You are on page 1of 5

Nilai-nilai etis selalu diketemukan dalam kehidupan bermasyarakat, dalam praktik pemerintahan dan birokrasi sehari-hari.

Nilai-nilai tersebut melekat dengan peradaban manusia dan normanorma hukum Negara. Etika dan moralitas memiliki hubungan kausalitas dan akan membentuk seseorang memiliki karakter tertentu, pola pikir maupun tindakannya. Sebagai bentuk implementasinya akan mewarnai type dan gaya kepemimpinan seseorang. Dalam sejarah peradaban manusia dapat dikaji bahwa suatu bangsa akan menjadi bangsa yang besar dan dihormati oleh bangsa lainnya karena bangsa itu dapat menjunjung etika dan moralitas bangsanya. Manusia tidak akan memiliki peradaban kalau manusia tidak memiliki etika dan moralitas yang tinggi yang dapat mengendalikan pola pikir, sikap dan perilakunya menjadi manusia yang berakhlak mulia, berbudi pekerti yang luhur, cinta damai, adil, bijaksana dan demokratis. Ketika manusia belum memiliki peradaban seperti itu , maka Allah mengutus Nabi dan Rasul-rasulnya untuk membawa umatnya agar mereka mengenal Tuhannya yang menciptakan manusia, yang telah memberikan kehidupan dan penghidupannya. Manusia memiliki kewajiban untuk melakukan hubungan dengan Tuhannya (hablum minallah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas). Dalam kedua hubungan tersebut ada ketentuan yang mengatur etika dan norma yang harus ditaati dan dilakukan dengan benar. Persoalannya kemudian, sudah berabad-abad lamanya manusia mengenal ajaran nilainilai etika dan moral, namun dalam praktik kehidupan manusia sehari-hari dapat kita lihat begitu seringnya terjadi pelanggaran terhadap nilai-nilai etika, moral dan norma agama, seperti pelanggaran etika profesi, nilai-nilai kultur dan kesusilaan, nilai-nilai kemanusiaan bahkan terhadap norma hukum, seperti terjadinya KKN, pemerasan, penipuan, 'kongkalikong' untuk memuluskan menyimpang. Di sisi yang lain justru media masa sering memunculkan berita kontroversi oknum pengemban kekuasaan dan penegak hukum justru malah melanggar etika profesi dan norma hukum secara bersamaan. Ketika hal tersebut terjadi, sebenarnya siapakah yang memiliki kompetensi untuk memikirkan dan memulihkan nilai-nilai peradaban manusia yang semakin terpuruk karena telah terjadi pergeseran nilai peradaban sebagai akibat masuknya budaya asing proses negoisasi mengakibatkan pembebanan keuangan negara secara

dan berkembangnya feodalisme yang semakin meluas, konsumerisme, kepentingan politik dan kekuasaan yang cenderung disalahgunakan. Agama telah menegaskan bahwa pada setiap diri kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintakan pertanggungan jawabnya di alam akherat. Dalam etika pemerintahan dan birokrasi perlu penghayatan etis yang baik. Setiap aparatur pemerintahan harus mampu membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan tentang kebaikan dan moralitas pemerintahan. Aparatur pemerintahan yang baik dan bermoral tinggi akan senantiasa menghindarkan dirinya dari perbuatan tercela dan tidak terpuji. Konsep etika pada hakikatnya sudah lama diterima oleh masyarakat beradab di dunia. Biasanya, nilai nilai itu kemudian menjadi ukuran tentang baik dan buruk, wajar - tidak wajar, pantas - tidak pantas bahkan benar - salah. Dengan demikian, etika pada dasarnya berkenaan dengan upaya menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak agar segala tindakannya bermanfaat, produktif, konstruktif dan positif. Pada tingkatan selanjutnya, biasanya nilai etika kemudian ditransformasikan lebih lanjut kedalam bentuk norma hukum. Namun harus tetap bisa dibedakan antara etika dan hukum. Dalam ruang lingkup etika, bila terjadi pelanggaran atas nilainya, maka sanksinya bersifat moral ataupun sosial seperti dikucilkan dari lingkungannya, tidak mendapatkan penghormatan sebagaimana layaknya dan bahkan berimbas pada sanksi administratif yang sesuai dengan sistim reward dan punishment di suatu lingkungan profesi. Jadi bukan berbentuk sanksi hukum. Berbeda dengan nilai etika yang telah berubah menjadi hukum positif, sanksinya jelas dan tegas yakni sanksi hukum bagi yang melanggar norma - norma hukum tertentu. Kiranya cukup jelas bahwa dalam konteks pemerintahan dan birokrasi, etika merupakan landasan moralnya. Pemahaman tentang etika dan moral bagi penyelenggara pemerintahan di Daerah menjadi isu sentral dan strategis dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (good governance). Lord Acton mengingatkan bahwa 'Power tends to corrupt, absolute powers corrupt absolutely' dengan kata lain bahwa kekuasaan itu cenderung disalah gunakan apalagi kekuasaan yang tidak terbatas. Aparatur pemerintahan karena ketentuan peraturan perundang undangan adalah pengemban kekuasaan yang bilamana tidak kuat iman dan ketaqwaannya kepada Yang Maha Kuasa dapat menyalah gunakan kekuasaannya dengan tidak benar dan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Ketaatan etis tidaklah terbangun dalam kevakuman Iman

dan Moral suatu pribadi melainkan harus terbangun diatas landasan iman yang kuat dan moral yang tinggi. Mereka yang telah menyalahgunakan kekuasaan (power abuse) untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan dengan merugikan kepentingan umum, pada tingkat pertama sudah melanggar etika pemerintahan. Namun bilamana setelah diusut, dengan bukti - bukti yang ada sudah memenuhi unsur pidananya, maka sebenarnya mereka tidak saja melanggar etika pemerintahan namun juga melanggar hukum pada waktu yang bersamaan. Sebagai contoh beberapa kasus yang terjadi diberbagai daerah terkait dengan proses pidana bagi oknum beberapa pimpinan daerah, atau pejabat eksekutif maupun dari kalangan legislatif yang telah divonis sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, kiranya jelas mengapa etika pemerintahan dan moralitas penting bagi Aparatur pemerintahan, lembaga legislatif dan eksekutif sebagai sesama unsur penyelenggara pemerintahan di Daerah adalah karena : (1). Kekuasaan cenderung bisa disalahgunakan. (2). Melakukan fungsi pelayanan ( service ) dan sebagai pelayan masyarakat dituntut mampu memberikan pelayanan untuk

yang adil dan terbaik. (3). Melakukan empowering

(pemberdayaan) untuk mewujudkan kemandirian masyarakat. (4). Melakukan pembangunan (development) untuk menciptakan kemakmuran masyarakat. (5). sebagai pemegang komitmen terselenggaranya pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan konstitusi, berpihak kepada kepentingan rakyat, transparan, akuntabel dan tidak korup.

Dalam sistem pemerintahan negara, birokrasi pemerintahan adalah pihak yang paling aktif dalam pengelolaan kekuasaan negara atau pemerintah daerah sehari-hari. Ia berperan sebagai pelaksana dari keputusan - keputusan yang dirumuskan oleh pemimpin politik. Dengan kata lain, pelaksana dari setiap kebijakan itu adalah birokrasi. Jika birokrasi tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan kebijakan - kebijakan yang digariskan oleh pemimpin politik, ia akan menempatkan sang pemimpin dalam kesulitan besar. Keputusan yang tidak dapat dilaksanakan, akan selalu menjadi sumber frustasi bagi pemimpin yang mengambil keputusan politik maupun bagi rakyat yang mengharapkan manfaatnya. Oleh sebab itu, antara pengambil keputusan politik dan birokrasi harus saling membutuhkan , bersinergi , terintegrasi dalam menyusun rumusan kebijakan politik yang selanjutnya direlisasikan dalam keputusan administrasi. Birokrasi harus kuat dan dipimpin oleh potential leader yakni pimpinan yang memiliki potensi sebagai

pemimpin dan qualified administrator yakni sebagai administrator yang berkualitas. Pimpinan seperti itu bisa diharapkan mampu menggerakkan organisasi dan manajemen dengan efisien dan efektif. Peran dan fungsinya yang utama adalah bagaimana kebijakan politik pimpinan dapat ditransformasikan kedalam keputusan administrasi pemerintahan secara tepat, benar, tidak cacat hukum atau bermasalah. Di sinilah sebenarnya, bagaimana seorang pimpinan birokrasi harus mampu menempatkan diri pada posisi yang tepat yakni, Pertama, berperan sebagai filter agar pimpinan tidak salah dalam memutuskan kebijakan politik atau menanda tangani surat- surat produk keputusan administrasi yang cacat hukum. Kedua, berpikir selangkah lebih maju dari pimpinannya, misalnya pimpinan berencana untuk menyiapkan laporan tentang bencana alam yang terjadi disuatu daerah kepada pemerintah pusat, SKPD terkait yang mendengar secara lisan tentang rencana itu segera membentuk tim unt mempersiapkannya. Ketika pimpinan meminta laporannya, SKPD tersebut sudah siap. Ketiga, sebagai motivator agar organisasi bersifat dinamis. Keempat, melakukan mobilisasi sumber- sumber daya management secara terarah, terkoordinir dan terkendali. Kelima, visioner, mampu menjabarkan visi dan misi organisasi kedalam rencana action plan dalam tataran operasional. Untuk dapat melakukan semua itu maka pimpinan birokrasi harus ditunjang oleh tiga pilar kelebihan pribadi, yakni : intelectual intellegence, yaitu kelebihan intelektual,cerdas dan trampil, emotional intelligence yaitu kemampuan mengendalikan emosi, rasional, proporsional dan spiritual intellegence yaitu kemampuan spiritual, berakhlak mulia, beretika, santun, kuat keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhannya, memiliki kejiwaan dan kedewasaan berfikir, takut berbuat dosa seperti kolusi,korupsi dan nepotisme). Dengan kata lain, ketiga pilar kelebihan pribadi tersebut bisa membentuk 'personal integrity' atau berkepribadian yang utuh.

Proses pembentukan kepribadian seseorang dipengaruhi oleh riwayat hidup, latar belakang pendidikan, perubahan situasi (changing situation) baik internal maupun eksternalnya, pengalaman kerja dan pemahaman terhadap nilai-nilai etika dan moral serta kekhususannya dalam mengamalkan ajaran agama. Dalam kehidupan masyarakat akhir-akhir ini sering dijumpai seseorang yang berkepribadian ganda, semu dan cenderung munafik. Tidak ada kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Bilamana seseorang pejabat birokrasi memiliki ciri-ciri kepribadian seperti ini dapat

dipastikan akan membawa terpuruknya lembaga birokrasi pemerintahan tersebut dimata publik dan pada akhirnya akan berdampak politik terhadap kepemimpinan pejabat politik dalam birokrasi pemerintahan. Dari berbagai kajian yang diuraikan tersebut diatas, kiranya dapat dikatakan bahwa etika pemerintahan dalam lembaga pemerintahan dan birokrasi adalah landasan moral yang kuat dan moralitas yang tinggi agar seseorang Aparatur dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan kebaikan dan moralitas pemerintahan yang mampu menjaga citra dan kewibawaan negara maupun Pemerintah Daerah.

You might also like