You are on page 1of 37

Kesetaraan Gender Menghancurkan Peradaban Bangsa

4 April 2012 9:58 am | Opini

Karl Bauer | 1x.com Di tengah gunjang-ganjing isu kenaikan BBM yang menyedot perhatian sebagian besar masyarakat, DPR kini juga tengah menggodok RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender). Walau kurang terekspose media massa, RUU ini sebenarnya sangat vital bagi tatanan sosial masyarakat Indonesia, pada bagian yang paling fundamental: relasi laki-laki dan perempuan serta keluarga. RUU ini berusaha memberikan solusi, ujar Fauziyah (Ketua Panja RUU KKG), dalam mengantisipasi soal gender, pembangunan responsif gender, mendorong partisipasi masyarakat, juga tentang bagaimana supaya tidak terjadi kriminalisasi tentang gender.[1] Benarkah ini solusi? Atau justru malah menjadi pemicu masalah baru? Kita boleh saja menganggap bahwa spirit RUU ini adalah untuk kebaikan perempuan. Namun sayangnya, definisi RUU ini tentang gender, kesetaraan gender, dan diskriminasi justru melanggar anggapan kita tersebut. Bagi Henry Shalahuddin yang kini tengah menulis disertasi tentang Gender di Universiti Malaya Kuala Lumpur, RUU ini akan menjadi semacam pintu masuk sekaligus landasan formal bagi dendang khas feminis: My body, my choice, my pleasure.[2] Negara akan melegalkan berbagai kebutuhan elit feminis yang belum tentu

perempuan lain membutuhkannya dan (jika memang jadi dilegalkan) semua perempuan harus membutuhkannya. Masalah paling mendasar adalah RUU ini merupakan upaya formalisasi perspektif feminis yang dikonstruksikan sebagai solusi atas masalah yang terjadi di Barat dan disebarluaskan ke penjuru dunia lewat CEDAW (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women) dan berbagai lembaga pengajur KKG yang mengesankan bahwa semua negara membutuhkannya. Kata Gramsci, inilah hegemoni. Solusi tersebut bagi saya justru masalah setidaknya karena tiga hal: Ancamannya terhadap institusi keluarga, pengabaiannya atas masalah yang sebenarnya lebih riil, dan kesalahpahamannya atas makna kesetaraan. Institusi Keluarga Terancam Perempuan tertindas! Perempuan terdiskriminasi! Ungkapan-ungkapan khas feminis yang sebenarnya berakar pada pola pikir Marxis yang melihat institusi keluarga sebagai cikal bakal dari segala ketimpangan sosial yang ada sehingga harus dihilangkan atau diperkecil perannya agar tercipta masyarakat komunis tanpa pembedaan.[3] Dengan pola pikir semacam ini, ungkapan-ungkapan romantis penuh cinta antara suami dan istri akan berganti dengan ungkapanungkapan perjuangan dan perebutan kekuasaan. Tidak ada lagi ketenangan dan kebahagiaan ketika bertemu pasangan, semua lenyap dalam kosakata ketertindasan. Kata seorang teman, RUU KKG ini berusaha memisahkan Adam dan Hawa. Dua manusia pertama yang mengajarkan kita pentingnya institusi keluarga dan bagaimana mereka berdua menjalin relasi di dalamnya. Tidak hanya itu, fungsi keluarga dalam melanjutkan generasi pun terancam. Ibu rumah tangga, ungkap seorang tokoh feminis dalam The War Over of Family: Capturing the Middle Ground, adalah perbudakan perempuan. Yang lebih parah lagi, data dari Centers for Disease Control menunjukkan jumlah aborsi antara tahun 2000-2005 mencapai angka 850 ribu, belum lagi aborsi yang ilegal.[4] Mereka enggan menjadi ibu dan melakukan aborsi. Belum lagi persoalan pernikahan sejenis yang dalam sebuah artikel berjudul Etika Lesbian di Jurnal Perempuan digambarkan dengan cukup vulgar, cinta antar perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki. Bayangkan! Jika ternyata lesbian telah mewabah bak jamur di musim hujan. Lantas Apakah masyarakat akan terus berlanjut? Inikah hasil dari solusi atas ketimpangan gender itu? Masalah Riil Perempuan Meskipun banyak masalah dari tawaran solusi ini, toh sebagian besar dari ormas Islam yang diundang dalam RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) Komisi VIII seperti Muslimat NU, Aisyiyah Muhammadiyah, PUI, BMOIWI bahkan MUI tidak menolaknya, melainkan hanya meminta perombakan total dari RUU KKG ini. Hanya Muslimat HTI yang menolak.[5] Saya melihat ada semacam kekhawatiran dari sebagian besar ormas Islam dan pihak-pihak yang mengambil sikap serupa bahwa sikap menolak penuh akan diartikan sebagai pembiaran terhadap masalah yang dialami perempuan. Padahal apa yang disebut masalah oleh RUU KKG dan para pengajurnya ini pun sebenarnya hanya masalah yang tercipta akibat pola pikir ketertindasan ala Marxis mereka dan belum tentu

juga dianggap masalah oleh perempuan lainnya. Di sisi lain, sebenarnya ada masalah yang lebih riil untuk diperhatikan dan diselesaikan, seperti human trafficking dan rehabilitasi kesehatan mental para korban; memperbanyak tersedianya ruang menyusui di mal-mal, terminal, tempat kerja, dan fasilitas publik lainnya; memberikan cuti bergaji bagi yang hamil dan melahirkan selama setahun, cuti haid, menerapkan masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu berkarier, dsb.[6] Di sinilah bedanya, pola pikir feminis dan pengajur KKG mengesankan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah itu lebih baik. Padahal, status termulia yang diajarkan Islam untuk seorang perempuan adalah Ibu. Siapakah yang permintaannya lebih harus kita utamakan sebagai seorang anak, Ibu atau Ayah? Ibu, Ibu, Ibu (sampai tiga kali), kemudian ayah. Ini adalah bukti bahwa istilah ketimpangan gender tidak menemukan konteksnya dalam Peradaban Islam. Kesetaraan, Bukan Kesamaan Dr. Lamya Al Faruqi mengatakan bahwa konsep Barat menciptakan masyarakat unisex dengan mendewa-dewakan peran laki-laki dan merendahkan peran perempuan sehingga memaksa perempuan untuk menyerupai laki-laki.[7] Kesetaraan pun akhirnya dimaknai sebagai kesamaan secara kuantitatif. Di Indonesia, contoh paling nyata adalah keharusan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif sebesar 30% yang membuat partai-partai berlomba untuk memenuhi keharusan itu, meski risikonya akan sedikit abai dengan kualitas. Perempuan juga hanya dianggap berkontribusi terhadap pembangunan ketika beraktivitas di luar rumah. Sebuah penghinaan atas peran Ibu yang sangat besar pada diri-diri setiap kita, manusia Indonesia. Konsep kesetaraan dalam RUU KKG ini pun abai terhadap salah satu nilai penting dalam pembentukan budaya dan jati diri bangsa: Nilai Ketuhanan atau Religius. Nuansa dari RUU KKG ini jelas sangat sekular dan melupakan dimensi akhirat. Masyarakat Islam secara konseptual maupun historis, ungkap Hamid Fahmy Zarkasyi dengan sangat indah, tidak menjunjung konsep kesetaraan 50-50. Di hadapan Tuhan memang sama, tapi Tuhan tidak menyamakan cara bagaimana kedua makhluk berlainan jenis kelamin ini menempuh surgaNya.[8]Seorang perempuan yang meninggal saat melahirkan anaknya, diganjar dengan status yang sama ketika seorang laki-laki meninggalkan di medan perang: syuhada. Sungguh, hanya Allah-lah sebaik-baiknya pemberi standar kesetaraan dan keadilan. Bukan manusia, apalagi para feminis yang konon akar katanya adalah fe (iman) dan minus (kurang); kurang iman.

DEPOK - Menurut Direktur INSIST Hamid Fahmy Zarkasyi alias Gus Hamid, Islam tidak akan mati, kecuali Allah menakdirkan di suatu tempat, dengan cara menghilangkan ilmunya. Islam di Indonesia bisa hilang, tapi tidak akan bisa habis dimuka bumi, Bagi Allah, mudah saja untuk menghancurkan peradaban, yakni dengan cara menghilangkan para ulama. "Ketika ulamanya dihilangkan, maka masyarakatnya menjadi tidak bermoral, korup, maksiat merajalela, tidak ada lagi kehidupan yang Islami. Bila tidak ada

ilmu, maka kembalilah pada masa kejahiliyahan.Saat ini umat Islam telah disetting oleh para orientalis, dengan cara merubah pikiran orang Islam. Mereka tidak merubah muslim menjadi Kristen, tapi tetap sebagai muslim tapi memusuhi agamanya sendiri."

Seorang doktor di Australia, pernah meneliti NU dan Muhammaidyah. Peneliti Barat itu menyebut NU ini sebagai Katolik (oran Nasrani), sedangkan Muhammadiyah sebagai protestan. Padahal aliran Protestan dalam Kristen terkait dengan idelogi, sedangkan NU-Muhammadiyah hanya seputar qunut yang sifatnya khilafiyah. Anehnya lagi, sekarang NU juga mengklaim ke Syiah. "Inilah akibat mereka sudah terkena virus pluralisme. Kelompok pluralism berdalih, jangan lihat perbedaannya, tapi cari persamaanya." Gus Hamid mengatakan, kelompok Islam yang berbeda, seperti NUMuhammadiyah, tidak sampai keluar dari akidah. Misalnya ketika al-Ghazali mengeritik Ibnu Sina, tidak sampai melehirkan konflik seperti yang terjadi di Kristen (Katolik-Protestan). Banyak kitab-kitab ulama yang bicara sifat Tuhan, tapi tak satupun ulama yang mengatakan Tuhan lebih dari satu, seperti Trinitasnya kaum Kristiani.

Wacana Ngawur Naudzubillah, saat ini kaum sepilis mengatakan bahwa Al Quran bukanlah firman Tuhan, malainkan perkataan Nabi Muhammad saw. firman Tuhan oleh mereka dikatakan ada di Lauhul Mahfudz. "Inilah buah dari westernisasi. Jika dulu sekularisasi, sekerang liberalisasi. Menunya banyak, awalnya dari relativisme, lalu posmo modern yang meragukan kebenaran. Ketika bicara relativisme, maka tidak ada lagi kebenaran mutlak." Bagi kaum liberal, salah dan benar bisa berubah-ubah. Jika dulu dianggap buruk, bisa jadi akan dianggap baik, atau sebaliknya. Itulah akibat gagasan relativisme, dimana mereka menganggap tidak ada kebenaran yang mutlak. "Sesungguhnya, gagasan kesetaraan gender adalah mimpi orang-orang feminis." Kaum liberal bilang, khamar tidak sama dengan alcohol. Kalau ditempat yang

dingin halal, maka alcohol menjadi halal. "Ini sepertinya main-main, tapi wacana ngawur itu terjadi juga di perguruan tinggi." Seperti diketahui, gagasan pluralisme sudah menyusup ke kalangan masyarakat awam, termasuk pengajian ibu-ibu di majelis taklim. Yang haram dikatakan halal, yang halal menjadi haram. Itulah sebabnya, Gus Hamid mencoba mencounternya sedikit demi sedikit, seraya menjelaskan apa arti mederat, liberal, plural dan sebagainya. Itu dilakukan agar orang awam bisa memahami. "Logika orang liberal itu memang terkesan masuk akal, khususnya bagi masyarakat perkotaan. Maka hati-hatilah dengan jebakan mereka."

PERNYATAAN SIKAP MAJELIS INTELEKTUAL & ULAMA MUDA INDONESIA (MIUMI) TENTANG RUU KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER Setelah mengkaji dengan seksama Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU-KKG), berdasarkan draft yang dibuat panja DPR (Timja/24/Agustus/2011)- naskah terlampir- maka kami menyatakan sikap sebagai berikut: 1. Secara subsantial dan mendasar definisi Gender (pasal 1:1) bertentangan dengan Islam, dan karena itu, seluruh ketentuan yang terkait dengan definisi tersebut tidak dapat dibenarkan, menurut ajaran Islam. Sebab, pembagian peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam Islam TIDAK berdasarkann pada BUDAYA, tetapi berdasarkan WAHYU yang bersifat lintas zaman dan lintas budaya. 2. Maka "kesetaraan" dan "keadilan" dalam RUU ini (pasal 1:2 dan 3) pun bertentangan dengan ajaran Islam, sebab kesetaraan dan keadilan dalam Islam tidaklah berarti persamaan antara laki-laki dalam semua hal. 3. RUU-KKG (pasal 4) memberikan gambaran yang yang keliru dan berlebihan tentang kemajuan dan peran perempuan dalam pembangunan , sehingga memaksakan keterlibatan perempuan di dalam ruang publik, di semua lembaga pemerintah dan non pemerintah, dan mengucilkan makna peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pendidik anak-anak di rumah. 4. RUU KKG (pasal 67 dan 70) berpotensi besar untuk mengkriminalkan umat islam yang karena keyakinan agamanya melakukan pembedaan peran,tanggung jawab,dan kewajibaban antara laki-laki dan perempuan.

5. RUU-KKGN tidak menyebutkan agama sebagai salah satu asasnya,dan karnanya dapat dikatakan bahwa RUU tersebut adalah produk liberlisme yang bertantangan dengan agama dan budaya yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Karena begitu mendasarnya kekeliruan draft RUU-KKG ini dan mengingat dampak besar yang ditimbulkannya, di tengah bangsa Indonesia dan umat Islam khususnya, maka kami menyampaikan pernyataan sikap MENOLAK RUU-KKG dan menghimbau anggota DPR yang muslim untuk menyusun RUU sejenis yang berangkat dari kebutuhan pembangunan bangsa yang adil dan beradab, serta tidak mengabaikan ajaran-ajaran Islam. Dengan Demikian pernyataan ini kami sampaikan, sebagai rasa tanggung jawab intelektual dan amanah risalah kenabian yang senantiasa wajib kita tegakkan bersama. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita semua di jalan-Nya yang lurus. Jakarta, Jumadil Awwal 1433 H/8 April 2012 Majelis Pimpinan MIUMI

Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (Ketua) Bachtiar Nasir, Lc., MM (Sekjen)

Sekilas Sejarah Berdirinya MIUMI Dimulai dari sebuah azzam dalam hati untuk memberikan kontribusi pemecahan masalah umat yang semakin kompleks. Ustad Bachtiar Nasir, sebagai salah satu inisiator mengumpulakan sejumlah tokoh intelektual dan ulama muda lintas organisasi masyarakat. Pertemuan penting pun dilaksanakan sampai beberapa kali termin di Markaz Ar Rahman Quranic Learning Center (AQL) di Jalan Karang Asem Raya No. 23, Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itulah, akhirnya dibentuknya sebuah wadah yang bertujuan untuk mempersatukan suara Islam di negeri ini. Tepat pada tanggal 3 Januari 2012, 15 ulama muda tersebut bersepakat dengan nama Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI). Dalam pertemuan tersebut, pada pendiri MIUMI meyakini, wadah yang akan dibentuk dapat memberikan harapan yang besar pada dunia dakwah Islam di Indonesia. Sebab, mereka sepakat tidak melakukan konfrontasi atau pertentangan dengan lembaga Islam atau ormas Islam yang sudah ada. "Kami sepakat untuk memberikan yang terbaik untuk membantu ormas-ormas atau lembagalembaga yang sudah ada.Jadi keberadaan kami ini tidak untuk mempertajam perbedaan yang ada, tetapi kita ingin memberikan kontribusi yang yang nyata yang dibutuhkan oleh umat," begitu ungkap dari salah satu inisiator MIUMI. Visi dan Misi

Visi :

Menjadi lembaga kepemimpinan formal Islam terdepan dalam penegakkan nilai-nilai Islam. Menjadi wadah pemersatu para intelektual dan ulama Indonesia dalam membangun peta perjuangan menuju kejayaan Islam.

Mission :

Membangun wibawa kepemimpinan formal Islam yang bisa dipercaya umat melalui good governace. Menjadikan hasil riset sebagai landasan penetapan fatwa agar dapat tersosialisasikan dengan baik Menyatukan potensi para intelektual dan ulama dalam membentuk peta perjuangan dakwah yang mendatangkan pertolongan Allah dalam memenangkan Islam dan menjayakan umat Islam.

Naskah Deklarasi MIUMI The Council of Indonesian Ulama and Intellectuals MIUMI Declaration The persistence of knowledge tradition, striving in the cause of Allah and dawah in the Archipelago is a trust and responsibility rendered upon the shoulders of ulama and intellectuals from time to time. Multifaceted problems, such as crisis of aqidah and akhlaq, lack of knowledge, confusion of thinking, as well as the decadence of ulamas authority dan ummah and nation leadership, necessitate scientific and practical solutions. The strong wind of liberalization and varying deviant religious teachings which threaten aqidah and unity of the ummah have required us to revitalize institutes and unite the potentials of ulama and intellectuals. In light of the above thinking, we, from various elements of ulama and intellectuals, who are united here to strive for strenghtening the pillars of aqidah, enhancing knowledge and establishing the unity of ummah and nation, hereby declare the establishment of the Council of Indonesian Ulama and Intellectuals for Indonesia morally fitted. Allahu Akbar!! The Council of Indonesian Ulama and Intellectuals Deklarasi MIUMI

Kesinambungan risalah keilmuan, perjuangan dan dakwah di nusantara adalah amanah dan tanggung jawab intelektual dan ulama dari masa ke masa. Problematika multidimensi, berupa krisis akidah dan akhlak, kelemahan ilmu dan kerancuan pola pikir, serta merosotnya otoritas ulama dan kepemimpinan umat dan bangsa, memerlukan solusi

ilmiah dan amaliyah Derasnya arus liberalisasi dan maraknya aliran menyimpang yang mengancam akidah dan persatuan, memerlukan revitalisasi lembaga dan penyatuan potensi intelektual dan keulamaan. Berdasarkan pemikiran di atas, maka kami dari berbagai unsur intelektual dan ulama muda bergabung untuk memperjuangkan kokohnya akidah, meningkatkan ilmu pengetahuan dan membangun persatuan umat dan bangsa, maka dengan ini kami mendeklarasikan berdirinya Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) untuk Indonesia yang lebih beradab. Allahu Akbar!!

Karen Arsmtrong mencatat kisah indah tentang penaklukan Jerusalem oleh pasukan Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khathab. Peristiwa terjadi pada 636 M. Armstrong menulis: Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya. Pujian Karen Armstrong pada Umar bin Khathab bukan tanpa dasar. Selama ribuan tahun, Kota Jerusalem menjadi ajang perebutan dan pertumpahan darah. Saat berada di bawah Kerajaan Judah (Yahudi), Jerusalem pernah ditaklukkan Babylonia selama dua kali. Yang pertama tahun 597 SM. Ketika itu, Judah dibawah pimpinan Raja Jehoiachin. Setelah itu, mereka memberontak lagi melawan Babylonia, dan pada 586 SM, pasukan Nebuchadnezzar, kaisar Babilonia ketika itu, kembali menaklukkan Judah. Rajanya, Zedekiah, dibuat buta, dan dibawa ke Babylon dengan dirantai. Kota Jerusalem dihancurkan dan Solomon Temple dibakar habis. (Max L.
Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, (New York: Atheneum, 1969)).

Namun, selama ratusan tahun kemudian, ketika Yahudi mengalami pembantaian di mana-mana di dataran Eropa, kaum Yahudi justru menikmati perlindungan dari kaum Muslimin di Andalusia dan kemudian di wilayah Turki Utsmani. Karen Armstrong menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di al-Andalus. Under Islam, the Jews had enjoyed a golden age in al-Andalus, tulis penulis terkenal yang mantan biarawati ini. Memang, tidak ada tradisi dan persekusi kaum kafir dalam Islam, sebagaimana ditemukan dalam konsep heretics di abad pertengahan Eropa. Islam menyebut kaum non-Muslim sebagai kafir, tetapi itu sama sekali bukan sebuah izin apalagi perintah untuk mengeksekusi kaum kafir

karena perbedaan agama. Al-Quran menegaskan: Tidak ada paksaan untuk memeluk agama. (al-Baqarah:256). Karen Armstrong dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Todays World, (London: McMillan London Limited, 1991), mencatat: There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire. Setelah mengalami pengusiran dan penindasan di berbagai wilayah Eropa, Yahudi kemudian mendapatkan tempat aman di wilayah Turki Utsmani. Pada bulan April 1892, Yahudi di Turki Uthmani merayakan apa yang mereka sebut sebagai the fourth centennial of their immigration to Turkey. Suatu doa khusus dipanjatkan untuk mensyukuri keberadaan 400 tahun Yahudi di Turki Uthmani, yaitu sejak mereka mendapatkan perlindungan dari Sultan Beyezid II (memerintah 1481-1512). Istilah mereka, the four hundred years since the Jews had come to find shelter under the wings of the righteous and compassionate sultan, Sultan Beyezid II (r. 1481-1512). Ketika itu, Yahudi di Uthmani dan di berbagai penjuru dunia memberikan ucapan selamat atas kebijakannya terhadap Yahudi. Sebagai contoh, the Central Committee of the Alliance Israelite Universelle in Paris mengirimkan ucapan selamat kepada Sultan Abdulhamid II, yang isinya: Pada musim semi tahun 1492, kaum Yahudi yang diusir dari Spanyol menemukan perlindungan di Turki. Sementara mereka ditindas di belahan dunia lainnya, mereka tidak pernah berhenti menikmati perlindungan di negeri-negeri leluhur Tuan yang jaya. Mereka mengizinkan Yahudi hidup dalam keamanan, untuk bekerja dan untuk membangun. (Lihat, Avigdor Levy, Introduction , dalam Avigdor Levy (ed.), The Jews of The Ottoman Empire, (Princeton: The Darwin Press, 1994). Kebaikan penguasa Muslim Turki Utsmani terhadap kaum Yahudi akhirnya disalahgunakan oleh gerakan Zionis. Mereka bersekutu dengan penguasa Barat dan sejumlah elemen sekular di Turki untuk menumbangkan Turki Utsmani. Dan kini, setelah berkuasa, kaum Zionis justru menebar angkara dan pelanggaran HAM di bumi Palestina. Sementara PBB dan para penguasa dunia hanya menonton saja. (***).

Penulis: Adian Husaini

HAM dan Aliran Sesat

Sejumlah kalangan banyak yang menggugat fatwa MUI tentang aliran sesat dan mengecam pelarangan beberapa aliran sesat oleh Kejaksaan Agung RI. Bahkan, mereka juga menuntut agar MUI dan PAKEM dibubarkan. Jika ditelaah, pendapat mereka yang katanya membela kebebasan dan HAM itu, sangatlah lemah. Saya berbeda pendapat dengan kalangan tersebut. Saya berkeyakinan bahwa tindakan aparat penegak hukum baik dari jajaran kepolisian dalam bentuk penangkapan/penahanan pimpinan aliran sesat dan pengikutnya, maupun tindakan pelarangan dari kejaksaan agung, secara sosio-yuridis merupakan kebijakan yang sangat tepat dan berdasar. Betapa tidak, selain untuk mencegah terjadinya aksi-aksi anarkis, kebijakan tersebut juga merupakan amanat dari ius constitutum kita sendiri. Postulat penindakan tersebut bertumpu pada rumusan delik dalam pasal 156 KUHP, bahwa: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, (b) dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kewenangan aparat penegak hukum sendiri untuk menindak pelaku delik ajaran sesat dan menyesatkan, diatur dalam Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Penpres ini telah ditingkatkan statusnya menjadi UU PNPS No.1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama), dimana pada pasal 1 disebutkan: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceriterakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Sedangkan pada pasal 2 disebutkan: (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Dan pasal 3 UU No 1/PNPS/1965 menegaskan: Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Perlu diingat bahwa dalam negara hukum (rechtstaat), bukan saja warga negara yang harus tunduk dan taat kepada hukum, tetapi negara beserta seluruh komponen penyelenggara negara termasuk Komnas HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk melindungi dan menegakkan HAM juga wajib taat kepada hukum. Hal ini dipertegas sendiri oleh pasal 67 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM: Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik

Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia. Jika kita perhatikan anak kalimat yang digarisbawahi dalam ketentuan di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa pranata HAM yang perlu kita promosikan di Indonesia hanyalah pranata HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. Ini penting karena berbicara mengenai HAM, tentu merupakan persoalan yang sangat luas dan beragam bahkan lebih luas dari ruang berpikir kita. Begitu luasnya cakupan HAM yang dalam prakteknya sering menimbulkan pergesekan. Betapa tidak, karena di satu pihak muncul pandangan yang menyatakan HAM otomatis berlaku universal, sebaliknya ada pandangan juga yang menyatakan HAM bersifat partikular. Karena itu keluasan dan kebebasan dalam mengekspresikan pranata HAM, harus tetap dibatasi dan yang dapat membatasi tidak lain adalah ketentuan hukum. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 J ayat 2: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nila-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Ketentuan mengenai pembatasan pelaksanaan konsep HAM sebagaimana tersebut diatas, lebih dipertegas lagi pada pasal 70, UU No. 39 Tahun 1999: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undangundang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Sungguh merupakan hal yang tidak dapat disangkal bahwa dalam konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM telah dijamin hak setiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan beribadah menurut agama yang diyakininya. Akan tetapi hukum juga yang mengatur bahwa dalam melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan itu, tentu harus mengedepankan unsur ketertiban dan kehormatan nilai-nilai kesucian ajaran agama/kepercayaan pihak lain. Jika kita mengakui universalitas HAM disandarkan pada standar nilai dan otoritas, maka kita pun tidak boleh mencampakkan hal yang sama pada sistem pengembangan pemeliharaan kesucian ajaran suatu agama/kepercayaan. Sebagai suatu ajaran agama/kepercayaan sekitar 1,4 milyar jiwa, Islam tentu mempunyai standar nilai dan otoritas dalam menjaga kesucian dan keagungan ajarannya. Standar nilai kesucian ajaran Islam tertuju pada enam rukun iman dan lima rukun Islam. Setiap tindakan yang melahirkan paradigma kepercayaan dan atau peribadatan dengan menggunakan label Islam, tetapi menyimpang dari standar nilai ajaran agama Islam, maka itulah yang disebut dengan ajaran sesat dan menyesatkan yang dalam bahasa hukum disebut delik penodaan agama. (***)

Penulis: Dr. Saharuddin Daming (Anggota Komnas HAM & Doktor bidang hukum Universitas Hasanuddin Makasar)

Gus Hamid: Kaum Pluralisme Ingin Hilangkan Otoritas Ulama

DEPOK - Selama ini umat Islam dicekoki oleh ide pluralisme di seminar-seminar dengan menghadirkan tokoh-tokoh pluralis. Ide dan wacana yang mereka tebarkan, seolah tidak ada masalah.

Padahal ini adalah masalah yang sangat besar. Jika pluralisme menjadi undang-undang, maka para pendakwah tidak boleh lagi menegakkan amar maruf nahi munkar.

Pada akhirnya Pluralisme itu tidak lagi sebatas golongan dan agama, tapi juga pluralisme pendapat. Sebagai contoh, kini mulai berkembang pluralisme dalam tafsir. Satu ayat 1000 tafsir, akibatnya ada banyak kepala dan siapapun boleh menafsirkan, kata Direktur INSIST Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam Peluncuran buku terbarunya MISYKAT: Islam, Westernisasi, dan Liberalisasi di Masjid Darussalam, Komplek Griya Tugu Asri, Depok, Ahad (1/4) lalu.

Menurut Gus Hamid -- begitu ia disapa oleh sesama rekannya di INSIST -- ilmu itu mempunyai herarki dan otoritas. Jika ilmu ekonomi saja ada otoritasnya, begitu juga dengan ilmu agama. Ketika ilmu agama dihilangkan herarki dan otoritasnya, maka umat tidak perlu lagi bertanya pada ulama. Karena, siapapun boleh menjawab dengan tafsir menurut kemauannya sendiri.

Lebih jauh, Gus Hamid bercerita, empat tahun yang lalu, seorang dosen UIN mengatakan, bahwa seorang Atheis pun bisa menafsirkan al-Quran. Bahkan ironisnya, seseorang yang punya kasus seksualitas pun berhak menafsirkan Al-Quran. Mereka menilai, Al-Quran menjadi porno sekali bagi dia. Inilah yang disebut kerancuan pemikiran. Bayangkan, kini sudah ada kyai feminis asal Cirebon. Kalau kyai itu poligami, maka gerakan feminis bubar dengan sendirinya.

Dikatakan Gus Hamid, sekarang orang tiba-tiba bicara sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis). Mereka menunjukan dirinya serba sok pluralis dan demokratis dalam segala hal. Sedangkan kaum perempuannya bersemangat bicara kesetaraan gender. Ada apa ini?

Gus Hamid menyesalkan ketika demokrasi dalam bidang keagamaan mentolerir aliran sesesat apapun. Sehingga tidak boleh menghukumi orang lain salah. Itulah demokrasi. Menyundul orang dengan takbir dianggap salah besar. Tapi kalau mahasiswa membakar dan merusak fasilitas umum, tidak dipersoalkan. Ketika kita melarang berbuat maksiat, lalu dibalikin memangnya tidak pernah berbuat maksiat, seraya mengatakan jangan merasa benar sendiri.

Inilah yang sekarang menghegemoni wacana keagamaan kita. Wacana yang masuk ke dalam pikiran umat Islam itu berasal dari elit terpelajarnya, politisinya, dan tokoh Islamnya tanpa disadari, ujarnya.

Kutipan : Desastian / VoA-Islam Selasa, 03 Apr 2012

Ketentuan Umum RUU Gender Problematik


Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) masih jauh dari harapan umat beragama, khususnya kaum muslimin. Sehingga diperlukan perombakan mendasar dan total sekiranya hendak disyahkan menjadi undang-undang yang mengikat secara normatif. Merujuk pada draf RUU KKG yang disusun oleh Timja pada 24 Agustus 2011, ternyata hal-hal yang dibahas dalam Ketentuan Umum Bab I pasal 1 sangat bermasalah. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi juga memberi beberapa kritik mendasar terhadap RUU ini. Utamanya terkait dengan istilah Kesetaraan Gender. Sebagai gantinya beliau melontarkan istilah Keserasian Gender sebuah gagasan cerdas untuk menjembatani gap antara karakter dasar dan peran sosial yang terlahir dari pendefinisian Timja RUU ini.

Secara umum, definisi yang diberikan untuk istilah-istilah seperti gender, kesetaraan gender, keadilan gender, diskriminasi, pengarusutamaan gender, analisis gender, dan anggaran responsif gender cenderung memarjinalkan nilai-nilai agama, memisahkan aspek biologis dan peran sosial, serta sarat dengan muatan feminisme Barat yang sekular dan seksis. Berikut adalah sekilas contoh beberapa definisi yang bermasalah dalam ketentuan umum: 1. Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya. Kritik: a) Definisi di atas terlalu memisahkan aspek biologis dan sosial, padahal konstruk sosial dipengaruhi oleh aspek-aspek biologis. b) Definisi ini berarti membakukan teori gender yang tidak tunggal dan menghilangkan sifat dasar gender yang lentur dan tidak tetap seperti disebut dalam definisi. c) Kalimat dapat dipertukarkan menurut waktu..dst berarti perempuan bisa mengambil seluruh peran laki-laki, dan laki-laki dapat mengambil seluruh peran perempuan. Hal ini akan sangat bertentangan dengan realitas sosial dan ajaran-ajaran agama dan budaya yang ada. Nilai-nilai feminisme konservatif memandang bahwa feminine dipandang simbol kelemahan dan ketergantungan. Untuk menghapus imej ini dalam diri perempuan, peran masculine dalam ranah publik maupun domestik perlu direbut. Sebab bagi kaum feminis tidak ada alasan biologis yang mengharuskan perempuan menjadi lembut dan laki-laki harus tegas. Saran alternatif: Gender bisa didefinisikan sebagai perbedaan dan pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil dari perbedaan biologis yang sifatnya tetap dan pembedaan konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari. (RUU KKG, Bab I, pasal 1) 2. Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan. (RUU KKG, Bab I, pasal 1) Kritik: a) Arti kesetaraan di sini bermasalah. Sebab (i) kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh aspek biologis tidak dapat disetarakan. (ii) kesetaraan di semua bidang kehidupan adalah mustahil. (iii) kesetaraan berbeda dengan kesamaan. Kesetaraan 50-50 tidak bisa dicapai oleh negara manapun. (iv) Semua agama membeda-bedakan posisi perempuan dan laki-laki, baik dari aspek biologis, maupun sosial. Saran alternatif: Keserasian Gender adalah pembagian peran antara perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan tanpa meninggalkan kodrat dan identitas jenis kelaminnya, sesuai dengan budaya, agama dan keyakinan masyarakat. 3. Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara. (RUU KKG, Bab I, pasal 1) Kritik: a) Keadilan tidak selalu harus berarti persamaan. Jika keadilan selalu diartikan persamaan, maka segala bentuk ketidaksamaan bisa disebut tidak adil dan diskriminatif. b) Keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya atau pada proporsinya. Saran alternatif: Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya pemenuhan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki baik sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat maupun warga negara menurut agama yang diyakininya tanpa meninggalkan kodrat dan identitas jenis kelaminnya, sesuai dengan budaya, agama dan keyakinan masyarakat. 4. Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala

bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan lakilaki. (RUU KKG, Bab I, pasal 1) Kritik: a) Definisi diskriminasi ini hanya mengkopi CEDAW part I article I yang tidak sesuai dengan budaya agama dan keyakinan bangsa Indonesia. b) akan berimplikasi membuka perlindungan terhadap segala bentuk kebebasan yang dikehendaki perempuan dan mengesampingkan batasan-batasan agama, keluarga dan ikatan perkawinan. Usulan alternatif: Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu yang tidak berdasarkan agama, budaya dan keyakinan masyarakat. 5. Pengarusutamaan Gender: Suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. (RUU KKG, Bab I, pasal 1) Kritik: a) PUG akan menjadi justifikasi legal yuridis yang mendasari kegiatan pembangunan berbasis seksis, yakni segala hal yang terkait dengan pembangunan harus tunduk pada ideologi jenis kelamin Usulan alternatif: PUG adalah suatu strategi yang dibangun untuk mengembangkan keserasian gender dalam setiap kegiatan pembangunan yang dikontrol dan dievaluasi bersama antara tokoh agama, masyarakat, dan pemerintah dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai agama dan budaya yang hidup di Indonesia. 6. Analisis Gender adalah perangkat untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kesempatan untuk memperoleh akses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kritik: -dampak penerapan metode ini: kerja-kerja pembangunan hanya terfokus pada formalitas yang tidak prinsip. Sebab ada kalanya kebutuhan pembangunan tidak sejalan dengan kebutuhan kesetaraan gender. Misalnya dalam pembangunan jembatan, diantara akan terfokus pada: berapa orang perempuan yang terlibat sebagai tenaga kasar, tenaga ahli, perancang kebijakan, dll? Sejauhmana manfaat jembatan bagi perempuan? Usulan alternatif: Analisis Gender adalah perangkat untuk mengidentifikasi dan menganalisis keserasian gender dalam memperoleh kesempatan untuk memperoleh akses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan sesuai dengan kebutuhan masing-masing, tanpa mengesampingkan norma-norma agama dan budaya yang ada. 7. Focal Point Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah aparat pemerintah baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai kemampuan dan berperan aktif mendorong pengarusutamaan gender di instansi dan/atau lembaga. Kritik: - perlu diperhatikan efektivitas lembaga ini. Sebab mau tidak mau akan menyedot perhatian, tenaga dan dana maksimal dari tingkat pusat sampai daerah untuk memenuhi formalitas pertimbangan jenis kelamin, sehingga kegiatan pembangunan yang lebih substantif akan terabaikan. Usulan alternatif: jika memang benar-benar diperlukan Focal Point PUG hendaknya: a) selalu berkoordinasi dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat setempat. Sehingga kemunculan Focal Point PUG tidak menjadi masalah baru bagi masyarakat setempat. b) merevisi pemaknaan PUG seperti yang tersebut dalam usulan alternatif di atas. 8. Kelompok Kerja pengarusutamaan gender (Pokja PUG) adalah media konsultasi bagi pelaksana dan penggerak pengarusutamaan gender dari berbagai instansi dan/atau lembaga.

Kritik: -peran dan tugas Pokja PUG tidak jauh berbeda dengan Focal point PUG, sehingga perlu dilebur menjadi satu lembaga saja. Usulan alternatif: Tidak perlu dicantumkan sebagai landasan dan ketentuan umum RUU KKG 9. Anggaran Responsif Gender (ARG) adalah penganggaran yang meliputi perencanaan, alokasi anggaran, restrukturisasi pendapatan, dan pengeluaran untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui pemenuhan hak dasar laki-laki dan perempuan. Kritik: -penyusunan ARG perlu diselaraskan dengan asas Keserasian Gender untuk menghindari konsep persamaan kuantitatif 50-50. Usulan alternatif: Anggaran Responsif Gender (ARG) adalah penganggaran yang meliputi perencanaan, alokasi anggaran, restrukturisasi pendapatan, dan pengeluaran untuk mencapai keserasian gender melalui pemenuhan hak dasar laki-laki dan perempuan dengan berkoordinasi dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat setempat. Penutup Bagi penulis, Ketentuan Umum mempunyai peran sentral dalam menjiwai isi pasal-pasal yang terdapat dalam RUU KKG ini. Ketentuan Umum ibarat ruh dan pasal-pasal berikutnya adalah raga yang selalu dikoordinasikan langsung oleh ruh. Jika ayat-ayat dalam Ketentuan Umum tidak dirombak, dikhawatirkan ide-ide nyeleneh dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang dulu pernah dihasilkan Tim Kelompok Kerja Pengarusutaan Gender (Pokja PUG) bakal menyusup dalam RUU KKG. Semoga bangsa Indonesia semakin waspada dengan segala bentuk konspirasi jahat yang bermaksud menggoyang nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan budaya keindonesiaan yang berlandaskan norma keagamaan.

Ketentuan Umum RUU Gender Problematik


Selasa, 03 April 2012

oleh: Henri Shalahuddin, MIRKH RANCANGAN Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) masih jauh dari harapan umat beragama, khususnya kaum muslimin. Sehingga diperlukan perombakan mendasar dan total sekiranya hendak disyahkan menjadi undang-undang yang mengikat secara normatif. Merujuk pada draf RUU KKG yang disusun oleh Timja pada 24 Agustus 2011, ternyata hal-hal yang dibahas dalam Ketentuan Umum Bab I pasal 1 sangat bermasalah. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi juga memberi beberapa kritik mendasar terhadap RUU ini. Utamanya terkait dengan istilah Kesetaraan Gender. Sebagai gantinya beliau melontarkan istilah Keserasian Gender sebuah gagasan cerdas untuk menjembatani gap antara karakter dasar dan peran sosial yang terlahir dari pendefinisian Timja RUU ini. Secara umum, definisi yang diberikan untuk istilah-istilah seperti gender, kesetaraan gender, keadilan gender, diskriminasi, pengarusutamaan gender, analisis gender, dan anggaran responsif gender cenderung memarjinalkan nilai-nilai agama, memisahkan aspek biologis dan peran sosial, serta sarat dengan muatan feminisme Barat yang sekular dan seksis. Berikut adalah sekilas contoh beberapa definisi yang bermasalah dalam ketentuan umum:

Pertama. Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya. Kritik: a) Definisi di atas terlalu memisahkan aspek biologis dan sosial, padahal konstruk sosial dipengaruhi oleh aspek-aspek biologis. b) Definisi ini berarti membakukan teori gender yang tidak tunggal dan menghilangkan sifat dasar gender yang lentur dan tidak tetap seperti disebut dalam definisi. c) Kalimat dapat dipertukarkan menurut waktu..dst berarti perempuan bisa mengambil seluruh peran laki-laki, dan laki-laki dapat mengambil seluruh peran perempuan. Hal ini akan sangat bertentangan dengan realitas sosial dan ajaran-ajaran agama dan budaya yang ada. Nilai-nilai feminisme konservatif memandang bahwa feminine dipandang simbol kelemahan dan ketergantungan. Untuk menghapus imej ini dalam diri perempuan, peran masculine dalam ranah publik maupun domestik perlu direbut. Sebab bagi kaum feminis tidak ada alasan biologis yang mengharuskan perempuan menjadi lembut dan lakilaki harus tegas. Saran alternatif: Gender bisa didefinisikan sebagai perbedaan dan pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil dari perbedaan biologis yang sifatnya tetap dan pembedaan konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari. (RUU KKG, Bab I, pasal 1) Kedua. Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan. (RUU KKG, Bab I, pasal 1) Kritik: a) Arti kesetaraan di sini bermasalah. Sebab (i) kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh aspek biologis tidak dapat disetarakan. (ii) kesetaraan di semua bidang kehidupan adalah mustahil. (iii) kesetaraan berbeda dengan kesamaan. Kesetaraan 50-50 tidak bisa dicapai oleh negara manapun. (iv) Semua agama membeda-bedakan posisi perempuan dan laki-laki, baik dari aspek biologis, maupun sosial. Saran alternatif: Keserasian Gender adalah pembagian peran antara perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan tanpa meninggalkan kodrat dan identitas jenis kelaminnya, sesuai dengan budaya, agama dan keyakinan masyarakat. Ketiga. Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara. (RUU KKG, Bab I, pasal 1) Kritik: a) Keadilan tidak selalu harus berarti persamaan. Jika keadilan selalu diartikan persamaan, maka segala bentuk ketidaksamaan bisa disebut tidak adil dan diskriminatif. b) Keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya atau pada proporsinya. Saran alternatif: Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya pemenuhan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki baik sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat maupun warga negara menurut agama yang diyakininya tanpa meninggalkan kodrat dan identitas jenis kelaminnya, sesuai dengan budaya, agama dan keyakinan masyarakat. Keempat. Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki. (RUU KKG, Bab I, pasal 1) Kritik: a) Definisi diskriminasi ini hanya mengkopi CEDAW part I article I yang tidak sesuai dengan budaya agama dan keyakinan bangsa Indonesia. b) akan berimplikasi membuka perlindungan terhadap segala bentuk kebebasan yang dikehendaki perempuan dan mengesampingkan batasan-batasan agama, keluarga dan ikatan perkawinan. Usulan alternatif: Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu yang tidak berdasarkan agama, budaya dan keyakinan masyarakat.

Kelima. Pengarusutamaan Gender: Suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. (RUU KKG, Bab I, pasal 1) Kritik: a) PUG akan menjadi justifikasi legal yuridis yang mendasari kegiatan pembangunan berbasis seksis, yakni segala hal yang terkait dengan pembangunan harus tunduk pada ideologi jenis kelamin. Usulan alternatif: PUG adalah suatu strategi yang dibangun untuk mengembangkan keserasian gender dalam setiap kegiatan pembangunan yang dikontrol dan dievaluasi bersama antara tokoh agama, masyarakat, dan pemerintah dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai agama dan budaya yang hidup di Indonesia. Keenam. Analisis Gender adalah perangkat untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kesempatan untuk memperoleh akses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kritik: -dampak penerapan metode ini: kerja-kerja pembangunan hanya terfokus pada formalitas yang tidak prinsip. Sebab ada kalanya kebutuhan pembangunan tidak sejalan dengan kebutuhan kesetaraan gender. Misalnya dalam pembangunan jembatan, diantara akan terfokus pada: berapa orang perempuan yang terlibat sebagai tenaga kasar, tenaga ahli, perancang kebijakan, dll? Sejauhmana manfaat jembatan bagi perempuan? Usulan alternatif: Analisis Gender adalah perangkat untuk mengidentifikasi dan menganalisis keserasian gender dalam memperoleh kesempatan untuk memperoleh akses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan sesuai dengan kebutuhan masing-masing, tanpa mengesampingkan norma-norma agama dan budaya yang ada. Ketujuh. Focal Point Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah aparat pemerintah baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai kemampuan dan berperan aktif mendorong pengarusutamaan gender di instansi dan/atau lembaga. Kritik: Perlu diperhatikan efektivitas lembaga ini. Sebab mau tidak mau akan menyedot perhatian, tenaga dan dana maksimal dari tingkat pusat sampai daerah untuk memenuhi formalitas pertimbangan jenis kelamin, sehingga kegiatan pembangunan yang lebih substantif akan terabaikan. Usulan alternatif: jika memang benar-benar diperlukan Focal Point PUG hendaknya: a) selalu berkoordinasi dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat setempat. Sehingga kemunculan Focal Point PUG tidak menjadi masalah baru bagi masyarakat setempat. b) merevisi pemaknaan PUG seperti yang tersebut dalam usulan alternatif di atas. Kedelapan. Kelompok Kerja pengarusutamaan gender (Pokja PUG) adalah media konsultasi bagi pelaksana dan penggerak pengarusutamaan gender dari berbagai instansi dan/atau lembaga. Kritik: Peran dan tugas Pokja PUG tidak jauh berbeda dengan Focal point PUG, sehingga perlu dilebur menjadi satu lembaga saja. Usulan alternatif: Tidak perlu dicantumkan sebagai landasan dan ketentuan umum RUU KKG Kesembilan. Anggaran Responsif Gender (ARG) adalah penganggaran yang meliputi perencanaan, alokasi anggaran, restrukturisasi pendapatan, dan pengeluaran untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui pemenuhan hak dasar laki-laki dan perempuan. Kritik: Penyusunan ARG perlu diselaraskan dengan asas Keserasian Gender untuk menghindari konsep persamaan kuantitatif 50-50. Usulan alternatif: Anggaran Responsif Gender (ARG) adalah penganggaran yang meliputi perencanaan, alokasi anggaran, restrukturisasi pendapatan, dan pengeluaran untuk mencapai keserasian gender melalui pemenuhan hak dasar laki-laki dan perempuan dengan berkoordinasi dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat setempat. Penutup

Bagi penulis, Ketentuan Umum mempunyai peran sentral dalam menjiwai isi pasal-pasal yang terdapat dalam RUU KKG ini. Ketentuan Umum ibarat ruh dan pasal-pasal berikutnya adalah raga yang selalu dikoordinasikan langsung oleh ruh. Jika ayat-ayat dalam Ketentuan Umum tidak dirombak, dikhawatirkan ide-ide nyeleneh dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang dulu pernah dihasilkan Tim Kelompok Kerja Pengarusutaan Gender (Pokja PUG) bakal menyusup dalam RUU KKG. Semoga bangsa Indonesia semakin waspada dengan segala bentuk konspirasi jahat yang bermaksud menggoyang nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan budaya keindonesiaan yang berlandaskan norma keagamaan.* Penulis aktif di MIUMI dan peneliti INSISTS. Saat ini sedang menulis disertasi tentang gender di Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya

Ummat
Ummatiummati.. ummati itulah diantara desah terakhir dari Nabi terakhir itu. Nabi Muhammad saw seperti sedang meneguhkan misinya. Ia bukan penguasa yang egois dan tiranik. Sumpah serapah Edward Gibbon (1737-1794) bahwa Muhammad adalah pembohong dan akhir hayatnya cenderung pada seksualitas dan individualistis adalah sampah. Nabi tidak menyebut rakyatkurakyatku . atau hartakuhartaku Padahal Nabi adalah seorang kepala dari sebuah Negara yang baru lahir. Nabi Muhammad bukan raja yang ketika ajal sudah mempersiapkan pewaris. Bukan pula diktator yang setelah meninggal menuai hujatan dan pengadilan. Nabi terakhir itu bersih. Ia tulus ikhlas memikirkan keselamatan ummatnya. Hujatan Norman Daniel, (Islam and the West), Alexander Ross (The Prophet of Turk and Author of the al-Coran 1653), Humphrey Preideaux ( The Life of Muhammad, 1679) juga nonsense. Kata mereka bahwa Nabi terakhir itu tokoh penipu yang cerdik dan munafik tidak terbukti. Tidak satupun sahabat yang merasa tertipu. Dan tidak satupun dari ummatnya yang merasa dibohongi. Lalu apa pentingnya ummat bagi seorang nabi yang juga kepala Negara Islam itu? Kata ummat bukan hanya keluar dari bibir Nabi. al-Quran menyebut kata itu sebanyak kurang lebih 70 kali. Itupun bukan hanya ummat Nabi terakhir, tapi juga ummat nabi-nabi terdahulu. Maka ketika Nabi menyebut ummatku orang mestinya faham disana ada kelompok yang bukan ummatnya. Memang ummat bukan hanya pengikut nabi-nabi. Dalam al-Quran banyak ayat yang begitu. Dalam surah al-Jathiyah 28 kata setiap ummat berarti sangat umum. Bahkan dalam al-Araf 38 dan Al-Ankabut 18 ummat dilabelkan kepada jin dan manusia yang masuk ke neraka. Dan masih banyak lagi makna-makna yang tidak selalu religius. Maka tidak salah jika para ulama dari abad 2 - 6 H beda pendapat tentang makna ummat. alLaith Ibn Saad (w.175 H) mengkaitkan ummat dengan kaum nabi-nabi. Abu Jafar al-Tabari (w 310 H) memaknainya sebagai sekelompok manusia yang terkait pada satu mazhab atau agama.

Tapi al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w.175 H) menambahkan terkait dalam arti ingkar atau taat. Hanya al-Raghib al-Isfahani (w. 502 H) memperluas maknanya tidak hanya terkait sepenuhnya dengan agama. Ummat baginya adalah setiap kumpulan yang bersatu baik pada satu masalah, satu agama, satu zaman tertentu, ataupun tempat tertentu, baik itu alami atau direkayasa. Al-Raghib lalu diikuti oleh pakar bahasa. Dalam tradisi ilmu bahasa Arab ummah memiliki sepuluh makna: asal sesuatu atau tempat rujukan, jamaah (kumpulan), jalan atau agama, keadaan, orang yang beragama secara benar, tujuan, kerabat, bangunan, zaman dan buta huruf. Dari perbedaan pendapat ini E.W.Lane, dalam karyanya Arabic-English Lexicon, meringkas makna ummat menjadi dua makna. Pertama orang-orang, masyarakat, suku, kaum keluarga/kerabat, atau partai. Kedua, masyarakat dari agama tertentu, masyarakat yang menerima utusan nabi-nabi, orang-orang beriman dan tidak beriman. TB Irving seorang professor Muslim Amerika secara singkat memaknai ummah dengan pengertian komunitas atau bangsa. Dalam kaitannya dengan agama makna ummah bersentuhan dengan kata imam, seorang yang diikuti dan dirujuk dalam berbagai hal (al-marja). Disini makna ummah bersentuhan lagi dengan konsep din yang berarti jalan, keyakinan dan ketaatan. Dari sisi agama inilah Ibn Fariz (pakar bahasa Arab) bersikukuh ummah adalah orang-orang yang berada dalam agama yang benar. Sedikit agak lunak Ibn Manzur memahami ummah sebagai sekelompok orang yang bertujuan satu. Maka tidak salah kalau HAR Gibb memaknai ummat sebagai bagian dari konsep politik. Terlepas dari makna-makna itu yang pasti maksud desah Nabi ummatiummati adalah apa yang disimpulkan Ibn Faris. Kalau kita rujuk al-Baqarah 143 dan Ali Imran 110 ummatku yang dimaksud Nabi adalah ummat penengah (ummah wasathan) dan ummat terbaik (khaira ummah). Lalu apa arti ummat terbaik itu? Bagi Sayyid Qutub artinya lebih dibanding ummat lain. Karena lebih maka bisa memberi. Memberi yang tidak dimiliki ummat lain. Memberi aqidah yang benar, konsep, aturan dan ilmu pengetahuan yang benar serta akhlaq yang baik kepada ummat manusia. Itulah makna rahmat bagi alam sesmesta. Buku Mujam al-Mufahras li Alfadh al-Quran bahkan memerinci bahwa kata khair yang berarti kelebihan (afdhaliyyhah) dan keunggulan (al-tafawwuq) terdapat pada 89 tempat. Keunggulan ummat ini juga besumber dari keunggulan nabinya. Banyak keutamaan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad dibanding nabi-nabi lain sebelumnya. Diantara keunggulan itu dalam haidth riwayat Jabir ibn Abdillah bahwa misi Nabi bukan hanya untuk orang Arab,tapi untuk seluruh ummat mansuia. Nabi juga dikaruniai haknya memberi syafaat. Kriteria ummat terbaik bukan hanya sekedar berbaik-baik kepada ummat lain. Ummat yang terbaik menurut al-Quran adalah yang: menyuruh kebaikan (baik menurut akal dan wahyu), mencegah kejahatan dan beriman kepada Allah.

Ummat terbaik adalah yang menjaga kehidupan ummat manusia dari kerusakan (mafsadah) berarti mengedepankan kebaikan (maslahah). Kebaikan, dalam rumusan al-Syatibi ada lima: baik untuk menjaga harta (mal), akal (aql), jiwa (nafs), keturunan (nasal) dan agama (din) manusia. Jadi ummat terbaik mestinya bisa menjaga kelima kebaikan asasi manusia. Ummat Islam tidak perlu diajari doktrin HAM, kesetaraan gender, persamaan hak, berdemokrasi, melindungi anakanak, perempuan. Konsep maslahat itu sudah cukup unggul dibanding konsep HAM dan lainnya.

Untuk menjadi ummat terbaik tentu ada syaratnya. Abd al-Kabir al-Humaidi, dalam Mafhum alUmmah, merumuskan dua syarat: amanah dan kekuatan. Amanah mengharuskan sikap kejujuran, keikhlasan, ketaqwaan dan istiqamah, aqidah , ibadah dan akhlaq yang sahih. Dengan sifat ini hubungan sosial ummat Islam (muamalat) menjadi lebih unggul dari ummat yang lain. Quwwah (kekuatan), berarti ummat Islam harus memiliki kekuatan materi, pemikiran, politik, ekonomi, social, budaya dan peradaban. Dari makna filologis ummah dan dari konsep khayra ummah kita bisa mamahami desah terakhir Nabi ummatiummati. Kalau itu doa berarti mohon ummatku selamat dunia akherat. Jika itu kegundahan berarti itu peringatan awas hati-hati jaga aqidah dan syariahmu wahai ummatku. Dan jika itu harapan bermakna pesan jadilah ummat terbaik dengan amanah quwwah. Wallahu alam

Fakta Sejarah
Dalam masyarakat yang tak bertuhan alias sekuler, sejarah didekati melalui tiga sisi. Pertama, pandangan siklus, artinya sejarah itu berjalan seperti sebuah siklus dan mengalir alami. Tidak ada Tuhan atau tujuan di balik kejadian itu. Pandangan Yunani kuno ini masih diminati oleh Nietzsche atau Spangler. Kedua, pandangan providensial, artinya sejarah itu sepenuhnya dibimbing oleh Tuhan, dan manusia tidak punya peran yang berarti. Ini bersifat deterministik. Tapi pandangan ketiga yang juga deterministik adalah pandangan deterministik sekuler. Artinya sejarah itu diciptakan bukan oleh kekuatan manusia, tapi oleh motif-motif ekonomi (Marxis, Hegel). Dalam ketiga pendekatan tersebut, manusia dianggap tidak berkehendak, tak bercita-cita, tak bertanggung jawab, tak bermoral alias tidak hidup. Dalam Islam makna sejarah sejalan dengan makna realitas. Terdapat pandangan dualitas yang tidak dualistis dan bukan pula dualism. Di satu sisi ada Tuhan yang menciptakan, ada alam semesta yang diciptakan. Tapi Tuhan tidak menjadi bagian dari alam karena Ia transenden. Tuhan mengatur dunia tanpa menjadi bagian daripadanya. Di sisi lain terdapat manusia yang juga diciptakan. Manusia, meski diciptakan, ia bukan benda mati. Manusia diberi petunjuk dan janji, diberi akal dan kehendak, serta diberi kebebasan untuk memilih arah perjalanan hidupnya (sejarahnya). Hanya saja ia juga menggendong amanah, tugas, serta kewajiban. Dengan itu semua manusia bebas berinteraksi denganNya. Sejarah adalah eksposisi fakta dan realitas masa lalu, kata James Fenimore Cooper (1789 1851), seorang novelis dari Amerika. Tapi, James masih kurang terliti, sebab eksposisi atau

ekspresi masa lalu bukanlah sepenuhnya reproduksi dari realitas. Pikiran sangat berperan dalam melakukan eksposisi, karena ia memiliki pandangan terhadap realitas. Pandangan itu adalah worldview. Oleh sebab itu penulis sejarah itulah yang mengarahkan jalannya perjalanan sejarah di masa lalu. Jadi siapa berkuasa atau yang memenangkan wacana, menguasai. Persis seperti kata Alex Haley (1921 - 1992), seorang penulis Amerika bahwa History is written by the winners. Maka dari itu Norman Davies (1939 - ), sejarawan dan penulis Inggeris, menasehatkan dengan tegas, semua sejarawan harus menuturkan ceritanya dengan meyakinkan, kalau tidak maka akan dilupakan. Ketika seseorang menulis sejarah, ia secara otomatis akan memasukkan data dan fakta secara selektif. Data dan fakta yang sesuai diambil, yang tidak dibuang. Fakta sejarah, kata Carl Becker (1873 - 1945), sejarawan Amerika, tidak ada kecuali diciptakan oleh sejarawan, dan setiap bagian yang diciptakannya itu beberapa bagian dari pengalaman pribadinya pasti masuk. Bagi sejarawan Inggeris A. J. P. Taylor (1906 - 1990), menjadi sejarawan di Prancis, katanya, sama dengan menjadi tentara, politisi, dan dalam pengertian kuno menjadi seperti nabi dan guru spiritual dan moral. Artinya, sejarawan menentukan banyak hal. Sejarah Amerika Serikat yang ditulis oleh pendatang, akan jauh berbeda dari yang ditulis oleh suku Amerika asli. Orang kulit putih pasti akan memulai sejarah Amerika, misalnya, dari Declaration of Independence, sementara penulis dari suku asli akan menggali sejak terjadinya pembunuhan masal oleh pendatang. Jadi sejarah adalah subyektif. Masing-masing penulis memiliki worldview sebagai basis subyektifitasnya. Muhammad Rasulullah sebagai Nabi terakhir adalah fakta. Namun, ia tidak akan menjadi fakta sejarah, kecuali terdapat sejarawan yang mendudukkannya. Bagi sejarawan Muslim, pada fakta tersebut terdapat fakta metafisis (berdasarkan wahyu) bahwa Tuhan sebelum itu telah mengutus nabi-nabi dengan kitab-kitab. Ini menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara manusia dengan Tuhan. Manusia memerlukan petunjuk, dan Tuhan mengetahui hal itu dan kemudian memberi petunjuk. Tapi petunjuk Tuhan yang tertulis, diakhiri dengan Quran sebagai kitab penutup, berikut Nabi Muhammad sebagai Nabi pamungkas, dan Islam sebagai agama yang disempurnakan. Akhir dalam pengertian menunjukkan sebuah perjalanan dari awal. Dari fakta-fakta empiris dan non-empiris, dapat diangkatlah sebagai fakta sejarah bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir. Proses atau perjalanan itu merupakan bukti adanya interaksi antara perilaku manusia dan kehendak Tuhan. Ini berarti interaksi Tuhan kepada manusia melalui kitab dan Nabi-nabi telah telah berakhir. Manusia dijamin dapat menemukan kebenaran melalui Nabi dan kitab terakhir. Penafsiran kita terhadap dua sumber itu akan dapat mencapai kebenaran. Gelar Nabi terakhir mungkin disamakan orang dengan stempel Fukuyama terhadap perjalanan sejarah Barat melalui judul bukunya The End of History, Akhir Sejarah. Tapi ada perbedaan prinsipil di sini. Di Barat perjalanan sejarah ditentukan oleh faktor materi, terutama perkembangan ekonomi. Manusia seperti tidak memiliki peran, sebab ekonomi dimaksud adalah proses alami yang didorong semata-mata oleh materi. Dari pandangan materialistis dan sekuler itulah kesimpulan Fukuyama berbunyi bahwa kapitalisme liberal dan demokrasi adalah model

terakhir dalam sejarah hidup manusia Barat. Tentu jauh sekali bedanya. Dalam pandangan Islam, sejarah bergerak karena adanya kehendak manusia, bukan diatur oleh hukum alam. Sejarah diatur oleh hukum Tuhan. Hukum Tuhan ada dalam alam, yang dalam Islam disebut kitab terbuka atau tak tertulis. Kita tidak bisa memahami kitab terbuka kecuali dibimbing oleh kitab tertulis yaitu al-Quran. Lagi dalam pandangan sekuler materialistis, sejarah berakhir di bumi. Manusia hidup sekali dan sesudah itu mati dan selesai. Dalam Islam sejarah berakhir pada Hari Perhitungan dan berada di luar sejarah dalam pengertian sekuler itu. Jadi, sejarah dalam Islam harus ditulis dengan menggunakan cara pandang historis dan normatif. Caranya dengan merekonstruksi cara-cara pembuatan fakta sejarah, membayangkan apa yang terjadi. Selanjutnya menekankan perilaku manusia untuk merekonstruksi dengan sepenuh makna kemanusiaannya. Dan terakhir, memberikan penilaian berdasarkan pandangan hidup Islam. Jadi, penulisan sejarah adalah sebuah proses penggambaran fakta manusia secara obyektif, tapi pada saat yang sama meletakkan obyek itu dalam neraca konsep yang terdapat dalam realitas kitab Tuhan yang tertulis dan tidak tertulis. Maka sebagaimana kata sejarawan Yunani Dionysius of Halicarnassus (hidup 1 SM), sejarah adalah filsafat yang mengajar dengan contoh. Sejarah sebagai sebuah contoh, dapat dikaji dari firman Allah yang berbunyi, Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (Ibrahim : 24-25). Ini berarti bahwa sejarah dalam pandangan Islam bermula dari sebuah ajaran yang difahami dan dikembangkan oleh manusia, yang kemudian tumbuh seperti sebuah pohon, yakni kehidupan (syajarah). Pohon itu kemudian memberikan manfaat (rahmat) atau buahnya kepada manusia lain dengan melalui hukum dan kehendak Tuhan. Jadi, sejarah dalam pandangan Islam adalah interaksi antara nilai dan praktek kehidupan manusia yang dinaungi oleh kehendak dan hukum Tuhan. Itulah syajarah yang tumbuh dan itulah sejarah yang hidup.

Mengapa Kita Menolak RUU Kesetaraan Gender (4) "MONYET SAJA TAHU!
CATATAN AKHIR PEKAN KE-334 foto: blogspot

Louann Brizendine, M.D., adalah seorang dokter syaraf di University of California, San Francisco, AS. Lulusan Fakultas Kedokteran Harvard ini belakagan popular melalui bukunya, berjudul The Female Brain dan The Male Brain. Melalui penelitian dan pengalamannya yang panjang, selama 25 tahun sebagai dokter, Brizendine menemukan bahwa sejak awal mula kelahirannya, laki-laki dan perempuan sudah memiliki berbagai perbedaan. Bukan hanya fisik, tetapi juga otak, sifat dan perilakunya. Simaklah paparan Dokter Brizendine berikut ini: Otak laki-laki dan perempuan berbeda sejak masa kehamilan. Jelas kalau kita mengatakan bahwa semua sel di dalam otak dan tubuh laki-laki adalah laki-laki. Tetapi, ini berarti ada perbedaan, di setiap tingkatan dari setiap sel, antara otak laki-laki dan perempuan. Sel laki-laki memiliki kromosom Y dan otak perempuan tidak memilikinya. Itu perbedaan kecil. Perbedaan penting mulai terjadi di awal pembentukan otak, ketika gen menetapkan tahapan untuk proses pembentukan tahapan DNA lebih lanjut oleh hormon. Delapan minggu usia kehamilan, testikel laki-laki mungil mulai menghasilkan testosteron yang cukup banyak untuk merendam otak dan pada dasarnya mengubah strukturnya. Selama kehidupannya, otak laki-laki akan dibentuk dan dibentuk ulang sesuai dengan cetak biru yang dirancang oleh gen dan hormon seks laki-laki. Dan, biologi otak laki-laki ini menghasilkan perilaku laki-laki yang unik. (Louann Brizendine, Male Brain, Mengungkap Misteri Otak Laki-laki, Jakarta: Ufuk Press, 2010, hal.13-14). Lebih jauh, Louann Brizendine mengungkapkan: Di dalam otak perempuan, hormon estrogen, progresteron, dan oksitonin memengaruhi sirkuit otaknya terhadap perilaku khas perempuan Dampak perilaku dari hormon pria dan wanita pada otak sangat besar. (hal. 15) Perbedaan otak laki-laki dan perempuan dipertegas lagi oleh Dokter Louann Brizendine: Laki-laki juga memiliki pusat otak yang lebih besar untuk tindakan yang memerlukan otot dan agresi. Area otak untuk melindungi pasangan dan mempertahankan wilayah yang menjadi tindakan utama dimulai pada masa pubertas. Masalah struktur kekuatan dan hierarki lebih berpengaruh bagi laki-laki daripada yang disadari banyak perempuan. Laki-laki juga memiliki pemroses yang lebih besar di inti bidang otak yang paling primitif, yang menyalakan rasa takut dan memicu agresi protektif, yaitu amigdala. (hal. 17). Brizendine mengungkapkan cerita menarik seputar perilaku anak laki-laki dan perempuan yang ternyata memiliki perbedaan unik. Soal memilih permainan anak-anak, misalnya. Ternyata anak laki-laki dan perempuan sudah memiliki kecenderungan alamiahnya masing-masing. Suatu ketika, David (4 tahun), anak laki-lakinya, diberinya mainan mobil-mobilan berwarna lembayung muda. Tanpa diduganya, David melemparkan mainan itu ke dalam kotak. Itu mobil anak perempuan, ujarnya. Lalu, ia mengambil mobil berwarna merah terang dengan strip hitam, sambil berkata: Ini mobil anak laki-laki! Menurut Dokter Brizendine, para peneliti sudah menemukan bukti, bahwa anak laki-laki pada usia empat tahun cenderung menolak mainan anak perempuan dan bahkan mainan dengan warna perempuan seperti warna merah muda. Saat anaknya berumur 3,5 tahun, sengaja dia memberinya banyak mainan anak perempuan. Sebagaimana kaum feminis lainnya, ia berharap, anak laki-lakinya tidak bersikap agresif dan lebih kooperatif. Suatu ketika, anaknya dibelikan boneka Barbie. Ia berharap, anaknya akan senang menerimanya. Tetapi, harapannya sia-sia.

Begitu dia mengeluarkan boneka itu dari kemasan, dia menggenggam tubuh boneka itu dan menghunuskan kaki boneka itu ke udara seperti sebuah pedang. Dia berteriak, Eeeeehhhhh, rasakan! ke sejumlah musuh khayalannya. Saya agak kecewa karena saya adalah bagian dari generasi feminis gelombang kedua yang telah memutuskan bahwa kami akan membesarkan anak laki-laki yang peka dan tidak agresif atau terobsesi dengan senjata serta persaingan. (hal. 3940). Menurut Louann Brizendine, sikap dan perilaku anak laki-lakinya hanyalah praktik dari otak laki-lakinya untuk melindungi diri secara agresif. Mainan khas anak perempuan yang diberikannya, tidak membuat anaknya menjadi lebih feminin. Tindakan untuk memberikan mainan anak laki-laki ke anak perempuan pun tidak membuat si anak menjadi lebih maskulin. Para peneliti, papar Brizendine, mencoba meneliti perbedaan sikap laki-laki dan perempuan itu lebih mendasar lagi, dengan melakukan penelitian pada otak monyet muda. Sebab, monyet tidak terbiasa dengan permainan yang membedakan gender maskulin atau feminin. Kata mereka, ini akan menjadi bahan penelitian yang bagus. Lalu, dibuatlah model penelitian yang unik. Monyet-monyet jantan dan betina muda diberikan dua jenis pilihan mainan. Mereka disuruh memilih mainan kendaraan beroda dan boneka manusia yang mewah. Hasilnya? Ternyata, monyet jantan semuanya -- memilih mainan beroda; dan monyet betina memilih bermain dengan boneka manusia dan mainan beroda pada periode waktu yang sama. ***** Bagi kita yang meyakini kebenaran ajaran Islam, temuan-temuan Louann Brizendine itu memberikan indikasi yang kuat bahwa memang ada perbedaan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, Allah Yang Maha Kuasa telah memberikan peran dan tanggung jawab yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, kaum Muslimat yang memahami agamanya dengan baik dan ridha dengan kondisi fitrahnya sebagai perempuan, tidak mempersoalkan pembedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Dalam konsep Islam, laki-laki dan perempuan sudah setara. Mereka setara di hadapan Allah. Siapa saja yang beriman dan beramal shaleh, akan dapat pahala dari Allah. Tiada beda laki-laki dan perempuan. Tetapi, Islam juga memberikan tugas, peran, dan tanggung jawab yang berbeda dalam beberapa hal. Karena itulah, kaum Muslimah pada umumnya tidak memandang keaktifan di luar rumah sebagai bentuk kegiatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas sebagai ibu rumah tangga, pendamping suami, dan pendidik bagi anak-anaknya. Bahkan, Rasulullah SAW dalam beberapa hadis menekankan derajat ketinggian seorang Ibu dibandingkan dengan seorang ayah. Ketika seorang bertanya kepada Rasul SAW, siapa yang harus dia hormati, sebanyak dua kali, Rasul SAW menjawab: Ibumu! Yang ketiga, baru dijawab: Ayahmu! Rasulullah SAW juga menegaskan, keridhaan Allah terletak pada keridhaan kedua orang tua (walidain), dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan kedua orang tua. Dalam hal ini, ayah dan ibu diposisikan begitu tinggi di hadapan seorang anak. Itulah cara pandang seorang Muslim atau Muslimah yang memahami agamanya dengan baik dan ridha akan peran yang diberikan Tuhannya. Tetapi, tidak demikian halnya jika seseorang sudah

terjangkiti virus Kesetaraan Gender atau feminisme liberal, yang memandang perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam kacamata penindasan terhadap perempuan. Dr. Katherine Bullock, dalam bukunya, Rethinking Muslim Women and The Veil, (London: The International Institute of Islamic Thought, 2002), menulis tentang masalah ini: Many feminists argue that to believe in male-female differences is to accede to womens oppressions, because it is these differences that have been used to stop women from realizing their potential. (hal. 58). Jadi, menurut Dr. Bullock, banyak perempuan feminis berpendapat, bahwa pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai cara untuk mematikan potensi perempuan. Cara pandang semacam ini, menurut penelitian Dr. Bullock, sangat berbeda dengan cara pandang banyak kaum Muslimah yang dia temui. Muslimah punya cara pandang tentang kesetaraan (equality) yang berbeda dengan konsep kesetaraan kaum feminis. Menurut muslimah, tulis Doktor Filsafat Politik dari University of Toronto Kanada, ini: the principal definition of equality was how human beings stood in relation to God. Al-Quran dengan tegas menyatakan, bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara (equal) di hadapan Allah. Sayangnya, konsep Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam seperti ini, sepertinya diabaikan begitu saja dalam penyusunan draft RUU-Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG), sehingga dibuat definisi: Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan. (pasal 1:2). Jadi, kesetaraan dalam draft RUU-KKG ini bermakna kesamaan kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan di semua bidang kehidupan. Karena itulah, seperti kita bahas dalam CAP ke-333 lalu, para aktivis KKG ini mengejar kesamaan peran secara nominal sebanyak 50:50 antara lakilaki dan perempuan, seperti disebutkan dalam pasal 4 ayat 2 RUU-KKG yang menyebutkan: perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30 % (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislative, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional. Jika ada yang tidak mendukung cara pikir semacam ini, maka akan diberikan cap bias gender atau diskriminasi gender. Kaum pegiat KKG ini juga biasa merujuk kepada UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, akan makna diskriminasi terhadap perempuan, yang diartikan: setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau bertujuan untuk mengurangi, menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia, dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil, dan lain-lain, terhadap perempuan. Jurnal Perempuan edisi 47, membuat tafsir terhadap makna diskriminasi yang melanggar Undang-undang, diantaranya adalah ketentuan dalam RUU-Anti Pornografi dan Pornoaksi yang membedakan antara dada laki-laki dan perempuan, dimana ada keharusan perempuan untuk menutupi dadanya. Sementara laki-laki tidak diharuskan. Jurnal ini menulis: RUU-APP secara nyata mendiskriminasi perempuan. Sebagai contoh, dengan dicantumkannya definisi mengenai bagian tubuh tertentu yang sensual yaitu sebagian payudara perempuan. Sementara sebagian payudara laki-laki tidak dikatakan sensual. (hal. 36-37).

Kita yang masih normal insyaAllah paham, bahwa dada laki-laki memang berbeda dengan dada perempuan, yang dari asalnya sana memang sudah memiliki payudara. Karena itulah, hanya perempuan dengan payudaranya yang bisa menyusui bayi. Logika kita mengatakan, perintah untuk menyusui bayi, diberikan Allah kepada kaum perempuan, bukan kepada kaum laki-laki. Karena itu pula, Allah SWT memerintahkan wanita mukminat untuk mengulurkan kerudungnya menutupi dadanya. Perintah menutupi dada dengan kerudung seperti itu tidak disampaikan kepada kaum laki-laki. Di dalam Perjanjian Baru, Kitab Korintus, perintah berkerudung juga diberikan hanya kepada perempuan. Maka sungguh sulit kita pahami bahwa aktivis KKG di Jurnal Perempuan minta agar kondisi dada laki-laki disamakan dengan dada perempuan! Jika soal dada saja, para aktivis KKG ini minta disamakan antara laki-laki dan perempuan, bisa kita pahami, bahwa mereka minta disamakan dalam semua bidang kehidupan. Walhasil, kita sungguh-sungguh tidak paham dengan cara berpikir aktivis KKG seperti ini. Tapi, jika merujuk kepada penelitian Dr. Louann Brizendine, mungkin monyet lebih paham! Wallahu alam bil-shawab.*/Bogor, 13 April 2012

Akar Masalah Konsep RUU Kesetaraan Gender


Dalam Naskah Akademik tentang Kesetaraan Gender (NA RUU KKG) disebutkan bahwa Rancangan Undang Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) perlu disusun karena adanya ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari hasil-hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Ketimpagan itu, katanya, disebabkan kuatnya budaya patriarki sehingga terjadi subordinasi, ketidakberdayaan perempuan dan anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sekilas tampak RUU KKG ini menawarkan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi kaum perempuan Indonesia dan dapat melindungi mereka dari tindak kekerasan, deskriminasi serta hal-hal lainnya yang dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Namun apabila kita mau mengkaji lebih dalam, banyak hal yang perlu dikritisi dari RUU KKG tersebut. Salah satunya adalah konsep Kesetaraan Gender yang dijadikan alat analisis atau metodologi dalam perumusan norma-norma hukum RUU tersebut. Dilihat dari latar belakang historis, konsep kesetaraan gender lahir dari pemberontakan perempuan Barat akibat penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman Yunani, Romawi, dan Abad Pertengahan (the Middle Ages) , dan bahkan pada Abad Pencerahan sekali pun, Barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa. Itu kemudian memunculkan gerakan perempuan Barat yang menuntut hak dan kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan politik yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan feminis. Kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang. Feminisme gelombang pertama dimulai dari publikasi Mary Wollstonecraft berjudul Vindication of the Rights of Women pada tahun 1972, yang menganggap kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan ekonomi pada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang publik

(Rowbotham : 1992). Setelah itu muncul feminisme gelombang kedua dengan doktrinnya yang memandang perbedaan gender sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap perempuan. Pada gelombang kedua inilah dimulai gugatan perempuan terhadap institusi pernikahan, keibuan (motherhood), hubungan lawan jenis (heterosexual relationship) dan secara radikal mereka berusaha mengubah setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik. Terakhir adalah feminisme gelombang ketiga yang lebih menekankan kepada keragaman (diversity), sebagai contoh ketertindasan kaum perempuan heteroseksual yang dianggap berbeda dengan ketertindasan yang dialami kaum lesbi dan sebagainya. (Arivia, 2002). Jika pada awal kemunculannya kaum feminis mengusung isu hak dan kesetaraan, namun feminisme akhir 1960 an, menggunakan istilah penindasan dan kebebasan. Konsep gender sendiri mulai digunakan oleh feminis Barat pada tahun 1970 yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan di tiap budaya masyarakat adalah berbeda-beda dan tidak sama. Lalu wacana gender ini kemudian diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London awal tahun 1977 dan sejak itulah konsep gender equality (kesetaraan gender) menjadi mainstream gerakan mereka. Konsep gender berbeda dengan sex. Gender dipengaruhi oleh kondisi sosial, agama dan hukum yang berlaku di masyarakat serta faktor-faktor lainnya, sedangkan sex merunjuk pada antomi biologis seorang manusia. (Rowbothan : 1992). Dari latar belakang historis munculnya konsep kesetaraan gender, kita dapat menilai bahwa konsep ini secara substansial sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Alasannya, pertama; feminisme dibesarkan dan tumbuh subur bersamaan dengan liberalisme dan sekularisme yang telah mencabut nilai-nilai spiritual dalam peradaban Barat. Sebagaimana kaum feminis Barat, kelompok yang menamakan diri feminis muslim juga menuding bahwa salah satu faktor yang paling mengemuka dalam timbulnya ketidakadilan gender adalah interpretasi ajaran agama yang sangat didominasi bias gender dan bias nilai-nilai patriakal. Mereka menganggap perlu dilakukan pembacaan ulang dan dekonstruksi atas penafsiran lama yang dinilai memiliki kecenderungan memanipulasi dan memanfaatkan ajaran Islam untuk melegitimasi kekuasaan patriarki. Oleh karena itu, apabila konsep kesetaraan gender ini diterima, maka para feminis yang notabene anti otoritas, akan merasa berhak menafsirkan ayat-ayat alQuran tanpa mengikuti metodologi ulama-ulama terdahulu sehingga akan terjadi dekonstruksi syariat Islam secara besar-besaran guna meloloskan kepentingan misi kaum liberal. Kesetaraan gender memang produk feminisme, dan feminisme adalah anak dari liberalisme yang memusuhi agama sebagaimana agama Kristen yang tersapu oleh gelombang liberalisme di Barat. Itulah fakta. Kedua, definisi gender sendiri masih mengundang kontroversi. Lips dalam A New Psychology of Women (2003) menjelaskan bahwa gender bukan hanya feminin dan maskulin sebagaimana yang diketahui masyarakat luas, tapi ada gender ketiga yang bersifat cair dan berubah-rubah dan telah dikenal oleh masyarakat pada berbagai macam budaya yang berbeda, yaitu kaum homoseksual dan tranvestite (seseorang yang senang menggunakan pakaian gender lainnya). Dengan demikian, konsep kesetaraan gender sangat berpotensi menyuburkan praktek homoseksual sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat Barat. Perkawinan lesbi dianggap sebagai antitesis dari patriarki yang menyerang dokrin dasarnya. Pasangan lesbian diklaim lebih

mengalami perasaan bebas dari ikatan dan hambatan-hambatan peran gender sehingga mampu menciptakan hubungan baru dan mengurangi kekuatan yang tidak berimbang yang kadang ditemukan dalam hubungan tradisional heteroseksual. (Chrisler, 2000). Ketiga, konsep kesetaraan gender akan menghancurkan tatanan keluarga karena para feminis berusaha menggugat institusi pernikahan, keibuan (motherhood), hubungan lawan jenis (heterosexual relationship) dan melakukan perubahan radikal dalam berbagai aspek kehidupan, baik ditingkat individu maupun bernegara. Pandangan alam Islam (the Worldview of Islam) memandang institusi keluarga sebagai arena jihad untuk mencapai ridha Allah SWT, sehingga peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga diatur sedemikian rupa, sesuai dengan fitrahnya masing-masing. Faktor keikhlasan dan ketundukan pada syariat memang menjadi landasan utama dalam membangun sebuah keluarga yang Islami. Hal tersebut sudah tentu tidak sejalan dengan ideologi feminis yang mengukur keadilan dan kesetaraan bagi perempuan hanya dari faktor ekonomi dan kemanusiaan (HAM) semata, tanpa mengaitkan dan menghubungannya dengan nilai-nilai agama. Kita, kaum Muslim, tidak sedang menolak semua konsep yang datang dari luar Islam. Namun jika hendak digunakan, konsep-konsep tersebut haruslah terlebih dahulu melalui proses Islamisasi agar sesuai dengan pandangan alam Islam yang bersumber dari wahyu Allah. Namun sepertinya yang terjadi saat ini justru kebalikannya. Wahyu dipaksa tunduk pada konsep dan metodologi yang dikembangkan kaum feminis liberal sehingga konsep kesetaraan gender yang bertentangan dengan ajaran Islam malah diajukan sebagai RUU untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara di sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ini ironis.

Beginilah Pemikiran Liberal


Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Quran dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushafmushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Quan produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Quran hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Dan hanya orang yang mensakralkan Quranlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut. (Jurnal Justisia, Fakultas Syariah sebuah Institut Agama Islam, Edisi 23 Th XI, 2003). Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Quran soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam.

(Wawancara seorang guru besar agama Islam di Jakarta, dengan Jurnal Perempuan edisi Maret 2008, dengan judul Allah hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia) Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya mengakomodasi bukan mengeksekusi fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena daging yang kotor tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda. (Tulisan seorang alumnus Perguruan Tinggi Islam di Jawa Tengah, yang kini Kandidat Doktor di Boston University AS, dalam bukunya, Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif).

Dari Kesetaraan Gender Hingga Satpol PP


Oleh : Ahsan Hakim

Betapa menggegerkan, St. Albertus Magnus mendefinisikan perempuan sebagai laki-laki yang cacat sejak lahirnya, katanya. Sementara St. Jerome menganggap wanita sebagai akar dari segala kejahatan (the root of all evil). Pernyataan itu kemudian diperkuat oleh penilaian St. John Chrysostom. Ia berseloroh, Tidak ada gunanya laki-laki menikah. Toh, perempuan itu tidak lain dan tidak lebih merupakan lawan dari persahabatan, hukuman yang tak terelakkan, kejahatan yang diperlukan, godaan alami, musuh dalam selimut, gangguan yang menyenangkan, ketimpangan tabiat, yang dipoles dengan warna yang indah. Sehingga dengan demikian, St. Augustine menimpali, hubungan intim seorang suami dengan istrinya adalah perbuatan kotor.

Apa nggak keseleg?

Tak dapat dipungkiri bahwa kasus-kasus semisal itulah yang kemudian memunculkan gerakan feminis di Barat. Keberadaan gerakan itu merupakan respon dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana, yang memandang sebelah mata (misogyny) dan berbagai macam anggapan buruk (stereotype) terhadap wanita. Penyamaan citra antara wanita dengan budak (hamba sahaya) setidaknya sudah terjadi sejak zaman pra-Kristen, di antara tokohtokohnya adalah Plato dan Aristoteles. Kemudian di Abad Pertengahan terdapat nama St. Clement dari Alexandria, St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas. Disusul abad modern dikenal tokoh-tokoh seperti John Locke, Rousseau hingga Nietzsche.

Merespon hal itu, muncullah Mary Wollstonecraft (1759-1797). Ia disebut-sebut sebagai nenek moyang kaum feminis di Barat. Tak pelak, gebrakannya kemudian cepat menggema ke seantero Eropa dan Amerika. Sehingga mulailah kaum wanita di Barat merasakan kebebasan dari segala ketertindasan.

Tetapi anehnya, gerakan feminis tersebut kemudian menjadi semacam wahyu universal dan seruan global. Keberadaannya kemudian tidak hanya di Barat sebagai tempat asbabun nuzul gerakan tersebut, tetapi juga hampir di seluruh negeri di dunia untuk memberlakukan konsep yang sama, meski di negeri-negeri itu tidak mengalami permasalahan sepelik wanita di Barat. Dan bahkan bisa dikatakan tidak membutuhkannya. Entah mungkin, mereka menganggap bahwa ide feminisme di Barat merupakan wahyu rahmatan lil alamin sehingga sangat perlu untuk didakwahkan dan disebarluaskan.

Dalam hal ini dunia Islam bukanlah pengecualian, sederet nama-nama seperti Fatima Mernissi dari Maroko, Nawal al-Saadawi dari Mesir, Riffat Hassan dari Pakistan, Amina Wadud dari Amerika yang sempat membuat heboh dengan ulahnya menjadi khatib dan imam shalat Jumat di gereja beberapa waktu lalu. Juga Siti Musdah Mulia dari Indonesia, dan masih banyak lagi yang lainya. Semua dari mereka serentak mengusung gerakan feminisme.

Apakah Islam belum jelas menjamin kebebasan perempuan? Sudah jamak diketahui bahwa emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Kedatangan Islam telah mengeliminasi adat-istiadat Jahiliyah seperti mengubur hidup-hidup bayi perempuan, mengawini perempuan sebanyak mungkin dan menceraikannya sesuka hati, sampai program pertukaran istri-istri.

Pertanyaannya kemudian apa yang diperjuangkan gerakan feminisme di dunia Islam? Jika jawabannya adalah keadilan dan kemanusiaan, sebetulnya Islam tak perlu diajari dan didekte kembali konsep keadilan dan kemanusiaan. Islam bukan tidak mengerti masalah adil dan manusia. Tetapi memang masalahnya tidak se-standar itu, bahwa realitas gerakan feminisme memang menuntut persamaan dan kesetaraan. Kesetaraan dalam hal apa? Boleh jadi seluruhnya. Karenanya, di Barat, pegiat feminisme ini tidak hanya bertujuan untuk membebaskan hak-hak wanita, tetapi juga sebagai ajang balas dendam. Dendam kesumat terhadap kaum pria. Tercatat kaum feminis di Barat berkerja mengompori wanita untuk meninggalkan suami mereka, mengubah wanita menjadi gila karir, menjadi lesbian, dan melakukan aborsi. Atas realitas itu, seorang penulis terkenal bernama Susan Jane Gilman, mengeluh, sebab ia menganggap bahwa gerakan feminisme tidak jelas kemana juntrungnya.

Dan di sini semakin jelas, pada beberapa dasawarsa terakhir, gerakan feminis di Barat terlihat mengalami stagmatisasi dan tampak seperti kena batunya. Sebab jika dulu Barat menindas perempuan sebebas-bebasnya, sekarang mereka justru membebaskan perempuan sebebasbebasnya. Sama-sama ekstremnya.

Kemudian di dunia Islam mulai ramai membicarakan feminisme dan kesetaraan gender. Di Indonesia, sejak awal semisal pada masa KH. Ahmad Dahlan, wanita bebas menyelenggarakan kegiatan Aisyiyah, mereka tidak perlu menuntut adanya kesetaraan gender. Tapi kini tiba-tiba ada yang mengusulkan RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Maka pantas seandainya orang Jawa bertanya, Ketemu pirang perkoro?

Permasalahan fatal RUU tersebut sangat vital, yaitu bahwa, ketika mereka hendak mengubah konstruk sosial, agama tidak diperdulikan. Dan jika RUU ini sampai digoalkan, alamat bakal modiar. Tertulis dalam pasal 1:1 tentang definisi gender: Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.

Dr. Adian Husaini memberikan kritik, Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.

Kembali lagi jika RUU tersebut berhasil disahkan, maka tidak hanya suami (sebagai pemimpin rumah tangga) yang berpotensi dipermasalahkan, Al-Quran pun dapat diperkarakan. Sebab hukum Islam dalam perkara poligami, waris, aqiqah, wali nikah, sampai imam shalat, boleh jadi akan digugat karena dianggap lebih merugikan perempuan. Konsep keadilan feminisme tidak sebagaimana keadilan dalam Islam. Feminisme menilai adil jika di papan skor menunjukkan angka draw 50:50, sementara Islam mendefiniskan adil sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya. Karenanya, misi Islam [tidak hanya] membela wanita yang tertindas sebagaimana kaum feminis, tetapi juga mendudukkan wanita pada tempatnya, pada kodratnya.

Hal ini kiranya sangat wajar, sebab, fakta biologis menjelaskan struktur laki-laki dan perempuan berbeda dan membawa perbedaan psikologis. Karena itu sangat cerdas dan amat bijak Dr. Ratna Megawangi memberi judul pada bukunya, Membiarkan Berbeda.

Selain daripada itu, dalam Islam kaitannya dengan tugas-tugas dalam rumah tangga, seorang istri memiliki beberapa tanggungjawab dan kewajiban yang berbeda dari seorang suami. Islam tidak memvonis haram istri bekerja, tetapi jika dengan bekerja istri dapat menelantarkan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri (ibu), maka berlakulah kecaman Islam terhadap dirinya.

Di sinilah diperlukan keserasian dan pembagian peran dalam rumah tangga. Dan terhadap seorang perempuan, Rasulullah Saw memuliakannya dengan lebih ketika ditanya siapa yang harus dihormati. Jawaban beliau, Ibumu, ibumu, ibumu, dan ayahmu. Cara pandang feminisme telah salah kaprah, selama ini mereka memandang kaum pria sebagai rival dalam hal maskulin. Semestinya, kalau ingin menang dari laki-laki, tak perlu repot-repot keluar otot, cukup tantang mereka untuk berlaku feminin. Dipastikan, kaum lelaki akan mundur teratur sebelum bertanding, sebab selain bahwa menyerupai perempuan telah dikecam dalam Islam, sewaktu-waktu Satpol PP juga siap menghadang melalui operasi dan obrakan. Wallahu alam bish-Shawab. * Daftar Bacaan: Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Dr. Syamsuddin Arif); Misykat (Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi); www.insistnet.com * Disampaikan di Kajian RESIST, Jumat 20 April 2012, di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Pengarusutamaan Gender: Mau Kemana? Written by Henri Shalahuddin, MIRKH Thursday, 12 April 2012 23:32

Dalam Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (selanjutnya disebut RUU KKG), disebutkan bahwa pengarusutamaan gender (PUG) adalah Suatu strategi yang dibangun

untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. (lihat: Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 5). Definisi PUG di atas belum menjelaskan korelasi antara nilai-nilaiagama dan gender. Hal ini akan menyisakan masalah bahkan bisa bertabrakan dengan nilai-nilai yang sudah mengakar sebagai identitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, semestinya menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, PUG didefinisikan: Suatu strategi yang dibangun untuk mengembangkan keserasian gender dalam setiap kegiatan pembangunan yang dikontrol dan dievaluasi bersama oleh tokoh agama, masyarakat, dan pemerintah tanpa mengesampingkan nilai-nilai agama dan budaya yang hidup di Indonesia. Perombakan definisi PUG tersebut penting dilakukan untuk meminimalisir kontroversi yang berkepanjangan. dalam RUU KKG ini, PUG (atau biasa disebut dengan gender mainstreaming, al-tarkiz ala qadhaya al-musawat baynaljinsayni), termasuk isu penting dan menempati posisi sentral dalam mengawal terlaksananya pembangunan berbasis gender. Dengan demikian konsep PUG berfungsi untuk mengoptimalisasikan nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Apa pengaruh PUG ketika masuk dalam ranah studi Islam? Bagaimana kedudukan ajaran-ajaran agama ketika bertentangan dengan perspektif gender? Haruskah pendekatan agama, dalam hal ini Islam, tunduk pada perspektif gender ataukah sebaliknya, gender yang harus diislamkan? Dalam artikel singkat ini, penulis ingin memaparkan secara sekilas contoh usaha-usaha pengarusutamaan gender yang telah dihasilkan oleh aktivis gender di bidang studi Islam. Contoh I: buku Pengarusutamaan Gender dalam Kurikulum IAIN, diterbitkan atas kerja sama PSW IAIN Sunan Kalijaga dan CIDA (Canadian International Development Agency), 2004. Matakuliah Ulum al-Qur'an I (MKK). Dalam deskripsi materi ini tertulis, Matakuliah ini khusus untuk mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta. Hal-hal yang dikaji dalam perkuliahan antara lain persoalan wahyu, proses pewahyuan, sejarah teks al-Qur'an, asbab al-nuzul , nasikh mansukh, teori evolusi syariah, dan kaidah-kaidah tafsir. Matakuliah ini diajarkan sebagai pengantar untuk memahami teks-teks alQur'an dan memahami perkembangan kontemporer dalam ilmu-ilmu al-Qur'an. Pendekatan dalam kuliah dilakukan sedapat mungkin berperspektif gender dengan mengemukakan berbagai contoh yang mendukung kearah kesetaraan gender. (hal. 1, cetak miring dari penulis). Di antara topik perkuliahan yang diajarkan adalah tentang Makki dan Madani. Dalam buku ini disebutkan bahwa ayat-ayat makkiyah bersifat universal, tetapi ayat-ayat madaniyah bersifat temporal. (hal. 2). Padahal dalam ayat-ayat madaniyah sering dijumpai pembahasan tentang masalah hukum Islam. Maka dengan menggunakan persepsi PUG, semua hukum-hukum Islam akan bersifat temporal, tidak tetap, bisa berubah setiap waktu, tempat, dan menyesuaikan keinginan penafsirnya. Untuk mendukung konsep temporalnya madani, dalam daftar topik perkuliahan juga diajarkan metodologi tafsir al-Qur'an, misalnya Tafsir Amina Wadud. Seperti diketahui, beliau adalah salah satu tokoh feminis liberal konservatif yang menjadi khatib dan imam shalat jumat dengan

makmum campur baur antara laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut, buku-buku referensi yang dicantumkan untuk materi kuliah Ulum al-Qur'an ini sangat sarat dengan karya tokoh-tokoh Islam liberal, seperti Abdullahi Ahmad al-Naim dan gurunya Mahmood Muhammad Toha, Amina Wadud, Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, dan beberapa nama pemikir liberal lokal lainnya. (hal. 2-3). Buku Quran and Women yang ditulis oleh Aminah Wadud ternyata dalam bukuPengarusutamaan Gender dalam Kurikulum IAIN ini digunakan sebagai referensi pokok untuk enam (6) matakuliah, seperti Ulum al-Hadis (MKDU), Tafsir MKDU, Filsafat Hukum Islam, Masail Fiqh, dan Aliran Modern dalam Islam. Contoh II: buku Isu-isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar & Menengah, diterbitkan atas kerja sama PSW IAIN Sunan Kalijaga dan IISEP (IAIN Indonesia Social Equity Project, sebuah proyek kerjasama antara McGill University dan IAIN).

Contoh III: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam versi Tim Kelompok Kerja Pengarusutaan Gender (Pokja PUG) tentang Perkawinan sarat dengan rumusan pasal-pasal yang kontroversial, diantaranya sebagai berikut: Pasal 7; Ayat (1): Calon suami atau isteri dapat mengawinkan dirinya sendiri. Pasal 9; Ayat (1): Ijab dan kabul dapat dilakukan oleh calon suami atau calon isteri Ayat (2): Apabila ijab

dilakukan oleh calon isteri, maka kabul dilakukan oleh calon suami Pasal 16; Calon suami dan isteri harus memberikan mahar kepada pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat. Pasal 18; Mahar menjadi milik penuh pasangan penerima setelah akad perkawinan dilangsungkan.
Pasal 88; Ayat (1): Bagi suami dan isteri yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh Pengadilan Agama, berlaku masa transisi atau iddah. Ayat (7): Masa iddah bagi seorang duda ditentukan sebagai berikut :

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, maka masa transisi ditetapkan seratus tigapuluh hari. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka masa transisi ditetapkan mengikuti masa transisi mantan isterinya.
Demikian sekilas contoh dampak pengarusutamaan gender dalam studi Islam. Masih banyak contoh lagi yang tidak mungkin untuk dipaparkan di sini, mengingat keterbatasan ruang. Namun pada intinya, sifat dasar pendekatan PUG dalam studi Islam senantiasa memandang Islam sebagai agama budaya yang lentur dan bisa berubah sesuai dengan selera penafsir dan tuntutan zaman. Hukum-hukum Islam akan diselaraskan (baca: ditundukkan) dengan prinsip kesetaraan gender. Sehingga tidak tersisa lagi hal-hal pasti (qatiyyat) dan permanen (tsawabit) dalam berislam. Wallahu Alam.

Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi: Masyarakat Indonesia Sedang Sakit Diposting Jum'at, 23-03-2012 | 20:06:20 WIB SOLO, RDS FM - Peradaban dan pemikiran Barat yang dewasa ini telah mendominasi dunia menjadi tantangan yang harus dijawab dan disikapi secara cerdas oleh umat Islam. Terlebih lagi, banyak pihak yang menggunakan paham seperti liberalisme, relatifisme, pluralisme, sekularisme dan gender untuk menggugat ajaran Islam. Hal itu disampaikan oleh Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam Seminar dan Diskusi tentang tantangan pemikiran Islam dewasa ini yang diselenggarakan Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) di Aula Masjid Istiqlal Solo, Kamis (22/03). Menurut Hamid, beragam paham Barat yang merusak itu kini telah menyebar di berbagai lini seperti dari budaya, sosial, politik, bahkan agama. Ia mencontohkan, akan diadakannya konser artis seronok asal Amerika, Lady Gaga di Jakarta pada Juni mendatang. Pertunjukan semacam ini jelas sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Namun ketika ada yang mengatakan bahwa menontonnya haram, justru banyak orang yang mengecamnya. "Masyarakat Indonesia ini sedang sakit. Dan kita insya Allah akan mengobatinya. Meskipun penyakitnya itu kanker yang tidak ada obatnya. Kita harus berusaha. Setiap penyakit pasti ada obatnya," jelasnya memberi perumpamaan. Hamid juga menyoroti Rancangan Undang-Undang tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender yang menurutnya sangat problematis. RUU itu, kata dia, cenderung melihat wanita sebagai pihak tertindas sehingga perlu ada kesetaraan dalam semua aspek kehidupan yang tentu akan banyak menabrak rambu-rambu Islam. "Banyak sekali persoalan jika RUU Gender itu diterapkan. Kita berharap anggota DPR ini juga mempunyai informasilah dari umat Islam. Jangan hanya memutuskan begitu saja. Sebab dia duduk di parlemen itu dibiayai rakyat. Oleh karenanya jangan memberi keputusan yang menyengsarakan rakyat. Dosanya nanti sebanyak orang yang memilih dia," jelas Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini. Paham lainnya yang kini juga sedang gencar dikampanyekan berbagai pihak adalah pluralisme dan toleransi. Tak heran jika belakangan ini semakin banyak yang bersuara bahwa semua agama sama dan apapun jalan yang ditempuh oleh umat manusia akan menuju Tuhan yang satu. "Pluralisme seperti ini dijual ke negara-negara umat Islam. Ya kita ketawa aja. Yang lebih aneh lagi, yang membawa itu orang Islam. Padahal dalam Islam, yang namanya toleransi itu tidak perlu diajari. Begitu lahir, Islam dan nabi, kiri kananya itu sudah ada banyak agama. Ada Yahudi, Nashrani, Jahiliahpun ada di situ. Sedang di negara Barat, orang bertetangga dengan orang Islam itu tidak tahan, paparnya. Dengan kondisi semacam ini, Hamid menyarankan supaya umat Islam terus mengembangkan tradisi ilmiyah yang telah diajarkan oleh para ulama terdahulu. Ia juga melihat perlu adanya strategi dakwah yang komprehensif baik di tataran ilmu maupun aplikasi di lapangan. Ia mencontohkan tradisi Ibnu Taimiyah yang menggabungkan antara tradisi ilmiah dan amaliah. "Ibnu Taimiyah itu adalah orang yang tidak tahan melihat kemungkaran. Dia datangi, dia labrak dan dia peringatkan. Kalau tidak mau, didatangi sekali lagi sampai dia taubat. Dan dia seorang alim dan tulisannya banyak," ujarnya. Dalam seminar yang dihadiri oleh perwakilan ormas dan lembaga Islam Soloraya itu, juga hadir para dai dari Program Kaderisasi Ulama (PKU) Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor yang memberikan presentasi tentang beragam paham yang menjadi tantangan bagi dunia Islam seperti Gender, Pluralisme dan Ingkar Sunnah. (nsr)

You might also like