You are on page 1of 34

Wanita Indonesia menjadi Pemimpin : Mengapa Tidak?

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kajian Modal Sosial yang ditujukan kepada dosen Prof. Dr. Aim Abdul Karim S.Pd, M.Pd.

Oleh

Widiya Purwanti (0900940)

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2011

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunianya saya dapat menyusun makalah ini yang berjudul Wanita Indonesia menjadi Pemimpin: Mengapa tidak? yang merupakan salah satu tugas dari Mata kuliah Kajian Modal Sosial. Tujuan penyusun membuat makalah ini adalah agar para pembaca dapat menambah pengetahuan dan mengembangkan wawasan setelah membaca dan memahami materi yang ada dalam makalah ini. Dan saya berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca khususnya wanita yang bisa

mengaplikasikannya kedalam kehidupan sehari-hari Dan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kesalahan dari penulisan makalah ini, hal tersebut semata karena keterbatasan saya dalam mengolah materi kajian ini. Dan saya juga berharap mendapat saran dan kritik membangun dari pembaca agar saya dapat memperbaiki diri dalam pembuatan makalah yang lain kedepannya.

Bandung, 28 November 2011

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... DAFTAR ISI ............................................................................................... BAB 1 Pendahuluan .................................................................................... 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 1.3 Tujuan ................................................................................................... 1.4 Manfaat .................................................................................................. 1.5 Sistematika Penulisan ............................................................................. 1.6 Teknik Penulisan .................................................................................... BAB 2 Landasan Teori ................................................................................. 2.1 Kesetaraan Gender dan Feminisme .........................................................

i ii 1 1 1 2 2 2 3 4 4 4 5

a. Kesetaraan Gender .............................................................................. b. Pengertian dan Sejarah Feminisme ...................................................... 2.2 Sejarah Gerakan Wanita di Beberapa Negara .......................................... 6

a. Inggris ................................................................................................ b. Amerika Serikat .................................................................................. c. Jepang ................................................................................................ d. India ................................................................................................... e. Filipina ............................................................................................... BAB 3 Pembahasan ...................................................................................... 3.1 Kedudukan Wanita Masa Kini ................................................................ 3.2 Kedudukan Wanita Indonesia ................................................................. 14 14 15
3

6 7 8 9 9

3.3 Tokoh-tokoh Wanita yang Berpartisipasi dalam Pembangunan Nasional..

19 19 21 25 27

a. Mooryati Soedibyo .............................................................................. b. Rike Diah Pitaloka ............................................................................... c. Dewi Motik Pramono ........................................................................... d. Toeti Noerhadi ..................................................................................... BAB 4 Kesimpulan dan Saran ...................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 29 30

BAB 1 Pendahuluan

1.1

Latar Belakang

Sudah bukan zamannya lagi wanita hanya berkutat dengan alat-alat dapur dan perangkat rumah lainnya. Kini wanita ruang geraknya sangat luas, wanita bisa sejajar dengan pria dalam hal apapun terutama dari segi pengembangan karir dan aspirasinya. Berbagai kajian dan teori-teori mengenai wanita dikembangkan di beberapa negara yang berbeda pengalamannya di bidang politik dan berbeda-beda keadaan sosial budayanya, hal ini menunjukan bahwa wanita kedudukannya sederajat dengan pria. Lalu bagaimana gerakan wanita di Indonesia? Di Indonesia proses itu sudah menjelma pada abad ke-19 dalam bentuk peperangan di banyak daerah di bawah pimpinan raja atau tokoh-tokoh lain yang melawan penjajahan belanda, disana lahir beberapa tokoh wanita seperti Cut Nyak Dien dan Cut Meutia.

Maka dari itu saya memilih judul Wanita Indonesia menjadi Pemimpin : mengapa tidak ? , disini saya akan menjelaskan bagaimana peran wanita Indonesia di abad 21 ini, ditengah arus globalisasi yang semakin meluas dan tidak terbendung. Kemudian saya akan menuliskan beberapa artikel yang di buat oleh tokoh-tokoh wanita Indonesia mengenai pandangan mereka terhadap wanita dan kepemimpinannya.

1.2

Rumusan Masalah

a. Bagaimana kesetaraan gender dan feminisme berbicara? b. Bagaimana sejarah gerakan wanita di beberapa negara? c. Bagaimana kedudukan wanita saat ini? d. Bagaimana kedudukan wanita di Indonesia saat ini? e. Bagaimana tokoh wanita-wanita Indonesia ketika berbicara wanita dan kepemimpinannya?

1.3

Tujuan

a. Memahami apa itu kesetaraan gender dan feminisme b. Mengetahui sejarah gerakan wanita di beberapa negara c. Mengetahui kedudukan wanita masa kini d. Memahami dan mengetahui kedudukan wanita di Indonesia e. Mengetahui pandangan wanita-wanita sukses dibidangnya mengenai wanita dan kepemimpinannya.

1.4

Manfaat Manfaat disusunnya makalah ini agar penulis maupun pembaca memahami kesetaraan wanita saat ini terutama di Indonesia dan menjadikan motivasi-motivasi bagi wanita lainnya untuk terus maju.

1.5

Sistematika Penulisan Makalah ini disusun secara sistematis mulai dari BAB 1 yaitu Pendahuluan yang berisi Latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat, sistematika penulisan, dan teknik penulisan. Pada BAB 2 yaitu landasan teori yang berisi pengertian feminisme, pengertian kesetaraan gender, dan sejarah pergeraan wanita di beberapa negara. Pada BAB 3 yaitu pembahasan yang terdiri dari kedudukan wanita masa kini, kedudukan wanita di Indonesia, dan beberapa artikel dari wanita karir yang aktif dibidangnya masing-masing. Pada BAB 4 yaitu berisi Kesimpulan dan Saran dari Peran wanita Indonesia dalam pembangunan.

1.6

Teknik Penulisan Teknik yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan teknik pengambilan data dari literature buku dan browsing dari Internet.

BAB 2 Landasan Teori 2.1 Kesetaraan Gender dan Feminisme

a. Kesetaraan gender Konsep sex (jenis kelamin) dan gender masih sering dipahami secara rancu dalam masyarakat. Konsep gender yang sebenarnya merupakan peran dan perilaku laki-laki dan perempuan sesuai dengan pengharapan sosial, sering kali dianggap sebagai ketentuan atau kodrat yang tak dapat diubah. Hal tersebut menjadi masalah karena kekeliruan tersebut menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi perempuan. Dalam membahas gender, sosiologi melihat dari teori makro (fungsional struktural, konflik, dan sistem dunia) dan mikro (interaksionisme simbolik dan etnometodologi). Sesuai dengan prinsip konsensus dan keharmonisan yang dianut, struktural fungsional menganggap pembagian kerja antara suami dan istri dalam keluarga dianggap pengaturan yang paling sesuai, agar dalam kehidupan berkeluarga laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi.

Sebaliknya, teori konflik menganggap bahwa dalam kehidupan keluarga, istri atau perempuan dalam posisi yang tertindas dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi, seksual, dan pemilikan properti. Janet Chafetz menganalisis bahwa perempuan menduduki posisi yang rendah dalam masyarakat, yang ia sebut dalam stratifikasi jenis kelamin. Sedangkan teori sistem dunia yang selama ini hanya memperhitungkan kapitalisme dari pekerjaan ekonomi publik, dianggap telah mengurangi kontribusi perempuan di bidang produksi ekonomi karena mengabaikan pekerjaan perempuan dalam rumah tangga. Dari teori mikro sosial gender, interaksionisme simbolik

mengidentifikasi bahwa individu berusaha memelihara identitas gendernya di berbagai situasi serta memahami bagaimana arti menjadi perempuan atau laki-laki. Sementara itu, etnometodologi menganggap bahwa identitas gender individu diperoleh melalui interaksi dalam berbagai situasi. Dengan demikian, melalui budaya yang berbeda individu akan mengidentifikasi peran gendernya secara berbeda sesuai dengan situasi sosial.

b. Pengertian dan sejarah feminisme Apa sebenarnya yang dimaksud dengan feminisme? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, cetakan keempat tahun 1995 yaitu gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Sedangkan definisi feminisme menurut Sarah Gamble yaitu sebuah kepercayaan bahwa perempuan diperlakukan tidak adil dalam masyarakat yang dibentuk untuk memprioritaskan cara pandang laki-laki serta kepentingannya. Dalam pola patriarkal, perempuan menjadi semua hal yang bukan laki-laki (atau citra yang tidak diinginkan laki-laki); dimana laki-laki dianggap kuat, perempuan lemah; laki-laki dianggap lebih rasional dan mereka

emosional; laki-laki dinggap aktif, perempuan fasif, dan sebagainya. Dengan dasar pemikiran-pemikiran tersebut maka perempuan tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk masuk dalam dunia yang menjadi perhatian publik. Singkatnya feminisme mencoba untuk mengubah situasi ini. Jadi, feminisme merupakan suatu teori yang berasal dari gerakan wanita dan menuntut adanya kesetaraan hak antara kaum wanita dan pria. Feminisme lahir pada abad ke-18 di Perancis yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Gerakan tersebut didorong oleh ideology pencerahan (Aufklarung) yang menyatakan bahwa manusia diberi kemampuan mencari kebenaran dengan menggunakan rasio (akal). Gerakan tersebut merupakan dampak dari revolusi perancis (1789-1793) yang mengesampingkan hak-hak wanita padahal pada waktu itu wanita berperan banyak dengan terjadinya Revolusi Perancis. Menurut hukum suami

mempunyai kekuasaan penuh terhadap istrinya, harta dan anakanaknya. Istri harus tunduk kepada suaminya, tidak diperbolehkan mengadakan transaksi secara hukum tanpa izin suaminya. Istri yang berzinah dapat dihukum penjara 2 tahun, dan kalau tertangkap basah suaminya boleh membunuhnya tanpa mendapat hukuman. Sebaliknya, suami yang berzinah bebas hukuman. Wanita juga dilarang menghadiri rapat-rapat politik, atau berpakaian celana panjang dan bila wanita berjalan tanpa pengantar ia bisa ditangkap oleh polisi karena dianggap pelacur (Evans,1979:125). Dan baru pada tahun 1870-an merupakan organisasi yang kuat karena perancis sistem pemerintahannya berubah menjadi republik, selanjutnya gerakan feminisme disusul oleh beberapa negara lain. 2.2 Sejarah gerakan wanita di beberapa negara

Setelah lahirnya gerakan feminism di Perancis, maka lahir pula gerakan wanita di berbagai negara lainnya, seperti inggris, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Filipina. a. Inggris Tokoh utama yang memperjuangkan keadilan bagi wanita adalah Mary Wollstonecraft. Bukunya yang berjudul A Vindication of the Rights of Women sangat berpengaruh pada tahun 1792. Dalam buku ini di tegaskan pentingnya pendidikan bagi wanita karena pada waktu itu kebanyakan wanita tidak mendapatkan pendidikan formal, dengan pendidikan bagi wanita maka mereka dapat mengembangkan rasionya dan mereka akan menjadi warga negara yang berguna. Seorang tokoh lain yang memperjuangkan hak-hak bagi wanita yaitu john Stuart mill yang bukunya berjudul The Subjection of Women, terbit tahun 1869, dianggap kitab suci bagi pergerakan wanita di Eropa. Buku ini sangat berpengaruh, karena Mill menghubungkan gerakan wanita (feminisme) dengan pemikiran liberalisme. Mill berpendapat bahwa persamaan dalam hukum bagi pria dan wanita adalah syarat utama untuk mencapai masyarakat yang adil, yang memberi kesempatan yang sama bagi semua warga negara. Gerakan wanita di Inggris pada waktu itu mengutamakan perjuangan untuk memperoleh hak pilih yang mengalami tantangan keras, sehingga menuntut banyak pengorbanan. b. Amerika Serikat Setelah revolusi Amerika Serikat berakhir (1861-1863) kaum wanita mulai ikut bergerak dalam rangka pembaharuan kehidupan agama. Terbentuklah banyak organisasi sukarela yang bertujuan untuk mengadakan perbaikan di bidang moral, social pendidikan, dan

10

kemanusiaan. Pada tahun 1848 ketika diadakan Konvensi Hak-hak Wanita di kota Seneca Falls, banyak tuntutan yang dikemukakan mengenai persamaan hak disemua bidang kehidupan, namun perjanjian tersebut dipusatkan pada 3 hal : memperoleh hak memiliki pendapatan hasil pekerjaan sendiri, ha katas anak-anak setelah perceraian, dan hak pilih dalam pemilu. Kecemasan wanita mulai memuncak pada tahun 1960-an karena pengalaman pahit yang diderita para wanita muda yang aktif dalam gerakan hak sipil dan new left yang radikal. Mereka mengira bahwa gerakan yang berjuang untuk golongan kulit hitam dan minoritas juga mendukung gerakan wanita. Tetapi ternyata tidak, wanita hanya diberi peranan sebagai pengurus makanan, juru tik atau pelayan seks. Selain itu mereka selalu dicemooh maka munculah istilah Womens Liberation Movement yang radikal. Gerakan ini mencakup berbagai kelompok yang berbeda-beda kiatnya, dan yang paling radikal adalah yang ingin mengubah masyarakat dimana wanita memisahkan diri dari pria, yang dianggap penindas wanita dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Womens Lib sangat vocal sehingga sering disamakan dengan gerakan wanita di dunia Barat pada umumnya. c. Jepang Gerakan wanita di Jepang dimulai pada abad ke-19 yang menuntut persamaan hak pria dan wanita dalam keluarga dan masyarakat, meningkatkan kesempatan pendidikan bagi wanita, penghapusan sistem selir dan penghapusan perizinan pelacur (Hoshii,1988:97). Industrialisasi pada zaman Meiji membuka kesempatan kerja bagi wanita tetapi kondisi kerja buruk. Gadis- gadis dari pedesaan bekerja giliran siang-malam dalam keadaan yang menyedihkan. Berbagai

11

protes terhadap keadaan buruk tenaga kerja wanita mengalami kegagalan. Gerakan wanita memegang peranan penting setelah Perang Dunia 1. Dapat diringkas bahwa di Jepang, negara maju di Asia, perasaan keadilan menimbulkan gerakan wanita disertai keyakinan pentingnya perbaikan moral dalam masyarakat. Perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh makin banyaknya wanita yang berpendidikan dan oleh pemikiran-pemikiran Barat serta oleh kebijakan pemerintah. Gerakan wanita mengalami masa pasang surutnya yang banyak tergantung pada keadaan politik negara. d. India Menjadi jajahan inggris sejak tahun 1857 dan memperoleh kemerdekaan tahun 1947, timbul gerakan yang bergandengan dengan kemerdekaan. Dalam hal ini Mahatma Gandhi sangat berjasa dengan mendorong wanita berpartisipasi dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan bangsa. Pemimpin-pemimpin lain juga memperoleh pendidikan di Inggris. Mereka dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Revolusi Perancis dan adat-istiadat yang tidak adil, khususnya tentang kedudukan wanita di India yang menyedihkan, seperti nasib istri yang tidak mampu membalas mas kawin dibalas dengan dibakar oleh pihak suami, gejala pemerkosaan, pelecehan seksual, dan penguguran janin wanita. Sejak tahun 1970-an timbul gerakan untuk lebih memfokuskan pada golongan bawah yang lebih mengalami situasi ekonomi dan politik yang sulit, selain masih mengalami diskriminasi yang sangat tajam dalam adat-istiadat. Dalam hal ini gerakan bantuan dari Media Massa, karenanya ada gerakan dari masyarakat, maka pemerintah India menunjukan kesediaannya untuk melaksanakan apa yang telah

12

digariskan dalam perundang-undangan untuk mencapai keadilan bagi wanita dan masyarakat pada umumnya. e. Filipina Sebelum dijajah oleh Spanyol pada abad ke-16 kedudukan wanita tinggi. Mereka memerintah di barangaya (desa), mereka sebagai pemuka-pemuka agama bahkan pemimpin-pemimpin militer.

Perkawinan umumnya monogamy, anak laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sama dari warisan sedangkan istri mendapat separuh dari milik bersama. Jelasnya masyarakat pada waktu itu bersifat egaliter. Penjajahan Spanyol yang kebudayaannya androsentris ( berpusat pada kepentingan pria), mengubah kedudukan wanita, pemerintahan dikuasai oleh pria, kesempatan pendidikan terbatas bagi wanita. Perkawinan masih bersifat monogamy tetapi perceraian dilarang. Wanita dilarang untuk bekerja pada jabatan-jabatan di muka umum, kecuali sebagai guru atau pekerjaan social. Keadaan berubah dibawah penjajahan Amerika yang lebih progresif. Lebih banyak diberi kesempatan pada wanita mengikuti pendidikan bahkan sampai di perguruan tinggi. Ini berakibat bahwa banyak wanita masuk dalam profesi hukum, kedokteran, perawatan,dan lain-lain, tidak lagi tebatas pada guru saja. Lapangan pekerjaan menjadi lebih luas untuk usaha mensejahterakan masyarakat (Torres, A.T.t.t:11). Pada tahun 1905 dan 1912 ada 12 orang tamu dari Eropa yang menganjurkan agar wanita Filipina berusaha memperoleh hak pilih. Tetapi mereka ternyata kurang berminat, mereka hanya mendirikan perkumpulan untuk pekerjaan social. Baru setelah ada tekanan dari pihak politisi Filipina, akhirnya para wanita menyetujuinya, sehingga pada tahun 1937 hak pilih untuk wanita diterima dalam Badan Permusyawaratan Nasional.

13

Dalam kasus Filipina ini terlihat bahwa gagasan feminis yang semula dilontarkan beberapa pihak luar, tidak menimbulkan suatu gerakan tetapi ini perlu ditunjang oleh anggota masyarakatnya sendiri, khususnya wanita. Baru setelah ada cukup banyak wanita yang berpendidikan dengan sikap yang berubah dibanding generasi sebelumnya yang masih dipengaruhi oleh kebudayaanyang dibawa oleh bangsa Spanyol, maka terjadilah kemajuan. Ini menunjukan juga bahwa kekuasaan politiklah yang banyak menentukan ada atau tidaknya gerakan wanita.

2.3 Sejarah gerakan wanita di Indonesia

Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi. Gerakan kebangkitan nasional berhubungan dengan politik etis Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi para bumiputera untuk bersekolah. Sebenarnya maksud pemerintah Hindia Belanda adalah untuk menghasilkan buruh-buruh terdidik, guru-guru, birokrat rendahan yang cukup terdidik, dokter-dokter yang mampu menangani penyakit menular pada bangsa pribumi. Tindakan ini dilakukan karena Hindia Belanda harus menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda. Meskipun yang diizinkan memasuki sekolah Belanda saat itu hanyalah kaum bangsawan, priyayi, dan kaum elite, ternyata para pemuda bumiputera kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Dengan bersekolah mereka mampu membaca bukubuku berbahasa Belanda dan Inggris. Buku-buku ini membuka mata dan

14

hati pelajar dan mahasiswa tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri di bumi ini. Dibukanya sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat, telah menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan Barat yang kelak menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional. Pencerahan dalam dunia pendidikan tersebut menggugat orangorang muda untuk berkumpul, berbicara, berdiskusi dan menentukan. Tahun 1908 lahirlah organisasi yang dinamakan Budi Utomo. Sebelum Budi Utomo berdiri, telah lahir seorang pejuang perempuan, yaitu R.A. Kartini (1879-1904). Beliau adalah pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan, terutama di bidang pendidikan. Kartinilah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan saudarasaudaranya yang laki-laki. Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suaminya. Mengingat suasana pada waktu itu, ketika adat feodal masih sangat kental di sekeliling R.A. Kartini, maka dapat kita bayangkan, betapa maju dan progresifnya pikiran R.A. Kartini tersebut. Selain itu, meskipun dalam situasi pingitan, terisolasi, dan merasa sunyi, Kartini mampu membangun satu gagasan politik yang progresif pada jaman itu, baik untuk kepentingan kaum perempuan maupun bagi para kawula miskin di tanah jajahan. Setelah kebangkitan nasional, perjuangan perempuan semakin terorganisir. Seiring dengan terbentuknya berbagai organisasi nasional atau pun partai politik, maka pergerakan perempuan pun mulai terbentuk,

15

baik sebagai sayap atau bagian dari organisasi perempuan yang sudah ada, atau pun membentuk wadah organisasi perempuan tersendiri yang dilaksanakan oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau tingkat tertentu. Terbukti dengan adanya Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1928 yang dihadiri oleh 30 organisasi perempuan. Kongres ini menghasilkan federasi oganisasi perempuan yang bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI). Setahun kemudian PPI diubah menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia). PPII sangat giat di bidang pendidikan dan usaha penghapusan perdagangan perempuan. Pada tahun 1932, dalam kongresnya, PPII mengangkat isu perjuangan melawan perdagangan perempuan dan salah satu keputusan penting yang diambil adalah mendirikan Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (P4A). Setelah kemerdekaan, organisasi perempuan kembali bergerak, akan tetapi karena pada awal kemerdekaan Negara Republik Indonesia masih diliputi oleh perjuangan mempertahankan kemerdekaan, maka perjuangan perempuan Indonesia adalah mendukung para pejuang dalam gerilya atau pertempuran. Selanjutnya setelah di Indonesia diperbolehkan mendirikan partai politik, maka sejumlah perempuan masuk menjadi anggota partai politik, bahkan pada tahun 1948 sempat berdiri Partai Wanita Rakyat atas inisiatif Ibu Sri Mangunsarkoro di Yogyakarta. Partai ini berazaskan ketuhanan, kerakyatan, kebangsaan dan mempunyai program perjuangan yang sangat militan. Demikian juga dengan keputusan kongres Kowani pada tahun 1948 dan 1949, sangat sarat dengan muatan politis dan dengan semangat yang militan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sampai dengan tahun 1950, hasil politik yang dicapai kaum perempuan cukup banyak. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pun meningkat. Hal inilah yang memungkinkan perempuan untuk turut dalam pengambilan keputusan dan pembuatan undang-undang. Demikian juga di bidang eksekutif, pada tahun 1950 telah diangkat dua

16

orang menteri perempuan, yaitu Ny. Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial dan Ny. S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan. Pada dekade akhir pemerintahan Orde Baru, isu gender mulai muncul, sehingga disadari bahwa perempuan harus diberdayakan. Dalam pembangunan yang bernuansa gender, perempuan dan laki-laki harus selalu mendapat akses yang sama dalam pembangunan, dapat

berpartisipasi dan dapat mempunyai kesempatan yang sama dalam penetapan keputusan dan akhirnya dapat menikmati keuntungan dari pembangunan tersebut secara bersama-sama.

BAB 3 Pembahasan

3.1 Kedudukan Wanita Masa Kini Wanita adalah bagian dari masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat. Dalam keadaan krisis perekonomian, wanitalah yang paling merasakan akibat dari krisis tersebut. Akan tetapi, dalam keadaan yang kritis, seringkali perempuan lebih mempunyai inisiatif, bangkit dan menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mulai dari perekonomian keluarga, meluas sampai ke perekonomian rakyat. Namun saat ini wanita tidak hanya berperan dalam kesejahteraan masyarakat saja tetapi wanita pada saat ini banyak berperan aktif dalam pembangunan bangsa. Sekarang wanita sejajar dengan pria, terbukti dengan banyaknya berbagai tokoh wanita yang sangat berpengaruh untuk kelangsungan hidup masyarakat. Misalnya tokoh wanita yang berpengaruh

17

di Amerika Serikat yaitu Hillary Clinton. Beliau menunjukan bahwa wanita sebenarnya mampu berkarir seperti pria. Lulus dari Sekolah Hukum Yale pada tahun 1973, ia pindah ke Arkansas pada tahun 1974 dan kemudian menikahi Bill Clinton pada 1975. Ia lalu menjadi rekan wanita pertama di Firma Hukum Rose pada tahun 1979 dan dua kali tercatat sebagai salah seorang dari 100 pengacara paling berpengaruh di Amerika. Sejak tahun 1979 beliau mulai terjun ke dunia politik yaitu sebagai Ibu Gubernur Arkansas dan aktif dalam sejumlah organisasi yang terkait dengan kesejahteraan anak-anak serta menjadi anggota direksi Wal-Mart dan beberapa perusahaan lainnya. Dan pada tanggal 22 Januari 2009 Hillary Clinton dilantik sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Tokoh lainnya yaitu Lady Diana, Ratu sekaligus aktivis kemanusiaan yang berasal dari negara Inggris. Ratu Diana menuntut ilmu di Institut Alpin Videmanette di Switzerland, sebuah sekolah yang menitikberatkan pendidikan budaya dan menyediakan pelajar-pelajarnya untuk aktivitas-aktivitas sosial. Meskipun kemampuan akademisnya tak terlalu bagus namun beliau sangat ahli di bidang olahraga dan olah vocal. Publik internasional ikut berduka saat kematiannya pada tahun 1997 akibat kecelakaan mobil di Paris. Jasa-jasa nya sebagai aktivis kemanusiaan khususnya pemerhati anak-anak di negara berkembang seperti di wilayah Afrika, memberikan inspirasi dan semangat bagi kaum wanita dunia untuk tidak mengenal lelah melakukan hal yang sama. Menjadi istri, ibu, dan sekaligus publik figur yang baik dan bermakna bagi sesama memang tidak mudah dilakukan oleh setiap orang. 3.2 Kedudukan Wanita di Indonesia Keadaan perempuan masa kini, berkat inspirasi dari R.A. Kartini, telah banyak mendorong perempuan Indonesia untuk mencapai pendidikan tinggi. Perempuan telah mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bersekolah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah murid perempuan dan

18

laki-laki seimbang pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP). Akan tetapi jumlah perempuan makin berkurang seiring dengan meningkatnya jenjang sekolah. Hal ini disebabkan oleh masih adanya diskriminasi dalam keluarga terhadap anak perempuan untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini terkait pada masih kuatnya budaya patriarki, yang menganggap bahwa "setinggi-tinggi perempuan bersekolah, akhirnya akan masuk dapur juga." Dengan adanya

diskriminasi terhadap anak perempuan untuk bersekolah, maka persentase anak perempuan yang mencapai pendidikan minimal (Wajar 9 tahun) jauh lebih rendah dari anak laki-laki; begitu juga jumlah buta huruf perempuan pada umur 15-45 tahun jumlahnya 2-3 kali lebih banyak dari laki-laki. Rendahnya pendidikan perempuan berakibat pada usaha untuk mencari nafkah dan pemeliharaan kesehatan individu dan keluarganya. Semua ini mengakibatkan rendahnya Kualitas Hidup Perempuan (KHP). Diskriminasi terhadap perempuan setelah kemerdekaan 63 tahun ini tidak hanya terjadi pada kesempatan bersekolah bagi anak perempuan saja, melainkan masih pula terjadi pada dunia pekerjaan, untuk peningkatan karier dan dalam dunia politik praktis. Kita semua mengetahui bahwa prestasi anak perempuan di semua tingkat pendidikan (mulai SD sampai universitas) selalu menduduki peringkat yang tertinggi. Meskipun penelitian mengenai hal ini belum dilakukan, akan tetapi berdasarkan pengalaman, dari 10 peringkat tertinggi dari tiap jenjang pendidikan, ternyata 60%-70% adalah murid atau mahasiswa perempuan. Perempuan juga sudah mampu mencapai pendidikan tertinggi, seperti S1, S2, S3. Tenaga pengajar perempuan bergelar guru besar juga telah semakin meningkat. Juga perempuan masa kini sudah mampu

melaksanakan tugas-tugas yang sebelumnya dianggap sebagai tugas lakilaki seperti pilot, sopir bus, satpam, insinyur perminyakan, insinyur mesin, insinyur tambang, dan lain-lain.

19

Meskipun demikian, ternyata masih banyak hambatan bagi perempuan untuk mencapai kedudukan atau peningkatan prestasi seperti yang diharapkan, apalagi untuk kedudukan pimpinan atau pengambil keputusan lainnya. Untuk mencapai kedudukan yang setara dengan kedudukan laki-laki, seperti kedudukan pimpinan, dan pengambil keputusan, perempuan dituntut untuk mempunyai kelebihan prestasi yang lebih menonjol, serta harus melalui perjuangan yang sangat berat, padahal tuntutan semacam ini bagi laki-laki pun tidak dirasa perlu. Perjuangan perempuan yang berat untuk mencapai suatu kedudukan, disebabkan karena masih banyak masyarakat Indonesia yang masih menganut paham patriarki, sehingga menghasilkan keputusan dan sikap yang bias gender. Keadaan ini menjadi lebih parah dengan adanya penafsiran yang salah dari hukum agama yang mempertajam keadaan bias gender. Ketimpangan dan kurangnya peran serta perempuan dan rendahnya Kualitas Hidup Perempuan (KHP), secara umum mengakibatkan lambatnya keberhasilan dalam Pembangunan Nasional. Bila KHP perempuan rendah dan tidak diajak untuk berperan serta dalam pembangunan, maka perempuan akan menjadi beban pembangunan. Sebaliknya, bila perempuan diberi kepercayaan untuk berperan dalam pembangunan nasional, maka perempuan akan menjadi mitra sejajar bagi laki-laki yang ikut bahu-membahu dan meringankan beban pembangunan. Berdasarkan laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) dalam Human Development Report tahun 2006, yang mengukur pembangunan kualitas manusia melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), ternyata nilai IPM Indonesia 2005 adalah 69,6. Angka yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara Asean, dan berada dalam ranking sepertiga terakhir. Untuk mengukur pembangunan berdasarkan gender, dipakai Indeks

Pembangunan Gender (IPG). IPG Indonesia tahun 2005 adalah 65,1, jadi IPG lebih rendah dari IPM, yang berarti masih terjadi kesenjangan gender
20

dan menandakan bahwa kualitas hidup perempuan masih sangat tertinggal dari kualitas hidup laki-laki. Nilai IPG adalah perbedaan kualitas hidup antara perempuan dan laki-laki. Pengukuran IPM dan IPG berdasarkan tiga kategori, yaitu tingkat pendidikan, kesehatan, dan kemampuan ekonomi masyarakat. Bedanya, pada IPG memakai pengukuran dibedakan antara perempuan dan laki-laki. Pengukuran lain yang menunjukkan ketimpangan peran laki-laki dan perempuan ditunjukkan juga dengan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), yaitu indeks yang memperlihatkan peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik serta pengambilan keputusan. Semua kategori pengukuran IPM, IPG maupun IDG di Indonesia masih sangat tertinggal, keadaan ini diperparah dengan terjadinya konflik antarsuku, budaya agama dan lain-lain. Kejadian kekerasan terhadap perempuan juga dapat menghambat pembangunan, karena dengan adanya kekerasan ini perempuan makin terpuruk dan makin tertinggal, sedangkan jumlah penduduk Indonesia, perempuan dan laki-laki hampir sama.

Diskriminasi terhadap perempuan juga masih terjadi di Indonesia, keadaan ini ditandai oleh: a. Tradisi yang mewajibkan perempuan mengurus urusan rumah tangga, atau tradisi yang melarang perempuan mengemukakan pendapat dalam kondisi apa pun. b. Dalam bidang pendidikan, meskipun kesempatan sudah sangat terbuka bagi perempuan untuk sekolah setinggi-tingginya, namun bila biaya pendidikan dalam keluarga terbatas, maka anak perempuan harus mengalah kepada anak laki-laki. Bila beasiswa didapat oleh seorang perempuan bersuami, maka ijin dari suami mutlak didapatkan oleh sang isteri. Demikian pula, ketika seorang perempuan sudah menikah dan mempunyai anak, maka pendidikan pun biasanya dihentikan demi kepentingan keluarga.
21

c. Dalam bidang ekonomi, menurut survei terakhir, pendapatan perempuan biasanya hanya 60% dari pendapatan pria untuk waktu kerja dan posisi yang sama, ditambah kesalahan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mendata pelaku ekonomi di sebuah keluarga. Bila sebuah keluarga, di mana seorang isteri berusaha di rumah seperti membuat kue atau pisang goreng untuk dijual, biasanya BPS hanya mendata isteri tersebut sebagai Ibu Rumah Tangga saja sehingga secara statistik, perempuan sedikit sekali berperan dalam sektor ekonomi. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. d. Dalam peningkatan karier di pekerjaan, meskipun perempuan mempunyai prestasi yang baik di sekolah maupun dalam pekerjaan, dalam penentuan kenaikan jabatan atau peningkatan karier perempuan, selalu dikalahkan dengan alasan yang sangat bias gender. e. Partisipasi politik perempuan di Indonesia hanya 11% di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan 22% di DPD (Dewan Perwakilan Daerah). f. Dalam bidang kesehatan, Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan di Indonesia sangat tinggi karena gizi yang buruk, anemia dan aborsi. Aborsi pun banyak dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di Indonesia karena sudah terlalu banyak anak. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian masyarakat, keluarga, dan para pejabat terhadap usaha pemberdayaan perempuan.

3.3 Tokoh - Tokoh Wanita Indonesia yang Berpartisipasi dalam Pembangunan Nasional Dalam keadaan kaum perempuan yang masih terbelakang, upaya pemberdayaan perempuan, untuk semua umur, disegala bidang dan di seluas mungkin wilayah Indonesia, merupakan jawaban yang ampuh agar pengembangan kesetaraan dan keadilan gender terwujud.

22

Terlepas dari masih adanya diskriminasi terhadap wanita Indonesia namun masih banyak pula wanita-wanita Indonesia yang aktif

berpartisipasi dalam pembangunan nasional dan meningkatnya jumlah wanita dalam kedudukan kepemimpinan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa tokoh wanita Indonesia mengenai pandangannya terhadap wanita dan kepemimpinannya. a. Mooryati Soedibyo : Peran Wanita Indonesia masih Tertinggal (Pengusaha Kecantikan Ternama di Indonesia) Sabtu, 16 Juli 2011 18:10 WIB Editor: Suryanto Jakarta (ANTARA News) - Wanita pengusaha ternama Indonesia, Mooryati Soedibyo, menilai peran wanita di Indonesia masih tertinggal, khususnya di bidang pendidikan. "Banyak sekali peran wanita Indonesia yang masih tertinggal, misalnya tidak berada dalam suatu perjanjian internasional sebagai atase kesepakatan internasional dimana kemajuan wanita itu diharapkan," katanya saat ditemui pada peluncuran buku "Kumpulan Puisi 123 Perempuan Indonesia" di Hotel Mulia, Jakarta, Jumat malam. Ia melanjutkan, ketertinggalan tersebut harus dikejar melalui pemerintah dalam hal pendidikan. "Oleh karena itu ketertinggalan ini harus kita kejar, tentu dari pemerintah dalam hal pendidikan supaya pendidikan diberikan semua secara cuma-cuma," ujarnya. Tambah Mooryati, wanita juga harus diberi kekhususan karena bagaimanapun kekhususan itu penting juga dalam Undang-Undang. "Terutama juga pada wanita diberi suatu kekhususan karena bagaimanapun kekhususan itu penting juga dalam Undang-Undang dimana keadaan yang minoritas itu apakah kemelaratan atau bagi perempuan yg belum maju harus dibantu dan didorong agar seimbang dan dengan keseimbangan itu menjadi kekuatan bagi bangsa kita," lanjutnya.

23

Menyinggung acara peluncuran Buku "Kumpulan Puisi 123 Perempuan Indonesia", Mooryati mengatakan, ide peluncuran buku ini sangat luar biasa. "Ide yang sangat amazing, menakjubkan. Pemikiran yang benarbenar bisa menyatukan pendapat atau persepsi dalam bentuk puisi dari 123 wanita, kemudian bagaimana bisa mengumpulkan mereka, dan itu merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena mereka semua juga sibuk untuk membuat puisi dan tidak punya waktu untuk itu," ujarnya. Ia menambahkan, pembuatan buku ini bisa dalam dua tahun dan bisa mengungkapkan rasa hati para wanita. "Buku ini bisa dalam dua tahun, dan wanita bisa mengungkapkan rasa hatinya, misalnya atau dengan memorinya, dan sebagainya," katanya. Sebagai salah satu wanita yang ditawari untuk menjadi penulis dari buku tersebut, Mooryati menganggap, buku ini banyak berisi tentang pemberdayaan perempuan. "Dalam buku ini banyak yang sifatnya pemberdayaan perempuan karena selama ini saya dianggap sebagai pengusaha yang banyak berkecimpung dengan perempuan dan menjadi dewan perwakilan rakyat," lanjutnya. Bagi Mooryati, meskipun wanita ketertinggalan jauh dalam hal pendidikan di masyarakat, namun ia bersyukur wanita sudah banyak menduduki berbagai posisi penting sebagaimana yang terlihat pada acara peluncuran buku tersebut. "Wanita ketertinggalan jauh dalam pendidikan di masyarakat, tapi saya bersyukur sekali wanita sudah banyak menduduki berbagai posisi penting dalam berbagai bidang, seperti bisnis, politik, dosen," ujarnya. (M-UMH/A025) b. Rike Diah Pitaloka : 22 Desember, Hari kebangkitan Perempuan Indonesia bukan Hari Ibu! ( Anggota DPR Komisi IX) Sebut saja, Pariyem sang tokoh dalam prosa lirik Linus Suryadi AG, Nyai Ontosoroh tokoh novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer, Marieneti Dianwidhi Sang tokoh novel Burung-burung Rantau karya YB Mangunwijaya, dan Cok, sang tokoh dalam novel Saman karya Ayu Utami. Empat tokoh perempuan Indonesia yang muncul dalam karya sastra, dengan latar belakang, zaman, dan semangat perempuan yang

24

berbeda, kesemuanya menunjukkan wanita super sanggup memberi warna pada kehidupan. Lalu bagaimana dengan perempuan Indonesia sesungguhnya (non-fiksi)? Sebut saja Dewi Sartika, perempuan kelahiran Bandung, 4 Desember 1884 wafat di Tasikmalaya, 11 September 1947 dalam umur 62 tahun. Dewi Sartika adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan jauh sebelum RA Kartini, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966. Atau Ibu Inggit, istri setia mendiang Soekarno yang saat ini tengah hangat diusulkan sebagai pahlawan nasional. Lantas, bagaimana dengan kiprah perempuan Indonesia lainnya? Memaknai Ulang Momentum 22 Desember Dua bulan setelah Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928, pada tanggal 22-25 Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesian pertama di Yogyakarta. Kongres ini merupakan lembaran baru bagi pergerakan perempuan di Indonesia. Berbagai organisasi perempuan bersatu, bekerjasama untuk kemajuan masyarakat, khususnya kaum perempuan. Kongres Perempuan Indonesia pertama menghasilkan keputusan dibentuknya badan pemufakatan organisasi-organisasi perempuan, bernama: Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia. Tujuan serikat ini adalah untuk memberikan berbagai informasi dan sebagai forum komunikasi antar organisasi perempuan. Kongres ini pun menghasilkan tiga tuntutan kepada pemerintah kolonial masa itu, berupa: 1) Penambahan sekolah untuk anak-anak perempuan; 2) Syarat bagi sebuah pernikahan, diberikannya keterangan taklik (janji dan syarat-syarat perceraian); 3) Peraturan yang mengharuskan diberikannya tunjangan kepada janda-janda dan anak-anak piatu pegawai pemerintah. Apa yang dihasilkan pada Kongres Perempuan Indonesia pertama memperlihatkan: Pendobrakan terhadap feodalisme dan konservatisme yang mengurung perempuan di ruang domestik; Kesadaran bahwa permasalahan-permasalahan yang dialami perempuan, berupa berbagai sikap diskriminatif, ketimpangan dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, tak akan berakhir tanpa perubahan arah kebijakan politik; dan Kesadaran bahwa kemajuan bangsa tidak dapat tercapai tanpa keterlibatan perempuan di ruang publik, khususnya ruang politik. Dengan kata lain, keterlibatan perempuan secara aktif dalam menentukan arah politik menjadi syarat mutlak. Tanggal pembukaan Kongres Perempuan Indonesia pertama 22 Desember 1928, pada kongres ke tiga itu ditetapkan sebagai Hari

25

Kebangkitan Perempuan. Pemerintahan Soekarno pada tahun 1959 menetapkan tanggal tersebut sebagai hari besar nasional (SK Presiden RI No. 316/1959), sebagai penghargaan terhadap kontribusi perempuan dalam perjuangan bangsa. Namun sayangnnya, perjalanan sejarah dan penghargaan yang diberikan oleh pemerintahan Soekarno telah didistorsi oleh kekuasaan Orde Baru. Makna peristiwa Kongres Perempuan Indonesi tahun 1928 telah dikerdilkan dengan sekedar memaknainya sebagai pengabdian perempuan, khususnya ibu, di ranah domestik. Oleh pemerintah Orde Baru perempuan kembali dirumahkan. Mekanisme ini berhasil menggeser pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia. Tanggal 22 Desember diperingati hanya sebagai Hari Ibu, sebagai momen untuk mengucapkan terima kasih kepada perempuan-perempuan, kepada ibu yang telah mengabdikan diri sekedar dalam urusan sumur, dapur dan kasur! Kesadaran dan semangat kaum perempuan Indonesia pada tahun 1928 sesungguhnya masih hidup hingga saat ini. Penelitian yang dilakukan Kalyanamitra, Juni-Agustus 2008, dengan responden kalangan bawah di wilayah DKI, menunjukkan masyarakat, khususnya para ibu, sangat mengharapkan politisi perempuan dapat menolong mereka ke luar dari jerat krisis ekonomi. Mereka sangat berharap politisi perempuan mampu memberi solusi untuk persoalan ekonomi, diantaranya terkait harga BBM, sembako dan biaya pendidikan untuk anak-anak. Artinya, masyarakat memahami bahwa persoalan bangsa saat ini juga membutuhkan dan menuntut kerja keras dan perjuangan perempuan di wilayah politik. Sekelumit kisah perjuangan perempuan Sunda Kartini dengan jelas menulis di catatan hariannya bahwa ia menginginkan kedinamisan perempuan Sunda. Konon dalam salah satu perjalanannya ke Bandung, ia bertemu dengan sejumlah perempuan Bandung dan menyaksikan kebebasan para perempuan Sunda seraya ia mengandaikan diri kalau saja saya menjadi perempuan yang terlahir di Bandung. Semenjak lama, tanah Sunda rupanya telah memberikan kebebasan lebih kepada kaum perempuan ketimbang tanah lain. Entah karena sistem legenda Sunda meletakkan perempuan sebagai pusat cerita dan penyelesai masalah (seperti Purbasari Ayuwangi) atau memang telah tumbuh kesadaran masyarakat Sunda bahwa perempuan memang patut diberi ruang. Menurut Nina Lubis sejarawan dari Sastra Unpad, jika perjuangan emansipasi perempuan yang digelorakan R.A. Kartini hanya sebatas ide atau gagasan, Dewi Sartika justru dengan pelaksanaannya langsung. Dewi Sartika mah jeung prakna. Ia benar-benar mendirikan insitusi pendidikan pertama bagi kaum perempuan di negeri ini. Tidak saja dengan pikiran dan tenaga, tetapi juga dengan biaya sendiri katanya.

26

Dewi Sartika adalah keturunan mnak dari Raden Rangga Somanagara dengan Raden Ayu Rajapermas yang dilahirkan 4 Desember 1884 di Bandung, yang juga merupakan keturunan Raden Aria Adipati Wiranatakusumah VI, cucu dari the founding father Bandung. Tujuh tahun setelah Uwi (panggilan Dewi Sartika) lahir, Rangga Somanagara dilantik menjadi Patih Bandung. Sebut saja Mak Eroh, ia adalah perempuan Sunda yang bertenaga dan bersemangat seribu lelaki. Terdorong dari spirit ibu-nya yang harus memenuhi kebutuhan banyak pihak, ia membelah bukit, mengalirkan air kehidupan bagi sanak saudaranya. Dalam hal upaya menghadirkan air bagi kehidupan, Mak Eroh dapat dirujukkan pada perjuangan Siti Hajar yang mengalirkan Air Zamzam berdasar tanggung jawabnya. Perempuan lain adalah Puni, namanya Tri Mumpuni (44 tahun), yang mengajari warga di belbagai pelosok Indonesia membuat listrik murah (mikrohidro). Bermula dari Desa Curugagung, Subang, Jawa Barat ia memulai pekerjaan tidak biasa, membuat listrik sendiri dengan berbekal air terjun kecil. Begitu mimpi itu berhasil, ia mengembara ke pelbagai pelosok negeri: menunggang kuda menembus hutan-hutan Sulawesi, di Toraja ia menyisir sungai-sungai kering serta perbukitan gamping rawan longsor, semuanya dilakukan untuk menyebar ideal yang sama listrik bagi diri sendiri. Tidak hanya itu,Puni pun diundang pemerintah Filipina, Kamerun, dan Nepal untuk membuka kemungkinan pembangunan mikrohidro. Tak hanya Mak Eroh atau Teh Puni, perempuan Sunda yang lain pun benar-benar bukan perempuan biasa. Pada saat Bandung terkena serangan DBD, media ini pernah memuat perjuangan tiga orang Ibu rumah tangga yang masuk keluar rumah tetangga-tetangganya untuk memeriksa kolam atau apapun yang menjadi tempat genangan air seraya membersihkannya dari jentik nyamuk secara suka rela. Seraya mereka mengeluarkan filosofi, satu rumah saja terkena DB, semua warga akan juga terkena, jadi jentik nyamuk di rumah siapapun menjadi tanggung jawab bersama. Lalu ada juga perempuan dari Indramayu yang nekad telanjang bulat membentuk pagar hidup di batas desa untuk membendung serang desa tetangga dalam peristiwa rusuh antar desa yang lazim di Indramayu. Lalu karena malu menemukan ketelanjangan dan mitos apesnya ilmu-ilmu kesaktian bila melihat ketelanjangan para penyerang desa itu bubar jalan dan tawuran teratasi. Perjuangan seorang ibu bernama Inggit Pagi hari ini kita berada di depan makam seorang perempuan yang luar biasa. Yang hanya dikenang sebagai perempuan yang mengongkosi rumah tangga dengan berjualan bedak sari pohaci dan rokok kolobot. Kita

27

tidak pernah berpikir bahwa dari kerja kerasnya seorang lelaki bisa jadi Bapak Pendiri Bangsa. Lewat strateginya Bung Karno meski dalam penjara, mampu membeli Koran dapat membujuk penjaga untuk meminjamkan buku-buku di perpustakaan penjara. Buku-buku yang mengilhaminya untuk menulis pembelaan di pengadilan tahun 1930, pembelaan Indonesia Menggugat. Inggit Garnasih, jelas perempuan luar biasa, dengan berani ia sembunyikan buku-buku di balik kebayanya untuk ia serahkan pada Bung Karno yang kala itu dipenjara. Inggit Garnasih telah berjuang tidak hanya untuk suami dan anak-anaknya. Inggit Garnasih berjuang untuk bangsa, untuk rakyat Indonesia. Sehari setelah Bung Karno dimakamkan di Blitar, seorang wartawan mewawancarai Inggit Garnasih. Apa yang ibu terima dari harta pusaka peninggalan Bapak? Inggit menjawab, Negara kita ini, untuk kita semua, untuk seluruh rakyat, dan untuk semua keturunan bangsa kita. Kesemua cerita ini jadi bukti bahwa perempuan sesungguhnya memiliki dedikasi dan daya tahan untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa. Persoalannya tinggal sedikit saja, apakah kita hendak membiarkan potensi ini menguap begitu saja atau menjadi modal untuk maju? Apakah kita, kaum perempuan hanya akan menangis merenungi penderitaan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Apakah kita hanya akan berdiam diri menyaksikan ketidakadilan yang terus menerus terjadi di sekitar kita? Atau kita akan jadi bagian dari orang-orang yang terus berjuang menggoreskan makna dalam hidup, bukan untuk diri sendiri, bukan untuk keluarga sendiri, tapi untuk bangsa ini. 22 Desember 2008 tepat 80 tahun peringatan Kongres Perempuan Indonesia. Rasanya tak berlebihan jika perayaan kali ini mengembalikan arti dan makna tanggal tersebut. Memperingati tanggal 22 Desember adalah memperingati 80 tahun bangkitnya perempuan Indonesia melawan pemiskinan dan pembodohan! 22 Desermber adalah hari kembalinya hak dan kewajiban politik perempuan Indonesia! Saatnya Perempuan Berpolitik untuk Kesejahteraan Rakyat. Bangkit Perempuan Sunda, Bangun Perempuan Indonesia! Selamat Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia! c. Dewi Motik Pramono : Kiat sukses Perempuan Pengusaha (Pengusaha, penulis, dosen, penceramah di berbagai seminar) 1. Sebuah falsafah hidup

28

Bila kita memberi banyak, kita akan menerima banyak. Janganlah mendahulukan apa yang akan diterima. Dahulukan apa yang diberi. Berdasarkan falsafah hidup diatas saya mencoba membahas Kiat Sukses Perempuan Pengusaha, yang lebih merupakan sebuah refleksi atas pengalaman pribadi. Falsafah mendahulukan memberi daripada menerima harus mendasari setiap usaha dan juga harus tercermin dalam perilaku kepemimpinan perempuan pengusaha, baik terhadap para karyawan dalam lingkungan perusahaan maupun terhadap pihak luar yaitu masyarakat pengusaha, pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Berbicara tentang kiat sukses perempuan pengusaha berarti juga berbicara tentang salah satu aspek konstitutif penentu kesuksesannya yaitu aspek profesionalisme kepemimpinan. Oleh karena itu dalam aspek ini, dengan terlebih dahulu melihat latar kondisi objektif keberadaan perempuan Indonesia dalam era pembangunan yang sekarang sedang digencarkan oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Pada bagian ketiga sebagai penutup saya akan mengemukakan beberapa butir mutiara kiat sukses untuk perempuan pengusaha.

2. Perempuan Pengusaha dan Profesionalisme Kepemimpinan a. Kondisi Objektif Kondisi objektif keberadaan perempuan Indonesia dewasa ini menunjukan perubahan dan perkembangan yang mengembirakan. Hal ini tentu saja merupakan hasil dari perjuangan yang memerlukan waktu, pengorbanan dan peran serta seluruh perempuan Indonesia, yang bahu-membahu dengan pria, telah memotivasi perjuangan dan keberhasilan pencapaian kemerdekaan. Dalam zaman kemerdekaan dan era pembangunan, perempuan Indonesia mempunyai peluang dan kesempatan yang sangat besar untuk berkembang. Peluang dan kesempatan itu ditunjang oleh kondisi perubahan pandangan tentang citra perempuan dan pengakuan oleh lingkungan social terhadap keberadaan perempuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Menurut GBHN, perempuan Indonesia mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan bukan saja sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek pembangunan. Sesuai GBHN pula perempuan dibebani tugas dan tanggung jawab

29

untuk membangun keluarga sejahtera dan bahagia, medidik anak dan remaja serta generasi muda sebagai tiang bangsa dan negara di masa depan. Masih adanya persepsi yang keliru tentang perempuan semata-mata menurut fungsi reproduksi dengan sebutan kodrat perempuan, jelas merugikan kaum perempuan itu sendiri, kemanusiaan dan pembangunan. Akibatnya perempuan cenderung membatasi kegiatan-kegiatannya, sekalipun ditunjang oleh bakat dan kemampuannya. Factor tersebutlah yang harus diatasi oleh kaum perempuan itu sendiri demi pengembangan potensi dirinya dan partisipasinya dalam pembangunan nasional. b. Profesionalisme Kepemimpin Perempuan Pada dasarnya kepemimpinan adalah suatu seni ( art), kesanggupan (ability) atau teknik untuk mempengaruhi dan mengendalikan perilaku sekelompok orang yang dipimpin, sehingga mereka mengikuti atau menaati segala apa yang dikehendaki orang yang memimpin. Kepemimpinan yang baik dan sehat pada hakikatnya merupakan kualitas jiwa dan sifat pribadi seseorang yang menggambarkan sifat-sifat seseorang yang menonjol, yang esensinya tercermin pada enersi, inteligensi dan wataknya. Memang pada dasarnya setiap individu mempunyai perbedaan yang principal dalam kecerdasan, maka kemampuan dan kepribadian seseorang berbeda pula seperti (a) keturunan yang berpengaruh pada pembawaan, (b) lingkungan yang berpengaruh pada sifat, dan (c) pengalaman yang berpengaruh pada kemampuan. Jadi, untuk mencapai kualitas kepemimpinan yang profesional tentunya perlu diusahakan cara menanggulangi hal-hal yang mempengaruhi dalam perbedaan tersebut. Dengan kata lain, kepemimpinan seseorang akan berhasil baik apabila terdapat saling isi-mengisi antara dasar-dasar dan sifat-sifat kepemimpinan. 3. Butir-butir Mutiara Kiat Sukses Bila kita memberi banyak, kita akan menerima banyak. Janganlah mendahulukan apa yang akan diterima. Dahulukan apa yang diberi Dalam berbisnis, koneksi bukanlah sesuatu yang sangat menentukan. Tetapi kalau anda mendapatkan itu, janganlah disia-siakan. Persahabatan jauh lebih luas daripada cinta

30

Dunia bisnis adalah dunia persaingan. Kalau kalah bersaing dengan pengusaha lain, apalagi kalau pengusaha itu orang gede, adalah normal. ideology dan action harus sejalan. Hak dan kewajiban : janganlah mendahulukan hak, dahulukanlah kewajiban Tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya Hubungan dengan karyawan :Bukanlah karyawan yang membutuhkan saya tetapi sayalah yang membutuhkan karyawan. Sense of humor : mempunyai rasa humor, tidak tegang. Iman adalah dasar yang paling menentukan kesuksesan bisnis saya.

d. Toeti Noerhadi : Wanita dan kepemimpinan ( Sastrawan, Dosen UI dan peneliti di bidang kajian perempuan) Kesimpulan dari tulisannya mengenai wanita yaitu bahwa keadaan penampilan kepemimpinan wanita tidak menguntungkan. Kepemimpinan berarti memperoleh atau mencapai excellence atau keunggulan sebagai individu dalam masyarakat atau wilayah yang disebut wilayah publik, sedangkan wanita secara konvensional mendapat tempatnya dalam wilayah domestic, sesuai dengan idaman yang sekaligus merupakan rekontruksi amanat biologik. Wilayah public adalah wilayah individualitas, aturan-aturan, hak-hak dan kewajiban, moralitas dan universalitas, sedangkan oleh Freud, Kohlberg, Mc.cllelland, Carol Gilligan dikemukakan berbagai teori yang perlu memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang menggarisbawahi persfektif wanita, yang jelas berbeda dengan persfektif pria. Suatu terobosan harus dilaksanakan sehingga dengan wawasan baru tentang diri dan subjektivitas wanita yang berbeda, perbedaan ini menunjuk kea rah validitas dan otonomi nilai-nilai yang berbeda sedangkan konsep kesamaan atau equality pada dasarnya mengandung distorsi kea rah malesteam theory yang konservatif dan konvensional. Akhirnya, memang kita harus terbuka terhadap fakta dari teori yang menunjukan esensialisme, yaitu ciri-ciri mendasar dalam biologi dan penghayatan serta dampaknya terhadap wilayah domestic dan public. Ini berarti bahwa konsep kepemimpinan yang lebih memperoleh corak pengertian pria harus siap mengalami redefinisi sedemikian rupa sehingga kepemimpinan menurut persfektif wanita dimungkinkan. Masyarakat kita yang memberi tempat tinggi pada citra keibuan akan menopang pemimpin sebagai ibu dan sudah menjurus kea rah itu. Kepemimpinan berarti kompetisi dan hierarki, berkaitan dengan masalah kekuasaan dan tanggung jawab. Dari segi wanita keempat pengertian ini perlu mendapat redefinisi, seperti halnya kekuasaan juga memperoleh redefinisi menurut konteks budaya yang kita hadapi.

31

Akhirnya kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai bentuk kedewasaan. Sedangkan kedewasaan adalah kemampuan mengolah dilemma kedua penghayatan serta manifestasinya: integritas dan keterlibatan. Ciri khas kepribadian pemimpin terletak pada kedewasaan yang merupakan bentuk kepribadian yang pada wanita berkembang pula maskulinitas, pada pria aspek feminitas, dalam arti bahwa kepemimpinan sekaligus menggabungkan kedewasaan maskulin maupun feminism dalam satu pribadi : tegas dan peka, perkasa dan lembut, tegar tetapi penuh empati. Kepemimpinan berarti pengembangan sifat androgy. Baik pada pria maupun wanita sehingga bagi wanita tidak melalaikan aspek maskulin pada perkembangan dirinya. Pada pria proses yang analog terjadi, tetapi tidak dieksplisitkan, tetapi tersirat sebagai ciri-ciri manusia utama.

BAB 4 Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Menjadi wanita memang suatu hal yang luar biasa, menjadi seorang ibu untuk anak-anaknya, seorang istri untuk suaminya, dan berkerja untuk keluarga. Lahirnya R.A.Kartini di Indonesia merupakan langkah awal bahwa wanita bisa sejajar dengan pria. Wanita tidak hanya mengurusi rumah tangga saja tetapi bisa berkarya dan melebarkan sayap seluas mungkin. Dari waktu ke waktu jumlah wanita yang aktif berkarir semakin banyak dan berdampak kearah yang lebih baik, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa masih adanya diskriminasi terhadap wanita.

32

Beberapa pandangan mengenai wanita dan kepemimpinanya dari tokoh seperti Mooryati Soedibyo, Rike Diah pitaloka, Dewi Motik Pramono, dan Toeti Noerhadi. Menunjukan betapa besarnya potensi wanita jika

dikembangkan secara maksimal. Majulah wanita di Indonesia dalam karya, tetapi tetap didalam batasan-batasan yang dapat dipertanggung jawabkan. Karena walaupun sudah memasuki era emansipasi, wanita harus tetap berkaca dengan kodrat mereka. 2. Saran Adanya emansipasi atau kesetaraan gender yang mencuat menunjukan bahwa semua wanita Indonesia bisa dan mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Jadi, kita sebagai warga negara Indonesia khusunya perempuan harus maju dan pasti bisa.

Daftar Pustaka Suyono, Haryono. Prof.DR.H. 2003. Pendidikan Perempuan ASET BANGSA. Jakarta : DAMANDIRI. Ihromi, T.O. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Tan, G, Mely. Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan?. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Gamble, Sarah. 2010. Feminisme dan Postfeminisme. Yogyakarta : JALASUTRA http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2260&It emid=219 http://b.domaindlx.com/inkindojbr/beritamar04/karyatulis.htm file:///C:/Users/widia/Downloads/PROFIL%20HILLARY%20CLINTON%20%C 2%AB%20MEMORI.htm

33

http://asmakulo.blogspot.com/2011/11/lady-diana-1961-1997-tokoh.html http://www.antaranews.com/berita/267644/peran-wanita-indonesia-masihtertinggal http://riekepitaloka.blogdetik.com/

34

You might also like