You are on page 1of 32

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Pembentukan World Trade Organization (WTO) telah memberikan konsep liberalisasi perdagangan kepada dunia khususnya kepada negara-negara anggota, dimana konsep dasar dari liberalisasi perdagangan adalah penghilangan hambatan dalam perdagangan internasional. Konsep ini dalam pelaksanaannya membentuk globalisasi 1 , yang maknanya ialah universal dan mencakup bidang yang sangat luas. Dari segi ekonomi dan perdagangan globalisasi sudah terjadi pada saat mulainya perdagangan rempah-rempah, kemudian tanam paksa di Jawa, sampai tumbuhnya perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda, dan pada saat itu globalisasi lahir dengan kekerasan dalam alam kolonialisme. Pada masa kini globalisasi ekonomi dan perdagangan dilakukan dengan jalan damai melalui perundingan dan perjanjian internasional yang melahirkan aturan perdagangan bebas serta pengembangan pasar bebas terbuka. 2 Percepatan proses globalisasi dalam dua dekade terakhir ini secara fundamental telah mengubah struktur dan pola hubungan perdagangan dan keuangan internasional. Hal ini menjadi fenomena penting sekaligus merupakan suatu era

Eko Prilianto Sudradjat, Free Trade (Perdagangan Bebas) dan Fair Trade ( Perdagangan berkeadilan) Dalam Konsep Hukum, http:// Whatbecomethegreaterme.blogspot.com/2007/12/konsephukum-fair-trade.html, diakses pada tanggal 18 Maret 2011. 2 Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia, (Jurnal hukum, Vol.01,No.1, 2005), hal. 12.
1

memfokuskan

1
Universitas Sumatera Utara

baru yang ditandai dengan adanya pertumbuhan perdagangan internasional yang tinggi, 3 artinya Indonesia telah menjalankan dan melaksanakan rezim perdagangan bebas (era globalisasi). Dalam era globalisasi perdagangan bebas merupakan hal yang sering diperbincangkan karena diharapkan membawa perubahan penting bagi dunia. Untuk mencapai kondisi perdagangan bebas perlu cukup waktu, sebab konsekuensi yang ditimbulkan tidak sedikit. Penghapusan hambatan perdagangan internasional disatu sisi dapat membawa kebaikan, misalnya perdagangan bebas memungkinkan arus masuk produk import lebih melaju, banyak beragam sehingga menambah pilihan bagi konsumen. Proses kearah perdagangan bebas ini disebut dengan liberalisasi perdagangan atau trade liberalization 4 . Namun disisi lain juga dapat membawa kejelekan dan diharapkan tidak akan terjadi seperti, 5 apabila pemerintah membebaskan pajak impor hingga 0 % (nol persen), maka Indonesia tidak mendapat keuntungan dari produk impor, akan terjadi defisit perdagangan, perdagangan bebas akan mengganggu pasar domestik dan mengancam barang produksi dalam negeri, produksi Indonesia akan berkurang dikarenakan produk impor membanjiri Indonesia, pemutusan hubungan kerja akibat pengurangan produksi dari perusahaan, gulung tikar terhadap pengusaha lokal

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terrace & Library, 2009),

hal. 1.

Ida susanti dan Bayu Seto, Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam melaksanakan perdagangan Bebas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 5. 5 Administrator, ACFTA dan Dampak Terhadap Perindustrian dan UKM di Indonesia, http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/02/acfta-dan-dampak-terhadap-perindustrian-sertaukm-di-indonesia, terakhir diakses pada tanggal 10 April 2011.

Universitas Sumatera Utara

kemungkinan terjadi, termasuk Usaha Masyarakat Kecil dan Menengah (UMKM) karena produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor, masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat konsumtif karena dibanjiri barang-barang impor dengan relatif murah. Perkembangan perdagangan yang semakin kompleks menuntut adanya sebuah aturan atau hukum yang berbentuk tertulis dan berlaku secara universal. Hukum adalah merupakan suatu kaidah sekaligus sebagai rujukan yang harus dipatuhi bagi masyarakat internasional dalam hal melakukan kegiatan ekonomi (perdagangan) untuk mengembangkan dan memperkuat struktur dan daya saing industri, khususnya dalam business to business, baik secara bilateral dan regional sampai pada tingkat internasional. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) lahir dengan tujuan untuk membuat suatu unifikasi hukum dibidang perdagangan internasional. Meskipun pada awalnya masyarakat internasional ingin membentuk sebuah organisasi perdagangan internasional di bawah PBB, namun dengan adanya penolakan dari Amerika Serikat, maka negara peserta GATT membuat kesepakatan agar perjanjian dalam GATT ditaati oleh para pihak yang menandatanganinya. Beragam kelemahan yang terdapat dalam GATT kemudian diperbaiki melalui beberapa pertemuan. Salah satu

pertemuan yang berhasil adalah Putaran Uruguay antara tahun 1986-1994. Pada

Universitas Sumatera Utara

putaran tersebut dicapai kesepakatan untuk membentuk sebuah lembaga perdagangan internasional World Trade Organization (WTO). 6 Hal kongkrit yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tepatnya pada tahun 1994 dengan meratifikasi Agreement On Establishing the World Trade Organization (WTO) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan

Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia 7 . Manfaat yang diharapkan dari integrasi perekonomian yang ada di Indonesia ke perekonomian dunia secara global melalui keikutsertaan dalam kesepakatan-kesepakatan WTO salah satunya adalah terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas, sehingga perekonomian Indonesia akan meningkat lebih baik bagi kepentingan nasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang melalui hubungan regional. Dengan adanya WTO, maka sistem yang telah menjadi kompleks akibat perluasan yang dihasilkan Uruguay Round dapat ditempatkan dalam satu payung dengan suatu organisasi yang lebih baik, sehingga kegiatan GATT versi baru ini akan menuntut penanganan lebih kontinyu dan intensif di kalangan negara anggota. Perjanjian Uruguay Round juga mengubah status organisasi GATT menjadi WTO

Administrator, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) dalam Kerangka WTO, http://senandikahukum.wordpress.com/2009/03/01/perjanjian-perdagangan-regional-rta-dalamkerangka-world-trade-organization-wto-sudy, terakhir diakses pada hari senin tanggal 18 April 2011 7 Soedjono Dirdjosisworo, Kaidah-Kaidah Hukum Perdagangan Internasional (Perdagangan Multilateral) Versi Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation)=WTO, (Bandung: CV. Utomo, 2004), hal. 20.
6

Universitas Sumatera Utara

sebagai organisasi internasional sepenuhnya, dan dibentuknya WTO sebagai organisasi internasional. 8

Final Act merumuskan

Kerangka institusi WTO merupakan alat untuk menerapkan single undertaking approach terhadap seluruh hasil Putaran Uruguay. Maka seluruh anggota WTO harus menerima hasil Putaran Uruguay tanpa kecuali. Menurut perjanjian, secara operasional WTO mempunyai 5 fungsi utama yaitu: 9 1. Mempermudah penerapan, pengadministrasian dan pengoperasian perjanjianperjanjian yang ada dan mengikat semua pihak serta juga menyediakan kerangka untuk menerapkan, mengadministrasikan dan mengoperasikan Plurilateral Trade Agreements atau PTAs yang hanya mengikat pihak yang menyatakan turut serta. 2. Menyediakan forum negosiasi mengenai hubungan perdagangan bagi anggotanya. 3. Melaksanakan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Dispute. 4. Melaksanakan Trade Policy Review Mechanism. 5. Melakukan kerja sama dengan organisasi internasional lainnya terutama IMF dan Bank Dunia (IBRD) berserta lembaga-lembaganya. Berdasarkan fungsi tersebut, WTO merupakan payung yang menawungi berbagai jenis kesepakatan atau persetujuan yang mengatur tentang perdagangan dan keikutsertaan suatu negara sebagai anggota WTO menimbulkan konsekwensi hukum yang otomatis mengikat, bahkan disertai dengan sarana penerapan sanksi-sanksi bagi pelanggaran terhadap aturannya. WTO juga adalah kerangka hukum sebagai kesepakatan internasional, dan dijadikan sebagai acuan dalam setiap tindakan para

H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, (Jakarta: UI Press, 1997), hal. Ibid, hal. 304.

299.
9

Universitas Sumatera Utara

pelaku bisnis dan kebijakan pemerintah yang salah satu diantaranya berkaitan khususnya dengan penanaman modal asing disamping hal-hal lain yang berkaitan dengan transaksi perdagangan internasional. Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat internasional yang turut meratifikasi kerangka WTO ini, dengan sendirinya tunduk pada aturan perdagangan yang dimuat dalam kesepakatan tersebut. Untuk itu Indonesia tanpa tawar menawar, harus menyesuaikan peraturan perundang-undangannya, dengan kerangka WTO, khususnya dalam kaitannya dengan bidang yang diatur dalam WTO, 10 adalah murni multilateral. Kelahiran WTO menandakan adanya usaha dari negara-negara untuk melembagakan ketentuan-ketentuan tentang perdagangan internasional yang telah disepakati dalam GATT. Upaya tersebut membuktikan keinginan dunia internasional untuk membuat unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional dengan prinsip yang menganut pada liberalisasi perdagangan dan kompetisi yang bebas. Upaya untuk melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional yang dilakukan oleh WTO ternyata mengalami kesulitan untuk mencapai kesepakatan multilateral. Hal ini disebabkan karena terlalu banyaknya negara yang menjadi anggota dan tentunya anggota tersebut semua harus setuju. Kesulitan yang dihadapi untuk menciptakan sistem perdagangan multilateral sebenarnya sudah diambil jalan tengahnya dalam ketentuan Pasal 24 GATT tentang

Sutiarnoto MS, Tantangan dan Peluang Investasi Asing, (Jurnal Hukum,Volume 6 No. 3, Agustus 2001), hal. 271.
10

Universitas Sumatera Utara

diperbolehkannya pembentukan kerjasama-kerjasama regional dibidang perdagangan. Ketentuan pasal tersebut memberi persyaratan bahwa pembentukan perjanjian perdagangan regional tidak menjadi rintangan bagi perdagangan multilateral. 11 Perkembangan saat ini, banyak negara-negara membuat perjanjian

perdagangan regional, karena bersifat lebih mudah dan aplikatif tidak melibatkan terlalu banyak negara serta kepentingannya seperti yang terjadi dalam WTO. Dengan kata lain ada pengecualian yang membolehkan bagi negara anggota WTO untuk membentuk organisasi-organisasi ekonomi (perdagangan) secara regional bilateral dan tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya 12 . Bahkan sekarang ini sering dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama dalam membuat kesepakatan, menjalin kerjasama dibidang ekonomi dan perdagangan antar negara misalnya, dalam konteks custum union atau free trade area. 13 Salah satu perjanjian perdagangan regional yang ada saat ini adalah Asean Free Trade Area (AFTA) yang diprakarsai oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebuah organisasi regional negara-negara di Asia Tenggara. AFTA lahir pada tahun 1995 dengan tujuan untuk memberikan keuntungan-keuntungan perdagangan bagi negara-negara yang berasal dari ASEAN. Upaya AFTA untuk mewujudkan tujuannya adalah dengan melakukan kesepakatan preferensi terhadap

Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 170. 12 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan, ( Jakarta: BP. IBLAM, Cetakan I, 2005), hal. 21. 13 Huala Adolf dan A.Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 20.
11

Universitas Sumatera Utara

barang-barang yang ada dari negara ASEAN. 14 Selain itu juga Uni Eropa, Asia Facific Economic Co-operation (APEC), North American Free Trade Agreement (NAFTA) dan lainnya dengan syarat bahwa pembentukan organisasi (perdagangan) regional tersebut tidak menjadi rintangan perdagangan bagi pihak ketiga, hal ini berdasarkan pasal 24 GATT. Kelahiran AFTA sendiri merupakan upaya dari ASEAN untuk melindungi kepentingan negara anggota dalam perdagangan multilateral yang didomisi oleh negara-negara maju. Berdasarkan kesadaran tersebut, maka terkesan bahwa AFTA merupakan usaha ASEAN melakukan proteksi terhadap pasar regionalnya dan timbul atas perjanjian perdagangan regional yang lainnya, karena dengan adanya perjanjian perdagangan regional ini akan melemahkan sistem perdagangan multilateral. Padahal dalam ketentuan GATT sendiri mengatur tentang diperbolehkannya untuk membentuk perjanjian pedagangan regional. 15 Terkait dengan perjanjian atau kesepakatan dalam perdagangan bebas Free Trade Agreement atau FTA yang bilateral dan regional, sebenarnya ada sistem multilateral (WTO) yang jauh lebih baik daripada sistem-sistem yang ada dalam kerangka bilateral dan regional. Akan tetapi yang menjadi problema adalah bahwa sistem multilateral dalam kerangka WTO terhambat, macet, dan tidak berjalan dengan baik, sehingga mulailah negara-negara membentuk blok-blok perdagangan

14 15

Administrator, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) dalam Kerangka WTO, Op.Cit. Ibid.

Universitas Sumatera Utara

regional seperti ASEAN, AFTA, termasuk ACFTA dengan tujuan meraih keuntungan langsung. Dimana saat ini perdagangan secara regional lebih merebak, maju dan berkembang. 16 Perdagangan bebas ASEAN atau AFTA sudah diputuskan terhitung mulai sejak 1 Januari 2010 China dipastikan bergabung lewat apa yang disebut dengan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), 17 pada Framework Agreement on comprehensive Economic Co-opration Between The Association of South East Asian and The Peoples Republic of China (Asean-China). China cukup agresip untuk mengejar FTA ini, karena ekonomi China yang tumbuh dengan laju 9 % (sembilan persen) pertahunnnya sangat membutuhkan bahan mentah dan energi, juga beberapa produk pertanian dan kehutanan yang ia ingin pastikan dengan FTA tersebut. Masuknya China dalam perdagangan bebas ASEAN ini meresahkan kalangan produsen tekstil dalam negeri, karena bisa dipastikan semua produk bebas masuk ke pasar ASEAN termasuk Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, maka prinsip-prinsip pengaturan

perdagangan bebas dalam kerangka ACFTA sebenarnya tidak jauh berbeda dengan

Renegosiasi Perjanjian dagang ACFTA, Koran Waspada, kamis tanggal 14 Mei 2010. Lihat juga M. Sadli, Kerja Sama Ekonomi Asia dan Posisi Indonesia, http://www.kolom.pasific.net.id/ind, terakhir diakses pada tanggal 16 Juli 2007. 17 Administrator, China Bergabung Dalam AFTA, http://www./indosiar.com//ohas/83715/china-bergabung-dalam-afta, terakhir diakses pada 20 April 2011.
16

Universitas Sumatera Utara

prinsip-prinsip perdagangan bebas yang diatur dalam ketentuan WTO. Hal ini disebabkan bahwa ketentuan dalam ACFTA tetap mengacu kepada WTO. 18 Sikap Indonesia terhadap perdagangan bebas internasional khususnya perdagangan bebas ACFTA sering mendua atau ambivalen. Artinya di satu pihak Indonesia takut bahwa pasar dalam negeri akan direbut oleh asing, akan tetapi di lain pihak juga disadari bahwa kalau tidak mengikuti mode dan trend FTA khusus ACFTA maka Indonesia akan jauh ketinggalan dari negara lain. Akhirnya Indonesia juga membuka perundingan atau kesepakatan secara bilateral untuk mencapai FTA dan prosesnya mengandung give and take. Jika Indonesia menginginkan suatu konsesi atau fasilitas maka Indonesia harus bisa menawarkan suatu konsesi secara quid and pro, dan berangsur-angsur membuka Indonesia untuk perdagangan yang bebas. 19

Gotar Bain, Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal. 142, dan prinsip tersebut adalah : (1). MFN (Most-Favoured-Nation) yaitu perlakuan sama terhadap semua anggota mitra dagang berdasarkan kesepakatan WTO, (2). National Treatment yaitu perlakuan yang sama diberikan baik terhadap badan usaha milik asing maupun terhadap badan usaha milik negara sendiri, (3). Transparancy yaitu mengaharuskan negara-negara anggota membuat seluruh peraturan perundangan yang relevan terbuka untuk semua pihak, (4). Regulation yaitu suatu peraturan objektif dan bisa diterima, karena peraturan domestik merupakan cara yang paling efektif untuk mengatur dan mengawasi perdagangan jasa, maka kesepakatan menetapkan agar negara-negara anggota mengatur perdagangan jasa yaitu mengaharuskan negara-negara anggota membuat seluruh peraturan perundangan yang relevan terbuka untuk semua pihak,secara tidak berat sebelah,(5). Recognition atau pengakuan yaitu membuat kesepakatan untuk saling mengakui kualifikasi masingmasing dalam hal prosedur izin dan sertifikat pemasok barang, (6). International transfer yaitu suatu negara harus membuat komitmen untuk membuka sektor jasa bagi foreign competition, (7). Komitment spesifik yaitu komitmen masing-masing aggota secara individu untuk membuka pasar bagi sektor jasa spesifik, (8). Basis for progressive liberalisation atau Liberalisasi progresif yaitu meletakkan dasar bagi liberalisasi progresif dibidang jasa melaui mengembangan dari nasional schedules masing-masing negara. 19 M. Sadli, Op.Cit.
18

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian terhadap perdagangan bebas khususnya ACFTA tentunya resiko ke depan sudah pasti akan terjadi, misalnya suatu anggota merasa dirugikan akibat tindakan anggota lain (perselisihan atau sengketa dalam perdagangan). Artinya ada sistem dan prosedur penyelesaian dalam sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi. Secara umum sistem dan prosedur penyelesaian sengketa ini diatur dalam Understanding on Rules and Procedures Govening the settlement of Dispute atau lebih dikenal dengan Dispute Settlement Understanding (DSU) yang merupakan annex 2 dari perjanjian WTO dan berlaku untuk seluruh sengketa mengenai pelaksanaan perjanjian WTO. 20 Upaya penyelesaian sengketa dilakukan oleh suatu badan yang disebut dengan Dispute Settlement Body (DSB). Kesepakatan multilateral dalam kerangka WTO lebih superior dari pada kesepakatan FTA bilateral atau regional, maka pemerintah Indonesia sebaiknya tetap berkiblat kepada pengaturan multilateral walaupun merundingkan FTA secara bilateral. Demikian juga halnya FTA bilateral harus dikaitkan dengan FTA regional dan harus disesuaikan dengan WTO. Artinya ketentuan-ketentuan yang ada dalam aturan hukum perdagangan bebas secara regional tetap pondasinya pada aturan ketentuan yang ada dalam WTO, serta tidak betentangan dengan WTO.

Zulkarnain Sitompul, Masih perlukah WTO Bagi Negara Berkembang, (Jurnal Hukum Volume 1 No.1, 2005), hal. 66.
20

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka penelitian ini diberi judul Analisa Hukum Mengenai Ketentuan Perdagangan Regional Dalam Kerangka WTO (Studi Terhadap Kesepakatan Perdagangan AFTA-China).

B. Perumusan Masalah Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi isu hukum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan kesepakatan perdagangan bebas Regional dalam kerangka WTO ? 2. Bagaimana prinsip-prinsip pengaturan perdagangan bebas dalam kerangka ACFTA ? 3. Bagaimana ketentuan tentang penyelesaian sengketa dalam kerangka perdagangan bebas ACFTA?

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang pengaturan kesepakatan perdagangan bebas regional dalam kerangka WTO.

Universitas Sumatera Utara

2. Untuk

mengkaji

dan

menganalisis

tentang

prinsip-prinsip

pengaturan perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN-China Free Trade Agreement. 3. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang ketentuan-ketentuan penyelesaian sengketa dalam kerangka perdagangan bebas ACFTA.

D. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi seluruh pihak dan kalangan yang dapat memanfaatkannya, dan dalam pemanfaatan penelitian ini ada dua hal yang sangat penting, baik secara teoritis maupun secara praktis antara lain sebagai berikut: 1. Secara teoritis Merupakan bahan untuk penelitian lebih lanjut, baik sebagai bahan dasar maupun bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan rumusan penelitian ini dan memberikan sumbangan pemikiran hukum khususnya dalam bidang hukum perdagangan Internasional. 2. Secara praktis Memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum, negara dan pemerintah akan pentingnya mengkaji lebih dalam lagi mengenai kesepakatan

Universitas Sumatera Utara

perdagangan regional dalam kerangka WTO tersbut, dalam hal ini perdagangan bebas yang berkaitan dengan diterapkannya ACFTA. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian tentang Analisa Hukum Mengenai Ketentuan Perdagangan Regional Dalam Kerangka WTO (Studi Terhadap

Kesepakatan AFTA-China), belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun walaupun ada beberapa penelitian tesis yang membahas terkait dengan pembahasan perdagangan bebas, AFTA, ACFTA, dan WTO antara lain diteliti oleh: 1. Siti Bunga Sitohang, Nim 017005034, mahasiswi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul Peraturan Kerja Sama Secara Bilateral Dibidang Ketenagakerjaan Antara Indonesia Dengan Malaysia Ditinjau Dari Perjanjian Hukum Internasional. 2. Rita Erlina, Nim 047005012, mahasiswi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul Anti Dumping Dalam

Perdagangan Internasional: Sinkronisasi Peraturan Anti Dumping Indonesia Terhadap WTO Anti Dumping Agreement.

Universitas Sumatera Utara

3. Joi Arianto, Nim 077005125, mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul Ketentuan Harmonisasi Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Menghadapi Perdagangan Bebas Regional Ditinjau Dari Sudut Kepabean. 4. Febrina Rezkitta Hasibuan, Nim 087005045, mahasiswi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul Kebijakan Dibidang Perdagangan Yang Tanggap Terhadap Perubahan Makrostruktur Sistem

Internasional (Analisis yuridis Terhadap Perjanjian AFTA China-Indonesia dengan ketentuan rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana suatu kebijakan dinyatakan tanggap terhadap

makrostruktur sistem internasional ? 2) Bagaimana kesiapan hukum di Indonesia dalam menghadapi liberalisasi perdagangan di bawah China-AFTA ? 3) Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi liberalisasi

perdagangan berdasarkan China-AFTA ? 5. Mayer Hayrani DS, Nim 097005042, masiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Industri Dalam Negeri Menghadapi ACFTA dengan ketentuan masalahnya sebgai berikut: 1). Bagaimana perlindungan hukum terhadap industry dalam negeri menghadapi ACFTA ?

Universitas Sumatera Utara

2). Bagaimana kebijakan pemerintah dalam melindungi industry dalam negeri terhadap dampak negative diberlakuannya ACFTA?

Dalam hal ini tentunya dari segi judul dan materi, substansi dan permasalahan serta pengkajian dalam penelitiannya berbeda sama sekali, dan oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggung jawabkan secara jujur, akademis dan ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti dan akademisi, dengan demikian penelitian ini adalah asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Berikut ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran serta teori yang akan menjadi dasar kerangka bagi penelitian ini yang awalnya lahir dari adanya hubunganhubungan internasional selanjutnya menjadi teori hukum internasional atau international legal Theory. Adapun teori tentang perdagangan bebas yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Adam Smith (1723-1790), seorang guru besar dibidang Filosofi moral dari Glasgow University pada tahun 1750, sekaligus juga dikenal sebagai ahli

Universitas Sumatera Utara

teori hukum, bapak ekonomi modern, 21 telah melahirkan teori keadilan (justice), bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian the end of justice is to secure from injure yang berawal dari persepektif kapitalisme klasik terhadap perdagangan bebas internasional didasarkan pada prinsip laissez faire dalam karyanya yang sangat terkenal An Inquiry to the Nature and Causes of the Wealth Natio. Awalnya kapitalisme dianggap cukup atraktif dimana versi Adam Smith ini diyakini akan mampu memberikan kesejahteraan kepada mayarakat. Dalam The Wealth of Nation Smith juga mendiskripsikan bahwa sistem harga akan bekerja dan bagaimana ekonomi yang bebas dan berkopetensi akan berfungsi tanpa ada campur tangan pemerintah melalui pengalokasian sumber daya dengan cara yang efesien. Smith juga mendiskripsikan pandangan laissez faire atau prinsip bebas melakukan apa saja, bahwa berbagai transaksi ekonomi yang independen akan terdapat harmoni alamiah di mana manusia mencari pekerjaan, produsen menghasilkan barang, konsumen membelanjakan penghasilannya untuk membeli produk yang berdasarkan pilihan masing-masing. 22 Adam Smith percaya bahwa kepentingan pribadi tidak boleh dikekang oleh negara. Lebih jauh dikatakan bahwa selama pasar bebas bersaing, tindakan individu yang didorong oleh kepentingan diri akan berjalan bersama dengan kebutuhan

Bismar Nasution, Diktat Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, (Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005), hal. 4. Lihat juga Neil MacCornick, Adam Smith On Law, Valparaiso University Law Review, (vol. 15, 1981), hal. 244. 22 Ningrum Natasya Sirait, Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Internasional, disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum, diucapkan dihadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, pada tanggal 2 September, 2006.
21

Universitas Sumatera Utara

bersama khalayak ramai. Sebagaimana diuraikan Smith bahwa bila dalam transaksi dengan orang lain setiap individu bebas mengejar kepentingannya sendiri, maka bukan hanya individu itu yang beruntung, akan tetapi juga seluruh masyarakat. 23 Meskipun tidak setuju dengan campur tangan pemerintah, akan tetapi seperti diuraikan Smith tersebut, peran negara tidak hilang sama sekali, hanya dikurangi sampai tingkat minimal. Ia juga menegaskan bahwa pemerintah punya tugas yang amat sangat penting dan yang begitu luas serta jelas bagi pemahaman umum. Pertama tugas untuk melindungi masyarakat dari kekarasan dan serbuan negara lain. Untuk melindungi sejauh mungkin setiap warga negara dari ketidakadilan dan pemaksaan/pemerasan yang dilakukan oleh warga lain, atau tugas menyelenggarakan secermat mungkin tata keadilan. 24 Smith juga mengajarkan bahwa perdagangan bebas akan dengan sendirinya menciptakan international devision of labour (pembagian kerja internasional) yang saling menguntungkan, di mana masing-masing negara akan mengekspor barang maupun jasa ke pasar internasional yang dianggap paling menguntungkan dari segi biaya produksi maupun jasa ke pasar internasional. 25

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal : Studi kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Inverstasi Multilateral, (Medan: Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pascasarjana, 2005), hal.191. dan lihat juga dalam Adam Smith ,Teori Adam Smith, http://www.nytimes.com/2006/06/26/business/26enddiakses buffet.html?ex=1308974400&en=1a8df7bb4f340d38&ei=5088&partner=rssnyt&emc=rss, pada 7 Maret 2011. 24 Ibid, hal. 194 25 Bob s. Hadiwinata dan Aknolt K. Pakpahan, Fair Trade Gerakan Perdagangan Alternatif, (Bandung: Pustaka belajar Oxfam, 2004), hal. 2.
23

Universitas Sumatera Utara

Namun pada prinsipnya mengenai sistem perdagangan bebas ini juga dikembangkan oleh John Meynard Keynes bahwa sistem perdagangan bebas ini adalah sistem ekonomi kapitalis yang terkontrol melalui campur tangan negara. 26 Artinya Keynes menyatakan bahwa perlunya campur tangan pemerintah dan pendanaan langsung dari pemerintah untuk menanggulangi kemerosotan investasi swasta dan daya beli demi untuk merangsang pemulihan ekonomi. Anjuran Keynes ini memunculkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dan membawa perubahan bahwa campur tangan negara dalam masyarakat sangat mengubah

pekerjaan yang bisa dilakukan oleh hukum tradisional, 27 dimana peran negara yang besar diakui tidak saja untuk menjamin keamanan internal dan ekternal, akan tetapi lebih jauh bertanggung jawab atas sejumlah besar ketidakadilan. Negara harus mengambil peran dalam penghapusan ketidakadilan tersebut dari sistem yang ada melalui sejumlah intervensi ekonomi dan sosial. 28 Salah satu bentuk intervensi dalam konteks hukum adalah keadilan, dan tentunya tidak terlepas dari ketentuan yang mengatur perdagangan bebas termasuk prinsip-prinsip perdagangan yang tertuang dalam ketentuan WTO, bahwa perdagangan bebas bertujuan untuk meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea dan hambatan non-bea di

Ida susanti dan Bayu Seto, Op.Cit., hal. 14. Lihat juga dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/22/opini/2068215.htm, diakses pada tanggal 7 Maret 2011. 27 Satjipto Rahardjo,SH, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, (Mataram: Genta Publishing, 2009), hal. 27. 28 Mahmul Siregar, Buku 1, Op. Cit., hal. 197
26

Universitas Sumatera Utara

lingkaran ASEAN dalam AFTA untuk menciptakan pasar yang terintegrasi antara negara anggota ASEAN juga untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antara negara ASEAN guna mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang

berkesinambungan bagi semua negara anggota ASEAN dimana hal tersebut sangat penting bagi pencapaian stabilitas dan kemakmuran di kawasan. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Jhon Rawls dalam teori keadilannya (theory of justice), bahwa keadilan adalah sebagai suatu kejujuran dan kesetaraan ( justice as fairness), yaitu memberikan keuntungan terbesar bagi yang paling tidak diuntungkan serta membuka kesempatan yang fair. Keadilan sebagai konsep yang didasarkan pada asas persamaan dan ketidaksamaan ( equality and inequality) dimana nilai-nilai sosial, kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kemakmuran berdasarkan self respect harus didistribusikan sesama. 29 Namun demikian ketidaksamaan distribusi kemakmuran diperkenankan selama hal tersebut untuk memberikan kebaikan kepada setiap orang. Dengan kata lain, inequalities diperkenankan sepanjang everyones position be improved. Teori keadilan Jhon Rawls (Rawlsian) yang juga dinamakan sebagai contract theory mengandung maksud bahwa keadilan dalam konteks atau situasi kontraktual dan prinsip timbal balik (reciprocity) yang merupakan salah satu prinsip terkait hubungan

Ade Manan Suherman, Perdagangan bebas (Free Trade) Dalam Perspektif Keadilan Internasional, (Jurnal Hukum, Vol. 5, No. 2, 2008), hal.252. Lihat juga dalam http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/520825126.pdf, diakses pada tanggal 17 Maret 2011
29

Universitas Sumatera Utara

dalam perdagangan internasional serta karakter hukum internasional bercirikan suatu sistem hukum yang sifatnya horizontal (horizontal legal system). 30 Konsep keadilan internasional Rawls digambarkan kedalam konteks hukum internasional dan dapat diaplikasikan dalam hal perdebatan melalui negosiasi pengadaan harus terhindar dari unsur manipulasi, dominasi, tekanan terhadap kelompok inferior yang selanjutnya dinamakan kriteria resiprositas juga melahirkan ketegangan internal dalam teori liberal itu sendiri yaitu adanya tensi antara teori keadilan perdagangan utilitarian dan liberatarian. Pertama, bahwa perdagangan internasional yang harus dikontruksi untuk perlindungan kesamaan moral (morality equality) dari semua individu yang dikenakan aturan. Kedua, keadilan dalam pandangan liberal memerlukan hukum perdagangan internasional yang berlaku dan menguntungkan negara yang kurang beruntung. Ketiga, bahwa keadilan liberal memasyarakatkan hukum internasional yang tidak mengorbankan hak asasi manusia dan perlindungan efektif terhadap hak asasi manusia untuk mencapai kesejahteraan (welfare gains), keadilan adalah suatu cita-cita dari segala kepentingan hukum perdagangan internasional tidak lain adalah keadilan. Maka keadilan dalam pandangan internasional memerlukan komitmen terhadap perdagangan bebas sebagai elemen fundamental dari hubungan

perekonomian yang adil, artinya bahwa prinsip dasar perdagangan bebas tetap

30

Ibid, hal. 253.

Universitas Sumatera Utara

menelaah dari aturan-aturan dasar yang terdapat dalam GATT 1994 dan didukung dengan pendapat para ahli hukum khususnya hukum internasional. Dengan demikian pada dasarnya prinsip liberalisasi perdagangan internasional menganggap semua pihak sama kedudukannya dan dalam prinsip ini tersirat prinsip persaingan yang bebas melalui kesempatan yang sama misalnya perdagangan baik secara bilateral maupun regional tetap ketentuannya dalam kerangka WTO dan dengan bergabungnya China dalam AFTA terkait WTO, maka negara-negara berkembang memiliki suara yang lebih berpengaruh pada satu pihak, walaupun terdapat kepentingan China dan kepentingan dari negara-negara berkembang lainnya tidak sepenuhnya berjalan seiring. Selanjutnya mengenai uraian teori di atas tersebut adalah akan menjadi pisau analis untuk membuktikan bahwa norma-norma hukum internasional yang terkait dengan judul penelitian yaitu Analisa Hukum Mengenai Ketentuan Perdagangan Regional Dalam Kerangka WTO (Studi terhadap kesepakatan AFTA-China). Dalam rangka kajian terhadap analisa hukum mengenai kesepakatan regional (studi terhadap kesepakatan AFTA-China) tersebut, perlu memperhatikan sebagai mana diamati hasil studi yang dilakukan Burgs mengenai hukum dan pembangunan terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan agar tidak menghambat ekonomi, yaitu stabilitas (stability), prediksi (predictibily), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan

Universitas Sumatera Utara

pengembangan khusus dari sarjana hukum ( the special development abilities of the lawyer). 31 Selanjutnya Burgs mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di atas ini merupakan persyaratan supaya ekonomi berfungsi dengan baik. Dalam hal ini stabilitas berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingankepentingan yang saling bersaing, dan dalam hukum internasional stabilitas berfungsi untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi persaingan kepentingan antara kelompok negara berkembang dengan kelompok negara maju dengan kapasitas masih dalam lingkup kerangka WTO . Sedangkan prediksi merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara 32 . Hal ini sejalan dengan J.D. Ny. Hart, yang mengemukakan konsep hukum sebagai dasar pembangunan ekonomi yaitu predictability, procedural capability, codification of goals, education, balance, definition and clarity of status serta accommodation. 33 Aspek keadilan fairness adalah ukuran yang menyeimbangkan

kepentingan-kepentingan lembaga WTO di satu pihak, dengan kepentingan masyarakat di negara-negara berkembang di pihak lainnya, terutama yang berkenaan

Leonard J. Theberge, Law and Economic Development, Journal of International and Policy, Vol.9, 1980), hal. 232, dikutip dalam Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi , Op.Cit. hal. 37. 32 Ibid. 33 J.D.Ny. Hart, The Rule of Law in Economic Development dikutip dalam Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1995), hal. 365-367.
31

Universitas Sumatera Utara

dengan hubungan-hubungan internasional, contoh dalam kesepakatan perdagangan bebas regional dan setiap problema perdagangan yang timbul sebagai akibat

perjanjian dalam kerangka WTO harus benar-benar diselesaikan dengan ketentuan atau norma-norma hukum internasional. Keadilan yang diharapkan dari perdagangan bebas dalam kerangka ACFTA ini adalah memperoleh keuntungan yang besar bagi semua negara anggota khususnya ACFTA dengan tidak membedakan antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Kaitannya dengan perdagangan, dalam bentuk apapun ada kelompok besar dan kelompok kecil yang terlibat dalam kegiatan dagang atau pelaku usaha. Keadilan yang diharapkan dalam hal ini, ketika keduanya bersatu harus berdasarkan prinsip kesetaraan tanpa harus menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut. Dengan kata lain, nilai dasar yang hendak dicari dan diperoleh oleh berbagai peraturan hukum adalah keadilan. Masyarakat ASEAN khususnya yang tergabung dalam ACFTA merasakan, bahwa keadilan tercapai apabila seseorang yang tidak bersalah tidak dikenakan hukuman, juga dirasakan adil jika seorang kreditur dilindungi haknya untuk mendapatkan kembali uangnya dari sidebitur. Keadilan tercermin pula apabila negara yang sudah cukup memiliki modal, mengalirkan modalnya ke negara yang kekurangan modal. 34 Jelas, bahwa semua sistem hukum ASEAN mempunyai persamaan yang besar dan mendasar adalah sama-sama mencari keadilan yang benar-benar adil, seperti

34

Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, ( Jakarta: Buku Kompas, 2006), hal. 42.

Universitas Sumatera Utara

yang dicita-citakan orang cerdik pandai Aristotels, Adam Smith, John Rawls dan lainnnya yang tidak disebutkan, mereka banyak mengajukan analisis tentang keadilan. 35 Artinya jika dikaitkan dalam perdagangan ACFTA, Indonesia dan China tentunya terdapat perbedaan, misalnya produk China terkenal dengan harga murah dan relatif bagus sehingga dapat bersaing dengan produk lokal. Namun harga saja bukan faktor yang menentukan konsumen untuk membeli. Oleh karena itu, sebaiknya konsumen juga harus memperhatikan kualitas, purna jual, pelayanan, dan faktorfaktor lainnya. Maka ada baiknya keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh 4P yaitu Product atau produk, Price atau harga, Place atau distribusi, dan Promotion atau promosi, sehingga perbedaan-perbedaan tersebut jangan dihilangkan, artinya penentuan untuk membeli ada pada pihak konsumen. 2. Konsepsi Kerangka konsepsional ini penting untuk dirumuskan agar tidak tersesat kepemahaman yang lain di luar maksud penulis dalam penelitian ini. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas dan standart. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu inti sari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah

35

Ibid, hal. 43

Universitas Sumatera Utara

suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis. 36 Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Adapun konsep yang dimaksud pada penelitian ini antara lain: 1. Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan azas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain. 37 2. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemrintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum Publik. 38 Perjanjian Internasional dalam hal ini adalah Asean-China Free Trade Agreement.

36 37

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 48. Muchtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Binacipta, 1989 ),

hal. 3. Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri ,dan pasal 1 butir 1 UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Lihat juga I Wayan Parthiana. Hukum Perjanjian Internasional ,bag.I, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 12.
38

Universitas Sumatera Utara

3. Kesepakatan atau Perjanjian Bilateral adalah merupakan perjanjian yang dibuat atau diadakan oleh dua negara atau diadakan oleh pihak, dua subjek hukum internasional. 4. Kesepakatan Perdagangan Regional adalah merupakan kesepakatan yang diadakan dengan lebih dari dua negara dalam lingkup regional (kawasan tertentu) terhadap kawasan-kawasan lainnya. 5. Perdagangan bebas adalah masuknya barang dan jasa dari satu unsur ke unsur lain tanpa dikenai tarif, dan merupakan sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonizet Commodity Deskription and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization. Dengan kata lain perdagangan bebas disebut juga sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antara individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda. 6. Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang bersifat lintas batas yang dilintasi oleh negara dalam suatu perdagangan internasional yang sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang export import dan juga regulasi non tarif pada barang import. Seacara teori semua hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya perjanjianperjanjian perdagangan yang dilakukan oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan-hambatan baru pada

Universitas Sumatera Utara

terciptanya pasar bebas. Oleh Adam Smith menunjukkan bahwa perdagangan internasional merukan stumuls bagi pertumbuhan melalui perluasan pasar bagi produsen domestik serta melalui bertambahnya kesempatan pembagian kerja serta diperkenalkannya teknologi baru.39 7. Industri Dalam Negeri adalah suatu industri atau perusahaan (pabrik) yang menghasilkan barang-barang dalam negeri secara domestik. 8. ACFTA adalah perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara

ASEAN yang tergabung dalam AFTA dengan China.

G. Metode Penelitian Untuk lebih jelasnya apa makna dari metode penelitian, maka ada baiknya penulis menjelaskan kata per kata berikut ini. Karena dalam penyusunan dan penulisan penelitian tesis ini digunakan istilah metode penelitian. Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. 40 Penelitian adalah suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten, 41 juga suatu upaya pencarian. 42 Penelitian hukum

Hata, Perdagangan Internasional dalam system GATT dan WTO: aspek-aspek hukum dan non hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 18. 40 Soerjono Soekanto, Ringkasan Metode Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta:Indonesia Hillco, 1990), hal. 106. 41 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hal.1 42 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 27.
39

Universitas Sumatera Utara

adalah merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi, 43 dan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu dengan tujuan untuk mempelajari gejala hukum, 44 sebagai kajian ilmu hukum. 45 Dengan demikian dalam penelitian ilmiah, rangkaian kegiatan dalam penelitian ini adalah mengikuti metode penelitian yang ditetapkan di lingkungan Universitas Sumatera Utara sebagai berikut; 1. Jenis dan Sifat Penelitian Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Yuridis Normatif 46 dengan sifat Penelitian adalah deskriptif analitis. 47 Maksud dari yuridis normatif adalah penelitian ini dilakukan dengan memfokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif yang terkait dengan Undang-undang mengenai pengaturan

perdagangan bebas regional. Kemudian yang dimaksud dengan deskriptif analitis adalah bahwa penelitian ini menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis keadaan atau gejala berupa perdagangan bebas regional dalam kerangka

Peter Mahmud Marjuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 35. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6. 45 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2005), hal. 46. 46 Mahmul Siregar, Buku 1, Op. Cit., hal. 28 47 Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yokyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3.
44 43

Universitas Sumatera Utara

ACFTA, baik yang bersifat normatif maupun empiris dengan tujuan untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan dalam isu hukum, seterusnya

mencakup atas asas-asas hukum, sistematika hukum, singkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum, 48 dan pada prinsipnya tidak lain adalah semua ketentuan-ketentuan mengenai hukum internasional yang terkait dengan materi perdagangan yang bersifat regional. 2. Sumber Data Mengenai bahan-bahan yang dipakai untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tertier. 49 Dimana ketiga bahan hukum ini adalah sebagai data pokok dan dalam hal ini disebut dengan data sekunder, 50 yang meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu Peraturan atau ketentuan perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis dan terkait di bidang hukum internasional termasuk konvensi-konvensi internasional, kesepakatan atau perjanjian internasional, kovenan-kovenan internasional, dan juga peraturan perundang undangan nasional (Indonesia) antara lain: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali, 1985), hal. 17. 49 Peter Mahmud Marjuki, Op.Cit., hal. 142. 50 Penelitian Normatif dan Skunder sebagai Sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, skunder, dan tertier, Bambang Waluyo, Op.Cit., hal.14.
48

tentang Perjanjian

Universitas Sumatera Utara

Internasional, Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar negeri, Keputusaan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 tanggal 15 Juni 2004 tentang kerja sama perdagangan bebas ACFTA atau Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Associaton of South East Asian Nations and The People`s Republic of China (Asean-China). Keputusan Menteri keuangan Republik Indonesia Nomor 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Import barang dalam rangka Early Harvest Package Asean-China Free Trade Area, peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005, Nomor 04/PMK.011/2007, tanggal 25 Januari 2007, Nomor 53/PMK.011/2007 tanggal 22 Mei 2007, Nomor 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Normal Track Asean-China Free Trade Area, b. Bahan hukum skunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer seperti buku-buku teks yang berkaitan dengan materi kesepakatan regional ( Studi terhadap Kesepakatan AFTA-China), laporanlaporan penelitian, jurnal ilmiah, majalah, Koran, situs internet, dan dokumendokumen yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, bibliografi kamus bahasa Indonesia, dan juga

Universitas Sumatera Utara

3. Teknik Pengumpulan data Untuk menperoleh bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini, maka digunakan metode pengumpulan bahan hukum tersebut dengan penelitian kepustakaan (library Research) dan alat untuk mengumpulkan bahan hukum tersebut adalah melalui studi dokumen. 4. Analisis Data Semua bahan hukum yang sudah diperoleh baik berupa bahan hukum primer, skunder, dan tersier, dianalisis secara kualitatif. Bahan hukum yang telah diperoleh dibuat sistematikanya sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, kemudian diedit dengan mengkelompokkan, menyusun secara sistematis, dan selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir dari deduktif ke induktif. 51

Bambang Sunggono, Metode penelitian hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 114.
51

Universitas Sumatera Utara

You might also like