You are on page 1of 15

Askep Bronkhitis akut

A. Definisi Bronkitis akut merupakan proses radang akut pada mukosa bronkus berserta cabang cabangnya yang disertai dengan gejala batuk dengan atau tanpa sputum yang dapat berlangsung sampai 3 minggu. Tidak dijumpai kelainan radiologi pada bronkitis akut. Gejala batuk pada bronkitis akut harus dipastikan tidak berasal dari penyakit saluran pernapasan lainnya. (Gonzales R, Sande M, 2008).

Gambar 1. Bronkitis akut (Sumber: www.usdrugstore.blogspot.com, diakses tanggal 16 Juli 2011; 19.00 WIB) B. Etiologi Bronkitis akut dapat disebabkan oleh : 1. Infeksi virus : influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain. 2. Infeksi bakteri : Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis, Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik (Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumonia, Legionella)

3. 4.

Jamur Noninfeksi : polusi udara, rokok, dan lain-lain. Penyebab bronkitis akut yang paling sering adalah infeksi virus yakni sebanyak 90%

sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar < 10% (Jonsson J, Sigurdsson J, Kristonsson K, et al, 2008). C. Patofisiologi Seperti disebutkan sebelumnya penyebab dari bronkitis akut adalah virus, namun organisme pasti penyebab bronkitis akut sampai saat ini belum dapat diketahui, oleh karena kultur virus dan pemeriksaan serologis jarang dilakukan. Adapun beberapa virus yang telah diidentifikasi sebagai penyebab bronkitis akut adalah virus virus yang banyak terdapat di saluran pernapasan bawah yakni influenza B, influenza A, parainfluenza dan respiratory syncytial virus (RSV). Influenza sendiri merupakan virus yang timbul sekali dalam setahun dan menyebar secara cepat dalam suatu populasi. Gejala yang paling sering akibat infeksi virus influenza diantaranya adalah lemah, nyeri otot, batuk dan hidung tersumbat. Apabila penyakit influenza sudah mengenai hampir seluruh populasi di suatu daerah, maka gejala batuk serta demam dalam 48 jam pertama merupakan prediktor kuat seseorang terinfeksi virus influenza. RSV biasanya menyerang orang orang tua yang terutama mendiami panti jompo, pada anak kecil yang mendiami rumah yang sempit bersama keluarganya dan pada tempat penitipan anak. Gejala batuk biasanya lebih berat pada pasien dengan bronkitis akut akibat infeksi RSV (Zambon M, Stockton J, Clewley J, et al, 2009). Virus yang biasanya mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas seperti rhinovirus, adenovirus dapat juga mengakibatkan bronkitis akut. Gejala yang dominan timbul akibat infeksi virus ini adalah hidung tersumbat, keluar sekret encer dari telinga (rhinorrhea) dan faringitis (Gonzales R, Sande M, 2008). Bakteri juga memerankan perannya dalam pada bronkitis akut, antara lain, Bordatella pertusis, bordatella parapertusis, Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. Infeksi bakteri ini biasanya paling banyak terjadi di lingkungan kampus dan di lingkungan militer. Namun sampai saat ini, peranan infeksi bakteri dalam terjadinya bronkitis akut tanpa komplikasi masih belum pasti, karena biasanya ditemukan pula infeksi virus atau terjadi infeksi campuran (Sidney S. Braman, 2006).

Penyebab batuk pada bronkitis akut tanpa komplikasi bisa dari berbagai penyebab dan biasanya bermula akibat cedera pada mukosa bronkus. Pada keadaan normal, paru-paru memiliki kemampuan yang disebut mucocilliary defence, yaitu sistem penjagaan paruparu yang dilakukan oleh mukus dan siliari. Pada pasien dengan bronkhitis akut, sistem mucocilliary defence paru-paru mengalami kerusakan sehingga lebih mudah terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, akan terjadi pengeluaran mediator inflamasi yang mengakibatkan kelenjar mukus menjadi hipertropi dan hiperplasia (ukuran membesar dan jumlah bertambah) sehingga produksi mukus akan meningkat. Infeksi juga menyebabkan dinding bronkhial meradang, menebal (sering kali sampai dua kali ketebalan normal), dan mengeluarkan mukus kental. Adanya mukus kental dari dinding bronkhial dan mukus yang dihasilkan kelenjar mukus dalam jumlah banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar. Mukus yang kental dan pembesaran bronkhus akan mengobstruksi jalan napas terutama selama ekspirasi (Gambar 4) .Jalan napas selanjutnya mengalami kolaps dan udara terperangkap pada bagian distal dari paruparu.. Pasien mengalami kekurangan 02, iaringan dan ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, di mana terjadi penurunan PO2 Kerusakan ventilasi juga dapat meningkatkan nilai PCO,sehingga pasien terlihat sianosis (Melbye H, Kongerud J, Vorland L, 2009). Pada bronkitis akut akibat infeksi virus, pasien dapat mengalami reduksi nilai volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) yang reversibel. Sedangkan pada infeksi akibat bakteri M. pneumoniae atau C. Pneumoniae biasanya mempunyai nilai reduksi FEV1 yang lebih rendah serta nilai reversibilitas yang rendah pula (Melbye H, Kongerud J, Vorland L, 2009).

Gambar 3: Patogenesis Bronkitis Akut

D. Manifestasi klinis Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung 2-3 minggu. Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna jernih, putih, kuning kehijauan, atau hijau. Selain batuk, bronkitis akut dapat disertai gejala berikut ini : 1. 2. 3. 4. Demam, Sesak napas, Bunyi napas mengi atau ngik Rasa tidak nyaman di dada atau nyeri dada Bronkitis akut akibat virus biasanya mengikuti gejala gejala infeksi saluran respiratori seperti rhinitis dan faringitis. Batuk biasanya muncul 3 4 hari setelah rhinitis. Batuk pada mulanya keras dan kering, kemudian seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang ringan dan produktif. Karena anak anak biasanya tidak membuang lendir tapi menelannya, maka dapat terjadi gejala muntah pada saat batuk keras dan memuncak. Pada anak yang lebih besar, keluhan utama dapat berupa produksi sputum dengan batuk serta nyeri dada pada keadaaan yang lebih berat. Karena bronchitis akut biasanya merupakan kondisi yang tidak berat dan dapat membaik sendiri, maka proses patologis yang terjadi masih belum diketahui secara jelasa karena kurangnya ketersediaanjaringan untuk pemeriksaan. Yang diketahui adalah adanya peningkatan aktivitas kelenjar mucus dan terjadinya deskuamasi sel sel epitel bersilia. Adanya infiltrasi leukosit PMN ke dalam dinding serta lumen saluran respiratori menyebabkan sekresi tampak purulen. Akan tetapi karena migrasi leukosit ini merupakan reaksi nonspesifik terhadap kerusakan jalan napas, maka sputum yang purulen tidak harus menunjukkan adanya superinfeksi bakteri. Pemeriksaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal. Seiring perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai macam ronki, suara napas yang berat dan kasar, wheezing ataupun suara kombinasi. Hasil pemeriksaan radiologist biasanya normal atau didapatkan corakan bronchial. Pada umumnya gejala akan menghilang dalam 10 -14 hari. Bila tanda tanda klinis menetap hingga 2 3 minggu, perlu dicurigai adanya infeksi kronis. Selain itu dapat pula terjadi infeksi sekunder.

TAMBAHAN: Sebagian besar terapi bronchitis akut viral bersifat suportif. Pada kenyataannya rhinitis dapat sembuh tanpa pengobatan sama sekali. Istirahat yang cukup, masukan cairan yang adekuat serta pemberian asetaminofen dalam keadaan demam bila perlu, sudah mencukupi untuk beberapa kasus. Antibiotik sebaiknya hanya digunakan bila dicurigai adanya infeksi bakteri atau telah dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemberian antibiotik berdasarkan terapi empiris biasanya disesuaikan dengan usia, jenis organisme yang biasa menginfeksi dan sensitivitas di komunitas tersebut. Antibiotik juga telah dibuktikan tidak mencegah terjadinya infeksi bakteri sekunder, sehingga tidak ada tempatnya diberikan pada bronchitis akut viral. Bila ditemukan wheezing pada pemeriksaan fisik, dapat diberikan bronkodilator 2 agonist, tatapi diperlukan evaluasi yang seksama terhadap respon bronkus untuk mencegah pemberian bronkodilator yang berlebihan. Jumlah bronchitis akut bakterial lebih sedikit daripada bronchitis akut viral. Invasi bakteri ke bronkus merupakan infeksi sekunder setelah terjadi kerusakan permukaan mukoasa oleh infeksi virus sebelumnya. Sebagai contoh., percobaan pada tikus, infeksi virus influenza menyebabkan deskuamasi luas epitel bersilia di trakea, sehingga bakteri seperi Pseudomonas aeruginosa yang seharusnya dapat tersapu dapat beradhesi di permukaan epitel. Hingga saat ini, bakteri penyebab bronchitis akut yang telah diketahui adalah Staphylococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Mycoplasma pneumoniae juga dapat menyebabkan bronchitis akut, dengan karakteristik klinis yang tidak khas, dan biasanya terjadi pada anak berusia di atas 5 tahun atau remaja. Chlamydia sp pada bayi dapat menyebabkan trakeobronkitis akut dan penumonitis dan terapi pilihan yang dibeikan adalah eritromisin. Gejala bronkitis akut tidaklah spesifik dan menyerupai gejala infeksi saluran pernafasan lainnya. Oleh karena itu sebelum memikirkan bronkitis akut, perlu dipikirkan kemungkinan lainnya seperti pneumonia, common cold, asma akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik dan PPOK (Sidney S. Braman, 2006).

E. Penatalaksanaan 1. Farmakologi a. Pemberian antibiotik Beberapa studi menyebutkan, bahwa sekitar 65 80 % pasien dengan bronkitis akut menerima terapi antibiotik meskipun seperti telah diketahui bahwa pemberian antibiotik sendiri tidak efektif (Linder J, Sim I, 2007). Pasien dengan usia tua paling sering menerima antibiotik dan sekitar sebagian dari mereka menerima terapi antibiotik dengan spektrum luas (Steinman M, Sauaia A, Masseli J, et al. 2006).Tren pemberian antibiotik spektrum luas juga dapat dijumpai di praktek dokter dokter pada umumnya (Steinman M, Landefeld C, Gonzales R, 2008). Pada pasien bronkitis akut yang mempunyai kebiasaan merokok, sekitar 90% menerima antibiotik, dimana sampai saat ini belum ada bukti klinis yang menunjukkan bahwa pasien bronkitis akut yang merokok dan tidak mempunyai riwayat PPOK lebih perlu diberikan antibiotik dibandingkan dengan pasien dengan bronkitis akut yang tidak merokok. Terdapat beberapa penelitian mengenai kegunaan antibiotik terhadap pengurangan lama batuk dan tingkat keparahan batuk pada bronkitis akut. Rangkuman penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 (Sidney S. Braman, 2006). Kesimpulan dari beberapa penelitian itu adalah pemberian antibiotik sebenarnya tidak bermanfaat pada bronkitis akut karena penyakit ini disebabkan oleh virus (GonzalesR, Brrtlett J, Besser R,et al, 2009). Dalam praktek dokter di klinik, banyak pasien dengan bronkitis akut yang minta diberikan antibiotik dan sebaiknya hal ini ditangani dengan memberikan penjelasan mengenai tidak perlunya penggunaan obat tersebut dan justru pemberian antibiotik yang berlebihan dapat meningkatkan kekebalan kuman (resistensi) terhadap antibiotik (Snow V, MotturPilson C, Gonzales R, 2009). Namun begitu, penggunaan antibiotik diperlukan pada pasien bronkitis akut yang dicurigai atau telah dipastikan diakibatkan oleh infeksi bakteri pertusis atau seiring masa perjalanan penyakit terdapat perubahan warna sputum. Pengobatan dengan eritromisin (atau dengan trimetroprim/sulfametoksazol bila makrolid tidak dapat

diberikan) dalam hal ini diperbolehkan. Pasien juga dianjurkan untuk dirawat dalam ruang isolasi selama 5 hari (Sidney S. Braman, 2006). b. Bronkodilator Dalam suatu studi penelitian dari Cochrane, penggunaan bronkodilator tidak direkomendasikan sebagai terapi untuk bronkitis akut tanpa komplikasi. Ringkasan statistik dari penelitian Cochrane tidak menegaskan adanya keuntungan dari penggunaan -agonists oral maupun dalam mengurangi gejala batuk pada pasien dengan bronkhitis akut (Hueston WJ, 2008). Namun, pada kelompok subgrup dari penelitian ini yakni pasien bronkhitis akut dengan gejala obstruksi saluran napas dan terdapat wheezing, penggunaan bronkodilator justru mempunyai nilai kegunaan.Efek samping dari penggunaan agonists antara lain, tremor, gelisah dan tangan gemetar (Smucny J, Flynn C, Becker L, et al, 2007). Penggunaan antikolinergik oral untuk meringankan gejala batuk pada bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti dan oleh karena itu tidak dianjurkan (Sidney S. Braman, 2006). c. Antitusif Penggunaan codein atau dekstrometorphan untuk mengurangi frekuensi batuk dan perburukannya pada pasien bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti secara sistematis. Dikarenakan pada penelitian sebelumnya, penggunaan kedua obat tersebut terbukti efektif untuk mengurangi gejala batuk untuk pasien dengan bronkitis kronik, maka penggunaan pada bronkitis akut diperkirakan memiliki nilai kegunaan. Suatu penelitian mengenai penggunaan kedua obat tersebut untuk mengurangi gejala batuk pada common cold dan penyakit saluran napas akibat virus, menunjukkan hasil yang beragam dan tidak direkomendasikan untuk sering digunakan dalam praktek keseharian (Lee P, Jawad M, Eccles R, 2008) Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efektif dalam menurunkan frekuensi batuk per harinya. Dalam suatu penelitian, sebanyak 710 orang dewasa dengan infeksi saluran pernapasan atas dan gejala batuk, secara acak diberikan dosis tunggal 30 mg Dekstromethorpan hydrobromide atau placebo dan gejala batuk kemudian di analisa secara objektif menggunakan rekaman batuk

secara berkelanjutan. Hasilnya menunjukkan bahwa batuk berkurang dalam periode 4 jam pengamatan (Pavesi L, Subburaj S, Porter Shaw K, 2009). Dikarenakan pada penelitian ini disebutkan bahwa gejala batuk lebih banyak berasal dari bronkitis akut, maka penggunaan antitusif sebagai terapi empiris untuk batuk pada bronkitis akut dapat digunakan (Sidney S. Braman, 2006). Tabel 1. Ringkasan penelitian mengenai efek penggunaan antibiotik untuk gejala batuk pada pasien dengan bronkitis akut.

d. Agen mukokinetik Penggunaan ekspektoran dan mukolitik belum memilki bukti klinis yang menguntungkan dalam pengobatan batuk pada bronkitis akut di beberapa penelitian, meskipun terbukti bahwa efek samping obat minimal (Sidney S. Braman, 2006). e. Lain lain Analgesik & antipiretik bila diperlukan dapat diberikan. Pada penderita,

diperlukan istirahat dan asupan makanan yang cukup, kelembaban udara yang cukup serta masukan cairan ditingkatkan.

2.

Nonfarmakologi Suatu studi penelitian menyebutkan bahwa beberapa pasien dengan bronkitis akut sering mendapatkan terapi yang tidak tepat dan gejala batuk yang mereka derita seringkali berasal dari asma akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik atau common cold. Beberapa penelitian menyebutkan terapi untuk bronkitis akut hanya untuk meringankan gejala klinis saja dan tidak perlu pemberian antibiotik dikarenakan penyakit ini disebabkan oleh virus (Sidney S. Braman, 2006). Hal lain dalam penatalaksanaan pada penyakit bronkitis akut yaitu a. b. Penyuluhan kepada klien tentang bahaya merokok. Terapi antibiotik terutama pada musim dingin untuk mengurangi insiden infeksi saluran napas bawah, karena setiap infeksi akan semakin meningkat pembentukan mukus dan pembengkakan. c. d. Peningkatan asupan cairan dan ekspekstorran untuk mengencerkan dahak. Pengelolaan sehari-hari untuk mengurangi obstruksi jalan pernafasan dengan cara pemberian bronkodilator. e. Istirahat untuk mengurangi kebutuhan oksigen

3. Komplikasi a. Hipertensi paru. b. Dapat timbul kanker paru. c. Pneumenia. d. Kegagalan pernafasan. 4. Proses keperawatan 1. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pada stadium awal biasanya tidak khas. Dapat ditemukan adanya demam, gejala rinitis sebagai manifestasi pengiring, atau faring hiperemis.Sejalan dengan perkembangan serta progresivitas batuk, pada auskultasi dada dapat terdengar

ronki, wheezing, ekspirium diperpanjang atau tanda obstruksi lainnya. Bila lendir banyak dan tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah 2. Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan penunjang yang memberikan hasil definitif untuk diagnosis bronkitis. Pemeriksaan kultur dahak diperlukan bila etiologi bronkitis harus ditemukan untuk kepentingan terapi. Hal ini biasanya diperlukan pada bronkitis kronis. Pada bronkitis akut pemeriksaan ini tidak berarti banyak karena sebagian besar penyebabnya adalah virus. 3. Pemeriksaan Diagnostik a. Penggunaan Stetoskop Pada pemeriksaan menggunakan stetoskop (auskultasi), terdengar ronki, wheezing dengan berbagai gradasi (perpanjangan ekspirasi hingga ngik-ngik) dan krepitasi (suara kretek-kretek dengan menggunakan stetoskop). b. Foto rontgen Adapun pemeriksaan dahak maupun rontgen dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa dan untuk menyingkirkan diagnosa penyakit lain. Biasanya para dokter menegakkan diagnosa berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Itu sudah cukup. 4. Diagnosa Keperawatan 1. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d peningkatan produksi sekret. 2. Kerusakan pertukaran gas b/d obstruksi jalan napas oleh sekresi, spasme bronchus. 3. Pola napas tidak efektif b/d bronchokontriksi , mukus, penggunaan otot nafas tambahan. 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d dispnea, anoreksia, dan mual/muntah. 5. Intoleransi aktifitas b/d insufisiensi oksigenisasi untuk aktifitas dan keletihan. 6. Resiko infeksi

5. Intervensi 1. Dx 1 Tujuan : mempertahankan jalan napas paten. Rencana tindakan : a. Auskultasi bunyi napas Rasional : bebrapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat dimanifestasikan dengan adanya bunyi napas. b. Kaji/pantau frekuensi pernapasan Rasional : takipnea biasanya ada pda beberapa derajat dan dapat ditemukan selama adanya proses infeksi akut. c. Dorong / bantu latihan nafas abdomen atau bibir Rasional : memberikan cara untuk mengatasi dan mengintrol dispnea dan menurunkan jebakan udara. d. Observasi karakteristik batuk Rasional : batik dapat menetap tapi tidak efektif, khususnya pada lansia, penyakit akut/ kelemahan. e. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari Rasional : hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret mempermudah pengeluaran. 2. Dx 2 Tujuan : menunjuka perbaikan ventilasi dan oksigenisasi jaringan yang adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernafasan. Rencana Tindakan : a. Kaji frekuansi , kedalaman pernafasan. Rasional : berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan dan kronisnya proses penyakit. b. Tinggikan kepala tempat tidur, dorong nafas dalam. Rasional : pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea dan kerja napas. c. Auskultasi bunyi napas.

Rasional : bunyi nafas makin redup karena penurunan alirn udara atau area konsolidasi. d. Awasi tanda vital dan irama jantung. Rasional : takikardi, disritmia dan perubahan teknan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung. e. Awasi GDA . Rasional : Pa CO2 biasanya meningkat, dan PO2 menurun sehingga hipoksia terjadi derajat lebih besar/kecil. f. Berikaqn O2 tambahan sesuai dengan indikasi hasil GDA. Rasional : dapat memperbaiki/mencegah buruknya hipoksia.

3. Dx 3 Tujuan : Perbaikan dalam pola napas. Rencana Tindakan : a. Ajarkan pasien pernafasan diafragmatik dan pernafasan bibir. Rasional : membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan bernafas lebih efisien dan efektif. b. Aktifitas dorongan untuk menyelingi aktifitas dan periode istirahat. Rasional : memungkinkan pasien untuk melakukan aktifitas tanpa distres berlebihan. c. Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-oto pernafasan jika diharuskan. Rasional : Menguatkan dan mengkondisikan otot-otot pernafasan. 4. Dx 4 Tujuan : menunjukkan peningkatan berat badan. Rencana Tindakan : a. Kaji kebiasaan diet. Rasional : pasien distress pernafasan akut, anoreksia karena dispnea, produksi sputum. b. Auskultasi bunyi usus. Rasional : penurunan bising usus menunjukkan motilitas gaster. c. Berikan perawatan oral. Rasional : rasa tidak enak, bau adalah pencegahan utama yang dapat membuat mual dan muntah.

d. Timbang berqt badan sesuai indikasi. Rasional : berguna menentukan kebutuhan kalori dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi. e. Konsul ahli gizi. Rasional : kebutuhan kalori yang didasarkan pada kebutuhan individu memberikan nutrisi maksimal. 5. Dx 5 Tujuan : klien dapat melakukan aktifitas seperti biasanya setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam. Kriteria hasil : klien dapat memperlihatkan kemajuan khususnya tingkat yang lebih tinggi dari mobilitas yang mungkin, klien memperlihatkan tanda-tanda hipoksia pada peningkatan aktifitas (nadi, TD,dan pernafasan), dan klien dapat melaporkan gelajagejala intoleransi aktifitas. Rencana Tindakan : a. Evaluasi respon pasien terhdap aktifitas. Catat laporan peningkatan kelelahan/kelemahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah aktifitas. Rasional : menetapkan kemampuan/ kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi. b. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai anjuran. Dorong pengguanaan manajemen stress dan pengalihan yang tepat. Rasional : menurunkan stress dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat. c. Jelaskan pentingnya istirahat dlam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktifitas dan istirahat. Rasional : tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk memurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk pertumbuhan. Pembatasan aktifitas ditentukan dengan respon individual pasien terhadap aktifitas. d. Anjurkan klien untuk mengenakan sepatu yang nyaman. Rasional : sandal tidak menyangga kaki dengan baik. e. Kolaboraasi dengan dokter dan ahli terapi fisik untuk program latihan jangka panjang. Rasional : membantu dengan metode pengajaran yang baik untuk kompensasi gangguan pada kemampuan pergerakan.

Daftar Pustaka
1. Suriadi, dan rita yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak. 2001.PT. Fajar Interpratama: Jakarta 2. Brunner & Suddart. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. 2002. EGC: Jakarta 3. Boldy D, Skidmore S, Ayeres J. Acute bronchitis in the community: clinical features, infective factors, changes in pulmonary function and bronchial reactivity to histamine. Respir Med 1990; 84:377385.

PATHWAY
Invasi kuman kejalan nafas

alergen

aktivasi Ig E

Fenomena infeksi

Pelepasan histamin

Iritasi mukosa bronkhus

Edema mukosa, sel goblet memproduksi mukus.

Bakterimia /viremia

Peningkatan akumulasi sekret

Batuk produktif, sesak nafas, dan penurunan kemampuan batuk efektif

Peningkatan laju metabolisme umum, intake nutrisi tidak adekuat, tubuh makin kurus, ketergantungan aktifitas sehari-hari, kurangnya pemenuhan istirahat dan tidur serta kecemasan.

Ketidak efektifan bersihan jalan nafas

Kerusakan pertukaran gas

Pola nafas tidak efektif

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan.

Intoleransi aktivitas

You might also like