepada koperasi akan digunakan koperasi untuk melayani anggota, termasuk dirinya
sendiri. Apabila anggota menuntut pemberian tingkat suku bunga yang tinggi atas modal
yang ditanamkan pada koperasi, maka hal tersebut berarti akan membebani dirinya
sendiri, karena bunga modal tersebut akan menjadi bagian dari biaya pelayanan koperasi
terhadapnya. Dengan demikian, tujuan berkoperasi untuk meningkatkan efisiensi dalam
mencapai kepentingan ekonomi bersama tidak akan tercapai. Modal dalam koperasi pada
dasarnya digunakan untuk melayani anggota dan masyarakat sekitarnya, dengan
mengutamakan pelayanan bagi anggota. Dari pelayanan itu, diharapkan bahwa koperasi
mendapatkan nilai lebih dari selisih antara biaya pelayanan dan pendapatan.
5) Kemandirian. Kemandirian pada koperasi dimaksudkan bahwa koperasi harus mampu
berdiri sendiri dalam hal pengambilan keputusan usaha dan organisasi. Dalam
kemandirian terkandung pula pengertian kebebasan yang bertanggungjawab, otonomi,
swadaya, dan keberanian mempertanggungjawabkan segala tindakan/perbuatan sendiri
dalam pengelolaan usaha dan organisasi. Agar koperasi dapat mandiri, peran serta
anggota sebagai pemilik dan pengguna jasa sangat menentukan. Bila setiap anggota
konsekuen dengan keanggotaannya dalam arti melakukan segala aktivitas ekonominya
melalui koperasi dan koperasi mampu menyediakannya, maka prinsip kemandirian ini
akan tercapai.
6) Pendidikan perkoperasian. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia Koperasi
(SDMK) adalah sangat vital dalam memajukan koperasinya. Hanya dengan kualitas
SDMK yang baiklah, maka cita-cita atau tujuan koperasi dapat diwujudkan. Nampaknya
UU No. 25/1992 mengantisipasi dampak dari globalisasi ekonomi di mana SDMK
menjadi penentu utama berhasil tidaknya koperasi melaksanakan fungsi dan tugasnya.

10
7) Kerja sama antar koperasi. Kerja sama antarkoperasi dapat dilakukan di tingkat lokal,
nasional, dan internasional. Prinsip ini sebenarnya lebih bersifat "strategi" dalam bisnis.
Dalam teori bisnis ada dikenal "Synergy Strategy" yang salah satu aplikasinya adalah
kerja sama antar dua organisasi atau perusahaan.

d. Sumber Permodalan Koperasi
Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoprasian, bahwa
sumber permodalan koperasi terdiri dari: (a) modal sendiri berasal dari: (1) simpanan pokok;
(2) simpanan wajib; (3) dana cadangan; dan (4) hibah; (b) modal pinjaman yang berasal
dari: (1) anggota; (2) koperasi lainnya; (3) bank dan lembaga keuangan lainnya; (4) penerbit
obligasi dan surat utang lainnya; dan (5) sumber lain yang sah. Selain itu, sumber permodalan
koperasi dapat juga berasal dari akses usaha, akses modal, akses pasar, dan akses teknologi.
Jadi, terdapat banyak sumber permodalan koperasi selain dari anggota dan pihak ketiga juga
dari akses-akses usaha koperasi.

e. Struktur Organisasi Koperasi
Struktur dan tatanan manajemen koperasi Indonesia dapat dirunut berdasarkan
perangkat organisasi koperasi, yaitu:
1) Rapat Anggota
Rapat anggota merupakan suatu wadah dari para anggota koperasi yang
diorganisasikan oleh pengurus koperasi untuk membicarakan kepentingan organisasi
maupun usaha koperasi dalam rangka mengambil suatu keputusan dengan suara
terbanyak dari para anggota yang hadir. Rapat Anggota adalah salah satu perangkat
organisasi koperasi yang merupakan suatu lembaga struktural organisasi koperasi. Segala
keputusan yang dikeluarkan Rapat Anggota sebagai lembaga struktural organisasi
koperasi mempunyai kekuatan hukum, karena merupakan hasil dari suara terbanyak

11
pemilik koperasi. Hal yang dimaksud juga ditegaskan pada pasal 22 UU No. 25 tahun
1992 tentang Perkoperasian, yaitu:
a) Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi.
b) Rapat Anggota dihadiri oleh anggota yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran
Dasar.
Sebagai salah satu lembaga, Rapat Anggota memiliki fungsi, wewenang, aturan
main, dan tatatertib, yang ketentuannya bersifat mengikat semua pihak yang terkait. Rapat
Anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi mempunyai kedudukan
yang sangat menentukan, berwibawa, dan menjadi sumber dari segala keputusan atau
tindakan yang dilaksanakan oleh perangkat organisasi koperasi dan para pengelola usaha
koperasi. Segala sesuatu yang telah diputuskan oleh rapat anggota harus ditaati dan
sifatnya mengikat bagi semua anggota, pengurus, pengawas, dan pengelola koperasi.
2) Pengurus
Pengurus adalah perwakilan anggota koperasi yang dipilih melalui rapat anggota,
yang bertugas mengelola organisasi dan usaha. Idealnya, pengurus koperasi sebagai
perwakilan anggota diharapkan mempunyai kemampuan manajerial, teknis, dan berjiwa
wirakoperasi, sehingga pengelolaan koperasi mencerminkan suatu ciri yang dilandasi
dengan prinsip-prinsip koperasi. Kedudukan pengurus sebagai penerima mandat dari
pemilik koperasi dan mempunyai fungsi dan wewenang sebagai pelaksana keputusan
rapat anggota sangat strategis dan menentukan maju mundurnya koperasi. Posisi yang
menentukan tersebut merupakan pengejawantahan tugas dan wewenang pengurus yang
ditetapkan dalam undang-undang, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, dan
peraturan lainnya yang berlaku dan diputuskan oleh Rapat Anggota. Pasal 29 ayat (2) UU
Koperasi no. 25 tahun 1992 menyebutkan, bahwa "Pengurus merupakan pemegang kuasa
Rapat Anggota".

12
3) Pengawas
Pengawas adalah perangkat organisasi yang dipilih dari anggota dan diberi mandat
untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya roda organisasi dan usaha koperasi.
Pengawas organisasi koperasi merupakan suatu lembaga atau badan struktural organisasi
koperasi. Menurut UU No. 25/1992 pasal 39 ayat (1) pengawas bertugas melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan dan pengelolaan koperasi, ayat (2)
menyatakan pengawas berwenang untuk meneliti segala catatan yang ada pada koperasi,
dan mendapatkan segala keterangan yang diperlukan.
4) Pengelola
Pengelola koperasi adalah mereka yang diangkat dan diberhentikan oleh pengurus
untuk mengembangkan usaha koperasi secara efisien dan profesional. Karena itu,
kedudukan pengelola adalah sebagai pegawai atau karyawan yang diberi kuasa dan
wewenang oleh pengurus. Dengan demikian, di sini berlaku hubungan perikatan dalam
bentuk perjanjian ataupun kontrak kerja. Jumlah pengelola dan ukuran struktur
organisasinya sangat tergantung pada besarnya usaha yang dikelola.

Gambar 1. Struktur Organisasi Koperasi








(Sumber data: UU Nomor 25 Tahun 1992 diolah)
RAPAT ANGGOTA
PENGURUS
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Bendahara
MANAJER
Manajer
Keuangan
Manajer
Personalia
Manajer
Produksi
Manajer
Pemasaran
PENGAWAS

13
2. Gambaran Umum Keberadaan Badan Usaha Koperasi di Jawa Timur
Pembangunan koperasi dilakukan tidak boleh terlepas dari upaya pemberdayaan
anggotanya. Pembangunan itu merupakan proses dinamik, karena koperasi adalah lembaga
yang hidup dan beraksi terhadap perubahan kondisi internal maupun eksternal. Mengingat
koperasi merupakan lembaga milik sekelompok masyarakat yang dibangun sendiri oleh
masyarakat bersangkutan dengan maksud untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar ekonomi
masyarakat tersebut, maka dapat dipahami bahwa koperasi harus mampu melaksanakan
berbagai kegiatan-kegiatan ekonomi.
Upaya mewujudkan koperasi berhasil, ditunjukkan dari segala usaha yang dilakukan
para anggotanya agar keberadaan koperasi tetap eksis dan berkembang. Dinas Koperasi dan
Pengusaha Kecil Menengah (PKM) Propinsi Jatim tahun ini berhasil meraih penghargaan
Profesional Award versi Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Jatim, pada kategori
kelompok terbaik dinas dan aparatur yang menerapkan sistem kinerja yang profesional.
Berdasarkan Keputusan Dewan Pengurus Propinsi Korpri Jatim Nomor 033/DPPK/JT-
XI/2008 tentang pemberian penghargaan profesionalisme award kepada aparatur dan
perangkat daerah Propinsi Jatim, predikat kelompok terbaik diraih Dinas Koperasi dan PKM
bersama tiga instansi lain di lingkungan Pemprop Jatim, yakni Badan Perencanaan
Pembangunan, Rumah Sakit Umum Haji, dan Biro Hukum Sekretariat Daerah Propinsi Jatim
(www.diskopjatim.go.id).
Berdasarkan data statistik perkoprasian 2007
2
menunjukkan bahwa jumlah anggota
koperasi di seluruh Indonesia pada tahun 2006 adalah 27.776.133 orang meningkat 1,79%
jika dibandingkan pada tahun 2005 sebesar 27.286.784 orang. Sedangkan untuk propinsi
Jawa Timur sendiri pada tahun 2005 sebanyak 4.805.356 mengalami penurunan sebesar
193.285 orang atau 4,02% pada tahun 2006 (www.depkop.go.id).

2
Lihat lampiran 2. tentang perkembangan jumlah anggota koperasi per propinsi seluruh indonesia tahun 2005
s/d 2006.

14
Untuk memberikan deskripsi tentang pengalaman kinerja koperasi di Jawa Timur,
berikut ini disajikan hasil pengamatan lapangan yang dinilai layak sebagai contoh dan model
bagi pelaku ekonomi rakyat lainnya dalam mengembangkan koperasi sesuai dengan potensi
dan tipologi daerah yang bersangkutan.
a. Koperasi Intako Sidoarjo
Koperasi Intako merupakan kumpulan usaha kecil yang bergerak di bidang perkulitan.
Usaha kecil yang memproduksi barang berbasis kulit membutuhkan bahan baku yang
konsisten dan harga terjangkau agar ongkos produksi barang tidak tinggi. Barang-barang dari
kulit di Indonesia terutama di kalangan dewasa merupakan kebutuhan untuk menunjukkan
status sosial dan pekerjaan. Konsumen barang kulit imitasi muncul akibat segregasi segmen
konsumen. Pengurus koperasi selalu memperhatikan fenomena tersebut dan akan
mengevaluasi perubahan pola pembelian konsumen sehingga sekarang produk intako sudah
dapat dibeli di gerai dunia maya. Hal itu merupakan peran Intako untuk menjawab
keterbatasan pengrajin kulit pada awal berdirinya Intako.
Pada awalnya sebelum muncul Intako, usaha kecil merasa sulit menjaga ketersediaan
bahan baku dan pemasaran. Pengusaha kecil merespon negatif Intako pada awalnya, karena
menyangsikan fungsi dan peran bagi anggota. Tetapi, seiring dengan waktu dan kesolidan
pengurus dan anggota hal tersebut dapat ditepis. Bukti penerimaan pengusaha kecil adalah
jumlah anggota semenjak Intako muncul tahun 1976, jumlah keanggotaan Intako yang
semula berjumlah 27 orang bertambah menjadi 349 pada tahun 2004. Pertumbuhan aset
Intako yang semula hanya berupa modal disetor sebesar Rp 135.000,00 bertambah menjadi
7,8 miliar. Anggota merasakan peran koperasi Intako untuk memenuhi kebutuhan pemasaran,
bahan baku dan perbaikan produk anggota (Sinaga, 2008).
Koperasi produksi barang-barang kulit seperti tas untuk memenuhi permintaan pasar
dengan menyatukan kepentingan pengusaha kecil, yaitu ketersediaan bahan baku dan

15
pemasaran yang kuat. Koperasi dapat menciptakan keunggulan komparatif (comparative
advantages) dengan menguasai pengrajin sampai ke gerai yang terjangkau oleh konsumen.
Penguasaan produksi sampai pemasaran memperkuat daya saing dengan produk lain,
sehingga usaha riil pengrajin dapat berjalan baik. Akibat pemasaran yang baik, membuat
produksi dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Tenaga kerja yang berasal dari daerah
sekitar Sidoarjo terlibat untuk pembuatan tas dan sejenisnya seperti sepatu. Transfer
keterampilan pengrajin, sehingga menimbulkan persaingan yang sehat dan menguntugkan
konsumen.
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan yang terjadi saat ini, Koperasi Intako
dalam memenuhi kebutuhan pemasaran, bahan baku, dan perbaikan produk anggota
mengalami penurunan. Kondisi ini disebabkan adanya cros manager karena kasus lumpur
lapindo yang mengakibatkan akses sibilitas terhadap aktifitas Koperasi Intako menurun.
Akibatnya, kinerja koperasi mengalami kemereosotan seiring dengan pasang surutnya iklim
dunia usaha saat ini. Namun, Koperasi Intako terus berusaha untuk bangkit dalam
memperbaiki masa-masa sulit sebagai wujud kuatnya perkoperasian di Indonesia.
b. Kopwan Citra Lestari Malang
Koperasi Citra Lestari yang resmi berdiri 18 Desember 1989 merupakan kelanjutan
dari proyek percontohan Puskowanjati bertajuk KWPP (Koperasi Wanita Pedagang Pasar).
Pada waktu itu, anggota yang dilayani khusus para pedagang pasar di wilayah Kecamatan
Lawang yang berjualan sayur, tempe, warung nasi, perancangan, dan lain-lain. Mereka Cuma
membutuhkan dana kecil untuk berdagang dengan bunga tidak besar dan tidak birokratis.
Untuk itu, koperasi membantu mereka dengan memberikan pinjaman harian. Namun, dengan
model pinjaman harian ini, aliran dana ternyata tidak begitu tampak. Biaya dana pinjaman
menjadi mahal, bahkan pihak koperasi sempat merugi antara tahun 1989 hingga 1991 sebesar
Rp 4.217.000. Kondisi ini terbukti tidak begitu cocok, sehingga kerugian koperasi

16
menimbulkan reaksi pedagang kecil pasar sebagai anggota koperasi. Mempertimbangkan
masukan anggota dan pemikiran pengurus, maka dibentuklah sebuah unit baru, yaitu unit
simpan pinjam bulanan. Manajemen perputaran dana model tanggung renteng ternyata
berhasil. Dalam tahun pertama penerapan sistem ini, jumlah kelompok berkembang menjadi
enam kelompok.
Sistem tanggung renteng yang telah lebih dahulu dipraktikkan di Kopwan Setia
Bhakti Wanita, merupakan mekanisme penjaminan agar kredit yang dipinjam anggota dapat
dilunasi dengan lancar. Pelunasan kredit dapat berjalan baik karena adanya kontrol kelompok
terhadap anggota, sehingga rasa kebersamaan dan tanggung jawab berjalan secara
berdampingan. Selain menyediakan kredit bunga rendah, Koperasi Citra Lestari juga
menyediakan barang keperluan sehari-hari bagi anggota melalui waserda. Keuntungan
waserda memang tidak besar, tetapi dari kegiatan ini terbina keterikatan anggota dengan
koperasi. Semakin banyak anggota membeli barang, omset waserda dengan sendirinya
semakin tinggi. Kehadiran waserda sedikit banyak menumbuhkan ketertarikan untuk
bergabung menjadi anggota koperasi. Kenyataannya, bahwa koperasi telah memiliki gedung
sendiri, perlahan dan pasti menumbuhkan penilaian positif di kalangan masyarakat bahwa
koperasi sudah dapat dipercaya keberadaannya.
Kebangkitan Koperasi Wanita Citra Lestari yang berawal dari pedagang di pasar
menimbulkan semangat tinggi. Anggota dan pengurus koperasi percaya bahwa lingkaran
setan kemiskinan dapat dipecahkan dengan keuletan, kepercayaan dan kebersamaan. Semakin
tingginya kepercayaan atas pengelolaan koperasi oleh pihak ketiga, termasuk pemerintah,
menuntut seluruh komponen koperasi untuk bekerja lebih kreatif.
c. Koperasi SAE Pujon Malang
Pada awal berdirinya Koperasi SAE beranggotakan 23 orang, memiliki 35 ekor ternak
sapi dengan produksi susu 50 liter per hari yang dipasarkan ke warung-warung. Pada tahun

17
1963 Koperasi SAE mendapatkan bantuan pemerintah lewat Direktur Jendral Peternakan
berupa sapi impor sebanyak 90 ekor. Bantuan ini bersifat penggaduan, yaitu peternakan
mendapat bagian berupa anak sapi yang menjadi hak karena memelihara sapi induk. Dengan
bantuan tersebut dalam tempo lima tahun anggota Koperasi SAE berkembang jadi 150 orang
pada tahun 1967 dan berstatus badan hukum No. 2789/II/12-1967 pada tanggal 16 Agustus
1968. Selama tahun 1968-1970 Koperasi SAE mengalami kemunduran yang mengancam
pada suatu kegagalan total.
Jumlah anggota pada tahun 1970 menyusut menjadi 34 orang yang semula berjumlah
150 orang. Sapi-sapi perah milik anggota banyak yang dijual dan hasil penjualan
dipergunakan untuk usaha lain. Demikian juga dengan produksi susu Koperasi SAE hanya
menampung sekitar 200 liter sehari dari 2000 liter per hari. Banyaknya anggota koperasi yang
keluar disebabkan kurang cakap dan kreativitas pengurus dalam hal ini manajemen
pengelolaan koperasi. Analisis lain menyebutkan, kehancuran Koperasi SAE disebabkan
pengurus menjadikan koperasi ini sebagai ladang mengeruk keuntungan pribadi. Sehingga
keberadaan Koperasi SAE pada saat itu berada pada titik terendah yang mempunyai hutang
kepada anggota sebesar Rp 809.500 akibat dari kegagalan pengelolaan koperasi.
Koperasi SAE berusaha mengembalikan kepercayaan anggota dan masyarakat umum.
Caranya, dimulai dengan langkah-langkah pembinaan dan mengadakan berbagai pembenahan
baik organisasi maupun manajemen serta pengembangan usaha yang lebih efektif, intensif,
dan terpadu. Selain itu, pada pengurus Koperasi SAE dikirim ke luar negeri untuk mendalami
manajemen beternak sapi perah secara modern, dan belajar manajamen perkoperasian. Selang
beberapa waktu, Koperasi SAE menunjukkan keberhasilannya dengan berhasil melunasi
semua hutang pada anggota dan hasil produksi yang meningkat. Keberhasilan ini juga
menunjukkan peran pemerintah yang terus-menerus memberikan pengarahan serta
pembinaan di bidang organisasi maupun bidang lainnya. Usaha tersebut memerlukan

18
pengorbanan anggota, pengurus untuk mempertahankan kekuatan daya tawar sehingga
kesejahteraan masyarakat Pujon tetap lestari. Sebagai koperasi produsen, Koperasi SAE
memiliki peran strategis dimana peranannya ikut serta dalam perbaikan gizi untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan dari ketiga contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan koperasi
sudah dipercaya oleh masyarakat sebagai wujud dan sosok dalam penguatan pengembangan
perekonomian desa. Kondisi-kondisi sulit saat ini yang menimpa kalangan dunia usaha,
membuat keberadaan koperasi tetap kokoh dan berjalan meskipun mengalami penurunan
akses sibilitasnya. Dengan semangat gotong-royong dan kebersamaan anggota dalam
memperbaiki kondisi sulit seperti ini, keberadaan kopersi yakin akan tetap eksis di
masyarakat sebagai gerakan penguatan perekonomian desa di masyarakat.

3. Tinjauan Umum tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
a. Definisi BUMDes dan Dasar Pembentukannya
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 213 ayat
(1) Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi
desa Junto PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa pada Pasal 78-81. Substansi Peraturan ini
menegaskan tentang janji pemenuhan demand (demand complience scenario) dalam konteks
pembangunan nasional dalam upaya turut mengakselerasi pembangunan ke desa. Hal yang
mendasari sebagai prinsip tata kelola BUMDes antara lain:
1) Logika pembentukan BUMDes didasarkan pada kebutuhan, potensi, dan kapasitas desa,
sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2) Perencanaan dan pembentukan BUMDes adalah atas prakarsa (inisiasi) masyarakat desa,
serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif dan emansipatif (user

19
owned, user benefited, and user controlled) dengan mekanisme member-base dan self-
help.
3) Pengelolaan BUMDes harus dilakukan secara profesional, koperatif, dan mandiri.
Bangun BUMDes dapat beragam di setiap desa di Indonesia.
Dalam hal pembentukannya, BUMDes dibangun atas prakarsa masyarakat serta
mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif dan partisipatif. Selain itu, yang terpenting
juga adalah pengelolaannya dilakukan secara profesional dan mandiri. BUMDes sebagai
badan hukum, tentunya dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa. Dengan
demikian, bentuk BUMDes dapat beragam di setiap desa di Indonesia.
Berdasarkan hal di atas, BUMDes adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh
masyarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan
dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. BUMDes menurut Undang-undang nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah didirikan antara lain dalam rangka peningkatan
Pendapatan Asli Desa (PADesa). Oleh karena itu, jika PADesa dapat diperoleh dari
BUMDes, maka hal tersebut akan merangsang setiap Pemerintah Desa memberikan
goodwill dalam merespon pendirian BUMDes. Di sisi lain, BUMDes sedapat mungkin
dibangun atas semangat dan prakarsa masyarakat dengan mengemban prinsip-prinsip
kooperatif dan partisipatif, serta pengelolannya dilakukan secara profesional dan mandiri.
b. Landasan Hukum BUMDes
1) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 213 ayat (1) Desa dapat
mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa.
2) PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa;
Pasal 78
1) Dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan Desa, Pemerintah Desa dapat
mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi Desa.

20
2) Pembentukan Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Desa berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
3) Bentuk Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbadan
hukum.
Pasal 79
1) Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) adalah usaha
desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa.
2) Permodalan Badan Usaha Milik Desa dapat berasal dari:
a) Pemerintah Desa;
b) tabungan masyarakat;
c) bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
d) pinjaman; dan/atau
e) penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar saling
menguntungkan.
3) Kepengurusan Badan Usaha Milik Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan masyarakat.
Pasal 80
1) Badan Usaha Milik Desa dapat melakukan pinjaman sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2) Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat
persetujuan BPD.
Pasal 81
1) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan Badan
Usaha Milik Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya memuat:
a) bentuk badan hukum;
b) kepengurusan;
c) hak dan kewajiban;
d) permodalan;
e) bagi hasil usaha;
f) kerjasama dengan pihak ketiga; dan
g) mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban;
c. Perspektif Atas Rancang Bangun BUMDes
BUMDes sebagai lembaga berbentuk badan hukum yang menaungi berbagai unit
usaha desa (meliputi usaha sektor moneter (keuangan) sebagai Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) serta sektor riil). Jika selama ini sudah ada beberapa kegiatan yang dikelola oleh
masyarakat bersama Pemdes, maka perlu penataan organisasinya dalam payung BUMDes.
Misalnya, adanya UPK (Unit Pengelola Keuangan) bagian dari program Gardu Taskin, Unit

21

Simpan-Pinjam Desa, Lumbung Desa, Pasar Desa, Retribusi kawasan wisata, maka dapat
dirintis sebagai embrio bagi BUMDes.
Dalam upaya mendirikan BUMDes perlu pemahaman tentang kesesuaian antara
bentuk organisasi, pola penyelenggaraan, dan jenis usaha yang akan dikembangkan BUMDes
dengan kapasitas dan potensi masing-masing desa beserta karakteristik masyarakatnya.
G Ga am mb ba ar r 2 2. . P Pe en ng gu ua at ta an n E Ek ko on no om mi i M Ma as sy ya ar ra ak ka at t D De es sa a m me el la al lu ui i
T Ta at ta a K Ke el lo ol la a B Ba ad da an n U Us sa ah ha a M Mi il li ik k D De es sa a ( (B BU UM MD De es s) )











d. Prinsip Tata Kelola BUMDES
Prinsip-prinsip umum pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), antara lain:
1) Pengelolan BUMDes harus dilakukan secara profesional, kooperatif, dan mandiri (self
helf dan member base). Sehubungan dengan itu, untuk membangun BUMDes diperlukan
informasi yang akurat dan tepat tentang karakteristik kelokalan, termasuk ciri sosial-
budaya masyarakatnya.
UNIT USAHA
SEKTOR
RIIL




WILAYAH
EKONOMI DESA


WILAYAH
EKONOMI LUAR
(SUPRA) DESA
PIHAK
KETIGA

MASYARAKAT
UNIT USAHA
KEUANGAN
PEMDES
PEMKAB/ KOTA
BUMDes

22
2) Dalam perolehan modal usaha, BUMDes sebagai badan usaha yang dibangun atas
inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri, sedapat mungkin mengutamakan
modal dari masyarakat dan Pemdes itu sendiri. Selain itu, BUMDes dapat
memperoleh modal dari pihak luar, seperti dari Pemkab dan Pemprov atau pihak lain
serta dapat pula melakukan pinjaman kepada pihak ke tiga, sesuai peraturan
perundang-undangan (UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 ayat
3). Pengaturan lebih lanjut mengenai BUMDes tentunya terlebih dahulu diatur dalam
Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Desa (Perdes).
3) BUMDes dibangun tentunya mengacu pada tujuan yang jelas. Tujuan tersebut,
adalah BUMDes dapat memberikan pelayanan kebutuhan untuk usaha produktif
terutama bagi kelompok miskin di pedesaan, mengurangi praktek ijon (rente) dan
pelepasan uang, menciptakan pemerataan kesempatan berusaha, dan meningkatkan
pendapatan masyarakat desa. Hal penting lainnya, bahwa BUMDes seharusnya
mampu mendidik masyarakat membiasakan menabung yang dengan demikian dapat
mampu mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa secara mandiri.
4) Pengelolaan BUMDes tetap melibatkan pihak ketiga yang akan berdampak pada
masyarakat desa itu sendiri serta masyarakat dalam cakupan yang lebih luas
(kabupaten). Oleh karena itu, pendirian BUMDes mengacu pada keberadaan potensi
ekonomi desa yang mendukung, pembayaran pajak di desa yang baik, kepatuhan
masyarakat desa terhadap kewajibannya cukup tinggi. Kondisi ini semua tentunya
keterlibatan pemerintah kabupaten masih dibutuhkan.
5) Karakter BUMDes adalah bangun unit usaha masyarakat desa yang bercirikan
semangat gotong-royong, kemandirian, akuntabilitas, tanggung jawab, dan sekaligus
menjadi media pendidikan (learning process) bagi masyarakat desa.

23
6) Meningkatkan pelayanan masyarakat sesuai dengan standar pelayanan minimal, agar
usaha masyarakat di desa berkembang.
7) Merupakan upaya pemberdayaan desa sebagai daerah otonom dalam menggerakkan
usaha-usaha produktif bagi upaya pengentasan kemiskinan, pengangguran dan
meningkatkan PADesa.
8) Meningkatkan kemandirian dan kapasitas desa serta masyarakat dalam melakukan
penguatan ekonomi di desa.
Gambar 3.
Penguatan Perekonomian Desa Melalui Penataan dan Pengelolaan BUMDes















Terkait dengan Implementasi Alokasi Dana Desa (ADD), maka proses penguatan
ekonomi desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) diharapkan akan lebih berdaya.
Hal ini ditopang dengan makin meningkatnya dana anggaran desa yang bisa dikelola
sehingga mampu turut untuk menopang permodalan bagi pembentukan BUMDes. Jika ini

PEMDES, PEMDA, dan Pemerintah dapat memfasilitasi, melalui:
> Penyusunan rencana pengembangan perekonomian desa
> Mengembangkan dan menguatkan keuangan desa dgn pendirian BUMDes
> Investasi kebijakan dan anggaran
> Pelatihan bagi aparat maupun masyarakat Desa
> Penguatan kelembagaan desa/masyarakat desa,
> Fasilitasi akses modal, kerjasama, dan pasar
Strategi Penguatan:
1. Berbasis pada potensi desa itu
2. SendiriMemperhatikan daya dukung dan
rencana tata ruang wilayah
3. Mengembangkan usaha2 kerjasama
antar desa
4. Menguatkan produksi lokal
5. Memberikan rasa aman bagi
kegiatan investasi.
Dilaksanakan secara
Bersama antar para
Pelaku:
Masyarakat desa
Pemerintah desa
Dunia usaha
Pemerintah & PEMDA

24
berlaku sejalan, maka akan terjadi peningkatan PADesa yang kemudian digunakan untuk
kegiatan pembangunan desa.
Hal utama dalam upaya penguatan ekonomi desa adalah upaya memperkuat
kerjasama (cooperatif), kebersamaan/kerekatan disemua lapisan masyarakat desa, sehingga
menjadi daya dorong (steam engine) dalam upaya pengentasan kemiskinan, pengentasan
pengangguran, membuka akses pasar, memberikan pendampingan dan konsultasi. Sehingga,
aspek pelayanan kepada masyarakat akan makin meningkat.

e. Tata Kelola BUMDES
Beberapa hal yang harus dilakukan dalam mengelola BUMDes, yaitu:
1) Penyusunan struktur dan pelaksana organisasi. BUMDes sebagai sebuah organisasi, maka
diperlukan adanya struktur organisasi dan siapa saja yang akan menjadi pengurus atau
pengelola BUMDes.
2) Menyusun job deskripsi. Penyusunan deskripsi tugas yang termuat dalam struktur
organisasi akan memudahkan dan memperjelas tugas dan wewenang kepengurusan.
3) Menyusun rencana koordinasi dan kerjasama untuk kegiatan lintas desa.
4) Menyusun kerjasama dengan pihak ketiga melalui persetujuan Dewan Komisaris
BUMDes.
5) Pengelola harus mengacu pada AD/ART BUMDes dan sesuai prinsip-prinsip tata kelola
BUMDes.
6) Pengelolaan BUMDes harus terbuka baik terhadap Pemdes maupun masyarakat.
7) Perlu disusun rencana usaha yang akan dibuka.
8) Untuk usaha yang sudah berjalan, perlu disusun rencana pengembangan usaha.
9) Melaksanakan administrasi dan pembukuan BUMDes.



25
Gambar 4.
Contoh Model Bagan Struktur Organisasi BUMDes

4. Gambaran Umum Keberadaan Badan Usaha Milik Desa di Jawa Timur
Upaya mewujudkan konsep dan implementasi BUMDes, dirintis dengan jalan
mengoptimalkan kapasitas dan kegiatan ekonomi yang sudah berjalan dan dikelola oleh desa.
Misalkan Desa Tanjungrejo, kecamatan Madiun Kabupaten Madiun yang juga menjadi pilot
project BUMDes propinsi Jawa Timur, dimana masing-masing kabupaten ada satu pilot
BUMDes. Demikian juga di desa-desa contoh lainnya yang diarahkan dalam upaya merintis
BUMDes sesuai dengan karakteristik lokalitas dan kapasitas ekonomi desa yang ada,
misalnya pengelolaan pasar desa, wisata desa, kegiatan simpan-pinjam, pengembangan
kerajinan masyarakat dan sebagainya. Proses ini dilakukan melalui upaya mengintegrasikan
kegiatan usaha yang dikelola desa menjadi satu dibawah payung Badan Usaha Milik Desa.
Berikut beberapa contoh implementasi BUMDes di beberapa kabupaten di Jawa Timur.
BADAN USAHA MILIK DESA
(BUMDes)
PEMERINTAHAN DESA
PIHAK
KE TIGA
BANK DESA/
LKM
SEKTOR RIIL

BRI/BI
(Badan Kredit Desa)
PEMERINTAH
KABUPATEN/KOTA
DIREKTUR
MANAGER
BAG. KEUANGAN
KASIR
SEKRETARIS
UNIT SEKTOR RIIL UNIT LEMBAGA
KEUANGAN
ADMINISTRASI PINJAMAN SIMPANAN
MANAGER
STAF-STAF
STAF-STAF
PENGADAAN
STOCK
PRODUKSI PEMASARAN

26
a. Implementasi BUMDes di Desa Tanjung Rejo Kabupaten Madiun
Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Madiun sudah mempunyai lembaga ekonomi yang
bernama BUMDesa yang pertama kali diajukan ke notaris berbentuk PT. Namun, direvisi
menjadi bentuk CV dengan alasan kepemilikan aset yang masih rendah. BUMDesa tersebut
pada tahun 2005 kebetulan merupakan percontohan propinsi yang masih menunggu kucuran
dana dari pemerintah propinsi. BUMDesa akan bergerak utamanya dalam bidang simpan
pinjam yang memang sudah berjalan, beternak sapi dan kambing, dan inisiasi merintis pasar
desa. Terkait dengan pasar desa, mereka berharap ide ini akan lebih memacu perekonomian
di desa. Hal ini masih sebatas wacana, dimana perlu diukur tingkat kebutuhan dan potensi
desa untuk mengembangkan pasar desa. Aset terbesar adalah dalam kegiatan UED-SP yang
dikelola oleh desa yang sudah puluhan tahun. Nilai aset UED-SP yang dikelola mencapai
total dalam kisaran Rp. 325 Juta. Kegiatan simpan-pinjam ini dari hasil inventarisir data di
kantor desa menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Sebagaimana telah
disampaikan oleh Kasun Dusun Kras, Desa Tanjung Rejo bahwa kegiatan UED-SP
yang terdiri atas dua unit kerja memiliki prospek yang cukup bagus dan akan menjadi andalan
usaha di Desa Tanjung Rejo. Secara komersiil masih cukup layak untuk dikembangkan lebih
lanjut, disamping turut menopang aspek sosial termasuk pendidikan, dimana sebagian
dananya dialokasikan untuk membantu pengelolaan pendidikan (TK).
BUMDesa Tanjung Rejo merupakan pilot BUMDesa di kabupaten Madiun yang
dikutkan sebagai wakil dalam BUMDesa percontohan di Propinsi Jawa Timur. Pada satu sisi
memang cukup bagus, namun senyatanya yang terjadi amat jauh dari harapan yang sudah
dibangun. Dimana sesuai SE Gubernur, bahwa BUMDesa di masing-masing desa pilot akan
menerima dana bantuan sebesar 300 juta yang nanti bergulir, namun kenyataan sebagaimana
disampaikan oleh Kades bahwa dana yang akan diterima hanya sebesar Rp 3 juta. Sehingga
untuk mengurus saja mungkin akan tekor Hal inilah kemudian yang makin mengendorkan

27
apresiasi pihak desa, dimana dana merupakan aspek utama dalam mendukung pengembangan
usaha. Sementara masyarakat perlu ransangan agar dapat turut serta jika sudah ada bukti
yang konkrit, menyangkut kegiatan BUMDesa. Kondisi masyarakat yang demikian, tentu
tidak hanya diberi bunga-bunga janji yang manis, namun perlu ada ransangan sehingga
membuat masyarakat tertarik sebagimana disampaikan oleh Kades Tanjung Rejo. Selain itu,
kegiatan usaha BUMDes yang bergerak dalam simpan pinjam akan menjadi
kompetitor/pesaing usaha dari kegiatan koperasi yang selama ini sudah lama terbentuk.
Kondisi ini menjadi tantangan bagi BUMDes ke depan, agar tidak terjadi benturan dan
terkesan saling berebut daerah usaha koperasi yang ujung-ujungnya mengatasnamakan
kesejahteraan masyarakat desa. Oleh karena itu, harapannya BUMDes lebih banyak mengacu
kepada sektor riil dengan menciptakan kegiatan usaha baru bagi masyarakat desa atau
pengelolaan usaha yang masih belum dioptimalisasikan oleh koperasi dapat diambil alih oleh
BUMDes. Pada akhirnya, kondisi tersebut akan dapat menciptakan kegiatan usaha yang sehat
dalam rangka penguatan perekonomian desa.
b. Implementasi BUMDes di Kabupaten Trenggalek
Di Kabupaten Trenggalek terdapat sejumlah 152 BUMDes, di mana setiap tahunnya
pemda menganggarkan Rp 1,55 Miliar dari dana APBD sebagai bantuan modal BUMDes.
Bantuan dana tersebut sebagai salah satu bentuk goodwill pemerintah dalam hal ini adalah
Pemda Trenggalek terhadap aktifitas BUMDes di daerahnya. Kegiatan BUMDes sendiri di
Kabupaten Trenggalek sudah berlangsung tujuh tahun, yaitu mulai dari tahun 2000 s.d 2007.
selama ini, operasional BUMDes di Kabupaten Trenggalek 95% bergerak dalam usaha
simpan pinjam dan mengambil bunga atas pinjamannya sebesar 1,5%. Hal ini sama dengan
bunga yang ditawarkan oleh koperasi, hanya saja proses administrasinya jauh lebih sederhana
dan lebih dekat kepada masyarakat karena BUMDes membentuk Kelompok Masyarakat
(Pokmas). Pokmas-pokmas tersebut beranggotakan 10 orang. Kelebihannya adalah ketika

28
salah satu anggota dalam satu pokmas membutuhkan dana, maka yang bersangkutan tidak
perlu datang langsung ke BUMDes, cukup hanya ketua kelompoknya yang mengajukan
pendanaan tadi ke BUMDes.
Dalam pelaksanaan usaha simpan pinjam BUMDes di Kabupaten Trenggalek,
terdapat kendala yang memberatkan bagi masyarakat desa. Kendala tersebut berupa
penarikan agunan bagi peminjam dana BUMDes sebagai jaminan. BUMDes dalam menarik
agunan bagi para peminjam dana dapat berupa BPKB, sertifikat tanah, atau aset berharga
lainnya yang bertentangan dengan sistem perekonomian. Padahal, menurut perundang
undangan keuangan disebutkan bahwa yang berhak melakukan pengelolaan keuangan dan
penyaluran dana kepada masyarakat adalah perbankan dan koperasi. Kondisi inilah yang
menjadi kendala dan sempat terjadinya konflik ketika oknum yang tidak sependapat dengan
BUMDes memperkarakan kegiatan usahanya untuk dimeja hijaukan secara hukum.
c. Implementasi BUMDes di Kabupaten Blitar
Suasana yang digambarkan BUMDes di Kabupaten Blitar sangat berbeda kondisinya
dengan yang dicontohkan sebelumnya di atas. Keberadaan BUMDes di Kabupaten Blitar
lebih bergerak di sektor riil. Misalnya, BUMDes di Desa Ngeni Kabupaten Blitar dimana
aktifitas usahanya adalah mengelola pabrik genteng. Sebelumnya di Desa Ngeni ini,
masyarakat mendapat bantuan mesin pres untuk genteng dari LPM-Universitas Negeri
Malang. Proses pengelolaan dari usaha ini dibantu oleh pemda dalam hal penaungan
pembentukan BUMDes, sehingga pabrik genteng ini menjadi BUMDes dengan bantuan awal
dari Pemda Blitar Rp 10.000.000. Sistem kepemilikan badan usaha jika di koperasi
sepenuhnya dimiliki oleh anggota koperasi, berbeda dengan di BUMDes. Sistem kepemilikan
di BUMDes, yaitu ada kepemilikan dari pemerintah desa karena modalnya 51% dari Pemdes
dan 49% dari partisipasi masyarakat.

29
Contoh lain keberadaan Bumdes di Desa Bakong di Kabupaten Blitar bergerak untuk
pengelolaan pasar desa dan kios desa serta pendistribusian air minum bagi masyarakat. Desa
Bakong merupakan sebuah desa yang sangat terpencil, tidak mempunyai potensi apa-apa,
kondisi air sangat sulit dan setiap hari masyarakat harus membeli air minum itu. Kemudian
pengadaannya disediakan oleh BUMDes untuk membantu masyarakat desa setempat. Kondisi
inilah yang sangat diharapkan oleh masyarakat untuk membantu mengatasi krisis ketersidiaan
air bersih yang nantinya akan kembali lagi untuk kesejahteraan dan peningkatan
perekonomian desa.
Berdasarkan dari ketiga contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa Implementasi
BUMDes masih mencari jenis usaha yang sesuai dengan keberadaan dan potensi desa. Belum
adanya klasifikasi usaha yang jelas di BUMDes, membuat kondisi ini berpotensi terjadinya
berbenturan dengan koperasi sesama lembaga pemerintah dalam rangka penguatan
perekonomian desa. Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian dan penggodokan yang lebih
komprehensif dalam hal aktifitas usaha antara koperasi dengan BUMDes.
Persoalan mendasar belum tersentuh, dimana filosofi dan substansi BUMDesa harus
melibatkan masyarakat secara luas dengan mekanisme ekonomi kelembagaan yang perlu
diperkuat. Dengan pola member base, sudah ada sebagian yang telah mendirikan BUMDesa
tetapi belum ideal, karena masyarakat belum terlibat secara aktif. Semestinya ide BUMDes
ini muncul karena dorongan dari bawah. Hal ini bisa diwujudkan sejauh desa itu
diberdayakan dulu, sehingga dengan kapasitas yang baru mereka akan mampu melihat dan
memecahkan secara rasional apa yang menjadi masalah/kendala termasuk di dalamnya
kebutuhan untuk mendirikan BUMDes. Pemberdayaan masyarakat dalam hal ini melibatkan
beberapa komponen, baik di tingkat pemerintah desa, BPD bahkan juga di tingkat bawah RT
atau RW. Jika semua komponen bisa bergerak bersama menuju satu tujuan, maka dengan
mudah suatu permasalahan dapat diatasi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

30
H. ANALISIS PERAN ANTARA KOPERASI DENGAN BUMDes DALAM RANGKA
PENGUATAN PEREKONOMIAN DESA
Keberadaan koperasi dan BUMDes di masyarakat perlu adanya pengelolaan yang
baik agar tidak terjadi ketimpangan dalam kegiatannya yang saling memperebutkan lahan
usaha. Jika semua komponen bergerak bersama, tentunya akan ada titik terang yang
diharapkan muncul untuk menyelesaikan problematika di masyarakat. Selain itu, hal ini
diharapkan mampu menjadi pencerahan bagi kita semua tentang bagaimana koperasi
dikembalikan kepada cita-cita para pendiri bangsa ini, menjadikan kegiatan ekonomi sebagai
milik semua rakyat. Dengan demikian, kesenjangan ekonomi yang merembet pada
kesenjangan sosial dan penyakit masyarakat lainnya dapat dikurangi.
Segala aktifitas koperasi yang sudah sejak lama diterima oleh masyarakat dan mapan
keberadaannya, diharapkan tetap melakukan kegiatan usahanya secara optimal. Sedangkan
kegiatan usaha yang masih belum dioptimalisasikan/dilakukan oleh koperasi, nantinya dapat
dikelola oleh BUMDes sehingga keberadaan lembaga-lembaga ini akan mampu menguatkan
perekonomian desa dari semakin banyaknya pelaku usaha. Secara kelembagaan, koperasi
lebih kuat keberadaannya karena diatur langsung dalam UUD 1945 dibandingkan dengan
BUMDes yang hanya UU No. 32/2004, maka supaya tidak terjadi konflik kepentingan perlu
sinergitas antar kedua lembaga tersebut. Misalnya, aktifitas koperasi lebih bergerak di sektor
keuangan (permodalan) sebagaimana diatur dalam perundang-undangan keuangan dan
distribusi barang/jasa, yaitu adanya swalayan, toserba, KSP, distribusi pupuk, dan lain
sebagainya. Sedangkan yang terkait dengan pengelolaan pasar desa, wisata desa, kerajinan
masyarakat, listrik desa, pengelolaan air bersih dan lain-lain yang mengacu kepada potensi
serta kebutuhan desa dapat dikelola oleh BUMDes. Dengan demikian, keberadaan BUMDes
akan menjadi kelembagaan desa yang lebih kuat karena desa memiliki profit center- profit
center dari terbentuknya BUMDes yang bukan merupakan lahan usaha dari koperasi.

31
Terkait dengan kondisi tersebut, maka harapannya keberadaan BUMDes lebih
ditekankan kepada sektor riil yang disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi desa agar tidak
lagi terjadi perselisihan dalam kegiatan usaha berikutnya. Sedangkan koperasi lebih
menyentuh pada sektor keuangan/permodalan bagi masyarakat dan distribusi barang/jasa.
Koperasi sebagai pelaku usaha dan juga BUMDes sebagai pelaku usaha harapannya dapat
berjalan dengan karakteristik dan jiwa masing-masing yang intinya bermuara pada
kesejahteraan masyarakat desa. Secara skematis perbedaan koperasi dan BUMDes dalam
berbagai aspek nampak dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1. Maping Studi Komparatif Keberadaan Koperasi dengan BUMDes

No. Keterangan Koperasi BUMDes
1. Status Organisasi Badan Usaha Badan Usaha
2. Filosofis
Pembentukan
Berdasarkan landasan idiil
dan strukturil, yaitu:

Landasan Strukturil:
UUD 1945 ayat 1 pasal 33,
sebagai landasan strukturil
Koperasi Indonesia.

Landasan Idiil:
Sesuai dengan Bab II UU
No. 25/1992, landasan idiil
Koperasi Indonesia adalah
Pancasila.
Berdasarkan landasan ini,
kedudukan koperasi hukum
lebih kuat jika dibandingkan
dengan BUMDes.
Filosofis pembentukannya
berdasarkan self helf dan
member base.
a. UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah pada
Pasal 213 ayat (1) Desa
dapat mendirikan badan
usaha milik desa sesuai
dengan kebutuhan dan
potensi desa.
b. PP No. 72 Tahun 2005
tentang Desa pada Pasal 78-
81. Substansi Peraturan ini
menegaskan tentang janji
pemenuhan demand
(demand complience
scenario) dalam konteks
pembangunan nasional
dalam upaya turut
mengakselerasi
pembangunan ke desa.
Filosofis pembentukannya yaitu
mewujudkan desa dalam
memotivasi bagi pelaku usaha
yang dapat mengkoordinasikan
kegiatan ekonomi pedesaan.
3. Asas Organisasi Sesuai dengan amanat UU
No. 25/1992, pasal 2,
menetapkan bahwa
kekeluargaan sebagai asas
koperasi yang sejalan
dengan penegasan ayat 1
Pasal 33 UUD 1945 beserta
Bangun unit usaha
masyarakat desa yang
bercirikan semangat gotong-
royong, kemandirian,
akuntabilitas, tanggung
jawab, dan sekaligus menjadi
media pendidikan (learning

32
penjelasannya.

process) bagi masyarakat
desa.
4. Tujuan
Pembentukan
Berdasarkan bunyi pasal 3
UU No. 25/1992, bahwa
koperasi bertujuan
memajukan kesejahteraan
anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya,
serta ikut membangun
tatanan perekonomian
nasional, dalam rangka me-
wujudkan masyarakat yang
maju, adil, dan makmur
berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945.
Secara garis besar, terdiri
dari:
1) Memajukan
kesejahteraan
anggotanya;
2) Memajukan
kesejahteraan
masyarakat; dan
3) Membangun tatanan
perekonomian nasional.
Tujuan dari pembentukan
BUMDes, yaitu:
a. Meningkatkan pelayanan
masyarakat (standar
pelayanan minimal), agar
berkembang usaha
masyarakat di desa.
b. Merupakan upaya
pemberdayaan desa sebagai
daerah otonom dalam
menggerakkan usaha-usaha
produktif bagi upaya
pengentasan kemiskinan,
pengangguran dan
meningkatkan PADesa.
c. Meningkatkan kemandirian
dan kapasitas desa serta
masyarakat dalam
melakukan penguatan
ekonomi di desa, sehingga
menjadi menjadi tulang
punggung pertumbuhan
ekonomi desa
5. Prinsip-prinsip Prinsip-prinsip koperasi
(Cooperative principles),
terdiri dari:
a. Keanggotaan bersifat
sukarela dan terbuka;
b. Pengelolaan dilakukan
secara demokrasi;
c. Pembagian SHU
dilakukan secara adil
sesuai dengan besarnya
jasa usaha masing-masing
anggota;
d. Pemberian batas jasa
yang terbatas terhadap
modal;
e. Kemandirian.
a. Didasarkan pada kebutuhan,
potensi, dan kapasitas desa,
sebagai upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
b. Perencanaan dan
pembentukan atas prakarsa
(inisiasi) masyarakat desa,
serta mendasarkan pada
prinsip-prinsip kooperatif,
partisipatif dan emansipatif
(user-owned, user-
benefited, and user-
controlled) dengan
mekanisme member-base
dan self-help.
c. Pengelolaan dilakukan
secara profesional, koperatif,
dan mandiri. Bangun
BUMDes dapat beragam di
setiap desa di Indonesia.
6. Sumber
Permodalan
a. Modal Sendiri
1) simpanan pokok;
2) simpanan wajib;
3) dana cadangan; dan
4) hibah.
Permodalan BUMDes dapat
berasal dari:
a. Pemerintah Desa;
b. tabungan masyarakat;
c. bantuan Pemerintah,

33
b. Modal Pinjaman
1) anggota;
2) koperasi lainnya;
3) bank dan lembaga
keuangan lainnya;
4) penerbit obligasi dan
surat utang lainnya; dan
5) sumber lain yang sah.
Selain itu, dapat berasal dari
akses usaha, modal, pasar,
dan teknologi.
Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah
Kabupaten/Kota;
d. pinjaman; dan/atau
e. penyertaan modal pihak lain
atau kerja sama bagi hasil
atas dasar saling
menguntungkan.

7. Struktur Organisasi a. Rapat anggota;
b. Pengurus;
c. Pengawas; dan
d. Pengelola
a. Rembuk desa;
b. Pengurus;
c. Pengawas; dan
d. Pengelola
8. Pengambilan
Keputusan
a. Keputusan rapat anggota
diambil berdasarkan
musyawarah mencapai
mufakat. Pendirian
koperasi berdasarkan
semangat kerjasama,
sehingga setiap keputusan
diambil lewat musyawarah
anggota. Perbedaan-
perbedaan yang muncul
diharapkan mengarah
kepada pemufakatan.
b. Bila dalam pengambilan
keputusan tidak bisa
dilakukan secara mufakat,
maka pengambilan suara
dilakukan dengan suara
terbanyak (voting). Dalam
kaitan ini, maka setiap
anggota mempunyai suara
yang sama atau dikenal
sebagai one man one vote.
Dihadapan rapat anggota
setiap orang mempunyai
kedudukan (suara) yang
sama. Perbedaan peran
dalam anggota koperasi
tidak menyebabkan
terjadinya perbedaan suara
yang dimiliki masing-
masig anggota. Perbedaan
dalam jumlah simpanan
juga tidak mengubah
posisi satu orang satu suara
itu.
a. Kesepakatan pendirian
BUMDes dibangun melalui
forum desa/rembug desa
dengan melakukan
identifikasi potensi dan
kebutuhan desa hingga
menghasilkan keputusan
mengenai; AD-ART yang
mencakup antara lain bentuk
badan usaha, keanggotaan,
jenis kegiatan badan usaha,
permodalan serta tata aturan
keorganisasian BUMDes,
maka secara de facto sudah
terbentuk BUMDes.
Selanjutnya, dilakukan
penetapan melalui Perdes
sebagai landasan hukum
untuk legalisasi (de yure).
b. Untuk legalisasi, maka aspek
permodalan ada pembagian
porsi sebagai pemegang
saham, misalkan; Pemdesa
sebesar 51% dan modal
masyarakat sebesar 49%.
Salah satu sumber modal bagi
BUMDes dapat diambilkan
dari pos ADD. Sementara
komposisi pengelola
BUMDes, misalkan Kepdesa
dan Kepala BPD sebagai
Komisaris ditambah satu dari
elemen Masyarakat serta
pelaksana harian (pengelola)
dari elemen masyarakat.

34
Berdasarkan analisis studi komparatif keberadaan koperasi dengan BUMDes yang
telah dijabarkan di atas dapat dilihat beberapa perbedaan dan persamaan dari kedua badan
usaha tersebut. Sebagai organisasi ekonomi rakyat, koperasi Indonesia pada umumnya
beranggotakan masyarakat yang kemampuan ekonominya lemah. Namun demikian, sebagai
satu energi, kekuatan dari para anggotanya, tetap mampu menunjukkan berbagai
pertumbuhan. Keberhasilan koperasi selama inilah yang mampu mendorong terciptanya
penguatan perekonomian desa.
Keberhasilan suatu usaha sangat ditentukan oleh oleh kemampuan
seseorang/sekumpulan orang dalam mengidentifikasi peluang dan tantangan yang dihadapi,
tentunya dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya, faktor sosial dan kekuatan
finansial yang dimiliki. Bila usaha ini dilakukan oleh perorangan, maka kelembagaan bukan
hal yang penting, sebab dampak maupun hasil yang dicapai berorientasi pada kepentingan
individu. Kelembagaan menjadi sangat penting bila usaha tersebut dilakukan bersama oleh
banyak orang dan berdampak luas pada sumber daya alam serta lingkungan sosial, yang
tentunya memerlukan sebuah sistem pengaturan dalam membangun tata nilai bersama.
Upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas koperasi memang terus dilakukan oleh
pemerintah bersama para pemangku kepentingan. Diawali dengan mendorong terwujudnya
berbagai koperasi percontohan pada awal tahun 1970-an. Kemudian program 42 KU Model
pada pertengahan tahun 1970-an, yang kemudian disusul dengan program KUD Mandiri an
Koperasi Perkotaan Mandiri pada pertengahan tahun 1980-an. Bahkan pada setiap tahun
menjelang peringatan Hari Koperasi, pemerintah dan DEKOPIN juga menjaring, menilai, dan
menetapkan beberapa koperasi sebagai koperasi terbaik atau koperasi berprestrasi. Upaya ini
dimaksudkan untuk memberi dorongan kepada koperasi lain di sekitarnya atau yang sejenis
untuk juga bisa mencapai prestasi serupa. Berikut gambaran kinerja koperasi dari tahun 2000-
2004, dapat disimak sebagaimana tersaji pada tabel di bawah ini.

35
Tabel 2. Gambaran Kinerja Koperasi Tahun 2000-2004

Uraian Satuan
Tahun
2000 2001 2002 2003 2004
Koperasi Aktif Unit 88.930 89.756 93.049 93.800 93.402
Koperasi Tidak
Aktif Unit 14.147 21.010 24.857 29.381 37.328
Jumlah Koperasi Unit
103.077 110.766 117.906 123.181 130.730
Anggota Orang 27.295.893 23.644.850 24.001.435 27282 659 27.523.053
RAT Unit 36.283 37.637 43.072 44.661 46.310
Modal Sendiri Juta Rp 6.816.950,25 11.699.952,00 8.651.929,02 9.419.987,16 11.989.541,50
Modal Luar Juta Rp I2.473.404,16 16.322.599,10 14.961.126,33 14 939.422,15 16.897.052,35
Volume Usaha Juta Rp 23.122.224,43 38.730.174,95 26.582.985,53 26.582.985,53 37.649.091,04
(Sumber data: Soesilo, 2008)

Dari tabel 2 di atas, terbaca gambaran keragaman kelembagaan koperasi di seluruh
Indonesia selama lima tahun terakhir (tahun 2000-2004) antara lain sebagai berikut:
a. Jumlah koperasi bertambah 27.653 unit ( 26,83 persen), yai t u dari 103. 077 uni t
menj adi 130. 730 uni t ;
b. Sementara itu, jumlah koperasi yang aktif meningkat 4.472 unit (5,03 persen), yaitu
dari 88.930 unit menjadi 93.402 unit;
c. Jumlah anggota bertambah relative tidak banyak, yaitu hanya 0,83 persen (sekitar 227-
160 orang), dari 27.295.893 orang menjadi 27.523.053 orang;
d. Jumlah koperasi yang menyelenggarakan Rapat Anggota. Tahunan meningkat dari
36.283 unit menjadi 46.310 unit atau naik sekitar 27,64 persen.
Selama ini koperasi dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis
sektor-sektor primer yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia.
KUD sebagai koperasi program yang didukung dengan program pembangunan untuk
membangun KUD. Di sisi lain, pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program
pembangunan seperti yang selama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik
pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang
kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS
menjadi KUT, pola pengadaan bea pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan

36
monopoli baru (cengkeh). Berdasarkan berbagai pengalaman kinerja koperasi selama ini
dalam melaksanakan fungsi operasionalnya, pengelolaan dan penguatan ekonomi masyarakat
desa sudah memiliki fondasi yang cukup kuat jika dibandingkan dengan badan usaha lainnya.
Sebagaimana telah disampaikan di muka, bahwa koperasi merupakan organisasi
ekonomi yang beranggotakan orang perseorang yang pada umumnya lemah dalam berbagai
aspek ekonomi termasuk aspek permodalannya. Tidak hanya itu, mereka pada umumnya juga
berasal dari kalangan anggota masyarakat yang tidak atau kurang memiilki latar belakang
pendidikan formal, maupun informal yang tidak terlalu tinggi, apalagi pengalaman di bidang
bisnis. Pada akhirnya, koperasi secara umumnya juga kurang memiliki wawasan dan kemampuan
teknis untuk berproduksi, berdagang dan sebagainya, apalagi kemampuan manajerial untuk
menangani suatu kegiatan bisnis. Oleh karena itulah, sebagai kelembagaan yang lebih kuat dan
berpengalaman serta salah satu badan usaha yang dipercaya masyarakat, koperasi seharusnya
dapat meningkatan kualitas layanan kepada masyarakat dengan cara peningkatan SDM,
kompetensi kewirausahaan, perluasan akses permodalan.

I. KEMUNGKINAN TERJADINYA BENTURAN OPERASIONAL ATAS
KEBERADAAN KEDUA LEMBAGA ANTARA KOPERASI DENGAN BUMDES
Secara konseptual dan empiris, mekanisme koperasi memang diperlukan dan tetap
diperlukan oleh suatu perekonomian yang menganut sistem pasar. Besarnya peran tersebut
akan sangat tergantung dari tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pengetahuan dan
kesadaran masyarakat serta struktur pasar dari berbagai kegiatan ekonomi dan sumber daya
alam dari suatu negara. Contoh klasik dari pentingnya kondisi pasar yang kompatibel dengan
kehadiran koperasi adalah pengalaman koperasi susu dimana-mana di dunia ini selalu
menjadi contoh sukses (kasus bilateral monopoli). Padahal sukses ini tidak selalu dapat
diikuti oleh jenis kegiatan produksi pertanian lainnya. Koperasi sebagai mekanisme

37
kerjasama ekonomi juga tidak mengungkung dalam sistemnya sendiri yang terbatas pada
sistem dan struktur koperasi, tetapi dalam interaksi dapat meminjam mekanisme bisnis yang
lazim dipakai oleh badan usaha non-koperasi. Termasuk dalam hal ini pembentukan badan
usaha desa yang berbentuk BUMDes untuk mempertahankan kemampuan pelayanan dan
menegakkan mekanisme koperasi yang dimiliki.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sering sekali terjadi ketimpangan
mengenai aktifitas keberadaan koperasi dengan BUMDes dalam memperebutkan lahan usaha
sebagai gerakan penguatan perekonomian desa. Misalnya, aktifitas keberadaan BUMDes
yang lebih banyak bergerak dalam bidang pendanaan penyaluran kredit kepada masyarakat
desa. Kegiatan ini, sama halnya dengan yang dilakukan oleh koperasi melalui KSP-nya.
Padahal menurut peraturan perundang-undangan keuangan, lembaga yang berhak melakukan
pengelolaan keuangan dalam hal ini adalah mengumpulkan dan menyalurkan dana kepada
masyarakat adalah perbankan dan koperasi. Sebagai contoh, BUMDes di Kabupaten
Trenggalek yang bergerak dalam simpan pinjam yang mengambil bunga atas pinjamannya
sebesar 1,5% dimana kegiatan ini sama halnya dengan yang dilakukan oleh koperasi.
Sebenarnya aktifitas ini bertentangan dengan sistem perekonomian. Kondisi ini
mengidentifikasikan bahwa aktifitas BUMDes seolah-olah mengambil alih peran usaha
koperasi yang sudah sejak lama berjalan.
Dilihat dari tingkat efisiensi, masing-masing badan usaha antara koperasi dengan
BUMDes mempunyai keunggulan komparatif sendiri-sendiri dalam mewujudkan penguatan
perekonomian desa. Melalui pemikiran tersebut di atas, dapat dirumuskan suatu pola
pembagian kerja di antara kedua wadah badan usaha tersebut, bukan dalam bentuk gagasan
pengkaplingan bidang usaha, melainkan dalam pembagian kerja secara fungsional. Koperasi
dengan sifat-sifat khas berdasarkan prinsip kelembagaannya, nampak lebih efisien untuk
melaksanakan secara langsung tugas pokoknya di bidang pemerataan. Tentu saja hal ini

38
dilakukan dengan tidak mengabaikan tanggungjawab dan tugasnya di bidang pertumbuhan
dan stabilitas. Pemikiran tentang tugas pokok koperasi merupakan rasionalisasi dari tugas
koperasi yang telah secara tegas tercantum dalam arah pembangunan jangka panjang
(GBHN), yaitu sebagai wadah untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan yang
lebih besar bagi golongan ekonomi lemah agar mereka dapat ikut berpartisipasi dalam proses
pembangunan dan sekaligus dapat ikut menikmati hasil-hasilnya.
Dalam kegiatan operasionalnya, sebenarnya terdapat perbedaan antara kopersi dengan
BUMDes. Dengan pemetaan tugas dan peran operasional yang jelas, kondisi ini dapat
meminimalisir terjadinya benturan-benturan atas keberadaan koperasi dengan BUMDes.
No. Keterangan Koperasi BUMDes
1. Bentuk Badan
Usaha
Sudah jelas secara eksplisit
usaha-usaha yang sudah
berdiri di masyarakat sesuai
dengan aturan perundangan
koperasi, misalnya KSP,
koperasi produksi, KUD,
dan lain-lain.
Masih belum jelas bentuk
badan usahanya. Apakah
berbentuk CV, Firma, atau PT
sesuai dengan UU BUMDes.
2. Kepemilikan Anggota sebagai pelaku dan
pemilik koperasi, sehingga
lebih termotivasi dalam
bekerja secara mandiri
karena merasa memilikinya.
Terdiri dari masyarakat desa
dan pemerintah. Hal ini terkait
juga dengan sumber permodalan
yang dibantu oleh pemerintah
desa dan pemerintah daerah.
3. Status Bersifat mandatori yang
sudah jelas tercantum sesuai
dengan amanat UUD 1945
pasal 33.
Bersifat tentatif sesuai dengan
UU No. 32/2004, di mana desa
dapat mendirikan BUMDes
sesuai dengan potensi dan
kebutuhan desa. Kata dapat
berarti tidak harus.
4. Lapangan Usaha Lapangan usahanya lebih
terfokus bidang produsen,
pemasaran/distribusi, dan
bidang jasa/simpan pinjam
Terdiri dari dua bidang, yaitu
sektor riil dan pembiayaan.
Agar tidak terjadi benturan,
maka BUMDes dapat terfokus
pada sektor riil yang masih
belum digeluti oleh koperasi.

Koperasi merupakan kunci utama dalam upaya mengentaskan anggota masyarakat
dari kemiskinan. Dengan tugas funsional koperasi seperti itu, diharapkan akan lebih efisien
apabila fungsinya diarahkan untuk tugas pokok memobilisasikan sumberdaya dan potensi

39
pertumbuhan yang ada, tanpa harus mengabaikan fungsinya dalam mengembangkan tugas
stabilitas dan pemerataan. Sedangkan BUMDes, sebagai salah satu wadah pelaku ekonomi
yang juga dimiliki oleh pemerintah, mempunyai kelebihan potensi yaitu lebih efisien dalam
tugas pokoknya melaksanakan stabilitas, sekaligus berfungsi merintis pertumbuhan dan
pemerataan kesejahteraan masyarakat desa.
Untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa mendatang, masing-masing wadah
pelaku ekonomi seharusnya tidak dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri. Kedua
badan usaha tadi justru harus berkembang dan saling terkait satu sama lain secara integratif.
Tanpa keterkaitan integratif seperti itu, perekonominan nasional kita tidak akan mencapai
produktivitas dan efisiensi nasional yang tinggi.
Kondisi semacam itu merupakan wujud nyata gambaran pelaksanaan jiwa dan
semangat kebersamaan dan kekeluargaan dalam tata perekonomian nasional kita. Dalam
hubungan itu tepat apa yang dijabarkan ISEI dalam naskah penjabaran Demokrasi Ekonomi,
bahwa wadah pelaku ekonomi yang kuat tidak dihalangi dalam upayanya memperoleh
kemajuan dan perkembangan. Mereka justru berkewajiban membantu perkembangan wadah
pelaku ekonomi lainnya yang lebih lemah. Sebaliknya pelaku ekonomi yang lemah perlu
dibantu dan diberi dorongan agar dapat lebih maju. Dengan demikian semua pelaku ekonomi
dapat tumbuh dan berkembang bersama-sama sesuai dengan fungsinya.
Selanjutnya bentuk hubungan keterkaitan integratif tersebut dalam pelaksanaannya
harus tetap dilandaskan dan mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi yang rasional dalam
mekanisme pasar yang sehat. Secara lebih kongkrit bentuk keterkaitan integratif dapat berupa
tiga bentuk utama, yaitu: persaingan yang sehat, keterkaitan mitra usaha dan keterkaitan
kepemilikan. Dalam membahas keterkaitan integratif melalui persaingan yang sehat, bentuk
keterkaitan tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan adanya kesepakatan untuk bersaing
dengan masing-masing mendapatkan keuntungan yang wajar tanpa harus saling merugikan.

40
Hal itu dapat diwujudkan, baik melalui peningkatan efisiensi masing-masing pihak dalam
mengelola sumber daya yang dimiliki secara optimal, maupun melalui pemanfaatan peranan
salah satu wadah pelaku ekonomi sebagai pengimbang bagi pelaku ekonomi lain dalam
pelaksanaan kegiatan usaha pada bidang tertentu.

J. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas, dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut.
1. Secara kelembagaan, keberadaan koperasi lebih kuat dari pada BUMDes karena payung
hukumnya terdapat dalam UUD 1945 pasal 33 dan UU No. 25/1992. Sedangkan
keberadaan BUMDes hanya diatur dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan hal tersebut, berarti peran koperasi lebih memiliki kapasitas yang lebih besar
dibandingkan dengan BUMDes.
2. Untuk meminimalkan terjadinya benturan operasional, kegiatan BUMDes lebih relevan
untuk bergerak pada kegiatan sektor riil yang selama ini masih dikelola oleh pemerintah
desa, seperti pasar desa, wisata desa, listrik desa, dan lainnya. Sedangkan aktifitas
koperasi lebih dioptimalisasikan bergerak pada sektor keuangan (permodalan) dan usaha-
usaha yang sudah berjalan selama ini.

K. SARAN
Beberapa rekomendasi menghadapi tantangan bagi dunia usaha, terutama
pengembangan koperasi dan usaha kecil menengah mencakup aspek yang luas, diantaranya:
1. Dalam mewujudkan kelembagaan yang lebih kuat dan salah satu badan usaha yang
dipercaya masyarakat, koperasi dapat meningkatan kualitas layanan kepada masyarakat
dengan cara peningkatan SDM, kompetensi kewirausahaan, perluasan akses permodalan;

41
2. Terkait dengan keberadaan BUMDes, maka perlu dilakukan pengkajian ulang mengenai
keberadaan BUMDes sebagai lembaga usaha dalam upaya memperkuat perekonomian
desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa; dan
3. Supaya tidak terjadi konflik kepentingan dan benturan operasional kedua lembaga antara
koperasi dan BUMDes, maka perlu sinergitas antar kelembagaan sehingga penguatan
perekonomian desa dapat diwujudkan. Artinya sinergisasi dari berbagai program
pemerintah dapat berjalan bersama-sama dalam rangka peningkatan perekonomian dan
pemberdayaan masyarakat desa untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.



42
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Sritua. 1997. Koperasi Sebagai Organisasi Ekonomi Rakyat, dalam Pembangunanisme
dan Ekonomi Indonesia. Pemberdayaan Rakyat dalam Arus Globalisasi. Jakarta: CSPM
dan Zaman.
Departemen Koperasi. Statistik Perkoprasian Tahun 2007. www.depkop.go.id
Fakih, Mansour, 1996, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi
LSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens, Anthony M., 2000, Jalan Ketiga; Pembaruan Demokrasi Sosial, Terjemahan dari
The Third Way; The Renewal Of Sosial Democracy, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Haeruman, H. 2000. Peningkatan Daya Saing Industri Kecil untuk Mendukung Program
PEL. Makalah Seminar Peningkatan Daya Saing. Jakarta: Graha Sucofindo.
Hanel, Alfred, 1985, Basic Aspect of Cooperative Organization and Policies for Their
Promotion and Developing Countries, Marburg.
Herdiyanto. 2002. Sistem Koperasi. Yogyakarta: Adytia Media Yogyakarta.
Maryunani dan Unti Ludigdo (ed), 2002. Desentralisasi dan Tata Pemerintahan Desa
Monitoring dan Evaluasi Berpartisipasi, Prosiding Workshop Nasional, Kerjasama
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya dan Partnership for Governance Reform in
Indonesia, LPEM FE-Unibraw, Malang.
Manurung, 2000. Perkoperasian Di Indonesia: Masalah, Peluang dan Tantangannya di
Masa Depan. Economics e-Journal, 28 Januari 2000.
Soesilo, M. Iskandar. 2008. Dinamika Gerakan Koperasi Indonesia: Corak Perjuangan
Ekonomi Rakyat dalam Menggapai Kesejahteraan Bersama. Jakarta: RMBooks.
Nasution, M. 2001. Mengevaluasi Kinerja Koperasi. Bogor. IPB.

43
PP No. 72 tahun 2005 Tentang Desa
Salim, Agus, 2002, Perubahan Sosial; Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus
Indonesia, Tiara Wacana: Yogyakarta.
Staniland, Martin, 2003, Apakah Ekonomi Politik Itu? Sebuah Studi Teori Sosial dan
Keterbelakangan, Terj. Haris Munandar dan Dudy Priatna dari What is Political
Economy? A Study Of Sosial Theory And Under Development, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Sinaga, P., Siti A., dan Anjar S. 2008. Koperasi dalam Sorot Peneliti. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Sinaga, P., Urip T., Irsyad M., Zaenal W., dan Slamet A.W. 2008. Berlayar Mengarungi
Sejuta Tantangan:Koperasi di Tengah Lingkungan yang Berubah. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoprasian
Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Undang Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 18 Tahun
1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Yayasan Mitra Membangun, 2005, Laporan Kegiatan Penataan Tata Pemerintahan Desa
Yang Baik, Kerjasama YMM, Focal Point SPOD FE-Unibraw dan Partnership for
Governance Reform in Indonesia.

44
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 2 3 + 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1+
1 N A D 2.99+ 2.017 5.011 3.352 2.181 5.533 358 11,96 16+ 8,13 522 10,+2
2 Sumatera Utara +.882 2.991 7.873 +.932 3.153 8.085 50 1,02 162 5,+2 212 2,69
3 Sumatera Barat 2.233 862 3.095 2.351 903 3.25+ 118 5,28 +1 +,76 159 5,1+
+ Riau 2.782 1.087 3.869 2.779 1.229 +.008 (3) (0,11) 1+2 13,06 139 3,59
5 Jambi 2.055 552 2.607 2.0+5 623 2.668 (10) (0,+9) 71 12,86 61 2,3+
6 Sumatera Selatan 2.675 868 3.5+3 2.816 980 3.796 1+1 5,27 112 12,90 253 7,1+
7 Bengkulu 8+5 202 1.0+7 861 288 1.1+9 16 1,89 86 +2,57 102 9,7+
8 Lampung 1.752 1.06+ 2.816 1.69+ 1.309 3.003 (58) (3,31) 2+5 23,03 187 6,6+
9 Bangka Belitung +56 172 628 +7+ 17+ 6+8 18 3,95 2 1,16 20 3,18
10 Kepulauan Riau 6+7 +23 1.070 913 +52 1.365 266 +1,11 29 6,86 295 27,57
11 DK! Jakarta 3.596 3.1+1 6.737 +.325 2.533 6.858 729 20,27 (608) (19,36) 121 1,80
12 Jawa Barat 13.671 6.088 19.759 1+.211 6.351 20.562 5+0 3,95 263 +,32 803 +,06
13 Jawa Tengah 11.555 +.2++ 15.799 11.761 +.775 16.536 206 1,78 531 12,51 737 +,66
1+ D! Yogyakarta 1.3+3 6+8 1.991 1.379 652 2.031 36 2,68 + 0,62 +0 2,01
15 Jawa Timur 12.282 +.893 17.175 13.201 +.095 17.296 919 7,+8 (798) (16,31) 121 0,70
16 Banten 3.+89 1.626 5.115 3.118 2.192 5.310 (371) (10,63) 566 3+,81 195 3,81
17 Bali 2.286 259 2.5+5 2.579 235 2.81+ 293 12,82 (2+) (9,27) 269 10,57
18 Nusa Tenggara Barat 2.119 +10 2.529 2.201 391 2.592 82 3,87 (19) (+,63) 63 2,+9
19 Nusa Tenggara Timur 1.090 17+ 1.26+ 1.09+ 17+ 1.268 + 0,37 - - + 0,32
20 Kalimantan Barat 2.168 6++ 2.812 2.261 758 3.019 93 +,29 11+ 17,70 207 7,36
21 Kalimantan Tengah 1.255 599 1.85+ 1.+5+ 5+2 1.996 199 15,86 (57) (9,52) 1+2 7,66
22 Kalimantan Selatan 1.317 576 1.893 1.376 582 1.958 59 +,+8 6 1,0+ 65 3,+3
23 Kalimantan Timur 2.815 267 3.082 2.613 9+6 3.559 (202) (7,18) 679 25+,31 +77 15,+8
2+ Sulawesi Utara 3.250 1.802 5.052 3.193 2.037 5.230 (57) (1,75) 235 13,0+ 178 3,52
25 Sulawesi Tengah 835 +50 1.285 997 +20 1.+17 162 19,+0 (30) (6,67) 132 10,27
26 Sulawesi Selatan +.511 1.599 6.110 +.761 1.607 6.368 250 5,5+ 8 0,50 258 +,22
27 Sulawesi Tenggara 1.8++ 297 2.1+1 1.8+1 31+ 2.155 (3) (0,16) 17 5,72 1+ 0,65
28 Gorontalo +73 187 660 +86 285 771 13 2,75 98 52,+1 111 16,82
29 Sulawesi Barat +0+ 1+5 5+9 ++6 150 596 +2 10,+0 5 3,+5 +7 8,56
30 Naluku 1.212 30+ 1.516 1.326 +6+ 1.790 11+ 9,+1 160 52,63 27+ 18,07
31 Papua 8+3 72+ 1.567 9++ 820 1.76+ 101 11,98 96 13,26 197 12,57
32 Naluku Utara 561 209 770 657 217 87+ 96 17,11 8 3,83 10+ 13,51
33 Papua Barat 578 621 1.199 503 550 1.053 (75) (12,98) (71) (11,+3) (1+6) (12,18)
94.S1S 40.145 134.963 9S.944 42.3S2 141.326 4.126 4,35 2.237 5,57 6.363 4,71 Jumlah
No PROPINSI
TAHUN
JML Tidak Aktif Aktif JML
2005 {Unit) 2006 {Unit)
Aktif Tidak Aktif
TABEL - 1
Aktif Tidak Aktif JML Koperasi
PERKENBANGAN KOPERAS! PER PROP!NS! SELURUH !NDONES!A
TAHUN 2005 SfD 2006
PERUBAHAN

Sumber: Statistik Perkoprasian Tahun 2007 (www.depkop.go.id)

45
2005 {Org) 2006 {Org) JUMLAH %
1 2 3 + 5 6
1 N A D ++1.+9+ +60.537 19.0+3 +,31
2 Sumatera Utara 989.699 926.52+ (63.175) (6,38)
3 Sumatera Barat 53+.160 536.058 1.898 0,36
+ Riau 553.856 515.037 (38.819) (7,01)
5 Jambi 277.375 318.536 +1.161 1+,8+
6 Sumatera Selatan 715.180 718.996 3.816 0,53
7 Bengkulu 135.577 129.988 (5.589) (+,12)
8 Lampung 8+1.607 875.500 33.893 +,03
9 Bangka Belitung 59.579 67.1+7 7.568 12,70
10 Kepulauan Riau 15+.08+ 319.850 165.766 107,58
11 DK! Jakarta 1.717.152 1.068.682 (6+8.+70) (37,76)
12 Jawa Barat 5.318.+97 6.15+.+06 835.909 15,72
13 Jawa Tengah +.059.587 +.252.760 193.173 +,76
1+ D! Yogyakarta 581.606 605.186 23.580 +,05
15 Jawa Timur +.805.356 +.612.071 (193.285) (+,02)
16 Banten 770.593 871.5++ 100.951 13,10
17 Bali 736.271 755.00+ 18.733 2,5+
18 Nusa Tenggara Barat 533.197 537.156 3.959 0,7+
19 Nusa Tenggara Timur 357.771 357.871 100 0,03
20 Kalimantan Barat 3+1.529 3+9.836 8.307 2,+3
21 Kalimantan Tengah 171.290 206.976 35.686 20,83
22 Kalimantan Selatan 292.196 290.992 (1.20+) (0,+1)
23 Kalimantan Timur 378.109 379.269 1.160 0,31
2+ Sulawesi Utara +53.55+ +51.567 (1.987) (0,++)
25 Sulawesi Tengah 218.152 233.++5 15.293 7,01
26 Sulawesi Selatan 1.060.2+3 1.080.197 19.95+ 1,88
27 Sulawesi Tenggara 18+.667 176.799 (7.868) (+,26)
28 Gorontalo 98.990 10+.567 5.577 5,63
29 Sulawesi Barat 77.675 77.675 - -
30 Naluku 160.++0 82.975 (77.+65) (+8,28)
31 Papua 1+3.175 137.767 (5.+08) (3,78)
32 Naluku Utara 53.660 55.+72 1.812 3,38
33 Papua Barat 70.+63 65.7+3 (+.720) (6,70)
27.2S6.7S4 27.776.133 4S9.349 1,79
TAHUN
Jumlah
No PROPINSI
PERKENBANGAN JNL ANGGOTA KOPERAS! PER PROP!NS! SELURUH !NDONES!A
TAHUN 2005 SfD 2006
PERUBAHAN
TABEL - 2

Sumber: Statistik Perkoprasian Tahun 2007 (www.depkop.go.id)

You might also like