You are on page 1of 11

1

MENGAPA HARUS BAHASA INDONESIA *) Oleh Sumarsono 1 Pengantar Biasa. Tiap bulan Oktober sebagian orang Indonesia, khususnya orang-orang yang terlibat dalam urusan kepemudaan, lebih-lebih yang berurusan dengan kebahasaindonesiaan, selalu membuat acara ritual memperingati sumpah pemuda. Juga tahun 2007 ini, pemudamahasiswa yang calon guru bahasa Indonesia melakukan ritual yang dimaksud tadi. Apakah ritual-ritual yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun yang lalu ada imbasnya ke dalam kehidupan dan perilaku berbahasa, tanyakan kepada rumput yang bergoyang. Tulisan ini tidak bermaksud menggurui, melainkan sekadar merenungkan atau berefleksi diri, seberapa jauh perilaku berbahasa kita mengimplimentasikan sumpah pemuda 28 Oktober 1928. 2 Yang Terkuat Terus terang saja, di antara tiga butir Sumpah Pemuda, yaitu sumpah tentang tanah air, tentang bangsa, dan tentang bahasa, hanya sumpah tentang bahasa itulah yang terkuat. Bangsa kita sudah mencabik-cabik sendiri sumpahnya tentang tanah air dan tentang bangsanya, tetapi tidak tentang bahasanya. Marilah kita tengok ihwal tanah air. Sejarah mencatat bahwa segera setelah kita merdeka di Ambon, Maluku, lahir RMS (Republik Maluku Selatan) yang pro dan didukung Belanda. RMS segera dapat ditumpas, tetapi sisa-sisa pikiran RMS masih ada sampai kehadiran Presiden SBY ke Ambon tahun 2007 ini. Hampir tiap tahun generasi penerus RMS selalu mengibarkan bendera RMS. Kemudian, kira-kira tahun 1957 1958 terjadi apa yang disebut pemberontakan PRRI (?) di Sumatra Barat, dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi Utara. Keduanya berwatak ___________________________________
*) Disampaikan dalam Seminar Peringatan Bulan Bahasa 2007, tanggal 22 Oktober 2007 Kampus Bawah Universitas Pendidikan Ganesha, di Singaraja.

kedaerahan, biasa disebut daerahisme, istilah kerennya lokonasionalisme (Sumarsono,

2 2006). Kemudian, di wilayah paling barat Indonesia lahir GAM (Gerakan Aceh Merdeka), yang sedikit banyak bewarna keislaman. GAM berakhir dengan damai melalui mediasi bangsa lain. Di wilayah paling timur Indonesia juga lahir Gerakan Papua Merdeka (GPM), yang nasibnya tampaknya mirip RMS di Ambon. Saya tidak tahu persis apakah wakil-wakil pemuda dari Aceh dan dari Papua pada tahun 1928 ikut mengucapkan Sumpah Pemuda. Kalau tidak, ya, mereka sekarang dapat berdalih Saya tidak ikut bersumpah dan karena itu kami tidak merasa wajib bertanah air yang satu, tanah air Indonesia dan ... berbangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia. Dapat juga dikatakan bahwa para pemuda yang bersumpah pada saat itu terlalu berani untuk mengatasnamakan pemuda dan nama Indonesia, sehingga lahir Sumpah Pemuda. Gesekan kedaerahan di panggung tingkat nasional itu kemudian bergeser ke arena tingkat daerah. Konon, ada dua provinsi yang letaknya berdekatan bertengkar karena batas wilayah dan batas laut yang tidak jelas. Misalnya, ketika Banten berdiri sebagai provinsi, Pemda Banten menuntut beberapa pulau yang selama ini masuk ke DKI Jakarta, padahal Banten dimekarkan bukan dari DKI melainkan dari Jawa Barat. Konon juga, ketika ada pengangkatan guru PNS di Banten, seorang calon guru ditolak oleh Panitia karena dia adalah tamatan IKIP Jakarta. Di Bali lokonasionalisme bukannya tidak ada. Lihat, beberapa tahun terakhir ini, ada kasus-kasus adat yang sedikit banyak berlandaskan awig-awig atau berdasarkan kepentingan desa atau banjar yang berwatak geografis. Kasus-kasus yang terjadi itu selalu melibatkan kekerasan fisik (pembakaran, perusakan, pelemparan rumah) dan atau kekerasan mental-psikologis (pengucilan, pengusiran, penolakan). Bagaimana dengan urusan bangsa? Sama saja dengan urusan tanah air. Perhatikan baik-baik. Sering dikatakan bahwa bangsa Indonesia terdiri atas sekian banyak suku. Titik. Menurut hemat saya, pernyataan itu tidak lengkap dan menyesatkan. Kalau hanya terdiri dari suku-suku, lalu ke mana bangsa Arab dan bangsa Cina dimasukkan? Mungkin rumusan yang (lebih) baik ialah bangsa Indonesia terdiri dari berbagai etnik, karena ada etnik MelayuAustronesia (Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali, dll), ada etnik Melanesia (Irian), ada etnik Arab, Tamil, India, dan Cina, dan lain-lain. Dari istilah etnik ini muncul, jika ada gerakan antietnik atau gerakan yang berdasarkan etnik, kita sebut etnonasionalisme. Begitulah, karena rumusan yang kurang tepat tadi, maka etnik Cina sering dianggap oleh sebagian bangsa ini sebagai bukan orang Indonesia, dan karena itu dalam beberapa

3 kerusuhan, kelompok etnik Cina menjadi kurban amuk. Beberapa tahun lalu di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat timbul konflik antaretnik (Madura Dayak, dan Madura Melayu). Di Papua kita temukan perang suku. Di Jakarta dan Batam sering dikabarkan adanya perkelaian antarkelompok, tetapi latarbelakangnya sebenarnya adalah perbedaan etnik. Agama yang seharusnya membangun damai, justru sering dipakai dalih oleh sekelompok umat untuk melakukan kekerasan terhadap umat agama lain, sebagaimana tampak pada konflik di Poso dan Ambon. Bahkan, kelompok-kelompok umat di dalam satu naungan agama pun dapat berkelahi secara fisik disertai kekerasan dan amuk, yang ujung-ujungnya menambah deretan penyebab perpecahan, sebagaimana kasus pengikut Ahmadiyah yang diserang oleh kelompok lain. Saya tidak hendak menekankan latar belakang perbedaan teologisnya atau urusan benar salahnya; yang saya tekankan ialah bahwa semua itu menimbulkan ancaman perpecahan. Mengenai bahasa haruslah dikatakan bahwa hanya sumpah mengenai bahasa sajalah yang terkuat. Tidak ada kelompok yang memberontak atas dasar bahasa; tidak ada etnik yang memisahkan diri karena alasan bahasa; tidak ada usir-mengusir dan rusak-merusak karena bahasa Indonesia. Yang ada mungkin perbedaan rumusan sumpah. , namun perbedaan itu tidak pernah menimbulkan pertentangan. Ada dua versi rumusan tentang sumpah kebahasaan itu. Rumusan sumpah yang sekarang berlaku ialah kami mengaku berbahasa yang satu yaitu bahasa Indonesia. Jika rumusan ini yang benar, maka kita dapat mengatakan bahwa setakat ini tidak ada manusia Indonesia yang memberontak atas dasar bahasa, tidak ada yang memberontak dan menuntut agar bahasa Indonesia diganti oleh bahasa lain. Rumusan lain, konon adalah rumusan yang asli diucapkan pada 1928, berbunyi: kami menjunjung tinggi bahasa yang satu yaitu bahasa Indonesia. Rumusan pertama menekankan pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu (supaya kita bersatu), dan rumusan kedua lebih mementingkan bahasa Indonesia sebagai bahasa penyatu (supaya kita menjadi satu) dengan konotasi bahasa berprestise, dengan menempatkan bahasa Indonesia di tempat yang tinggi. 3 Yang Terpilih Sudah dikemukakan bahwa yang hadir dan mengucapkan Sumpah Pemuda 1928 ada sejumlah pemuda yang memberanikan diri menjadi wakil seluruh pemuda Indonesia,

4 termasuk wakil seluruh kelompok etnik di Indonesia. Dalam hal bahasa Indonesia yang terpilih sebagai bahasa persatuan dan yang dijunjung tinggi perlu dicatat adanya beberapa hal yang menarik didiskusikan. Sudah kita maklum bahwa Sumpah Pemuda 1928 itu terjadi 17 tahun sebelum Indonesia merdeka. Kita juga tahu bahwa di mana pun ada gerakan politik di sebuah negeri, khususnya yang memperjuangkan kemerdekaan, salalu melibatkan kelompok pemuda. Para pemuda itu kadang-kadang bahkan memimpin gerakan politik, baik yang berterang-terang maupun yang di bawah tanah. Di Indonesia saat itu, para pemuda yang menjadi motor penggerak dan lokomotif perjuangan kemerdekaan adalah mereka yang betul-betul muda usia. Bung Karno lahir tahun 1901, berarti pada waktu sumpah terjadi usia beliau baru 27 tahun. Bagi saya, Bung Karno adalah sosok pemuda yang intelek-akademisi, politikus, negarawan, orator ulung, dan penulis ulung (Bacalah kumpulan tulisan beliau: Di Bawah Bendera Revolusi I). Dan sumpah itu, bagi saya, bukan sekadar peristiwa politik, melainkan peristiwa budaya. Sebagai peristiwa politik, sumpah yang mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa yang satu merupakan karya yang mendukung perjuangan para pemuda dan menjadikannya sebagai alat perjuangan politik bagi Indonesia merdeka. Dengan menggunakan bahasa Indonesia, dan bukan bahasa Melayu, para pemuda merasa dipersatukan oleh roh bahasa Indonesia. Dari segi ini para pemuda mengubah sosok putera daerah menjadi (atau ditambah menjadi) sosok putera bangsa, dengan wawasan kebangsaan yang lebih dari sekadar wawasan kedaerahan. Rapat-rapat kelompok intelektual yang semula menggunakan bahasa Belanda, diubah menjadi menggunakan bahasa Indonesia, meskipun secara linguistik bahasa itu berwujud bahasa Melayu ditambah di sana sini kosakata dan ungkapan dalam bahasa Inggris dan bahasa Belanda. (Baca buku Risalah Sidang PPPKI tahun 1945 yang berupa naskah asli rapat yang membahas tentang UUD dan dasar negara). Dari segi ini, bahasa penjajah mulai dicampakkan dan dipertentangkan dengan bahasa kebangsaan atau bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Jadi, hebatnya ialah bahwa bangsa Indonesia sudah mempunyai bahasa nasional sebelum merdeka, sehingga ketika Indodnesia merdeka kita tidak sulit menentukan bahasa nasional dan bahasa resmi bagi negara. Saya sebut sumpah 1928 itu sebagai peristiwa budaya karena bahasa dan budaya itu ibarat dua wajah uang kepeng, keduanya tak bisa dipisahkan. Keduanya dapat dikatakan dalam ungkapan language and culture atau language in culture, bergantung bagaimana orang

5 memandang hubungan keduanya. Secara kultural, seseorang yang sudah mempunyai dan menguasai satu bahasa, yakni bahasa ibu (mother tongue) dan sekaligus bahasa pertama (first language), yang di Indonesia biasa disebut bahasa daerah (local language), kemudian bersedia mengakui bahasa lain, yaitu bahasa Indonesia, sebagai bahasanya juga, adalah suatu kejutan budaya. Bung Karno yang orang Jawa, memiliki bahasa ibu bahasa Jawa, pasti juga berselimut budaya Jawa. Jika beliau kemudian mengakui memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasanya, maka budaya yang dibawa serta oleh bahasa Indonesia (atau bahasa Melayu plus) harus juga diakui sebagai miliknya. Bersyukurlah kita, karena bahasa Indonesia (atau bahasa Melayu) dan bahasa Jawa (dan banyak bahasa daerah lain) masih mempunyai hubungan kekeluargaan dan hubungan sejarah, dan karena itu juga hubungan kultural. Ini berarti bahwa orang daerah dengan budaya daerah harus mau memiliki budaya nasional, apa pun bentuk dan warnanya. Dan kadang-kadang dirasakan bahwa budaya nasional itu pun masih harus kita bangun. 4 Yang mengalah Bahasa Jawa dan bahasa Melayu sebenarnya masih sekeluarga, sama-sama bahasa Austronesia. Pada tahun 1928 itu penutur bahasa Jawa diperkirakan sekitar 40% dari seluruh penduduk Hindia Belanda (Lihat Suryadinata,2003), tetapi bahasa ini digunakan hanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara bahasa Melayu (sebagaimana yang dikuasai oleh para pemimpin bangsa waktu itu) didukung hanya sekitar 5%. Hanya saja bahasa Melayu, termasuk dialek-dialeknya di berbagai wilayah Hindia Belanda, sudah sangat tersebar ke seluruh negeri, terutama di wilayah-wilayah pantai dan pusat-pusat perdagangan. Di pusatpusat perdagangan bahasa Melayu bisa menjadi pijin, seperti di Jakarta, yang kemudian berubah menjadi kreol, yakni bahasa Jakarta sekarang (Baca Sumarsono, 2005) Tampaknya, pilihan bahasa untuk dijadikan bahasa persatuan pada 1928 itu adalah kondisi bahasa Melayu yang tersebar tadi, menyisihkan bahasa Jawa yang jumlah penuturnya menjadi mayoritas tetapi tinggal bertengger di Pulau Jawa saja. Para pakar bahasa dari negeranegara barat biasanya heran, karena sepertinya sumpah kita itu mengabaikan demokrasi. Mereka bertanya-tanya, mengapa penutur yang 40% dapat dikalahkan oleh yang hanya 5%? Pertanyaan ini muncul karena, bagi masyarakat barat, demokrasi diukur dari jumlah manusia yang terlibat, sementara masyarakat Indonesia memiliki dasar kearifan lokal (local genious)

6 yang bernama musyawarah. Dipandang dari sudut sosiolinguistik, hasil musyawarah ini ternyata benar, karena unsur persebaran sebagai salah satu dasar pertimbangan yang penting. Satu hal yang tampaknya kurang disadari oleh para pemuda saat itu, karena memang pengetahuan yang terbatas, ialah kenyataan bahwa sebenarnya bahasa Melayu itu memiliki prestise tinggi dibandingkan bahasa-bahasa lain.Di mata sosiolinguistik, ketersebaran dan prestise suatu bahasa merupakan modal penting bagi pengangkatannya sebagai bahasa nasional suatu negara baru. Pertanyaan yang menarik ialah betulkah, sebagaimana diungkapkan oleh pakar linguistik negara barat, penutur bahasa Jawa dikalahkan oleh penutur bahasa Melayu? Menurut saya, pasti tidak demikian. Bagi saya, orang Jawa tidak dikalahkan melainkan mengalah. Sikap dan konsep mengalah adalah salah satu kearifan lokal orang Jawa, sejajar dengan sikap dan nilai-nilai nrima (menerima aapa adanya), pasrah (mau menerima apa yang ditentukan atasan, termasuk Tuhan), andhap asor (merendah, merendahkan diri) (Lihat Kartomihardjo, 1981). Mengalah tidaklah berarti, dan tidak dirasakan sebagai, kalah. Mengalah adalah konsep luhur tentang pengurbanan. Orang yang mengalah pasti menyadari dan siap berkurban bagi kepentingan bersama dan kepentingan yang lebih besar. Hanya saja, mengalah dalam menentukan pilihan bahasa persatuan ini mempunyai konsekuensi linguistik. Yang saya maksudkan ialah demikian. Karena yang terpilih adalah bahasa Melayu, maka orang Jawa, yang sekarang berjumlah sekitar 80 juta, harus belajar bahasa Melayu sebagai bahasa kedua, menjadikan mereka dwibahasawan Jawa Indonesia. Sudah kita maklumi, jika ada kedwibahasaan seperti itu, pasti sedikit banyak ada pengaruh bahasa pertama (B1) terhadap bahasa kedua (B2) yang baru dikuasainya. Karena masyarakat Jawa menjadi mayoritas penduduk, ditambah dengan kenyataan bahwa pusat pemerintahan, politik, dan ekonomi berada di Jawa, maka sejak merdeka sebagian besar jabatan di lingkungan pemerintahan dan militer dipegang oleh orang Jawa. Akibatnya, budaya dan bahasa Jawa besar pengaruhnya pada bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Sampai sekarang kita dapat melihat betapa besar kosakata bahasa Jawa yang terpinjam oleh bahasa Indonesia. Menurut penelitian Sumarsono (1993) terhadap Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi ke-2 (11991), ditemukan adanya 1.387 lema (1,9%), dari sekitar 72.000, yang diberi kode Jw. Jumlah ini tentu tidak akurat karena di dalam KBBI banyak sekali kata yang sebenarnya berasal dari bahasa Jawa tetapi tidak diberi kode Jw. Kosakata itu menyebaar ke berbagai

7 bidang kehidupan: pandangan hidup, kepercayaan, adat, seni-budaya, perilaku, watak, perbuatan, emosi dan suasana hati, kuliner (masakan, minuman, makanan), keluarga dan kata sapaan, pertanian, sakit dan cacat tubuh, sifat dan keadaan barang. Sebagian besar (54,87 %) dari 1.387 itu tergolong nomina; 21,77 % adjektiva, dan 21,41% verba. Hal semacam ini saya kira tidak hanya berlaku di dalam masyarakat Jawa melainkan juga di suku-suku lain, masyarakat tutur yang menjadi dwibahasawan. Buktinya dapat dilihat dari kenyataan lahirnya dialek-dialek bahasa Indonesia di tiap wilayah kekuasaan bahasa daerah. Konsekuensi linguistik lain ialah lahirnya homonimi baru, seperti pada kata bodong, dadar, den, kandar, kudu, sadak; atau menambah anggota hominimi yang sudah ada, seperti bera, buta, marga, murba, pada, saku. Menurut penelitian saya yang lain terhadap KBBI itu, jumlah homonimi dalam kamus itu ada hampir berjumlah 3.000, tetapi berapa persen persisnya sumbangan bahasa Jawa belum saya hitung. 5 Yang menjadi konsekuensi Sampailah kita pada persoalan pokok: mengapa harus bahasa Indonesia. Jika pertanyaan ini diarahkah kepada masa sebelum sumpah, maka jawabannya barang kali ialah karena terpaksa, karena bahasa inilah yang sudah telanjur menjadi alat komunikasi praktis di seluruh wilayah tanah air. Jika pertanyaan tadi diarahkan ke masa setelah sumpah, maka jawabannya ialah kita harus menerima bahasa Indonesia sebagai konsekuensi logis dari perilaku kita (sebagai bangsa) sebelum ini. Konsekuensi logis itu dibarengi atau disertai konsekuensi kultural dan konsekuensi moral dari adanya Sumpah Pemuda dan diakuinya bahasa ini sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Sebagai alat komunikasi, kapan pun adanya, jelas bahasa Indonesia berperan sebagai faktor sosial yang menghubungkan antarwarga atau antarkelompok yang berbeda bahasa. Contoh jelas, yang berlaku sejak masa lampau ialah kondisi di Flores, NTT. Di sana tiap kota atau daerah kecamatan, bahkan desa, memiliki bahasa sendiri. Mereka terselamatkan komunikasi sosialnya oleh bahasa Indonesia. Hal demikian tidak begitu terasa di Jawa. Perkembangan kota yang melahirkan hunian-hunian Indonesia mini makin memperkokoh posisi bahasa Indonesia. Sudah dikatakan di depan bahwa Sumpah Pemuda itu bukan sekadar peristiwa politik melainkan juga peristiwa kultural; bahwa sumpah itu memberikan sumbangan besar bagi

8 tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa menuju ke kemerdekaan. Sumpah kebahasaan membawa konsekuensi kultural bagi kita bahwa bahasa Indonesia ialah bagian dari budaya kita dan karena itu penggunaannya menjadi wajib, mendampingi penggunaan bahasa ibu. Sumpah bukanlah sekadar janji. Ada segi ritual-sakral pada suatu sumpah yang mengikat mereka yang terlibat. Karena itu sumpah membawa konsekuensi moral untuk menjalankan apa yang diujarkan dalam sumpah. Diangkatnya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi dalam konstitusi kita jelas merupakan konsekuensi politis-yuridis. Dan ini memberi kewajiban bagi warga bangsa untuk mematuhinya. Tidak ada alasan lagi untuk mengelak. Orang tidak bisa lagi beralasan Saya tidak tahu. karena tahu atau tidak tahu adanya hukum di suatu negara tiap warga harus dianggap tahu. Itu hukum! 6 Yang perlu dijaga Konsekuensi moral harus ditanggapi dengan tanggung jawab moral untuk selalu menjaga dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Kita wajib mempertanyakan harus bahasa Indonesia itu seperti apa wujudnya, bagaimana yang namanya harus itu. Harus mengakui sudah terjadi, harus menggunakan sudah jalan, tetapi harus menjaga dan harus menjunjung tinggi belum sepenuh hati. Maka perlu diajukan pertanyaan, bagaimana cara menjaga dan menjunjung tinggi itu. Menurut saya, untuk menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa hal yang perlu kita lakukan, antara lain: (1) Bahasa Indonesia harus dijaga agar tidak terlalu didominasi bahasa Inggris. Bahasa Inggris sebagai bahasa dunia telah menjadi bahasa dominan dan mempunyai kekuasaan (power) untuk mempengaruhi bahasa-bahasa lain di dunia. Imperialisme bahasa (language imperialism) di dunia telah dilakukan oleh bahasa Inggris (Sumarsono,2007). Kecenderungan untuk hidup atau matinya bahasa secara global telah diingatkan oleh Grimes (2002). Media massa cetak dan elektronik di Indonesia begitu leluasa menggunakan bahasa Inggris, nyaris tanpa kontrol dari Pusat Bahasa atau pemerintah. Yang paling memprihatinkan ialah bahwa bahasa Inggris itu telah masuk ke benak bangsa Indonesia melalui struktur kognitif masyarakat (social cognitive structures). Bahasa Inggris telah menjadi sarana untuk memenuhi fungsi hegemoninya (Gramsci, 1971).

9 Kweldju (2005), mengutip karya Philipson tentang imperialisme bahasa,

mengemukakan bahwa dominasi bahasa Inggris di dunia itu bukannya terjadi secara kebetulan, melainkan disengaja. Kweldju menunjuk penggunaan kosakata bahasa Inggris yang begitu banyak. Dalam KBBI 20% isinya ialah kata pinjaman dari bahasa Inggris. Yang lebih berbahaya lagi, kata Kweldju, ialah penutur bahasa Indonesia sudah masuk ke metafora pinjaman (borrowing metaphor) atau metafora konseptual (conceptual metaphor), yang efeknya jauh lebih berpengaruh, karena metafora pinjaman dapat langsung mempengaruhi struktur konseptual penuturny. Struktur konseptual itu kira-kira serupa dengan struktur kognitif, dan kognisi ialah motor penggerak dalam otak kita. Ini berarti, jika struktur kognisi bangsa ini sudah dikuasai oleh struktur kognisi bangsa asing, melalui bahasa, maka terancamlah cara berpikir bangsa. Ambil contoh seperti time is money diindonesiakan menjadi waktu adalah uang (bukan waktu itu uang); grass-root dijadikan akar rumput (padahal kita punya rakyat jelata, warga terbawah, wong cilik), money politics diindonesiakan menjadi politik uang (padahal kita punya main duit, main suap). (2) Bahasa Indonesia harus dapat hidup harmonis bersama dengan bahasa daerah. Sosiolinguistik mengenal apa yang disebut diglosia, yaitu suatu situasi kebahasaan yang memberikan peluang bagi dua bahasa untuk hidup berdampingan, masing-masing dengan fungsi-fungsi dan ranah-ranahnya sendiri, meskipun salah satu bahasa itu berada pada posisi tinggi (high = H), karena dianggap mempunyai prestise tinggi oleh penuturnya, dan yang satu rendah (low =.L). Di Indonesia H itu adalah bahasa Indonesia dan L itu bahasa daerah. Diglosia itu harus terus dijaga agar tetap stabil. Begitu diglosia itu rembes, tiris, apalagi bocor, maka mulailah bahasa H akan merambah ke ranah-ranah L dan menggeser fungsi-fungsi L. Artinya, bahasa H makin banyak digunakan dan bahasa L makin surut. Ini yang menyebabkan bahasa-bahasa daerah kita terancam. Peta kebahasaan S.A.Wurn terbitan UNESCO (dipetik Grimes, 2002) menunjukkan ancaman punahnya bahasa-bahasa daerah di Indonesia Timur. Di Sulawesi, dari 110 bahasa daerah, 36 terancam punah; di Maluku, dari 80 bahasa daerah, 22 terancam punah dan 11 sudah punah; di Papua, dari 271 bahasa daerah, 56 terancam punah. Grimes menulis, di antara 6.818 bahasa di dunia yang sudah didaftar, ada 330 bahasa yang penuturnya satu juta orang atau lebih, 450 bahasa yang penuturnya hanya sedikit dan terancam punah.

10 Yang menarik ialah, di Indonesia, menurut laporan penelitian Asim Gunarwan (2005), kasus-kasus pergeseran bahasa daerah itu disebabkan oleh dominasi bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa daerah itu tergeser karena kalah bersaing dengan bahasa Indonesia. Mungkin ini disebabkan oleh kebijakan bahasa nasional (national language policy) kita kurang tepat. Pengajaran bahasa Indonesia kita juga selayaknya memakai konsep program imersi (immersion program), yaitu program pengajaran B2 yang tidak boleh mematikan B1. (3) Kita harus mau dan mampu berbahasa Indonesia dengan benar, baik, dan logis. Kita kadang-kadang munafik dan kurang bertanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia. Kita mengaku memiliki bahasa Indonesia, tetapi kita tidak mau memeliharanya dengan baik; kita mengatakan mencintai atau menjunjung tinggi bahasa Indonesia tetapi kita tidak mau dan tidak mampu menggunakannya dengan benar (bertaat asas menurut kaidah gramatika), dengan baik dan tertib (menurut kaidah pragmatik), dan dengan logis (menurut kaidah logika). Masih banyak kita temukan berbagai pelanggaran EYD, kaidah gramatika, kaidah pragmatik, dan kaidah logika. Dan yang memprihatinkan pelanggaran itu juga dilakukan oleh para insan pendidikan yang guru dan dosen bahasa Indonesia. Faktor-faktor penyebab mereka melanggar berbagai kaidah itu penyakit mental (suka asal-asalan, kurang disiplin, dsb), penyakit kurang motivasi aktualisasi diri (tidak mau atau malas belajar lagi), penyakitb kebiasaan bekerja tanpa kelengkapan kerja (banyak dosen dan guru bahasa Indonesia yang tidak mempunyai buku pedoman EYD, pedoman Pembentukan Istilah, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, dan Kamaus Besar Bahasa Indonesia), dan penyakit malas berpikir. Di kampus kita ini masih banyak kita temukan orang menulis formolir, amprah, Rebo, Nopember, prihal, koprasi; masih banyak orang berujar Saya rasa ... (dan bukanSaya pikir...), dan bentuk pelanggaran kaidah yang lain. 7 Penutup Begitulah pandangan saya tentang sumpah pemuda. Yang ingin saya kemukakan dalam tulisan ini sebenarnya ialah bukan hanya menjawab pertanyaan Mengapa harus Bahasa Indonesia?, melainkan juga pertanyaan Mengapa harus Berbahasa Indonesia?, serta Bagaimana cara menafsirkan harus itu? Untuk itu, saya telah menunjukkan betapa sumpah kebahasaan lebih kuat dari dua sumpah yang lain. Sumpah Pemuda saya pandang

11 bukan hanya sebagai peristiwa politik, melainkan juga peristiwa kultural dan moral, berdasarkan kearifan lokal bangsa Indonesia dan kearifan lokal etnik Jawa. Sumpah ini membawa konsekuensi logis, kultural dan moral; namun yang lebih penting ialah menjaga agar bahasa Indonesia tidak didominasi oleh bahasa Inggris; sebaliknya tidak mendominasi bahasa daerah. Kita juga harus berupaya menggunakan bahasa Indonesia yang benar, baik, dan logis. BACAAN Fairclough, Norman.2003. Relasi Bahasa,Kekuasaan dan Ideologi. Terjemahan Indah Rohmani. Malang: Boyan Publishing. Gramsci, A.1971. Selectin from the Prison Notebook. N.Y: Lawrence & Wishart. Grimes, Barbara F. 2002. Kecenderungan Bahasa untuk Hidup atau Mati secara Global (Global Viability): Sebab, Gejala, dan Pemulihan untuk Bahasa-Bahasa yang Terancam Punah. Dalam Bambang Kaswanti Purwo. PELLBA 15. Jakarta: Universitas Katolik Atmajaya. Gunarwan, Asim. 2005. Kasus-Kasus Pergeseran Bahasa Daerah: Akibat Persaingan dengan Bahasa Indonesia Kweldju, Siusana.2005. Metafora Pungutan Berpotensi Mempengaruhi Struktur Konseptual Bangsa. LINGUISTIK INDONESIA.Tahun 23,No.2,Agustus 2005: 193 203. Sumarsono. 2005. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumarsono. 2006. Meningkatkan Nasionalisme melalui Bahasa Indonesia. Makalah pada Seminar Sumpah Pemuda, Nasionalisme, dan Bahasa Indonesia, diselenggarakan oleh KNPI dan MGMP Bahasa Inddonesia, Amlapura, 15 November 2006. Sumarsono. 2007. Imperialisme dalam Pembentukan Istilah. Makalah dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Hibah Bersaing, Jakarta, 31 Juli 2 Agustus 2007. Singaraja, 12 Oktober 2007 *****

You might also like